27 Februari 2023

Pemetaan Karya-karya Ulama Minangkabau Awal abad XX

Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa pergolakan Kaum Tua dan Kaum Muda telah melahirkan berbagai macam karya intelektual. Selain dikarenakan oleh iklim pergolakan itu, terdapat pula karya-karya yang ditulis untuk semata-mata ilmu, tanpa pengaruh pergolakan itu. Ditambah dengan munculnya berbagai percetakan Arab masa itu, sebahagian karya itu dicetak dan tersebar ditengah masyarakat, sebahagian lainnya masih dalam bentuk tulisan tangan (makhtuthah). Bisa dibayangkan betapa banyak ulama yang ikut andil dalam pergolakan dan menulis, namun disayangkan sebahagian besar karya itu tidak sampai ketangan kita saat ini.[1] Sebahagiannya hanya tinggal cerita, bahwa si-fulan pernah mengarang buku, tapi wujud buku itu entah ada dimana.

Disamping dalam bentuk risalah (buku) para ulama di awal abad XX juga gemar menulis, menuangkan idenya dalam berbagai majalah atau surau khabar. Diketahui bahwa pada masa ini tampak kecendrungan bangkitnya pers, hal ini didorong oleh munculnya percetakan-percetakan. Beberapa tokoh ulama kala itu sangat berperan dalam hal ini. terdapat puluhan nama majalah yang berdedikasi tentang masalah-masalah agama yang diasuh oleh masing-masing golongan, kaum Tua dan kaum Muda. Majalah-majalah keagamaan yang dapat dicatat disini ialah Soeloeh Melajoe di Padang, al-Moenir di Padang, al-Akhbar di Padang, al-Mizan di Maninjau, ar-Radd wal Mardud, al-Ittiqan di

Maninjau, al-Manarul Munir di Padang Panjang, Soearti (Soeara Tarbijah Islamijah) di Bukittinggi, al-Inshaf di Suliki, al-Bayan di Parabek, al-Iman di Padang Japang, al-Basyir di Batusangkar, dan lainnya.46[2] Majalah-majalah ini telah membuka ruang untuk bertanya jawab dalam masalah Agama dan juga dalam majalah- majalah tersebut diterbitkan artikel-artikel keagamaan yang ditulis oleh ulama-ulama kenamaan masa itu, seperti Syekh Khatib ‘Ali Padang, Dr. H. Abdullah Ahmad, Dr. Abdul Karim Amrullah, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Hasan Bashri Maninjau, Zainuddin Labai el-Yunusi, H. Sirajuddin Abbas, dan lainnya.

Dibawah ini dicantumkan beberapa Ulama terkemuka Minangkabau yang ikut andil dalam pergolakan di awal abad XX tersebut berikut karya-karya mereka yang dapat diidentifikasi. Sebahagian karya itu telah diperoleh, sebahagian lainnya masih berupa catatan. Identifikasi ini tentu mengesampingkan beberapa ulama serta karyanya yang belum dapat ditelusuri, seperti Syekh Abdurrahman Alahan Panjang yang menulis al-Kasyaf-nya, sebuah buku fiqih dengan analisis Tasawuf; Syekh Harun Toboh Pariaman dengan Falahan Mubtadi, yang membuat geger Kaum Muda; dan lainnya. Catatan ini juga mengesampingkan beberapa karya ulama yang berbentuk manuskrip, seperti karya Syekh Muhammad Salim Sikabu-kabu yang mengarang Kitab Naqsyabandiyah, dengan analisis falsafinya.

Sebelumnya, perlu disinggung bagaimana karakter umum karya-karya ulama di abad ini. Lazimnya, karya-karya ulama yang ditulis di awal abad XX ini sama dengan karya-karya sebelumnya, menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu atau Minang (Arab melayu), atau dalam bahasa Arab sendiri. Susunan kalimat dalam karya-karya itu dipengaruhi oleh tata bahasa Arab, seperti “bermula” yang mengisyaratkan mubtada dalam bahasa Arab. Kata-kata yang digunakan banyak diserap dari kata-kata Arab. Satu kecendrungan yang khas dimasa ini ialah, sebahagian karya-karya itu ditulis dalam bentuk sajak, atau dikenal dengan nazhm atau sya’ir,47[3] disusun menyerupai syi’ir Arab dengan bagian shudur dan ajzu’. Maka untuk yang terakhir ini, jadilah seorang tokoh sebagai ulama sekaligus pujangga, dimana karyanya populer, disenangi bahkan dihapal untuk dinyanyikan.

(1). Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916)

Beliau merupakan seorang Ulama terkemuka di akhir abad XIX hingga awal abad XX. Satu-satunya ulama non-Arab memperoleh kedudukan prestisius sebagai Imam dalam Mazhab Syafi’i di Mekah.[4]

Beliau dilahirkan di Kota Gadang Bukittinggi, Luak Agam, pada 6 Zulhijjah 1860. Pada usia 11 tahun, dia dibawa ayahnya Abdullatif ke Mekah, tepatnya pada tahun 1871.[5] Sesampai di Mekah beliau kemudian belajar kepada berbagai ulama, hingga dikenal sekalu ulama besar dan mengajar di kota suci ini.[6] untuk kemudian beliau diangkat sebagai Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i.

Sangatlah besar pengaruh beliau terhadap dinamika keislaman di awal Abad XX. Beliau pulalah yang mula-mula membatalkan Tarikat Naqsyabandiyah yang ada di Minangkabau lewat karya- karyanya. Dalam hal harta pusaka beliau sangat keras, hingga dikarangnya sebuah kitab menerangkan bebalnya adat harta pusaka itu di Minangkabau. Dengan demikian, dari masa beliau ini, dimulainya pergolakan kaum Tua dan kaum Muda tersebut. Murid-murid beliau bertebaran di tanah Melayu dan kemudian banyak menjadi ulama terkemuka, diantaranya Syekh Muhammad Nur Qadhi Langkat, Syekh Hasan Maksum Qadhi Deli, Syekh Muhammad Shaleh Qadhi Selangor, Syekh Muhammad Zein Mufti Perak, DR. Abdul Karim Amrullah, Syekh Jamil Jambek, Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Perti), Syekh Hasyim Asy’ari (NU), Syekh Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Syekh Muhammad Jamil Jaho, DR. Abdullah Ahmad dan lainnya.[7] Sejak beliau berangkat ke Mekah dimasa kecilnya, beliau hanya sekali pulang meninjau kampungnya, setelah itu kembali ke Mekah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya.

Diantara karangan-karangan beliau ialah:

1)      Izhharuz zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin

Kitab ini merupakan kitab yang mula-mula secara gamblang mengkritik tarikat Naqsyabandiyah, yang ditujukan kepada kaum muslimin di ranah Minang.[8] Penulisan kitab berdasarkan pertanyaan seseorang, yang tak lain ialah Abdullah Ahmad (direktur al-Moenir), yang dilayangkan kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekah. Pertanyaan itu terdiri dari 5 hal yang berhubungan dengan Tarikat Naqsyabandiyah yang saat ini populer di Minangkabau, yaitu (1) Tarikat Naqsyabandiyah adakah asalnya pada syara’ atau tidak; (2) Adakah silsilahnya sampai kepada Rasulullah atau tidak; (3) Adakah meninggalkan makan daging ada asalnya pada syara’ atau tidak; (4) Adakah Suluk itu asalnya pada syara’ atau tidak; dan (5) Adakah Rabithah itu asalnya pada syara’ atau tidak.[9] Pertanyaan ini dijawab oleh Syekh Ahmad Khatib: (1) Tarikat Naqsyabandiyah itu tidak asal pada syara’, yang ada Cuma talqin perorangan yang disebutkan dalam hadist. Sedangkan amalan-amalan seperti Khatam Khawajakan, Tawajuh dan lainnya hanya buatan khalifah-khalifah Naqsyabandiyah saja;

(2) Silsilah yang sampai kepada Rasulullah hanya talqin

perorangan saja; (3) meninggalkan makan daging tidak ada asal pada syara’; (4) Suluk tidak diperbuat oleh Nabi dan Sahabat; (5) Rabithah tidak ada asal pada Syara’.[10] Diakhir risalah ini dicantumkan fatwa beberapa ulama di Mekah mengenai Tarikat Naqsyabandiyah.[11]

Naskah kitab ini dikirim ke Padang pada tanggal 4 zulkaedah 1905, dicetak tahun 1906. Kemudian ini beredar dengan cepat ke tengah-tengah masyarakat. Sontak saja kitab ini membuat kehebohan yang besar di tengah masyarakat, karena Tarikat Naqsyabandiyah telah menjadi pakaian ulama-ulama di Minangkabau. Timbul selang sengketa, bahkan ada yang saling mengkafirkan.

        2)      Al-Ayatul Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’dh Muta’assibin

Risalah ini merupakan i’tiradh (bantahan) terhadap risalah Syekh Muhammad Sa’ad Mungka yang menangkis risalah Izhar, menegakkan Tarikat Naqsyabandiyah. Buku ini menambah kecaman terhadap Tarikat Naqsyabandiyah, sebab isinya lebih padat dari Izhhar. Dalam Risalah ini Syekh Ahmad Khatib meluaskan pembicaraannya mengenai Rabithah, sehingga persoalan ini mendominasi al-Ayat al- Bayyinat ini.[12] Diawal risalah ini Syekh Ahmad Khatib menegaskan beberapa tradisi yang telah mendarah daging yang menurut hematnya melanggar syara’.[13] Kemudian pada lembar-lembar selanjutnya Syekh Ahmad Khatib mengoreksi satu persatu pernyataan Syekh Sa’ad Mungka. (2) al-Ayatul Bayyinat; (3) as-Saiful Battar [1908]

3)      As-Saiful Battar fi Mahqi Kalimati Ba’dh Ahlil Ightirar

Isi kitab ini merupakan tanggapan terhadap sepucuk surat yang kirim kepada Syekh Ahmad Khatib, penulis surat ini ialah Syekh Abdullah al-Khalidi Tanah Datar. Dalam surat ini disebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib telah keterlaluan membatalkan Tarikat Naqsyabandiyah yang telah lama di amalkan oleh ulama-ulama besar. Kata-kata dalam surat ini dianggap Syekh Ahmad Khatib terlampau kasar terhadap pribadinya,[14] sehingga beliau merasa haru menulis risalah untuk menangkis isi surat tersebut.

4)      Fathul Mubin fi ma yata’allaqu bi umuriddin

Kitab ini berisi tentang dasar-dasar ilmu keislaman. Penulisan kitab ini mengisyaratkan bahwa kitab ini diperuntukkan bagi mereka yang berkeinginan kuat, namun lemah memahami kitab-kitab Arab. Isinya terdiri 4 pokok bahasan, yaitu yang pertama pada menyatakan Tauhid dan ashal agama, yang kedua pada menyatakan ibadah yang empat, yaitu sembahyang, zakat, puasa dan haji, Dan kitab yang ketiga pada syari’at dan tarikat dan hakikat. Dan satu khatimah (penutup). Bagian ketiga kitab ini menarik untuk disimak, sebab pada fasal yang cukup panjang ini Syekh Ahmad Khatib menjelaskan pendirian beliau bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat sangat penting untuk dituntut. Kemudian beliau mengisyaratkan bahwa ilmu Tarikat dan Hakikat ini tidak boleh keluar dari jalur syara’, dengan artinya kedua vak ilmu ini berkesesuaian.beliau mengisyaratkan: Ketahuilah olehmu akan bahwasanya tiap-tiap orang yang hendak menjalani jalan akhirat, lazimlah atasnya bahwa menghimpunkan ia akan syari’at dan tarikat dan hakikat. Karena hakikat dengan tiada syari’at batal, dan syari’at dengan tiada hakikat tiada berfaedah.[15] Dengan demikian risalah ini menjadi cerminan pemikiran Tasawuf-nya Syekh Ahmad Khatib, diman beliau bukanlah seorang yang antipati akan Tarikat.

    5)      Ad-Da’il Masmu’ fir Radd ‘ala man Yuwarits al-Ikhwn wal Aulad akhwat ma’a wujudil Ushul wal Furu’

Disamping risalahnya tentang Tarikat yang menggegerkan masyarakat Minangkabau, maka risalah ini menambah deretan kecaman beliau terhadap tradisi di tanah tumpah darahnya. Kitab ini secara khusus mengecam pendirian harta pusaka di Minangkabau. Beliau termasuk orang yang berkarakter keras dalam hal ini, hingga beliau mengatakan bahwa orang Minang itu telah memakan harta haram, yaitu harta pusaka yang menurut hemat beliau ialah syubhat.[16] Disamping itu beliau juga menolak pewarisan kepada kemenakan, sebagai yang dijalankan adat Minang. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab. Cetakannya disertai dengan satu risalah pada hamisy (tepi)-nya dibawah tajuk al-Qaulul Mubram fi ann mana’al Ushul wal Furu’ man arratsahum al- muharram karya gurunya Sayyid Bakr Syatha, yang juga menguraikan pewarisan-pewarisan yang diharamkan.

    6)        Al-Manhajul Masyru’

Karya ini ialah versi terjemahan dari risalah ad-Da’il Masmu’. Penerjemahan kitab ad-Da’il Masmu’ ini berdasarkan permintaan beberapa orang minang kepada Syekh Ahmad Khatib supaya menulis dalam jawi (arab melayu) mengenai warisan tersebut. Kitab ini bukan semata- mata terjemahan dari karyanya itu, namun Syekh Ahmad Khatib juga menambahkan dalam kitab ini beberapa kajian yang berkaitan dengan waris, diantaranya ilmu Hisab dan Munasakhah. Dalam muqaddimah-nya Syekh Ahmad Khatib menegaskan bahwa penulisan ini dengan maksud untuk menasehati kaum kerabatnya orang Minang yang yang menyalahi syari’at dalam harta pusaka.[17] Terjemahan ini lantas menjadi bacaan orang-orang Minang, sehingga menjadi topik hangat pula diawal abad XX tersebut.

        7)      Khittatul Mardhiyyah fi Raddi Syubhati man Qala bibid’ati talaffudzi bin Niyyati

Masalah melafazhkan niat, atau yang dikenal dengan Ushalli, menjadi perdebatan yang begitu alot di awal abad XX di Sumatera. Sebahagian kelompok yang disokong oleh ulama- ulama kaum Muda telah mengembar-gemborkan faham yang menyatakan ushalli itu bid’ah yang menyalahi syari’at. Padahal sebelum itu, perkara ushalli telah menjadi amalan yang telah diamalkan oleh kaum muslimin di pulau perca ini. selain itu dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi literatur para ulama, mulai dari kitab kecil hingga kitab-kitab kategori besar, telah menguraikan bahwa ushalli ialah sunnat, untuk penolong hati ketika memasukkan niat dalam muqarinah-nya.

Faham ulama-ulama muda tersebut kemudian mendapat respon yang begitu hangat dari ulama-ulama tua yang tetap teguh dalam Mazhab Syafi’i. Diantaranya dari ulama besar, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Meski beliau sering dikatakan sebagai sebagai guru dari ulama-ulama muda di Minangkabau, namun dalam furu’ syari’at beliau tetap teguh dalam Mazhab Syafi’i, Cuma dalam masalah Tarikat sajalah beliau berbeda dengan ulama-ulama terdahulu.

Dalam Khuttatul Mardhiyyah Syekh Ahmad Khatib menguraikan masalah Ushalli secara gamblang, dengan cukup dalil, hujjah yang begitu luas. Dalam kitab yang yang berjumlah lebih dari 100 halaman ini Syekh Ahmad Khatib mendudukan bahwa ushalli termasuk sunnat, kemudian beliau membantah perkataan yang menyalahi ushalli, diantaranya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Dalam muqaddimah-nya, Syekh Ahmad Khatib menjelaskan bahwa datangnya faham bahwa ushalli itu bid’ah ialah karangan-karangan Ibnu Qayyim al-Jauzi, diantaranya kitab Zaadul Ma’ad. Kemudian Syekh Ahmad Khatib mengomentari keterangan kitab tersebut dengan bahasa melayu yang cukup menawan, menunjukkan keluasan ilmu beliau.[18]

Kitab ini dicetak pada Mathba’ah Tarqi al-Majdiyah, Mekah, pada tahun 1906, atas biaya dari beliau sendiri.

        8)      Ar-Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il Fiqhiyyah

Risalah ini berisi tuntunan lengkap dalam akidah (Tauhid) dan beribadah (Fiqih) yang dibicarakan dengan agak mendalam. Dimulai dengan pengetahuan-pengetahuan dasar dalam ilmu Tauhid, mencakup hukum akal, masalah Iradat kemudian mengupas Sifat Dua Puluh. Kemudian masuk kepada pembahasan masalah Fiqih, mulai dari Taharah hingga Haji, ditambah dengan penyembelih korban, tentang makanan yang halal dan haram dan Akikah. Terakhir kitab ini dilengkapi dengan tanya jawab seputar isu-isu keagamaan dimasa itu.[19] Nampak kitab ini merupakan satu dedikasi keilmuan beliau untuk muslim Melayu, tepatnya Minangkabau, karena ditulis dengan huruf jawi dengan bahasa yang sederhana.

Diantara karya-karya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau lainnya ialah:

1.      An-Nafahat Syarh Waroqot

2.      Sulhul Jum’ati

3.      Iqna’un Nufus

4.      Raf’ul Iltibas

5.      Irsyadul Haraya

6.      Tanbihul Awam (tentang masalah Syarikat Islam)

7.      Istbatuz Zein

 

 



[1] Pernah sebahagian karya-karya ini dikumpulkan oleh Tim Islamic Centre Sumatera Barat yang saat itu dipimpin oleh Prof. Sanusi Latief. Namun suatu hal tragis terjadi, kitab-kitab itu kecurian. Konon ada yang membawa kitab itu dengan mobil besar.

[2] M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 300-301; DDP Perti, Perjuangan PERTI dan Pribadi KH. Rusli Abdul Wahid (Jakarta: DDP PERTI, 1992) hal. 140-141

[3] Untuk sastra jenis ini, baca lebih lanjut V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7 – 19 (Jakarta: INIS, 1998) terutama hal. 225 dst…

[4] Ulama ini jangan dicampurkan dengan ulama lain yang namanya serupa yaitu Syekh Ahmad Khatib Sambas, pendiri Tarikat Qadariyah wa Naqsyabandiyah, penulis kitab Fathul ‘Arifin.

[5] Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Jakarta: Umminda, 1982) hal. 272; Tim Islamic Centre, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Sumatera Barat (Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981) hal. 16

[6] Namun kita tidak mempunyai satu catatan agak lengkap mengenai guru-gurunya di Mekah. Keadaan seperti ini membuat sebahagian orang beranggapan miring padanya, seperti Snouck Hurgronje. Sehingga Snouck menyebutkan, dengan nada sinis, bahwa Syekh Ahmad Khatib mendapat kedudukan karena mertuanya yang kaya, Shaleh Kurdi. Mertuanya ini juga mempunyai took kitab besar di Mekah, memungkinkan Ahmad Khatib untuk banyak membaca di Toko ini, lihat Karel A. Steenbrink, op. cit., hal. 140-141

[7] Baca lebih lanjut Masduki HS, dkk, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2004) jilid 2, hal. 85-91; Hamka, op. cit., hal. 271-274; Tim Islamic Centre, op. cit., hal. 15-19; lihat pula perdebatan mengenai sosok beliau dalam Karel A. Steenbrink, op. cit., hal. 139-149

[8] Lihat Schrieke, op. cit., hal. 30-31

[9] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Izhharuz Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin (Mesir: at-Taqdumul Ilmiyah bi Darbid Dalil, 1908) hal. 3-4

[10] Lihat ringkasannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 395-411; kitab ini kemudian dialih aksarakan oleh MA. Arief di era 70-an, disertai dengan alih aksara kitab Tablighul Amanah yang mengecam H. Jalaluddin, lihat MA. Arief, Fatwa Tentang Tarikat Naqsyabandiyah (Medan: Firma Islamyah, 1978).

[11] Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, op. cit., hal. 139-141

[12] Lihat ringkasannya dalam M. Sanusi Latief, op. cit., hal. 422-427

[13] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Ayat al-Bayyinat lil Munshifin fi Izalati Khurafat Ba’dh Muta’ashisibin (Mesir: at-Taqdum al- Ilmiyah bi Darbil dalil, 1908) hal. 2-6

[14] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, as-Saiful Battar fi Mahqi Kalimati Ba’dhil Ahlil Ightirar (Mesir at-Taqdum Ilmiyah bi Bardid Dalil, 1908) hal. 2

[15] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Fathul Mubin fima yata’allaqu bi umurid Din (Mekah: Mathba’ah al-Miriyah, 1901) hal. 17

[16] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ad-Da’il Masmu’ fir Radd ‘ala man Yuwarits al-Ikhwn wal Aulad akhwat ma’a wujudil Ushul wal Furu’(Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1889) terutama bagian muqaddimah.

[17] Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, al-Minhajul Masyru’ terjemah Kitab ad-Da’il Masmu’ pada Hukum Orang yang Menyalahi Syari’at pada Pusaka dan pada ilmu Fara’idh (Mekah: Syekh Shaleh Kurdi, 1891) hal. 3

[18] Lihat Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Khuttatul Mardhiyyah fi Radd Syubhah man Qala bibid’atin Talaffuzh bin Niyyah (Mekah: Mathba’ah Tarqil Majdiyah, 1906) hal. 2-3

[19] Lihat Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Inilah Kitab Ar-Riyadhul Wardhiyyah fil Ushulit Tauhidiyyah wal Furu’il Fiqhiyyah (Mesir: Mahmud Taufiq, 1891). Bagian yang membahas Tauhid yaitu dari hal. 3-20, Fiqih hal. 21- 159 dan Tanya Jawab 159-tamat.

0 Comment