14 Februari 2023

 PERADABAN ISLAM MASA MAMLUK DI MESIR 

PENDAHULUAN 

Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.

Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan.

Dalam makalah ini akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya Dinasti Mamalik atau Mamluk ini hingga yang pada akhirnya mengalami kehancuran di bawah kerajaan Usmani.

PERADABAN ISLAM MASA MAMLUK DI MESIR

(1250-1517 M) 

Dinasti ini secara keseluruhan dibagi menjadi dua periode; Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M dan hampir setengah abad berkuasa di Mesir dan melahirkan 24 Sultan. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M dan berhasil melahirkan 23 sultan.

A.    Dinasti Mamluk Bahri

1.      Latar Belakang Berdirinya

Kata Mamluk yang berarti budak sehingga dinasti ini disebut juga dinasti para budak dan memang dinasti ini didirikan oleh para budak yang secara historis bermula dari para budak yang direkrut pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 H) dimanfaatkan untuk kegiatan pemerintahan terutama yang bersifat militeristik (pengamanan negara). Hal ini dilakukan karena para budak ini dikenal sebagai kelompok yang gagah dan kuat secara fisik.[1]

Disamping Abbasiyah (Al-Ma’mun), dinasti lain juga sering menggunakan tenaga para budak ini untuk kepentingan yang sama, seperti pada masa Dinasti Tulun (254 H / 868M-292H/ 905M), Dinasti Ikhsyid (323 H/ 935 M-358 H/969M), Dinasti Fatimiyah (901- 1171) dan terakhir pada Dinasti Ayyubiyah (1174-1252). Dinasti-dinasti tersebut sangat percaya kepada para budak itu untuk menjadi pengaman kekuasaan karena mereka tidak mempunyai hubungan khusus dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Biasanya tentara-tentara Islam yang tidak berlatar belakang budak selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer.[2]

Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, Sultan al-Malik al-Salih, mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya. Pada masa kekuasaannya, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material . Pada umumnya mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia. Di Mesir mereka ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena itulah, mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (bahr artinya laut). Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.

Pada tahun 1249 M al-Malik al-Salih meninggal (1249 M), kemudian anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik (Bahri) merasa terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada tahun 1250 M Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Kemudian Istri al-Malik al-Salih, Syajarah         al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamalik itu.[3]

Syajarah al-Durr memimpin berlangsung sekitar tiga bulan. Kemudian ia kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat terus berkuasa di belakang tabir. Tetapi setelah itu Aybak membunuh Syajarah al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan.

Pada awalnya Aybak mengangkat seorang Sultan dari keturunan penguasa Ayyubiyah yang bernama Musa di samping dirinya tetap bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, Musa akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik. 

Berikut nama-nama sultan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir :

  1. Aybak (1250-1257)
  2. Nur al-din ‘Ali (1257-1259)
  3. Quthuz (1259-1260)
  4. Baybars (1260-1277)
  5. Barakah (1277-1279)
  6. Salamisy (1279)
  7. Qallawun (1279-1290)
  8. Khalil al-asyraf (1290-1293)
  9. Al-Nashir (1293-1294, 1298-1308, 1309-1340)
  10. Kithbuga (1294-1296)
  11. Lajin (1296-1298)
  12. Baybars II (1308-1309)
  13. Abu Bakar (1340-1341)
  14. Qujuq (1341-1342)
  15. Ahmad (1342)
  16. Ismail (1342-1345)
  17. Al-Kamil Sa’ban (1345-1346)
  18. Al-Muzhaffar Hajji (1346-1347)
  19. Al-Hasan (1347-1351, 1354-1361)
  20. Al-Shalih (1351-1354)
  21. Muhammad (1361-1363)
  22. Al-Asyraf  Sa’ban (1363-1376)
  23. ‘Ala al-Din ‘Ali (1376-1381)
  24. Al-Shalih Hajji ibn syaban (1381-1382,1389-1390)[4] 

Aybak berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syria karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ayn Jalut, dan pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamalik di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa di Syria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.[5]

Kemudian tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia. Baybars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi Sultan (1260-1277 M). Ia adalah sultan terbesar dan termasyhur diantara 47 Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun hakiki dinasti Mamalik.[6]

2.      Kemajuan Peradaban Islam Masa Mamluk Bahri

a.       Bidang Politik dan Pemerintahan

Dalam sejarah politik Islam, pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya empat tahun karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295-1297 M). system pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan ini dicapai dalam berbagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian dan ilmu pengetahuan.

Kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di Ayn Jalut menjadi modal besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Di samping itu, untuk memperoleh simpati darikerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulagu di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.[7]

b.      Bidang Ekonomi

Kemajuan di bidang ekonomi diperoleh dari sektor perdagangan dan pertanian. Dinasti ini membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah  dengan Eropa. Di samping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat membantu pengembangan perekonomiannya.

c.       Bidang Sosial Kemasyarakatan

Pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk Bahri ini didirikan sekolah, mesjd, rumah sakit, museum, perpustakaan, vila, kubah dan menara-menara mesjid.[8] Kemudian pada pemerintahan Baybars juga dibangun fasilitas umum, menggali kanal, memperbaiki pelabuhan, dan mempercantik mesjid.

d.      Bidang Ilmu Pengetahuan

Mesir menjadi tempat pelarian ilmuan-ilmuan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang astronomi dikenal nama Nasir al-Din al-Tusi. Di bidang matematika, Abu al-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-Mun’im al-Dimyathi, seorang dokter hewan, dan al-Razi, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenal nama Salah al-Din ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam, al-Sayuthi yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam ilmu hadits dan lain-lain.

e.       Bidang Kesenian

Pada masa dinasti ini merupakan kemakmuran dan kejayaan di bidang budaya, hal ini terlihat dari seni dan arsitektur yang mempunyai warna tersendiri, seperti terlihat dalam hasil karya seni yang ada pada keramik dan logam.[9] Banyak arsitektur didatangkan ke Mesir untuk membangun sekolah-sekolah dan mesjid-mesjid yang indah. Bangunan-bangunan lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara mesjid.

  1. Kemunduran dan Kehancuran Mamluk Bahri

Kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh dinasti Mamluk Bahri ini berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer yang kuat, dan stabilitas Negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran. Apalagi semenjak masuknya budak-budak dari Sikasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji yang untuk pertama kalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer menurun.

Sistem baru yang diterapkan Qalawun ternyata telah menimbulkan kericuhan dalam pemerintahan. Pada masa Al-Nasir Muhammad ibnu Qalawun 1293 M (putra Qalawun) ia mengalami dua kali turun naik tahta karena adanya usaha perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Kitbugha (Al-Adi Zaenal Al-Din) dan Najim Al-Mansur Hisamudin. Pada tahun 1382 M Barquk Al-Dzahir Saef Al-Din dari Mamluk Burji berhasil merebut kekuasaan dari tangan Al-Shalil Salahudin, sultan terakhir dari keturunan Qalawun. Sejak itulah mulai periode kekuasaan Mamluk Burji dan tersingkirnya Mamluk Bahri.

B.     Mamluk Burji

1.      Latar Belakang Berdirinya

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemunduran dari Mamluk Bahri merupakan awal daripada Dinasti Mamluk Burji yang terdiri atas budak-budak yang di impor kemudian. Mulanya mereka juga memiliki tugas sama seperti pengawal, tapi kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290). Kebanyakan mereka berasal dari sirkasius kemudian di tempatkan di menara (bahasa arab: burj) benteng.[10]

Berikut nama-nama sultan Dinasti Mamluk Burji di Mesir :

  1. Al-Zahir sayf al-din Barquq (1382)
  2. Al-Nashir Nashir al- Din al-Faraj (1398)
  3. Al-Mansur ‘Izz al-din Farraj (1405,1405)
  4. Al-Kalifah al-Adil al-Musta’in (1412)
  5. Al-Mu’ayyad syaikh (1412)
  6. Al-Muzhaffar Ahmad (1421)
  7. Al-Zhahir Sayf al-Din Tatar (1421)
  8. Al-Shalih Nashir al-Din Muhammad 91421)
  9. Al-Asyraf Sayf al-Din Barsbay (1422)
  10. Al-Azia Jamal al-Din Yusuf (1438)
  11. Al-Zhahir Sayf al-Din Jaqmaq (1438)
  12. Al-Mansur Fakhr al-Din Utsman (1453)
  13. Al-Asyraf Sayf al-Din ‘inal (1453)
  14. Al-Mu’ayyad Syihab al-Din Ahmad (1460)
  15. Al-Zhahir Sayf al-Din Khusyqadam (1461)
  16. Al-Zhahir Sayf al-Din Yalbay (1467)
  17. Al-Zhahir Timurbugha (1467)
  18. Al-Asyraf Sayf al-Din Qa’itf bay (1468)
  19. Al-Nashir Muhammad (1495)
  20. Al-Zhahir Qanshawh (1498)
  21. Al- Asyraf jan-Balat (1499)
  22. Al-Asyraf Qanshawh al-Ghauri (1500)
  23. Al- Asyraf  Tuman-Bay (1516-1517) 

Pada dasarnya pemerintahan pada masa Dinasti Mamluk Burji hanyalah melanjutkan pemerintahan Dinasti Mamluk Bahri. Akan tetapi mamluk Burji menalami sedikit perubahan dlam pergantian sultan yang selalu diselingi perang saudara dalam perebutan kekuasaan, dikarenakan pergantian sultan secara turun temurun.

2.      Kemajuan Peradaban Islam Masa mamluk Burji

Tidak begitu banyak kemajuan yang dirasakan pada masa Mamluk Burji, karena pada pada umumnya kemajuan-kemajuan yang ada pada dinasti ini merupakan kelanjutan daripada dinasti Mamluk Bahri. Barangkali yang lebih menonjol adalah di bidang arsitektur. Batu-batu beragam yang berasal dari Romawi dan Byzantium juga menjadi ciri istimewa arsitektur periode ini. Hal lain yang mengagumkan adalah pengembangan stalaktif-pendentif (bahasa Arab: muqornas) dan rancangan kubah yang mampu menahan cahaya, termasuk juga untuk penerangan, semakin terlihat megah dengan segala dekorasinya. Dan hal tersebut cukup tercermin dari bangunan Masjid Mu'ayyad, yang terletak di jalan Ahmad Mahir berdampingan dengan Bab Zuwayla, dan dikenal dengan Masjid Merah (Red Mosque). Masjid ini dibangun oleh Sultan Muayyad 1415-1420. Pada pintu masuknya terdapat hiasan warna merah ditambah permata, diatasnya terdapat hiasan pahatan dan lengkungan skalaktit. Dan di bagian dalam masjid terdapat makam Sultan Muayyad dan putranya, yang ditutupi batu marmer warna-warni berbentuk pola geometri . Sejatinya, kebiasaan untuk menghubungkan bangunan makam sang pendiri masjid, bermula pada tahun 1085 M oleh Badr al-Jamali. Bangunan makam yang menyatu dengan masjid di bukit Muqattam hasil rancangan Badr itulah yang kemudian menjadi semakin menjamur.[11]

3.      Kemunduran dan Keruntuhan Mamluk Burji

Sama halnya dengan Dinasti mamluk Bahri, Dinasti mamluk Burji juga mengalami kemunduran dan akhirnya mengakibatkan kehancuran.
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya dinasti ini adalah karena lemahnya kemampuan para sultan dari Mamalik Burjiyah dalam mengatur roda pemerintahan, kecuali dalam hal latihan militer. Sedangkan dalam mempertahankan eksistensi sebuah dinasti tidak cukup hanya kemampuan militer saja tetapi juga keahlian dalam mengelola dan mengatur pemerintahan yang tentu saja membutuhkan seorang sultan atau penguasa yang ahli dalam hal itu.

Disamping banyak penguasa mamluk burji yang bermoral rendah dan tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh kaum eropa tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa melalui mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.

Di pihak lain, suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Dinasti Mamluk, yaitu kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk di mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran di luar kota kairo tahun 1517 M. sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.

Pada masa pemerintahan sultan al-Ghawri, dinasti Mamluk lambat laun menjadi lemah disebabkan ketidakmampuan kaum Mamluk (para budak) itu untuk berkembang dan memanfaatkan peradaban modern yang mulai berkembang di Eropa. Sebenarnya, Sultan al-Ghawri telah berusaha untuk membentuk divisi-divisi mamalik baru yang mampu berperang dengan menggunakan meriam. Namun, para mamalik yang terbiasa berperang mengandalkan pedang dan benteng-benteng menolak hal itu. Mereka memberontak terhadap Sultan al-Ghawri sehingga menyerang al-Qal’ah (benteng pusat pemerintahan)dan melakukan perampasan.akibatnya kekacauan terjadi di seluruh penjuru negeri sehingga tidak ada lagi keamanan dan kestabilan.

Pemberontakan tersebut melemahkan posisi Sultan al-ghawri sehingga hal ini memberikan kesempatan kepada pemerintahan Ustmani yang bertambah kuat setelah mereka meraih kemenangan atas Shafawi di Timur, untuk menyerang Syam yang dikuasai pemerintahan Mamlik yang berpusat di Mesir.

Pada tanggal 24 Agustus 1516 terjadilah pertempuran antara pasukan Utsmani dan pasukan Mamalik di Marja Dabik, yang berakhir dengan kekalahan Mamalik dan terbunuhnya Sultan al-Ghawri. Penyebab kekalahan Mamalik berawal dari pengkhianatan salah seorang komandannya, Khayir Bik yang mundur bersama pasukan mamaliknya dengan disaksikan divisi-divisi mamalik yang lain. Di samping itu, penyebab lain kekalahan tersebut adalah perbedaan teknik perang antara Mamalik dan Utsmani. Pasukan Mamalik berperang dengan menggunakan pedang dan tombak, sedangkan pasukan Utsmani menggunakan meriam dan dinamit. Dengan kemenangan ini, Utsmani dapat menguasai Syam. Namun, di samping itu ia ada rencana lain untuk mengakhiri Daulah Mamalik, oleh karena itu Salim I, Sultan Utsmani memutuskan untuk menyerang Mesir.

Setelah Sultan al-Ghawri terbunuh, para panglima Mamalik yang tersisa berkumpul dan membaiat Thaman Bay yang merupakan orang kepercayaan al-Ghawri dan yang paling setia kepadanya, disamping sebagai anak pamannya sendiri.

Mamalik kehilangan sebagian besar pasukannya dalam pertempuran Marj Dabiq. Kas keuangan Mesir telah habis dan semangat rakyat telah menurun akibat kekalahan dan terbunuhnya al-Ghawri. Sementara itu, Salim I mengerahkan pasukannya ke Mesir dan mengutus beberapa utusan untuk menyampaikan ancaman kepada Thuman Bay apabila ia melakukan perlawanan. Namun, Thuman Bay mengabaikan ancaman itu dan memimpin pasukan Mamalik untuk mempertahankan kesultanan Mesir. Kemudian, kedua pasukan itu saling berhadapan di dekat Ridaniyyah. Pasukan Mamalik dikepung dan menjadi sasaran tembakan meriam. Akhirnya, Thuman Bay ditangkap dan digantung di gerbang Zawiyyah, salah satu gerbang masuk ke kota Kairo. Jasadnya dibiarkan tergantung selama tiga hari. Dengan demikian, kekuasaan Mamluk Burji berakhir, lalu wilayahnya dikuasai kesultanan Utsmani.[12]

KESIMPULAN 

Dinasti Mamluk secara keseluruhan dibagi menjadi dua periode; Pertama, periode kekuasaan Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389 M dan hampir setengah abad berkuasa di Mesir dan melahirkan 24 Sultan. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun 1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M dan berhasil melahirkan 23 sultan.

Kemunduran dari Mamluk Bahri merupakan awal daripada Dinasti Mamluk Burji yang terdiri atas budak-budak yang di impor kemudian. Mulanya mereka juga memiliki tugas sama seperti pengawal, tapi kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290). Kebanyakan mereka berasal dari sirkasius kemudian di tempatkan di menara (bahasa arab: burj) benteng.

Sedangkan Dinasti Mamluk Burji mengalami kehancurannya karena kalah melawan kerajaan Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk di mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran di luar kota kairo tahun 1517 M. sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.

Baca Juga; 
👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉




DAFTAR PUSTAKA

 

Al-‘Afifi, Abdul Hakim, 1000 Peristiwa Dalam Islam, (Terj. Irwan Kurniawan), Judul Asli: Mausu’ah Alf Hudus Islami, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 

Hitty, Philip K., A History Of The Arabs: From The Earliest Times To The Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, New York: Palgrave Macmillian, 2002 

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997 

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008 

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 

http://wildanhasan.blogspot.com/2009/05/dinasti-mamalik.html

 

 



[2]Ibid

[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 124-125

[4]Philip K. Hitty, A History Of The Arabs: From The Earliest Times To The Present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (New York: Palgrave Macmillian, 2002), h. 861

[5]Badri Yatim, Op.cit., h. 125

[6]Ibid, h. 126

[7]Ibid., h. 127

[8]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 245

[9]Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), 119

[10]Philip K. Hitti, Op.cit, h. 862

[12]Abdul Hakim al-‘Afifi, 1000 Peristiwa Dalam Islam, (Terj. Irwan Kurniawan), Judul Asli: Mausu’ah Alf Hudus Islami, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 365

0 Comment