14 Februari 2023

 


PERADABAN ISLAM PADA MASA PERIODE AWAL

BANI ABBASIYAH (132 H-232H/ 750-847 M) 

       A.    Pendahuluan

Tradisi suksesi kepemimpinan khulafarasyidin yang diawali dengan musyawarah mufakat berakhir, ketika perpindahan kekuasaan dari Hasan bin Abi Thalib ke Umayyah. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan dengan pertimbangan kemaslahatan umat, dan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian antara Hasan bin Abi Thalib dengan Muawiyah, bahwa sehabis kepemimpinan Muawiyah atau Muawiyah sudah tidak mampu menjadi khalifah, maka urusan kepemimpinan tersebut diserahkan kepada kaum muslimin untuk menentukan pemimpin baru. Namun, Muawiyah diusianya yang uzur menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota, yang kelak akan menggantikannya sebagai khalifah. Penunjukkan ini menandai dimulainya Dinasti Umayyah, yang terambil dari nama kakek mereka. Walaupun demikian pencatatan tahun berdirinya Bani Umayyah dihitung sejak naiknya Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin pada tahun 42 H/661 M.

Penunjukkan Yazid menimbulkan reaksi dan penentangan yang keras dari kaum muslimin, apalagi Yazid bukanlah orang yang tepat karena akhlaknya yang buruk. Yazid tidak dapat dibendung menjadi khalifah. Dimasanya terjadi pembantaian terhadap cucu Nabi Muhammad, Husein dan keluarganya. Apa yang dilakukan Yazid sangat melukai hati keluarga Rasul dan kaum muslimin. Timbullah berbagai pemberontakan dikalangan muslimin. Dari pengikut Ali timbul pemberontakan Syiah dan Khawarij. Semua pemberontakan tersebut dibasmi dengan kejam oleh penguasa  Bani Umayyah

Perlawanan tiada henti terus dilakukan oleh pendukung Ali bin Abi Thalib. Dimasa Khalifah Abdul Malik Bin Marwan mulai tidak ada lagi perlawanan. Abdul Malik Bin Marwan berhasil menumpas pemberontakan Abdulllah bin Zubair. Sejak saat itu seluruh aspek kehidupan kaum muslimin berhasil dikendalikan oleh penguasa Bani Umayyah. Kaum muslimin dikekang haknya, hingga tiba di masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis. Dimasa beliau kebebasan dirasakan kaum muslimin. Cacian terhadap sahabat di mimbar–mimbar dilarang. Perubahan politik ini dimanfaatkan oleh berbagai kabilah untuk berupaya merebut kekuasaan. Salah satunya keturunan Abbas bin Abdul Muthalib. Sejak pemerintahan Umar Bin Abdul Azis tokoh politik keluarga ini telah berupaya menyusun kekuatan. Gerakan bawah tanah adalah strateginya. Hal ini didukung dengan perubahan politik dan perjalanan waktu. Semakin hari sejak meninggalnya Umar bin Abdul Azis, kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus semakin lemah. Khalifah-khalifah pengganti Umar bin Abdul Azis tidak secakap dan sebijak beliau. Musuh-musuh politik Bani Umayyah semakin meningkatkan perlawanannya. Begitupula dengan  Abdullah As Saffah dengan strategi ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abbas berhasil menarik dukungan kaum Syiah untuk mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Hingga akhirnya kelompok ini berhasil menumbangkan khalifah Marwan II bin Muhammad sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah di Damaskus. Abbas dengan kecerdikannya berhasil membentuk pemerintahan baru dan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Naiknya Abbas sebagai khalifah kaum muslimin adalah era bergantinya kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Dalam makalah ini penulis membahas lebih  lanjut proses terbentuknya Bani Abbasiyah, keberhasilan yang mereka peroleh dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.

 

B.     Pembahasan 

1.      Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Kelahiran Dinasti Abbasiyah, diawali dari gerakan oposisi yang dilancarkan oleh kaum syiah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ali. Gerakan ini dimulai sejak terbunuhnya Husein bin Ali dan pengikutnya di Karbela. Tujuannya menjatuhkan Bani Umayyah, karena dalam pandangan mereka yang berhak menjadi khalifah adalah keturunan Ali bin Abi Thalib, sedangkan Bani Umaiyah bukanlah dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Gerakan ini pada mulanya bernama gerakan Bani Hasyim. Agar gerakan ini mendapat dukungan yang luas, sehingga keturunan Ali bin Abi Thalib dan Abbas bin Abdul Muthalib bergabung dengan mereka dalam memusuhi Bani Umayyah.

Gerakan yang dilakukan Bani Hasyim, ada dua, yaitu:

-          Gerakan bawah tanah

Tahap ini dimulai sejak Muhammad al-Hanafiyah seorang syiah diangkat menjadi pemimpin gerakan oposisi. Setelah beliau wafat digantikan oleh putranya Abu Hasyim bin Muhammad al-Hanafiyah. Gerakan ini dapat diketahui oleh khalifah Bani Umayyah. Pada Tahun 98 H, ia diundang oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (98-99 H/ 715-717 M) ke istana di Damaskus. Undangan ini dipenuhi oleh Muhammad al-Hanafiyah, namun dalam minumannya telah dibubuhi racun, sehingga setelah itu ia menderita sakit dan meninggal dunia di kota Humaimah (sebuah kota yang terletak antara Suria dan Hijaz, yaitu sebuah kota pusat oposisi pada saat itu-pen). Sebelum meninggal dunia, ia telah berwasiat kepada Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas. Dengan demikian gerakan yang dipimpin oleh kaum syiah, telah diserahkan kepada keturunan Bani Abbas.[1]

 

Setelah Muhammad bin Ali wafat pada tahun 125 H/742 M, pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Ibrahim bin Muhammad. Pada saat itu gerakannya sudah meluas dan mendapat dukungan dari kaum mawali  (non Arab). Peningkatan gerakan ini terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-111 H).

-          Gerakan terbuka

Gerakan ini diawali dengan tertangkapnya Ibrahim bin Muhammad yang berakhir dipenjara di Harran[2] sebelum dieksekusi, ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[3] Pada masa ini khalifah Bani Umayyah dibawah pimpinan Marwan bin Muhammad sudah mulai lemah, sehingga Abul Abbas mengutus pamannya Abdulah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan. Pertempuran ini terjadi di tepi sungai al-zab al-shaghir di Iran, Marwan terdesak dan melarikan diri ke Mosul, terus ke Palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir, sehingga terjadi pertempuran disana. Akhirnya petempuran itu dimenangkan oleh Abdullah bin Ali pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Untuk membuktikan kemenangan tersebut, Abdullah bin Ali mengirimkan kepalanya ke Kufah[4]. Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas As-Saffah.[5]

Disamping itu keberhasilan mereka didukung oleh penyadaran versi mereka kepada masyarakat, bahwa Bani Abbas adalah keluarga dekat Nabi Muhammad saw., dan bahwasanya mereka akan mengamalkan Alquran dan sunnah Rasul serta menegakkan syariat Allah. Oleh sebab itu, ketika As-Shaffah di baiat, sebagai khalifah di kota Kuffah, pada tahun 132H, janji mereka ini, diiringi dengan hujatan kepada Muawiyah yang telah berkuasa dengan menzalimi umat, maka pantas untuk ditumpas (sehingga pemerintahannya lebih dikenal dengan al-saffah yang berarti seorang penumpas, serta penggulingan kekuasan itu merupakan pengambilan hak mereka kembali menjadi khalifah.[6] Walaupun pada akhirnya janji mereka ini dilanggar sendiri.

Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri, disamping sebab diatas. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah.[7]

Silsilah keturunan Bani Hasyim yang melakukan gerakan menentang Muawiyah ini dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah, dia memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Kuffah, dengan beberapa pertimbangan:

a.       Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus.

b.      Kota Kuffah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia adalah tulang punggung Dinasti Bani Abbas dalam menggulingkan Umayyah.

c.       Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium, yang merupakan ancaman bagi pemerintahannya. Akan tetapi pada masa pemerintahan Khalifah al-mansur (754-775 M) dibangun kota Bagdad sebagai ibu kota Damaskus Bani Abbas yang baru.[8]

 

Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-847 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[9] Abdullah bin Ali, dan Abu Muslim al-Khurasani[10] adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya. Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kokoh. Bila ada gerakan-gerakan yang berseberangan harus segera ditindak sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilang pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.

Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:

1.      Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya;

2.      Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;

3.      Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan;

4.      Dasar kesamaan hubungan  dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;

5.      Pemerintah bersifat Muslim moderat, ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;

6.      Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[11]

 

2. Faktor Pendukung Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:

1)      Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abi Thalib;

2)      Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, kebijakan-kebijakan yang kurang adil;

3)      Timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;

4)      Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Alquran dan oleh golongan Khawarij, orang-orang Islam non Arab;

5)      Adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam;[12]

6)      Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala.[13]

 

Disamping faktor diatas, masih ada faktor lain, yaitu:

 

1) Faktor Geografis, Khurasan merupakan tempat gerakan oposisi itu lahir, karena daerah ini secara geografis jauh dari pusat kota Daulah Bani Umayyah, yaitu Damaskus. Sedangkan gerakan oposisi ini terletak di kota Humaimah, yang letaknya dekat dengan kota Damaskus, sehingga apa yang terjadi di Damaskus dapat dimonitori oleh gerakan oposisi.

2) Faktor etnis, kecenderungan Bani Umayyah terlalu memberi fasilitas dan meninggikan penduduk yang berasal dari keturunan Arab dan menomorduakan kaum Mawali.[14]

3. Persamaan dan Perbedaan Dinasti Abbasiyah dan Umayyah

Bentuk kerajaan yang dipilih Bani Abbas sama seperti Bani Umayyah, bedanya Bani Umayyah memilih bentuk kerajaan Kaisar Konstantinopel, sedangkan Bani Abbas memilih bentuk Kekaisaran Persia.[15] Dalam pelaksanaannya pemerintahan Bani Abbas bersifat temporal pawer sekaligus spiritual pawer, sedangkan pemerintahan dinasti umayyah hanya bersifat temporal pawer saja, sedangkan urusan agama diserahkan kepada ulama/qadhi. Sedangkan konsep Bani Abbas, pada hakikatnya, bertumpu pada atas pengakuan adanya hak kekuasaan suatu keluarga tertentu dalam berhadapan dengan suatu keluarga lainnya.[16] Memanfaatkan perselisihan Arab dan non Arab adalah keahliannya, bahkan tak jarang politik  devide et empere digunakan untuk menghancurkan yang mereka anggap musuh. Bahkan untuk melanggengkan “tahtanya” Abu Ja’far Al-Mansur menyatakan bahwa kekhalifahan Bani Abbasiyah adalah amanat (jabatan suci) dari sang pencita, yang perlu dijaga (diwariskan kepada keturunan) bukan untuk diserahkan kepada umat pemilihannya. Dalam social kemasyarakatan Bnai Abbas merangkul orang mawali, ini tidak pernah terjadi sebelumnya pada zaman Bani umayyah.

 

4. Khalifah Bani Abbasiyah Periode Pertama 132 H-232 H/ 750-847 M

Menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi dan Bani Seljuk.[17] Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan masa Bani Abbas menjadi lima periode:

1)      Periode pertama (132 H/750 M-231 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

2)      Peride kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki Pertama

3)      Periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4)      Periode keempat (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut dengan masa pengaruh Turki kedua.

5)      Periode kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif disekitar kota Bagdad. [18] 

Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:

1)      Abu Abbas as-Saffah        132-137 H/ 750-754 M

2)      Abu Ja’far al-Mansur        137-159 H/ 754-775 M

3)      Al-Mahdi                          159-169 H/ 775-785 M

4)      Al-Hadi                             169-170 H/ 785-786 M

5)      Harun ar–Rasyid               170-194 H/ 786-809 M

6)      Al-Amin                            194-198 H/ 809-813 M

7)      Al-Ma’mun                       198-218 H/ 813-833 M

8)      Al-Mu’tasim                      218-228 H/ 833-842 M

9)      Al-Wasiq                           228-232 H/ 842-847 M[19]

Berikut ini secara singkat penulis uraikan masa pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama:

1)      Abu Abbas as-Saffah (132-137 H/ 750-754 M)

Pada masanya terjadi revolusi sosial atas keluarga bani Umayyah dan Ibu kota Hasimiyah dibangun di sebelah kota Anbar di pinggir sungai efrat.[20]

 

2)      Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H/ 754-775 M)

Beliau diberi gelah al-mansur karena beliau banyak memperoleh kemenangan dari pertempuran yang diikutinya. Pada masa beliau Abu Muslim Al-Khurasi dibunuh atas perintahnya, ibu kota Bagdad dibangun dengan mengambil lokasi di daerah pinggir belahan timur Sungai Tigris, agak sebelah utara Madain dan Daulah Bani Umayyah kedua berdiri di Andalusia, merdeka dari kekuasaan Daulah Abbasiyah.[21] Beliau juga peletak dasar-dasar pemerintahan selanjutnya.

 

3)      Al-Mahdi (159-169 H/ 775-785 M)

Gaya kepemimpinannya sangat berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, al-Mahdi hidup mewah, dan suka mabuk-mabukkan. Pada masa ini Empress Irene penguasa Byzantium pada tahun 782 memohon perdamaian kepada Al-Mahdi dan bersedia membayar upeti sebesar 70.000 ringgit. Peristiwa ini terjadi ketika Irene melihat ibu kota Konstatinopel telah terancam dengan pengepungan tentara dan armada Abbasiyah. Pada saat itu panglima perang Daulah Abbasiyah adalah Harun al-Rasyid.[22]

 

4)      Al-Hadi (169-170 H/ 785-786 M)

Nama lengkap beliau adalah Musa bin Muhammad al-Mahdi, ia memerintah hanya setahun tiga bulan lamanya.[23]

 

5)      Harun ar–Rasyid   (170-194 H/ 786-809 M)

Nama lengkapnya adalah Harun bin Muhammad al-Mahdi, beliau diberi gelar ar-Rasyid karena kecendikiawanannya dalam melakukan perundingan, seperti yang terjadi pada kasus ayahnya dengan Irene.[24]

 

6)      Al-Amin (194-198 H/ 809-813 M)

Al-Amin adalah Muhammad putra Harun ar Rasyid dari istrinya dari keturunan Bani Hasyim. Amin memecat saudaranya, Al-Ma’mun sebagai putra mahkota atas desakan orang-orang dekatnya. Oleh sebab itu, terjadilah perang saudara yang berakhir dengan kemenangan di pihak al-Ma’mun.[25]

 

7)      Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M)

Al-Ma’mun adalah Abdullah putera ar-Rasyid dari isterinya keturunan Persia. Beliau sebagai khalifah berkedudukan di Merv, ibu kota Khurasan, sejak kecil berdomisili di sana. Pada masa ini mazhab Negara adalah mu’tazilah, dan perjadi peristiwa mihnah, sampai masa al-Mu’tashim dan al-Wasiq. Pada masa beliau dianggap sebagian sejarawan sebagai masa peradaban Islam yang gemilang.[26]

 

8)      Al-Mu’tasim (218-228 H/ 833-842 M)

Al-Mu’tasim adalah Muhammad bin Harun ar-Rasyid. Ketika al-Ma’mun hendak wafat ia berwasiat kepadanya dalam dua hal:

-          Melanjutkan al-Mihnah

-          Bersikap lunak kepada kelompok alawiyah

Wasiat ini dilaksanakan dengan baik, pada masanya didirikan kota Samarra dan beliau menggantikan peran orang-orang Persia dengan orang-orang Turki, terutama ketentaraan, sebab ibunya berasal dari keturunan Turki. Sejak itu orang-orang Turki mulai berpengaruh dalam kekuasaan Daulah Abbasiyah.[27] 

9)      Al-Wasiq (228-232 H/ 842-847 M)

Pada masanya terjadi peritiwa besar, yaitu perpindahan secara besar-besaran penduduk jazirah Arab bagian selatan ke pesisir Afrika bagian Timur. Disana mereka membuka Bandar-bandar baru sebagai pusat perdagangan.[28] 

5. Kebijakan-Kebijakan Daulah Bani Abbasiyah Periode Pertama 132-232 H/  750- 847 M

 

a.      Bidang Politik dan Pemerintahan

Pada masa awal berdirinya pemerintahan Daulah Abbasiyah terdapat beberapa kebijakan dalam bidang politik dan pemerintahan:

a)      Mengejar dan membunuh pengikut dan keturunan Bani Umayyah.  Abbas memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga khalifah. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu, sampai ia menyebut dirinya sang pengalir darah (as-Saffah). Dalam peristiwa itu salah seorang pewaris tahta kekhalifahan Umayyah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol.[29]

b)      Menyingkirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkaran Bani Abbasiyah, seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim Al-Khurasani. Tujuannya untuk menghilangkan pendewaan kalangan prajurit terhadap panglimanya, karena dikhawatirkan dapat merongrong wibawa khalifah.

c)      Membasmi Pemberontakan

Pada masa Al-Mahdi terjadi pemberontakan di Syria tahun 161 H. Para perusuh dapat dikalahkan dan diampuni. Di Mesopotamia timbul pula pemberontakan yang dipimpin oleh al-Yasykuri yang berusaha merusak beberapa wilayah, namun dapat ditumpas oleh al-Mahdi dan pemimpinnya terbunuh.

d)     Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Bagdad. Selain daerahnya banyak pendukungnya, juga untuk menghilangkan pengaruh Bani Umayyah di dalam hati masyarakat. Dengan ibu kota baru akan lahirlah semangat baru dan ide–ide baru serta menghapus kenangan lama dari pemerintahan sebelumnya.

e)      Menghapus politik kasta.[30] Salah satu propaganda Bani Abbasiyah adalah menyuarakan persamaan antara orang Arab dan non Arab. Dengan demikian orang non Arab memberikan dukungan kepada Bani Abbasiyah.

f)      Merangkul orang-orang Persia, ini dalam rangka politik memperkuat diri.[31] Hal ini tindak lanjut dari kebijakan penghapusan kasta dalam kehidupan masyarakat.

Selain kebijakan-kebijakan di atas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politiknya adalah:

a)      Para khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali.

b)      Kota Bagdad ditetapkan sebagai ibu kota Negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi dan kebudayaan;

c)      Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.[32]

d)      Memperluas wilayah

Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Upaya melakukan perluasan daerah Bani Abbasiyah bisa langsung ke bentengnya di Asia, seperti kota Malatia, wilayah Coppadacio, dan Sicilia pada tahun 775-785. Ke utara bala tentaranya melintasi Pegunungan Taurus dan mendekati Selat Bosporus, dan berdamai dengan Kaisar Constantine V. Bala tentaranya juga berhadapan dengan bala tentara Turki Khazar di Kaukasus, Daylarni di Laut Kaspia, Turki di bagian  lain Oskus, serta India.[33]

 

b.    Bidang Ekonomi dan Perdagangan

Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi. Daerah-daerah pertanian diseluruh wilayah Negara, bendungan-bendungan dan kanal-kanal digali sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrah menjadi pelabuhan yang penting.[34] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[35]

Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.

Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan  kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Effrat menjadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur.[36] Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemashlahatan Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para penguasa pemerintah, gaji pegawai Baitul Mall, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[37] Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para ulama dan sastrawan.

c.     Bidang Sosial

Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan kasta, yang membedakan antara Arab dan non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan. Karena periode awal Abbasiyah ini dikenal dengan periode pengaruh Persia pertama.[38] Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali, terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu.

d.    Bidang Pendidikan / Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu naqliah dan ilmu aqliyah.[39] Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:

1.      Ilmu Tafsir

Pada masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat Alqur’an dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash. Di antara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H)[40]. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini tidak terlepas dari pengaruh kedua aliran ini.

 

2.      Ilmu Hadits

Pada masa ini muncul ulama-ulama hadits  yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256H). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[41]

3.      Ilmu Fiqh

Pada masa ini lahir fuqaha ternama yang kita kenal, seperti Imam Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu  Hambal (780-855M).[42]

4.      Ilmu Kalam

Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat muslim Arab dengan bangsa–bangsa yang telah tinggi peradabannya, seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan  Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131H), Abu Huzhail (135-235 H) dan al-Nazham (185-221 H).[43]

Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.[44]  Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya.

Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains). Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh  Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi  ia adalah astronom Muslim  pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengkur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa al-Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi[45]

2.      Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang  buku Firdaus al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[46]

3.      Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[47]

4.      Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).

Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[48]

5.      Filsafat[49]

Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan filsafat, terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi (796 -873 M).

e.       Pemahaman Agama

Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mu’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[50] 

 

f.        Kesenian

Di antara khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[51]

Khalifah–khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Kemenangan demi kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun, mempermudah mewujudkan kemakmur Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara menikmati kemewahan dengan gaya hidup istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[52] Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan penguasa melupakan memperkuat sistem meliternya.

6. Faktor–Faktor Pendukung Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa Daulah Bani Abbasiyah didukung oleh hal berikut:

1)      Perhatian pemerintah yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

2)      Strategi kebudayaan rasional (kebebasan berfikir) dikalangan umat Islam

3)      Kemakmuran dan ekonomi yang baik

4)      Stabilitas politik

5)      Motivasi ajaran agama Islam

6)      Pandangan yang tepat terhadap ilmu pengetahuan[53]

 

C. Penutup

Dari kajian pemhasan diatas dapat disimpulkan. Pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah periode pertama telah berhasil mempelopori kemajuan peradaban manusia dewasa ini. Dengan lembaga Darul Hikmahnya, banyak buku-buku dari Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Hal ini memulainya masuknya pengaruh filsafat Yunani, sehingga berkembanglah ilmu filsafat di dunia Islam. Seiring dengan perkembangan filsafat, lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya.

Kedua, khalifah Abu Ja’far al-Manshur adalah Pembina dan pengokoh sendi-sendi kekuasaan Bani Abbasiyah. Sementara Harun al-Rasyid dan al-Makmun terkenal sebagai khalifah yang menghiasi kekuasaan Bani Abbasiyah dengan berbagai kemakmuran dan kesejahteraan.

Ketiga, sebagai pelanjut kepemimpinan umat Islam sesudah era Bani Umayyah, dengan maksud menyatukan umat, aliran Mu’tazilah ditetapkan sebagai aliran resmi negara. Hal ini dilakukan akibat bersentuhannya kebudayaan Umat Islam dewasa itu dengan kebudayaan bangsa-bangsa yang sudah maju zaman itu.

 Baca Juga; -----------------

👉

👉

DAFTAR KEPUSTAKAAN 

A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993 

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1998 

Amin, M. Masyhur, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesian Spirit Fondasion, 2004 

Bek, Al-Khudri, Muhadharat Tarukh al-Umam al-Islamiyat al-Daulat al-Abbasiyat, Cairo: Maktabat al-Tijariyat, 1953 

Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Intermasa, 1994 

Harun, Maidir, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam I, Padang: IAIN-IB Press, 2001 

_______, Sejarah Peradaban Islam Jilid II, Padang, IAIN IB Press, 2002 

Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, al-Juz al-Awal, Cairo: Maktabat al-Nahdah Mishriyat, 1979 

Madjid, Noercholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1989 

Al-Maududi, Abul A’la, Al-Khilafah wa Al-Mulk, Kuwait: Dar Alqalam, 1978M/1398H terjh. Muhammad Albaqir, Khilafah dan Kerajaan, Jakarta: Mizan, 1994 

Mufrodi, Ali,  Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997 

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 1985 

_______, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1985 

Naufal, A. Raziq, Umat Islam dan Sains Modern, Bandung: Husaini, 1978 

Salabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami al-Hadharah al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyah, 1979, Jilid 4 

Su’ud, Abu, Islamologi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003 

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993



 

 

 

 



[1]  Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), hal.4

[2] Peristiwa ini terjadi pada masa Khalifah Marwan bin Muhammad, penangkapan ini didasari oleh isi surat Ibrahim bin Muhamad kepada Abu Musa Al-Khurasani di Khurasan agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab keturunan Bani Umayah di Khurasan. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, al-Juz al-Awal, (Cairo: Maktabat al-Nahdah Mishriyat, 1979), hal. 11. Lihat juga Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam Jilid II, (Padang, IAIN IB Press, 2002), hal.2

[3]  Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), hal.88

[4]  Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 5

[5]  Ensiklopedi Islam, Opcit., hal.4

[6] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, (Kuwait: Dar Alqalam, 1978M/1398H), terjemahan Muhammad Albaqir, Khilafah dan Kerajaan, (Jakarta: Mizan, 1994), hal. 248

[7] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1994), hal. 4 lihat juga Al-Khudri Bek, Muhadharat Tarukh al-Umam al-Islamiyat al-Daulat al-Abbasiyat,(Cairo: Maktabat al-Tijariyat, 1953), hal. 9-10, lihat juga Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam Jilid II, (Padang, IAIN IB Press, 2002), hal.6

[8] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 8

[9] Ibid., hal.5

[10] Abdullah bin Ali, adalah panglima yang telah mengalahkan pasukan Marwan bin Muhammad, maka ia merasa berhak terhadap jabatan khalifah disamping itu beliau adalah saudara kandung dari Nabi Muhammad saw, hal ini didukung oleh Abu Muslim al-Khurasani.

[11] Ajid Thohir, Opcit., hal. 44

[12] Noercholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hal.12-13

[13] Ajid Thohir, Opcit., h. 45

[14] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 6-7

[15] Abul A’la Al-Maududi, Opcit., hal. 253 Menurut K. Ali dalam tatanan kenagaraan Bani Abbas memakai istilah wazir untuk mengendalikan wilayah yang luas. Wazir itu ada dua macam, 1) wazir tanfidz/kekuasaanya terbatas, 2) wazir tafwid/kekuasaanya menjadi tidak terbatas, jika khalifah lemah, system pemerintahan semacam ini berasal dari Persia.

[16] Ibid., hal. 254

[17] Ibid., hal. 73

[18] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut: Al-Maktab Al-Tijari, tt), hal. 360. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), hal. 49

[19] Ensiklopedi Islam, Opcit., hal. 5

[20] M. Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesian Spirit Fondasion, 2004), hal. 107

[21] Ibid

[22] Ibid

[23] Ibid

[24] Ibid, hal 108

[25] Ibid

[26] Ibid., hal 109

[27] Ibid., hal. 110

[28] Ibid

[29] Abdurrahman memasuki Spanyol pada tahun 138H/755M dan menjadi Amir pertama yang diberi gelat Al-Dakhil (yang masuk Spanyol). Waktu itu Spanyol berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam Bani Abbasiyah di Baghad, lihat Ahmad Salabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4 (Kairo: Maktabah Al-Nadhah Al-Mishriyah, 1979 M), hal. 41-50, lihat juga Abus Su’ud, Opcit., hal. 72

[30] Ajid Rosidi, Opcit., hal. 53

[31] Ibid

[32] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal.213

[33] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hal.75

[34] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1993), hal. 52

[35] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI- Press, 1985), hal. 68

[36]  Ajid, Rosidi., Opcit., hal. 55

[37] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal.17

[38] Badri Yatim., Opcit., hal.49

[39] Maidir Harun, Firdaus, Opcit. hal. 19

[40] Ibid., hal. 20

[41] Ibid., hal. 21

[42] Ajid Thohir, Opcit., hal. 51

[43] Maidir Harun, Firdaus, Opcit., hal. 22

[44] Ajid Thohir, Opcit., hal.50

[45] A. Hasymy, Opcit., hal. 212

[46] A. Raziq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, (Bandung: Husaini, 1978), hal. 47

[47] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), h.62

[48] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 44

[49] Faktor-faktor yang mendorong umat Islam menerima filsafat tersebut adalah: 1) didorong oleh ajaran Islam sendiri, agar kaum muslimin berusaha memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan, 2) metode-metode filsafat dapat menjelaskan dan memperkaya akidah dan dengan filsafat orang akan lebih sukses dalam berpolitik atau berapologi, 3) situasi dan kondisinya menghendaki demikian, karena untuk berdakwah dalam masyarakat filosof atau cerdik pandai orang harus menguasai filsafat. Lihat Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1998), hal. 11-12

[50] Maidir Harun, Firdaus, Loccit., hal. 22

[51] Abu Su’ud, Opcit., hal.78

[52] Ali Mufrodi, Opcit, hal. 94

[53] Maidir Harun, Firdaus, Loccit., hal. 36

0 Comment