19 Mei 2023

Sang llmuwan Indonesia Tulen

Terry Mart lahir di Palembang pada 3 Maret 1965, merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dengan dua kakak laki-laki dan tiga adik perempuan. Dari namanya, orang menduga Terry adalah bule atau peranakan, tetapi jika bertemu langsung dan melihat postur, wajah, penampilan, dan kulit; kita akan mengatakan tanpa ragu bahwa Terry adalah orang Indonesia asli. Tumbuh dari keluarga sederhana; sang ayah adalah guru SMAN, sementara sang ibu sebagai ibu rumah tangga. Meskipun demikian, ayah Terry sempat mengenyam pendidikan di Australia sehingga berpandangan cukup modern dan maju, suatu hal yang sangat langka saat itu. Pandangan maju sang ayah inilah yang diakuinya menjadi kunci keberhasilan Terry dan seluruh saudara kandungnya untuk berhasil mengenyam pendidikan tinggi.

Sesuai dengan lingkungan sekitarnya, pada masa kanak-kanak, Terry bercita-cita menjadi petani karena bercocok tanam sangat me nyenangkan dirinya. Menanam dan memelihara pohon dan bunga masih merupakan kegiatan yang dia lakukan hingga sekarang. Namun, cita-citanya berubah menjadi seorang pelukis, ketika di sekolah dasar dia diutus menjadi salah satu peserta lomba melukis. Ketika SMP, perhatiannya difokuskan pada elektronika, karena begitu takjub dengan peralatan elektronik yang dapat memperkeras suara ataupun digunakan untuk melakukan komunikasi.

Terry pun ingin menjadi insinyur elektronika. Setiap hari, sepulang sekolah, Terry meng-oprek-oprek radio dan TV bekas yang dibelinya di pasar loak, membuat interkom antarrumah, pemancar peralatan radio, serta membantu tetangga-tetangga dalam urusan elektronik dan listrik. Di kampungnya, Terry mulai terkenal dengan berbagai alat elektronik ciptaannya. Karena penjelasan elektronika terdapat di pelajaran fisika, Terry pun mulai menyukai fisika.

Kesukaannya seperti mendapat saluran ketika sang ayah ditunjuk menjadi kepala perpustakaan sekolah, sehingga Terry dapat bebas ber keliaran, membaca, dan meminjam buku-buku, mulai dari buku fiksi hingga rangkaian elektronika. Selain buku-buku elektronika, Terry juga sempat membaca habis buku cerita Karl May, Mark Twain, maupun bu ku-buku sastra dari penulis Indonesia terkenal, seperti Marah Rusli dan Hamka.

Pada tahun 1979, ketika Terry kelas 3 SMP, keluarganya hijrah ke Jakarta karena sang ayah dipindahtugaskan ke Jakarta. Kegiatan elektronikanya masih diteruskan hingga SMA. Cita-citanya pun tidak berubah. Nah, di samping itu, pelajaran matematika dan fisika mulai menarik perhatiannya. Karena kacamata sangat menakutkan di kalangan teman temannya, Terry semakin tertantang dan bersemangat untuk me naklukkan kacamata dan menjadi kebanggaan jika dapat menyelesaikan kacamata soal-soal dan matematika. Guru-gurunya pun mulai menaruh perhatian khusus kepada Terry. Salah seorang guru matematikanya me nyediakan waktu antara pukul 6 hingga 7 pagi untuk menjawab perta nyaan matematikanya.

Pada semester akhir SMA, Terry menerima surat pemberitahuan yang ditandatangani Prof. Andi Hakim Nasution (Rektor IPB saat itu) bahwa dia diterima di Jurusan Fisika FMIPA Universitas Indonesia (UI) melalui jalur tanpa tes pada tahun 1983. Terry pun menjadi bimbang. Fisika memang disenanginya, tapi menjadi insinyur elektro tentu akan sangat membanggakan. Untunglah sang ayah sangat bijak dan menyarankan untuk menerima tawaran tersebut dan menjalani kuliah di jurusan fisika selama satu tahun. Setelah itu, baru memutuskan untuk lanjut atau tidak. Terry pun menerima saran sang ayah dan jadilah Terry mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UI pada tahun 1983.

Satu semester ternyata cukup untuk membuat Terry jatuh cinta pada fisik. Cita-citanya untuk menjadi insinyur elektro terkubur oleh keindahan formulasi kacamata yang menggambarkan gerak benda secara elegan, terstruktur, dan "we//found". Di awal kuliahnya, Terry mulai melihat seberapa penting dan indahnya matematika dalam fisika, dan yang membuatnya takjub adalah betapa pandainya para fisikawan untuk memanfaatkan pengetahuan matematika untuk menjelaskan fenomena alam. Terry masih ingat bahwa mayoritas teman kuliahnya saat itu memilih peminatan geofisika dan instrumentasi (elektronika) fisik. Namun, Terry tak bergeming dari fisik murni meski instrumentasi fisik dapat mengalirkan hobinya sebelumnya. Meski sangat menyukai kuliah kuliah kacamata, Terry mengaku belum mengerti apa itu dan apa gunanya riset kacamata. Ketika kuliah selesai dan memasuki tahap skripsi, Terry mulai sesi dengan kacamata partikel elementer di bawah bim bingan mendiang Prof. Darmadi Kusno. Terry kembali terpukau dengan formulasi fisika, khususnya formulasi kovarian yang didasarkan pada me kanika relativistik dan mekanika pengerjaan, yang diperlukan pada pe nelitian tersebut. Tugas Terry saat itu adalah menghitung formulasi reaksi fotoproduksi kaon serta membuat program Fortran untuk membandingkan hasil numeriknya dengan eksperimen data. Terry pun sangat menikmati pekerjaannya. Tugas Terry saat itu adalah menghitung formulasi reaksi fotoproduksi kaon serta membuat program Fortran untuk membandingkan hasil numeriknya dengan eksperimen data. Terry pun sangat menikmati pekerjaannya. Tugas Terry saat itu adalah menghitung formulasi reaksi fotoproduksi kaon serta membuat program Fortran untuk membandingkan hasil numeriknya dengan eksperimen data. Terry pun sangat menikmati pekerjaannya.

Pada tahun 1988, Terry lulus dari Jurusan Fisika UI dengan predikat cumlaude dan untuk pertama kalinya menyaksikan Simposium Fisika Nasional di Yogyakarta. lnilah kesempatan sesi sesi dengan para pakar fisika partikel dan nuklir Indonesia saat itu, seperti Prof. Muslim (aim.), Prof. Pantur Silaban, Dr. Hans Wospakrik (aim.). Terry pun melihat suasana yang menarik dan menyenangkan, diskusi dan pembahasan keras yang terjadi antar-ahli. Diskusi untuk mencari kebenaran dari model yang dicoba, diajukan untuk menggambarkan proses atau fenomena alam elementer. Terry pun segera menyadari bahwa itulah dunianya.

Pada tahun 1990, Terry mengikuti ujian pegawai negeri untuk menjadi dosen di UI dan tahun berikutnya berangkat ke Jerman untuk meneruskan kuliah di bidang partikel-partikel nuklir. Terry diterima kuliah di Universitaet Mainz dengan syarat harus menempuh program diploma terlebih dahulu yang berarti berbagai kuliah dan praktikum harus dila luinya sebelum akhirnya masuk ke program doktor.

Berkenalan dengan budaya Barat membuat wawasannya bertam bah luas. Di Jerman dan negara-negara Barat lainnya, dia melihat betapapun seorang profesor tidak dihormati dari sisi penampilan atau jabatannya, tetapi lebih dari sisi prestasinya. Keadaan yang berbeda dengan keadaan di negerinya, baik dulu ketika dirinya mahasiswa maupun sekarang ke tika telah menjadi ilmuwan terkemuka. Para profesor dan pejabat suka sekali jaga image meski tanpa karya dan prestasi, sedangkan birokrasi membuat frustrasi.

Terry menyelesaikan kuliah diploma dalam satu tahun dan diperbolehkan untuk skripsi tidak membuat Diplomarbeit karena itu di Indonesia dianggap setara dengan Diplomarbeit. Dia menjalani program doktor di bawah bimbingan utama Prof. Dieter Drechsel yang merupakan pimpinan grup kacamata teori nuklir di Universitaet Mainz. Pembimbing keduanya adalah Prof. Cornelius Bennhold, orang Jerman yang juga sedang mendapat posisi profesor di The George Washington University, Washington DC, Amerika.

Prof Bennhold relatif masih muda, sekitar lima tahun lebih tua dari Terry, sehingga cukup progresif dan berani berspekulasi, dan sifat ini banyak mempengaruhi cara berpikir Terry. Suatu waktu, ketika menyajikan makalah dalam sebuah konferensi di Eropa, Terry dihu jani pertanyaan yang menurutnya tidak bermutu dan cenderung saya nyalakan hasil penelitiannya. Emosi Terry pun mulai naik, tetapi Prof. Bennhold menenangkannya sambil meminta Terry mendengarkan de ngan hati-hati komentar orang tersebut. Prof Bennhold selanjutnya menunjukkan bahwa komentar tersebut ternyata benar. Terry pun baru mengerti bagaimana harus bersifat terbuka terhadap kritik.

Selama masa studi S3, Terry juga dihadirkan kepada kolega kolega Prof. Bennhold dari mancanegara yang juga bergerak di bidang yang sama. Menurutnya, jika bukan seorang yang luar biasa jenius seperti Einstein, untuk tetap bertahan di bidang ini, kita harus membina hubungan baik dengan para fisikawan sebidang, karena merekalah yang akan menentukan nasib kita selama kita berkarier di bidang tersebut.

Selama melakukan program penelitian doktor, setiap musim panas Terry terbang dari dan ke Washington DC dan menghabiskan waktu beberapa bulan di sana untuk membicarakan hasil penelitiannya dengan Prof. Bennhold atau para eksperimentalis dari Jefferson Lab, Virginia. Obsesi Terry untuk menulis sebuah paper baru tercapai pada Maret 1995, ketika hasil temuannya diterbitkan pada Bagian Rapid Communication di Physical Review C. Hampir semalaman Terry tidak bisa tidur memandangi paper tersebut dengan rasa takjub dan paper

ini membantunya untuk mendapatkan feeling sebagai fisikawan sejati.

Pada Juli 1996, Terry Mart menyelesaikan ujian doktornya (Mundliche Prufung) dan lulus dari lnstitut fur Kernphysik, Universitaet Mainz, dengan predikat cum laude. Karena beasiswanya sudah habis sejak awal 1996, Terry bekerja sebagai asisten peneliti di institut ter sebut untuk membiayai kehidupannya. Akhir 1996, Terry pulang ke Indonesia. Namun, pada pertengahan tahun 1997, dia berangkat lagi ke Washington DC untuk melanjutkan riset postdoctoral. Sejak itu, dimu lailah petualangannya sebagai fisikawan nomaden, berpindah-pindah dari satu institusi ke institusi lain.

Pada tahun 1999, untuk pertama kalinya Terry berkolaborasi dengan Prof. Kazuya Miyagawa dari Okayama University of Science. Dari Washington DC, Terry terbang ke Okayama, sekitar 100 km ke arah utara dari Hiroshima, diterima oleh Prof. Miyagawa dan Prof. Walter Gloeckle dari Bochum, Jerman, yang kebetulan juga bertandang ke Okayama. Mereka membicarakan prospek penelitian produksi kaon pada deuteron. Miyagawa dan Gloeckle adalah ahli dalam sistem tubuh kecil dan telah melakukan banyak penelitian di bidang deuteron, triton, dan Helium-3. Sejak itu Terry sering bertandang ke Okayama. Sekitar sepuluh profesor di universitas tersebut berhasil mendapatkan dana penelitian kolektif yang cukup besar. Karena salah satu riset yang diajukan adalah produksi kaon pada deuteron, dan Terry tercatat resmi di Okayama sebagai kolaborator luar negeri yang diberi kesempatan dan dukungan untuk datang ke Okayama kapan pun dia mau. Hasil penelitian mereka ternyata menarik perhatian para peneliti eksperimen di Universitas Tohoku, jadilah mereka berkolaborasi dengan para peneliti di sana.

Terry Mart Jepang sangat mengesankan. Menurutnya, Jepang tidak berbeda dengan Jerman dan Amerika. Orang Jepang terlihat sangat serius dan perfeksionis dalam menangani segala sesuatu. Kerja keras orang Jepang merupakan satu hal yang patut diacungi jempol. Terry pun masih ingat ketika Prof. Miyagawa menunggu program Fortran yang dibuat Terry sampai pukul 9 malam. Prof Miyagawa berdiri sigap di belakang Terry sambil melihat dan mencari kesalahan kesalahan pada program tersebut.

Karena jumlah kolaborasi cukup banyak, baik eksperimen maupun teori, jumlah publikasi riset Terry pun menanjak tajam.

Pada tahun 2000, Terry menemukan pendamping hidupnya, Yulia Lestari, dan memutuskan untuk menikah serta menekuni profesi sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Fisika UI. Terry sempat berpikir untuk mengurangi aktivitas risetnya, mengingat kegiatan ini hampir bisa dipastikan tidak menghasilkan uang yang cukup untuk membeli sebuah rumah. Namun, pada tahun 2000, makalahnya yang muncul di Physical Review C mendapat perhatian khalayak kaca partikel partikel nuklir, karena Terry dan Prof. Bennhold mengklaim melihat sebuah partikel resonansi yang hilang dari catatan Particle Data Book.

Motivasi Terry pun kembali naik, tapi juga langsung menurun karena tidak berhasil mendapatkan dana riset dari pemerintah. Terry sangat kecewa karena proposal yang dia tolak dengan alasan tidak fokus dan sia-sia. Alasan yang membingungkan dan tidak mudah dimengerti Terry. Pada tahun yang sama, mantan pembimbing yang sekaligus satu-satunya kolega Terry di bidang fisika teori nuklir di UI saat itu, Prof. Darmadi Kusno, wafat. Tinggallah Terry sendirian di jurusan fisika, menangani seluruh kuliah fisika teori di progam S1 dan S2, serta berakhirnya beberapa mahasiswa bimbingan beliau. Saat itu, ada beberapa staf yang sudah berangkat studi ke Jerman, tetapi mereka belum bisa kembali karena belum selesai. Terry pun merasa mulai direpotkan oleh tugas-tugas non-penelitian dan membuatnya kecewa.

Pada pertengahan 2001, Terry berangkat kembali ke Washington DC tanpa mengajak istri karena alasan dana. Di Washington, dia kem bali menekuni riset selama tiga bu Ian. Saat di sana, Terry mendapat informasi dari staf UI bahwa dirinya dianugerahi Habibie Award untuk kontribusi di bidang ilmu dasar. Inilah yang kembali mendorongnya untuk lebih tekun dalam penelitian kacamata nuklir dan partikel. Sejak saat itu pula, Terry menerima banyak undangan kolaborasi riset dan konferensi dengan tiket pesawat dan penginapan yang disediakan pengundang. Kasus WTC yang menimpa Amerika pada tahun 2001 membuatnya sulit untuk bertandang ke sana. Terry pun mulai berkolaborasi riset di Asia dan Eropa, bahkan Afrika (Selatan).

Pada awal 2000-an, publikasi jurnal internasional Terry telah mencapai lebih dari 20. Menurut Terry, apa yang telah dia lakukan di bi dang riset kacamata nuklir dan partikel hanyalah standar rata-rata yang dikerjakan oleh seorang profesor di negara maju. Namun, mungkin untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia, pencapaian tersebut dianggap luar biasa. Meski demikian, Terry sudah menunjukkan bahwa penelitian yang selama ini tidak dianggap prospektif di Indonesia dapat dilakukan tanpa kendala berarti. Riset lain yang lebih prospektif tentulah lebih mudah untuk dilaksanakan, karena mendapat dukungan dana yang cukup dari pemerintah. Terry mencetak wawancara Prof. Tjia May On dari 1TB yang dimuat di harian Kompas pada awal tahun 2000-an.

Beliau mulanya adalah seorang fisikawan partikel teori, tetapi beralih ke bidang materi fisika karena melihat tidak ada prospek penelitian di teori fisika. "You must be ordinary," katanya, untuk tetap bertahan di medan ini. Tantangan Prof. Tjia semakin meneguhkan keyakinan Terry di bidang kacamata partikel-partikel nuklir.

Dalam pandangan Terry, hal yang paling mahal dalam riset dunia dan bidang kehidupan lain adalah ide atau kreativitas. Sayangnya, dalam hal ini bangsa kita tidak berkutik sama sekali. Terry sempat beberapa kali kecewa dan galau, dan terekspresi dalam beberapa tulisan atau artikel di media nasional Kompas. Salah satunya adalah artikel dengan judul "Sulitnya Penelitian Dasar di Indonesia", dan mendapat banyak perhatian serta menjadi polemik di kalangan fisikawan, salah satunya artikel tanggapan yang ditulis oleh Dr. Agus Purwanto dengan judul, "PSK, Siapa Peduli?".

Hingga tahun 2011 ini, Terry telah memublikasi sekitar 100 makalah di jurnal dan presiden internasional. Meskipun demikian, prestasi ini tidak serta merta membuatnya telah menyandang gelar tertinggi dunia akademik, guru besar atau profesor. Terry belum menjadi guru besar meski banyak mereka yang hanya publikasi satu-dua bahkan tidak punya satu pun publikasi di jurnal internasional telah menyandang gelar profesor. Terry yang telah dikarunia dua putri, Nadhifa Zahira Ramadhani Mart dan Adelita Aprilia Putri Mart, menerima keadaannya dan tidak lagi kecewa. la sadar bahwa dirinya berada di bidang hukum yang banyak mengalami pembusukan ilmiah. Untuk bertahan sebagai ilmuwan di tempat dan keadaan seperti ini, seseorang harus militan, demikian tulisnya di Kompas.

Menurutnya, banyak sekali yang harus dibenahi di negeri ini. Belajar dari filosofi gurunya, Prof. Bennhold, dia pun berusaha tetap optimis untuk sukses di masa depan. Beberapa kata kunci yang diterapkan dalam kehidupannya adalah kreativitas, kerja keras, dan efektivitas, serta hukum kekekalan energi. Hukum kekekalan energi berkata, "Tidak ada kesuksesan yang dapat dicapai dengan kemalasan!"

Terry telah menjadi peneliti tamu di Jepang, Jerman, Amerika, Korea, dan Afrika Selatan lebih dari 20 kali, dan mengundang konferensi internasional sekitar 40 kali. Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya, yaitu Habibie Award (2001), Leading Scientist (2008) dari Comstech (Komite Teknologi Organisasi Konferensi Islam), Anugerah Kekayaan lntelektual Luar Biasa (2009) dari Kemdiknas, Excellent Scientist (2009) dari ASEAN-EU Network, dan Ganesha Widya Jasa Adiutama (2009) dari 1TB. Terry juga menjadi anggota Majelis Penelitian, Dewan Pendidikan Tinggi, Dirjen Dikti, dan anggota tim ahli Badan Standar Nasional Pendidikan.

Ketika buku Hawking terbaru, The Grand Design, terbit pada 2010, publik sempat geger karena Hawking seolah menolak peran dan eksistensi Tuhan. Terry Mart punya pandangan menarik tentang fenomena seperti ini. Menurutnya, penyebab banyak ilmuwan menjadi ateis adalah mekanisme sains yang reduksionis dan mengharuskan penjelasan penciptaan alam semesta melalui proses-proses ilmiah yang dapat diterangkan dengan logika. Mekanisme di dalam sains. Namun, menurutnya, sains tidak dapat menolak keberadaan Tuhan. Banyak contohnya, sebut saja teori The Big Bang, teori penciptaan alam semesta yang dianut para kosmolog hingga saat ini. Meskipun teori ini dapat menjelaskan proses-proses penciptaan materi hingga menjadi galaksi, tetapi teori Dentuman Besar tidak dapat menjelaskan mengapa harus terjadi Dentuman Besar. 

Malangnya lagi, pada waktu penciptaan (t = O detik) terjadi singularitas, di mana kerapatan massa dan suhu bernilai tak terhingga. Sepengetahuannya, untuk urusan nilai tak terhingga, para matematikawan angkat tangan, dan konsekuensinya, para fisikawan ingin mengangkat kaki dari situ karena bahasa fisika adalah matematika. Jadi, dengan menggunakan pengetahuan tercanggih yang dimiliki oleh umat manusia saat ini, pencarian penyebab terciptanya Big Bang (sebelum O detik) pasti sia-sia. Lalu, bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. 

Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. di mana kerapatan massa dan suhu bernilai tak terhingga. Sepengetahuannya, untuk urusan nilai tak terhingga, para matematikawan angkat tangan, dan konsekuensinya, para fisikawan ingin mengangkat kaki dari situ karena bahasa fisika adalah matematika. Jadi, dengan menggunakan pengetahuan tercanggih yang dimiliki oleh umat manusia saat ini, pencarian penyebab terciptanya Big Bang (sebelum O detik) pasti sia-sia. Lalu, bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. di mana kerapatan massa dan suhu bernilai tak terhingga. Sepengetahuannya, untuk urusan nilai tak terhingga, para matematikawan angkat tangan, dan konsekuensinya, para fisikawan ingin mengangkat kaki dari situ karena bahasa fisika adalah matematika. 

Jadi, dengan menggunakan pengetahuan tercanggih yang dimiliki oleh umat manusia saat ini, pencarian penyebab terciptanya Big Bang (sebelum O detik) pasti sia-sia. Lalu, bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. para fisikawan wan akan mengangkat kaki dari situ karena bahasa fisika adalah matematika. Jadi, dengan menggunakan pengetahuan tercanggih yang dimiliki oleh umat manusia saat ini, pencarian penyebab terciptanya Big Bang (sebelum O detik) pasti sia-sia. Lalu, bagaimana solusinya? Solusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. para fisikawan wan akan mengangkat kaki dari situ karena bahasa fisika adalah matematika. Jadi, dengan menggunakan pengetahuan tercanggih yang dimiliki oleh umat manusia saat ini, pencarian penyebab terciptanya Big Bang (sebelum O detik) pasti sia-sia. 

Lalu, bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati. bagaimana solusinya? Selusi yang paling tepat untuk menjelaskan ini adalah Tuhan berbicara melalui hukum-hukum alam atau sunnatullah yang diciptakannya. Terlalu naif bagi-Nya untuk turun langsung mengurusi masalah ini. Tugas manusia adalah berusaha memahami firman-Nya melalui hukum-hukum alam yang teramati.

0 Comment