19 Mei 2023

Sang Utusan

Ahmed Hassan Zewail lahir pada 26 Februari 1946 di kota kecil Daman Hour yang berada sekitar 60 km dari Alexandria, Mesir. Zewail merupakan satu-satunya anak laki-laki dari empat bersaudara. Mungkin karena faktor tersebut Zewail menjadi tumpuan harapan dan cita-cita keluarga. Harapan dan impian keluarganya adalah Zewail mendapat gelar tinggi di luar negeri dan kembali menjadi guru besar di perguruan tinggi. Di pintu kamar belajarnya, ketika Zewail masih pelajar, terdapat tulisan, "Dr. Ahmed".

Selain orangtua, pamannya, Rizk, adalah orang yang istimewa di masa kecil Zewail. Dari pamannya, Zewail banyak belajar tentang analisis kritis, penghayatan musik, kearifan, dan belajar mandiri. Zewail sangat menyukai lagu-lagu dari penyanyi legendaris, Umi Kultsum, dan menjadi pengiring ketika ia belajar matematika, kimia, dan lainnya.

Zewail cenderung menyukai sains fisik, seperti matematika, mekanika, dan kimia, dibandingkan dengan ilmu-ilmu humaniora. saya merasa kurang tertarik dengan sains sosial karena saat itu pengajaran dan materi ilmu sosial banyak ditekankan pada menghafal nama-nama dan subjek. la lebih suka pertanyaan mengapa dan bagaimana. la sangat bersemangat jika menghadapi dan menyelesaikan soal-soal sulit di dalam mekanika. la selalu ingin memahami dan mereproduksi suatu fenomena. Zewail merancang peralatan kecil di kamar tidurnya, tabung gelas dengan pembakar gas untuk melihat bagaimana kayu ditransformasi menjadi bahan cair dan gas. Rancangan yang sangat dikenangnya, bukan hanya bagi minatnya atas sains, tetapi juga bagi bahaya atas kebakaran gudang.

Setelah lulus SMA, Zewail mendaftar di universitas melalui Biro Pusat (Maktab AI-Tansiq) dengan menentukan bidang dan universitas. Zewail diterima di Universitas Alexandria pada fakultas sains. Hasratnya yang dalam pada sains terungkap pada hari pertama ia datang ke kampus bersama pamannya. Zewail sangat terharu dan meneteskan air mata merasakan keagungan universitas dan kekhidmatan atmosfernya.

Nilai-nilai mata kuliah selama empat tahun juga mencerminkan hasrat istimewanya. Pada tahun pertama, ia mengambil empat mata kuliah: matematika, fisika, kimia, dan geologi, dan mendapat nilai sempurna. Demikian juga pada tahun kedua, ia mendapat nilai sangat tinggi dalam bidang kimia dan dipilih sebagai kelompok tujuh mahasiswa istimewa yang disebut kimia khusus, suatu kelompok sains elit. Zewail lulus dengan penghargaan tertinggi "Distinction with First Class Honor" dan mendapat beasiswa.

Setelah lulus tahap sarjana muda, Zewail ditawari posisi di universitas sita sebagai demonstran untuk menangani dan melanjutkan penelitian sampai gelar master dan Ph.D., dan mengajar tahap sarjana di Alexan dria University. Dalam mengajar, Zewail cukup berhasil membantu para mahasiswa setelah profesor memberikan kuliah. Dengan pengalaman ini, ia menemukan ketertarikan dan kesenangan dalam menjelaskan sains dan fenomena alamiah dengan cara yang paling sederhana dan jelas. Pada usia 21 tahun, sebagai asisten, ia percaya bahwa dibalik setiap fe nomena universal pasti terdapat keindahan dan kesederhanaan dalam penggambarannya. Keyakinan yang dipercayainya sampai saat ini.

Untuk tahap riset masternya, Zewail menggunakan peralatan spektroskopi dan dia sangat senang dapat mengembangkan dan saya mahami bagaimana serta mengapa spektrum molekul-molekul terten tu berbahaya jika diberi larutan. Meskipun topiknya lama, peralatan yang ada di laboratoriumnya tergolong modern dan baru. Zewail belajar di bawah bimbingan Profesor Rafaat Issa dan Profesor Samir EI-Ezaby serta ketua bidang inorganik, Profesor Tahany Salem. Setelah lulus master, sebenarnya Zewail ingin langsung melanjutkan program Ph.D. di tempat yang sama, tetapi Profesor EI-Ezaby dan salah seorang dosennya, Dr. Yehia EI-Thanthawy, yang merupakan alumni University of Pennsylvania, menyarankannya untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Zewail merasa berat karena belum punya kontak dengan luar negeri. Selain itu, di 1967, Mesir baru selesai dari peperangan. Nah, Zewail akhirnya mengirim lamaran ke beberapa universitas di Amerika. Beberapa universitas termasuk University of Pennsylvania menawarkan beasiswa kepadanya dan Zewail memutuskan untuk pergi ke Pennsylvania.

Zewail sangat terkesan pada kedatangan pertama kalinya di Amerika. la merasa bagai terdampar di lautan luas, lautan yang penuh dengan pengetahuan, budaya, dan kesempatan, dan pilihannya pun jelas, yaitu berenang mengarungi atau tenggelam. Kulturnya asing dan bahasanya sulit. dia tidak dapat berbicara dan menulis dalam bahasa lnggris dengan lancar dan tidak tahu banyak tentang kultur Barat secara umum atau kultur Amerika secara khusus, tetapi harapan Zewail sangat tinggi.

Meskipun begitu, kehadiran Zewail sebagai orang asing di laboratoriumnya telah menimbulkan suasana baru. Atmosfer yang kondusif dan menantang membuat Zewail sangat antusias belajar dan meneliti di Laboratorium Research on the Structure of Matter. Perkuliahan juga sangat menyenangkan. Zewail mengambil beberapa mata kuliah fisika dari penerima Nobel, Bob Schrieffer, dan harus belajar serta bekerja keras siang dan malam. Dia juga harus mengerjakan beberapa tugas pada waktu yang bersamaan, seperti efek Stark dari molekul sederhana, efek Zeeman dari NO2 dan benzena, deteksi optis dari re sonansi magnetik, teknik resonansi ganda, dan lainnya.

Pada tahun 1973, Zewail menyelesaikan tahap Ph.D. dan saat itu pula perang pecah di Timur Tengah. Sejak awal Zewail ingin pulang ke negerinya dan menjadi guru besar di perguruan tinggi, tetapi dia menyadari bahwa ketika kembali, keadaan akan berbeda sama sekali. Atmosfer ilmiah di negerinya sangat tidak mendukung untuk eksplorasi

gagasan-gagasannya. Zewail pun mempertimbangkan untuk tinggal sedikit lebih lama di Amerika dengan dua alasan. Pertama, perluasan riset dengan bekerja di tempat berbeda. Kedua, dia perlu memperhitungkan pendapatan sehingga dapat membeli mobil Amerika yang besar sehingga penampilannya sebagai profesor baru di Universitas Alexandria akan sangat mengesankan. Zewail pun melamar posisi post doctoral di 5 tempat, yakni 3 di Amerika, 1 di Jerman, dan 1 di Belanda, yang semuanya dengan profesor yang terkenal. Kelimanya menerima lamarannya dan Zewail putuskan untuk ke Berkeley.

Awal 1974, Zewail pindah ke Berkeley dan untuk kedua kalinya ia mengalami gegar budaya (shockculture). Secara budaya, kepindahannya dari Philadelphia ke Berkeley mempunyai banyak kenyamanan dengan kepindahannya dari Alexandria ke Philadelphia. Berkeley adalah dunia baru! Untuk pertama kalinya, Zewail melihat TheTelegraph Avenue yang memberikannya sudah cukup sebagai indikasi perbedaan dari Philadelphia. Zewail juga bertemu dengan mahasiswa ketegangan yang bahasa

dan perilakunya tidak pernah dia lihat sebelumnya, baik di Alexandria maupun di Philadelphia. Namun, semua tantangan ini Zewail hadapi dengan mudah dengan pengalaman kultur dan ilmiahnya ketika di University of Pennsylvania.

Berkeley adalah tempat yang besar bagi sains, The BIG Science. Dilaboratorium, misinya adalah memanfaatkan kemampuannya selama bekerja untuk Ph.D.-nya dalam spektroskopi bagi molekul dimer dan mengukur koherensinya dengan peralatan baru yang ada di Berkeley. Zewail segera menulis dua makalah dengan Profesor Charles Harris, satu teoretis dan satu eksperimental. Publikasi ini segera diikuti oleh pekerjaan lain, yaitu perluasan konsep koherensi pada sistem multidimensional dan dipublikasi secara mandiri. Zewail bekerja dan publikasi lebih lanjut, termasuk dengan mahasiswa pasca.

Profesor Harris merasa bahwa Zewail akan mendapat posisi di salah satu universitas top Amerika. Dia pun menawarkan IBM Fellowship ke Zewail. Tentu, Zewail senang dengan hal ini, tetapi dia juga saya ngontak negerinya, Mesir, tentang kemungkinannya untuk pulang, juga mempertimbangkan Universitas Amerika di Beirut. Ketika semua sedang berlangsung, Profesor Harris memutuskan untuk membuat laser picosecond. Zewail terlibat dalam riset yang sulit dan tidak menguntungkan ini dan dia pun belajar banyak tentang prinsip-prinsip dan aspek laser fisika.

Dalam rentang waktu itu, banyak universitas teratas mengumumkan posisi baru dan Profesor Harris menyarankan Zewail untuk mendaftar. Zewail pun mendaftar dan mengunjungi banyak tempat untuk wawan cara. Dia ditawari Asisten Profesor oleh banyak universitas, masuk Harvard, Caltech, Chicago, Rice, dan Northwestern.

Zewail akhirnya masuk Caltech pada 1976, institusi prestisius tempat si jenius kocak dan pemenang kacamata Nobel, Richard Phillips Feynman, berada. Zewail bagai masuk keluarga baru, keluarga besar sains yang anggotanya berasal dari berbagai belahan Bumi dengan aneka latar belakang budaya, bahasa, dan kemampuan. Lingkungan sangat menggairahkan dengan banyak tantangan dan penuh timisme. Selama bertahun-tahun, kelompok penelitiannya memiliki hampir 150 mahasiswa pasca, pascadoktoral, dan rekan tamu yang kemudian menjadi akademisi andal dan menempati posisi kunci di pemerintahan maupun industri.

Maret 1989, Zewail menghadiri penyerahan King Faisal International Prize di Arab Saudi. Di sana ia bertemu Dema yang sedang menemani ayahnya menerima penghargaan yang sama, tetapi untuk bidang sastra. Keduanya bertunangan pada buIan Juli dan menikah pada September di tahun yang sama, 1989. Dema memperoleh Diploma Medis dari Universitas Damaskus dan Master Kesehatan Masyarakat dari University of California Los Angeles (UCLA). Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai empat anak; mahasiswi Ph.D. di University of Texas Austin, Amani mahasiswi di Berkeley, dan dua anak laki-laki yang masih kecil, Nabeel dan Hani.

Zewail mendapat anugerah hadiah Nobel bidang kimia pada tahun 1999, dan menjadi ilmuwan Muslim kedua setelah Abdus Salam dari Pakistan dan orang Mesir ketiga yang mendapat penghargaan tertinggi ini setelah Anwar Sadat (1978) untuk perdamaian dan Naquib Mahfouz (1988) dalam bidang sastra. Zewail memelopori riset femtokimia, reaksi yang berlangsung dalam femtodetik menggunakan teknik laser ultracepat, teknik yang memungkinkan mendeskripsikan reaksi dalam skala waktu sangat singkat, cukup singkat untuk menganalisis keadaan transisi di dalam reaksi kimia.

Pada saat berpidato di Universitas Kairo, 4 Juni 2009, Presiden AS, Barack Obama, mengumumkan program baru Duta llmu sebagai bagian dari babak baru hubungan antara Amerika Serikat dan Muslim di seluruh dunia. Pada Januari 2010, Ahmed Zewail bersama Elias 

Zerhouni dan Bruce Alberts ditunjuk sebagai Duta llmu AS pertama untuk Dunia Islam dan akan mengunjungi negara-negara mayoritas Muslim dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara.

Sebagai orang yang terkenal, Zewail pun tidak steril dari rumor, termasuk masalah politik. Suatu ketika, dia ditanya tentang kemung kinan dirinya mencalonkan diri dalam Pemilu Presidensial 2011, dia pun menjawab, "Saya ini orang yang jujur ​​dan suka berterus terang, saya tidak punya ambisi politik, sebagaimana telah saya tegaskan berulang ulang bahwa saya hanya akan mengabdi pada Mesir melalui bidang sains dan mati sebagai ilmuwan."

0 Comment