Ada
dua permasalahan dalam pembahasan ini, pertama mengenai pengertian dakwah
kemudian yang kedua pengertian ilmu dakwah, yang pertama merupakan pengertian
kata dakwah dalam literatur keislaman dan lebih menuju pada pengertian istilah
dakwah itu digunakan, yang kedua menuju pada pengertian dakwah sebagai ilmu.
A.
Pengertian dan Tujuan Dakwah:
Di
dunia Islam sendiri belum ada kesepakatan penggunaan kata dakwah ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Misalnya ada yang terjemahan call
to Allah, ketika menerjemahkan الدعوة
إلى الله[1]. Bahkan ada yang tidak menerjemahkannya sama sekali.[2] Ada juga yang menggunakan
kata propagation[3]
padahal kata propagation dalam komunikasi modern berkonotasi negatif
(mungkin karena pengaruh penggunaan oleh Hitler serta dalam istilah politik)
dan cenderung menghalalkan segala cara.
Perbedaan
propaganda dengan dakwah terletak pada hasil dari propaganda lebih mendahulukan
kepentingan (keuntungan) bagi pelakunya tanpa mempedulikan sasaran apakah
beruntung atau tidak. Dalam istilah propaganda Roger Brown (1958)[4] sasaran cenderung menjadi
korban. Laswell (1937) mendefinisikan propaganda sebagai teknik memengaruhi
tindakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi
bisa berbentuk lisan, tulisan, gambar atau musik.[5]
Jadi kata propaganda memiliki medan makna negatif dan kurang mewakili
makna dakwah sebagai konsep yang dipahami kaum muslimin. Pada literatur klasik
istilah dakwah sering dimasukkan dalam bab Tarhîb min Masâwi’ al-Akhlâq
dan Targîb Fî Makârim al-Akhlâq, seperti Ibn Hajar al-‘Asqalâni dalam Bulûgh
al-Marâm, Abi Zakariya Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwi, dalam Riyâdu al-Shâlihîn,
banyak dimuat dalam kitâb al-Umûr al-Manhiy ‘Anha. lebih dikenal dengan
aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar. Ada juga para ulama seperti Abubakar Ahmad
Ibn Muhammad Hârûn al-Khilâliyy (311 H), yang menulis risalah khusus tentang al-‘Amru
bil Ma’ruf wa al-Nahyi a’nil-mukar, dalam risalah tersebut al-Khilâliyy membahas apa-apa saja
yang termasuk amar ma’ruf dan nahi munkar serta apa yang harus dilakukan
seseorang ketika melihat kemungkaran di hadapannya. Selain itu Ibnu Taimia (728
H) menulis risalahnya tentang al-Amru
bil Ma’ruf wa al-Nahyi anil-mukar. Risalah singkat tersebut berisikan
pengertian ma’ruf dan munkar serta tehnik dan metode amar ma’ruf dan nahyi
munkar yang kita kenal sekarang dengan dakwah.
Dalam
buku-buku keislaman seperti sejarah islam dan pembahasan lainnya kata dakwah
sering dipakai untuk menyebut aktifitas Rasul SAW dalam menyampaikan risalah
kenabiannya. Ungkapan seperti al-da‘wah al-muhammadiyah, al-da‘wah
al-islamiyah, da’watu sirra,n da’watu jahran sering dijumpai
dalam berbagai literatur bahasa arab.
Dari
sudut bahasa kata dakwah berasal dari bahasa Arab دٙعٙا yang berarti طٙلب
menyeru, meminta, menuntun,
menggiring atau memanggil, mengajak orang lain supaya mengikuti, bergabung,
memahami untuk memiliki suatu tindakan
dan tujuan yang sama yang diharapkan
oleh penyerunya[6].
Sedangkan
dari sudut istilah, ada beberapa pengertian diantaranya, dakwah (الدعوة
إلى الله) dimaksudkan seruan untuk beriman kepada
Allah, beriman kepada apa-apa yang dibawa oleh para rasul-Nya, menyeru untuk
mempercayai apa yang diberitakan oleh para rasul serta mentaati apa-apa yang
diperintahkan mereka, hal itu mencakup seruan untuk mengucapkan dua kalimah
syahadat, melaksanakan shalat, zakat,
puasa bulan romadlan dan haji. Serta termasuk seruan untuk beriman kepada
Allah, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman
kepada hari kebangkitan, qadla dan qadar, serta seruan agar hamba meyembah
Tuhannya seakan dia melihat-Nya.[7] Dengan singkat seperti
yang diungkap oleh Abdul Karim Zaidan; yang dimaksud dakwah adalah menyeru
kepada Allah, dan maksudnya adalah menyeru kepada agama Allah yakni agama
Islam.[8]
Menurut
Muhammad al-Râwi;
dakwah adalah pedoman yang lengkap tentang prilaku manusia serta ketentuan hak
dan kewajiban. Muhammad al-Khadlar Husain; menyeru manusia kepada kebaikan dan
hidayah serta amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mencapai kepada kehidupan yang
bahagia dunia dan akhirat. Adam ‘Abdullah al-Alwariyy; memalingkan pandangan
dan pola pikir manusia pada akidah yang bermanfaat bagi mereka serta pada
kemaslahatan, juga berarti upaya penyelamatan manusia dari kesesatan dan
kemaksiatan yang merong-rongnya.[9] Menurut Muhammad Abû al-Fath al-Bayânûniyy
menyampaikan islam kepada ummat manusia, mengajarkan dan mengamalkannya dalam
kehidupan nyata.[10]
Adapun
tujuan dakwah dalam pengertian ini ialah mewujudkan kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah yakni
dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan
kesejahteraan yang diridlai oleh Allah AWT sesuai dengan segi atau bidangnya
masing-masing.[11]
B.
Pengertian ilmu dakwah:
Menurut
Ahmad Ghalwasy dakwah merupakan ilmu yang memperalajri berbagai pembahasan
teknis dan seni penyampaian agama Islam kepada ummat manusia yang mencakup
akidah, syariah dan akhlak.[12] Bagi Muhammad al-Ghazali
ilmu dakwah adalah program lengkap yang
mencakup berbagai pengetahuan yang dibutuhkan manusia untuk mengetahui tujuan
hidup mereka dan mengungkap rambu-rambu kehidupan orang-orang yang baik.[13] Abû al-Fath al-Bayânûniyy
mendefinisikan ilmu dakwah berati sejumlah kaidah dan pokok-pokok ajaran yang
dapat menyampaikan islam kepada manusia mengajarkan dan mempraktekkannya.[14]
Dalam
ensiklopedi bebas wikipedia indonesia tertulis ilmu dakwah adalah suatu ilmu
yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya
menganut, mengikuti, menyetujui dan/atau melaksanakan suatu idiologi/ agama,
pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut
"Da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut "Mad'u.”[15]
Tim
Penyusun Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah merumuskan pengertian ilmu dakwah,
yakni kumpulan pengetahuan yang berasal dari Allah SWT yang dikembangkan oleh
umat Islam dalam susunan yang sistematis dan terorganisir mengenai manhaj
melaksanakan kewajiban dakwah dengan tujuan ikhtiar mewujudkan khairul ummah.[16]
Dengan
kata lain dakwah adalah ilmu yang mempelajari metode, cara, serta tujuan dakwah
termasuk pilar-pilar dan sejarah serta
media yang dipakai dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran Islam guna
mewujudkan tatanan masyarakat islam yang terbaik.
Tujuan
utamanya adalah mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat melalui penyebaran dan
pengamalan ajaran agama islam; mengetahui hakekat konsep dakwah Islam, mengetahui
ayat-ayat atau hadits Nabi SAW yang bertemakan dakwah; mengetahui berbagai metode
dakwah dan perkembangannya; menjalankan kegiatan dakwah dengan memperhatikan
metode dan tehnik dakwah yang tepat untuk mencapai sasaran secara efektif dan
efisien.
C.
Obyek Pembahasan Ilmu Dakwah:
Jika
dilihat dari pengertian dakwah maka obyek dakwah adalah gama islam, artinya
penyampaian dan pengajaran agama islam yang dilakukan oleh juru dakwah serta
pengamalannya dalam kehidupan nyata.[17]
Adapun
jika dilihat dari pengertian ilmu dakwah maka obyek kajiannya mencakup berbagai
komponen yang dibutuhkan dan terkait dengan kegiatan dalam dakwah yang sejalan
dengan prinsip-prinsip pembahasan ilmiah. Bayânûniyy mencoba merumuskannya
dalam formulasi berikut:
1.
Sejarah dakwah yang menjelaskan
tentang perkembangan dakwah sejak masa kenabian hingga sekarang.
2.
U’shûlu al-da‘wah,
yang merupakan pembahasan dalil-dalil tentang dakwah berserta sumbernya yang
diambil dari al-Qur’an dan al-sunnah, termasuk pembahasan tentang rukun dakwah;
juru dakwah, sasaran dakwah dan tujuan dakwah.
3.
Manâhij al-da‘wah,
yang berisikan langkah-langkah serta program dakwah.
4.
A’sâlîb al-da‘wah,
berisikan tentang cara pengeterapan langkah-langkah serta program dakwah yang
dicanangkan.
5.
Wasâil al-da‘wah,
yakni media yang digunakan dan dibutuhkan dalam berdakwah.
6.
Masyâkîl al-da‘wah,
yakni problematika yang dihadapi dalam berdakwah serta cara-cara
penanggulangannya.[18]
Obyek pengembangan ilmu dakwah menurut
Amrullah Ahmad dapat dibedakan kajiannya menjadi obyek material dan obyek
formalnya. Obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, sejarah dan peradaban Islam. Obyek material ini
termanifestasi dalam disiplin-disiplin ilmu keislaman lainnya yang kemudian
berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu dakwah. Sedangkan obyek formal ilmu
dakwah adalah mengkaji salah satu sisi dari obyek material tersebut, yakni
kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) dalam
semua segi kehidupan.[19]
Bentuk kegiatan mengajak itu jika dilihat
dari media dan cara yang diapakinya, yakni: (1) mengajak dengan lisan dan
tulisan (da‘wah bil lisan dan bil qalam); (2) mengajak dengan
perbuatan (da‘wah bil hal atau aksi sosial); dan (3) mengajak dengan mengelola
hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga dakwah untuk mencapai sasaran dan
tujuan dakwah Islam.[20] Namun kegiatan mengajak
jika dianalisis lebih dalam akan ditemukan hal-hal yang lebih dari sekedar
analisis medianya semata, karena masih mencakup di dalamnya metodologi dakwah,
cara dan tehnik dakwah, karakter dai dan mad’u, penyelesaian terhadap berbagai
problema yang ditemui dalam berdakwah dan lain sebagainya.
Bagan Obyek Ilmu Dakwah
D.
Hubungan Ilmu Dakwah dengan
Ilmu Lainnya:
1.
Hubungan dengan ilmu-ilmu
keislaman:
Sejalan dengan perjalanan waktu dan
perkembangan zaman penyebaran agama islam yang berawal dari bentuk penyampaian
lisan dan penghapalan ajaran islam melalui berbagai kegiatan seperti khutbah
(pidato) dialog, berbagai arahan dan penyuluhan serta pembinaan, sehinga ajaran
islam yang mencakup aqidah, syariah dan akhlak itu menggelinding menyebar dari
Rasul SAW kepada para sahâbat ra, kemudian para tâbi‘în dan tâbi‘u
tâbi‘în. Merespon berbagai tuntutan
zaman dan kompleksitas permasalahan, dibarengi dengan kontak kegiatan keilmuan
yang ada di wilayah perkembangan Islam,
serta proses penyapaian ajaran islam dalam bentuk ta‘lîm yang memungkinkan
terjadinya dialog antara nash-nash al-qur’an dan al-sunnah dengan permasalahan
kehidupan sosial yang dialami masyarakat muslim --dengan munculnya pertanyaan
dalam segi ajaran silam tertentu-- merangsang para ulama di kalanagan tâbi‘în
mengklasifikasi ajaran islam pada setidaknya tiga sisi keilmuan; aqidah
(ushuluddin) syariah (fiqih dan ushulnya) serta akhlaq.[21]
Berbagai ilmu keislaman merupakan obyek
material ilmu dakwah karena dari situlah berbagai macam kajian tentang
seluk-beluk dakwah diformulasikan. Ilmu ushuludin, ilmu kalam, fiqih, ushuhul
fiqih, tafsir, hadits, ulumul qur’an, ilmu-ilmu bahasa arab, sejarah islam,
akhlak, tasawuf dan perkembangan kajian keislaman lainnya merupakan ilmu bantu
dalam rangka pengembangan ilmu dakwah.
Seperti yang dilakukan Jâsim Ibn Muhammad
al-Muhalhil al-Yâsîn dkk merka mencoba merumuskan skema ilmu-ilmu keislaman
dalam lima (5) bagian; ulumul qur’an, ulumul hadits, tauhid, ushul fiqih,
fiqih.[22] Lalu dalam penerbitan
lain ditambah dengan ulum lughah al-arabiyah, sayangnya ilmu dakwah belum
mereka masukkan dalam skema ilmu-ilmu islam tersebut, ini bisa berarti dua hal
karena proses penyusunan belum selesai atau karena dakwah masih dianggap dalam
proses menjadi ilmu tersendiri.
Maka untuk melihat kedudukan ilmu dakwah
--sebagai ilmu baru dalam kajian keilmuan Islam-- dapat digambarkan bahwa
dakwah merupakan upaya pengkajian terhadap “proses” terjadinya penyampaian ajaran islam dari juru dakwah kepada sasaran
dakwah di satu sisi dan pengkajian terhadap materi-materi ajaran islam yang
berkenaan dengan metode penyampaian ajaran tersebut yang terdapat dalam sumber
utamanya (al-qur’an dan al-sunnah) serta dalam sumber-sumber sekunder
dihubungkan dengan kondisi sosio emosional khalayak sasaran di sisi lain untuk
mencapai efek dan dampak yang diharapkan. Hal ini merupakan respon langsung terhadap
kebutuhan yang disebabkan kemajuan peradaban manusia dalam berbagai hal,
terutama pada bidang tekhnologi komunikasi serta perkembangan ilmu sosial dan
spesialisasinya.
Sebagai contoh dari hadits Rasul SAW
misalnya, yang terdiri dari ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh Rasul SAW
yang mencakup dimensi ibadah, dimensi muamalah dan jinayah,
dimensi irsyad dan wa’dz (nasehat dan arahan) serta dimensi
sejarah,[23]
dalam kontek ini ilmu dakwah meneliti dan menganalisis dimensi irsyad dan wa’dz bukan saja
dari sisi kontennya (isi) melainkan termasuk juga pemilihan “kata” dalam
penyampain tersebut serta kondisi historis penyampaiannya yang mencakup di
dalamnya karakter al-mad’u sebgai penerima, kemudian melihat efeknya yang
tergambar dalam pengamalan isi pesan tersebut dalam kehidupan. Melalui analisis ini dapat ditarik
teori-teori dakwah seperti metode (Manâhij), cara
(A’sâlîb) dan
media (Wasâi’l
) serta materi dakwah.
esuai
dengan kesepakatan Departemen Agama dan LIPI yang kemudian dikukuhkan dalam
penyusunan kurikulum nasional di Indonesia ada delapan cabang ilmu agama Islam
yang secara singkat dapat digambarkan berikut:[24]
2.
Hubungan dengan ilmu komunikasi
Jika dilihat dari obyeknya dakwah memiliki
hubungan dengan komunikasi dalam ilmu-ilmu sosial. Yang dimaksud dengan
hubungan komunikasi dan dakwah di sini adalah hubungan komunikasi sebagai
disiplin ilmu dengan dakwah sebagai kegiatan amar ma’ruf dan hanyi munkar,
pesan berupa nasihat, serta sebagai proses penyampaian pesan risalah Islamiyah.
Ilmu komunikasi dewasa ini telah
berkembang demikian pesat, berbagai studi yang dilakukan yang berkenaan dengan
tingkah laku manusia sebagai pelaku komunikasi, media komunikasi yang dipakai,
serta kecenderungan dan ide-ide yang berkembang serta berbagai aspek lain yang
erat hubungannya dengan proses penyampaian pesan dan kekuatan pengaruh pesan
tersebut dalam diri peserta komunikasi. Selain itu dapat juga dilihat perkembangan
yang pesat dalam bidang sarana dan prasarana yang dapat digunakan dalam
kelancaran komunikasi.
Tujuan utama dakwah adalah menyampaikan (tablîgh)
risalah atau pesan Ilahiah, dan sejak
pada masa awalnya tablîgh menggunakan kata-kata baik yang tertulis
maupun yang terucapkan, dengan manusia sebagai objek sasarannya. Hingga dapat
dikatakan komunikasi dan dakwah adalah dua hal yang sama, keduanya menjadikan
manusia sebagai sasaran, menggunakan media yang sama, tujuan dan alat yang sama.[25]
Namun jika dilihat dari segi kemunculannya
kedua ilmu dakwah dan komunikasi nampak berbeda, yang pertama kajian ilmu
dkawah dimulai oleha para ulama terhadap tema amar ma’ruf nahi mungkar, dimulai
sejak berkembangnya tradisi ilmiah di kalangan ummat islam. hal ini ditandai
dengan penulisan bab tersendiri tentang amar maruf nahi mungkar pada buku-buku
klasik islam. Kemudian mulai ditulis secara khusus risalah tentang tema
tersebut sekitar abad IV H oleh Abubakar
Ahmad Ibn Muhammad Hârûn al-Khilâliyy (311 H) dan Ibnu Taimia (728 H) misalnya,
pembahasan dimulai dengan mengungkapkan dalil-dalil tentang masyarakat ideal,
kemudian tentang tehnik-tehnik amar ma’ruf nahi mungkar lalu ditarik berbagai kaidah dari dalil
tersebut untuk dijadikan pedoman kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar.
Lalu pada akhir tahun 1960an pembahasan
dengan menggunakan terma “dakwah” dilakukan oleh Ahmad Ghalwasy dalam al-Da‘wah al-Islâmiyah,[26] terbit pertama pada tahun
1979 bersamaan dengan dibukanya jurusan dakwah di universitas al-Azhar di kota
al-Mansurah.[27]
Usaha ini merupakan langkah pertama penyusunan ilmu dakwah dengan menggunakan
pendekatan tafsir mudulu’i, yang menarik dari buku ini Ghalwasy mencoba
menarik kaidah-kaidah dakwah yang berhubungan dengan media (wasâil) dari
al-qur’an, seperti penggunaan kisah (al-qishah), perumpamanaan (al-matsal),
sumpah (al-qasam), debat (al-jadal), dan sunnah nabi saw.
Sementara kajian
komunikasi diawali dengan kajian terhadap situasi
perang dan penguasaan publik oleh pemerintah. Maka yang menjadi fokus kajian
adalah propaganda termasuk pembentukan opini publik dan agenda setting, trend
kajian tersebut dilanjutkan oleh Harold Lasswell 1946 yang melihat isi pesan, dan efek pesan
terhadap audiens, dengan semboyannya yang terkenal hit or miss propaganda
kemudian terus berkembang ke arah yang human relation seperti yang dilakukan Edward Bernays 1928
yang memandang perlunya patnership relation, publik tidak lagi didikte
dan diupayakan penyesuaian situasi
publik dan kondisi kontemporer. Kajian
komunikasi terus mengarah kepada pembangunan ekonomi pasca perang dan pembangunan
negara seperti yang dilakukan Jacques Ellul 1968.[28]
E.
Metodologi Ilmu Dakwah:
Suatu ilmu pengetahuan tentunya memiliki
metode untuk mencapai kebenaran ilmu tersebut,
demikian juga halnya dengan ilmu dakwah. Sebagai ilmu yang menjadikan
obyek kajiannya adalah agama islam yang memfokuskan perhatian pada kegiatan
masyarakat muslim dalam menyebarkan ajaran agamanya, dapat dilihat metodologi
apa yang dilakukan para ahli dalam mengkaji obyek tersebut.
Kalau diteliti metodologi yang dipakai
dalam mengungkap berbagai seluk-beluk tentang dakwah, terlihat bahwa yang dilakukan adalah menghimpun
dalil-dalil naqli baik dari al-Qur’an maupun al-hadits yang bertemakan dakwah.
Kemudian dalil-dalil tersebut diinterpretasikan sehingga didapat hukum dakwah
misalnya, kemudian lebih khusus lagi menuju pada penghimpunan dalil yang
berkenaan atau dinilai mengandung unsur metodologi penyapaian pesan, dianalisis
manfaat dan kegunaan serta efektifitas penggunaan metode tersebut. akhirnya
disimpulkan sebagai suatu teori atau kaidah dalam berdakwah. Maka dalam hal ini
metodologi tafsir maudlui (tafsir tematik) sangatlah dominan,
adapun dalam analisisnya maka bisa bersifat analisis teks dengan pendekatan
balaghah dan ilmu kebahasaan, bisa juga
menggunakan analisis sosio historis suatu teks (asbabu nuzul suatu ayat
atau asbabu wurud suatu hadits).
Dari sini terlihat bahwa metodologi ilmu
dakwah menggunakan pendekatan deduktif , artinya meneliti kaidah-kaidah
umum yang berlaku kemudian diruntut hingga sampai pada kaidah-kaidah khusus,
misalnya dari dalil-dalil tentang amar ma’ruf nahi mungkar dapat menghasilkan kaidah-kaidah
tentang metode amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ibnu Taimia membuat satu kaidah
bahwa menyuruh kepada kebaikan (amar ma’ruf) harus dengan cara yang baik
(ma’ruf) dan sebaliknya mencegah kemunkaran tidak dengan menggunakan kemunkaran[29].
Kaidah kedua dalam berdakwah adalah
mendahulukan maslahat,[30] jika ternyata yang
diserukan itu setelah ditimbang menbawa madlarat lebih besar dari pada
maslahatnya apakah itu berupa amar ma’ruf atau nahyi mukar, maka ditunda sampai
ada kesempatan dimana maslahat bisa lebih besar ketimbang madlaratnya.
Menjelaskan hal ini Ibnu Taimia menulis;
Karena kegiatan amar ma’ruf dan nahyi mukar itu termasuk kewajiban yang paling
besar, maka maslhat haruslah didahulukan. Karena Allah tidak menyukai kerusakan
dan kekacauan. Jika ternyata kerusakan yang ditimbulkan karena amar ma’ruf dan
nahyi munkar itu lebih besar dari maslhatanya, maka kegiatan tersebut tidak
termasuk suatu yang diperintah oleh Allah, walaupun pada kenyataannya sudah
berarti meninggalkan kewajiban dan melaksanakan suatu yang diharamkan, pada kenyataan
seperti itu seorang muslim hendaknya senantiasa lebih bertakwa dan beribadah
kepada Allah, hingga ia terjaga dari kehancuran.[31]
Metode kedua adalah pendekatan induktif,
yang berarti meneliti persoalan-persoalan yang lebih spesifik untuk kemudian
ditarik generalisasinya. Misalkan bagaimana Zaidan menyelusuri ayat-ayat
tentang sifat dan prilaku sabar kemudian dimasukkan dalam generalisasi kaidah
bahwa seorang dai harus memiliki akhlak yang baik.[32] Seperti
term-term yang dipilih dalam teks-teks islam bisa ditemukan kata qawlan
sadîdan. Itu bisa ditarik teori umum, yaitu kejujuran komunikasi. Qawlan
ma’rûfan bisa melahirkan teori komunikasi bernurani. Kata zaigh bisa
berarti konsep noise (gangguan) komunikasi dan seterusnya.[33]
Jadi metode induktif-dedektif senantiasa
bergantian dipakai dalam mengungkap berbagai pembahasan ilmu dakwah. Dalam
prakteknya menyertai kedua metode ilmiah tersebut di atas, pembahasan juga
dilakukan dengan metode historis, seperti meneliti kegiatan dakwah yang
dilakukan sejak masa kenabian hingga
dewasa ini, pendekatan historis juga kerap kali dipakai untuk megungkap makna
suatu teks al-Qur’an maupun al-hadits. Selain
metode historis sering digunakan juga metode komparatif yakni dengan melihat perbandingan antara
mislanya dakwah masa rasul saw dengan dakwah masa sahabat ra. Atau misalkan
melihat media dakwah konvensional dengan media dakwah kontemporer.
Bagan di bawah ini memperlihatkan bagaimana
ilmu dakwah dikontruksi dengan menggunakan metodologi dominan yang dipakai dalam
berbagai disiplin ilmu sebelumnya, tafsir misalnya mempunyai metode tersendiri
yang dipakai dalam menganalisis fokus kajian dakwah, demikian juga halnya
dengan ushul fiqih yang merupakan jembatan baku yang menghubungkan antara
sumber ilmu (qur’an dan hadits) dengan data-data empiris. Ushuludin dan bahasa
arab sangat membantu dalam menginterpretasi teks baik hadits maupun al-qur’an
juga pendapat-pendapat ulama dalam bahasa arab,
metodologi ilmu sosial digunakan untuk menganalisis realitas empiris
masyarakat muslim termasuk di dalamnya teori-teori komunikasi yang ada dan
dikembangkan pada ranah ilmu komunikasi.
Uses in the Mass Media, dialihbahasakan Sugeng Haryanto. (Jakarta: Kencana, 2005) Cet. I. h. 128.
[6]Sad ‘Ali Ibn Muhammad al-Qohthoniy.fiqhu
al-da‘wah fi shahîh al-Imam al-Buhkariy, Maktaba Syamela.
[8] ‘Abdul Karîm Zaidan, U’shûlu al-da‘wah,
versi e-bok 1975, h, 3.
[10] Muhammad Abû al-Fath al-Bayânûniyy, al-madkhal ilâ ʻilmi al-daʻwah,
(Beirut: Muassatu al-Risâlah,1995) Cet III, h, 18. Lihat juga Ensiklopedi Islam
(Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, jilid I) h, 280
[11] Ensiklopedi Islam ...h. 281, lihat juga
Wikipedia.org
[16] Tim Penyusun
Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah, Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN,
(Jakarta, Departemen Agama R.I., 1994), hal. 7.
[19] Amrullah Ahmad, Materi
dan Metode Penyiapan Disiplin Dakwah Islam dalam Kurikulum IAIN 1995,
Makalah disampaikan pada Orientasi Kurikulum Nasional IAIN,
[20] Amrullah Ahmad, Materi dan Metode....
[21] Ahmad Amîn, fajru al-Islâm,(Syirkatu al-Thabâ’ah al-Fanniyah
al-Muttahidah,1985) cet.XI, h, 152-153.
[22] Jâsim Ibn Muhammad al-Muhalhil al-Yâsîn
dkk, al-Jadâwil al-Jâmia’h fi al-I’lmi al-Nâfi’ah, (al-Kuaiti, Dâru al- al-da‘wah li al-Nasyr wa al-tauzî’ 1991)
cet. V, h, 8.
[24] Juhaya S. Praja, Filsafat Ilmu,(Bandung, Program Pasca Sarjana IAIN
Sunan Gunung Djati, 2000), h. 94
[25] Taufiq Yusuf
al-Waai’y al-da‘wah i’la Allah al-risâlah –al-wâsîlah—al-hadap, (Kuwait,
Dârul Yaqîn,) h, 427
[26] M. Jamil Yusuf, “Beberapa Persoalan Epistemologi
Dalam Pengembangan Ilmu Dakwah,” artikel jurnal versi pdf. h, 5.
[27] Di Univ Ibnu Saud Jedah dibuka Ma’had Dakwah tahun 1976, di Madinah tahun
1978 di Indonesia IAIN Jakarta berdiri sebagai jurusan dakwah sejak 1963, dan
menjadi fakultas 1989, di IAIN Yogyakarta, sebagai jurusan 1960, dan sebagai
fakultas 1970. Adapun Fakultas Dakwah pertama di
Indonesia di IAIN Ar-Raniry tanggal 13 Oktober 1968.
[29] Ibnu Taimia, Al-Amru Bil
Ma’ruuf wa Nahyi anil Munkar, (Beirut, Darul Kitab al-Jadid, 1984), h,18
[30] Ibid, h, 17
[31] ibid
[33] M.Tata Taufik, Konsep Islam Tentang Komunikasi:Kritik Terhadap Teori
Komunikasi Barat, Disertasi Doktor dalam Bidang Dakwah dan Komunikasi UIN
Jakarta 2007, h, 17
0 Comment