10 Juni 2012


Bagian Kedua
Metoda Dakwah 

Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab dakwah[1] yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengitari dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah,  dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengitarinya.
Dakwah adalah ujung tombak dalam mewujudkan ajaran Islam ke berbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya kewajiban bagi setiap pribadi muslim,[2]  sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.[3] Namun bukan berarti menafikan  pendapat lain yang mengatakan bahwa  melaksanakan  dakwah adalah fardhu kifayah.[4]  Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan  dengan mempergunakan metode tertentu.[5] 
Pada priode Makkah (610-622 H) Nabi Muhammad Saw. melaksanakan dakwah melalui metode pendekatan kepada keluarga secara diam-diam dalam upaya memberi pelajaran dan petunjuk,[6] kemudian secara bertahap pelaksanaannya dikembangkan secara terbuka[7] kepada kaum kafir Quraish.
Setelah Nabi Saw. di Madinah (1-11 H/622-632 M) dakwah telah mampu menumbuh kembangkan ikatan persaudaraan, ukhuwah Islamiyah,[8] dengan  membentuk suatu umat laksana suatu bangunan yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan.[9] Sehingga menimbulkan kekuatan bagi kaum muslimin dalam pengembangan dakwah. Setelah Nabi Muhammad wafat, urusan dakwah dilanjutkan oleh para Khulafa' al-Rasyidin bersama sahabat lainnya. Seperti Abu Bakr al-Shiddiq (11-13 H/632-634 M) dan 'Umar bin Khattab (12-23 H/634-644 M) ternyata berjalan dengan baik dan sukses. Namun setelah itu ketika pemerintahan Usman bin Affan ( 23-35 H/644-656) 'Ali bin Abi Thalib (36-40 H/656-661 M) dilanda oleh berbagai kekacauan politik dalam negeri,[10] sehingga kesatuan umat sudah tidak terjamin lagi sebagai yang telah dibina oleh Nabi Muhammad Saw. sebelumnya.
Pada abad ke-18 M sebagai akibat terjadinya kontak peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dunia Barat, munculnya kaum pembaharu di dunia Islam yang berusaha melakukan pembaharuan dengan mengkaji ulang ajaran-ajaran dasar Islam. Gerakan pembaharuan tersebut berdampak positif dalam kehidupan pengembangan  metode dakwah. Seperti terlihat, Muhammad Abduh (1849-1905 M), seorang tokoh pembaharu, di samping ia melakukan dakwah secara lisan juga mengembangkannya dengan tulisan lewat majalah al-'Urwat al-Wusqa diterbitkan di Paris bersama Jamal al-Din al-Afgani (1839-1897 M),[11] dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) di Mesir dengan al-Manarnya.[12] Sejalan dengan kegiatan penyampaian risalah Nabi Muhammad kepada umat manusia lewat berbagai cara, baik lisan, kontak perbuatan, isyarat dan iqrar maupun dengan diplomasi lewat surat atau utusan.[13]
Aktifitas dakwah seperti itu merupakan satu bagian yang pasti ada dalam kehidupan beragama sepanjang waktu. Di dalam al-Qur’an dakwah merupakan kewajiban yang dibebankan oleh agama kepada pemeluknya, baik dilakukan secara pribadi ataupun dilaksanakan secara kolektif. Dengan demikian eksistensi dakwah  bukan hanya sekedar usaha agar orang lain dapat memahami agama dalam kehidupannya, akan tetapi jauh lebih penting dari itu, yaitu; melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan konfrehenshif dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai kearah tersebut sudah pasti semua unsur dakwah harus mendapat perhatian serius para juru dakwah. Namun betapapun baiknya sebuah materi, media, audience dan da’inya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, jika tidak mempergunakan metode, maka ajaran Islam yang dikembangkan akan berada pada tataran pengetahuan bukan pada aspek aplikasi dan pengamalannya.
Perspektif dakwah dalam al-Qur’an, tidak hanya sekedar mengatur kegiatan dakwah, tetapi lebih jauh dari itu, di mana al-Qur’an memberikan cara-cara tertentu dalam menghadapi masyarakat tertentu pula. Secara umum al-Qur’an telah menuntun Nabi kearah tercapainya sosialisasi ajaran Islam dalam kurun waktu ± 23 tahun. Semua itu didukung oleh metode yang akurat, efektif dan effesien serta berpegang kepada prinsip atau azas metode yang dituturkan oleh Allah Swt. Sekalipun secara literlek didalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah metode, namun jika dimaksudkan metode, yaitu cara-cara yang diterapkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran Islam kepada keanekaragaman masyarakat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya. Karena hampir semua kegiatan dakwah yang tidak mempergunakan  metode dalam melaksanakan dakwah kepada masyarakat.

Metode Dakwah Hikmah
Kata  metode berasal  dari  bahasa  Yunani   methodos yang berarti  cara  atau jalan[14]. Di dalam bahasa Inggeris ditulis  dengan  method [15] yaitu : 1. a way of doing anything;  mode; procedure, process; epecially, a reguler, orderly devinite procedure or way of teathing, investigating, etc.; 2. Regularity  and orderlines in action, thought,  or expresion; system  in  doing  thing or  hendling  ideas; (and) 3. Reguler, orderly arrangement. Dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata  tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dsb); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan  yang  ditentukan.[16] Dalam hal ini Hendry  Van  Lear,  secara  etimologis mengemukakan bahwa metode  adalah  jalan atau cara melakukan atau membuat sesuatu dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh  atau mencapai  tujuan  yang dimaksud.[17]
Memperhatikan pengertian metode di atas, nampaknya dapat digunakan  kepada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran dan penalaran akal, atau menyangkut  pekerjaan fisik. Dengan  demikian dapat dikatakan bahwa metode adalah salah satu sarana atau media yang sangat penting  untuk menyembatani antara pemikiran yang dimiliki oleh subjek untuk ditransmisikan kepada objek dalam upaya mencapai tujuan yang telah  ditetapkan.
Dalam bidang keilmuan, metode selalu berarti cara prosedur dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui, dari titik pijak tertentu menuju proposisi-proposisi akhir dalam  ilmu yang ditentukan. Sehingga dalam ilmu-ilmu normatif metode mengindikasikan jalan menuju norma-norma yang mengatur perbuatan  sesuatu.  Sehingga dengan  demikian metode adalah  cara bertindak  menurut  sistem  aturan tertentu,  supaya  kegiatan  praktis  terlaksana  secara  rasional  dan terarah, agar mencapai hasil optimal. Atau sebagaimana yang diungkap Ahmad Tafsir, bahwa metode adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu.[18] Tepat dan cepat dalam hal ini ukurannya sangat varian sekali, karena sesuai dengan kondisi orang, tempat, materi, media dan sosial-budaya yang mengintarinya.
Dalam kaitan ini metode dakwah dalam  perspektif al-Qur’an, telah dilakukan oleh Nabi Muhammad secara teratur dan telah tersusun secara  baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat-Nya. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa metode  dakwah  yang dilakukan  oleh Nabi dalam membawa manusia kepada Islam berisikan langkah atau cara-cara yang harus ditempuh ketika melakukan dakwah Islam kepada manusia, tanpa melakukan hal tersebut, maka hasilnya tidak  seoptimal  yang diharapkan. Namun metode dakwah yang pernah diterapkan Nabi itu belum tersusun dalam bentuk karya tulis secara metodologis, sehingga menjadi kendala bagi setiap juru dakwah dalam  menyampaikan materi dakwah kepada orang lain.
Bila dikaitkan antara metode dengan  dakwah dalam  satu pengertian dapat dikatakan sebagai jalan atau cara yang dipakai juru dakwah dalam menyampaikan ajaran Islam (materi) kepada objeknya. Pemakaian metode yang benar merupakan unsur penting untuk memastikan bahwa  kesimpulan yang dihubungkan dengan titik pijak dan fondasinya secara runtut  dan benar,  karena  hanya  dalam  sikap semacam inilah maka hasil-hasil yang dicapai akan dapat  dimiliki  bersama  di  dalam nilai  dan kebenaran titik pijak. Secara umum metode dalam perpespektif ilmu  pengetahuan  adalah jalan dari titik pijak yang  diketahui menuju  poin penyelesaian atau hasil yang dalam satu atau lain cara dihubungkan dengan titik  pijak. Sehingga jalan yang ditempuh dalam upaya  mencapai tujuan tersebut bisa dibangun dengan banyak cara.
Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Suatu pesan betapa baiknya, tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar, pesan tersebut bisa jadi ditolak oleh penerima pesan, bahkan bisa mengaburkan maksud materi yang ingin disampaikan. Ilmuan komunikasi menyebutnya dengan the methode is massage. Sehingga  kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan menerapkan ajaran Islam dalam masyarakat.
Dalam berbagai buku ilmu dakwah yang ada, ketika membahas metode dakwah, pada umumnya merujuk kepada surat al-Nahl ayat 125; yaitu :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ   (  النحل :  125 )
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Allahmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allahmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Pada ayat ini bukan hanya berbicara seputar metode dakwah, akan tetapi meliputi faktor-faktor lainnya, yaitu tentang subjek, materi  yang disampaikan. Bahkan secara tersirat juga terkandung objek dakwah, karena perintah dakwah dalam ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw., maka yang disuruh panggil oleh Allah kepada Nabi adalah umat manusia, namun tidak terlihat pada ayat dimaksud  pembicaraan seputar media dakwah, tetapi hal  itu bukan mengurangi fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Sebab dikalangan ilmuan al-Qur’an mengungkap bahwa al-Qur’an bukanlah buku ilmiah atau buku petunjuk pelaksanaan suatu perintah  atau tugas, akan tetapi al-Qur’an berisikan sesuatu ajaran/petunjuk yang bersifat umum, general atau global. Hanya saja yang ada dalam al-Qur’an adalah semangat, moral, ruhnya agama Islam. Oleh karenanya tugas para mujtahid Islamlah untuk mengeluarkan isi, hukum, pelajaran yang ada di dalamnya, seperti munculnya teologi, fiqh, tasauf, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Semua hal di atas tidak satupun yang terlepas dari intervensi akal mujtahid. Sekaitan dengan metode dakwah pada ayat 125 di atas, Fakhr al-Din al-Razi ( 544-606 H) dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini berisikan perintah dari Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk menyeru manusia (kepada Islam) dengan salah satu dari tiga cara; yaitu dengan hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah bil al-thariq al-ihsan.[19] Pendapat yang senada dipertegas oleh Sayyid Quthb, bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an.[20] Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi. Namun bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat dipergunakan kepada semua masyarakat. [21]

Metode Hikmah
Kata hikmah berasal dari bahasa Arab, ح, ك, م (h, k, m), jama’nya hikam yaitu ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam.[22] Dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana. Kata bijaksana dalam bahasa Indonesia punya arti (1) selalu mempunyai akal budi, (pengalaman dan pengetahuannya): ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat.[23]   Sedangkan secara linguistik (lughawiyah) terma hikmah berarti kebijaksanaan, sehat pikiran, ilmu pengetahuan, filsafat, ke-Nabian, keadilan, peribahasa, pepatah dan al-Qur’an.[24] Atau (معرفة أفضل اللاشيأ بـأفضل العلو) yaitu mengetahui keutamaan sesuatu melalui ilmu.[25] Secara terminologi, para ulama memahami istilah hikmah dalam beberapa pengertian, diantaranya :
a.       Hikmah merupakan keNabian (al-Nubuwat)
b.      Hikmah merupakan pengetahuan tentang al-Qur’an itu sendiri, meliputi ; pemahamannya, nasikh mansukh, muhkamat, mutasyabihat, ayat-ayat yang didahulukan dan yang diakhirkan, halal, haram, amtsal dan sebagainya.
c.       Hikmah merupakan kebijaksanaan pembicaraan dan perbuatan
d.      Hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan
e.       Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah dan aktifitas yang membawa kepada kemashlahatan umat.
f.        Meletakan suatu urusan pada tempatnya yang benar, mengetahui al-da’i terhadap objek dakwah dan memilih metode serta media yang relevan dengan mereka.
g.       Mengetahui kebenaran dan beramal dengan kebenaran tersebut, perpengetahun yang luas dalam  pembicaraan  dan amal. Hal ini tidak akan diperoleh kecuali melalaui pemahaman al-Qur’an, fiqh syari’at  dan hakikat iman.
h.      Hikmah merupakan kondisi psikologis, seperti ketundukan, kepasrahan dan ketakutan kepada Allah
i.        Hikmah merupakan sunah Nabi
j.        Hikmah adalah maqam wara’ pada agama Allah
k.      Hikmah merupakan sikap adil sehingga pemikirannya dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya.[26]


 49                                                       50                                                                     2
 
Al-Maghzawi pada pendapat yang sama mengemukakan bahwa ungkapan hikmah mengandung semua makna yang terkandung dalam al-Qur’an, bukan hanya hikmah yang terdapat dalam surat al-Nahl 125 saja, karena kata hikmah pada ayat-ayat lain mempunyai hubungan yang sangat siknifikan sekali.[27]
Sedangkan hikmah pada sejarah Islam klasik, tertuju kepada orang-orang yang mengkaji sesuatu secara mendalam, sehingga ahli hikmah yang dimaksudkan pada masa itu sama dengan para failosuf, sedangkan hasil dari temuannya disebut dengan filsafat. Sedangkan tempat orang-orang yang mendalaminya ( mungkin sekarang disebut dengan pustaka/labor) disebut dengan bait al-hikmah (rumah hikmah). Dengan demikian pengertian yang dikemukan di atas kurang tepat, jika padanan hikmah tersebut dalam bahasa Indonesia dengan kata bijaksana. Sebab kata bijaksana dalam basaha Indonesia mempunyai arti (1) selalu mempergunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuan); ‘arif, tajam fikiran; (2) pandai dan ingat-ingat…[28] Akan tetapi  dalam pemakaian sehari-hari cukup populer dan terpakai arti hikmah tersebut dengan bijaksana. Arti bijaksana yang dipadankan dengan hikmah dalam bahasa arab, paling tidak, nampaknya tidak tercakupi oleh bahasa Indonesia, karena cakupannya meliputi sesuatu pelajaran yang datang dari Allah Swt. Perbedaan makna tersebut akan terlihat dengan jelas, bila dikaitkan dengan makna yang diberikan oleh mufassir ketika mengemukakan pengertian kata hikmah tersebut.
Kata hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali yang tersebar dalam beberapa surat. Dalam bentuk shighat masdar, kata al-hikmah 20 kali [29] tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Pemakaian kata terbanyak dari  kata hikmah digandengkan dengan kata al-kitab, Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu sebanding dengan kitab, Injil, Taurat, atau suatu pelajaran yang datang dari Allah Swt. Seperti terlihat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 129, 131, 151, 296; Ali Imran (3) ayat 48, 81, 184; al-Nisa’ (4) 54, 113; al-Maidah (5) ayat 110 dan; al-Jumu’ah (62) ayat 2. Pengertian seperti di atas, nampaknya dikuatkan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu bahwa mendapatkan hikmah itu adalah orang-orang tertentu saja sesuai dengan kemauan Allah, bagi yang mendapatkan hikmah diberikan kepadanya kebajikan yang banyak.[30]

 51                                                       52                                                                     2
 
Varian hikmah  dalam pandangan ilmuan, bila  dikaitkan dengan tafsiran  surat al-Nahl; 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah sangat beragam sekali, antara lain; Misalnya al-Razi mengartikan hikmah dengan dalil-dalil yang pasti,  al-Thabari mengartikan dengan wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw., [31] al-Maraghi mengartikan dengan“المقالة المحكمة بالدليل لموضح المحيل للشبهة “(Perkataan yang benar lagi tegas dengan dalil yang kuat untuk menjelaskan yang hak bagi menghilangkan syubhat),[32] Pendapat al-Maraghi senada dengan pendapat al-Zamakhsyari dan Wahbah al-Zuhaili, sedangkan bagi al-Thaba’thabai mengartikan hikmah dengan menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan akal. Sementara Muhammad Abduh mengartikan ilmu pengetahuan  yang benar, yakni sifat-sifat yang bijak di dalam jiwa yang menjadi penuntun kemauan dan  mengarahkannya kepada perbuatan.  Apabila  perbuatan lahir dari  ilmu yang benar, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang baik dan bermanfaat,  sehingga membawa kepada kebahagiaan.[33] Ibn Katsîr (w.774 H), mengemukakan bahwa hikmah adalah yang bijak dalam perbuatan dan perkataan, sehingga untuk itu ia  meletakan  sesuatu pada tempatnya. Pendapat ini  sejalan dengan Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûnî, bahwa hikmah adalah teknik menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga berdakwah dengan hikmah meliputi  semua aspek.[34]
Pada sisi lain A. Hasjmi mempertegas bahwa hikmah adalah ilmu pengetahuan.[35] Sedangkan Muhammad Natsir memahami bahwa hikmah  itu  dipergunakan untuk semua golongan, yaitu golongan cerdik pandai, golongan awam  dan golongan antara keduanya. Berbeda dengan Sayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bi al-hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya. Memperhatikan cara penyampaian dakwah dengan perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan dan terkesan  berlebih-lebihan, sehingga tidak  mengandung hikmah  didalamnya.[36] 
Bila digabung beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa metode hikmah adalah suatu  cara yang dipergunakan dalam upaya membawa  orang lain kepada ajaran Islam dengan memakai argumentasi yang pasti, bahasa yang menyintuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga objek dakwah yang dituju melalui metode  ini adalah para cendikiawan,  intelektual atau ilmuan. Hal ini sejalan dengan  pendapat yang dikemukan oleh ‘Abdu al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah dengan hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan pengungkapan bersifat filosofis yang dapat menundukan akal dan tidak ada yang melebihi ketundukan terhadapnya.[37]
Memperhatikan hikmah dalam perspektif mufassir terhadap ayat 125 surat al-Nahl, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah yang terdapat pada ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal ini dapat dipahami dari  surat yang turun pada priode Makkah terdapat kata hikmah pada 5 surat, yaitu :
a. Hikmah pada surat al-Qamar; 5 (54/37) menunjukkan sebagai informasi yang terdapat dalam al-Qur’an dan semua isi yang terkandung didalamnya meliputi aspek ungkapan, pelajaran dan petunjuk hukum dengan bahasa yang sempurna sebagai puncak penjelasan dan tidak satupun  yang tersembunyi di dalamnya.[38] Al-Maraghi mengungkap bahwa hikmah di sini adalah informasi tentang ilmu pengetahuan, hidayah, dan kecerdasan yang membawa  kepada kebenaran bagi orang yang mau mempergunakan akal dan mengendalikan nafsunya.[39] Ilmu  pengetahuan yang dimaksud di sini adalah kisah-kisah yang terjadi sebelumnya,  mempunyai nilai yang sangat tinggi  sekali. Kisah tersebut dapat  mengantarkan  seseorang kepada jalan yang benar, namun tidak akan banyak pengaruhnya, terutama bagi yang tidak mempergunakan akalnya dengan baik. Memperhatikan penjelasan di atas dapat ditangkap bahwa hikmah pada surat ini mencerminkan sebagai informasi kejadian masa silam tentang  cerita-cerita aktual di masanya. Melalui kisah itu Allah mengajak manusia kejalannya. Nampaknya kisah masa lalu itu adalah suatu peristiwa yang pernah terjadi diungkap oleh Allah kepada manusia sebagai suatu metode pemberitahuan dalam upaya membawa orang kepada  kesadaran.

b. Hikmah pada surat Shad ayat 20 (38/38), menunjukkan sebagai pemahaman, akal, kecerdasan, ilmu, adil, ketelitian amal ibadat dan kebenaran hukum yang dikandungnya.[40] Hikmah pada ayat di atas menggambarkan sebagai kebijakan dalam menyelesaikan perselisihan antara dua orang yang punya kambing yang mereka bersengketa sesamanya dengan terlebih dahulu memeriksa pihak-pihak  yang terlibat berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. Untuk itu memerlukan ilmu pengetahuan yang luas,  sikap yang  lemah lembut, menguasai  persoalan  serta  kesabaran yang kuat dalam menghadapi kedua mereka yang sedang berperkara.

c. Hikmah pada surat al-Isra’ ayat 39 (17/50), menunjukkan pengetahuan  tentang Zat Allah, kebaikan dan pelajaran untuk bertindak.[41]  Artinya Allah telah  memberikan bimbingan berupa perintah-perintah yang harus diikuti dan semua  larangan yang harus dijauhi, yaitu mentauhidkan Allah, karena tujuan akhir dari segala urusan manusia adalah mengembalikan kepada Allah  Swt.

d. Hikmah  pada surat Luqman ayat 12 (31/57), adalah perasaan  yang halus, akal fikiran, pengetahuan yang dengannya membawa kepada pengetahuan yang hakiki dan jalan-jalan yang benar serta dapat menyampaikan kepada  kebahagiaan  abadi untuk kehidupan dunia dan akhirat. Artinya hikmah di sini menunjukkan petunjuk yang datang dari Allah. Dengan petunjuk tersebut dapat membawa manusia untuk beramal dengan ilmu dan pemahaman yang dimilikinya.[42]

e. Hikmah pada al-Zukhruf ayat  63 (43/63), menunjukkan kepada mu’jizat Nabi Isa As. dan ayat-ayat yang menunjukkan kepada  kebenaran melalui syari’at yang terdapat pada kitab Injil dan penjelasan kepada Bani Israil yang bertikai dari hukum yang terdapat pada kitab Taurat.[43] Sehingga  dengan  demikian  hikmah pada ayat  ini menjelaskan bahwa Nabi Isa datang  kepada kaumnya adalah untuk membawa keterangan dan bukti-bukti ke-Rasulannya. Dengan tugas yang ia emban menyampaikan ajaran ketauhidan, membenarkan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya beserta Rasul-Rasul-Nya. Semua itu bertujuan agar mendapat kebahagiaan bagi manusia yang mengikutinya. Pengertian hikmah pada al-Nahl 125 (16/70) menjelaskan bahwa hikmah di sini adalah komunikasi yang benar dan menyentuh jiwa secara sempurna.[44] Ayat ini  telah memberikan pedoman kepada  Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia kejalan  Allah  (Islam).  Ayat  ini  sekaligus sebagai  kerangka dasar yang ditetapkan oleh Allah bagi  juru  dakwah mengajak orang  lain  kepada agamanya. Maka hikmah pada ayat ini mengandung pengetahuan  tentang rahasia dan faedah segala sesuatu, komunikasi yang tepat dan benar,  sehingga  menjadi argumentasi untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil  ataupun yang  syubhat dalam masyarakat.
Dengan demikian dakwah dengan hikmah adalah  berdakwah melalui  ilmu pengetahuan yang berkenaan  dengan rahasia berbagai faedah  dan tujuan dari wahyu Ilahi, kecakapan memilih materi dakwah yang  sesuai dengan kemampuan audiens,  sehingga mereka tidak merasa berat dalam menerima Islam. Selain itu pandai pula memilih gaya bahasa dalam menyajikan, sehingga ajaran yang  disampaikan kepada mereka dapat diterima dengan baik, bahkan mereka laksanakan dalam  kehidupannya. Khusus ayat 125 surat al-Nahl ini bahwa Allah Swt. menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk mengikuti metode (cara) Nabi Ibrahim As. dalam melaksanakan dakwah kepada Agama Islam dengan memakai tiga metode, yaitu Hikmah, Mauizhah al-hasanah dan mujadalah bi al-lati hiya ahsan. Dalam hal ini Allah menyuruh memimpin dengan  adil dan benar serta menjadikan kisah-kisah masa lalu sebagai ‘itibar, sabar dalam berbagai situasi dan kondisi negatif maupun positif. Karena melakukan  (الاعلام ) penerangan kepada agama Allah adalah merupakan kebutuhan primer bagi kelestarian alam semesta.[45]
Selanjutnya kata hikmah pada surat Madaniyah dalam al-Qur’an terdapat terdapat 5 (lima) surat adalah sebagai berikut:

a. Surat al-Baqarah ayat 129, 151, 231, dan 269 (2/87) terdapat dua kali. Maksud kata hikmah pada surat Madaniyah pada surat al-Baqarah ayat 129 adalah sebagai pengetahuan dengan agama dan pemahaman dalam menta’wil.[46]  Al-Maraghi memahaminya sebagai rahasia  syari’at  dan maqasyidnya untuk memudahkan antara kaum muslimin, maka dengan hikmah dapat  dijadikan  teladan  dalam  pembicaraan  dan perbuatan.[47]
Pemahaman di atas menunjukkan bahwa hikmah adalah cara yang  dipergunakan untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain melalui pembicaraan dan perbuatan. Boleh jadi pembicaraan  itu  yang  tertuang dalam al-Qur’an dan sangat boleh  jadi  dalam bentuk sunah-Nya. Ayat 151, hikmah di sini adalah sebagai ilmu tentang rahasia hukum dan konsekwensinya, membuka jalan untuk beramal dan taat, melalui cara-cara yang dilakukan oleh para Nabi dan sejarah orang terpuji pada masa kehidupan sebelumnya baik dalam posisi damai maupun perang, sedikit ataupun banyak, dalam musafir atau mukim. Namun al-Zamakhsyari seorang mufassir yang mengutamakan rasio, dengan tafsirnya bercorak ilmi melalui pendekatan bi al-ra’yi, memberi penjelasan tentang makna hikmah pada ayat ini sebagai risalah Nubuwah.[48] Akan tetapi secara kategoris Ibnu Katsir memahami lafaz hikmah sebagai rahasia-rahasia hukum syari’at dan tafsir,[49] ilmu kebijaksanaan,  dan ke-Nabian. Sedangkan dalam pengertian sunah dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah; 129, 151 dan , (2/87) serta surat Ali Imran 81 dan 164, (3/89) surat al-Nisa’ 113, (4/92) dan al-Ahzab 34. (33/90).
Ayat 269 hikmah sebagai ilmu yang bermanfaat yang membawa untuk beramal serta membawa pengaruh kepada jiwa. Lebih jauh pada ayat yang sama hikmah dipahami sebagai pemahaman yang benar, ilmu yang bermanfaat serta mengikuti perkembangan pengetahuan yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.[50] Artinya Allah  memberikan ilmu kepada siapa yang dikehendakinya,  sehingga dengan  ilmu tersebut dapat membedakan antara yang  benar dengan salah. Hikmah itu tidak  akan  diperoleh terkecuali dengan akal yang sehat dan cerdas  yang  dapat mengenal berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti serta dapat mengetahui hakikat yang sebenarnya. Apabila seseorang telah sampai kepada hikmah, berarti seseorang telah dapat membedakan antara janji Allah dengan janji setan. Pada  akhir ayat tersebut Allah membuktikan bahwa Allah memuji orang yang mau  mempergunakan akalnya. Karena melalui akallah manusia dapat mengetahui mana yang bermanfaat  dan mana  yang  membawa kepada mudharat.
b. Surat Ali Imran ayat 48, dan 164. Pemahaman hikmah pada  ayat 48  adalah sebagai ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang menerangi manusia dengan hukum. Hikmah  pada ayat ini  sebagai  pengetahuan cara  menulis yang  diberikan kepada Nabi Isa dan ilmu yang benar untuk membawa  seseorang  mengerjakan  amal-amal yang bermanfaat dan  Allah  memberikan  kemampuan  kepadanya untuk mengetahui kitab Taurat sekaligus  menyampaikan  kepada  kaumnya.[51]
Sedangkan pada ayat 164 adalah sebagai membersihkan diri dari cara-cara jahiliyah dalam akidah, akhlak, dan sistem hidup.[52] Bahkan hikmah di sini adalah Rasul dari kalangan mereka  sendiri.  Hal ini  bertujuan  agar mudah memahami tutur katanya dan tingkah lakunya untuk dirobah dan diperbaiki. Ayat ini memberikan gambaran bahwa menempatkan diri dengan situasi  dan kondisi audience adalah suatu metode dakwah. Sangat riskan sekali  juru  dakwah  dalam  menyampaikan Islam kepada orang lain, jika tidak mengetahui terlebih dahulu kondisi sosial masyarakat yang  mengintarinya.

c. Surat al-Nisa’ 54 dan 113, makna hikmah pada ayat tersebut adalah; pada ayat 54 sebagai ilmu dengan rahasia hukum syari’at dan ayat 164 sebagai dipahami sebagai syari’ah.[53] Syari’at di sini adalah hukum-hukum Islam yang berhubungan segala erbuatan lahiriyah manusia yang didalamnya terdapat segala rahasianya. Justru dengan hukum (aturan) itu dapat mententramkan jiwa dan memudahkan semua urusan bagi manusia. Maka hikmah yang muncul dalam hal ini adalah terciptanya khaira ummah dan panutan bagi orang yang  sesudahnya.[54] 

d. Surat al-Jumu’ah ayat 2. Hikmah pada ayat ini adalah sebagai pengetahuan agama dan hukum al-Qur’an. Melalui hukum tersebut  dapat memberikan  petunjuk-petunjuk kepada bangsa Arab yang masih  buta huruf. Justru demikian Rasul itu  adalah dari kalangan mereka sendiri.[55] Hal ini menunjukkan bahwa untuk memberikan perubahan yang ideal kepada masyarakat adalah dari kalangan mereka sendiri, bukan diluar bangsa mereka. Oleh karenanya pada hukum-hukum itu terdapat hikmah, yaitu pelajaran bagi manusia  dalam kehidupannya.

e. Surat al-Maidah ayat 110, Hikmah yang dimaksudkan  di sini adalah meliputi  semua al-ulum al-nazhariyah ( pengetahuan  bersifat teoritis) dan al-ulum al-amaliyah (pengetahuan yang bersifat  praktis).[56]  llmu teoritis misalnya  di mana  Nabi Isa telah membuat dari tanah dalam bentuk burung, maka  ia meniup burung itu, maka jadilah tanah yang berbentuk burung itu  menjadi  burung yang sungguh-sunguh, sehingga akhirnya burung itu hidup sebagaimana  burung yang lain. Sedangkan ilmu praktis, sebagai contoh Nabi Isa telah dapat  menyembuhkan orang buta sejak dari kandungan ibunya dan orang yang kena penyakit sopak, padahal  pada  saat itu belum ada seorang thabibpun yang mampu menyembuhkan. Dengan demikian hikmah itu  juga  berkaitan  dengan ilmu kimia  dan  fisika.
Memperhatikan kata hikmah pada surat  Madaniyah di atas  pada umumnya banyak berhubungan dengan al-kitab Injil, Taurat serta pengertian ilmu pengetahuan yang dibawa para Nabi-Nabi sebelumnya. Hal ini dapat dicermati pada surat al-Baqarah: 129,151, 231, 269 terdapat dua kali (2/87) surat Ali Imran : 48, 81, dan 164. (3/89). Hikmah pada ayat Madaniyah di atas dirangkaikan dengan penjelasan Allah tentang hukum-hukumnya sebagai prinsip normatif yang mengatur kehidupan manusia, dapat dicermati dari surat al-Baqarah : 269, (2/87), surat Lukman 12 (31/57) dan Bani Israil 39. (17/50). Selanjutnya hikmah yang dirangkaikan dengan kekuasaan dipahami sebagai kualifikasi pemimpin seperti terdapat pada surat al-Baqarah: 251 ( 2/87) dan surat Shad: 20.[57] (38/38). Berikutnya hikmah dirangkaikan dengan ayat-ayat Allah dan sebagai sunnah Nabi terdapat pada surat al-Ahzab 34 (33/90). Kemudian hikmah dirangkaikan dengan kedatangan Nabi Isa, adalah sebagai bayan (penjelas) kepada kaum Bani Israil tentang ke-Nabian, Injil dan hukum. Lebih jauh hikmah dirangkaikan sebagai peringatan-peringatan melalui kisah-kisah terhadap orang kafir terdapat pada surat al-Ahzab ayat 5 (54/37) dan akhirnya hikmah berkonotasi sebagai sunnah Nabi, terlihat pada  surat al-Jumu’ah ayat 2 (62/110).
Memperhatikan pemahaman kata hikmah pada surat Makkiyah dan Madaniyah di atas dapat dipahami bahwa tuturan kata tersebut berkonotasi informasi (الانباء ) dalam al-Qur’an, faham, akal, ketelitian dalam pengamalan dan hukum, pengetahuan tentang Allah, petunjuk yang membawa kepada amal dan ilmu, mu’jizat dan komunikasi yang lancar serta menyentuh jiwa. Sedangkan pada pemahaman yang muncul dari kata hikmah pada surat Madaniyah adalah; sebagai ilmu nafi’ (bermanfaat) yang menerangi manusia kepada jalan Allah Swt. yaitu menjalankan ajaran al-Qur’an hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai suatu sistem hidup yang mesti ditempuh dan dilalui.
Berangkat dari pemahaman di atas dalam memahami   hikmah pada surat al-Nahl;125, maka para ilmuan dakwah terinspirasi mengiring pengertian tersebut kepada pengertian metode operasional dakwah Islam, antara lain: Membawa  kebenaran dengan ilmu dan akal atau meletakan sesuatu pada tempatnya.[58] Yaitu menyesuaikan kemampuan akal para mad’u (penerima dakwah) dengan kondisi dan situasi yang mengintarinya. Bila dicermati pengertian ini berarti metode hikmah adalah cara-cara membawa orang lain kepada ajaran Islam melalui ilmu dan akal.  Pendapat  ini sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh bahwa hikmah sebagai ilmu shahih dan ilmu nafi’,[59] Sementara Hamka, memahami hikmah dengan ilmu, misalnya ilmu yang diberikan oleh Allah kepada Thalut dan kepada Nabi Daud, sehingga dengan ilmunya mereka bisa menjadi pemimpin untuk umatnya dengan gaya kepemimpinan yang ‘arif dan bijaksana.[60] Memperhatikan pendapat di atas setidaknya terdapat dua pemahaman yang menonjol, yaitu pertama hikmah dengan pengertian mufradad berarti kebijakan, ilmu yang bermanfaat, kedua hikmah dengan pengertian sunah Nabi. Hikmah dalam pengertian pertama inilah yang terpakai sebagai  metode  dakwah dalam menyampaikan materi dakwah kepada audiennya.
Setelah memperhatikan surat Makiyah dan Madaniyah yang berhubungan dengan hikmah, maka dapat ditangkap pengertiannya, yaitu: Kalau hikmah dipahami sebagai ilmu dan kebijaksanaan, maka untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui al-’aql (akal). Akal secara etimologis setidaknya mempunyai dua arti, pertama mengikat, kedua memahami dan memikirkan ( al-fahm wa al-tadabur ), misalnya ‘aqala al-syai’( memikirkan hakikat sesuatu).[61] Pada makna kedua inilah kata al’aql dipergunakan sebagai akar munculnya berfikir secara filosofis dan mendalam. Karena akallah yang dapat  menerima ilmu[62] dan alat untuk mengetahui serta membuat keputusan-keputusan.[63]
Nampaknya pengertian di atas lebih lengkap yaitu bahwa al’aql bukan hanya kesanggupan mengenal sesuatu, akan tetapi lebih jauh dari itu, yaitu dapat membuat keputusan-keputusan tertentu berdasarkan perolehan dari sesuatu  yang telah dikenal atau diketahui. Pengertian ini sekaligus telah menjawab bahwa akal sebagai alat dalam proses mengetahui, berfikir dan bernalar. Dengan demikian secara ilmiah sasaran dakwah adalah memberikan pencerahan kepada akal mad’u dalam menerima dan memahami ajaran Islam yang terdapat pada nash melalui empat kategori penalaran sebagai berikut :
Pertama : penalaran kausalitas atau hubungan sebab akibat. Penalaran ini dapat dilihat misalnya firman  Allah surat Ali Imran ayat 118, yaitu :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (ال عمران : 118)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Pada ayat ini Allah melarang orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang non mukmin sebagai orang-orang yang dipercayai (bithanat). Menurut al-Razy (w.606H/1209M), adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik secara umum semua orang kafir.[64] Sebab pelarangan tersebut adalah adanya rasa kebencian yang pernah terucap oleh mereka terhadap orang-orang Islam. Sebagai akibatnya ialah mereka akan terus-menerus berusaha menyusahkan atau merusak tatanan Islam itu sendiri. Penalaran di atas membutuhkan adanya perbandingan (komparatif). Ayat di atas memberi indikasi yang jelas dan menyebutkan sebab sekaligus akibat dari sebab dari suatu perbuatan. Dengan demikian metode dakwah dengan hikmah memerlukan adanya pemberian perbandingan, karena akallah yang dapat membedakan diantara yang benar dengan tidak benar, sesuatu yang bermanfaat dan yang mudharat dan seterusnya.
Kedua, penalaran sistesis. Kata al-aql digunakan al-Qur’an tentang degradasi manusia baik fisik ataupun jiwa. Hal ini terdapat misalnya pada surat Yasin ayat 68, yaitu :

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ أَفَلَا يَعْقِلُونَ (يس : 68)

Artinya : Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

Ayat ini mengemukakan bahwa manusia akan mengalami perubahan. Kalau pada mulanya tubuh manusia itu kuat, pada masa tua ia akan menjadi lemah, jika sebelumnya tahu, ia akan menjadi bodoh dan kalau selama ini mempunyai ingatan yang kuat, ia akan menjadi pelupa.[65] Sintesis tersebut terlihat pada peristiwa-peristiwa masa lampau (qashshah) dan akan berindikasi terus-menerus untuk masa yang tidak terbatas. Dalam hal ini al-Qur’an mengajak agar dapat mempergunakan nalar tentang proses dan keadaan manusia dalam menempuh hidup ini melalui berbagai kisah yang telah dicontohkan Allah masa lalu. Kisah-kisah itu akan tetap aktual bagi orang yang mempergunakan akalnya, baik untuk kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Kisah yang dikemukakan oleh Allah dalam al-Qur’an merupakan suatu cara dalam mengajak orang lain kepada kebenaran Ilahi. Sehingga metode dakwah dengan hikmah membutuhkan kepada kisah (qashshah) masa lalu. Oleh karenanya kisah salah salah satu bentuk metode dalam upaya meyakinkan orang kepada Allah sebagai Khaliqnya.
Ketiga, penalaran analitis, misalnya kenapa Allah bersumpah (aqsâm) dengan alam ciptaanya, baik dengan memakai kalimat lansung ataupun melalui  huruf  qasam. Bila dianalisa secara mendalam nampaknya mengandung hikmah yang sangat dalam dan berguna bagi kepentingan penanaman pemahaman suatu ide kepada manusia. Sehingga ayat ayat yang terdapat dalam bentuk  sumpah adalah bertujuan membawa manusia berfikir dengan meneliti informasi ayat al-Qur’an secara ilmiah, misalnya kata wa al-Dhdhuha, wa al-Thin wa al-‘Ashr dan lain sebagainya dijabarkan menurut kaidah dan prinsip ilmu pengetahuan. Sumpah dalam hal ini bukan sebagai materi dakwah, akan tetapi sebagai metode dakwah dalam upaya memperteguh keyakinan seseorang kepada Allah Swt..
Keempat, penalaran figuratif, yaitu penalaran melalui perumpamaan (Amsãl) dan melalui pengembaraan (rihlah/ tasyâran). Hal ini misalnya di ungkapkan oleh Allah surat al-Baqarah ayat 171, yaitu:

وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)

Artinya : Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Ayat tersebut membangun suatu perumpamaan, bahwa orang-orang kafir disebut sebagai orang orang tuli, bisu dan buta karena tidak mau memperhatikan dan memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Diumpamakan dengan binatang ternak yang dipanggil oleh pengembalanya. Binatang itu mendengar panggilan tersebut, namun tidak memahami maknanya yang pasti. Ditinjau dari kaca mata pembaca perumpamaan itu, maka penalaran yang diungkap oleh ayat itu adalah analogis-figuratif. Sedangkan dalam bentuk wisata diharapkan dapat memberikan inspirasi dan aspirasi kepada jiwa dengan memperhatikan keanekaragaman alam dengan flora dan faunanya.
Pendayagunaan al-aql-berdasarkan uraian tentang penalaran di atas, ada implikasi yang hendak dicapai sebagai target seruan al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Qur’an mentargetkan dalam seruannya untuk mempergunakan akal (al-aql) secara optimal dalam upaya mengajak orang lain, karena akal merupakan bagian penting dari manusia, yang dengannya mereka dapat mengetahui dan mengambil keputusan. Bahkan al-Qur’an memuliakan akal dan mengulang kata ini 49 kali dalam berbagai surat dan ayat,[66] misalnya Allah mengecam dengan keras (ancaman kehinaan dan kemurkaan Allah) terhadap orang-orang yang tidak mengfungsikan akal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Allah dalam surat Yunus 100, yaitu:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ (يونس :100)

Artinya : Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Ayat di atas, berdasarkan penafsiran Rasyid Ridha (w. 1354H/1935M), bahwa seseorang yang akan beriman kecuali bila sesuai dangan kehendak Allah yang telah digariskan oleh Sunahnya yaitu dengan berpikir, memikirkan ayat-ayat-Nya, baik ayat-ayat yang terdapat pada kitab-Nya atau ayat-ayat yang terdapat pada makhluk-Nya. Jika tidak, maka amat fatal resikonya bagi keimanan seseorang terutama bagi orang-orang yang tidak mempergunakan akal mereka.

2. Pemakaian kata al-aql secara keseluruhan ditargetkan oleh al-Qur’an adalah mengacu pada perannya untuk mencegah  manusia dari perbuatan destruktif terhadap dirinya, karena itu al-Qur’an menyerukan untuk menfungsikan akal kepada hal-hal yang bermanfaat, terpuji dan benar. Disamping itu al-Qur’an juga menunjukkan tentang penggunaan akal secara tidak terpuji seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan orang munafik, misalnya terdapat pada surat al-Maidah 58.[67]
Persoalan yang muncul dalam memahami kata hikmah dalam al-Qur’an secara keseluruhan, jelas akan membawa kontroversi dikalangan ulama dalam Islam, karena akan melahirkan pertanyaan, apakah hikmah itu materi, atau metode? Jika kata hikmah itu diambil sebagai materi (pelajaran) yang datang dari Allah, karena disandingkan dengan dalam banyak ayat dengan kata Injil, Taurat dan al-Kitab, agaknya hikmah dalam pengertian ini tidak metode, tetapi adalah pesan yang harus disampaikan atau materi dakwah kepada masyarakat. Nampaknya analisa di atas terpatahkan, walaupun ada yang perpendapat demikian, karena pada rangkaian ayat  kata sebelumnya adalah sabili rabbika. Mufassir dalam memberi argumentasi kata itu adalah agama Islam. Dengan demikian adanya kata با (bi) ( harf al-Jar), menunjukan kepada jalan yang ditempuh atau alat yang  terpakai  dalam melaksanakan sesuatu. Sehingga kata hikmah pada surat al-Nahl ayat 125 itu adalah salah satu cara (metode) yang ditempuh oleh juru dakwah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Pemahaman hikmah sebagai metode pada ayat ini adalah merupakan jumhur pendapat mufassir. Oleh karena itu hikmah dari etimologi dan pemakaiannya dalam al-Qur’an dengan pengertian yang diberikan oleh ahli tafsîr adalah tidak sama dengan hikmah yang dipahami dalam bahasa Indonesia, dengan arti bijaksana.
Dengan demikian metode dakwah hikmah adalah suatu metode dakwah praktis yang ditujukan kepada juru dakwah dalam membawa manusia kepada jalan benar dan harus mereka ikuti, sekaligus ayat tersebut juga mengajak manusia kepada hakikat murni dengan terlebih dahulu memperhatikan situasi dan kondisi, iklim serta medan dakwah. Atas dasar itu maka hikmah berjalan pada metode yang realitas (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Artinya memperhatikan realitas yang terjadi diluar, baik pada tingkat intelektualitas, pemikir, psikologis, sosial, budaya, politik dalam masyarakat. Semua itu diselaraskan sesuai dengan persoalan yang mengintarinya. Hal ini relevan dengan ungkapan Ali bin Abi Thalib dalam menyampaikan ajaran Islam agar berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan kadar akalnya.
Kata hikmah jika dikaitkan dengan kata dakwah, akan ditemukan bahwa keduanya merupakan peringatan penting kepada juru dakwah untuk tidak menggunakan satu bentuk metode saja dalam berdakwah. Sebaliknya juru dakwah menggunakan berbagai macam metode sesuai dengan realitas yang dihadapi dan  sikap masyarakat terhadap agama Islam. Sebab jika tidak demikian dakwah Islam tidak akan berhasil menjadi suatu wujud yang riil jika metode dakwah yang dipakai untuk menghadapi orang bodoh sama dengan yang dipakai untuk menghadapi orang terpelajar dan sebaliknya. Sebahagian orang  hanya memerlukan iklim dakwah yang penuh gairah dan berapi-api, sementara yang lain memerlukan iklim dakwah yang  sejuk  dan seimbang yang memberikan kesempatan bagi intelek untuk berfikir dan bagi batin untuk mendapatkan ketenangan. Pada sisi lain diperlukan mempresentasikan materi dakwah lewat pembahasan yang rinci, sedangkan pada kesempatan lain diperlukan menyampaikan secara garis besarnya saja, semetara rinciannya diberikan pada kesempatan mendatang. Keberhasilan Nabi Muhammad Saw. dalam menyampaikan ajaran Islam, nampaknya karena menjadikan hikmah pada ayat  al-Nahl 125 sebagai metode dalam penyampaian ajaran Islam untuk membawa orang kepada kebenaran yang sesuai dengan ketantuan moral Islam yang dipaparkan al-Qur’an al-Karim.

Kesimpulan

Memperhatikan pengartian hikmah yang terdapat dalam al-Qur’an dari beberapa pendapat ilmuan tafsir di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan antara lain :
1.      Metode dakwah hikmah adalah suatu cara dalam mengajak orang lain kepada Islam dengan memberdayakan akal, ilmu secara benar dan mendalam melalui pendekatan filosofis dan rasional ( hikmiyah dan aqliyah) diarahkan kepada kumunitas pemikir dan intelektual, karena golongan ini cenderung mempunyai daya tangkap yang cepat, kritis dan wawasan yang luas.
2.      Memberikan materi dakwah dengan argumentasi yang dapat menghilangkan keraguan dan membawa kepada keyakinan, bersifat induktif, analisis, objektif, logis, kumunikatif dan komparatif.
3.      Menempatkan  dan meletakan audiens sesuai dengan posisi dan proporsinya.
4.      Ketiga natijah di atas, bila dilihat dari pengertian hikmah dalam perspektif mufassir didalam memberikan interprtasi terhadap kata himah dalam al-Qur’an, nampaknya sangat signifikan dengan makna hikmah sebagai suatu metode dakwah, yaitu mengajak orang lain kepada Islam melalui ilmu pengetahuan, kecakapan membaca situasi dan kondisi umat serta kemampuan memilih bahasa yang terpakai dalam masyarakat, sehingga audiens dapat menerima Islam sebagai suatu kebutuhan dan rela melaksanakan ajarannya dalam kehidupan.

Metode Dakwah Maw’izhah al-Hasanah
Kata maw’izhah adalah perubahan kata dari akar kata dasar (w, ‘a, zh); artinya memberi nasehat, memberi peringatan kepada seseorang yang  bisa membawanya taubat kepada Allah Swt. dan baik perjalanannya.[68] Ibrahim Musthafa, mengemukakan dengan nasehat, peringatan dengan adanya ‘ikab, menyuruh dengan ketaatan dan berwasiat dengannya, baik melalui perkataan maupun dalam bentuk perbuatan.[69]
‘Abdu al-Rahim mengemukakan bahwa maw’izhah ialah ; Peringatan yang baik yang dengannya dapat melembutkan hati, yaitu melunakan hati yang kesat, meneteskan  air mata  yang beku  dan memperbaiki amal yang rusak.[70] Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Quthb, bahwa metode maw’izhah al-hasanah adalah dakwah yang mampu meresap kedalam hati dengan halus dan merasuk kedalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak beresikap  menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka  aib atas kesalahan-kesalahan audiens, karena mereka melakukan hal itu  disebabkan tidak tahu. Oleh sebab itu sifat lemah lembut dalam penyampaikan ajaran Islam kepada mereka, pada umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat  dan menjinakan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.[71] Sedangkan A. Hasymi, menjelaskan  bahwa maw’izhah al-hasanah adalah pelajaran yang indah yang senang orang  lain  mendengarkannya, memasuki sel-sel otak dan relung-relung hati.[72]
Pendapat di atas sangat realitas sekali bahwa konsep dakwah maw’izhah al-hasanah tidak tertuju kepada satu kelompok orang akan tetapi juga berlaku untuk semua golongan masyarakat. Kenyataan ini menunjukan bahwa pengajaran yang baik bukan hanya  ditandai dengan  pemilihan materi dakwah yang  menarik  sesuai dengan tingkat kecerdasan audiens, tetapi juga ditandai dengan tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dapat dijadikan panutan sebagai tempat berpijak bagi  masyarakat.
Kata maw’izhah dengan segala bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali[73] dalam berbagai ayat dan surat. Rincian ayat yang berakar dari و,ع,ظ (wau, ain dan zh) dalam al-Qur’an dalam bentuk maw’izhah terdapat 9 kali, yaitu : surat al-Baqarah : 66, 275(02/87), Ali Imran :138 (03/89), al-Maidah : 46, (5/112), al-’A’raf : 145 (07/30), Yunus 57 (10/51), Hud : 120 (11/52), al-Nahl : 125(16/70) , al-Nur : 34 (24/102).[74] Penejelasan ayat-ayat adalah sebagai berikut:

a. Pemaknaan maw’izhah pada surat al-Baqarah; 66 adalah mengacu kepada peringatan Allah terhadap Bani Israil yang telah melanggar perjanjian dengan Allah untuk tidak keluar pada hari sabtu mencari ikan kelaut, ternyata kaum Bani Israil melanggarnya. Akibat pelanggaran tersebut, Allah memberi azab  kepada orang -orang Israil dengan mengkleim sebagai kera yang hina. Wahbah al-Zuhaili,  yang dimaksud dengan kera yang hina itu adalah kalimat isti’arah,  yaitu sindiran Allah  kepada orang yang melanggar aturan diibaratkan seperti kera, yaitu hati dan pahamnya sama dengan kera,[75] karena tidak mau menerima nasehat dan  peringatan. Bagi Mushthafa al-Maraghi pada ayat ini adalah bukan sebagai isti’arah, tetapi adalah benar-benar berubah menjadi kera.[76] Pada ayat lain Allah mengumpamakan dengan keledai (al-Jumu’ah; 5). Karena kepadanya  diturunkan al-kitab, akan tetapi mereka tidak dapat menjadikannya sebagai petunjuk  kepada jalan kebenaran.
Berikutnya maw’izhah pada  ayat 275  adalah memberi pelajaran bagi pelaku riba yang diibaratkan seperti orang yang kemasukan setan, sehingga pada ujung ayat tersebut Allah mengancam sebagai penghuni neraka. Ungkapan maw’izhah pada ayat  ini menunjukkan bahwa pelaku riba sama dengan setan gila, yaitu terlalu mencintai harta  dan menjadikan harta tersebut sebagai hiasan hidupnya.
Maw’izhah di sini sangat erat kaitannya dengan gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat sebelumnya, maka untuk menjauhi dan upaya meninggalkan praktek riba, al-Qur’an telah menunjukkan metodenya kepada Nabi Muhammad  Saw.. melalui  empat tahapan yaitu:
1.   Pada tahap pertama Allah  membedakan antara riba dengan zakat. Budaya orang Yahudi adalah menganggap penambahan harta itu dengan riba. Dalam hal ini Allah mengisyatakan bahwa yang bertambah itu bukan riba, akan tetapi adalah zakat.[77]
2.      Pada tahap kedua Allah mengindentikan pelaku riba itu dengan orang Yahudi dan Allah belum melarangnya. [78]
3.   Pada tahap ketiga telah ada isyarat yang bersifat tersirat untuk melarang memakan harta yang berlipat ganda, kalaupun larangan tersebut belum jelas.[79]
4.   Al-Qur’an mengatakan dengan tegas bahwa riba itu haram hukumnya, haram prosesnya dan Allah menyuruh untuk meninggalkannya, karena bertentangan dengan cara-cara kehidupan manusia bahkan Allah dan Rasul-Nya mengancam para pelaku riba untuk diperangi.[80] 
                           Memperhatikan ayat-ayat di atas, menunjukkan bahwa maw’izhah al-hasanah dapat dilaksanakan bila telah didapati beberapa indikasi yang justru membawa kepada kerusakan. Jadi metode maw’izhah memerlukan tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan sesuai dengan persoalan yang dihadapi  dengan berpedoman kepada kondisi masyarakat yang mengintarinya.

b. Maw’izhah pada surat Ali Imran; 138 (3/89), Ayat ini menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang tidak ada keraguan (al-Baqarah; 2), meyakininya sebagai hakim, sebagai hudan dan rahmat dalam segala urusan (Luqman; 2-3). Allah pada ayat memberi peringatan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati kepada kaum munafik, yang mereka ragu tentang kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Hal ini terebukti Abdul bin Jabir dipercaya oleh Nabi untuk menjaga bukit Uhud, sebagai tempat strategi dan basis perjuangan umat Islam. Namun ada diantara pasukan yang sengaja memungkiri janjinya dengan meninggalkan bukit dan turun kebawah, karena ia melihat orang telah membagi-bagikan harta rampasan perang, maka ia khuatir tidak mendapat bagian dari harta rampasan tersebut. Maka ia perintahkan kepada anggota pasukannya untuk meninggalkan bukit, sehingga amanah (kepercayaan) yang dipercayakan kepadanya ia abaikan, sebagai konsekwensinya membawa kekalahan dikalangan kaum muslimin. Bahkan dalam peperangan tersebut Nabi sendiri mengalami luka dan pecah salah satu  giginya. Pada ayat ini Nabi Muhammad Saw. telah terilhami untuk membuat suatu sistem[81] atau strategi dalam perang, yaitu Ialah suatu perangkat elemen-elemen yang saling berhubungan di antara satu dengan yang lain, sehingga melahirkan sesuatu hasil yang ingin dicapai. Dari pemaknaan ini terdapat hubungan yang erat di antara struktur dengan sistem. Dalam struktur terdapat unsur-unsur yang saling terkait, maka sistemlah yang mengkoordinasikan sehingga unsur-unsur tersebut terkoordinir menjadi suatu kesatuan (sistem) tertentu. Dengan kata lain, sistem terkait dengan aktivitas, sedang struktur terkait dengan unsur. Keberhasilan sesuatu aktivitas, bagaimanapun baik dan sucinya, sangat ditentukan oleh sistem yang diterapkan dalam pelaksanaannya.
Dalam hal ini kata maw’izhah mengandung pemaknaan sistem dan strategi-strategi yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu kegiatan. Jika sistem dan strategi itu tidak diindahkan, maka kehancuranpun akan bermunculan. Dengan demikian maw’izhah di sini adalah sebagai sistem atau strategi yang terlupakan atau terabaikan. Ayat ini ada hubungannya dengan ayat 137, bahwa telah terjadi ketentuan-ketentuan Allah terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul sebelumnya. Sehingga Allah meyuruh untuk memperhatikan alam sebagai pelajaran dalam kehidupan. Peristiwa ini rupanya juga telah  terjadi kepada  para Rasul sebelumnya. Misalnya, kaum Bani Israil mengengkari kejujurannya ketika Musa pergi ke Bukit Tursina selama  empat puluh hari, di mana kaumnya menyembah ‘Ijil sebagai Allahnya. Pada ayat sesudahnya (139) bahwa Allah menunjukkan sebelum kamu telah berlaku sunnah-sunnah Allah (ketentuan Allah); karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul). Untuk itu pada ayat 139 Allah memberi peringatan agar jangan bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, karena kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.

c. Maw’izhah pada surat al-Maidah; 46, (5/112) Kata maw’izhah pada ayat ini mengambarkan bahwa kitab Injil dan Taurat adalah pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa. Ayat 46 di atas berhubungan dengan ayat sebelumnya (45) yaitu Allah telah menetapkan terhadap kaum Bani Israil di dalam al-Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Sedangkan pada ayat sesudahnya (47) Allah mengharapkan agar pengikut Injil, memutuskan perkara sesuai dengan kitab Injil pula. Bagi yang  tidak memutuskan perkara menurut kitab Injil, maka pelakunya itu adalah orang-orang yang fasik.

d. Maw’izhah pada surat al-A’raf; 145 (7/39). Ayat ini pelajaran bagi kaum Nabi Musa untuk berpegang teguh dengan Taurat, yaitu mendahulukan hal-hal yang wajib ketimbang yang sunat dan mubah. Sekaligus Allah akan memperlihatkan beberapa negeri yang dihancurkanNya akibat kefasikan para penduduknya. Maw’izhah yang dimaksudkan di sini adalah meliputi semua yang diwajibkan mentaatinya dan meninggalkan semua maksiat.[82] Pemahaman ini menunjukkan bahwa maw’izhah tidak  satupun yang bersifat negatif atau yang membawa manusia kepada  kemaksiatan. Jadi  jelas  bahwa pelajaran yang membawa kepada kerusakan  tidak dapat disebut dengan maw’izhah, karena setiap perlakuan maksiat Allah telah membuktikan betapa banyaknya negeri-negeri dan penduduk suatu negeri yang telah dihancurkannya.

e. Maw’izhah pada surat  Yunus;57 (10/51).[83] Ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah sebagai pelajaran bagi orang yang beriman. Maw’izhah yang dimaksudkan pada ayat ini adalah هي الوصية بالحق والخير واجتناب الشر والباطل [84]. Indikasi ini menunjukkan bahwa wasiat adalah salah satu bentuk metode maw’izhah al-hasanah dalam al-Qur’an, karena prinsip wasiat adalah terhimpun didalamnya targhib wa  al-tarhib, menetapkan perbuatan baik  dan meninggalkan perbuatan yang keji. Sehingga hubungan ayat ini terkait  dengan surat Ali Imran ayat 138 (3/89) هذا بيان للناس وهدى وموعظة للمتقين bahwa al-Qur’an adalah bayan (keterangan), petunjuk dan maw’izhah bagi orang yang waspada, baik terhadap aturan Allah, manusia dan waspada terhadap kemungkinan  rusaknya alam dan lingkungan.

f. Maw’izhah pada surat Hud : 120 (11/52). Ayat ini mengambarkan tentang kisah-kisah dalam al-Qur’an sebagai pelajaran dalam upaya memperteguh hati orang yang beriman. Maw’izhah pada ayat ini meninggalkan semua yang menyangkut ketergantungan hidup hanya  untuk  dunia dan mengisyaratkan  adanya kebahagiaan hidup di akhirat kelak.[85]

g. Maw’izhah pada surat Al-Nahl; 125 (16/70). Ayat ini mengemukakan bahwa melakukan dakwah adalah melalui pelajaran yang baik. Maw’izhah pada ayat ini ungkapan yang bermanfaat dan pembicaraan yang mengesankan yang membawa dampak  kepada hati audiens[86]

h. Surat al-Nur : 34 (24/102).[87] Ayat ini mengemukakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an adalah sebagai penerangan dan contoh-contoh dari orang yang terdahulu dan pelajaran bagi orang yang bertaqwa. Penerangan di sini ialah sesuatu yang dibutuhkan kepada ajaran agama meliputi  hukum, hudud dan etika. Sedangkan melalui contoh-contoh ialah kisah yang menakjubkan seperti  kisah ‘Aisyah, Yusuf dan Maryam. Sehingga maw’izhah pada ayat ini adalah penjelasan bagi orang yang bertaqwa  dan orang yang takut kepada azab Allah.[88] Dengan demikian mau’izah pada ayat ini  diartikan  dengan penjelasan yang semakna dengan bayan.

 79                                                        80                                                                     2
 
Memperhatikan uraian di atas  nampaknya kata maw’izhah digandengkan dengan beberapa kata  lain dalam al-Qur’an, seperti dengan kata هدي   (petunjuk) yang terdapat dalam surat Ali Imran: 138 (3/89 ).[89] Hudan yang dimaksudkan di sini adalah al-Qur’an di dalamnya terdapat berbagai informasi tentang sikap umat terdahulu. Selanjutnya pada  surat  al-Maidah : 46 (05/122)[90] Hudan dan maw’izhah pada ayat ini adalah petunjuk dan pelajaran dalam kehidupan. Selanjutnya maw’izhah digandengkan dengan بيـان (penerangan) terdapat dalam surat Ali Imran 138 (3/89). Penggandengan dengan bayan bertujuan menjadikan al-Qur’an sebagai penerangan. Berikutnya maw’izhah digandengkan dengan حكمة (hikmah) terdapat dalam surat al-Nahl: 125 (16/70). Maw’izhah yang dimaksudkan pada ayat ini adalah Allah menyuruh Rasulnya untuk mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik, yaitu memberi peringatan kepada manusia supaya berhati-hati terhadap kebencianNya.  Selanjutnya maw’izhah digandengkan dengan شفـاء (obat hati) dalam surat Yunus: 57 (10/51)[91] menunjukkan bahwa maw’izhah dan shifa’adalah sejalan, karena makna shifa’ di sini adalah sebagai obat untuk menghilangkan keraguan, kekejian dan dosa, sebagai diungkap Ibn Katsir (w.774 H/1372): yaitu; menjauhi dari perbuatan keji, obat bagi jiwa, artinya dari syubhat dan keraguan yakni menghilangkan padanya dari kekejian dan dosa. Berikutnya kata maw’izhah bergandengan dengan ذكر terdapat pada surat Hud : 120 (11/52 ).[92] Zikra di sini adalah: الارشاد الى الاعمال الصالحة الباقية yaitu: bimbingan kepada perbuatan baik yang berkekalan.[93] Kemudian digandengkan dengan Taurat (kitab suci) terdapat dalam surat al-Maidah 46 (05/92). Hal ini menunjukan bahwa kitab Taurat dalam hal ini sebagai petunjuk dalam menempuh kehidupan.        
Nampaknya pemakaian kata maw’izhah berkaitan dengan kegiatan memberi pelajaran atau peringatan kepada orang lain. Pelajaran dan  peringatan yang diberikan tersebut didasari kepada beberapa cara, sesuai dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapi.
Sedangkan kata maw’izhah dalam perspektif mufassir adalah terdapat perbedaan pandangan antara lain: Fakhruddin al-Razi, maw’izhah adalah argumentasi yang dapat menetapkan keyakinan,[94] dengan petunjuk al-Qur’an. Al-Thabari (w. 310) memberikan definisi maw’izhah sebagai ungkapan yang indah yang telah dijadikan Allah sebagai hujjah (argumentasi) dalam kitabnya.[95] Sayyid Qutb mengemukan bahwa maw’izhah adalah nasehat dan pengajaran yang diberikan kepada masyarakat umum yang bersifat menggembirakan dengan mengemukan  kebaikan-kebaikan ajaran Islam.[96] al-Qasimi (w. 1332 H/1913 M) menambahkan bahwa kalimat ini berarti ibarat yang lembut (halus) dan peristiwa yang menakutkan untuk memberi peringatan akan adanya siksaan Allah nantinya di akhirat yang mesti mereka terima sesuai dengan perbuatannya.[97] Dengan demikian maw’izhah adalah ibarat yang bisa memberi kepuasan hati bagi umat yang dihadapi, sehingga nasehat itu bermanfaat bagi yang bersangkutan.[98] Selain pendapat di atas al-Thaba’thabai mengatakan bahwa maw’izhah adalah suatu penjelasan (bayan) yang dapat melunakan jiwa dan melembutkan hati manusia.[99] Sedangkan al-Maraghi dalam tafsirnya mengemukakan pendapatnya bahwa maw’izhah adalah argementasi yang mudah dicerna oleh orang umum.[100]
Pengertian yang dikemukakan oleh ilmuan di atas dapat disimpulkan bahwa metode maw’izhah al-hasanah merupakan cerminan dengan pendekatan intruksional, yang pada umumnya ditujukan kepada masyarakat awam. Kumunitas ini pada umumnya, baik tangkapan maupun daya fikirannya masih sangat sederhana, sehingga dakwah yang diberikan kepadanya dititik beratkan dalam bentuk bahasa yang relevan dengan kondisinya, bersifat intruksional dan dalam bentuk mengembirakan serta memberi informasi yang mereka jera melakukannya.
Beberapa pengertian di atas dapat ditarik dua kesimpulan yaitu: pertama, maw’izhah al-hasanah dikategorikan sebagai penerangan dan penyiaran ajaran Islam kepada masyarakat dengan mempergunakan argumentasi yang mudah dan dapat memuaskan orang umum, dan kedua; mau’izahah al-hasanah dikategorikan sebagai pemberian bimbingan dan penyuluhan yang berkaitan dengan kepuasan hati dan jiwa, sangat boleh jadi dengan memberikan pujian dan sanjungan kepadanya, seperti pujian Nabi Hud As. kepada kaum ‘Ad.[101] Hal ini bertujuan sebagai pencerahan dan pengembangan masyarakat. Bila kedua kategori ini dikembangkan, maka pemberian penerangan dan penyiaran tersebut tertuju kepada masyarakat luas tentang ajaran Islam. Dalam hal ini diperlukan terlebih dahulu mempelajari masyarakat yang dihadapi, tidak terkecuali misalnya sosiologi dakwah, antropologi dakwah, peta dakwah dan kultur (peradaban) yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu dibutuhkan adanya manajemen sebagai alat mempermudah menghadapi masyarakat, selain itu dibutuhkan ilmu komunikasi massa, baik melalui media cetak, maupun media elektronik sebagai  media mempercepat jalannya  dakwah kepada audiens, sistem dan strategi dakwah. Sedangkan pemberian bimbingan dan penyuluhan masyarakat, nampaknya lebih tertuju kepada pribadi-pribadi yang bersifat langsung. Dalam hal ini dimungkinkan adanya pengembangan dan pencerahan masyarakat melalui pribadi tersebut. Bila dikompromikan, dapat dipahami bahwa maw’izhah pada satu sisi sebagai materi dakwah yang disampaikan dengan dalil-dalil atas argumentasi yang tepat dan dapat memuaskan jiwanya menjadi tenang. Sedangkan pada sisi lain maw’izhah sebagai metode dakwah yaitu mengajak orang lain untuk memahami ajaran Islam dengan mempergunakan bahasa yang dapat menyentuh jiwanya melalui nasehat dan wasiat, tabsyir wa al-tanzir (mengembirakan dan memberikan informasi yang menakutkan), serta diiringi dengan panutan yang baik (Uswatun hasanah). Pelaksanaannya dikembangkan dengan penerangan dan penyiaran secara umum atau kolektif. Sedangkan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan, dilakukan secara  khusus atau individual terhadap para audiens (penerima dakwah) dengan fase to fase.
   Memperhatikan pemaknaan maw’izhah pada ayat-ayat di atas, maka tekanannya tertuju kepada peringatan yang baik  (al-tazkir) dan dapat menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens terdorong untuk berbuat baik. Dengan demikian maw’izhah tidak hanya terbatas pada konsep nasehat, karena  nasehat merupakan perintah yang disampaikan secara tiba-tiba tanpa adanya tanggungjawab secara kontiniu, sedangkan maw’izah adalah perintah yang disampaikan secara bertahab, berencana dan bertanggungjawab sampai perintah tersebut  terlaksana dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Karena implementasi maw’izhah dalam dakwah Islam adalah pemberian dan penyampaian informasi yang dapat memberikan pengetahuan,  sikap dan  keterampilan untuk mengerjakan suatu kebaikan agar tercapainya kemashlahatan umat untuk mengabdi kepada Allah  Swt.
Metode maw’izhah al-hasanah, sebagaimana ayat-ayat yang terkait dengannya, menunjukkan suatu cara yang di ajarkan Allah kepada Nabi-Nya untuk mengajak orang lain kepada Islam dengan tahapan dan perencanaan yang jelas. Karena bukanlah suatu metode, jika sesuatu itu dikerjakan bukan melalui tahapan dan perencanaan yang jelas. Hal ini terlihat pada ayat-ayat al-Qur’an, misalnya bahwa  bila ditemukan kata-kata yang bersumber dari akar  kata w, ain dan zha, (و, ع, ظ) dalam al-Qur’an, maka pelaksanaannya mempunyai tahapan-tahapan. Misalnya;
1.      Dilihat dari ancaman-ancaman yang diinformasikan terhadap pelakunya seperti kera (QS. al-Baqarah; 66)
2.      Dilihat dari gejala-gejala negatif yang ditimbulkan, seperti pelaku riba ( QS al-Baqarah; 275)
3.      Dilihat dari cara melaksanakannya, misalnya pelaku kisas (QS. al-Maidah; 46)
4.      Dilihat dari segi prioritas melaksanakannya, yaitu mendahulukan yang terpenting dari yang penting (QS. al-A’raf; 145)
5.      Dilihat dari segi kehati-hatian dalam memberikan materi, seperti melalui  targhib wa al-tarhib (QS. Yunus; 57)
6.      Dilihat dari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat (QS. Hud; 120)
7.      Dilihat dari segi bahasa yang dipakai (QS. al-Nahl; 125)
8.      Dilihat dari segi penjelas (bayan) (QS.  al-Nur; 34)
9.      Dilihat dari segi kondisi sosial yang mengintari seperti  cara menghadapi orang kafir dan munafik (QS. al-Nisa’;63)

Memperhatikan pengertian di atas setidaknya dapat ditemukan dua bentuk, Pertama mauizhah sebagai materi dakwah, kedua sebagai metode dakwah. Alasan pertama bahwa maw’izhah lebih dekat sebagai dalil, pelajaran yang berkaitan dengan  kepuasan hati dan jiwa. Kalau dikomromikan, dapat disimpulkan sebagai pelajaran  yang disampaikan dengan dalil-dalil yang tepat, sehingga  dapat memuaskan orang yang  dihadapi sampai menjadi tenang. Alasan kedua jika mau’izahah sebagai metode dakwah, adalah suatu metode dengan menggunakan ungkapan yang indah dengan penjelasan yang dapat menembus jiwa dan melembutkan hati disertai argumentasi yang tepat, sehingga objek dakwah menjadi puas menerima pelajaran yang diberikan. Bahkan yang paling menarik adalah pendapat al-Razi dan al-Maraghi mempergunakan argumentasi yang mudah sehingga dapat mengantarkan kepada keyakinan.
Memperhatikan pendapat di atas cakupan makna yang terkandung dari kalimat maw’izhah meliputi: memberikan argumentasi dengan gaya bahasa yang relevan dengan latar belakang keadaan umat, yaitu audiens dihadapi dengan argumentasi yang dapat menghantarnya kepada ajaran Islam dengan memakai bahasa lemah lembut, lugas, sejuk dan mudah merasuk kedalam jiwanya. Lebih jauh ketika kata maw’izhah diungkap, maka makna yang terkandung didalam adalah memberi nasehat dan wasiat dengan kebaikan, sehingga dapat melembutkan hati dan mendorong untuk beramal. Pemberian nasehat adalah merupakan penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati  menjauhi kemaksiatan sehingga terarah kepada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kemenangan. Nasehat dapat menggugah berbagai perasaan, afeksi, dan emosi yang mendorong seseorang melakukan amal shaleh dan segera menuju  ketaatan  kepada Allah Swt. Nasehat dapat terjadi melalui berbagai sarana antara lain; melalui kematian, musibah, bencana alam, melalui sakit, melalui peringatan-peringatan lain dan sebagainya.
Terma maw’izhah dalam bentuk nasehat adalah membangkitkan perasaan ke-Tuhanan yang dikembangkan dalam jiwa objek dakwah, sehingga menimbulkan rasa takut dan ketundukan kepada Allahnya. Selain itu membangkitkan keteguhan hati agar senantiasa berpegang kepada pemikiran yang sehat, membangkitkan rasa  persatuan untuk berpegang kepada kesatuan jama’ah. Bahkan tidak kalah penting adalah nasehat  itu penyucian  dan pembersihan  diri yang merupakan  salah satu tujuan utama  dalam dakwah Islam.
Namun bagaimana juapun baiknya nasehat tanpa diiringi dengan uswatun hasanah  (keteladanan), maka materi dakwah yang diberikan kepada audiens akan tetap sia-sia. Keteladanan merupakan bentuk penerapan metode dakwah maw’izhah al-hasanah dengan nasehat yang paling  potensial, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik manusia kepada kebaikan dan kebenaran. Karena bentuk ini lansung menyentuh hati dan perasaan objek dakwah ketika seseorang menyaksikan praktek nyata yang dilakukan juru dakwah. Bahkan keteladanan dapat mengubah  pandangan dakwah dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan dari perkataan kepada pelaksanaan. Sekaligus dalam waktu yang sama, keteladanan merupakan dakwah yang efektif dalam masyarakat. Karena apa yang disampaikan  dapat dipraktekan secara  nyata.

 85                                                        86                                                                     2
 
Bentuk uswatun hasanah dalam berdakwah akan mengandung pemaknaan bahwa seorang juru dakwah sekaligus sebagai materi dakwah. Masyarakat yang melihat sosok juru dakwah sudah merasakan bahwa sikap dan perbuatan adalah kebenaran yang dibawa oleh juru dakwah. Nabi Muhammad Saw,  dilihat ia sebagai  manusia biasa yang perlu makan, minum dan lain-lain. Semua itu menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan Muhammad Saw. sebagai teladan (uswatun hasanah) bagi manusia dalam melaksanakan ajaran-Nya. Oleh karenanya Uswatun hasanah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari metode dakwah, sebab prinsip uswah merupakan peragaan bagi suatu perbuatan. Islam bukan hanya dikembangkan lewat lisan dan tulisan, akan tetapi mendemontrasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. Kemampuan yang handal saja dalam menyampaikan pesan dakwah, tidak mempunyai kemampuan dalam memperagakannya kepada diri, keluarga dan masyarakat, maka dakwah semacam itu akan sia-sia dan akan mendapat sorotan oleh masyarakat…[102] Sekilas dipahami uswah itu sebagai sifat da’i, akan tetapi jauh lebih dari itu, yaitu sebagai cara membawa orang lain kepada Islam.
Bentuk metode maw’izhah al-hasanah yang diaplikasikan dalam bentuk nasehat dikembangkan melalui wasiat. Ada dua bentuk wasiat, pertama sebagai salah  satu  terma  hukum Islam yang mendapat perhatian  serius para ulama yang ditemui dalam buku-buku fiqh. Secara terminologi wasiat adalah satu praktek pemberian cuma-cuma yang realisasinya baru berlaku setelah wafat yang  berwasiat. Sejalan dengan  itu  dapat  ditemui  dalam  sunnah Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis  qudsy menceritakan firman Allah, bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Muhammad yang tidak diberikan umat sebelumnya.
a.       Allah menentukan sebahagian dari harta  seseorang  khusus  untuk seseorang  itu  ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk  membersihkan dirinya (dari  dosa)  dan
b.      b. Sebagai do’a  seorang hamba  buat  seseorang  yang telah  wafat (H.R. Abdullah bin Juneid dalam musnadnya).

Kedua cara yang dilakukan dalam  proses memberikan  perubahan  secara terus menerus  dalam bentuk pelajaran memakai media lisan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.[103]  Pengertian ini menunjukan  bahwa  wasiat termasuk  bagian dari  maw’izhah, sehingga  hal ini membuktikan secara tegas bahwa  wasiat suatu  kegiatan dakwah yang dapat membersihkan diri dari dosa, sekaligus dapat memotivasi orang lain dalam upaya membersihkan hartanya, dengan tujuan memberikan kelapangan ekonomi kepada saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan atau untuk kepentingan umum yang  diredhai  oleh Allah Swt.        
Begitu juga maw’izhah ditempuh dalam bentuk memberikan informasi kebaikan dan informasi keburukan (tabsyir wa al-tanzir), yaitu dengan memberikan khabar gembira disertakan dengan memberikan bujukan dan rayuan yang indah bahwa jika seseorang yang shaleh dan taat kepada azas kebaikan, maka ia akan mendapat tempat yang baik di akhir kehidupannya.  Sebaliknya merupakan ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah kesalahan, sehingga akan mendapatkan  ancaman  dari akibat perbuatannya nanti di ujung  kehidupannya. Kedua bentuk ini bertujuan memberikan  dorongan kepada objek dakwah agar selalu melakukan kebaikan dan  selalau meninggalkan kejelekan. Atau memberikan peringatan  kepada seseorang untuk tidak melakukan kesalahan dan kemaksiatan dalam  kesehariannya.
Setelah memperhatikan ayat-ayat dan penafsiran dikalangan ilmuan, dengan  pertimbangan asbab al-nuzul ayat dan makna yang dicakupinya, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa metode dakwah maw’izhah al-hasanah, meliputi :
a.       Berargumentasi dengan bahasa umat yang dihadapi,
b.      Memberi nasehat dan wasiat secara bertahab dan berencana, dan
c.      

 83                                                        84                                                                     2
 
Memberi khabar gembira serta memberi informasi yang membuat mereka jera melakukannya.

Terma di atas merupakan bentuk-bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah yang diungkapkan oleh al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw.. Kajian ini akan dijelaskan pada fasal berikutnya.
 
Metode Mujadalah al-Lati Hiya Ahsan
Secara etimologi kata mujadalah berasal dari akar kata ج, د, ل (j, d, l) artinya membantah. Jâdala (جادل) artinya berbantah-bantah, berdebat, bermusuh-musuhan, bertengkar. Kalau  dibaca  jadala  (جدل) artinya memintal, memilin.[104] Atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil,  sedangkan mujadalah diartikan dengan berbantah-bantahan dan memperundingkan, atau perundingan yang ditempuh melalui perdebatan dan pertandingan.[105] Atau Penyimpangan dalam berdiskusi dan  kemampuan  mempertahankannya.[106]
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama antara lain; menurut Ibnu Sina (980-1037M) sebagai  dikutip oleh Zâhiri ibn ‘Iwâd al-Alama’î, jidal ialah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Sedangkan menurut al-Jurjani jidal ialah mengokokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya.[107] Sementara Abû al-Biqâi mengemukakan bahwa jidal adalah :  عبارة عن مراء يتعلق  باظهار المذاهب وتقريرها.[108] Walaupun Dzâhiri sendiri mengutip beberapa pendapat ulama, maka iapun memunculkan definisinya sendiri yaitu: Diskusi yang dilandasi kepada argumentasi yang berbeda  dengan mempergunakan dalil yang utuh. Sedangkan Abi al-Biqai dalam Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, adalah ungkapan dalam penolakan  kepada seseorang dengan cara membantahnya karena rusaknya perkataan dengan suatu hujjah.[109]
Memperhatikan  pengertian  di atas, maka  ditemukan dua  bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji  dan yang tercela. Adapun jidal yang bertujuan  untuk menegakan dan membela kebenaran, dilakukan dengan  ushlub yang benar dan relevan  dengan masalah yang dijadikan pokok bahasan. Sedangkan sebaliknya adalah suatu yang membawa kepada  kebatilan, maka  jidal  seperti itu adalah tercela. Berhubungan adanya jidal yang tercela, maka  al-Qur’an mengatur jidal tersebut dengan cara yang lebih baik sejalan  dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash. Karena cara ini merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan dalam bentuk diskusi, perbandingan, percakapan dan  istilah lain yang  menunjukan  kepada makna  tersebut  berdasarkan  tempatnya.[110]
Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat al-Nahl 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal dan memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. Agaknya bila diambil dari kata mujadalah tesebut, secara lugas, untuk memahami dakwah, maka pengertiannya akan menjadi negatif, akan tetapi setelah dirangkaikan dengan kata hasanah (baik), maka artinya menjadi positif. Dalam hal ini Muhammad Khair Ramadhan Yusuf mengemukakan bahwa  mujadalah al-lati hiya ahsan ialah : Ungkapan dari suatu perdebatan antara dua sudut pandangan yang bertentangan untuk menyampaikan kepada kebenaran yang kebenaran tersebut bertujuan membawa kepada jalan Allah Swt.[111]
Akar kata ج, د, ل (j, d, l) dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 29 kali[112]  dalam berbagai bentuk dan tersebar dalam 15 surat, yaitu surat Makkah sebanyak  10 surat dan Madaniyah 5 surat.[113] Jidal yang berkaitan dengan bahasan ini ternyata didapati 10 kali berada pada surat Makkiyah dan 5 kali pada surat Madaniyah. Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah mujadalah lebih banyak dipergunakan bagi masyarakat Makkah. Karena sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya, di mana masyarakatnya sangat radikal dengan persoalan akidah, (kemahaesaan Allah) meliputi tentang ke-Esaan Allah Swt. penetapan kerasulan, hari kebangkitan dan pembalasan hari akhirat dengan segala keadaannya, neraka dengan segala siksaan azabnya, surga dengan segala nikmatnya dan bantahan orang-orang kafir dengan dalil akal dan melalui tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam. Selain  persoalan akidah sekaligus meletakan dasar-dasar  syari’at secara umum, budi pekerti yang mulia sebagai dasar pembinaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan yang jelek  dari orang orang musyrik, seperti pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara zalim, membunuh anak dan lain sebagainya.[114] Sedangkan pada surat Madaniyah ayat-ayatnya lebih banyak mempersoalkan aspek ibadah, mu’amalah, hukum, aturan keluarga, warisan, keutamaan jihad, shalat jama’ah, masalah politik dan perang, damai serta persoalan kemasyarakatan.[115]  
Memperhatikan kondisi sosial masyarakat di atas sejalan dengan tingkat perkembangan dan kemajuan manusia bahwa ada dua bentuk mujadalah, yaitu mujadalah al-su’i dan mujadalah ahsan. Mujadalah ahsan agaknya dapat  diterjemahkan dengan berdiskusi dengan baik untuk menemukan kebenaran, melalui tukar fikiran, atau dalam bahasa komunikasi disebut dengan komunikasi dua arah (two way comunication) yaitu terjadi dua komunikasi antara komunikator dengan komunikan.
Pada kajian ini tidak semua akar jadala yang menjadi sorotan, akan tetapi terdapat delapan ayat yang erat hubungannya dengan masalah yang dibahas, yaitu:

a. Surat al-Nisa’ 107. Ayat ini menunjukkan etika mujadalah  dengan orang-orang yang berkhianat kepada Islam, karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia semata, bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetap  mengingkari kebenaran Islam dan membecinya.[116]  Maka  dalam hal ini Allah melarang melayaninya. Untuk itu debat mewujudkan tiga hal pokok, yaitu : (1) Memperbaiki  sasaran dan tujuan  dakwah, yaitu memberikan bayan  kepadanya, (2) Memperbaiki pendekatan dan bentuk dakwah, (3) Memperbaiki  hasil dakwah yang belum berhasil.


 87                                                        88                                                                     2
 
b. Selanjutnya dalam memahami kata jadalah dalam surat al-Nahl 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, karena memang berarti bermusuhan, bertengkar atau memilih dan memintal, jelas tidak memenuhi sebagaimana dimaksud oleh  ayat tersebut secara universal. Akan tetapi manakala diambil dari arti kata mujadalah secara transparan, maka pengertian yang ditemukan menjadi negatif, namun bila dirangkaikan dengan kata حسنة (hasanah/baik), maka artinya menjadi positif, yaitu berbantah-bantah dengan cara yang terpimpin dalam upaya menemukan kebenaran. Mujadalah seperti ini merupakan kegiatan tukar pikiran antara satu dengan yang lainnya, sangat boleh jadi tukar fikiran tersebut dilatar belakangi oleh disiplin pengetahuan yang tidak sama. Dalam bahasa komunikasi disebut komunikasi dua arah antara kumunikator dengan kumunikan. Pada surat al-Nahl 125 Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan ajaran Islam dengan salah satu metode membantah audiens dengan bantahan yang baik. Sedangkan pada surat al-Ankabut 46, Allah melarang kaum muslimin berbantah dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang baik.
Para mufassir dalam memahami surat al-Nahl 125 mempunyai pendapat yang sama, walaupun dalam redaksi yang berbeda, yaitu bantahan yang  membawa kepada petunjuk dan kebenaran. Artinya melakukan dakwah dengan debat terbuka (transparan), sehingga sanggahan atas tanggapan para audiens dapat diterimanya dengan senang hati, tanpa menimbulkan kesan yang tidak baik bagi mereka kepada juru da’i. Bila terdapat tanggapan balik dari mereka, maka jawabannya harus dengan argumentasi yang logis dan jelas, sehingga antara kedua yang sedang bermujadalah sampai pada suatu kebenaran, tanpa menimbulkan kebencian dan permusuhan. Dengan kalimat jadilhum bi al-lati hiya ahsan dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, ilmiah, rasional, objektif dan menghindari sikap emosional sehingga pada mulanya mereka menentang ajaran Islam, kembali kepada jalan yang benar[117] dan menerima dakwah yang disampaikan kepadanya.

c. al-Mujadalah; 1 (58/105), adalah antara suami isteri yaitu Khuwailah binti Tsa’labah bin Malik  al-Khuzurijiah dengan suaminya Aus bin Shamit Akhi ‘Ubadah yang telah menzihar dirinya, lalu wanita tersebut mengadukan persoalannya kepada Rasulullah Saw. agar dapat memberikan putusan yang adil dalam persoalan tersebut. Pemahaman jadal di sini adalah meminta adanya penyelesaian secara tuntas, sehingga antara kedua suami isteri terdapat kedamaian dalam kehidupannya. Indikasi ini menunjukkan bahwa jidal adalah proses untuk menemukan kebenaran bukan melahirkan  pertengkaran.


 89                                                        90                                                                     2
 
d. al-Ankabut; 46 (29/85). Mujadalah di sini adalah berdebat dengan cara yang bukan dilegitimasi oleh Islam seperti firman Allah kepada Musa dan Harun  ketika keduanya diutus  kepada Fir’aun dengan ungkapan-Nya[118] فقولا له قولا لينا لعله يتذكر أو يخش, terkecuali dengan orang zalim, yaitu  mereka yang keluar  dari  kebenaran, tidak dilandasi argumentasi yang jelas, bersifat menentang dan penuh kesombongan dan mereka tidak memperoleh kedamaian. [119] Untuk itu Allah memberikan petunjuk kepada Nabi dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan yang baik kepadanya, namun bila mereka tetap membantah dan menolaknya serta menimbulkan permusuhan, maka usahakan untuk menghindarinya dan balas tanggapannya dengan ungkapan yang lebih baik, [120] karena akan membawa  kepada sesuatu yang tidak  diinginkan. Oleh karena itu bermujadalah dengan ahl al-kitab. Dalam terminologi al-Qur’an, orang-orang yang berada di luar Islam  diklasifikasikan kepada musyrik dan ahl al- kitabý. Kedua golongan ini tentu diberi prediket oleh Islam sebagai golongan kafir. Bila mereka hidup di negara Islam dan menyatakan kesediaan dan kesetiaan untuk tunduk kepada pemerintahan Islam, maka mereka disebut kafir dzimmi yang mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dari pemerintah Islam, baik jiwa maupun harta mereka. Sedangkan mereka yang tidak mau tunduk,  apalagi yang mengklaim  dan meyatakan perang terhadap Islam dan kaum muslimin, mereka disebut kafir harbi yang mesti dihadapi dengan kekuatan senjata. Namun pada awal yang termasuk ahl al-kitab mencakup semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. [121] Hal ini didukung sekian banyak ayat al-Qur’an dengan menyebut istilah al-musyrikin bergandengan dengan Ahli Kitab,  menggunakan kata penghubung “waw” yang berarti “dan”, misalnya dalam surat al-Baqarah (2):105;
 ما يود الذين كفروا من اهل الكتاب و لا المشركين ان ينزل عليكم  من خيرمن ربكم
Maka untuk itu kepada mereka hendaklah berlaku dengan berlaku baik, lemah lembut dan merasa dekat kepadanya serta tinggalkan penindasan, kebencian dan jangan sampai berlarut-larut, kecuali bila mana mereka menghendakinya.[122]

e. al-Hajj; 8 (22/103) Mujadalah pada ayat ini mencerminkan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, yaitu sebahagian mereka  menjadikan mujadalah itu sebagai  suatu yang dianjurkan Allah  sesuai  dengan sifat dan perbuatan, sebahagian lain bermujadalah tanpa mengikuti  argumentasi dan keterangan bahkan tidak mengetahui apa yang ia katakan, seperti Allah tidak berkuasa untuk menghidupkan, Allah mempunyai anak dan al-Qur’an adalah sebagai senandungan orang purbakala dan lain sebagainya.[123]Mujadalah yang mereka  lakukan  tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, akan tetapi ia mengikuti keinginan setan dan hawanya.

f. Luqman; 20  (31/57) Mujadalah di sini adalah bantahan tentang  kemahakuasaan Allah terutama yang menyangkut dengan kajadian manusia dan hewan, sehingga ia bermujadalah tentang keesaan  Allah,  sifat  dan  eksistensi para  Rasul tanpa dilandasi kepada pemikiran yang rasional.[124] Bahkan dialog mereka tentang masalah keAllahan adalah taqlid buta dengan mengikuti nenek moyangnya yang tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pula mendapat petunjuk,[125]lebih jauh sikap mereka dalam berdiskusi mengikuti langkah-langkah setan.[126] Salah satu dari sikap setan adalah membawa kepada neraka jahannam, sementara Allah kepada kesuksesan  pahala dan kebahagiaan. 

g. al-Ghaffir; 35 dan 56 (40/60), yaitu; Mujadalah di sini tertuju kepada orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka, yaitu mereka melampaui batas, tanpa argumen yang valid dan keterangan yang  jelas serta menghancurkan kebenaran dengan kebatilan,[127] sehingga Allah mengancam mereka dengan kemurkaan yang amat besar dan mengunci hati mereka,  karena kesombongannya. Sedangkan pada ayat 56, menjelaskan bahwa mujadalah dikalangan orang yang tidak sampai  kepadanya ayat-ayat Allah, maka mereka  akan berdiskusi tanpa mendasari kepada argumentasi yang jelas dan wahyu, mereka menonjolkan kesombongannya tentang kebenaran. Hal itu dilakukan dengan tujuan membatalkan ayat-ayat Allah, menebarkan syubhat pada masyarakat seputarnya. Untuk itu Allah memberi isyarat agar berlindung kepada Allah dari kejahatan orang kafir dan meminta pertolongan kepada Allah melalui kekuatannya.[128]
Setelah memperhatikan ayat-ayat di atas, maka mujadalah yang dimaksudkan al-Qur’an adalah jadal didasari kepada burhan (argumentasi yang valid), dalil yang kompleksitas dan dapat memberikan petunjuk terhadap orang kafir serta dapat membawa ia kembali kepada semua maqasyid al-syar’iyah dan furu’nya.[129] Dengan demikian aspek mujadalah  yang tercakup dalam al-Qur’an tersebut meliputi  tiga bentuk, yaitu :[130]
1.      Mujadalah yang dapat membawa tukar fikiran dengan mempergunakan argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hukum agama sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para  Rasul dan  Nabi didasari kepada wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya  miskomunikasi.
2.      Mujadalah dengan pendekatan hiwar (muhawarah), yaitu mendiskusikan persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan  yang yang tuntas, sehingga way outnya tegas dan jelas. Sebagaimana  isyarat surat al-Mujadalah.[131]
3.      Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir yang mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran. Seperti isyarat Allah  pada surat Ghafir (al-Mukmin).[132]

Dengan demikian mengenai mujadalah yang terdapat pada surat al-Nahl 125, nampaknya para mufassir mengeluarkan pendapat yang sama, yaitu berbantah-bantahan yang tidak membawa kepada pertikaian, kebencian, akan tetapi membawa kepada kebenaran. Artinya, dalam bahasa dakwah, dapat dikatakan dakwah  dengan cara debat terbuka. Seorang juru dakwah apabila dibantah tentang suatu pesan yang disampaikannya, ia harus memberikan sanggahan (jawaban) terhadap bantahan tersebut, bila masih dapat sanggahan lagi dari jawaban yang ia berikan, ia harus kembali memberikan jawaban dengan argumentasi yang lebih jelas, sehingga sampai pada suatu kebenaran. Bahkan  jawaban yang diberikan dapat memuaskan orang umum.[133] Perdebatan tersebut harus berlansung dengan baik bahkan terbaik, tidak menimbulkan kebencian dan permusuhan. Untuk itu metode mujadalah ahsan melahirkan kesan yang hormanis dan fikiran seseorang rasa dihormati, penuh keakraban dan kenyamanan. Ketika terjadi perdebatan gensi pribadi tidak menjadi kendala pelik dalam menempuh jalan menuju kebenaran. Dalam iklim demikian, tidak seorangpun merasa tertekan. Bahkan ia merasa dihargai dan dimuliakan, namun lawan debatnya dapat menerima apa yang  disampaikan, tanpa merasa kalah  atau hina.[134] Sehingga akhirnya jadilhum bi al-lati hia ahsan dapat diartikan dengan bertukar fikiran dengan baik, pada mulanya mereka menentang, tapi bisa membuat mereka menjadi puas hati dan menerima dakwah (Islam) yang disampaikan kepadanya.
Metode mujadalah ini pada prinsip diutamakan kepada objek  dakwah yang mempunyai tipologi antara menerima dan menolak materi dakwah (Islam) yang disampaikan kepada mereka. Pada mereka yang semacam ini  mujadalah memainkan peranannya, sehingga ia ( objek dakwah ) dapat menerima dengan perasaan mantap dan puas. Maka metode ini memberi isyarat kepada juru dakwah untuk menambah wawasan dalam segala aspek, sehingga pada akhirnya dapat memberikan jawaban/ bantahan kepada objek dakwah secara benar dan baik serta menyenangkan perasaan mereka.
Berdasarkan analisa di atas debat  salah satu metode dakwah, yaitu debat yang baik, adu argumentasi dan tidak tegang serta memojokkan sampai terjadi pertengkaran. Memang berdebat pada umumnya adalah mencari kemenangan dan bukan mencari kebenaran, sehingga tidak jarang terjadi munculnya permusuhan. Maka debat sebagai metode dakwah pada dasarnya mencari kebenaran dan kehebatan Islam. Kecuali itu, berdebat efektif dilakukan hanya kepada  orang-orang yang membantah akan kebenaran Islam. Sedangkan objek dakwah yang masih  kurang percaya atau kurang mantap terhadap kebenaran Islam (tidak membantah) belum diperlukan metode debat sebagai metode dakwah. Berbeda dengan sesama ulama (intelaktual) berdebat adalah rahmat. Sedangkan dilakalangan masyarakat awan hanyalah akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan.
Bentuk metode mujadalah al-lati hiya ahsan ini meliputi kepada dua bagian, yaitu; Pertama al-Asilah wa al-Ajwibah (tanya jawab). Kedua al-hiwar. Bentuk  al-asilah ajwibah dimaksudkan di sini  adalah suatu bentuk metode dakwah Mujadalah bi al-lati Hiya Ahsan yang dipergunakan dalam bentuk memberi jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang di ajukan oleh umat Islam yang belum atau mereka dapati atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasannya. Dengan  kata lain metode ini  berbentuk  tanya  jawab, yaitu saling tukar pikiran antara sasaran dakwah dan pelaksana dakwah.[135]  Metode ini adalah berhadapan seseorang atau  kelompok yang pandai dengan orang pandai lainnya. Bentuk metode ini menyatakan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya oleh lawan pembicaraannya kepada orang yang dianggap mengetahui dan sekaligus bisa memberikan jawaban-jawaban memuaskan hatinya, sedangkan diskusi berbentuk tukar pikiran antara objek dakwah dengan subjek dakwah yang keduanya sudah sama-sama mengetahui materi yang didiskusikan. 
Bentuk metode ini muncul pada masa Rasulullah, di mana para shahabat banyak yang bertanya kepada Nabi tentang berbagai masalah yang mereka hadapi, dengan harapan para shabahat dapat menerima jawaban dari Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kalangan shahabat itu adalah pertanyaan yang benar-benar mereka tidak mengetahui sama sekali, baik dalam hukum, maupun pelaksanaannya. Masalah yang muncul itu dijawab dan diselesaikan oleh al-Qur’an secara transparan kepada Nabi Saw. Jawaban itu adakalanya dijawab dengan wahyu dan adakalanya dengan hadis, ataupun jawaban itu dijawab melalui  sikap dan tindak  tanduk nabi  sendiri.
Selanjutnya metode dakwah mujadalah al-lati hiya ahsan dalam bentuk al-hiwar (dialog). Kata Hiwâr (الحوار) berasal dari bahasa Arab dari akar kata ح, و, ر (h, w, r, yuhawiru, muhawaratan) yang berarti perdebatan yang memerlukan jawabannya[136] atau tanya jawab pada satu objek tertentu yang mendekati kepada munaqasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan pristiwa yang terjadi.[137] Selanjutnya Muhammad Khair mengemukakan bahwa hiwar ialah : Seni atau metode dari beberapa metode moderen dengan mempergunakan fikiran atau beberapa objek dalam upaya menyampaikan kepada suatu kesimpulan.[138]
Di dalam al-Quran persoalan-persoalan yang muncul pada Nabi adalah tanya jawab yang terjadi dikalangan umat, dimana pada ketika itu segaligus ada solusinya dari Allah Swt. sehingga para penanya lansung  menerima keputusan atau jawaban pada saat terjadinya suatu persoalan waktu itu.
Memperhatikan ketiga metode yang dikemukakan di atas, (hikmah, maw’izhah al-hasanah dan mujadalah al-lati hiya ahsan) nampaknya hampir semua buku-buku dakwah menyorotinya pada dataran konsep atau sebagai doktrin normatif yang berasal dari al-Qur’an. Hal ini paling tidak terlihat pada metode hikmah dan mauizhah al-hasanah. Misalnya hikmah adalah suatu metode dalam menyampaikan dakwah lewat ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Pada umumnya penulis ilmu dakwah lainnya hanya melihat sisi doktrin normatif saja pada ayat-ayat al-Qur’an, sehingga terlihat dengan jelas pembicaraan seputar dataran konsep. Padahal sebuah metode selain berbicara teori sekaligus sebenarnya metode itu sesuatu yang bersifat aplikatif. Artinya sesuatu yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan dakwah. Begitu juga tentang metode mauizhah seolah-olah hanya juga pada tataran konsep dan normatif. Sebenarnya kedua metode  di atas pada sisi lain adalah sebagai dogmatis, sedangkan pada sisi lain keduanya adalah sebagai aplikatif yang pernah diterapkan (direalisasikan) oleh Nabi Muhammad Saw melalui petunjuk al-Qur’an kepadanya. Sebab tidak sesuatupun yang dilakukan oleh Nabi itu, terkecuali adalah berdasarkan pertunjuk Allah. Jika memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kedua metode di atas hanya pada tataran konsep, agaknya ada benarnya, karena mereka hanya melihatnya sebagai materi dakwah, bukan sebagai metode dakwah.
Demikian juga halnya dengan metode mujadalah al-lati hiya ahsan, tidak hanya berbicara sebatas konsep, namun al-Qur’an telah mengaplikasikannya melalui petunjuk al-Quran dalam melaksanakan dakwah Islam. Sebab mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar  fikiran atau berdiskusi dengan baik, maka mujadalah telah bersifat aplikatif (diterapkan) sebagai juga  dua metode  sebelumnya ( hikmah dan mauizhah al- hasnah ) dan telah dipraktekkan oleh nabi Muhammad Saw dalam mengembangkan ajaran Islam kepada umat manusia. Namun  dapat dibedakan bahwa (hikmah dan maw’izhah  al-hasanah), kalau metode hikmah lebih menekankan kepada kemampuan  fikiran dan ketajaman rasionalitas (intelektualitas) penerima dakwah, sedangkan metode mau’izah menekankan kepada ketepatan pesan yang disampaikan. Akan tetapi berbeda halnya dengan metode ketiga, mujadalat hasanah, seandainya mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan baik, maka ia memang sudah bersifat aplikatif dan bisa diterapkan. Nurcholish Madjid, dalam salah satu tulisannya dalam Tabloid Tekad dengan mengutip pendapat Ibn Rusyd --, mengemukakan dakwah dengan hikmah artinya dakwah dengan pendekatan substansi yang mengarah kepada falsafah, dengan nasehat yang baik, yang berarti retorika efektif dan populer, dan dengan mujadalah yang lebih baik maksudnya  metode dialektis yang unggul.[139]
   Indikasi ini menunjukan bahwa metode dakwah pada surat al-Nahl 125, telah diaplikasikan oleh Rasulullah dalam mengajak manusia kepada Islam dalam berbagai bentuk. Bentuk dari masing-masing metode itu merupakan bagian yang tak terpisahkan satu sama lainnya.


[1]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’ân, Mizan, Bandung, 1995, h. 193
[2]Muhammad Abû Zahrah, al-Da'wah ila al-Islâm, ttp.  Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt.  h. 33-4 dan 129.
[3]Pendapat ini didasari  kepada  pemikiran para mufassir  dalam memahami  kalimat امة     ولتكن منكم pada surat Ali  Imran: 104 yang menyatakan bahwa  kalimat min pada minkum menunjukan makna  li al-bayân (penjelasan), bukan  bermakna li al-tab’îdh, sedangkan kata ummat diartikan dengan al-jama’ah (seluruh manusia). Sehingga  konsekwensi melaksanakan dakwah adalah bagi semua muslim. Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Dakwah, Muassasah al-Risâlah, Beirut, 1991, h. 31, Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr  al-Manar) Dâr al-Ma’rifat, Beirut, tt.  Juz.  IV, h.26-7
[4]Pendapat ini  juga didasari  kepada pemahaman ayat 104  surat  Ali Imran bahwa  kalimat  minkum menunjukan makna li al-tab’id (sebahagian), sedangkan kata ummat berarti thaifah (golongan), sehingga  yang  berhak  melaksanakan  dakwah  adalah  kelompok tertentu.
[5]Amrullah Ahmad, (Ed.), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Prima Duta, Yogyakarta, 1983, h. 2; M. Syafa'at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Widjaya, Jakarta 1982, h. 54; dan lihat Abu Zahrah, op.cit., h. 125.  Lihat Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, op.cit. h. 194-240
[6]QS. al-Syu'ara' 214-2216 (26/47). Amin Sa'd, Nasy'ah al-Daulah al-Islamiyyah, 'Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, tt. h. 5-7; Hasan Ibrahim Hasan, Tarîkh al-Islâm al-Siyasî, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1948, h. 70; lihat, Sir Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam, Terj. Hasan Ibrahim Hasan, dkk., dengan judul al-Da'wah ila al-Islâm,  Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1970, h. 35-36; Abu 'Abd. Allah Muhammad bin Ishaq bin Yasar al-Muththalibi dan Abu Muhammad 'Abd. al-Malik bin Hisyam bin Ayyub al-Humairi, Sirat al-Nabi Saw., telah ditahqiq Dari aslinya oleh Muhammad Muhy al-Din 'Abd. Hamid,  Maktabat Muhammad 'Ali Shubaih, Mesir, tt.  jilid I, h. 158-164.
[7]QS. al-Hijr (15-54): 94; dan juga Arnold, op.cit., h. 37-38.
[8]QS. al-Hujarat (49/106): 10. Sebagai langkah pertama, Nabi mempersaudarakan kaum Anshar dan Muhajirin yang berbeda suku dan adat istiadat, yang menurut ukuran masa itu sangat sulit untuk dipersatukan.
[9]Abi 'Abd. Allâh Muhammad bin Isma'îl bin Ibrahîm Ibn. al-Mughîrah bin Bardizbah al-Bukharî, Shahih al-Bukharî, diterbitkan kembali oleh 'Abd. al-Rahman Afandi Muhammad,  al-Mathba'ah al-Bahiyyah, Mesir, 1349 H.  juz II, h. 42.
[10]Ibrahim Hasan, Islamic..., op.cit., 57-8 dan 62-3; dan 'Alî Musthâfâ al-Ghurabî, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, Maktabah wa-Mathba'ah Muhammad 'Ali Shubaih wa Auladuh, Mesir, tt., h. 17-19.
[11]Muhammad Jalal Syaraf dan 'Ali 'Abd. al-Mu'thi Muhammad, al-Fikr al-Siyasî fi al-Islâm, Syakhshiyyâh wa Mazâhib, Dâr al-Jami'ah al-Mishriyyah, Mesir 1978, h. 127-8.
[12]Al-Manar, dikenal sebagai majalah, juga Tafsîr al-Manâr, karya Rasyid Ridha, memuat pemikiran dan ide-ide Muhammad 'Abduh dalam menafsirkan al-Qur’ân. Walaupun pemikiran 'Abduh dalam Tafsîr al-Manâr itu hanya sampai pada ayat 125 QS. al-Nisa’.
[13]Habib, op.cit., h. 17-9.
[14]Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, di dalam Koentjaraningrat (Ed), Metodologi Penelitian  Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977),  h.  16
[15]William Collins, Webster’s New Twentieth Century  Dictionary, (Amerika Serikat: Noah Webster, 1980), ed.  Ke-2, h. 1134
[16]Poerwadarminta, Kamus  Bahasa  Indonesia, (Jakarta: Balai  Pustaka, 1986) Cet. Ke-9,  h.   649.
[17]Henry  van Lear,  Filsafat  Sain, Terjemahan Yudian Wahyudi  Asmin, 1995, h.59
[18]Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,  1995), h. 9
[19]Imam Muhammad Fakhr al-Dîn al-Râzî Ibn al-Alamah Dhiya’i al-Dîn Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Razi al-Musytahar bi al-Tafsîr wa Mafatihi al-Ghaib,  (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1994), juz 20 h. 141
[20]Sayyid Quthb, Fî Zilâ al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syuruq, tt).Jilid IV, Cet. ke-21, hh. 2201-02
[21]Al-’Alamah al-Said Muhammad Husein al-Thaba’thabai, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), Jilid 12, Cet. I, hh. 372-3.
[22]Ibn Manzur al-Afriqi al-Mishri, Lisân al-Arab, (Beirut: Dâr Shadir  Lithaba’ah wa al-Nasyar, 1995), jilid., h. 36
[23]Depertamen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 115
[24]Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pasentren al-Munawwir, 1997), Cet. IV, h. 287
[25]Ibrâhîm Musthafâ, Dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, (Turki-Istambul: Dâr al-Da’wah, 1989, h. 190
[26]Sa’id Ibn Ali Ibn Wahaf al-Qahatahani, al-Hikmah Fi al-Da’wa ila Allâh Ta’âlâ, (Lebanon-Beirut: Muassasah,  tt), h. 27
[27]Abdu al-Rahîm bin Muhammad al-Maghzawî, Wasâil al-Dakwah, (Riyadh: Dâr Asÿbîliyâ, 1420 H/2000 M), h. 31-32
[28]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit. h. 11
[29]Muhammad Fuad al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Qur’ân al-Karim, (Lebanon-Beirut: Dâr al-Ma’rifat,  1992) , h. 271
[30]QS. al-Baqarah; 269 yaitu; يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
[31]Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl ‘Ayi al-Qur’ân, (Ttp: Syarikah Iqamah al-Din, tt), jilid. VIII, h.  225
[32]Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1365 H/1945 M), jilid 5, h. 157-156
[33]Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qur’ân  al-Hakîm,  (Kairo: Ta’lif Muhammad Rasyid Ridha,  al-Manar, 1333 H/1893 M),  jilid  III, h. 75
[34]Muhammad Abu Al-Fatah al-Bayãnûnî, Al-Madkhal Ilâ ‘Ilmi al-Dakwah, (Beirut: Muassasah  al-Risalah, 1991), h. 245
[35]A. Hasjmi, Benarkah Dakwah Islam Bertugas Menbangun Manusia  dan Masyarakat ?, (Bandung: al-Ma’arif,  1991), cet.  I, h. 94  dan 165
[36]Sayyid Quthub,  op.cit. h. 220
[37]‘Abdu al-Wahâb Kahîli, al-Ususi al-‘ilmiati wa al-Tathbîqiyati lil’ilâmi al-Islamî, (Ttp‘Âlam al-Kutub Maktabah al-Qudusi, 1406/ 1985), cet. I,  h. 235
[38]Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr Fî al-‘Aqîdah, wa al-Syarî’at wa al-Manhaj, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Fikr, 1991/1411), juz. 27, jilid 27, h. 149
[39]Ahmad Mushthafa al-Maraghi, op. cit, jilid 9, h. 79
[40]Ibid. juz. 21, jilid 23, h. 185
[41]Ibid, juz. 16, jilid 15, h. 66
[42]Ibid, juz. 21, jilid. 21, h. 144-5
[43]Ibid, juz. 25, jilid 25, h. 176
[44]Ibid, juz. 14, jilid 14 h. 269
[45]Ibid. h. 269
[46]Ibid, juz. 1 jilid 1, h. 314
[47]Ibid. Juz.  I, h. 217
[48]Abi al-Qâsim Jâr Allâh Muhammad bin Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, Al-Kasysyâf al-Haqâ’ al-Tanzîl wa ‘uyûnu al-Aqâwîl Fî Wujûh al-Ta’wîl (selanjutnya disebut Tafsîr  al-Kasysyaf), (Kairo: Intisyarat Aftah, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1966), h. 382
[49]Imâm al-Jalîl al-Hafîdz ‘Imâd al-Dîn Abu Fida’ Ismâîl al-Qurâsyî al-Dimasyqî, Tafsîr  al-Qur’ân al-’Azhîm,  (Beirut: Li ibni’alim al-Kitâb, tt), h. 322 dan 364.
[50]Ibid, juz. 3 jilid 3 h. 63
[51]Ahmad Mushthafa al-Maraghi,   op.cit. jilid  I h. 157
[52]Ibid, juz 4 jilid 4 . h. 152
[53]Ibid, juz 4 jilid 4 h. 262
[54]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. Jilid 5, h. 262
[55]Ibid, juz. 6, jilid 26, h. 184
[56]Ibid, juz. 7 jilid 7 h. 110
[57]Al-Hikmah, Jurnal Pencerahan Pemikiran Islam, No. 1, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1990), h. 3-4.
[58]Muhammad Abû al-Fatah al-Bayanûnî, op.cit. h. 244-5
[59]Muhammad Abduh - Ridha, Op.cit,  Juz. III. h. 75 dan 310
[60]Hamka, Tafsîr al-Azhar, Juz. II h. 410, juz. V, h. 202
[61]Bathrus al-Bustani, Qathar al-Muhith , (Beirut: Maktabah Lebanon, tt). h. 1411
[62]Abû Qâsîm al-Husein bin Muhammad al-Ishfahânî, al-Mu’jam fî Gharib al-Qur’ân, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961), h. 341
[63]Husein Yusuf Mûsâ dan Abdul al-Fatah al-Sha’dî, al-Ifshah fi al-Lughat, (Kairo: Dâr al-Fikr, tt). h. 140
[64]Al-Razi, Tafsîr-Kabir III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 36
[65]Muhammad Husein al-Thaba’thabai, op.cit, jilid XVII, h. 112
[66] Muhammad Fuad Abd al-Baqi, op.cit. h. 594-5
[67]Q.S. al-Maidah 58, yaitu; وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ  لا يَعْقِلُونَ
[68]Ibn Manzhur, op.cit, jilid 19, h. 346-347
[69]Ibrahim Musthafa Dkk, op.cit.  Jilid 2 h.1043
[70]Abdu  al-Rahim Muhammad al-Maghzawi, op.cit, h. 64
[71]Sayyid  Qutb, op.cit. h.  2201
[72]A. Hasjmi, op.cit, h. 94
[73]Muhammad Fuad Abdu al-Baqî, op.cit,. h. 923
[74]Ibid
[75]Ibid
[76]Ahmad Mushthafâ al-Maraghî, op.cit, jilid 1, h. 139
[77]QS. al-Rum; 39, yaitu : وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ   
[78]Q.S. al-Nisa’; 160-161, yaitu : وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
[79]Q.S. Ali Imran ayat 130. Yaitu : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
[80]QS.al-Baqarah ayat 275, 276-277-279 : الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ(275)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ(276) إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ(277)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(278)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ(279)
[81]Soerjono Soekanto, Kasus Sosiologi,  (Jakarta: Rajawali,  1985), h. 495-7
[82]Wahbah al-Zuhailî, Op,cit, jilid IX, h. 85
[83]QS. Yunus; 57, yaitu; يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
[84]Wahbah al-Zuhailî, op.cit. jilid XI, h. 199
[85]Ibid, jilid XII, h. 185
[86]Ibid, jilid XIV, op.cit. h. 267-7
[87]QS.al-Nur; 34, yaitu; وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ ءَايَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلًا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً   لِلْمُتَّقِينَ
[88]Wahbah al-Zuhaili, op.cit. jilid XVII, h. 237
[89]QS. Ali Imran: 38, yaitu : هذا بيان للناس وهدى وموعظة للمتقين
[90]QS. al-Maidah; 46, yaitu;  وَقَفَّيْنَا عَلَى ءَاثَارِهِمْ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَءَاتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ
[91]QS. Yunus; 57, yaitu : يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
[92]QS. Hud; 120, yaitu; وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
[93]Wahbah al-Zuhaili, op.cit, juz 12, h. 185
[94]Fakhruddin al-Razi, op,cit, juz. 20, h. 142
[95]Abû Ja’far Muhammad  Ibn Jarir al-Thabarî, op.cit. jilid 8, 226
[96]Sayyid Quthb, op.cit. juz XIV, h. 110
[97]Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Tafsîr al-Qâsyimî, (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1957), Juz. X, h. 3877
[98]Al-Alusi, Abi al-Fadhl Shihab al-Dîn al-Sayyid Mahmud, Rûh al-Ma’ânî Fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm al-Sab’al Mastâni, (Beirut: Dâr   al-Fikr, 1398/1978), Juz XIV, h. 254
[99]Muhammad Husein al-Thaba’thabai, op.cit, h. 112
[100]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit. h. 82
[101]QS. Al-A’raf; 69, yaitu : أَوَعَجِبْتُمْ أَنْ جَاءَكُمْ ذِكْرٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَلَى رَجُلٍ مِنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً فَاذْكُرُوا ءَالَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[102]Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta; Gema Insani, 1999), h. 73
[103]al-Râghib al-Isfahânî, Op.cit. h. 562  
[104]Ibn Manzhur, Op.cit. Jilid 13, h. 108-109 
[105]Abdu al-Rahîm bin Muhammad al-Maghzawî, op.cit. h. 89
[106] Zâhiri Ibn ‘Iwâd  al-Alama’î, Manâhij al-Jadâl  Fi al-Qur’ân al-Karîm, (Tnp, 1400), Cet. 2, h.20
   [107]Ibid
   [108]Ibid
   [109]Muhammad Abû  al-Fatah al-Bayanûnî, op.cit. h. 263
[110]Ibid,  h. 264
[111]Muhammad Khair Ramadhân Yûsuf, al-Dakwah al-Islâmiyah al-Wasâil wa al-Asâlîb, (Riyadh: Dâr Tharîq Linnasyri wa  al-Tauzî’ , 1414  H/1993 M) , h. 117
[112]Muhammad Abd al-Baqi, op.cit, h. 210
[113]Ibid
[114]Manna al-Qaththân, Muhâhits Fîûlum al-Qur’ân, (Riyadh: Dâr Syurât al-Ashri al-Hâdits, 1393/1973), h. 63
[115]Ibid
[116]Wahbah al-Zuhailî, op.cit, juz. 5, h. 265
[117]Rasyid Salim, Muqaranah Baina al-Ghazali Ibn Taimiyah, (Terj) Ilyas Ismail, (Jakarta: Panjimas, 1989), h. 25
[118]QS. Thaha; 44 (maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
[119]Ahmad Musthafa al-Maraghi, op.cit, Jilid VII, h. 5
[120]QS. al-Mu’minun;  96, yaitu; ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ 
[121]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke 4, h. 368
[122]Zâhiri ibn ‘Iwâd  al-Alama’îop.cit,  h.  48
[123]Ahmad  Mushthafa al-Maraghi, op.cit.  Jilid  VI, h. 86
[124]Wahbah al-Zuhaili, op.cit, jilid 21, h. 159-0
[125]QS. al-Baqarah; 170, yaitu;وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
[126]QS. al-An’am; 121, yaitu; تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
[127]Wahbah al-Zuhaili,  op.cit. jilid 24, h. 119-0
[128]Ibid,  jilid 23, h. 146
[129]Zâhiri ibn ‘Iwâd  al-Alama’î, op.cit. h. 21
[130]Ibid, h.21-2
[131]QS. Mujadalah; 1 yaitu; قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
[132]QS.al-Mukmin; 5, yaitu; كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَالْأَحْزَابُ مِنْ بَعْدِهِمْ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ 
[133]Al-Maraghi, op.cit, Juz. V h. 161
[134]Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’ân, Pegangan Bagi Aktivis, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1997), h. 52
[135]Abd. Al-Rahman Bin Nashir al-Sa’di, al-Qawa’id al-Hisan li Tafsîr al-Qur’ân, (Riyadh: Maktabah al-Ma’rif, 1400 / 1980), h. 73-76
[136]AW. Munawwir, op.cit. h. 306
[137]Al-Zâhiri Ibn ‘Iwâd  al-Alama’î, op.cit. h. 25
[138]Muhammad Khair Ramadhân Yûsuf, op.cit, h. 114
[139]Nurcholish Madjid, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat, (Jakarta Paramadina, 1999), h. 100

0 Comment