19 Februari 2023

KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK 

Hadis Nabi SAW. merupakan salah satu sumber ajaran agama Islam yang kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.

Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan hadis diantaranya adalah ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk taat kepada Rasulullah saw. firman Allah Swt :

يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم فإنتنزعتم فى شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ذلك خير وأحسن تأويلا ( النساء : 59 )

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Qs.An-Nisa’ : 59).

Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an dan kembali kepada Rasul maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau SAW.

Perintah untuk mengikuti segala apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan menjauhi segala apa yang dilarangya, Allah Swt berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Terjemahannya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr :7).

Hadits menurut istilah ahli hadis,ialah :“Segala ucapan Nabi,segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”.[1]Disamping Al-Quran ,hadis juga menjadi pedoman bagi kehidupan manusia.Rasulullah merupakan uswatun hasanah bagi  kita karena apapun yang beliau katakan selalu dibimbing oleh Allah SWT .Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran :

Artinya :  Dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(Q.s.An-Najm : 3-4).

  Rasulullah dilahirkan di tanah Arab yang dalam kehidupan sehari-hari tentu saja memakai bahasa Arab,tetapi tidak semua bahasa Arab itu adalah hadis .Salah satu kesalahan persepsi sebagian masyarakat Islam saat ini adalah apa-apa yang disampaikan oleh seorang da’i  dalam bahasa Arab mereka anggap itu adalah hadis ,walaupun tidak memiliki sanad dan rawi yang jelas.Untuk itu umat Islam harus memiliki pengetahuan mengetahui pengklasifikasian hadis dari berbagai aspek.

Dalam makalah yang sangat sederhana ini Penulis akan memaparkan sedikit tentang salah satu bahagian dari pengetahuan  hadis yakni :“Klasifikasi Hadis ditinjau dari berbagai Aspek”.Dalam hal ini penulis hanya membahas masalah klasifikasi hadis ditinjau dari segi bentuk asalnya ,sifatnya,periwayatannya dan kualitas serta penyandarannya.

 B.     PEMBAHASAN.

1.      Hadis dari segi bentuk asalnya.

Hadis ditinjau dari segi bentuk asalnya ada tiga yaitu : hadits yang berupa perkataan(qauliyyah),berupa perbuatan(fi’liyyah) dan berupa ketetapan (taqririyyah)[2] 

a.       Hadits qauliyyah (perkataan).

Yang dimaksud dengan Hadis Qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’,peristiwa dan keadaan ,baik yang berkaitan dengan akidah,syari’ah,akhlak,maupun yang lainnya[3].

Adapun syarat perkataan Rasulullah SAW. dikatakan sebagai hadis  harus memiliki beberapa syarat,yaitu :

1.        Perkataan atau ucapan itu  disampaikan  dihadapan sahabat untuk didengar dan dipelihara melalui hafalan atau catatan pribadi.

2.        Perkataan atau ucpan tersebut sengaja diucapkan dihadapan umat dalam rangka memberikan pengajaran  kepada mereka.

3.        Perkataan atau ucapan tersebut mengandun makna syar’i yang menjadi pedoman bagi umatnya.[4] 

Contoh hadits Qauliyyah (perkataan) adalah

وعن ابي جحيفة وهب بن عبد الله رضي الله عنه قال :قال رسولله صلى الله عليه وسلم لا اكل متكىء (رواه البخارى)

“Dan dari Abu Juhaifah Wahab bin Abdillah Radiyallahu ‘Anhu,ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”aku tidak makan sambil bersandar’.”(HR.Al-Bukhari)[5]. 

b.      Hadis fi’liyyah (perbuatan)

Yang dimaksud dengan hadits Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW berupa perbuatan yang sampai kepada kita[6].Seperti hadis tentang shalat,puasa,haji  dan sebagainya.

Adapun syarat perbuatan  Rasulullah SAW. dikatakan sebagai hadis  harus memiliki beberapa syarat,yaitu :

1.  Perbuatan itu sengaja diperagakan  Nabi di hadapan sahabat untuk member contoh dalam pelaksanaan ibadah dan muamalat.

2.  Perbuatan itu mengandung ajaran syar’i yang akan diikuti oleh sahabat  dan umat secara umum.

3.  Perbuatan itu diriwayatkan oleh shabat dalam bentuk qaliy kepada sahabat lain atau tabi’in.[7] 

Contoh hadis Fi’li adalah :

عن عبدلله بن ما لك بن بحينة رضي الله عنه : ان النبي صلى الله عليه وسلم :كان اذا صلى فرج بين يديه حتى يبدو بياض ابطيه.(رواه بخاري(

Diriwayatkan dari Abdullah bin  Malik bin Buhainah r.a. bahwa ketika Nabi SAW.bersujud dalam shalat beliau merenggangkan kedua tangganya  sehingga ketiaknya yang putih tampak.(Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari,nomor hadits :390).[8] 

c.       Hadis taqririyyah (ketetapan).

Yang dimaksud dengan hadits Taqriri adalah segala Hadis yang berupa  ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang dari sahabatnya.Nabi SAW. membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat ,setelah memenuhi beberapa syarat ,baik mengenai pelakunya maupun perbuatanya[9].

Adapun syarat ketetapan  Rasulullah SAW. dkatakan sebagai hadis  harus memiliki beberapa yarat,yaitu :

1.  Perkataan atau perbuatan sebagian sahabt itu ditanggapi Nabi dengan diamnya,tidak mengatakan “ya” atau “tidak”,”benar” atau “salah”.

2.  Perbuatan sahabt tersebut disikapi oleh Rasulullah denga menyatakan keblehan atau kehalalan,akan tetapi Beliau tidak melarang atau menyuruhnya.

3.   Nabi menyetujui perbuatan  sahabat  dengan menerangkan kebalikannya serta menguatkan kedudukannya.[10] 

2.      Hadits ditinjau dari segi sifat asalnya.

a.       Hadis Qudsi.

Menurut para ulama Hadits Qudsi adalah sesuatu yan diberitakan Allah kepada Nabi SAW.dengan perantaraan Jibril atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu tidur  lalu oleh Rasulullah SAW.diberitakannya pula maksud dan tujuan berita di atas (kepada umatnya) dengan lafaz dan ucapan beliau sendiri,berdasarkan taufiq Allah SWT[11].

Jika demikian apa bedanya antara hadis Qudsi dengan Al-Qur’an ?Jelas beda.Al-Quran  adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Rasul-Nya ,Muhammad SAW. Melalui malaikat Jibril dengan jalur transmisi yang mutawatir ,sebagai mukjizat dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.Sedangkan hadis Qudsi tidak memiliki sifat-sifat tesebut.Singkatnya Al-Qur-an berisi firman Allah SWT. Yang makna dan redaksinya bersumber dari Allah,sementara hadits  qudsi ,maknanya besumber dari Allah SWT.sedangan redaksinya bersumber dari Rasulullah SAW.[12]

Pengertian  yang lebih sederhana adalah hadis yang maknanya datang dari Allah  sedangkan redaksinya dari dan diucapkan Nabi Muhammad SAW. 

Contoh hadis Qudsi adalah :

عن  ابي هريرة  رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: يقبد الله الارض ويطوى السماء بيمينه ثم يقول  : انا الملك اين ملوك ارض )) رواه بجاري)

Dari Abu Hurairah semoga Allah meridhoinya ,dari Nabi SAW,beliau bersabda :”Allah SWT. Menggenggam bumi dan dia melipat langit dengan tangan kanannya .Kemudian ,Allah befirman :’Akulah Sang Raja ,dimanakah para raja di muka bumi?”.(HR.Al-Bukhari)[13].

b.      Hadis Nabawi.

Hadits nabawi adalah hadis yang disandarkan  kepada Rasulullah SAW. Dan lansung diceritakan oleh Nabi.[14] 

3.      Hadis ditinjau dari segi dari segi jumlah periwayat.

Dalam meriwayatkan suatu hadis Nabi SAW.jumlah periwayat tidaklah sama antara masing-masing hadis.Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW.tidak selalu berkumpul dengan sahabat yang sama.Adakalanya satu saat Nabi SAW.bertemu dengan sejumlah sahabat dan  pada waktu yang lain Rasulullah SAW. Bertemu dengan dengan sejumlah sahabat yang berbeda.

Ulama bebeda pendapat tentang pembagian hadis diinjau dari segi kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini.Diantara mereka ada yang menelompokkannya menjadi  tiga bagian yakni hadits mutawatir,masyhur dan ahad.Dan ada juga yang membaginya hanya dua ,yakni Hadis Mutawatir dan Ahad.[15]

 

A.      Hadits Mutawatir.

 

Kata mutawatir,secara bahasa,merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’(berturut-turut)  atau    يتلو بعضه بعضا من غير تغللمجىء الشيء

Datangnya sesuatu secara berturut turut dan bergantian tanpa ada yang menyela.[16]

Sedangkan menurut istilah ,hadits Mutawatir adalah kabar atau berita  tentang sebuah perkara yang konkrit (dapat terlihat dan terdengar).Kabar itu besumber dari sekumpulan orang yang terpecaya yang junlahnya banyak yang mustahil secara adat maupun akal mereka berkumpul untuk sebuah kabar dusta.Tentang perkara yang dapat diterima oleh panca indra ,atau dari sekumpulan orang yang  seperti mereka,sehingga pada akhirnya sampai kepada kesaksian  atau pendengaran kabar tersebut ,maka disini kabar tersebut berhulu kepada Rasulullh SAW. Baik kabar yang didengar atau  yang disaksikan atau tentang perbuatan dan pernyataan dari   beliau  Rasulullah SAW.[17]

Syarat-syarat hadis Mutawatir adalah sebagai berikut :

1. Periwayatan harus didasarkan pancaindra ,baik berupa penglihatan atau  pendengaran rawi sendiri.

2.  Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pendustaan.Mengenai jumlah,beberapa yang dimungkinkan  demikian itu.Ada yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan jumlah yang tidak mungkin  melakukan pendustaan  itu adalah tidak dibatasi  oleh bilangan,melainkan dibatasi dengan jumlah yang rasional yang tidak memungkinkan melakukan untuk melakukan pendustaan.Namun demikian ,ada beberapa ulama yang memberikan batasan khusus ,diantaranya :

a.   Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang perawi hadis pada masing-masing thabakat.Jumlah ini didasarkan pada ketentuan jumlah saksi zina yang diperlukan hakim untuk menvonis terdakwa.

b.  Asy-Syafi’i  menentukan lima orang pada masing-masing thabakat.Dasar argumentasinya jumlah Rasul yang ulul azmi yang disinyalir 5 orang.

c. Ada juga yang menyebutkan 20 orang perawi pada masing-masing thabakat.Pendapat ini didasarkan pada firman Allah surat Al-Anfal ayat 65.dimana Allah memberikan sugesti kepada orang mukmin yang tahan uji sebanyak 20 orang.

d.  Ada juga ulama menyatakan jumlah rawi pada tiap-tiap thabakat 40 orang. Jumlah ini diqiyaskan pada firman Allah dalam surat Al-Anfal : 67.

e.   Sebagian ada juga yang menyatakan 70 orang.Jumlah ini diqiyaskan kepada firman Allah dalam surat Al-A’raf :155

3.   Adanya keseimbangan jumlah perawi hadis dari mulai thabakat pertama sampai kepada thabakat yang terakhir.[18]

            Dilihat dari cara periwayatannya hadis Mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian ,yakni: mutawtir bi al  lafdhi dan hadits mutawatir bil al-maknawi.[19]

a.      Hadis Mutawatir bi al-lafdhi.

      Hadis Mutawatir bi al-lafdhi adalah hadis yang apabila dilihat dari susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan yang lainnya.Artinya seluruh perawi hadis mengunakan satu redaksi atau menggunakan ungkapan yang sama dalam menyampaikan haditsnya itu.Hadis dalam kategori ini memang sangat langka dan dapat dihitung jumlahnya.[20] 

Contoh hadis mutawatir bil al-lafdhi adalah :

قال رسول الله صلى الله وسلم :من كذب علي متعمدا فليتبؤ مقعمده من النار

Artinya : Rasulullah SAW.bersabda ,”barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,maka hendaklah dia bersedia menduduki tempat duduk di neraka. 

Silsilah /urutan rawi hadis di atas adalah sebagai berikut :

1.   Ali bin Rabi’ah- Muhammad bin Ubaid- Abdullah bun Nashir-Muhammad bin Abdullah-Muslim.

2.    Anas bin Malik- Abdul Aziz – Ismail- Zuhair bin Harb- Muhammad bin Ubaid – Muslim.

3.      Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain  - Abu Awanah – Musa-Muslim.

4.      Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain  - Abu Awanah – Muhammad bin Ubaid – Muslim.

5.      Abu Hurairah – Abu Shalih-Abu Husain  - Abu Awanah – Musa - Bukhari

6.  Abdullah bin Zubair – Amit Bin Abdillah bin Zubair –abdul Haris –Abu Muammar –Bukhari.

7.      Abdullah bin Zubair – Amit Bin Abdillah bin Zubair-Jami’ bin Sadam –Syubah – Abdul Walid.

     Menurut Abu Bakar Al-Bazzar ,hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,kemudian Imam Nawawi dalam kitab minhajul Muhaddisin menyatakan hadits ini diterima oleh 200 orang sahabat.

     Al-iIraqi menyatakan bahwa lafaz hadis ini diriwayatka oleh lebih dari 70 orang sahabat.Tetapi yang semakna dengan hadis ini telah diriwayatkan oleh 200 orang sahabat,sebagaimana yang telah dijelaskan oleh An-Nawawi.[21] 

b.      Hadis Mutawatir bil al- maknawi.

      Hadis Mutawatir bil al- maknawi adalah hadits yang mutawatir maknaya saja bukan lafalnya.Hadits mutawatir  kategori ini disepakati penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda.[22] 

Contoh hadis mutawati al-maknawi adalah

ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤى بياض ابطيه في شيىء من دعاءه الا في الاستسقاء (متفق عليه)

Artinya :

“Rasulullah SAW.tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’anya selain dalam do’a sholat istisqo’ dan beliau mengangkat tangganya ,hingga Nampak putih-putih kedua ketiaknya.(HR.Bukhari Muslim).

 Hadis yang semakna dengan hadits tersebut di atas ada banyak,tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda.antara lain hadis-hadits yang ditarjihkan oleh Imam Ahmad,Al-Hakim Dan Abu Daud ,yang berbunyi :

كان يرفع يديه حذ ومنكبيهز

Artinya : “Rasulullah SAW.mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”[23]

 

B.      Hadis Masyhur.

Secara bahasa,kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara seperti شهرت الامر (aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti aku mengumumkan sesuatu yang terkenal,yang dikenal atau yang populer dikalangan manusia,sehingga hadits masyhur berarti hadits yang terkenal ,dikenal atu yang popular dikalangan manusia.Menurut  terminologi ulama hadis ,hadis masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai pada tingkat mutawatir. Ulama ushul,sebagaimana yang dikutib oleh Muhammad ‘Ajjal al-Khatib,membatasi jumlah yang memenuhi batasan minimal untuk  disebut masyhur pada generasi sahabat meskipun pada generasi berikutnya diriwayatkan secara mutawatir.Mereka mendefinisikan hadis masyhur sebagai berikut :

“Hadis  yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dikalangan sahabat yang tidak mencapai batas mutawatir kemudian sesudah sahabat dan orang-orang sesudah mereka diriwayatkan secara mutawatir.[24]

        Definisi ulama ushul ini menunjukkan bahwa perbedaan hadis mutawatir  dengan hadits masyhur hanyalah pada sanad tingkatan sahabat saja  yang tidak mencapai batasan mutawatir.Sedangkan sanad sesudahnya sama dengan mutawatir.

C.       Hadits Ahad.

Al-ahad  jama’ dari ahad,menurut bahasa berarti al-wahid atau satu.Hadis ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkanoleh satu orang saja.Adapun menurut terminology ulama hadis,hadis ahadadalah “hadis yang tidak memenuhi salah satu  dari syarat-syarat hadis mutawatir”.

Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,hadis ahad adalah hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi)tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni  dan tidak sampai kepada qath’i atau  yakin.

Dua definisi di atas menunjukkan dua hal :(1) dari segi kuantitas hadis ahad berada di bawah hadis mutawatir;(2) dari segi isinya hadis ahad berstatus zhanni bukan qath’i.kedua hal inilah yang membedakan hadis dari segi kuantitasnya menjadi tiga ; mutawatir masyhur,dan ahad,definisi hadis ahad adalah  :”Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur atau mutawatir.[25]

Jumhur ulama Islam menerima hadis-hadis ahad dari orang yang kepercayaan dan adil serta berhujjah dengan dia dalam urusan-urusan amal,tidak dalam urusan I’tiqad.urusan I’tiqad wajib ditegaskan oleh dalil-dalil yang yakin yang tidak ada keraguan padanya. Sedangkan Imam Ahmad,sebagaimana berpegang kepada hadis ahad dalam urusan amal,juga beliau berpegang kepadanya ,dalam urusan i’tiqad.[26] 

4.      Hadis dari segi kualitas.

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal,yaitu jumla rawi ,keadaan (kualitas)rawi,dan keadaan matan.Ketiga hal tersebut menentukan tinggi-rendahnya suatu hadis.Bila dua hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama ,maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang;dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih tinggi tingkatannya dari  hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.[27]

Hadis  dari segi kualitasnnya terdiri dari yang diterima (yakni yang shahih) dan yang  ditolak(yakni yang dha’if),Itulah pembagian hadis secara garis besar.Tetapi para ahli membagi hadits pada tiga bagian :hadis shahih,hadis hasan dan hadis dhai’if.[28]

a.      Hadis Shahih.

Kata shahih  secara bahasa berarti sehat,yang menyehatkan(والمصحة),yang benar,tepat(والصح)yang selamat (السليم), yang sempurna,lengkap (التا م),yang nyata (الحقيقي) yang sah,yang legal (الصحيح).[29]

      Ibn al-Ahalah dalam kitabnya ‘Ulum al-Hadit yang dikenal juga dengan Mukadimah Ibnu al_shalih,mendefinisikan hadis  shahih dengan :” ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘Ilat (cacat)”.[30]

 Dari definisi di atas disepakati oleh para ulama ahli hadis  dan dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadits shahih  adalah :

1.      Sanadnya bersambung.

2.      Perawinya ‘adil.

3.      Perawinya dhabit.

4.      Tiadak Syadz (janggal).

5.      Tidak berilat ( Gair Mu’allal).[31]

b.      Hadis Hasan.

Hadis hasan  adalah hadits musnad (sanadnya bersambung kepada Nabi),diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil misalnya tidak tertuduh pendusta),tidak mengandung syadz atau ‘illat,tetapi diantara periwayatnya  dalam sanad ada yang  kurang dhabit.[32]

Dengan definisi di atas ,kita dapat membandingkan hadis shahih dan hadits hasan ,kemudian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita menemukan titik keserupaan antara kedua jenis hadits ini.Keduanya harus memenuhi seluruh criteria ebuah hadis kecuali berkaitan dengan kekuatan hafalan (dhabitnya) seorang periwarat.Hadis yang shahih  diriwayatkan oleh para perawi yang sempurna daya hafalnya,yakni kuat  hafalannya ,sedangkan pada hadits hasan ada periwayatnya yang  rendah tingkat daya hafalnya. 

c.       Hadis Da’if.

Kata shahih  secara bahasa berarti yang lemah lawan dari ,yang sakit (المريض).[33]Maka secara bahasa hadis dha’if berarti hadis ang lemah,sakit,dn tidak kuat.

Secara etimologis para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam,meskipun maksud dan kandungnya sama.Al-Nawawi dan Al-Qasimi medefinisikan hadits dha’if adalah :”Hadis yang di dalamnnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan”.Muhammad ‘Ajjal al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if adalah :”Segala hadis yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.[34]

Diantara kriteria hadis dha’if adalah :(1) sanadnya terputus;(2) periwayatnnya tidak ‘adil;(3) periwayatnya tidak dhabit;(4) mengandung syadz;(5) mengandung ‘illat.[35]

Sesuatu hadis itu dianggap dha’if, lemah atau tercela,apabila diantara orang-orang yang menceritakannya itu ada rawi yang bersifat:

1.      Dituduh berbohong.

2.      Dituduh suka keliru.

3.      Dituduh suka salah.

4.      Pembohong.

5.      Suka melanggar hokum gama.

6.      Tak dapat dipercaya.

7.      Banyak salah dalam meriwayatkan.

8.      Tidak kuat hafalan.

9.      Bukan orang Islam.

10.  Belum baligh waktu menyampaikan hadits.

11.  Berubah akal.

12.  Tidak dikenal dirinya.

13.  Tidak dikenal sifatnya.

14.  Suka lupa.

15.  Suka menyamar dalam meriwayatkan.

16.  Suka ragu-ragu.[36]

Contoh hadis dha’if adalah:

من نام بعد العصر فاختلس عقله  فلايلومن  الا نفسه.      

Ini adalah hadits dha’if  yangdiriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari sanad Khalid bin al-Qasim dari al-Laits bin Sa’ad dari Aqil.

Ibnu Jauzi mengatakan dalam kitabnya Hadis-hadis Maudhu’at bahwa itu bukan hadits shahih .Khalid adalah penipu atau pendusta.Ia mengambil hadis dari Ibnu Luhai’ah yang menisbatkannya pada Laits.Sedangkan Ibnu Luhai’ah hafalannya sangat lemah.[37]                 

5.      Hadis dari segi Penyandarannya.

Dilihat dari segi penyandaranya  hadis dapat dibagi kepada tiga macam;hadis marfu’,hadis mauquf dan hadits maqthu’.

a.       Hadist Marfu’.

      Hadis marfu’menurut istilah :”Apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa perkataan ,perbuatan,ketetapan atau sifat beliau”.[38]Hadis marfu’ ada yang shahih, hasan atau dhaif. 

b.      Hadis Mauquf.

       Hadits mauquf adalah hadts yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau hadis yang diriwayatkan dari pada sahabat baik berupa perkataan .perbuatan atau persetujuannya.[39]Dilihat dari segi bahasa kata mauquf berasal dari kata – يقفوقف  artinya berhenti atau mewakafkan.[40]Maksudnya hadits jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada Rasuullah SAW.           

c.       Hadits maqthu’. 

            Kata maqthu’ berasal dari kataيقطع  -قطع      artinya adalah memotong lawan dari washala(menghubungkan).[41]Menurut istilah hadis maqthu’ adalah hadist yang diriwayatkan dari thabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatan.Dengan kata lain ,bahwa hadis maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan para thabi’in.

sebagaimana hadits mauquf ,hadis maqthu’ dilihat dari segi sandarannya adalah hadits lemah,yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.Diantara ulama ada yang menyebut hadits mauquf dan hadits muqthu’ dengan al-Atsar dan al-Khabar.[42]

 PENUTUP 

KESIMPULAN.

1.      Hadis dari segi bentuk asalnya ada tiga, yaitu :

a.       Hadit qauliyyah (perkataan).

b.      Hadit fi’liyyah (perbuatan).

c.       Hadit taqririyyah (ketetapan).

2.      Hadits ditinjau dari segi sifat asalnya ada dua,yaitu:

a.       Hadis Qudsy.

b.      Hadis Nabawi.

3.      Hadis ditinjau dari segi dari segi jumlah periwayat ada tiga ,yaitu :

a.       Hadis Mutawatir.

b.      Hadis Masyhur.

c.       Hadis Ahad.

4.      Hadis dari segi kualitas ada tiga,yitu:

a.       Hadts Shohih.

b.      Hadis Hasan.

c.       Hadis Dha’if.

5.      Hadis dari segi Penyandarannya ada tiga ,yaitu :

a.    Hadis Marfu’.

b.   Hadis Mauquf.

c.    Hadis maqthu’.

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1.      A.Hassan,Soal-Tanya-Jawab Masalah Agama,(Bandung:cv.Diponogoro,1985)

2.      A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,(Yokyakarta : Interpena,2011)

3.      A.W.Muanwwir,Kamus Al-Muanawwir Arab-Indonesia terlengkap,(yokyakarta:Pustaka Progresif,1994)

4.      Abduh Zulfikar Akaha,165 Kebiasaan Nabi SAW,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2002)

5.      Cecep Sumarna,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung : Pustaka Bani Quraisyi)

6.      Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010)

7.      Imam Az-Zabidi,Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari,(Jakarta:Pustaka mani,2002)

8.      M.Ali Usman ,Hadits Qudsi ,(Bandung:Cv Penerbit Diponegoro,2007)

9.      M.Hasbi Ash-Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan Bintang,1993)

10.  Muhammad Ahmad,Ma,Ulumul Hadits,(Jakarta:Pustaka Setia,1998)

11.  Muhammad Nashiruddin Al-Bani,Silsilah hadits dah’if dan maudhu,(terjemahan), ,(Jakarta:Gema Insani,1995)

12.  Muhammad Nasyiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun  binafsihi fil ‘akaidu wal Ahkami,terjemahan,(Jakarta:Pustaka Azzam)

13.  Munzier Suparca,,,Ilmu Hadis,(Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada,1993)

14.  Nuruddin at,Ulum Hadits ,(Bandung :Pt.Remaja Rosdakarya,1997)

15.  Subhi As-Shalih,Membahas ilmu-ilmu hadis,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1997)

16.  Zakariya ‘Umairat,Shahih Hadits Qudsi dan Syarahnya,(Jakarta:Pustaka Imam     Asy-Syafi’I ,2010)

 

 



[1] M.Hasbi Ash-Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan Bintang,1993),h.22

[2] Muhammad Ahmad,Ma,Ulumul Hadits,(Jakarta:Pustaka Setia,1998),H.17

[3] Munzier Suparca,,,Ilmu Hadis,(Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada,1993),H.15

[4] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,(Yokyakarta : Interpena,2011),H.26

[5] Abduh Zulfikar Akaha,165 Kebiasaan Nabi SAW,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2002),H.243

[6] Munzier Suparca,op.cit,hlm .16.

[7] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,Op.cit,H.28

[8] Imam Az-Zabidi,Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari,(Jakarta:Pustaka Amani,2002),H.129

[9] Munzier Suparca,Drs,op.cit,hlm.17.

[10] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,Op.cit,H.30-31

[11] M.Ali Usman ,Hadits Qudsi ,(Bandung:Cv Penerbit Diponegoro,2007),H.11

                                [12] Zakariya ‘Umairat,Shahih Hadits Qudsi dan Syarahnya,(Jakarta:Pustaka Imam Asy-Syafi’I ,2010),H.9

[13] Zakariya ‘Umairat, op.cit,hlm.123

[14] Nuruddin at,Ulum Hadits ,(Bandung :Pt.Remaja Rosdakarya,1997),H.97

[15] Munzier Suparca,op.cit,h.81.

[16] Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010),h.130

[17] Muhammad Nasyiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun  binafsihi fil ‘akaidu wal Ahkami,terjemahan,(Jakarta:Pustaka Azzam),h.24

[18] Cecep Sumarna,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung : Pustaka Bani Quraisyi),h.63-64

[19] Ibid,h.65

[20] Ibid,h.65

[21]Muhammad Ahmad,op.cit.h.71

[22] Idri,op.cit.h.139 

[23] Muhammad Ahmad,op.cit.72

[24] Idri,op.cit.h.143

[25] Idri,op.cit,h.141

[26] M.Hasbi Ash-shidieqy,op.cit,h.206.

[27] Muhammad Ahmad,op.cit.,h.75.

[28] Subhi As-Shalih,Membahas ilmu-ilmu hadis,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1997),h.129.

[29] A.W.Muanwwir,Kamus Al-Muanawwir Arab-Indonesia terlengkap,(yokyakarta:Pustaka Progresif,1994),h.817.

[30] Idri,Op.Cit,h.158

[31] Munzier Suparca,op.cit,h.112

[32] Idri,op.cit,h.159

[33] A.W.Munawwir,op.cit,h.880.

[34] Idri,op.cit,h.177.

[35] Ibid,h.178.

[36] A.Hassan,soal-tanya-jawab masalah agama,(Bandung:cv.Diponogoro,1985),h.17

[37] Muhammad Nashiruddin Al-Bani,Silsilah hadits dah’if dan maudhu’,(Jakarta:Gema Insani,1995),terjemahan,h.57

[38] Munzier Suparca,op.cit,h.3

[39] Subhi-ash-Sholeh,op.cit ,h.208

[40] A.W.Munawwir,op.cit,h.1683

[41] Ibid,h.1219

[42] Munzier Suparca,op.cit,h.130

0 Comment