Hadis Nabi SAW. merupakan salah satu sumber ajaran agama
Islam yang kedudukannya dalam ajaran agama sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur’an, keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lain, dan
mentaatinya wajib bagi kaum muslimin sebagaimana wajibnya mentaati Al-Qur’an.
Banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan akan kehujjahan
hadis diantaranya adalah ayat-ayat yang memerintahkan kepada kaum muslim untuk
taat kepada Rasulullah saw. firman Allah Swt :
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
فإنتنزعتم فى شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الأخر ذلك
خير وأحسن تأويلا ( النساء : 59 )
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Qs.An-Nisa’ : 59).
Kembali kepada Allah maksudnya kembali kepada Al-Qur’an
dan kembali kepada Rasul maksudnya kembali kepada Sunnah atau Hadis beliau SAW.
Perintah untuk mengikuti segala apa yang diperintahkan
oleh Rasulullah Saw dan menjauhi segala apa yang dilarangya, Allah Swt
berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Terjemahannya: “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr :7).
Hadits menurut istilah ahli hadis,ialah :“Segala ucapan Nabi,segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”.[1]Disamping Al-Quran ,hadis juga menjadi pedoman bagi kehidupan manusia.Rasulullah merupakan uswatun hasanah bagi kita karena apapun yang beliau katakan selalu dibimbing oleh Allah SWT .Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran :
Artinya
: Dan tiadalah yang diucapkannya
itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(Q.s.An-Najm : 3-4).
Rasulullah dilahirkan di tanah Arab yang dalam
kehidupan sehari-hari tentu saja memakai bahasa Arab,tetapi tidak semua bahasa
Arab itu adalah hadis .Salah satu kesalahan persepsi sebagian masyarakat Islam
saat ini adalah apa-apa yang disampaikan oleh seorang da’i dalam bahasa Arab mereka anggap itu adalah
hadis ,walaupun tidak memiliki sanad dan rawi yang jelas.Untuk itu umat Islam
harus memiliki pengetahuan mengetahui pengklasifikasian hadis dari berbagai
aspek.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini
Penulis akan memaparkan sedikit tentang salah satu bahagian dari pengetahuan hadis yakni :“Klasifikasi Hadis ditinjau dari
berbagai Aspek”.Dalam hal ini penulis hanya membahas masalah klasifikasi hadis
ditinjau dari segi bentuk asalnya ,sifatnya,periwayatannya dan kualitas serta
penyandarannya.
1. Hadis
dari segi bentuk asalnya.
Hadis ditinjau dari segi bentuk asalnya ada tiga yaitu : hadits yang berupa perkataan(qauliyyah),berupa perbuatan(fi’liyyah) dan berupa ketetapan (taqririyyah)[2]
a. Hadits
qauliyyah (perkataan).
Yang
dimaksud dengan Hadis Qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud
syara’,peristiwa dan keadaan ,baik yang berkaitan dengan akidah,syari’ah,akhlak,maupun
yang lainnya[3].
Adapun
syarat perkataan Rasulullah SAW. dikatakan sebagai hadis harus memiliki beberapa syarat,yaitu :
1.
Perkataan atau ucapan
itu disampaikan dihadapan sahabat untuk didengar dan
dipelihara melalui hafalan atau catatan pribadi.
2.
Perkataan atau ucpan
tersebut sengaja diucapkan dihadapan umat dalam rangka memberikan
pengajaran kepada mereka.
3. Perkataan atau ucapan tersebut mengandun makna syar’i yang menjadi pedoman bagi umatnya.[4]
Contoh hadits
Qauliyyah (perkataan) adalah
وعن ابي جحيفة وهب بن عبد الله رضي
الله عنه قال :قال رسولله صلى الله عليه وسلم لا اكل متكىء (رواه البخارى)
“Dan dari Abu Juhaifah Wahab bin Abdillah Radiyallahu ‘Anhu,ia berkata,”Rasulullah SAW bersabda,”aku tidak makan sambil bersandar’.”(HR.Al-Bukhari)[5].
b. Hadis
fi’liyyah (perbuatan)
Yang
dimaksud dengan hadits Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW
berupa perbuatan yang sampai kepada kita[6].Seperti
hadis tentang shalat,puasa,haji dan
sebagainya.
Adapun
syarat perbuatan Rasulullah SAW. dikatakan
sebagai hadis harus memiliki beberapa
syarat,yaitu :
1. Perbuatan
itu sengaja diperagakan Nabi di hadapan
sahabat untuk member contoh dalam pelaksanaan ibadah dan muamalat.
2. Perbuatan
itu mengandung ajaran syar’i yang akan diikuti oleh sahabat dan umat secara umum.
3. Perbuatan itu diriwayatkan oleh shabat dalam bentuk qaliy kepada sahabat lain atau tabi’in.[7]
Contoh hadis Fi’li
adalah :
عن عبدلله بن ما لك بن
بحينة رضي الله عنه : ان النبي صلى الله عليه وسلم :كان اذا صلى فرج بين يديه حتى
يبدو بياض ابطيه.(رواه
بخاري(
Diriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhainah r.a. bahwa ketika Nabi SAW.bersujud dalam shalat beliau merenggangkan kedua tangganya sehingga ketiaknya yang putih tampak.(Hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari,nomor hadits :390).[8]
c. Hadis
taqririyyah (ketetapan).
Yang
dimaksud dengan hadits Taqriri adalah segala Hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang
dari sahabatnya.Nabi SAW. membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para
sahabat ,setelah memenuhi beberapa syarat ,baik mengenai pelakunya maupun
perbuatanya[9].
Adapun
syarat ketetapan Rasulullah SAW.
dkatakan sebagai hadis harus memiliki
beberapa yarat,yaitu :
1. Perkataan
atau perbuatan sebagian sahabt itu ditanggapi Nabi dengan diamnya,tidak
mengatakan “ya” atau “tidak”,”benar” atau “salah”.
2. Perbuatan
sahabt tersebut disikapi oleh Rasulullah denga menyatakan keblehan atau
kehalalan,akan tetapi Beliau tidak melarang atau menyuruhnya.
3. Nabi menyetujui perbuatan sahabat dengan menerangkan kebalikannya serta menguatkan kedudukannya.[10]
2. Hadits
ditinjau dari segi sifat asalnya.
a. Hadis
Qudsi.
Menurut
para ulama Hadits Qudsi adalah sesuatu yan diberitakan Allah kepada Nabi
SAW.dengan perantaraan Jibril atau dengan jalan ilham atau mimpi waktu
tidur lalu oleh Rasulullah SAW.diberitakannya
pula maksud dan tujuan berita di atas (kepada umatnya) dengan lafaz dan ucapan
beliau sendiri,berdasarkan taufiq Allah SWT[11].
Jika
demikian apa bedanya antara hadis Qudsi dengan Al-Qur’an ?Jelas
beda.Al-Quran adalah kitab suci yang
diturunkan oleh Allah SWT. Kepada Rasul-Nya ,Muhammad SAW. Melalui malaikat
Jibril dengan jalur transmisi yang mutawatir ,sebagai mukjizat dan bernilai ibadah
bagi yang membacanya.Sedangkan hadis Qudsi tidak memiliki sifat-sifat
tesebut.Singkatnya Al-Qur-an berisi firman Allah SWT. Yang makna dan redaksinya
bersumber dari Allah,sementara hadits
qudsi ,maknanya besumber dari Allah SWT.sedangan redaksinya bersumber
dari Rasulullah SAW.[12]
Pengertian yang lebih sederhana adalah hadis yang maknanya datang dari Allah sedangkan redaksinya dari dan diucapkan Nabi Muhammad SAW.
Contoh hadis Qudsi
adalah :
عن
ابي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى
الله عليه وسلم قال: يقبد
الله الارض ويطوى السماء بيمينه ثم يقول :
انا الملك اين ملوك ارض )) رواه بجاري)
Dari Abu Hurairah
semoga Allah meridhoinya ,dari Nabi SAW,beliau bersabda :”Allah SWT.
Menggenggam bumi dan dia melipat langit dengan tangan kanannya .Kemudian ,Allah
befirman :’Akulah Sang Raja ,dimanakah para raja di muka bumi?”.(HR.Al-Bukhari)[13].
b. Hadis
Nabawi.
Hadits nabawi adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Dan lansung diceritakan oleh Nabi.[14]
3. Hadis
ditinjau dari segi dari segi jumlah periwayat.
Dalam
meriwayatkan suatu hadis Nabi SAW.jumlah periwayat tidaklah sama antara
masing-masing hadis.Hal ini disebabkan karena Rasulullah SAW.tidak selalu
berkumpul dengan sahabat yang sama.Adakalanya satu saat Nabi SAW.bertemu dengan
sejumlah sahabat dan pada waktu yang
lain Rasulullah SAW. Bertemu dengan dengan sejumlah sahabat yang berbeda.
Ulama
bebeda pendapat tentang pembagian hadis diinjau dari segi kuantitas atau jumlah
rawi yang menjadi sumber berita ini.Diantara mereka ada yang menelompokkannya
menjadi tiga bagian yakni hadits mutawatir,masyhur
dan ahad.Dan ada juga yang membaginya hanya dua ,yakni Hadis Mutawatir dan
Ahad.[15]
A. Hadits Mutawatir.
Kata
mutawatir,secara bahasa,merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur
yang bermakna al-tatabu’(berturut-turut)
atau يتلو بعضه بعضا من غير تغللمجىء
الشيء
Datangnya sesuatu
secara berturut turut dan bergantian tanpa ada yang menyela.[16]
Sedangkan
menurut istilah ,hadits Mutawatir adalah kabar atau berita tentang sebuah perkara yang konkrit (dapat
terlihat dan terdengar).Kabar itu besumber dari sekumpulan orang yang terpecaya
yang junlahnya banyak yang mustahil secara adat maupun akal mereka berkumpul
untuk sebuah kabar dusta.Tentang perkara yang dapat diterima oleh panca
indra ,atau dari sekumpulan orang yang
seperti mereka,sehingga pada akhirnya sampai kepada kesaksian atau pendengaran kabar tersebut ,maka disini
kabar tersebut berhulu kepada Rasulullh SAW. Baik kabar yang didengar atau yang disaksikan atau tentang perbuatan dan
pernyataan dari beliau Rasulullah SAW.[17]
Syarat-syarat
hadis Mutawatir adalah sebagai berikut :
1. Periwayatan
harus didasarkan pancaindra ,baik berupa penglihatan atau pendengaran rawi sendiri.
2. Jumlah
perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk
melakukan pendustaan.Mengenai jumlah,beberapa yang dimungkinkan demikian itu.Ada yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan jumlah yang tidak mungkin
melakukan pendustaan itu adalah
tidak dibatasi oleh bilangan,melainkan
dibatasi dengan jumlah yang rasional yang tidak memungkinkan melakukan untuk
melakukan pendustaan.Namun demikian ,ada beberapa ulama yang memberikan batasan
khusus ,diantaranya :
a. Abu
Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang perawi hadis pada masing-masing
thabakat.Jumlah ini didasarkan pada ketentuan jumlah saksi zina yang diperlukan
hakim untuk menvonis terdakwa.
b. Asy-Syafi’i
menentukan lima orang pada masing-masing thabakat.Dasar argumentasinya
jumlah Rasul yang ulul azmi yang disinyalir 5 orang.
c. Ada
juga yang menyebutkan 20 orang perawi pada masing-masing thabakat.Pendapat
ini didasarkan pada firman Allah surat Al-Anfal ayat 65.dimana Allah memberikan
sugesti kepada orang mukmin yang tahan uji sebanyak 20 orang.
d. Ada
juga ulama menyatakan jumlah rawi pada tiap-tiap thabakat 40 orang.
Jumlah ini diqiyaskan pada firman Allah dalam surat Al-Anfal : 67.
e. Sebagian
ada juga yang menyatakan 70 orang.Jumlah ini diqiyaskan kepada firman Allah
dalam surat Al-A’raf :155
3. Adanya
keseimbangan jumlah perawi hadis dari mulai thabakat pertama sampai kepada
thabakat yang terakhir.[18]
Dilihat dari cara periwayatannya
hadis Mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian ,yakni: mutawtir bi al lafdhi dan hadits mutawatir bil
al-maknawi.[19]
a.
Hadis Mutawatir bi
al-lafdhi.
Hadis Mutawatir bi al-lafdhi adalah hadis yang apabila dilihat dari susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan yang lainnya.Artinya seluruh perawi hadis mengunakan satu redaksi atau menggunakan ungkapan yang sama dalam menyampaikan haditsnya itu.Hadis dalam kategori ini memang sangat langka dan dapat dihitung jumlahnya.[20]
Contoh
hadis mutawatir bil al-lafdhi adalah :
قال رسول الله صلى الله وسلم :من كذب علي
متعمدا فليتبؤ مقعمده من النار
Artinya : Rasulullah SAW.bersabda ,”barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku,maka hendaklah dia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.
Silsilah
/urutan rawi hadis di atas adalah sebagai berikut :
1. Ali bin Rabi’ah- Muhammad
bin Ubaid- Abdullah bun Nashir-Muhammad bin Abdullah-Muslim.
2. Anas bin Malik- Abdul
Aziz – Ismail- Zuhair bin Harb- Muhammad bin Ubaid – Muslim.
3.
Abu Hurairah – Abu
Shalih-Abu Husain - Abu Awanah –
Musa-Muslim.
4.
Abu Hurairah – Abu
Shalih-Abu Husain - Abu Awanah –
Muhammad bin Ubaid – Muslim.
5.
Abu Hurairah – Abu
Shalih-Abu Husain - Abu Awanah – Musa -
Bukhari
6. Abdullah bin Zubair –
Amit Bin Abdillah bin Zubair –abdul Haris –Abu Muammar –Bukhari.
7.
Abdullah bin Zubair –
Amit Bin Abdillah bin Zubair-Jami’ bin Sadam –Syubah – Abdul Walid.
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar ,hadis tersebut
di atas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,kemudian Imam Nawawi dalam kitab minhajul
Muhaddisin menyatakan hadits ini diterima oleh 200 orang sahabat.
Al-iIraqi menyatakan bahwa lafaz hadis ini diriwayatka oleh lebih dari 70 orang sahabat.Tetapi yang semakna dengan hadis ini telah diriwayatkan oleh 200 orang sahabat,sebagaimana yang telah dijelaskan oleh An-Nawawi.[21]
b.
Hadis Mutawatir bil
al- maknawi.
Hadis Mutawatir bil al- maknawi adalah hadits yang mutawatir maknaya saja bukan lafalnya.Hadits mutawatir kategori ini disepakati penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda.[22]
Contoh
hadis mutawati al-maknawi adalah
ما
رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤى بياض ابطيه في شيىء من دعاءه الا في الاستسقاء
(متفق عليه)
Artinya
:
“Rasulullah
SAW.tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’anya selain dalam do’a
sholat istisqo’ dan beliau mengangkat tangganya ,hingga Nampak putih-putih
kedua ketiaknya.(HR.Bukhari Muslim).
Hadis yang semakna dengan hadits tersebut di
atas ada banyak,tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang
berbeda-beda.antara lain hadis-hadits yang ditarjihkan oleh Imam Ahmad,Al-Hakim
Dan Abu Daud ,yang berbunyi :
كان
يرفع يديه حذ ومنكبيهز
Artinya :
“Rasulullah SAW.mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”[23]
B. Hadis Masyhur.
Secara
bahasa,kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara seperti شهرت
الامر (aku memasyhurkan sesuatu) yang berarti
aku mengumumkan sesuatu yang terkenal,yang dikenal atau yang populer dikalangan
manusia,sehingga hadits masyhur berarti hadits yang terkenal ,dikenal atu yang
popular dikalangan manusia.Menurut
terminologi ulama hadis ,hadis masyhur adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak
sampai pada tingkat mutawatir. Ulama ushul,sebagaimana yang dikutib oleh
Muhammad ‘Ajjal al-Khatib,membatasi jumlah yang memenuhi batasan minimal
untuk disebut masyhur pada
generasi sahabat meskipun pada generasi berikutnya diriwayatkan secara
mutawatir.Mereka mendefinisikan hadis masyhur sebagai berikut :
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dikalangan
sahabat yang tidak mencapai batas mutawatir kemudian sesudah sahabat dan orang-orang
sesudah mereka diriwayatkan secara mutawatir.[24]
Definisi ulama ushul ini menunjukkan
bahwa perbedaan hadis mutawatir dengan hadits masyhur hanyalah pada
sanad tingkatan sahabat saja yang tidak
mencapai batasan mutawatir.Sedangkan sanad sesudahnya sama dengan mutawatir.
C. Hadits Ahad.
Al-ahad jama’ dari ahad,menurut bahasa berarti al-wahid
atau satu.Hadis ahad secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkanoleh satu
orang saja.Adapun menurut terminology ulama hadis,hadis ahadadalah “hadis yang
tidak memenuhi salah satu dari
syarat-syarat hadis mutawatir”.
Menurut
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,hadis ahad adalah hadis yang sanadnya
shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi)tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan
tidak sampai kepada qath’i atau
yakin.
Dua
definisi di atas menunjukkan dua hal :(1) dari segi kuantitas hadis ahad
berada di bawah hadis mutawatir;(2) dari segi isinya hadis ahad berstatus
zhanni bukan qath’i.kedua hal inilah yang membedakan hadis dari
segi kuantitasnya menjadi tiga ; mutawatir masyhur,dan ahad,definisi
hadis ahad adalah :”Hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak
memenuhi persyaratan hadis masyhur atau mutawatir.[25]
Jumhur ulama Islam menerima hadis-hadis ahad dari orang yang kepercayaan dan adil serta berhujjah dengan dia dalam urusan-urusan amal,tidak dalam urusan I’tiqad.urusan I’tiqad wajib ditegaskan oleh dalil-dalil yang yakin yang tidak ada keraguan padanya. Sedangkan Imam Ahmad,sebagaimana berpegang kepada hadis ahad dalam urusan amal,juga beliau berpegang kepadanya ,dalam urusan i’tiqad.[26]
4. Hadis
dari segi kualitas.
Penentuan
tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal,yaitu jumla rawi
,keadaan (kualitas)rawi,dan keadaan matan.Ketiga hal tersebut
menentukan tinggi-rendahnya suatu hadis.Bila dua hadis menentukan keadaan rawi
dan keadaan matan yang sama ,maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi
lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang;dan
hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.[27]
Hadis dari segi kualitasnnya terdiri dari yang
diterima (yakni yang shahih) dan yang
ditolak(yakni yang dha’if),Itulah pembagian hadis secara garis
besar.Tetapi para ahli membagi hadits pada tiga bagian :hadis shahih,hadis
hasan dan hadis dhai’if.[28]
a. Hadis
Shahih.
Kata
shahih secara bahasa berarti
sehat,yang menyehatkan(والمصحة),yang benar,tepat(والصح)yang selamat (السليم), yang sempurna,lengkap (التا
م),yang nyata (الحقيقي) yang sah,yang legal (الصحيح).[29]
Ibn al-Ahalah dalam kitabnya ‘Ulum
al-Hadit yang dikenal juga dengan Mukadimah Ibnu
al_shalih,mendefinisikan hadis shahih
dengan :” ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘Ilat
(cacat)”.[30]
Dari definisi di atas disepakati oleh para
ulama ahli hadis dan dapat dinyatakan
bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah
:
1. Sanadnya
bersambung.
2. Perawinya
‘adil.
3. Perawinya
dhabit.
4. Tiadak
Syadz (janggal).
5. Tidak
berilat ( Gair Mu’allal).[31]
b. Hadis
Hasan.
Hadis
hasan adalah hadits musnad
(sanadnya bersambung kepada Nabi),diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil
misalnya tidak tertuduh pendusta),tidak mengandung syadz atau ‘illat,tetapi
diantara periwayatnya dalam sanad ada
yang kurang dhabit.[32]
Dengan definisi di atas ,kita dapat membandingkan hadis shahih dan hadits hasan ,kemudian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kita menemukan titik keserupaan antara kedua jenis hadits ini.Keduanya harus memenuhi seluruh criteria ebuah hadis kecuali berkaitan dengan kekuatan hafalan (dhabitnya) seorang periwarat.Hadis yang shahih diriwayatkan oleh para perawi yang sempurna daya hafalnya,yakni kuat hafalannya ,sedangkan pada hadits hasan ada periwayatnya yang rendah tingkat daya hafalnya.
c. Hadis
Da’if.
Kata
shahih secara bahasa berarti yang
lemah lawan dari ,yang sakit (المريض).[33]Maka
secara bahasa hadis dha’if berarti hadis ang lemah,sakit,dn tidak kuat.
Secara
etimologis para ulama mendefinisikannya dengan redaksi yang beragam,meskipun
maksud dan kandungnya sama.Al-Nawawi dan Al-Qasimi medefinisikan hadits dha’if
adalah :”Hadis yang di dalamnnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan
syarat-syarat hadits hasan”.Muhammad ‘Ajjal al-Khathib menyatakan bahwa
definisi hadis dha’if adalah :”Segala hadis yang di dalamnya tidak
terkumpul sifat-sifat maqbul”.[34]
Diantara
kriteria hadis dha’if adalah :(1) sanadnya terputus;(2) periwayatnnya
tidak ‘adil;(3) periwayatnya tidak dhabit;(4) mengandung syadz;(5)
mengandung ‘illat.[35]
Sesuatu
hadis itu dianggap dha’if, lemah atau tercela,apabila diantara
orang-orang yang menceritakannya itu ada rawi yang bersifat:
1. Dituduh
berbohong.
2. Dituduh
suka keliru.
3. Dituduh
suka salah.
4. Pembohong.
5. Suka
melanggar hokum gama.
6. Tak
dapat dipercaya.
7. Banyak
salah dalam meriwayatkan.
8. Tidak
kuat hafalan.
9. Bukan
orang Islam.
10. Belum
baligh waktu menyampaikan hadits.
11. Berubah
akal.
12. Tidak
dikenal dirinya.
13. Tidak
dikenal sifatnya.
14. Suka
lupa.
15. Suka
menyamar dalam meriwayatkan.
16. Suka
ragu-ragu.[36]
Contoh hadis dha’if
adalah:
من
نام بعد العصر فاختلس عقله فلايلومن
الا
نفسه.
Ini adalah hadits dha’if
yangdiriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari
sanad Khalid bin al-Qasim dari al-Laits bin Sa’ad dari Aqil.
Ibnu Jauzi mengatakan dalam kitabnya Hadis-hadis Maudhu’at bahwa itu bukan hadits shahih .Khalid adalah penipu atau pendusta.Ia mengambil hadis dari Ibnu Luhai’ah yang menisbatkannya pada Laits.Sedangkan Ibnu Luhai’ah hafalannya sangat lemah.[37]
5. Hadis
dari segi Penyandarannya.
Dilihat
dari segi penyandaranya hadis dapat dibagi
kepada tiga macam;hadis marfu’,hadis mauquf dan hadits maqthu’.
a.
Hadist Marfu’.
Hadis marfu’menurut istilah :”Apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.baik berupa perkataan ,perbuatan,ketetapan atau sifat beliau”.[38]Hadis marfu’ ada yang shahih, hasan atau dhaif.
b.
Hadis Mauquf.
Hadits mauquf adalah hadts yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau hadis yang diriwayatkan dari pada sahabat baik berupa perkataan .perbuatan atau persetujuannya”.[39]Dilihat dari segi bahasa kata mauquf berasal dari kata – يقفوقف artinya berhenti atau mewakafkan.[40]Maksudnya hadits jenis ini dihentikan penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai kepada Rasuullah SAW.
c. Hadits maqthu’.
Kata maqthu’ berasal dari
kataيقطع -قطع artinya adalah memotong lawan dari washala(menghubungkan).[41]Menurut
istilah hadis maqthu’ adalah hadist yang diriwayatkan dari thabi’in
dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatan.Dengan kata lain
,bahwa hadis maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan para thabi’in.
sebagaimana
hadits mauquf ,hadis maqthu’ dilihat dari segi sandarannya adalah hadits
lemah,yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah.Diantara ulama ada yang
menyebut hadits mauquf dan hadits muqthu’ dengan al-Atsar dan al-Khabar.[42]
KESIMPULAN.
1.
Hadis dari segi bentuk
asalnya ada tiga, yaitu :
a.
Hadit qauliyyah (perkataan).
b. Hadit
fi’liyyah (perbuatan).
c. Hadit
taqririyyah (ketetapan).
2.
Hadits ditinjau dari segi
sifat asalnya ada dua,yaitu:
a.
Hadis Qudsy.
b. Hadis
Nabawi.
3.
Hadis ditinjau dari segi
dari segi jumlah periwayat ada tiga ,yaitu :
a.
Hadis Mutawatir.
b.
Hadis Masyhur.
c.
Hadis Ahad.
4.
Hadis dari segi kualitas
ada tiga,yitu:
a.
Hadts Shohih.
b.
Hadis Hasan.
c.
Hadis Dha’if.
5.
Hadis dari segi
Penyandarannya ada tiga ,yaitu :
a.
Hadis Marfu’.
b.
Hadis Mauquf.
c.
Hadis maqthu’.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
1. A.Hassan,Soal-Tanya-Jawab
Masalah Agama,(Bandung:cv.Diponogoro,1985)
2. A.Rahman
Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,(Yokyakarta : Interpena,2011)
3. A.W.Muanwwir,Kamus
Al-Muanawwir Arab-Indonesia terlengkap,(yokyakarta:Pustaka Progresif,1994)
4. Abduh
Zulfikar Akaha,165 Kebiasaan Nabi SAW,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2002)
5. Cecep
Sumarna,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung : Pustaka Bani Quraisyi)
6. Idri,Studi
Hadits,(Jakarta:Kencana,2010)
7. Imam
Az-Zabidi,Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari,(Jakarta:Pustaka mani,2002)
8. M.Ali
Usman ,Hadits Qudsi ,(Bandung:Cv Penerbit Diponegoro,2007)
9. M.Hasbi
Ash-Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan
Bintang,1993)
10. Muhammad
Ahmad,Ma,Ulumul Hadits,(Jakarta:Pustaka Setia,1998)
11. Muhammad
Nashiruddin Al-Bani,Silsilah hadits dah’if dan maudhu,(terjemahan),
,(Jakarta:Gema Insani,1995)
12. Muhammad
Nasyiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun
binafsihi fil ‘akaidu wal Ahkami,terjemahan,(Jakarta:Pustaka Azzam)
13. Munzier
Suparca,,,Ilmu Hadis,(Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada,1993)
14. Nuruddin
at,Ulum Hadits ,(Bandung :Pt.Remaja Rosdakarya,1997)
15. Subhi
As-Shalih,Membahas ilmu-ilmu hadis,(Jakarta:Pustaka Firdaus,1997)
16. Zakariya
‘Umairat,Shahih Hadits Qudsi dan Syarahnya,(Jakarta:Pustaka Imam Asy-Syafi’I ,2010)
[1] M.Hasbi Ash-Shidieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Jakarta:Bulan
Bintang,1993),h.22
[2] Muhammad Ahmad,Ma,Ulumul Hadits,(Jakarta:Pustaka
Setia,1998),H.17
[3] Munzier Suparca,,,Ilmu Hadis,(Jakarta:Pt.Raja Grafindo
Persada,1993),H.15
[4] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,(Yokyakarta : Interpena,2011),H.26
[5] Abduh Zulfikar Akaha,165 Kebiasaan Nabi SAW,(Jakarta:Pustaka
Al-Kautsar, 2002),H.243
[6] Munzier Suparca,op.cit,hlm .16.
[7] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,Op.cit,H.28
[8] Imam Az-Zabidi,Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari,(Jakarta:Pustaka
Amani,2002),H.129
[9] Munzier Suparca,Drs,op.cit,hlm.17.
[10] A.Rahman Ritonga,Studi Ilmu-Ilmu Hadits,Op.cit,H.30-31
[11] M.Ali Usman ,Hadits Qudsi ,(Bandung:Cv Penerbit
Diponegoro,2007),H.11
[12] Zakariya
‘Umairat,Shahih Hadits Qudsi dan Syarahnya,(Jakarta:Pustaka Imam Asy-Syafi’I ,2010),H.9
[13] Zakariya ‘Umairat, op.cit,hlm.123
[14] Nuruddin at,Ulum Hadits ,(Bandung :Pt.Remaja Rosdakarya,1997),H.97
[15] Munzier Suparca,op.cit,h.81.
[16] Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010),h.130
[17] Muhammad Nasyiruddin Al-Albani, Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil ‘akaidu wal Ahkami,terjemahan,(Jakarta:Pustaka
Azzam),h.24
[18] Cecep Sumarna,Pengantar Ilmu Hadits,(Bandung : Pustaka Bani
Quraisyi),h.63-64
[19] Ibid,h.65
[20] Ibid,h.65
[21]Muhammad Ahmad,op.cit.h.71
[22] Idri,op.cit.h.139
[23] Muhammad Ahmad,op.cit.72
[24] Idri,op.cit.h.143
[25] Idri,op.cit,h.141
[26] M.Hasbi Ash-shidieqy,op.cit,h.206.
[27] Muhammad Ahmad,op.cit.,h.75.
[28] Subhi As-Shalih,Membahas ilmu-ilmu hadis,(Jakarta:Pustaka
Firdaus,1997),h.129.
[29] A.W.Muanwwir,Kamus Al-Muanawwir Arab-Indonesia terlengkap,(yokyakarta:Pustaka
Progresif,1994),h.817.
[30] Idri,Op.Cit,h.158
[31] Munzier Suparca,op.cit,h.112
[32] Idri,op.cit,h.159
[33] A.W.Munawwir,op.cit,h.880.
[34] Idri,op.cit,h.177.
[35] Ibid,h.178.
[36] A.Hassan,soal-tanya-jawab masalah agama,(Bandung:cv.Diponogoro,1985),h.17
[37] Muhammad Nashiruddin Al-Bani,Silsilah hadits dah’if dan maudhu’,(Jakarta:Gema
Insani,1995),terjemahan,h.57
[38] Munzier Suparca,op.cit,h.3
[39] Subhi-ash-Sholeh,op.cit ,h.208
[40] A.W.Munawwir,op.cit,h.1683
[41] Ibid,h.1219
[42] Munzier Suparca,op.cit,h.130
0 Comment