17 Februari 2023

 ILMU PENGETAHUAN DAN PSEUDO-SAINS 

Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang mempercayai perkara yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, seperti mitos-mitos, takhayul-takhayul dan lain sebagainya. Orang-orang seperti ini dapat ditemukan di berbagai lapisan masyarakat, si miskin maupun si kaya, si awam ataupun si penyandang gelar sarjana, rakyat biasa ataukah pejabat. Yang demikian ini adalah secerca gambaran dari berkembangbiaknya pseudo-sains, atau ilmu semu. Disamping terdapat pengetahuan yang diperoleh oleh manusia secara sistematis, metodis, yang kemudian menghasilkan kesimpulan universal, terdapat juga pengetahuan yang diperoleh dengan tidak mengguanakan cara sebagaimana tersebut di atas. 

Pseudo-sains mempunyai karakteristik-karakteristik yang dapat digunaan untuk mendeteksi pemikiran seseorang, apakah ia benar-benar telah melaksanakan amanah ilmu pengetahuan secara rapi, ataukah ia hanya sekedar mengaku-ngaku. Ciri-ciri Pseudo-sains secara tidak langsung telah merusak tatanan ilmu pengetahuan. Dari sini, mengetahui karakteristik-karakteristik Pseudo-sains sangat lah penting dan mendasar bagi setiap akademisi, sehingga ia dapat mengetahui mana Sains, dan mana Pseudo-sains. Dengan demikian ia akan terhindar dari ilmu semu dan tetap berpegang pada tatanan-tatanan ilmu pengetahuan.

Kata kunci: Pseudo-sains, ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena manusia mempunyai akal yang harus digunakan, apabia manusia tidak mengguanakan akalnya, maka mereka tidak ada bedanya dengan hewan. Dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan, terdapat berbagai cabang-cabang dibawah naungannya, dari sinilah dapat dinilai siapa yang menggunakan akalnya semaksimal mungkin dan siapa yang hanya menggunakan akalnya sekedarnya saja.

Dua istilah yang saling berlawanan dalam wilayah ilmu pengetahuan adalah Sains (Science) dan Pseudo-sains (Pseudoscience). Dalam tulisan ini akan dijelaskan pengertian ilmu pengetahuan (science) dan perbedaannya dengan pengetahuan ‘biasa’ (knowladge), apa saja dasar-dasar, syarat-syarat dan karakteristik dari ilmu pengetahuan.

Selanjutnya akan diterangkan mengenai pseudo-sains (pseudoscience), apa pengertian istilah tersebut, apa karakteristik ilmu tersebut, bagaimana seseorang dapat dikatakan berpolapikirkan pseudo-sains. Kemudian sebagai pelengkap, penulis akan menghadirkan sebuah contoh, buah dari pola pikir pseudo-sains.

Ilmu Pengetahuan

A.    Perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Sebelum memasukui pembahasan tentang ilmu pengetahuan, perlu ditekankan disini bahwa terdapat perbedaan yang sangat ‘mencolok’ antara “pengetahuan” dan “ilmu pengetahuan”. Dua istilah tersebut hendaknya tidak disamakan pengertiannya. Ketika akan memasuki pembahasan ilmu pengetahuan dalam bukunya, Endang Saifuddin Anshari berkata[1]: “pertama-tama janganlah kita kacaukan antara pengetahuan (pengetahuan biasa, knowlegde) dengan ilmu pengetahuan (science).” Selanjutnya ia sampai kepada kesimpulan bahwa “pengetahuan” dibagi menjadi empat macam[2]. Yaitu:

a. pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal biasa, yang sehari-hari, yang selanjutnya kita sebut pengetahuan;

b. pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang mempunyai sistema dan metode tertentu, yang selanjutnya kita sebut: ilmu pengetahuan;

c. pengetahuan filosofis, yaitu semacam “ilmu” yang istimewa, yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa; yang selanjutnya kita sebut: filsafat.

d. pengetahuan theologies, yaitu pengetahuan keagamaan, pengetahuan tentang agama, pengetahuan tentang pemberitahuan dari Tuhan.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan biasa (yang bukan ilmu pengetahuan) adalah pengetahuan yang tidak mempunyai metode  dan sistematka yang jelas, hal ini wajar, mengingat obyek dari pengetahuan biasa hanyalah sekedar hal-hal biasa yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengetahuan ilmiah, atau yang lazimnya disebut ilmu pengetahuan, mempunyai sistematika dan metode yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

B.     Dasar-dasar ilmu pengetahuan.

a.                  Dasar ontology.

Apakah yang ingin diketahui ilmu pengetahuan?, atau bidang apakah yang akan ditelaah oleh ilmu pengetahuan?. Mengenai hal ini, ilmu pengetahuan berbeda dengan agama atau yang lainnya, ilmu pengetahuan membatasi wilayahnya pada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, yakni kejadian-kejadian yang dapat dijangkau oleh fitrah pengalaman manusia pada umumnya.[3]

b.                  Dasar epistemology.

Yang dimaksud dengan dasar epistemology ilmu pengetahuan (science) adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana ilmu pengetahuan mendapatkan pengetahuan tentang obyek kajiannya.

Metode ilmiah ini lahir dari perpadan antara pendekatan rasional yang dibawa oleh rasionalisme dan pendekatan empiris yang diusung oleh empirisme. Dua aliran epistemology yang berkembang dan bersitegang dalam filsafat barat sebelum abad moderen yang ditandai dengan lahirnya dan berkembangnya science pada abad 17.[4]

c. Dasar Aksiologi.

Aksiology, secara etimology berasal dari kata axios yang berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Aksiologi diartikan sebagai teori nlai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[5] Sehingga aksiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang menjadikan kodrat, criteria dan status metafisik dari nilai sebagai problem bahasannya. Nilai yang dimaksud dalam hal ini adalah “sesuatu yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai”.[6]

C.    Sumber-sumber ilmu pengetahuan.

Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar:

pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).

Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain, yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.[7]

Jika kita mendasarkan sumber ilmu pengetahuan pada pemaparan di atas, maka ada beberapa masalah yang muncul, seperti dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Para agamawan mendasarkan pendapat mereka pada al-Quran dan hadis, sedangkan bagi seorang ilmuwan sekuler satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Dan masih banyak lagi masalah yang ‘mengekor’, namun penulis tidak akan menyebutkannya satu-persatu.

D.    Syarat-syarat ilmu pengetahuan.

Berbeda dengan pengetahuan (pengetahuan biasa), ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

   1. Objektif.

Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.

   2. Metodis.

Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.

   3. Sistematis.

Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

   4. Universal.

Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.[8]

 

Pseudo-sains

A.    Pengertian Pseudo-sains, pseudo ilmiah atau ilmu semu (Pseudoscience)..

Ilmu semu atau pseudo-sains (Inggris: pseudoscience) adalah sebuah pengetahuan, metodologi, keyakinan, atau praktek yang diklaim sebagai ilmiah tapi tidak mengikuti metode ilmiah. Ilmu semu mungkin kelihatan ilmiah, tapi tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah yang dapat diuji dan seringkali berbenturan dengan kesepakatan/konsensus ilmiah yang umum.[9]

Istilah pseudoscience muncul pertama kali pada tahun 1843 yang merupakan kombinasi dari akar Bahasa Yunani pseudo, yang berarti palsu atau semu, serta Bahasa Latin scientia, yang berarti pengetahuan atau bidang pengetahuan. Istilah tersebut memiliki konotasi negatif, karena dipakai untuk menunjukkan bahwa subjek yang mendapat label semacam itu digambarkan sebagai suatu yang tidak akurat atau tidak bisa dipercaya sebagai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pembela serta yang mempraktekkan pseudosains biasanya menolak klasifikasi ini.[10]

B.     Karakteristik pseudo-sains.

Setidaknya ada sembilan karakteristik pseudo-sains[11], yaitu:

1. Pemikiran Anakronis, Pemikiran anakronis mewakili cara berpikir yang ketinggalan jaman. Para pseudo ilmuwan kembali pada teori-teori yang tidak disetujui atau tidak pernah dibuktikan sebagai usaha untuk membuktikan atau memberikan kredibilitas bagi sebuah teori pseudo ilmiah. Para ilmuwan terus menerus memperbaharui informasi dan pemikiran mereka berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang baru.

2.Mencari misteri, Penelitian pseudo ilmiah biasanya berhubungan dengan hal-hal yang tidak biasa atau misteri-misteri dalam pengalaman manusia, seperti UFO, psikologi paranormal, dan lain-lain. Pseudo ilmu pengetahuan cenderung menolak teori-teori ilmiah yang merugikan yang tidak mendukung penelitian pseudo ilmiah yang berhubungan dengan teori-teori yang akan menjelaskan sebuah misteri atau kejadian yang tidak biasa. Penelitian ilmiah tidak akan mencari keanehan dalam ilmu pengetahuan melainkan membuktikan fakta dalam ilmu pengetahuan.

3. Ketertarikan pada Mitos-mitos, Sebuah metode yang umum untuk mencoba membuktikan sebuah teori pseudo ilmiah adalah dengan menggunakan mitos-mitos yang memberikan dukungan bukti bagi suatu teori. Mitos-mitos disajikan sebagai informasi yang faktual. Teori ilmiah biasanya didasarkan pada fakta-fakta yang teruji dan tervalidasi.

4. Pendekatan Kuantitatif dalam Bukti, Para pseudo ilmuwan akan memperhatikan banyaknya bukti, dengan perhatian yang terbatas pada kebenaran atau kualitas bukti tersebut untuk membantu mendukung teori mereka. Ilmu pengetahuan hanya akan menerima bukti yang terbukti, berkualitas, dan dapat dibuktikan daripada memperhatikan jumlah bukti.

5. Hipotesis yang tidak dapat dibuktikan kesalahannya, Para pseudo ilmuwan meyakini bahwa teorinya tidak dapat dibuktikan kesalahannya. Para pseudo ilmuwan membanggakan diri bahwa mereka tidak pernah terbukti salah. Para ilmuwan, yang mengikuti metoda penelitian ilmiah, terbuka pada pembuktian teori-teori mereka sebagai pengujian lebih jauh akan kebenaran hipotesis mereka.

6. Argumen dari kemiripan yang nampak serupa tapi berbeda, Metoda pseudo ilmiah ini mengatakan bahwa prinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar dalam suatu hipoteses pseudo ilmiah adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang sah, karena teori mereka mirip atau berhubungan dengan teori yang sudah ada. Meskipun demikian, para ilmuwan, walaupun mereka bisamelihat kemiripan antara hipotesis yang terbukti dan pengakuan mereka, tidak mempercayai bahwa hipotesis tersebut konsisten dengan apa yang diyakini para ilmuwan lain kecuali ada data pembenaran tambahan.

7. Penjelasan dengan Skenario, Pseudo ilmu pengetahuan tidak menggunakan ketentuan-ketentuan ilmiah umum untuk menjelaskan suatu fenomena tetapi kembali pada penggunaan penjelasan teori dengan menceritakan skenario peristiwa-peristiwa. Ia mengatakan bahwa suatu hal X menjelaskan hal Y lainnya, tetapi ia tidak merasa perlu mengatakan kepada kita bagaimana X bisa menjelaskan Y. Ilmu pengetahuan menggunakan ketentuan-ketentuan ilmiah yang terbukti serta kumpulan data empiris untuk membuktikan kredibilitas dari pernyataannya.

8. Penelitian dengan Penjelasan, Penjelasan didefinisikan sebagai paparan, analisis krits, atau interpretasi sebuah kata. Para pseudo ilmuwan memfokuskan diri pada kata-kata dan penggunaan kata-kata yang diterapkan dalam penelitian ilmiah tidak dengan berdasarkan fakta dan penjelasan yang mendukung penelitian tersebut. Para pseudo ilmuwan berusaha untuk membenarkan asumsi-asumsi mereka dengan menggunakan kata-kata tertentu dari para ilmuwan, di luar konteks, untuk membenarkan teori-teori pseudo ilmiah.

9. Penolakan untuk memperbaiki tanpa mempertimbangkan kritik, Pengetahuan dalam pseudo ilmiah tidak statik. Begitu sebuah teori telah diterangkan dan "fakta-fakta" telah dikumpulkan untuk membuktikan teori teresbut, para pseudo ilmuwan bersikap diam  dan tidak merubah teori mereka meskipun ada bukti baru. Ilmu pengetahuan bersedia memperbaiki diri sendiri, sehingga pengetahuan ilmiah terus menerus diperbaharui melalui penelitian empiris. Penelitian ilmiah humanitas bersifat samar-samar, tidak nyata, tidak objektif, dan berdasarkan pengalaman. Seringkali peneliti terlibat secara dekat dengan penelitian tersebut dan mungkin adalah subjek dari penelitian

tersebut.

Sebab itulah, penting bagi peneliti ilmiah (bukan pseudo ilmuwan) untuk menjauh dari ciri-ciri penelitian pseudo ilmiah di atas untuk mempertahan kankredibilitas dan kebenarannya. Penelitian  ilmiah harus terbuka dan dapat menerima analisis kritis dan pembuktian kesalahan oleh komunitas ilmiah/akademis.

C. Contoh pseudo-sains.

Salah satu contoh pola pikir yang menganut pseudo-sains dan bukan mengikuti pola pikir ilmiah adalah isu kiamat 2012. Bahkan isu tersebut menarik perhatian sutradara film Holywood yang menyutradarai film “The Day after Tomorror” dan “Independence Day”, ia adalah Rolland Emmerich, untuk mengangkatnya menjadi film layar lebar. Terlepas dari kontroversi dan pro-kontra tentang film ini, film yang menghabiskan US$ 200 juta ini tergolong sukses di pasaran.

Isu kiamat 2012 didasarkan pada ramalan suku Maya yang meramalkan bahwa kiamat akan datang menyapa umat manusia di bumi pada tahun 2012. Yang demikian ini disebut pola pikir pseudo-sains, karena sang peramal tidak akan mampu menjelaskannya dengan ilmiah layaknya ilmu pengetahuan.

Dalam hal ini Thomas Djamaluddin[12] berkata “Isu kiamat 2012 adalah pseudoscience (tidak mengikuti metode ilmiah). Ada yang mengaitkannya dengan kemunculan Planet Nibiru, ada juga komet besar, yang secara astronomi sebetulnya tidak eksis,”[13]

Kesimpulan

Dalam pembahasan ilmu pengetahuan terdapat istilah Sains dan Pseudo-sains. Para ilmuwan atau akademisi hendaknya menjunjung tinggi tatanan-tatanan yang ada dalam kode etik Sains. Lebih dari itu, para ilmuwan dan akademisi seyogyanya menghindari pola pikir pseudo-sains, karena ia tidak didasarkan pada pondasi-pondasi ilmiah dan tidak menerima analisis kritis sebagaimana Sains.

 

Daftar Pustaka

 

Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama; Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. Surabaya: Bina Ilmu, 2009.

Suriasumantri, Jujun. Tentang Hakekat Ilmu; Sebuah Pengantar Edaksi, dalam Jujun Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Russel, Betrand. History of Western Phylosophy, and its Connection with Political and Social Circumtances from the Earlier to the Present Day. London: Geoirge Alen & Unwin Ltd, 1974.

Sumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan, 2000.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan, 2000.

http://usupress.usu.ac.id

http://id.wikipedia.org

http://groups.yahoo.com

http://tiosijimbo.wordpress.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama; Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi(Surabaya: Bina Ilmu, 2009), 43.

[2]Ibid., 45-46.

[3]Jujun Suriasumantri, Tentang Hakekat Ilmu; Sebuah Pengantar Edaksi, dalam Jujun Suriasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspektif; Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 5.

[4]Betrand russel, History of Western Phylosophy, and its Connection with Political and Social Circumtances from the Earlier to the Present Day(London: Geoirge Alen & Unwin Ltd, 1974), 512.

[5]Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer(Jakarta: Sinar Harapan, 2000), 234.

[6]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu(Jakarta: Sinar Harapan, 2000), 164.

[7]http://usupress.usu.ac.id/files/Filsafat%20Ilmu%20dan%20Metode%20Riset_Normal_bab%201.pdf.

 

[8]http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu#Syarat-syarat_ilmu.

[9]http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_semu.

[10]Ibid.

[11]http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/7254.

[12]profesor astronomi-astrofisik dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

[13]http://tiosijimbo.wordpress.com/2009/12/23/kiamat-2012-hanya-pseudoscience/.

 

0 Comment