17 Februari 2023

 ILMU PENGETAHUAN DAN NILAI

Filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan dengan jalan ilmu tersebut disistematiskan dan diorganisasikan dengan baik, sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya. Ilmu pengetahuan mempunyai unsur-unsur yang bisa diketahuai bahwa ilmu tersebut benar-benar ilmu pengetahuan, diantaranya ilmu tersebut adalah empiris, sistematis, Analitis dan lainnya.

Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia, disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya.

Selain itu, untuk menguntrol ilmu pengetahuan dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Oleh karena itu diperlukan adanya nilai-nilai moral, apakah ilmu tersebut termasuk dalam katagori etika, estetika, otau yang lainnya. 

Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan.

Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.

Nilai dalam hal ini merupakan tema baru dalam filsafat: Aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Dewasa ini, penelitian terhadap berbagai nilai yang terisolasi ini menemukan makna baru manakala orang mencatat bukan hanya jalinan yang lembut yang mengikatnya menjadi satu, namun juga sinar yang mengarahkan semua riset atas hakikat nilai dalam proses pengkajian masing-masing kawasan ini sebagai satu keseluruhan. Maka, etika dan estetika-warisan filsafat kuno-belakangan ini melangkah jauh ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.

Dalam makalah ini, akan dibahas masalah ilmu pengetahuan dan nilai, (etika, estetika, dan yang lainnya). 

Pembahasan 

A.    Ilmu Pengetahuan

1.      Pengertian

Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan sebagai Idra>ku syai bi haqi>qatih (mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam bahasa Inggris ilmu biasanya  dipadankan  dengan  kata  science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science berasal dari bahasa lati dari kata Scio, Scire yang berarti ilmu, tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu pada makna yang sama.[1]

Harsoyo mendefinisikan ilmu dengan melihat pada sudut proses historis dan pendekatannya yaitu:[2]

a.       Ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematiskan atau kesatuan pengetahuan yang terorganisasikan.

b.      Ilmu dapat pula dilihat sebagai suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh pancaindra manusia.

Dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang  mengandung arti pengetahuan, tapi bukan sembarang pengetahuan melainkan pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis, dan untuk mencapai hal itu diperlukan upaya mencari penjelasan atau keterangan, dalam hubungan ini Moh Hatta menyatakan bahwa Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu, dengan kata lain ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui upaya mencari keterangan atau penjelasan.

Lebih jauh dengan memperhatikan pengertian-pengertian Ilmu sebagaimana diungkapkan di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan pengertian ilmu yaitu:[3]

a.       Ilmu adalah sejenis pengetahuan.

b.      Tersusun atau disusun secara sistematis.

c.       Sistimatisasi dilakukan dengan menggunakan metode tertentu.

d.      Pemerolehannya dilakukan dengan cara studi, observasi, eksperimen.

Dengan demikian sesuatu yang bersifat pengetahuan bisa dapat menjadi suatu pengetahuan ilmiah bila telah disusun secara sistematis serta mempunyai metode berfikir yang jelas, karena pada dasarnya ilmu yang berkembang dewasa ini merupakan akumulasi dari pengalaman/pengetahuan manusia yang terus difikirkan, disistimatisasikan, serta diorganisir sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya. 

2.      Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan

umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa sebenarnya yang menjadi ciri dari ilmu, me skipun untuk tiap definisi memberikan titik berat yang berlainan. Menurut The Liang Gie secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut:[4]

a.       Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)

b.      Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)

c.       Objektif (terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi)

d.      Analitis (menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)

e.       Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)

Sementara itu Beerling menyebutkan ciri ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah:[5]

a.       Mempunyai dasar pembenaran

b.      Bersifat sistematik

c.       Bersifat intersubjektif

Ilmu perlu dasar empiris, apabila seseorang memberikan keterangan ilmiah maka keterangan itu harus memungkintan untuk dikaji dan diamati, jika tidak maka hal itu bukanlah suatu ilmu atau pengetahuan ilmiah, melainkan suatu perkiraan atau pengetahuan biasa yang lebih didasarkan pada keyakinan tanpa peduli apakah faktanya demikian atau tidak.[6] Upaya-upaya untuk melihat fakta-fakta memang merupakan ciri empiris dari ilmu, namun demikian bagaimana fakta-fakta itu dibaca atau dipelajari jelas memerlukan cara yang logis dan sistematis, dalam arti urutan cara berfikir dan mengkajinya tertata dengan logis sehingga setiap orang dapat menggunakannya dalam melihat realitas faktual yang ada.

Disamping itu ilmu juga harus objektif dalam arti perasaan suka-tidak suka, senang-tidak senang harus dihindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan pribadi yang ada pada saat itu.[7] Analitis merupakan ciri ilmu lainnya, artinya bahwa penjelasan ilmiah perlu terus mengurai masalah secara rinci sepanjang hal itu masih berkaitan dengan dunia empiris, sedangkan verifikatif berarti bahwa ilmu atau penjelasan ilmiah harus memberi kemungkinan untuk dilakukan pengujian di lapangan sehingga kebenarannya bisa benar-benar memberi keyakinan.

Dari uraian di atas, nampak bahwa ilmu bisa dilihat dari dua sudut peninjauan, yaitu ilmu sebagai produk/hasil, dan ilmu sebagai suatu proses. Sebagai produk ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang tersistematisir dan terorganisasikan secara logis, seperti jika kita mempelajari ilmu ekonomi, sosiologi, biologi. Sedangkan ilmu sebagai proses adalah ilmu dilihat dari upaya perolehannya melalui cara-cara tertentu, dalam hubungan ini ilmu sebagai proses sering disebut metodologi dalam arti bagaimana cara-cara yang mesti dilakukan untuk memperoleh suatu kesimpulan atau teori tertentu untuk mendapatkan, memperkuat/menolak suatu teori dalam ilmu tertentu, dengan demikian jika melihat ilmu sebagai proses, maka diperlukan upaya penelitian untuk melihat fakta-fakta, konsep yang dapat membentuk suatu teori tertentu.[8] 

3.      Fungsi Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan

Lahir dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin intensnya penerapan Ilmu dalam bentuk Teknologi yang telah menjadikan manusia lebih mampu memahami berbagai gejala serta mengatur Kehidupan secara lebih efektif dan efisien. Hal itu berarti bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu sendiri.

Kerlinger dalam melihat fungsi ilmu, terlebih dahulu mengelompokan dua sudut pandang tentang ilmu, yaitu pandangan statis dan pandangan dinamis.[9] Dalam pandangan statis, ilmu merupakan aktivitas yang memberi sumbangan bagi sistimatisasi informasi bagi dunia, tugas ilmuwan  adalah menemukan fakta baru dan menambahkannya pada kumpulan informasi yang sudah ada, oleh karena itu ilmu dianggap sebagai sekumpulan fakta, serta merupakan suatu cara menjelaskan gejala-gejala yang diobservasi,  berarti bahwa dalam pandangan ini penekanannya terletak pada keadaan pengetahuan/ilmu yang ada sekarang serta upaya penambahannya baik hukum, prinsip ataupun teori-teori.  Dalam pandangan ini, fungsi ilmu lebih bersifat praktis yakni sebagai disiplin atau aktivitas untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan, mempelajari fakta serta memajukan pengetahuan untuk memperbaiki sesuatu (bidang-bidang kehidupan).[10]

Pandangan ke dua tentang ilmu adalah pandangan dinamis atau pandangan heuristik (arti heuristik adalah menemukan), dalam pandangan ini ilmu dilihat lebih dari sekedar aktivitas, penekanannya terutama pada teori dan skema konseptual yang saling berkaitan yang sangat penting bagi penelitian. Dalam pandangan ini fungsi ilmu adalah untuk membentuk hukum-hukum umum yang melingkupi prilaku dari kejadian-kejadian empiris atau objek empiris yang menjadi perhatiannya sehingga memberikan kemampuan menghubungkan berbagai kejadian yang terpisah-pisah serta dapat secara tepat memprediksi kejadian-kejadian masa datang.[11]

Dengan memperhatikan penjelasan di atas nampaknya ilmu mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan manusia, Ilmu dapat membantu untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat kealaman maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap masalah yang dihadapi manusia selalu diupayakan untuk dipecahkan agar dapat dipahami, dan setelah itu manusia menjadi mampu untuk mengaturnya serta dapat memprediksi (sampai batas tertentu) kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan pemahaman yang dimilikinya, dan dengan kemampuan prediksi tersebut maka perkiraan masa depan dapat didesain dengan baik meskipun hal itu bersifat probabilistik, mengingat dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal yang bersifat unpredictable.[12]

Dengan dasar fungsi tersebut, maka dapatlah difahami bahwa tujuan dari ilmu adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia, disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya. 

4.      Struktur Imu Pengetahuan

Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok yang menjadi pilar bahwa sesuatu tersebut merupakan ilmu pengetahuan, yaitu:[13]

a.       A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya.

b.      A mode of inquiry. cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut. 

B.     Teori Niai

1.      Bentuk Nilai

Nilai secar etimologi berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari velere (latin) yang mempunyai arti kuat, baik, dan berharga. Nilai adalah suatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kulitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia.[14]

Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan, aksiologi Value and Valuation. Ada tiga bentuk value and Valuation, yakni:[15]

a.       Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak, seperti baik, menarik, bagus dan mencakup tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.

b.      Nilai sebagai kata benda konkret. Nilai disini merupakan sebuah nilai atau nilai-nilai yang sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

c.       Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi.

Nilai itu sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka dan tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya seorang melihat matahari terbenam di sore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda.

Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektifitas fakta kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur-prosedur.[16] 

2.      Jenis-jenis Nilai (etika dan estetika)

Gagasan aksiologi dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl Scheller, dan Nocolai Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling popular saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian dikenal teori nilai atau aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika.[17]

Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Dalam aksiologi ilmu pengetahuan, pembahasannya lebih banyak mengarah kepada nilai etika. Hal ini dikarenakan, objek estetika membicarakan tentang pengalaman akan keindahan secara substansi, mencari hakikat dari keindahan, bentuk- bentuk pengalaman keindahan, menyelidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan dan sebagainya.[18]

Nilai atau etika dari bahasa yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membahs tentang tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik atau buruk.

Secara umum makna etika dipakai dalam dua arti. pertama, etika merupakan kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Seperti seseorang yang telah belajar dan memiliki sekumpulan ilimu etika. Kedua, merupakan predikat yang dipakai untuk menilai atau membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti penilaian seseorang terhadap orang lain telah bertindak baik, buruk atau asusila.

Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta keburukan.

Etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tanpa melakukan penilaian terhadap mana yang baik dan mana yang buruk serta tanpa mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, seperti mendiskripkan tentang sejarah.[19]

Sementara etika normatif berbeda dengan etika diskriftif, karena etika ini, sudah memberikan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak seharusnya dikerjakan. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum  membicarakan tentang prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati dan sebagainya. Sedangkan etika khusus adalah pelaksanaan dari prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.[20]

Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. 

3.      Kreteria Nilai

Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.

a.       Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.

b.      Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.

c.       Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur. 

4.      Hirarki Nilai

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan/hierarki nilai:[21]

a.       Kaum Idealis

Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi daripada nilai non spiritual (niai material).

b.      Kaum Realis

Mereka menempatkan niai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hokum-hukum alam dan aturan berfikir logis.

c.       Kaum Pragmatis

Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang meghargai masyarakat. 

5.      Karakteristik Nilai

Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan teori nilai, yaitu:[22]

a.       Nilai objektif atau subjektif

Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.

b.      Nilai absolut atau berubah

Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abash sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.[23] 

6.      Kebebasan  Nilai dan Keterikatannya

Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound.[24]

Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.

Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.[25]

Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. 

Kesimpulan 

Ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang bersifat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis, terorganisir, serta mempunyai metode berfikir yang jelas, sehingga terbentuk menjadi suatu disiplin yang mempunyai kekhususan dalam objeknya. Ilmu pengetahuan bisa diketahui melalui ciri-cirinya (empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif), fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan, serta sturuktur ilmu pengetahuan (kerangka ilmu, cara pengkajjian/penelitian).

Adapun nilai adalah suatu yang berharga, baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kulitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia. Nilai secara garis besar mempunyai pandangan tersendiri dalam memahami ilmu pengetahuan. Diantaranya adalah jenis-jenis nilai (etika dan estetika), kreteria nilai, hirarki nilai, krakteristik nilai, serta kebebasan nilai dan keterikatannya. 

Daftar Pustaka 

Hatta, Muhammad. Pengantar ke Jalan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: t.p. 1954

Sadulloh,Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV.  Alfabeta, 2007

Pudjawinata, Pembimbing ke Arah Filsafat, Jakarta: Balai Pustaka, 1963

Bakhtiar,Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004

Budianto, Irmayanti M. Filsafat dan Metodologi Ilmu pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah, Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001

Salam, Burhanuddin. Logika Materil; Filsafat lmu pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995

Keraf, A. Sonny. Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Ahmad,Mudlor. Ilmu Dan keinginan Tahu; Epistemologi Dalam Filsafat, Bandung: Trignda Kaya, 1994

Wiramihardja, Sutardjo A. Pengantar Filsafat, Bandung: Rafika Aditama, 2009

Abu Bakar, Nor Hasidah. Bahan Pengajaran IPK 503, Kuala Lumpur: Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT, tt

 



[1]Nor Hasidah Abu Bakar, Bahan Pengajaran IPK 503, (Kuala Lumpur: Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT, tt). 30

[2]Ibid.,

[3]Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, (Bandung: Rafika Aditama, 2009), 129.

[4]Mudlor Ahmad, Ilmu Dan keinginan Tahu; Epistemologi Dalam Filsafat, (Bandung: Trignda Kaya, 1994), 25.

[5]Ibid.,

[6]Ibid., 26.

[7]A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 81

[8]Ibid.,

[9]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 104

[10]Ibid.,

[11]Ibid., 106

[12]Ibid.,

[13]A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan…, 90.

[14]Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat lmu pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 168

[15]Ibid.,

[16]Irmayanti M. Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah, (Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001), 73.

[17]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 165

[18]Pudjawinata, Pembimbing ke Arah Filsafat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1963), 60.

[19]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, 165.

[20]Ibid., 166.

[21]Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p. 1954), 39-40.

[22]Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV.  Alfabeta, 2007),  71-72

[23]Ibid.,

[24]A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan…, 149

[25]Ibid.,

0 Comment