24 Februari 2023

APLIKASI DAKWAH MEMPERCEPAT BERLAKUNYA SYARI’AT ISLAM DI MINANGKABAU

Al-Qur’an adalah kitab dakwah yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah,  dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya.

Dakwah sebagai ujung tombak bagi pengembangan Islam diwujudkan keberbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya dalam artian umum adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Hal itu disebut dengan mubaligh atau juru penerang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.  Dakwah dalam artian khusus adalah fardhu kifayah.

  Hal inilah yang disebut dengan juru dakwah (al-Da’i). Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan oleh al-da’i yang telah memenuhi kriteria-kriteria untuk itu dengan mempergunakan cara-cara tertentu, sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat. Dakwah seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggungjawab serta diiringi dengan akhlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.

B. PENGERTIAN DAKWAH

Kata dakwah telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia, yang berarti mengajak (menyeru) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.[3] Dalam bahasa Arab berakar kata dengan huruf د, ع, و (dal, ‘ain dan waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[4] Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan, (fiil naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,[5] atau kata da’a-yad’u-du’aan, dakwahu, berarti “menyeru akan dia. Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun, mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada mazhabnya.[6] Oleh karena asal kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,[7]  dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il 7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali.

Dari segi bahasa, kata dakwah memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak kepada kebaikan agama).[8]

Di dalam al-Qur’an, kata dakwah dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u, berarti mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).[9] Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Allah) yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum).[10] Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin.[11] Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.[12]
Pada sisi lain, kata dakwah dalam bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah Saw. dalam menyebarkan dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim kepada Heraclius, raja Romawi, antara lain berbunyi:[13] saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam) supaya tuan selamat. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).

Kemudian dari segi istilah, Bahi al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.[14] Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.[15] Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu :

حث الناس على الخير والهدى والامر با لمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل وا لآجل [16]

Pengertian hast dalam definisi di atas sangat identik dengan motivasi, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.
Sedangkan, Abu Bakar Zakaria mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama dan orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) dengan memberi pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal yang dapat menyadarkan mereka terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.[17]  Lebih jauh Amin Rais  mengemukakan  bahwa dakwah adalah setiap  usaha rekontruksi  masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili  agar  menjadi masyarakat yang  Islami.[18]

Dari pengertian dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung arti:

       1.      Memberi tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan dihindari oleh manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.

       2.      Mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang tidak baik kepada yang baik,  dari masyarakat jahili menjadi masyarakat  Islami.

       3.      Memberikan penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu sehingga dirasakan oleh seseorang atau masyarakat suatu kebutuhan yang vital dalam kehidupannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin sesuai kemampuan yang dimilikinya, yang bertujuan menjadikan seluruh umat manusia beragama Islam dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka memperoleh sa’adah masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami pula bahwa dakwah merupakan suatu sistem, dalam mengupayakan aktifitas mencapai sasarannya dengan tepat terkait dengan berbagai komponen dakwah itu sendiri.

Berdasarkan pemahaman di atas dapat dibantah anggapan yang dikemukan oleh A. Halim bahwa asumsi dakwah hanya sebagai penyampaian dari luar, sebagai kegiatan ceramah, sasaran dakwah adalah untuk masyarakat statis, hanya sekedar penyampai dan pada gilirannya akan mengalahkan yang batil[19], kenyataan di atas mungkin ada benarnya, bila dakwah itu dipahami dalam artian sempit. Akan tetapi jika dakwah dipahami secara hakiki dan dalam pengertian yang lebih luas, maka kata dakwah mampu memberdayakan semua potensi yang dimiliki manusia dalam menghadapi dunia yang luas ini, karena dakwah adalah seluas kehidupan manusia itu juga.

Dalam perjalanan dakwah dari masa ke masa, realitas menunjukkan, bahwa fungsi dakwah dalam masyarakat sesungguhnya telah terlaksana antara lain :
a.  Sebagai penggerak dan energi, mendorong manusia  untuk berbuat.

b.   Untuk mengarahkan perbuatan seseorang ke arah tujuan yang hendak dicapai.

c.   Sebagai seleksi terhadap perbuatan manusia, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu sendiri, dengan mengenyampingkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tercapainya tujuan.

C. KERJA DAKWAH

Dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, terdiri dari : mengajak dengan lisan dan tulisan (dakwah bil lisan dan bil qalam), mengajak dengan perbuatan (dakwah bil hal, aksi sosial Islam) dan mengorganisir serta mengelola kegiatan mengajak  (bil lisan, bil qalam dan bil hal) dan mengelola hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga-lembaga Islam sebagai lembaga dakwah secara efesien dan efektif dengan melakukan sistematisasi tindakan, koordinasi, singkronisasi dan integrasi program dan kegiatan dengan sumber daya dan waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah Islam.

Mengajak dengan lisan dan tulisan dikenal sebagai Tabligh Islam yang di dalamnya mengandung dua dimensi kekuatan yaitu komunikasi dan penyiaran Islam serta bimbingan dan penyuluhan Islam. Dimensi kegiatan komunikasi dan penyiaran Islam bersasaran massal atas dasar pola kecenderungan masalah yang berkembang dalam masyarakat secara umum dalam semua segi kehidupan yang berdampak pada arah perkembangan system dan sejarah kehidupan jama’ah dan ummat Islam. Dimensi kegiatan bimbingan dan penyuluhan Islam bersasaran individual dan kelompok kecil atas dasar masalah khusus (kasuistik) dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan individu dan keluarga.

Mengajak dengan tindakan nyata (haal) disebut sebagai kegiatan dakwah dalam pengembangan masyarakat Islam. Pengembangan masyarakat Islam atau aksi sosial ekonomi dan lingkungan Islam adalah system tindakan nyata yang menawarkan alternative model pemecahan masalah ummat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dalam tradisi dakwah Nabi Saw. dikenal dakwah dengan model uswatun hasanah yang mengindikasikan model-model (contoh) Nabi Saw. dalam memecahkan masalah yang dihadapi ummat. Hal-hal yang dipandang bersifat doctrinal dan konseptual dinyatakan secara empiric yang hasilnya dapat dirasakan oleh ummat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Sedangkan mengorganisir dan mengelola kegiatan mengajak dan hasil dari ajakan itu disebut sebagai manajemen dakwah Islam. Dimensi ini merupakan aspek organisasional kegiatan mengajak itu sendiri (bil lisan, bil qalam dan bil haal) dan mengelola dalam rangka memelihara dan membina kembangkan hasil ajakan dalam bentuk lembaga-lembaga Islam yang mengemban missi dakwah Islam.

D. MAKNA SYARA’ DAN ADAT

Syara’ lebih khusus dari agama, kekhususan itu lebih banyak kepada hukum amaliyah, bukan kepada akidah atau akhlak, sekalipun  dalam agama  ketiganya itu harus menyatu, hanya saja penekanan syara’ lebih tetuju kepada masalah amaliyah yang meliputi perbuatan,  perkataan, sikap dan tingkah laku secara  lahiriyah  dari berbagai aspek.

            Dalam sejarah hukum Islam syara’, yang berarti jalan yang mesti ditempuh oleh setiap manusia, jika dilihat dari prakteknya lebih tertuju pemahamannya kepada aspek fiqhiyah, hanya  saja istilah fiqh lebih  ditekankan  kepada pemahaman yang mendalam terhadap  wahyu, sedangkan syara’ lebih ditekankan kepada sumber pokok. (akidah, ibadah dan akhlak). Maka syara’ yang dimaksudkan sebagai bagian tak terpisahkan dalam prilaku orang minangkabau adalah mencakup hukum-hukum Islam, baik ditunjuk oleh nash al-Qur’an  dan hadis secara pasti, maupun hukum-hukum yang muncul dari akibat pemahaman dari  kedua sumber  hukum Islam tersebut.

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER

1. Pengertian

Al-Qur’an adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui  Malaikat Jibril secara bertahab  dan beransur-ansur dan dinukilkan kepada kita  secara  mutawatir  serta  beribadat membacanya. Sedangkan yang  dimaksud  sebagai sumber adalah suatu wadah yang  dari  wadah itu  didapati atau  ditemukan norma  hukum. Artinya kehendak untuk mukalaf  yang dugali dari wahyu, sehingga al-Qur’an sebagai  sumber utama hukum Islam, sekaligus sebagai dalil utama fiqh. Bila seseorang mengalami kesulitan dalam  penyelesaian masalah agama, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencarikan jawabannya dalam al-Qur’an. Selama jawaban  dapat  ditemukan dari  al-Qur’an  tidak boleh  mencari jawaban lain di luar  al-Qur’an. Jika ingin menggunakan sumber hukum lain,  maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak  boleh bertentangan dengan  al-Qur’an. Dengan demikian mengikuti dan mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an. Sedangkan dalil adalah sesuatu yang memberi petunjuk  dan  menuntun  kita  dalam  menemukan hukum  Allah.

2. Fungsi  al-Qur’an  bagi manusia

Al-Qur’an diturunkan kepada  nabi Muhammad Saw. adalah untuk disampaikan kepada umat manusia bagi kemashalahatan dan kepentingan manusia serta  melepaskan manusia  dari kemudharatan atau  kecelakaan yang  akan meminpanya. Maka fungsinya adalah sebagai berikut :  1) Sebagai hudan  (al-Baqarah ayat 2). ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ   Artinya : Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, 2) Sebagai rahmat  (Luqman  2-3) هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ   Artinya  : menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.  3) Sebagai furqan (al-Baqarah ayat 185) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ  Artinya : Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). 4) sebagai mau’izhah (al-A’raf ayat  145), Artinya : Dan telah Kami tuliskan untuk Musa وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ  pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): "Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasik.   5) sebagai busyra (al-Namal ayat 1-2) طس تِلْكَ ءَايَاتُ الْقُرْءَانِ وَكِتَابٍ مُبِينٍ(1)هُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ  Artinya ; Thaa Siin (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Qur'an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman. 6) sebagai Tibyan (al-Nahl ayat 89), وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu.  7) sebagai mushadiq (pembenar) terhadap  kitab sebelumnya (Ali Imran ayat 3) نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ  Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya  8) sebagai  Nur (cahaya) al-Maidah ayat 46), فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ   Artinya : Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya.  9) sebagai tafshil  (pemberi penjelasan secara rinci) Yusuf ayat 111) وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ  Artinya : Akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. 10) sebagai Syifa’ (obat)  al-Issra’  82) وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا  Artinya ; Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.  11)  sebagai hakim ,  Luqman ayat 2). تِلْكَ ءَايَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ   Artinya  : Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmat.

3. Isi kandungan  al-Qur’an  dan macam-macam hukumnya

        Secara garis besar, isi ajaran  al-Qur’an meliputi lima prinsip, yaitu : Tauhid, janji-janji dan ancaman Tuhan, ibadah, jalan mendapat kebahagiaan dan  sejarah. Sedangkan macam-macam hukum yanhg terdapat  didalamnya meliputi tiga aspek, yaitu hukum i’tiqadiy, hukum  akhlak  dan hukum amaliyah. Hukum amaliyah  inilah kajian fiqh.  Hukum amaliyah itu dibagi kepada dua  bagian, yaitu : Pertama hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia dalam hubungannya  dengan  Allah Swt., seperti shalat, zakat, puasa,  zakat dan haji. Hukum ini disebut dengan hukum ibadat dalam arti  khusus. Kedua, hukum yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan dan lain sebagainya. Hukum ini  disebut dengan hukum mu’amalat  dalam arti  umum.

4. Sunnah sebagai bayan terhadap al-Qur’an.

Kata Sunah berasal dari dari kata sunna. Secara bahasa  berarti :  cara yang biasa  dilakukan. Sedangkan pengertian istilah agama adalah cara-cara  beramal  dalam agama berdasarkan yang dinukilkan dari Nabi Muhammad Saw.  ; atau suatu amaliyah  yang telah  dikenal oleh semua orang, atau sunah itu adalah  apa-apa yang  diriwayatkan dari Nabi Muhammad  Saw., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun  pengakuan  Nabi  dari sifat Nabi. Kata  sunah sering diidentikan  dengan  kata  hadis, yaitu dengan maksud  sama. Bila diteliti  lebih  jauh, nampaknya kedua  pemahaman  itu terdapat perbedaan pemahaman, yaitu  : jika  kata  sunah lebih banyak  penekanannya kepada  perbuatan Nabi dan tindakan Nabi  yang  sudah menjadi tradisi  yang  hidup  dalam pengalaman agama, sedangkan kata  hadis, lebih  banyak penekanannya  kepada perkataannya.

Macam-macam sunah

Sunnah atau  hadis  dalam pengertian di atas  terbagi  kepada  tiga bagian, yaitu  :
Pertama; Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang  didengar oleh shahabat  dan  disampikan kepada orang lain. Misalnya menyampaikan bahwa  ia mendengar  Nabi bersabda : “Siapa yang tidak  shalat karena tertidur atau  karena lupa,  hendaklah  ia  mengerjakan  shalat  itu  ketika  ia  telah ingat”.

Sunnah qauliyah benar-benar muncul dari lisan Nabi., namun shahabat dapat  memisahkannya dengan  wahyu, yaitu :

   1.  Bila ucapan itu wahyu, nabi menyuruh menulis dan menghafalnya.

   2.  Wahyu penukilannya  selalu  dalam bentuk mutawatir (dari orang banyak  kepada  orang banyak) baik dalam bentu  tulisan ataupun hafalan. Sedangkan pada sunah terdapat penukilannya  secara  mutawatir, akan tetapi  lebih banyak bersihat ahad (seorang).

   3.  Penukilan wahyu  dalam bentuk lafazh, artinya sesuai dengan teks, sedangkan sunah  sering  dinukilkan dalam bentuk ma’nawi.

   4.  Wahyu  mempunyai  daya  pesona (mu’jizat),  sedangkan sunnah qauliyah tidak mu’jizat.

Kedua sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi  Muhammad saw. yang  dilihat atau yang  diketahui  oleh shabahat kemudian  disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya. Misalnya “ Saya melihat  nabi Muhammad  Saw.  melakukan  shalat sunat  dua rakaat sesudah shalat  zuhur”.

Penjelasan mengenai sunnah fi’liyah  ini, apakah semua perbuatan nabi itu dapat dijadikan  sumber hukum dalam Islam, maka dalam hal ini  dapat  dipilah-pilah  sebagai  berikut  :

   1.  Perbuatan Nabi sebagai manusia biasa atau  berupa adat kebiasaan yang berlaku  ditempatnya, seperti  cara makan, minum, berdiri, duduk, cara berpakain, memelihara jenggot dan  mencukur kumis  dan  lain sebagainya. Dalam hal ini sunnah filiyah  itu terbagi kepada dua bagian yaitu :Pertama sunnah  tasri’iyah  (sunah yang  disyari’atkan) Misalnya  ucapan  atau perbuatan yang muncul  dari  Nabi  dalam bentuk penyampaian risalah dan penjelasan terhadap al-Quran, ucapannya sebagai imam  dan  pemimpin, seperti  mengirim pasukan  untuk jihad,  ucapan  dan ungkapannya sebagai hakim dll. Kedua  sunnah ghairu tasyri’iyah (sunah yang tidak  disyari’atkan). Misalnya ucapannya  yang muncul dari hajat  insani  dalam kehidupan  kesehariannya,  ucapan pribadi dan prilaku yang ditetapkan oleh dalil-dalil, misalnya isteri lebih dari  4  orang.

   2.  Perbuatan Nabi yang memiliki petunjuk khusus. Misalnya  bagi Nabi  wajib  shalat  dhuha, shalat witir, shalat malam, berkurnan, masuk mekkah tanpa ihram  dan kawin lebih dari empat wanita.

   3.  Perbuatan Nabi  yang bersifat menjelaskan  hukum-hukum  dalam Islam. Misalnya :  Shalatlah  kamu  sebagai aku  shalat”  dan lain sebagainya.

Ketiga sunnah taqririyah, yaitu ; perbuatan seorang  shahabat atau ucapannya  yang dilakukan  dihadapan  atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak  ditanggapi  atau  dicegah  oleh  Nabi. Diamnya Nabi itu  disampaikan oleh  shahabat yang menyaksikan  kepada  orang lain  dengan ucapannya. Misalnya seorang shahabat memakan daging  dhab (biawak) dihadapan Nabi. Nabi mengetahui apa yang dimakan oleh  shahabat itu, tetapi tidak melarang  atau tidak  menyatakan  keberatan  atas perbuatan itu. Diam Nabi itu terdapat dua pemahaman, yaitu :

   1.  Nabi tahu perbuatan dibenci dan  dilarang  sebelumnya, ternyata tetap dilakukan, diam Nabi dalam hal ini  adalah bukan berarti membolehkan, tetapi agar  perbuatan itu  dihentikan.

   2.  Nabi  belum pernah, melarang  sebelumnya dan tidak pula  diketahui haramnya, maka  diam Nabi dalam hal ini menunjukkan kebolehan.

Contoh sunah taqririyah adalah pada  satu kali  Nabi melarang mengerjakan shalat ashar sebelum  sampai  di Bani Quraizhah, sebahagian shahabat  memahami makna  lahirnya, yang lain  memahaminya  segera  pergi ke sana. Kedua berita itu sampai kepada Nabi, maka tetapi Nabi tidak menanggapinya. Itu artinya  kedua pekerjaan  itu boleh melakukan keduanya.

Fungsi  sunnah

   Secara garis besar fungsi hadis terhadap al-Quran adalah  :

   1.  Menguatkan dan menegaskan  hukum-hukum  yang ada dalam al-Quran  (sebagai takid).

   2.  Memberikan penjelasan  terhadap  kandungan al-Quran  dalam hal  : 1. Menjelaskan arti yang masih samar, 2. Merinci apa yang  ada dalam a l-Quran  yang bersifat umum.  3. Membatasi apa yang ada dalam al-Quran yang bersifat umum.  4. Memperluas maksud al-Quran yang bersifat umum.

   3.  Menetapkan sesuatu hukum secara  jelas yang tidak terdapat  dalam al-Quran.


E. Konsepsi  Dasar Adat Minangkabau.

            Ada 10 pokok perkara yang menjadi landasan untuk membangun masyarakat yang berdasarkan Adat Bansandi Syara’. Kesepuluh masalah itu dirumuskan empat jatuh pada Adat dan Enam jatuh pada Syarak. 4 (empat) jatuh pada adat, yaitu Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat, dan 6 (enam) jatuh pada Syara’, yaitu, Kalo-Kalo, Baribu Kalo, Bajanjang Naik, Batanggo Turun, Hukum Ijtihad dan Undang-Undang Permainan Alam.

Empat nan jatuh pada adat ialah:

Pertama; Adat Nan Sabana Adat, yaitu Syara’ (agama) yang terdapat dalam kitabullah yang bisa ditunjukkan bab, pasalnya, matan dan maknanya, hadits dan dalilnya, qiyas dan ijmaknya. Agama yang dimaksudkan adalah Islam. Karena agama yang diakui kebenarannya dalam masyarakat  ialah Islam. Kemudian diperkokoh oleh al-Qur’an surat  ali-Imran ayat: 19.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Artinya : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”  (Q.S Ali-Imran ayat: 19)

Berdasarkan ayat ini Islam diterima sebagai unsur pokok yang tak boleh diabaikan dalam sistem adat dan sosial masyarakat Minangkabau.

Adat nan sabana adat  (Agama Islam)  adalah aturan pokok dan falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan sebagaimana diqiaskan dalam kata-kata adat :
            Nan ndak lakang dek paneh
Nan ndak lapuak dek hujan
            Paling-paling balumuik dek cindawan 

Pengertian adat nan sabana adat itu oleh sebahagian pemerhati budaya Minang disederhanakan begitu saja, misalnya ada pendapat yang menuliskan; bahwa  Adat Nan Sabana Adat ini adalah undang-undang dasar tak tertulis dari adat Minangkabau yang tidak boleh berubah. Ia bersifat terbuka dan berlaku umum diseantero alam Minangkabau, baik di Luhak Nan Tigo maupun di rantau dan pesisir,  yang disepakati oleh masyarakat Minang sejak lama adalah meliputi :

1. Menganut silsilah keturunan menurut garis ibu, yang disebut dengan garis keturunan matrilinial.

2. Memiliki sistim perkawinan  dengan pihak luar pesukuan, yang lazim dikenal  dengan perkawinan eksogami dan suami yang bertempat tinggal dlingkungan keluarga isteri, yang disebut Matri-local.

3. Adanya harta pusaka tinggi yang turun temurun menurut garis ibu dan menjadi milik bersama yang tak boleh diperjual-belikan, kecuali punah.

4. Falsafah alam takambang jadi guru yang dijadikan landasan utama pendidikan alamiyah dan rasional serta menolak pendidikan mistik dan irrasional (takhyul).

Keempat unsur pokok yang disebut adat nan sabana adat yang dikutip dari pemerhati budaya Minang di atas pada dasarnya bukanlah sesuatu yang ndak lapuak dek hujan dan ndak lakang dek paneh, ia tidak mesti dipahami secara kaku. Bukan tidak mungkin pada satu waktu nanti ia menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan keadaan, terutama dalam impelementasinya oleh masyarakat.

Berdasarkan pemikiran di atas  maka tafsiran yang paling pas untuk adat nan sabana adat itu adalah Islam, sebab keempat aturan  pokok adat di atas pada dasarnya dapat menyesuaikan diri dengan semangat ajaran Islam. Meskipun dalam kasus tertentu ada yang berbenturan, seperti sistem materilinial, perkawinan diluar suku dan harta pusaka tinggi. Namun ketiga masalah ini dapat diselesaikan oleh pemuka adat dan ulama minang  dengan arif dan bijaksana.

Misalnya masalah garis keturunan pada ibu ini bukan berarti menghilangkan garis keturunan bapak, sebab hubungan dengan bapak dilembagakan dalam hubungan bako. Soal perkawinan diluar suku tidak mutlak akan tetapi ada orang sesuku yang boleh kawin-mengawini, selama mereka tidak berada dalam satu jurai. Sedangkan masalah harta pusaka tinggi ia memang bukan harta warisan, akan tetapi lebih ditempatkan sebagai harta waqaf keluarga. Sedangkan harta warisan dari orang tua dapat dibagi menurut hukum faraidh.

Maka tidaklah salah jika dikatakan bahwa nan sabana adat itu adalah hukum adat yang dilegitimasi oleh hukum Islam atau hukum Islam yang dalam pelaksanaannya mengikuti keadaan dan perkembangan kehidupan masyarakat.

Kedua; Adat Nan Teradat, adapun yang dinamakan adat nan teradat  adalah, sasek suruik, talangkah kambali, gawa manyambah, salah maisi, adaik dipakai limbago dituang. (Jika sesat kembali ketempat semula, jika keliru minta maaf, jika salah mau menanggung resikonya, kebiasaan setempat harus dituruti). Filosofi seperti ini dalam tulisan tambo terakhir yang ditulis dengan huruf arab Melayu didukung dengan ayat al-Qur’an  tentang perlunya selalu memiliki prinsip bersedia untuk mengakui kesalahan (Taubat). Misalnya surat at-Tahrim ayat 8.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ   النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ
 رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(8)

ArtinyaHai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S at-Tahrim ayat: 8)

        Adat Nan Teradat  dapat juga dikatakan sebagai wujud nyata dari pengamalan adat  nan sabana adat atau ajaran agama Islam. Pengamalan ajaran agama secara nyata dalam masyarakat dilakukan oleh kaum adat (penghulu). Dalam pepatah adat disebutkan Syara’ Mangato adat Mamakai (artinya agama yang menfatwakan adat yang melakukan). Di sini peran pemangku adat (penghulu) menjadi juru bicara ulama dalam melaksanakan perintah agama.

Ketiga; Adat Nan Diadatkan, ialah memakai baso jo basi, mamandang ereng jo gendeang, manimbang mudarat jo manfaik, mangaji barek jo ringan, (menggunakan basa basi, memakai kata kiasan, memperhatikan mudarat dan manfaat suatu pekerjaan). Ini artinya sudah menjadi sesuatu yang dibiasakan (diadatkan) dalam kehidupan masyarakat agar saling mengerti serta lebih hati-hati. Prinsip ini sejalan dengan ajaran agama, misalnya firman  Allah Swt  dalam   Al-Qur’an Surat al-Hajji ayat: 77.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S al-Hajji ayat: 77)

Ajaran ini lebih ditekankan pada perbaikan sikap dan tingkah laku yang harus memperlihatkan Akhlakul karimah, sesuai dengan alur dan budaya yang telah hidup  dalam masyarakat Minangkabau sejak masa lalu, Sasuai alua jo patuik  (Sesuai sesuatu pada tempatnya).
 Adat Nan Diadatkan pada dasarnya adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam masing-masing nagari di Minangkabau. Tradisi itu berkembang dan bergerak maju sesuai dengan tingkat perkembang masyarakat, maka adat nan diadatkan bukanlah hal yang baku. Ini sering juga disebut dengan istilah adat salingkar nagari .

Keempat; Adat Istiadat, yaitu orang yang berhak maminta kapado haknyo, seperti alam di perintah Rajo, Agamo di parintah Malin, nagari di perintah panghulu. Kampung di parintah tuo kampung, rumah diperintah mamak, bini saparintah laki, kabau banting di parintah urang gubalo, (Maksudnya segala sesuatu harus berjalan menurut semestinya, alam biasanya diperintah oleh Raja, agama di urus oleh Ulama dan nagari bisanya diurus oleh Penghulu, kampung biasanya diurus oleh kepala kampung, rumah tangga di urus oleh mamak rumah, isteri dibawah pengawasan suami, kerbau dan binatang lain diurus oleh pengembalanya). Ini memberikan legitimasi kepada orang sesuai dengan fungsi dan keberadaannya masing-masing.

Semua harus sesuai prosedur dan pembahagian kerjanya, namun tetap dalam suatu kerangka kerjasama yang utuh. Inilah suatu prinsip yang sangat membantu orang minang bisa menerima keadaan sosial politik yang berkembang, karena istiadat yang sudah menjadi kultur baginya telah menempatkan orang sesuai fungsi dan posisinya masing- masing.

Adat Istiadat merupakan satu sistem sosial kemasyarakatan yang dikembangkan sesuai dengan masa, tempat dan aturan sosial yang berlaku di zamannya. Dapat juga dikatakan adat istiadat itu adalah kreasi budaya masyarakat Minang yang dapat berubah  sesuai keadaan dan tempat, namun semuanya dalam batasan adat nan sabana adat.

Enam Jatuh pada Pusaka:

Adapun yang 6 (enam) jatuh pada pusaka itu adalah undang-undang dan tata cara kehidupan sosial yang digariskan oleh adat untuk menjaga ketentraman dan keamanan hidup masyarakat. Dalam bahasa Minang dirumuskan dengan bahasa bakunya, kalo-kalo, baribukalo, bajanjang naik batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam (Musyawarah, kesepakatan, tertib hukum dan proseduralnya, pertimbangan hukum dan undang-undang tentang kehidupan masyarakat). Hal ini tidak kita bicarakan pada kesempatan ini.

F. Adat Basandi Syara’

            Adat Basandi Syarak dialegorikan oleh bidal adat;
Si Amat mandi ke luhak
Luak perigi paga bilah
Bilah bapilah kasadonyo
Adat basandi syara’

Syara’ basandi kitabulallah

Sanda manyanda kaduonyo.

Kata adat berasal dari bahasa Sangsekerta, dibentuk dari kata “a” dan “dato”. “A  artinya tidak.  Dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. Jadi “adat” pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang bersifat tidak kebendaan.  Dalam hubungannya  dengan Adat Basandi Syara’ sampai masa terakhir masih menjadi pertanyaan banyak orang, apa sesungguhnya “adat basandi syara”, “syara’ basandi kitabullah” itu?

Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat dimulai dengan menjelaskan lintasan sejarah terbentuknya masyarakat Minangkabau sebagai suatu komunitas, yang telah melalui dinamika internal dan eksternal yang demikian intens. Jauh sebelum agama Islam datang, orang Minang sudah dikenal orang yang beradat. Artinya, sebelum datangnya agama Islam hukum, undang dan moralitas adat telah menjadi bahagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang Minang.

Adat bagi masyarakat telah terbentuk sejak orang Minang mengenal dirinya dalam bentuk masyarakat, yang dimulai dari Taratak, Koto dan Nagari. Adat pada tahap awal ini disandarkan atau didasarkan pada apa yang disebut “adat berdasarkan alua dan patuik”, alur bersandarkan patut dan mungkin”. “Alua” artinya jalan yang benar, “Patuik dan mungkin” artinya  yang layak, senonoh, baik, pantas, selaras. “Patuik” merupakan perkiraan keadaan (etimasi) pertimbangan rasa dan daya pikir atau nalar.
Persoalannya, bagaimana identitas Islam itu bergumul dengan identitas Adat. Ada waktunya Islam menjadi penentu arah bagi semua gerak hidup masyarakat Minangkabau dan lain waktu Islam hanya sekedar alat legitimasi bagi budaya Minangkabau yang secara substansial berlawanan kalau tidak dikatakan anti terhadap Islam. Sebagai contoh, adat menyabung ayam, dulu adalah budaya orang Minang lalu Islam melarang itu sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kebiasaan itu sampai waktu tertentu belum bisa hapus, masih dilakukan oleh anak nagari.

Bersatunya adat dengan agama Islam telah berlangsung sejak Islam itu menjadi pegangan hidup bagi orang minang disamping adatnya sendiri. Sejalannya dua pandangan hidup ini sangat mungkin sekali terjadi, karena Islam sebagi ajaran yang sempurna membawa tatanan tentang apa yang harus diyakini oleh pemeluknya yang disebut aqidah dan tatanan yang harus dilakukan (diamalkan) yang disebut dengan syari’ah atau syara’. Yang berhubungan dengan aqidah, khususnya masalah ketuhanan tidak jelas ujudnya dalam adat Minangkabau, hanya sekadar falsafah alam nyata saja. Tidak ditemukan bagaimana ajaran adat minang tentang kehidupan setelah kematian atau kehidupan alam akhirat.

Ajaran adat lebih memberikan panduan pada tatanan bagaimana orang harus menjalani kehidupan dialam nyata ini. Dengan kata lain ajaran adat Minangkabau lebih memberikan bimbingan tentang moralitas bagi masyarakatnya. Seperti yang dapat dipahami dari pepatah adat:
Gajah mati meninggakan gading
Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati maninggakan jaso.
Disamping itu ajaran Islam yang bersifat kemasyarakatan banyak sekali sesuai dengan semangat adat Minang, maka tidak perlu adanya perseteruan antara adat dan agama sebagai contoh dapat ditemukan pada pepatah adat : Ado kato mandaki, koto manurun, kato malereang, kato mandata. Artinya ada kata yang mesti ditempatkan pada kondisi siapa lawan bicara, jika dengan anak kecil disebut kata menurun, mestilah dengan cara lemah lembut, sedangkan dengan orang lebih besar kato mandaki haruslah dengan penuh hormat dan sopan santun, dengan orang yang sama besar maka disebut kata mendatar artinya saling menghargai, kata melereng adalah bahasa sindirin bagi orang yang hubungan kekerabatan dalam bentuk ipar-bisan. Ini sesuai sekali dengan ajaran Islam, hadits: Arinya : “Orang-orang yang tidak mengasihani orang-orang kecil dibawahnya dan tidak pula memberi hak (menghormati) orang tua darinya, maka dia bukanlah umatku.” (Hadits)

Perpaduan adat dan agama bagi orang Minangkabau telah menjadi identitas diri dan komunitasnya. Hal ini dibuktikan, dengan ditambahkannya lembaga agama kedalam struktur adat. Lembaga Raja adat yang menurut asalnya mengurus hal-hal yang menyangkut pemerintahan, disempurnakan dengan mengadakan lembaga raja ibadat yang khusus mengurus masalah-masalah keagamaan, tahap selanjutnya timbul lagi pengembangan raja adat hanya mengurus masalah adat sedangkan masalah pemerintahan diurus oleh raja alam. Maka dengan demikian lengkaplah lembaga Rajo nan Tigo Selo, yaitu rajo adat di Buo, rajo Ibadat di Sumpur Kudus dan rajo alam Pagaruyung. Dalam pelaksanaan pemerintahan (eksekutif) dibentuk pula empat dewan yang disebut “basa ampek balai”, yakni ada 4 (empat) orang besar yang punya kewenangan khusus yaitu semacam dewan mentri.

Struktur adat seperti di atas juga turun pada lembaga lebih dibawahnya, yaitu pada tingkatan nagari  dan suku. Dulu hanya baru dikenal Panghulu, manti dan dubalang. Setelah Islam menjadi pegangan maka ditambah satu lembaga lagi yaitu malin. Maka lengkaplah penghulu sebagai kepala pemerintahan, manti sebagai pelaksana kerja dan penghubung rakyat dengan penghulu, dubalang sebagai pihak keamanan nagari sedangkan malin bertugas mengurus masalah keagamaan.

Keempat badan ini memiliki  wewenang sendiri, seperti yang disebut dalam pepatah :
Panghulu tagak dipintu adat
Malin tagak dipintu syara’
Manti tagak dipintu susah
Dubalang tagak dipintu mati.

Maka dengan demikian masing-masing mereka memiliki hak untuk menyelesaikan bermacam hal yang terkait dengan bidangnya, seperti yang dijelaskan  dalam pepatah dibawah ini :
Kato panguhulu kato  manyalasai

Kato manti kato barubung

Kato malin kato hakikat
Kato dubalang kato mandareh.

Begitu juga integrasi adat dan agama dalam masyarakat Minang diuraikan dalam pembentukan nagari. Persayaratan nagari baru bisa mendapatkan hak yang penuh sebagai suatu unit pemerintahan nagari. Dulunya dalam adat disebutkan yaitu: adanya suku nan ampek, galanggang, labuah, tapian, sawah ladang, pandam pakuburan, dan balai. Setelah Islam  ditambah satu lagi yaitu Mesjid, sebagai tempat ibadahnya kaum muslimin

G. Hubungan syara’ dengan penguasa

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

Artinya : "Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, membayarkan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah perbuatan munkar, dan kepada Allah kembali semua urusan (Q.S. al-Hajj : 41)".

Hubungan syara’ dengan (kekuasaan), bukan hubungan seputar ibadah, akan tetapi jauh lebih besar dari itu, yaitu; masalah wilayah, kekuasaan hukum, peperangan, peradilan, undang-undang kriminilitas, persoalan perkawinan, keluarga, jual beli, gadai, utang piutang, persaksian, qishash, hubungan internasional, penjara, keamanan dan stabilitas, waris dan lain sebagainya yang merupakan seperempat dari seluruh isi kandungan al-Qur'an itu adalah pembicaraan tentang penguasa.[i]

Sasaran akhir dari perjalanan kekuasaan ini adalah memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan mengupayakan terciptanya kemakmuran. Usaha kearah itu tiada jalan yang mesti ditempuh, kecuali melalui kekuasaan

Konsep inipun tidak akan bisa tegak melainkan dengan adanya pemimpin. Dengan demikian tugas ini adalah wajib, bila tidak ada yang melaksanakannya, maka kehidupan sebuah kumunitas umat tidak akan tertata dengan baik, akan banyak perampokan, pencurian, penganiayaan faudha/chaos' dalam masyarakat, bangsa dan negara.

Sekurang-kurangnya ada dua badan resmi yang dapat dijadikan benteng untuk bisa berdirinya “pemerintahan Islam” dalam masyarakat, bukan negara Islam,  yaitu ;

a.  Pihak-pihak resmi bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, (yaitu penguasa).

b. Bila tidak mendapatkan pada yang pertama, hendaknya manusia berjalan di belakang para ulama yang memikul tugas ini.

Apabila manusia tidak mendapatkan salah satu dari kedua itu, maka harus bersandar kepada ijtihad. Abdul Karim Zaidan sebagaimana dikutip oleh Salman al-Audah mengemukakan bahwa kemampuan yang paling besar terdapat pada amir (penguasa) yang memiliki kekuatan untuk memerintah dan melarang, karena penguasa lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan orang lain untuk menjalankan ajaran Islam yang ada di dalam rumahnya.

Dengan demikian masalah penguasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari penegakan hukum, termasuk syari’at Islam, karena ia merupakan rekonstruksi dan gambaran dari umat yang dipimpinnya. Semua sasaran kehidupan umat Islam mesti melalui media penguasa, antara lainnya misalnya adalah; politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.

 Oleh karena penguasa sebagai salah satu instrumen penting, maka suatu masyarakat hanya bisa hidup teratur, aman dan nyaman, jika mereka hidup dan berada dalam suatu kumunitas dengan segala perangkat dan struktur kekuasaannya, sehingga banyak orang yang berpendapat bahwa penguasa adalah "panglima". Artinya penguasa sangat menentukan corak keberagamaan, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Agaknya disinilah Allah mengisyaratkan dalam surat al-Hadid ayat 25, bahwa telah mengutus RasulNya dengan bukti-bukti nyata. Ia menurunkan kitab dan keadilan agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah menurunkan pula "besi" yang mengandung kekuatan yang hebat dan dapat memberikan manfaat bagi manusia. 

Justru untuk terciptanya suatu keadilan diperlukan adanya kekuasaan yang dilambangkan "besi". Jadi untuk mencapai suatu keadilan jika perlu dengan kekuasaan namun perlu juga diketahui, bahwa apakah pelaksanaan syari’at itu para penguasa, ulama, atau kedua kekuatan tersebut. Nampaknya dalam hal ini adalah tertuju hanya kepada penguasa saja, karena penguasa itu dalam kapasitasnya sebagai pemimpin, sekaligus juga ahli agama Islam, sehingga tidak ada dikhotomi antara penguasa dengan ulama. Artinya penguasa itu adalah ulama dan ulama itu adalah penguasa. Barangkali syara’ itu tidak akan tegak tanpa adanya penguasa yang bertanggungjawab memperjuangkan.

Kenyataan di atas sangat logis sekali bahwa syar’at itu tidak akan dapat mengkristal tanpa adanya penguasa yang mengapungkannya. Begitu juga sebaliknya bahwa kemungkaran akan merajalela bila tidak ada badan yang bertugas membasminya. Wallahu a’alam bi al-shawab.
SUMBER BACAAN

Bagian Pertama :

[1] Amir,MS.Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, PT.Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1977

Bagian Kedua :
2 Prof.Dr.M.Nasroen. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, 1971.  Jakarta : Bulan Bintang.
3  Muchtar Naim, Dr. Merantau Pola Migrasi  Suku Minangkabau. Yogyakarta : Gajahmada University Press. 1984.
4  M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Penghoeloe, Minangkabau Sejarah Ringkas
5  Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995)
6 Mulyanto Sumardi, et. al., Profil Sumatera Barat (Jakarta: PT. Inter Nusa, 1992)
 7 Muhammad Rajab.  Sistem Kekerabatan di Minangkabau .  Center  for Minangkabau studies. Padang 1969.
8 A.B.DT. Madjo Indo. Kato Pusako: Pepatah, Petitih, Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat Minangkabau. Penerbit MPAM kerjasama PT.Rora Karya. Jakarta. 1999.
9 H. Blink, De Economische geographie Bovenlanden en het belastingraaggtuk voor Sumatra’s . Weskust, Vragen Vanden dag, 23. (1908)
10 Elizabeth E. Graves. Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule  Nineteenth Century. (New York : Cornel Modern Indnesia Project Southeast  Asia Program , 1981)
11 P.E. de Joselline de Jong, Minangkabau And Negeri sembilan Sosio Political strukcture. Eduard Ijdo,Leiden, 1980.1951
12 Snouck Hugronye (1857-1936). Islam di Hindia Belanda. Bharata. Jakarta

Bagian Ketiga :
13 Agustiar Syah Nur, Pro,Dr,  MA “Kredibilitas Penghulu” Lubuk Agung
14 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Dar al-Mishr, al-Qahirah, Juz 14, t.t.
15 Muhammad Diya' al-Din al-Rayes, Al-Nazhariyat al-Siyasiyat al-Islamiyat, Maktabat al-Anjala al-Mishriyat
16 Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyat, Matba' al-Mustafa al-Bab al-Halb, Mesir, 1960
17 Abdul Hamid al-Mutawalli, Mabadi' Mizhami al-Hukmi fi al-Islam, Masyaat al-Ma'arif, Iskandariyat, Cet. IV, 1978
18 Zakariya al-Mun'in Ibrahim al-Kitab, Mizhamu al-Syura fi al-Islam wa Nazhan al-Dimuqratiniyyat al-Mu'assirah, Matba' al-Sa'adah, Kairo, 1985
22 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya, 1984

Bagian Keempat :
23 Abd al-Rahman bin Hasan Ali al-Syaikh, Fathu  al-Majid, al-Madinah al-Munawwarah, al-Maktabah  al-salafiyah, 1397 H/1977 M
24 al-Bukhari, Abi  Abb  Allah Muhammad  bin  Isma’il  bin  Ibrahim  Ibn al-Mughirah  bin Bardazbah, Shahih  al-Bukhari, Abd  al-Rahman  Afandi Muhammad, Juz III,  1349  H/1930 M
25 Jalal al-Din al-Suyuthi, Jami’  al-Shaghir, ‘Abd  al-Hamid Ahmad  Hanafi,  ttp, tt
26Bathrus al-Bustani, Qathar al-Muhith , (Beirut: Maktabah Lebanon, tt)
27 Abû Qâsîm al-Husein bin Muhammad al-Ishfahânî, al-Mu’jam fî Gharib al-Qur’ân, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1961)
28 Husein Yusuf Mûsâ dan Abdul al-Fatah al-Sha’dî, al-Ifshah fi al-Lughat, (Kairo: Dâr al-Fikr, tt)
29 Al-Razi, Tafsîr-Kabir III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978)
30 Muhammad Husein al-Thaba’thabai,
32 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Rangkaian  Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, Bandung: CV. Remaja Karya 1984
33 Amir M.S “Tanya Jawab Adat Minangkabau: Hubungan dan dan Agama Islam di Minangkabau” Yayasan Sosial Pendidikan AINI tahun. 2002
34 H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, Bandung:  CV. Remaja Karya, 1984

Bagian Kelima :
35 Nurcholis Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Y.W.Paramadina 1992)
36 Muhammad Abû Zahrah, al-Da'wah ila al-Islâm, (Ttp:. Dâr al-Fikr al-'Arabî, tt).
37 Muhammad Abû al-Fatah al-Bayânûnî, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Dakwah, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991)
38 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (disebut Tafsîr al-Manar), (Beirut:  Dâr al-Ma’rifat,  tt)
39 H. Mas’oed Abidin. Harian Singgalang, 20 Desember 2002
40 Sidi  Gazalba, Mesjid  Pusat Ibadat  dan Kebudayaan  Islam, Pustaka al-Husna , Jakarta,  1989
41 Mulyani, Surau dan  Pembaharuan Pendidikan Islam  di Minagkabau, IAIN IB Press,  1999
42 M.H. T. Dt. Penghulu Basa, Ketua  LKAAM kabupaten  Agam  Sumatera  Barat, wawancara,  tanggal 17-10-2000
43 Dt. Tan  Kabasaran, Ketua  Majlis Pertimbangan MUI Tingkat  I Sumatera Barat, dan Pemuka adat di Kabupaten Agam,  Wawancara,  di Bukitinggi tanggal17—10-2000.
44 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi  dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, Logos,  Jakarta, 1999

Bagian keenam :
Abu Bakar Zakaria, al-Da’wah ila al-Islam, (Mesir: Dâr al-’Urulah,  tt)
Amin Rais,  Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996)
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389 H/1969)
Alexis Carrel, Misteri Manusia, Terj. Kania Roesli, Remaja Karya, Bandung, 1987)
Abu Muhammad Ibn Hazm, Kitab al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-nihal, Dâr al-Fikr, Beirut, 1320)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
Fachru al-Razi, al-Tafsîr al-Kabir, Dâr al-Kutub al-’ilmiah, Teheran,tt)
Ibrâhîm Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr, al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989)
Ibn Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil aiy al-Qur’an, Dâr al-Fikr, Beirut, 1988)
Mufid Syafi'i Ahmad(2001) Dialog Agama dan Kebangsaan. Jakarta : Zikrullah Hakim.
Manulang.(1981). Dasar Dasar Manajemen. Jakarta : Galia Indonesia.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973)
   Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Qurân, (Beirut, Dâr al-Marifah, 1992)
Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt)
Muhammad al-Bahi al-Khuli, Tazkirah al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952)
  Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini, (Ujung Pandang: Nuhiyah, 1986)
alî Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidîn,: (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arabî, 1952)
Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005)
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997)
M. Quraish Shihab,  Membumikan al-Qur’an,  Mizan, Bandung, 1994, h. 69
Muhammad bin Ali al-Syaukani,, Fath al-Qadir, Mustafa al-babiy al-halabiy, Kairo, 1964)
Al-Raghib al-Ishfahaniy, al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, Dâr al-Ma’arif, Beirut, tt,)
Robins. P. Stephen (2003). Prilaku Organisasi  Jilid 1 .Terjemahan.  Jakarta : Gramedia
Robin. P. Stephen. (2003) Prilaku Organisasi Jilid 2.Terjemahan. Jakarta : Gramedia.
Salmadanis, Bentuk-bentuk Metode Dakwah Dalam al-Qur’an, Dalam Majalah Ilmiah Turats, Nomor; 10, Volume VII, 1996
---------------,  Surau di Era Otonomi, The Minangkabau Foudation, Jakarta, 2001
--------------,  Al-Da’i dan Identitasnya, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2002
--------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2001
--------------, Filsafat Dakwah, IAIN “IB” Press,  Cet. I. Padang,  1999
--------------, Intervensi Politik Menanggulangi Kemungkaran, Nuansa Madani, Jakarta,  1999
--------------, Mengantar Usahawan Ke Pintu Surga Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid Dalam Berusaha, Nuansa Madani, Jakarta, September 2001
--------------, Prinsip Dasar Metode Dakwah,  The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2000
--------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Cet. II. Jakarta, 2002
--------------. Amar Ma’ru Nahi Mungkar dan Politik Perspektif Ad. Jabbar, Nuasa Madani, Jakarta, 2002
--------------, Metode Dakwah Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta. 2002
--------------, Adat Basandi Syarak; Norma dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau, PT. Kartika Insan Lestari, Jakarta, 2003
Syafri Harahap Syofyan. (1996). Manajemen Masjid.  Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
Siagian, Sondang P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.
Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Raja Grafingo Persada, 2003)
Qadi al-Quda’ Abdul Jabbar, al-Majmu’ Fi al-Muhit bi al-Taklif, al-Matba’ah al-Kasuliyah, Beirut, 1965)
Qadi al-Quda’ Abdul Jabbar, Al-Mughni Fi Abwab  al-Tauhid wa al-’Adl, al-Dâr al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Kairo, 1965))



[1]Disampaikan pada acara seminar pemberlakuan syari’at Islam di ranah Minang merupakan manifestasi adat basyandi syara’ syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai, tanggal 18-19 Januari 2006 di gedung Bagindo Aziz Chan, Padang
[2]Dosen / dekan fakultas dakwah IAIN Imam Bonjol Padang
             [3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) h. 181
             [4]Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389 H/1969) M, Juz II, h. 279.

             [5]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973), h. 127


             [6]Ibrâhîm Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr, al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989), h. 286
  
  [7]Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Qurân, (Beirut, Dâr al-Marifah, 1992), h. 326.
             [8]Muhammad Fuad Abd. al-Baqi, Op.cit. 257-60.
   [9]QS. al-Qamar: 10, yaitu;  فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
             [10]QS. al-Zumar: 8, yaitu;  وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ
             [11]QS. al-Fushshilat: 3 yaitu : وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
             [12]Muhammad ‘Abd. al-Baqi, Op.cit., h. 257
             [13]Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt). h. 21
             [14]Muhammad al-Bahi al-Khuli, Tazkirah al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952), h. 27
   [15] Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini, (Ujung Pandang: Nuhiyah, 1986), h. 2
               [16] Alî Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidîn,: (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arabî, 1952), h. 18
             [17]Abu Bakar Zakaria, al-Da’wah ila al-Islam, (Mesir: Dâr al-’Urulah,  tt). h. 8
             [18]Amin Rais,  Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996), cet. VII,h. 25-6
[19] Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005, h. 11-13




0 Comment