14 Februari 2023

 

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH 

PENDAHULUAN 

Bagdad sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur mencapai puncak kejayaannya di masa ar-Rasyid walau kota itu belum lima puluh tahun di bangun. Kemegahan dan kemakmuran tercermin dalam istana Khalifah yang luasnya sepertiga dari kota bagdad yang bundar itu dengan dilengkapi bangunan-bangunan sayap dan ruang audensi yang dipenuhi berbagai perlengkapan yang terindah.

Kemajuan besar yang ditelah dicapai oleh dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari para pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kondisi inilah yang memberi peluang para tentara profesional asal Turki yang telah diangkat pada masa kekhalifahan al-Mu’tasim untuk mengambil alih tampuk pemerintahan. Usaha ini berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada pada tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini.

Faktor-faktor penyebab kemunduran sebenarnya tidak datang secara tiba-tiba. Namun Benih-benihnya sudah mulai terlihat pada periode pertama, hanya saja karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Namun pada periode berikutnya

Untuk lebih jelasnya, makalah penulis akan menjelaskan dalam bab pembahasan tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran Daulah Abbasiyah sehingga pada akhirnya hancur akibat dari serangan bangsa Mongol.

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH ABBASIYAH 

A.    Faktor-faktor Kemunduran Daulah Abbasiyah

1.      Faktor Militer

Pada masa keemasan Abbasiyah, baik khalifah maupun masyarakat telah hidup serba mewah, kecuali budak. Golongan elit ini tidak mau lagi berperang, kebiasaan berperang yang selama ini diganti dengan kemewahan dan hidup bersenang-senang dan berfoya-foya sehingga tidak melahirkan para panglima tangguh, baik dari kalangan istana maupun di kalangan masyarakat.

Kelangsungan dan stabilitas suatu imperium sangat bergantung pada kekuatan militernya. Dikarenakan tidak adanya program ekspansi pada periode ini, para khalifah tidak menaruh perhatian terhadap urusan kemiliteran. Hal ini juga mengakibatkan menurunnya semangat kemiliteran pasukan muslim, dan tatkala negara diserbu oleh pihak asing mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan mengusir musuh.

Pada masa ini, dinasti Abbasiyah tidak memiliki angkatan bersenjata yang besar dan professional dari bangsa Arab. Untuk mempertahankan kekuasaan dan propinsi-propinsi, mereka hanya membayar tentara. Akhirnya ketergantungan mereka pada tentara bayaran semakin meningkat. Khalifah al-Mu’tasim sebagai anak dari ibu yang berasal dari Turki mendatangkan orang-orang Turki untuk menjadi pengawalnya. Dengan demikian pengaruh Turki mulailah masuk ke pusat pemerintahan. Tentara pengawal Turki ini kemudian berkuasa di istana sebagai Pasukan Elit Pengawal Istana. Akhirnya khalifah hanya merupakan boneka dalam tangan mereka, yang pada hakikatnya memerintah bukan lagi khalifah, melainkan perwira-perwira dan pengawal Turki itu. Khalifah hanya terbatas di istana saja, tanpa mengetahui perkembangan Negara yang sebenarnya.[1]

Khalifah tidak bisa melepaskan kekuasaan dari tentara Turki, maka mau tidak mau khalifah harus memakainya dan untuk itu khalifah harus memiliki tentara yang setia. Untuk memiliki tentara yang setia pada khalifah dan dapat menjaga pemerintahan diperlukan uang yang banyak untuk membayar mereka, namun beban keuangan ini makin lama makin sulit diatasi, sehingga para tentara bayaran itu berbuat semena-mena terhadap khalifah.

2.      Faktor Non Militer

Disamping faktor militer, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[2]

a.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang­ orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa, itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa, non-Arab (‘ajam) di dunia Islam.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-­budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[3]

Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kernudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia pada periode ketiga          (334-447 H), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Saljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).[4]

b.      Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri

Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah. Secara rill daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[5]

Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karna khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[6]

Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.

Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekhalifahan Baghdad pada masa Khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:

1.    Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).

2.    Yang berbangsa. Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya.

3.    Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).

4.    Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 H), Aghlabiyyah di Tunisia (180-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).

5.    Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7]

c.       Kemerosotan Perekonomian

Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul­mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[8]

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[9]

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-­marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tidak terpisahkan.

d.      Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasui, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.

Khalifah Al-Manshur berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al-Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mandi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering tejadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M), kembali memperkenankan orang syi’ahmenziarahi” makam Husein tersebut.[11] Syi’ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu’tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Saljuk yang menganut paham Asy’ariyyah penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan bedaya. [12]

B.     Kehancuran Daulah Abbasiyah : Serangan Bangsa Mongol

1.      Latar Belakang Serangan Bangsa Mongol

Serangan Mongol merupakan faktor eksternal kehancuran bani Abbasiyah di Baghdad, disamping faktor-faktor yang telah disebut di atas. Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). mereka adalah orang-orang Badui­ sahara yang dikenal keras kepala dan suka berlaku jahat.

Sebagai awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia kecil.[13]

Sebelum meninggal, Jengis Khan membagi daerah kekuasaannya kepada empat bagian sesuai dengan jumlah putranya, yaitu Chagatai, Juchi, Ogotai dan Tuli. Tuli Khan diberikan kekuasaan di daerah Khurasan. Tuli mudah sekali mengasai daerah tersebut, karena kerajaan-kerajaan Islam sudah terpecah belah dan lemah. Akhirnya dia dapat menguasai daerah tersebut sampai ke Irak. Setelah Ia meninggal pada tahun 654 H/ 1256 M, ia digantikan oleh putranya Hulagu Khan yang sekaligus sebagai raja Mongol (Khan).

Pada awalnya Hulagu Khan meminta kepada khalifah Abbasiyah yang terakhir, Al-Musta’sim (1242-1258 M) bekerjasama untuk menumpas gerakan Assassin atau Ismailiyah, karena gerakan ini sering mengganggu pasukan Mongol. Akan tetapi khalifah tidak meu menerima tawaran tersebut, akhirnya Hulagu Khan langsung melakukan penyerangan terhadap pusat kekuasaan Assassin tersebut sehingga pemimpin Assassin yang terakhir, Rukn al-Din tewas.[14]

Pada bulan September 1257 M, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258 M, pasukan Hulagu bergerak untuk menghancurkan tembok ibukota.[15]

Keengganan khalifah al-Musta’sim membantu Hulagu Khan untuk menumpas gerakan Assassin dan khalifah juga tidak mau meruntuhkan tembok kota, hal ini dijadikan alasan oleh Hulagu Khan untuk menyerang kota Bagdad. 

  1. Proses Serangan Bangsa Mongol dan Dampaknya Bagi Peradaban Islam

Pada tanggal 4 Muharram 565 H/ 17 januari 1258 M, Hulagu Khan mengawali penyerangannya dari arah Timur, sedangkan pasukan Mongol yang dipimpin oleh panglima Baju bergerak menyeberangi sungai Dajlah dari arah sebelah Barat.[16]

Jumlah anggota pasukan Hulaghu mencapai 200.000 prajurit. Mereka memblokade kota itu dan terjadilah pertempuran yang pada akhirnya pasukan Mongol dapat melewati benteng kota sebelah Barat, lalu memasuki Bagdad dan memasang bendera Mongol di atas kastil al ‘Ajami (salah satu kastil di benteng kota).

Dengan melihat kejadian ini khalifah tidak ada pilihan lain kecuali menyerah. Wazir Ibn Al-Qamy ditemani oleh seorang pendeta Kristen Nestorian diutus untuk menghadap Hulagu Khan, memohon perdamaian beserta syarat-syaratnya, sehingga gencatan senjata dapat diadakan. Perundingan al-Qamy berhasil, hasil pajak dibagi dua, sebahagian untuk Hulagu Khan dan sebahagian lagi untuk khalifah. Kesepakatan ini rupanya hanya tipu muslihat Hulagu Khan semata untuk melaksanakan niat jahatnya. Menurut Jala al-Din al-Sayuti dalam bukunya Tarikh al-Khulafa’, wazir al-Qamy tidak jadi menemui Hulagu Khan. Ia menipu khalifah dan mengatakan bahwa dia telah berdamai dengan Hulagu Khan. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan saljuk.[17]

Khalifah menyambut gembira berita yang dibawa oleh wazir. Maka pada tanggal 4 Shafar 656 H/10 Februari 1258 M, keluarlah khalifah al-Musta’sim bersama tiga orang anaknya diiringi oleh sekitar 3.000 orang yang terdiri dari para Qadhi, Fuqaha’, pemuka-pemuka agama dan para amir serta orang-orang terkemuka lainnya. dalam jumlah tersebut hanya 17 orang yang boleh bertemu langsung dengan Hulagu Khan, antara lain khalifah seniri, 3 orang anak-anaknya, 3 orang amir, wazir dan sebagainya.

Dengan perasaan gemetar membuat khalifah lupa sama sekali letak kunci peti hadiah untuk Hulagu Khan, sehingga peti tersebut terpaksa dipecahkan di hadapan Hulagu. Peti-peti itu berisi barang-barang berharga. Akan tetapi sambutan Hulagu Khan di luar dugaan khalifah. Hulagu Khan memaksa untuk menunjukkan simpanan khalifah. Khalifah terpaksa menunjukkan simpanan gudang bawah tanah di halaman istana kepada Hulagu.

Hulaghu memerintahkan seluruh penduduk Bagdad agar keluar dari rumah tanpa membawa senajat dan berkumpul dengan dalih sensus penduduk. Merekapun keluar hingga tanah-tanah kosong dipenuhi mereka. Pasukan Mongol mengelilingi mereka dari segala arah, lalu melepaskan binatang-binatang buas yang kelaparan sehingga mereka terbunuh, termasuk anak-anak, perempuan, orang orang lemah, dan orang sakit. Akibatnya dilaporkan bahwa korban yang terbunuh dalam pembantaian itu mencapai 1.800.000 jiwa. Peristiwa itu merupakan pembantaian terbesar yang dilakukan terhadap kaum Muslim sepanjang sejarah, klasik maupun modern. Ketika jalan-jalan dipenuhi bangkai yang membusuk, kota itu dilanda penyakit pes sehingga membunuh orang-orang yang dapat melarikan diri dari pembantaian itu.[18]

  1. Daulah Abbasiyah Pasca Serangan Bangsa Mongol

Setelah terjadinya menghabisi penduduk Bagdad, Hulagu Khan mengizinkan bala tentaranya untuk memasuki Bagdad yang telah ditinggalkan penduduk, tentara, dan khalifahnya. Di sana mereka menyebarkan kerusakan dan menghancurkan bangunan-bangunannya. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar perpusakaan-perpustakaan besar yang menyimpan seluruh peradaban sepanjang kejayaan Islam, meruntuhkan istana-istana, serta menghancurkan tempat-tempat pemandian umum, ladang-ladang, dan tempat-tempat rekreasi. Akibatnya, dalam waktu 40 hari, kota itu berubah menjadi seperti kota tua yang menyisakan puing-puing. Padahal, sebelumnya kota itu merupakan pusat peradaban, ilmu pengetahuan, dan sastra. Apa yang terjadi di atas Bagdad dalam serangan tersebut tidak pernah terjadi atas kota Islam terbesar sebelumnya. Kehilangan kota tersebut telah menggetarkan seluruh penjuru Dunia Islam.[19]

Setelah Khalifah Abbasiyah di Baghdad runtuh akibat serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan.[20] 

Baca Juga; ---------------

👉

👉

PENUTUP 

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Daulah Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.         Di samping itu ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kemunduran Daulah Abbasiyah yaitu:

1.      Faktor Militer

2.      Faktor Non Militer

-          Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

-          Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri

-          Kemerosotan Perekonomian

-          Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

 

Akhir dari kekuasaan Daulah Abbasiyah ialah ketika Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada tahun                     656 H/ 1258 M. Bagdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir beserta keluarganya dibunuh. Buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris. Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah telah memainkan peran penting dalam percaturan kebudayaan dan peradaban Islam secara gemilang.


DAFTAR PUSTAKA 

al-Afifi, Abdul Hakim, Mausu’ah Alf Huduts Islami, Beirut: Auraq Syarqiyyah, 1996, terjemahan Irwan Kurniawan, 1000 Peristiwa Dalam Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002 

Hitti, Philip. K, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008 

al-Isy, Yusuf, Tarikh ‘Ashy al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007 

Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II, Padang: IAIN IB Press, 2002 

Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997 

al-Usyairy, Ahmad, at-Tarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003 

Yatim, Badari , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000 

http://archive.kaskus.us/thread/6163737, Download: Sabtu/22 Oktober 2011



[1]Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997),  h. 107

[2] Badari Yatim , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), h. 80

[3]Yusuf al-Isy, Tarikh ‘Ashy al-Khilafah al-Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 102

[4]Badri Yatim , op.cit., h. 50

[5]Ibid., h. 63

[6]Yusuf al-Isy, op.cit., h. 137

[7]Badari Yatim , op.cit, h. 261

[8]Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436

[9]Badari Yatim , op.cit. h. 82

[10]Ahmad al-Usyairy, at-Tarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224

[11]Badari Yatim , op.cit. h. 83

[12]Ibid. h. 84

[13]Ahmad al-Usyairy, op.cit., h. 258

[14]Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II, (Padang: IAIN IB Press, 2002), h. 112

[15]Philip K. Hitti, op.cit., h. 619

[16]Maidir Harun dan Firdaus, Op.cit., h. 113

[17]Ibid, 114

[18]Abdul Hakim al-Afifi, Mausu’ah Alf Huduts Islami, (Beirut: Auraq Syarqiyyah, 1996), terjemahan Irwan Kurniawan, 1000 Peristiwa Dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),   h. 318

[19]Ibid, 319

0 Comment