15 Februari 2023

 


STRUKTUR DAN KLASIFIKASI ILMU

Kompleksitas ilmu pengetahuan pada dasarnya masing-masing berada dalam substansinya secara tersendiri dengan perbedaannya. Perbedaan-perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan yang selalu melekat erat dengan bentuk dan sifat objek materi masing-masing, serta ditentukan juga oleh bentuk dan sifat objek forma yang berbeda-beda.  

Pencapaian puncak ilmiah tidak bisa hanya sekedar teori, apalagi sekedar penilaian substansial. Oleh karenanya dalam memberikan transformasi ilmu pengetahuan harusnya di sesuaikan dengan bentuk kajian tersendiri dalam bidang masing-masing. Berangkat dari keingin tahuan tentang suatu ilmu pengetahuan, maka langkah dasarnya adalah memahami lagi tentang ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Saat langkah awal dilalui, maka selanjutnya melakukan pemetaan kajian sebagai bentuk pencapaian objektifitas yang ilmiah. Pemetaan tersebut dilakukan dengan menggambarkan bentuk bangunan struktur dan klasifikasi ilmu pengetahun itu sendiri.

PENDAHULUAN

Ditinjau dari sisi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat berbeda. Pada awal sejarah filsafat di Yunani, philosophia menguasai hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, ternyata disadari akan adanya kecenderungan yang berbeda. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).

Nuchelmans (1982) dalam tulisannya mengemukakan, bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, terjadilah perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sebelum abad ke 17 ilmu pengetahuan identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan komentar Van Peursen (1985), bahwa sebelumnya ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.

 Perkembangan meaning selanjutnya, Koento Wibisono (1999) berkomentar, filsafat sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh subur bercabang. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Begitulah perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru, bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi, seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karenanya, senada dengan ungkapan Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang saling terikat dan consist dari true or fals meaning yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. F.Bacon (1561-1626) berupaya mengembangkan semboyannya Knowledge Is Power, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Implikasinya menurut Koento Wibisono (1984) adalah, bahwa ilmu yang satu hubungannya sangat erat dengan cabang ilmu yang lain, serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul, sehingga filsafatlah yang kemudian berperan dalam hal tersebut. Senada dengan pendapat Immanuel Kant, bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) berpendapat; filsafat sebgai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).

Koento Wibisono kemudian menyatakan, pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya : ilmu (pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu : ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini searah dengan Israel Scheffler (The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Interaksi filsafat dan ilmu mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman, bahwa ilmu tentang alam persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tepat.

Sedikit curahan diatas sebagai langkah untuk mengawali penelusuran lebih mendalam akan suatu pemahaman tentang ilmu pengetahuan itu sendiri dengan menguraikan bangunan-banguna struktur dan klasifikasi ilmu pengetahuan.

A.    Memahami Kembali Ilmu Pengetahuan

Istilah ilmu merupakan padanan kata bahasa Inggris science atau bahasa Latin scientia. Kata kerjanya adalah scire (bahasa Latin), yang artinya tahu atau mengetahui. Istilah science dalam bahasa Inggris terkadang diasumsikan sebagai systematic knowledge of the physical or material world (pengetauan secara sistematis mengenai dunia fisis atau material). Ilmu secara garis dasarnya merupakan suatu cakupan ungkapan bermakna ganda. Cakupan pertama ialah, bahwa ilmu merupakan istilah umum yang mengikat seluruh pengetahuan ilmiah secara melingkar atau bisa disebut dengan science-in-general (ilmu se-umum-nya). Cakupan kedua, ilmu mengakar pada tiap-tiap bidang pengetahuan ilmiah yang menekuni aspek tertentu.[1]

Farian pemahaman tentang ilmu ditelusuri dari kecenderungan pendefinisian, beranggapan bahwa ilmu diukur dari dimensi pengetahuan dan aktivitas serta metodenya. Ada juga yang mencakup ketiganya atau menampakkan sisi sifatnya. Sedangkan definisi ilmu sebagai bentuk lingkaran secara sistemis, terdapat beberapa pemahaman, yakni :

1.      Liang Gie berasumsi bahwa definisi ilmu secara general yang dianut oleh para filusuf ialah, ilmu merupakan rangkaian pengetahuan yang sistematis (any systemic body of knowledge).  

2.      John G. Keney mendefiniskan ilmu sebagai kumpulan seluruh pengetahuan dengan perantara metode ilmia (all knowledge collected by means of the scientific methode).[2]

3.      Kalangan ilmuan kebanyakan memberikan definisi tentang ilmu yang terarah pada sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dari alam semesta yang hanya didapatkan melalui tehnik-tehnik pengamatan objektif. Dengan demikian, kandungan ilmu merupakan sekumpulan pengamatan yang objektif. (science refers primarily to those systematically organized bodies of accumulated knowledge concering the univers which have been derived exclusively through techniques of objectif observation. The content of science, then consist of organized bodies of data)

4.      Mohammad Hatta berkomentar, bahwa Ilmu merupakan pengetahuan yang sistematis akan keadaan hukum kausalitas dalam suatu bahasan masalah yang sifatnya sama, baik menurut kedudukannya (sisi eksternal), ataupun menurut relasinya (sisi internal).[3]

5.      Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) berasumsi, bahwa ilmu lahir dari sebuah pengetahuan nature ataupun culture, yang sudah tersusun secara sistematis menurut kaedah umum. Oleh karenanya, Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu, dimana ilmu sebagai pengetahuan logis dan bisa dibuktikan dalam bentuk empiris.

6.      Lorens Bagus (1996:307-308) berpendapat, bahwa ilmu menampakkan seluruh kesatuan ide yang mengacu pada kesamaan objek dan saling berhubungan secara logis.

7.      Prof. Harold H. Titus berpendapat, bahwa science sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan, melalui pendekatan suatu benda atau peristiwa dengan metode observasi kritis.

8.      Prof. A.Baiquni mengerucutkan science sebagai consensus general dari kehidupan social yang terdiri dari para scientis.

9.      science is a systematized knowledge obtained by study, observation, experiment .

Memahami ilmu sebagai aktivitas dan metode. Sebagaiman pemahaman Charles Singer, bahwa Ilmu apabila didefinisikan secara aktivitas lebih ditekan pada sisi aktifitas yang dilakukan oleh manusia, dengan ungkapannya, ilmu adalah proses yang menciptakan pengetahuan (science is the proses wich makes knowledge). Sedangkan ilmu sebagai metode, sebagaimana pemahaman Prof. Harold H. Titus ialah, suatu metode guna mendapatkan pengetahuan yang objektif dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya (a methode of obtaining knowledge that is objective and verifiable).[4]

Pengertian science (ilmu) baik sebagai pengetahuan, aktivitas ataupun metode sebenarnya tidak bertentangan, karena ilmu harusnya bersandar pada aktifitas manusia, sedangkan aktivitas sendiri memerlukan orientasi metode tertentu, sehingga aktivitas metodis melahirkan pengetahuan. Hematnya, ilmu bisa dipandang sebagai proses, prosedur dan produk. Dengan demikian, ilmu merupakan aktivitas penelitian, metode ilmiah dan pengetahuan sisitematis.

Mendefiniskan science (ilmu) lebih komprehensif dengan mengacu pada tiga aspek diatas, sebagaimana pendapat beberapa tokoh:

1.      The Liang Gie mendefinikan ilmu sebagai rangkaian aktivitas rasional human dan kognitif dengan berbagai metode secara procedural serta penentuan langkah-lankahnya, sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sisitematis mengenai gejala-gejala tertentu, sebagai pencapaian kebenaran, mendapatkan pemahaman dan memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.[5]

2.      Jean Ledria (filusuf Belgia) mendefinisikan ilmu sebagai keseluruhan pengetahuan kita pada dewasa ini atau aktivitas penelitian maupun metode untuk mencapai pengetahuan (science may be regarded as the sum of our present knowledge or the research activity, or as methode of acquiring knowledge).[6]

3.      Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan pengertian ilmu dengan lebih rinci, bahwa objek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya berdasarkan pengalaman dengan menggunakan berbagai cara, sepereti observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan sebagainya. Pengalam-pengalaman tersebut diolah oleh fikiran atas dasar hukum logika yang teratur. Kemudian data yang didapat diolah secara analitis, induktif. Selanjutnya, menentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi kausalitas. Setiap konsepsi dan relasi disusun menurut sistem tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang ter-integrasi-kan. Keseluruhan bangunan integrative itulah yang dinilai sebagai ilmu pengetahuan.

Definisi ilmu dari sebuah pengetahuan, aktivitas dan metode itulah kesatuan logis yang harusnya ada secara teratur dan berkesinambungan. Ilmu mestinya hadir bersama dengan aktivitas manusia, kemudian digerakakan dengan metode tertentu, hingga tercipta aktivitas metodis dengan bentuk pengetahuan yang sistematis.

Memahami ilmu dari sisi penekanan sifat-sifatnya, bisa didefinisikan sebagai berikut:

1.      Ziman Jhon (Qadir C.A, 1995) menyuguhkan pemahaman, bahwa ilmu pengetahuan merupakan rentetan konsep dan kerangka konseptual yang saling berkesinambungan, dikembangkan sebagai percobaan dan melakukan pengamatan sebagai percobaan selanjutnya. Definisi tersebut lebih mengarah pada kesinambungan ilmu, dimana ilmu merupakan teori, prinsip, dan dalil lebih lanjut ataupun menemukan teori, prinsip, dan dalil baru. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan merupakan suksesi penyelidikan sampai pada ranah yang berkesinambungan. Hematnya, ilmu bukanlah sebagai penelusuran kepastian.

2.      Ralp Ross memberikan sumbangsih pemahaman, bahwa science empirical, rational, general, and cumulative and is all four once (ilmu itu empiris, rasional, umum dan bertumpuk secara tersusun serta berkesinambungan). Karenanya, ilmu tidak cukup hanya dengan perenungan, harusnya melalui pengindraan, pengumpulan dan perbandingan data, ataupun penilaian jumlah yang berupa penghitungan, penimbangan, pengukuran, dan peningkatan data tentang hal tertentu pada suatu tertentu (deduksi). Analoginya, jika ada kesamaan antara peristiwa dan berfikir dengan menarik kesimpulan yang logical, hingga dapat dipertanggung jawabkan oleh logika, kemudian dilakukan pengujian yang berupa pengalaman positif (verification) secara empirik, pengujian inilah yang dikatakan experiment (percobaan). Selanjutnya, experiment harus bersifat objektif , yakni menghasilkan kesimpulan yang sama dari berbagai kalangan. Sedangkan hipotesis hanyalah langkah awal yang harusnya diubah atau diganti bila ada kekurangan, apalagi salah. Berdasarkan pengujian mendalam dari pengalaman, setelah teruji kebenarannya secara objektif, barulah sesuatu itu disebut proposition (dalil), rangkaian teori itulah yang disebut dengan teori.[7]  

B.     Struktur Ilmu pengetahuan

Penyuguhan peta definitif tentang science (ilmu) diatas setidaknya memberikan efek pemahaman tersendiri yang tercover dalam setiap celah rasio para pembaca. Hingga akhirnya bahasan ilmu tersebut melahirkan sebuah rangkaian ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, kurang arif bila peta ilmu pengetahuan tersebut tidak dipetakan secara struktural, sebagaimana berikut:[8]

a.       Perumusan masalah, hal ini dimaksudkan penelusuran ilmiah diawali dengan masalah yang dirumuskan secara tepat dan jelas dalam lingkaran pertanyaan, hingga bisa membuka ruang keadaan sesuatu untuk diketahui fakta-fakta apa saja yang harus dikumpulkan.

b.      Pengamatan dan observasi (pengumpulan data), tahap ini memiliki corak empiris dan induktif, dimana seluruh kegiatan diarahkan pada pengumpulan data dengan kecermatan pengamatan dan didukung oleh berbagai sarana yang memungkinkan. Kemudian hasil observasi ini tertuang dalam bentuk penyataan-pernyataan.

c.       Pengamatan dan klasifikasi data, tahapan ini ditekankan pada penyusunan fakta-fakta dalam kompleks tertentu, berdasarkan suatu sifat yang sama. Hematnya, dalam hal ini dituntut untuk melakukan klasifikasi, menganalisis, membandingkan, dan membedakan data-data yang relevan.

d.      Perumusan pengetahuan (definisi), dalam hal ini para ilmuan mengadakan analisis dan sintesis secara induktif. Melalui analisi dan sintesis, mereka mengadakan generalis (kesimpulan umum).[9] Dari sinilah sebuah teori dilahirkan.

e.       Tahap prediksi, disinilah dedukasi beraksi memainkan peranannya, dimana sebuah teori yang sudah tercipta membentuk hipotesis baru dan dari hipotesis ini, lewat deduksi juga. Kemudian dibentuklah penyusunan implikas-implikasi logis, agara dapat melakukan prediksi tentang suatu gejala yang perlu diketahui. Perlu difahami, bahwa deduksi ini selalu dirumuskan dalam bentuk silogisme.

f.        Verifikasi (pengujian kebenaran hipotesis), dalam hal ini dilakukan pengujian kebenaran hipotesis.[10] Perlu dicatat, bahwa dalam hal ini keputusan terletak pada fakta. Apabila fakta tidak mendukung hipotesisi, maka hipotesis tersebut harus direkonstruksi ulang dengan diganti oleh hipotesis lain dan seluruh kegiatan ilmiah harus di mulai lagi dari titik awal. Hematnya, data empiris merupakan penentu bagi kebenaran atau tidaknya hipotesis. Dengan demikian langkah akhir dari sebuah bentuk ilmu pengetahuan adalah pengujian kebenaran ilmiah dan itu berarti menguji konsekuensi yang telah dipereteli secara deduktif (Beerling, 1998).

C.    Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Pemetaan pemahaman ilmu pengetahuan yang diikuti oleh strukturnya merupakan bentuk pencapaian suatu pengetahuan yang bersemayam dalam ilmu hingga mencipta sebuah ilmu pengetahuan (ilmiah), kemudian dari hal tersebut dibentuk adanya klasifikasi tentang ilmu pengetahuan itu sendiri.

 Klasifikasi ilmu pengetahuan terbagai menjadi dua bentuk, yaitu objek materi dan objek forma. Dengan kata lain, suatu jenis ilmu pengetahuan dengan sifat khususnya sangat ditentukan oleh objeknya. Hematnya, termasuk jenis apa dan dari segi yang bersifat bagaiman penelusuran ilmu pengetahuan dilakukan. Lebih konkritnya, akan dijelaskan dengan bentuk bagan, sebagaimana berikut:[11]

Sama halnya dengan diatas, bahwa ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk, yakni:[12]

a.       Ilmu Murni, adalah kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum tercampur dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis.

b.      Ilmu Terapan, adalah terapan dari ilmu murni akan masalah-masalah kehidupan yang memiliki manfaat praktis.

klasifikasi ini bisa dicontohkan perkembanga ilmu murni menjadi ilmu terapan sebagaiman berikut:

Ilmu Murni    

Ilmu Terapan

 

mekanika

mekanika teknik

hidro dinamika

teknik aeronautik atau teknik dan

desain kapal

bunyi

teknik akuistik

cahaya dan optik

teknik iluminasi

kelistrikan atau magnetisme

teknik elektronik atau teknik

kelistrikan

fisika nuklir

teknik nuklir


KESIMPULAN 

1.      Ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan yang benar, disusun secara sisitematis dan menggunakan metode untuk mencapai tujuan yang brlaku universal dan dapat diverifikasi kebenarannya. Atau bisa difahami, bahwa ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang dinamis, tersusun sebagai teori-teori yang saling mengkeritik, mendukung dan bertumpu untuk mendekati senuah kebenaran.

2.      Pengetahuan agar mencapai  puncak ilmu pengetahuan (ilmiah) bisa diukur dari sturktur ilmu pengetahuan itu sendiri, sebagaimana berikut:

  1. Perumusan masalah
  2. Pengumpulan data (observasi)
  3. Klasifikasi data
  4. Perumusan pengetahuan (definisi)
  5. Prediksi
  6. Ferifikasi (pengujian kebenaran hipotesis)

3.      Klasifikasi ilmu pengetahuan tersusun atas:

  1. Objek forma
  2. Objek material

senada dengan bunyi klasifikasi tersebut, bahwa klasifikasi ilmu pengetahuan berawal dari:

  1. Ilmu murni
  2. Ilmu terapan

DAFATAR PUSTAKA

Anwar, Ali. Dkk, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama Dan Filsafat, Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1997.

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.

Keney, Jhon G., A Phlosopher Looks At Science, 1961.

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.

Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi Dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Titus, Harold H., Living issues in Philosophy, An Introductory textbook, 1994.




[1]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2004), 85-87

[2]Jhon G. Keney, A Phylosopher Looks At Science, 1961, 175

[3]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surbaya: Bina Ilmu, 1997), 45

[4]Harold H. Titus, Living issues in Philosophy, An Introductory textbook, 1994, h.527

[5]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2004) h. 93

[6]Ibid, h.90

[7] Ali Anwar. Dkk,  Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama Dan Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2005) h.18

[8] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), hal.77-78

[9]Generalis merupakan pengetahuan umum yang tertuang dalam pernyataan-pernyataan universal

[10]Menguji kebenaran prediksi-prediksi melalui pengamatan atau observasi terhadap fakta yang sebenarnya maupun percobaan-percobaan.

[11]Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi Dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h.97-100

[12]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h.94

0 Comment