26 Februari 2023

ULAMA MINANG

FAHAM AGAMA DAN KARYA INTELEKTUAL
 

Dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau keberadaan ulama sangatlah penting. Dia merupakan salah satu diantara 3 unsur pemimpin yang dikenal dengan sebutan tungku tigo sajarangan . Salah satu sebab yang dapat kita kutip, bahwa ulama telah memainkan peranan yang krusial di pulau perca, alam Minangkabau, sejak masuknya agama Islam. [1] Signifikannya jabatan ulama berikut pengakuan masyarakat terhadap malin itu, telah membuat Minangkabau dikenal luas sebagai gudangnya para ulama, tempat bermukimnya orang alim cendikia sejak abad -abad sebelum zaman modern ini. hingga kini sebutan dan nama besar Minangkabau sebagai lumbung ulama itu masih lekat, terngiang-ngiang bagi sebahagian besar orang Minang.

Jika berbicara mengenai ulama Minangkabau, maka kita tidak akan terlepas dari sebuah lembaga pendidikan tradisional Surau, karena memang mereka hidup, belajar, dan mengembangkan karir keulamaannya di surau. Dalam kehidupan masyarakat, surau mempunyai fungsi yang sangat penting, apakah dalam menata kehidupan sosial, tempat bermusyawarah, belajar adat, belajar silat, dan yang utama sebagai tempat belajar agama, bahkan sebelum abad XX surau sempat menjadi barometer ekonomi masyarakat pedalaman Minangkabau, dimana komoditas rempah pernah didonimasi oleh masyarakat surau. [2] Meski Surau sebagai institusi Islam [3] telah dikenal sejak masa Syekh Burhanuddin Ulakan pada paroh pertama abad ke-XVII [4] , namun geliat ekonomi dan sosial masyarakat lebih memperkuat posisi surau di Minangkabau di samping sebagai institusi pendidikan. Hal ini semakin kentara setelah terjadinya gerakan Paderi. Paderi mampu meninggalkan pengaruh yang luas dikalangan masyarakat Minang untuk hidup taat menjalankan agama Islam, [5] dengan tak lain memamakmurkan kehidupan surau.

Ketika pergolakan Paderi usai, maka semakin banyak surau bemunculan, menjamur seantero Minangkabau. keadaan ini kemudian didukung oleh dibukanya jalur laut untuk berlayar ke Mekkah, sehingga memungkinkan banyak orang siak berhaji dan belajar di kota suci tersebut. Setelah pulang, mereka membuka surau untuk pengajian kitab. Sehingga pada abad XIX tersebut banyak dijumpai surau-surau terkemuka yang memiliki orang siak yang ramai dari berbagai pelosok negeri. Dalam sebuah data yang dikemukakan pihak Belanda, diberikan AWP. Verkerk Pistorius, dalam artikelnya yang berjudul De Priester En Zijn Invloed op de samenleving in de Padangsche Bovenlanden (pengaruh para ulama dalam masyarakat Minangkabau) pada tahun 1868. dia memberikan data banyaknya surau di Minangkabau kala itu, diantaranya:

1)      Surau Taram, terbesar, sekitar 1000 murid.

2)      Surau Koto Tuo, sekitar 220 sampai 300 murid.

3)      Surau Cangkiang, sekitar 400 murid.

4)      Surau Pasir, sekitar 300 murid.

5)      Surau Laboh Tanah Datar, sekitar 200 murid.

6)      Surau Padang Gantiang – Tanah Datar, sekitar 100 murid.

7)      Surau Simabur, sekitar 200 murid.

8)      Surau Pangean, sekitar 100 murid.

9)      Surau Piei (Laras Salajoe), sekitar 300 murid.

10)  Surau Muara Panas, sekitar 150 murid.

11)  Surau Kota Hanou, sekita 200 murid.

12)  Surau Kasih, Larang Saniang Bakar, sekitar 150 murid.

13)  Surau Singkarah, sekirar 100 sampai 150 murid.

14)  Surau Calou (Sijunjung), sekitar 300 sampai 400 murid.

15)  Surau Padang Sibusuk, sekitar 150 murid. [6]

Data yang diberikan ini tentu tidak menyeluruh. Tapi data ini cukup memberikan gambaran seberapa banyak lembaga surau dengan jumlah orang siak- nya di Minangkabau. Nama-nama perguruan lainnya pada Abad XIX itu dikemukakan kemudian oleh Mahmud Yunus. [7]

Ibaratkan pesantren di Jawa, surau di Minangkabau memiliki beberapa komponen yang membentuk komunitas orang siak dalam dibalik dengan menuntut ilmu. Setidaknya ada tiga komponen yang saling bersinergi dalam komunitas surau, Pertama, ulama yang menjadi pengajar utama; kedua, orang siak (santri) yang menuntut ilmu dan ketiga keilmuan Islam yang mengajar.

Mengenai ulama, sebagai lembaga surau sandinya , merupakan seorang yang memiliki keilmuan keislaman yang komplit. Seorang ulama dianggap bukan berdasarkan ijazah yang dipegangnya, tetapi murni karena keilmuan yang ditagihnya sekian lama. Dari kecil sudah tinggal di surau, belajar alif sampai ya, kemudian naik kaji membaca al-Qur'an. Setelah khatam , seorang siak kecil mulai membaca kitab-kitab matan [8] dalam berbagai bidang dasar keilmuan. Setelah menamatkan kitab-kitab tersebut (dengan menghafalnya), seorang siak akan mempelajari syarah (komentar) matan-matan itu, mulai dari yang terendah hingga yang paling rumit. Kitab syarah ini ditulis dengan bahasa arab gundul, tanpa syakal dan tanpa tanda baca (titik maupun koma). Pengajaran kitab ini dengan cara dikte, dimana seorang ulama membacakan lafazd dan makna beriringan, saat itu sang murid mencatat makna di samping teks kitab dengan bahasa arab melayu. [9] Metode belajar kala itu ialah dengan berhalaqah , sekelompok orang siak mengelilingi seorang Syekh . Seusai belajar, orang siak akan mengulang pelajaran yang telah dibacakan dalam majelis tadi dengan seorang guru Tuo (guru bantu), yaitu seorang murid yang telah senior. Seperti keadaannya hingga tamat beberapa kitab. Beberapa surau besar biasanya membuka majelis khusus yaitu majelis debat. Dalam majelis ini guru tak lagi membacakan kitab, tapi seorang siak akan me muthala'ah kitab sendiri dan menganalisisnya, kemudian sesama orang siak mengadakan tanya jawab yang tak jarang berujung pada debat. Akhirnya ulama pemimpin majelis itu akan memberikan kata putus, menjelaskan hal ihwal yang diperdebatkan. [10] Majelis seperti ini biasanya dipakai untuk membahas kitab-kitab yang besar seupama Mahalli atau Mughni Muhtaj.

Setelah menyelesaikan pengajiannya di sebuah surau, seorang siak yang berkeinginan kuat akan melanjutkan pengajiannya di surau-surau lain. Ulama-ulama pemangku surau tersebut memiliki kemahiran yang berbeda-beda, dan surau- surau hingga awal abad ke XX dikenal memiliki spesialisasi keilmuan tersendiri. [11] Ketika menamatkan kaji di berbagai halaqah surau dengan berbilang ulama, seorang siak , untuk memantapkan ilmu sekaligus untuk menyempurnakan rukun Islam ke-lima, akan berangkat mengunjungi Mekkah, yang kala itu naik pamor, bukan hanya sebagai pusat ibadah, namun juga sentra keilmuan islam. Dengan sarana utamanya mereka berlayar ke Mekkah, ada dengan menaiki kapal uap, tak jarang mereka yang berkeinginan kuat berjalan kaki. Dari Minang terus ke tanah Batak, lalu Aceh, pantai Sabang, terus Pattani lalu ke Haramain . [12]

Mekah kala itu memang menjadi idola bagi setiap penuntut agama. Di Mekah, selain sebagai tempat beribadah, juga merupakan tempat bermukimnya para ulama dari berbagai penjuru dunia, dengan keahlian yang bermacam ragamnya. Sehingga posisi Mekah menjadi pusat intelektual terkemuka hingga paruh pertama abad ke XX. [13] Di sana orang-orang siak , seperti istilah Azra, menjalin koneksi intelektual, membentuk jaringan ulama kosmopolitan. [14] Ketika orang-orang siak tersebut pulang, mereka lantas terjun ke tengah masyarakat, mengajar lewat institusi Surau.

Ulama, disamping sebagai pemimpin sebuah surau, juga sebagai pemimpin masyarakat yang disegani serta dipatuhi. Kepatuhan lapisan masyarakat kepada sosok ulama memang menjadi kelaziman, terutama diabad-abad lalu. Sikap kharismatik yang terpancar dari intelektual yang dalam menjadi daya tarik sendiri bagi seorang malin , sehingga hal ini seakan menjadi bebauan yang semerbak. Tak jarang ada riwayat bahwa orang- orang siak sebelumnya rela berjalan kaki ber-km jaraknya, menuruni lurah serta mendaki perbukitan, melewati perkampungan atau hutan rimba negeri tak bertuan, hanya untuk mendengar sepatah atau dua patah kaji, namun itu sudah merupakan kepuasan yang tiada bandingnya. Ulama memang menjadi tumpuan dan idola, ketokohan mereka memang pantas setara dengan ilmuan yang mereka miliki, tinggi dan teruji, lubuk faham yang dalam. Lebih-lebih lagi bila seorang ulama terkemuka dalam Tarikat Sufi, niscaya berbondong-bondong masyarakat mendengar kaji, atau bahkan hanya ingin bertemu muka mengharap barokah , sebagai lazimnya dalam tradisi ahlussunnah , [15] cerminan pitua orang-orang tua bahwa orang alim itu Iduik tampek berkhaul, mati tampek bernazar. Kalaupun yang tinggal hanya makam yang berkelambu saja, namun sangat dihormati , diziarahi orang banyak tanda khitmah kepada ulama, sebagai agama yang diisyaratkan . [16] Perihal perihal ulama-ulama masa lalu, memang sulit mencari tipikal ulama saat ini yang menyamai kepribadian para alim terdahulu.

Transmisi keilmuan antara seorang ulama dan orang siak dalam lingkungan sangatlah kompleks, antara guru dengan seorang siak dijalin erat oleh adab (sopan santunan) yang begitu sakral, hingga anak guru juga dihormati layaknya guru meski usianya lebih muda. Adab berguru harus dipakai, dengan itupulalah ilmu tersebut akan mudah diperoleh. Bila suatu saat saja seorang murid bertindak buruk dengan gurunya, maka ilmunya tak akan barokah , begitulah konteks berguru ala surau, dan keadaan tersebut memang ditemui dasarnya dalam kitab. Apalagi dalam tradisi Tasawuf, yang menjadi prioritas sebahagian besar ulama-ulama Minang, hal ini lebih ketat lagi.

Dunia Melayu, nusantara termasuk di dalamnya Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya, merupakan wilayah yang kuat menganut Islam atas i'tikad Ahlis Sunnah wal Jam'ah dengan Mazhab Syafi'i serta ber-Tasawwuf lewat kearifan Tarikat-tarikat Sufi. Hal ini telah menjadi kenyataan sejak berabad-abad ketika Islam masuk ke daerah ini. begitu pulalah Minangkabau. Ranah Minang pernah menjadi pusat keislaman yang kuat menganut amal sunni dalam akidah, mazhab syafi'i dalam Syari'at dan Tarikat Sufi dalam Tasawuf. [17] Hal ini diperkuat oleh temuan manuskrip-manuskrip tua yang umurnya telah berabad-abad, yang mana kajian-kajian fiqih yang terdapat dalam lembaran-lembaran lama itu berdasarkan mazhab Syafi'i, kajian Tauhid berdasarkan Ahlussunnah dan kajian Tasawuf menurut jalur al-Ghazali dan al-Junaid. Berikut, Tambo-tambo lama yang ditulis tangan Arab Melayu, yang sangat kental dengan nuansa Islam, itu pun tidak terbertik satu fragmenpun yang dinisbahkan kepada ajaran selain Sunni . [18] Tidak ditemui bukti yang meyakinkan bahwa Minangkabau dahulunya pernah didonimasi ajaran lain, seumpama Syi'ah atau Mu'tazilah.

Kuatnya Mazhab Syafi'i di Minangkabau, disamping karena Mazhab Syafi'i disyaratkan oleh beberapa nash, unggul dari sumber dasar dibanding 3 Mazhab lainnya, [19] dipakai oleh Imam-imam ahli hadis- Fiqih dan Tasawuf terkemuka, [20] Mazhab ini juga sesuai dengan Adat Minangkabau, dengan artian tidak bertentangan. [21] Sehingga ketika terjadi sumpah satie Bukik Marapalam, deklarasi persenyawaan adat dan syarak di Lintau, disebut Syara' nan lazim, adat nan kawi, maka yang dimaksud Syara' menurut keterangan Syekh Sulaiman ar-Rasuli ialah agama islam dengan i'tikad Ahlussunnah wal Jama'ah dan Mazhab Syafi'i. Dipotong kerbau, dagiang dilapah, darah dicacah, tanduak dibanam ka tanah, dimulai jo fatihah disudahi jo do'a, sia nan malangga makan biso kewi, kaateh indak bapucuak, kabawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang . [22]

Keberadaan Ahlussunnah dengan Mazhab Syafi'i dan Tarikat Sufi yang telah menjadi pegangan ulama serta masyarakat Minangkabau sejak masa-masa yang panjang itu kemudian mulai terusik ketika munculnya gelombang pembaharuan di awal Abad XX. Sebelumnya , dalam sejarah yang populer bahwa di Minangkabau telah terjadi gerakan pembaharuan selama 2 periode, atau tepatnya 2 gelombang. [23] Yang pertama diawal abad XIX, dilancarkan oleh para Paderi. Kedua, di awal abad XX, sebagaimana yang kita bicarakan saat ini.

Ada satu hal yang harus diperhatikan mengenai gelombang pembaharuan pertama, yaitu perihal Paderi dengan faham Wahabi-nya sebagai diurai dalam banyak tempat di berbagai buku. Diantaranya bahwa gerakan Paderi tidak jauh berbeda dengan gerakan Wahabi; yang anti pati dengan segala hal yang berbau sufi; makam-makam keramat; dan satu hal bahwa Wahabi sangat gemar membid'ah -kan hal-hal tersebut telah menjadi tradisi dalam Ahlussunnah . [24] Hipotesa semacam ini (Paderi=Wahabi) memang dilontarkan oleh beberapa pakar, seumpama Prof. Pieter jan Veth, beliau mengungkapkan bahwa persamaan Paderi dengan Wahabi yaitu sama-sama dengan cara kekerasan. [25] Namun pendapat ini (Paderi=Wahabi) dibantah oleh Schrieke dengan alasan bahwa (1) Paderi tidak berlayar Ziarah ke makam-makam Ulama, (2) di masa Syekh Jalaluddin memulai perayaan Maulid dengan meriah, dan beberapa alasan lainnya. [26] Kenyataan ini juga diperkuat oleh analisa Hamka yang menyatakan bahwa ketiga Haji (pelopor Paderi) itu memang terpengaruh Wahabi, namun tidak mengikuti Hambali (mazhab-nya Wahabi). [27] Berikut schrieke berujar, pengikut Islam yang ketat bukanlah wahabi. [28] Hal ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa mereka, Tuanku Imam berikut Harimau nan Salapan adalah murid Tuanku Koto Tuo yang ber- Syathari dan ber-Syafi'i; para pasukannya terdiri dari orang-orang Tarikat, [29] riwayat Paderi yang sangat dekat dengan riwayat sufi- sufi, [30] hal makam-makam panglima Paderi yang diziarahi layaknya seorang ulama sufi nan Bertuah. [31] Maka pendapat bahwa Paderi memperoleh pengaruh Wahabi, tanpa menelan mentah-mentah wahabi adalah pendapat yang cukup otoritatif hingga saat ini, dan sulit dibantah. tanpa pengorbankan sunni yang telah berakar tersebut. Selama 10 tahun wahabi berdiam di Mekkah pada abad XIX tersebut, yakni dari tahun 1803-1813, [32] selama itu pula wahabi menuai kecaman dari para ulama masa itu akibat faham yang dibawanya bertentangan dengan amalan sunni yang telah lama dicabut, sudah puluhan bahkan ratusan buku yang ditulis buat anggota faham ini. diantaranya yang populer ialah karangan Sayyid Ahmad Dahlan, mufti Syafi'i kala itu, guru dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi dan Syekh Sa'ad Mungka, menulis ad-Durarus Saniyyah fi Raddi 'alal Wahhabiyah. [33] Kemudian Wahabi dapat dipukul mundur dari Mekah, pengikutnya lari ke Nejd. Kemudian Mekkah kembali dikuasai oleh para ulama sunni seperti sediakala. Saat itulah mulai berbondong-bondong orang-orang Melayu, diantaranya Minang, belajar ke Mekah.

Di awal abad XX, tangkapan muncul pergolakan dengan apa yang terebut dengan gelombang pembaharuan ke-2. Hadirnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda [34] di awal Abad ke- XX membawa warna tersendiri terhadap corak keislaman di Nusantara, Minangkabau Khususnya. Perdebatan panjang tersebut dimulai ketika munculnya kecaman para pembaharu [35] terhadap amalan dan tradisi keislaman yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga menyangkut ketidak absahan ajaran Tarekat yang dianut oleh kebanyakan Masyarakat Minangkabau waktu itu. Beredarnya risalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mengecam Tarekat Naqsyabandiyah membuat pertikaian kedua kelompok ini semakin banyak dan meluas kewilayah khilafiyah . [36]

Kaum Tua adalah mereka yang berpegang teguh pada faham lama, yaitu berittiqat dengan Ahlussunnah, bermazhab Syafi'i dan memakai Tarikat sebagai kearifan Tasawwuf. Latief (1988) mengemukakan bahwa ada 5 kategori dari Kaum Tua, yaitu;

(1) dalam bidang akidah mereka menganut Ahlussunnah wal Jama'ah yang dinisbahkan kepada Imam Asy'ary dan Abu Mansur al-Maturidi;

(2) dalam syari'at menganut Mazhab Syafi'i; Meyakinkan dan mempertahankan Tarikat-tarikat mu'tabarah; mempertahankan tradisi yang telah melekat dalam berbagai amalan agama. [37] Sedangkan Kaum Muda ialah mereka yang menghendaki perubahan dalam bidang keagamaan, baik itu furu (cabang) agama yang dinyatakan tidak sesuai dengan Islam, berikut tradisi-tradisi yang dianggap bid'ah dan khurafat. Sebenarnya sulit mengambil benang merah antara dua kelompok ini, sebab tidak ada tembok pemisah yang jelas antara 2 kelompok ini. Misalnya dalam bermazhab Syafi'i, bukan hanya Kaum Tua, sebahagian besar kaum Muda-pun mengaku mazhab Syafi'i. Dalam Masalah Qunut yang diperdebatkan kaum Muda, Dr. Abdul Karim Amrullah-pun menulis buku untuk membela Qunut, padahal beliau gerbongnya kaum Muda . Dalam urusan Ushalli , Syekh Bayang-pun tidak bersikeras mewajibkan Ushalli, padahal beliau salah seorang yang di- tuakan dalam kelompok Tuo. Mengenai Shalat Tarawih 20 rakaat, hampir tak ditemui persoalan mereka soal ini, menunjukkan bahwa antara kaum Tua dan kaum Muda tampak sehati tentang ini, baru kemudian Muhammadiyah yang mempopulerkan shalat Tarawih 8 rakaat setelah masuk ke Minang pada tahun 1925. Kalau dikatakan bahwa Inyiak Rasul penganut Muhammadiyah tulen, maka beliau pernah penganiayaan Muhammadiyah lewat buku Cermin Terus .

(3) Benar sebagai pengungkapan Baharuddin Rusli dan Latief bahwa istilah kaum Tua dan kaum Muda memang buatan orang luar. [38] Dikalangan sebagian Sarjana Belanda sering menjadi olokan, dikatakan bahwa kaum Tua itu de ouderwestsche orthodoxem (kaum ortodox kolot), [39] karena mereka –kaum tua- sulit dipengaruhi , sehingga disebut keras kepala. Sedangkan kaum muda disebut agama golongan modernisme .

(4) Namun demikian, pergolakan Kaum Tua dan Kaum Muda ini telah membawa perjalanan yang luar biasa bagi masyarakat Minangkabau khususnya. Ada segi negatif, ada pula positifnya. Negatifnya terjadinya perpecahan luar biasa dikalangan umat kala itu, sikap kafir mengkafirkan, saling menjauh, hingga ada yang bercerai suami istri hanya karena tak paham. Positifnya, dengan adanya pergolakan faham, membuat kedua kubu saling mendalami argumen masing-masing, membuka kembali kitab, dan menyemarakkan menggali pendapat sendiri dan pendapat lawan. Disamping itu, pergolakan ini telah melahirkan banyak karya intelektual yang luar biasa.

Dampak lainnya yaitu munculnya berbagai organisasi keagamaan yang menggiatkan diri dengan misi pendidikan dan sosial keagamaan. Diantaranya Ittihad Ulama Sumatera, Sabilatus Sa'adiyah, Sumatera Thawalib, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, PGAI dan sebagainya. Lahir pula Madrasah-madrasah. Ada juga yang menggunakan majalah-majalah sebagai media pengungkapan buah pikiran dan ide, bahkan sekali-sekali juga menjadi wadah polemik dengan lawan mereka yang dapat dibaca oleh khalayak ramai. Sehingga muncullah Majalah-majalah seperti al-Moenir yang diterbitkan pada tahun 1910 di Padang, al- Mizan, al-Achbar pada tahun 1919, al-Ittifaq wa Iftiraq, Soearti dan sebagainya. Demikian adanya.

Diantara dampak pergolakan intelektual ini, maka lahirnya karya tulis dari dua kelompok menjadi suatu hal yang menarik dan terasa penting. Karya tulis sebagai media penuangan ide dan gagasan sangat tepat bila dijadikan sebagai pangkalan untuk mengkaji keadaan agama Islam di awal XX. Disamping karena isi muatan yang jarang dapat disaingi oleh apa yang disebut ulama saat ini, kandungan serta gaya penarikan memang menjadi karakteristik yang khas bagi ulama-ulama di abad ini . tersebut.

 

 



[1] Hal ini juga didukung oleh kuatnya hubungan Adat dan Islam, tidak terpisah, sandar menyadar. Hal ini dapat dilihat dalam karangan-karangan adat, misalnya dalam sebuah karya sastra lama yang menyinggung filsafat Minangkabau, Datoeak Padoeko Alam Koto nan Ampek menutup uraiankaba- nya dengan ucapan:sabanyak-banyak pengajian, walau bak bintang di atas langit, atau bak air dalam laut, tidak lain bukan, maksudnyo Iman dan Islam. Lihat Datoeak Padoeko Alam Payakumbuh,RancakdiLabuah (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1919) hal. 61

[2] Untuk lebih lanjut baca misalnya Christine Dobbin,IslamicRevivalisminachargingPeasantEconomy:CentralSumatera1784-1847 diterjemahkanLilianD.Tedjasudhana,GejolakEkonomi,KebangkitanIslamdanGerakanPaderi:Minangkabau1784-1847(Depok:KomunitasBambu,2008 ) hal. 198-202; baca juga Syafnir Aboe Nain,Tuanku Imam Bonjol: SejarahIntelektualIslamdi Minangkabau 1784-1832 (Padang: Esa, 1993) hal. 35-41

[3] Sebelum Islam surau dikenal sebagai tempat pengemblengan ajaran Budha. Pada tahun 1386, Adityawarman mendirikan sebuah biaraBudhatempat belajar adaptasi yang sakral di Minangkabau, diantaranya yang masih tertulis dalam prasasti ialah nama Saruaso, yang berarti Surau Aso (surau asal/ utama). Syafnir Aboe Nain,op. cit., hal. 27

[4] Tim Redaksi,Ensiklopedi Minangkabau: Edisi Awal(Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau Sumbar, 2005) hal. 384

[5] Betapa besarnya pengaruh paderi tersebut, baca lebih lanjut Irhash A. Shamad dan Danil M. Chaniago,IslamdanPraksisKulturalMasyarakat Minangkabau(Jakarta: PKBI dan Tintamas, 2007) hal. 63-85; Muh. Radjab,PerangPaderidiSumateraBarat(Jakarta: KementerianPPdanK,1954); jangan lupakan Syekh Jalaluddin Cangkiang,Naskah Faqih Shahir 'AlamiyahTuankuSamiakSyekhJalaluddinAhmadKotoTuo. Terutamahal. 12-20; Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003) 72-80

[6] Bagindo ArmaidiTanjung,MerekayangTerlupakan:TuankuMenggugat(Padang:PusatakaArtaz, 2008)hal. 10-11

[7] Nama-namayang dikemukakannya ialah: (1) Surau Syekh Abdullah Khatib Ladang Lawas Bukittinggi, (2) Surau Syekh Muhammad Jamil Tungkar, (3) Surau Syekh Tuanku Kolok (Syekh Muhammad Ali) di Sungayang Batusangkar, (4) Surau Syekh Abdul Manan (Tuanku Talao) di Padang Gantiang – Batu Sangkar, (5) Surau Syekh Muhammad Shaleh Padang Kandis Suliki, (6) Surau Syekh Abdullah “Beliau Surau Baru” di Padang Japang – Suliki, (7) Surau Syekh Ahmad Alang Lawas – Padang, (8) Surau Syekh Amarullah – Maninjau. Mahmud Yunud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1982) hal. 51

[8] Yaitu kitab-kitab tipis yang berisi tentang suatu vak keilmuan secara global. Kitab-kitab ini biasa ditulis dengan bahasa Arab yang sederhana dan mudah dipahami, ditulis lengkap dengansyakal.

[9] Dalam filologi dikenaldenganistilahscholia.

[10] Majelis sepertiinipernah hidup di Jaho, tepatnya di MTI Jaho, dimasa kepemimpinan Buya H. Muhammad Dalil Dt. Manijun

[11] Spesialisasikeilmuan surau-surau awal abad XIX dapat dilihat pada mukaddimahNaskahSyekhJalaluddinFaqihShaghir,diantarayangdikemukakannya: (1)SurauUlakandikenaldenganilmuTarikat; (2)SurauTuanku Koto Tuo Kamang dikenal dengan ilmu Alat (Nahwu dan Sharaf); (3)Surau Tuanku Mudik Tampang dikenal dengan ilmu Mantiq dan Ma'ani; (4)Surau Sumanik dengan ilmu Tafsir, Faraidh dan Hadist; (5) Surau Tuanku diTalang dalam ilmu Sharaf; (6) Surau Tuanku di Salayo dalam ilmu Nahwu yangtiga. Selanjutnya ketika surau-surau ini telah berganti dengan Madrasah, kecendrungan untuk spesialisasi ini masih terasa, terdengar dari ucapan orang tua kalau MTI Candung dikenal dengan ilmu Fiqih-nya, MTI Jaho dan Tabek Gadang dengan ilmu Alat-nya, MTI Bayur dan MTI Lampasi dengan Tasawuf-nya, dan sebagainya

[12] Salah seorangdiantaranyaadalahSyekhAbdurrahmanKumango(w.1927)

[13] Tepat pada tahun 1925, Mekah dikuasai oleh tentara Ibnu Sa’ud dengan ideologi Wahabi-nya. Mulai saat itu mulailah turun intensitas Mekah sebagai pusat intelektual, yakni ketika ajaran Wahabi menjadi faham resmi pemerintahan Saudi, sehingga terjadi Wahabism di Mekkah yang banyak menyingkirkan posisi ulama-ulama sunni yang telah lama berakar.

[14] Catatan yang paing otoritatif hingga saat ini ialah Azra. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2005) terutama hal. 51-78; lihat juga Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia oleh Martin van Bruinessen (Bandung: Mizan, 1995), terutama bagian judul Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang nusantara naik Haji.

 

[15] Banyak nash yang menjelaskan tentang sikap menghormati ulama, diantaranya disebutkan dalam kitab Irsyadul Ibad, hadist marfu’:Terjemahannya:

Muliakanlah ulama karena mereka sebagai pewaris para Nabi. Maka siapa yang memuliakan mereka berarti telah memuliakan Allah dan Rasul-Nya. (HR. Ibnu Asakir) lihat lebih lanjut Syekh Zainuddin al-Malibari, Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad (Semarang: Thaha Putra, t. th) hal. 7-8; Imam Abi Hamid al- Ghazali, Ihya Ulumiddin (Surabaya: Dar an-Nasyr al-Mishriyah, t. th) Juz-I hal. 5-9

[16] Mengenai Ziarah makam Ulama, lihat misalnya Syekh Zainuddin al- Fathani, Kasyful Ghaibiyah (t. tp: Maktabah Dar as-Salam, t. th) hal. 39-41; lihat juga Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Syawahidul Haq fil Istighatsah bi Sayyidil Khalaq (Beirut: Dar Fikr, 1983) hal.59-74

[17] Lihat misalnya Hamka, Mazhab Syafi’I di Indonesia dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) hal. 320-325; Martin van Bruinessen, op. cit., terutama hal. 18-20 dan 112-130; KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqat Ahlussunnah wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000) hal. 34-35; KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’I (Jakarta: Pustaka Tarbijah, 1972) hal. 218-267; Azyumardi Azra, Jaringan…, op. cit., dalam karya ini Azra menjelaskan jaringan Ulama yang notabenenya bermazhab Syafi’I dan bertasawuf Sunni di Nusantara; Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Kitab Menerangkan Perkembangan Agama Islam Semenjak Dahulu dari Syekh Burhanuddin sampai ke zaman kita sekarang (manuscript) terutama bagian mukaddimah; Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Risalah Mizan al-Qalb (Manuskript) hal. 71-76

[18] Dapat kita telusuri, misalnya dalam Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau: Suntingan Teks disertai Analisis Struktur (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) terutama bagian uraian naskah dan suntingan teks; Zuriati, Undang- undang Minangkabau dalam Perspektif Ulama Sufi (Padang: Universitas Sastra Universitas Andalas, 2007) hal. 106-129 dan 161-269; Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau (Bukittinggi: Pustaka Indonesia, 1985); lihat pula M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau (Jakarta: Bulan Bintang, 1957) hal. 23 dst…

[19] Lihat perbandingannya dalam KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah…, op. cit., hal. 92-104

[20] Baca Mohamad Nor, dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Majid 1904- 1997 (Jakarta: Logos, 2004) hal. 213-214. Sehingga Imam Suyuthi, seorang Ulama besar dan pengarang masyhur, mengubah sebuah Sya’ir sebagai berikut:

Terjemahannya:

Sesungguhnya Ibnu Idris (Imam Syafi’i) sangat tepat dan meyakinkan, Ilmunya bersih tidak diragukan,

Dia keturunan bangsa Quraisy

Tuan rumah lebih mengetahui (isi rumahnya).

 

[21] Syekh Khatib Ali, Burhanul Haq Radd ‘ala Tsamaniyah Masa’il al- Jawab min Su’alis Sa’il alQathi’ah al-Waqi’ah Ghayatut Taqrib (Padang: Pulo Bomer, 1918) terutama bagian I’lan

[22] Baharuddin Rusli, Ayah Kita (Stensilan, 1978) hal. 30-31. Ada beberapa versi pendapat mengenai Sumpah Bukik Marapalam ini. Namun keterangan Syekh Sulaiman nampak jarang dibicarakan, padahal beliau memiliki cacatan tertulis mengenai kejadian Sumpah Satie tersebut. Wasiat inyiak Canduang itu bertahun 1964 (sebelum beliau wafat, dalam usia 99 tahun), dimana beliau menerima riwayat Sumpah Satie itu dari tiga orang terkemuka diabad XIX, yaitu: (1) Tuanku Lareh Kapau nan Tuo; (2) Nenek dari mertua beliau di Ampang Gadang dan (3) Angku Canduang nan Tuo. Copy teks tersebut dapat dilihat dalam Hamdan Izmi, Pertalian Adat dan Syara’ (Jakarta: Ciputat Press, 2000) halaman terakhir; transliterasinya dalam Duski Samad, op. cit., hal. 87-89

[23] Baca Hamka, Islam dan Adat Minangkabau (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984) hal. 150 dan 156-158; Burhanuddin daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995) hal. 49-58; Irhash A. Shamad dan Danil M.Chaniago, op. cit., hal. 63, dst…

[24] Lihat Irhash M.Shamad, op.cit., hal. 70-72; Haedar Nashir, Menyibak Purifikasi Islam Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao (Makalah Seminar Tuanku Rao) dalam Marjohan, op. cit., hal. 39-52. Mengenai sejarah dan faham keagamaan Wahabi, lihat misalnya KH. Sirajuddin Abbas, I’tikad…, op. cit., hal. 309-332, lihat juga Syekh Yusuf an-Nabhani, op. cit., hal. 29-48

[25] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-XIX (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 35

[26] Baca ibid., 33-36; Schrieke, op. cit., 17-18

[27] Lihat Hamka, Antara Fakta…, op. cit., hal. 37-41

[28] Schrieke, op. cit., 18; lihat pula Mestika Zed, Tuanku Rao: Riwayat Hidup Tokoh Paderi di Kawasan Utara Minangkabau dalam Marjohan, op. cit., hal. 137-143

[29] Seperti Kumpulan Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi (w. 1914), guru besar Tarikat Naqsyabandiyah di Sumatera Tengah. Diusia mudanya merupakan salah satu pasukan Paderi, padahal beliau telah menjadi Syekh Naqsyabandi yang diterimanya dari Syekh Muhammad Sa'id Padang Bubus. Beliau wafat pada awal abad XX dalam usia yang sangat tua, 150 tahun. Lihat Syekh Sulaiman Tuanku Saidina Ibrahim,Sejarah Ringkas Maulana Syekh Ibrahim al- Khalidi Kumpulan (cetakan stensilan, Kumpulan 2006)

[30] Hal ini terlihat jelas dalam NaskahFaqihShaghir

[31] Misalnya Makam Tuanku nan Garang di Pandai Sikek, Haji Piobang di Payakumbuh dan Tuanku nan Garang di Harau, masyarakat mereka dikenal Tuanku nan Renceh inilah populernya mantera-mantera berbahasa Minang yang kental unsur Islamnya.

[32] KH. Sirajuddin Abbas,I'tiqat…,op.cit.,hal. 313

[33] Lihat SayyidAhmadZaini Dahlan,ad-Durarus Saniyyah fi Raddi 'alal Wahhabiyah (Turki: Hakikat Kitabevi, 2002). Didalamnya dibeberkan segala faham ganjil-ganjil Wahabi disertai komentar beliau. Sayyid Ahmad Zaini juga mengarang satuscripyang sama. Lihat Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,Fitnatul Wahhabiyyah(Turki:Hakikat Kitabevi, 2001)

[34] Penamaan inisesuaidengan faktor usia diantara dua kelompok ini. Dikatakan Kaum Tua karena di antara tokoh-tokohnya kebanyakan adalah yang sudah berusia lanjut. Dinamai kaum muda karena usia bereka umumnya masih muda belia. Lihat Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib ,Mizan…, op. cit.,hal. 77-95

[35] Para pembaharutersebutmerupakanulama-ulamamudayangterpengaruholeh pembaharuan ide-ide alaRasyidRidho,MuhammadAbduh,Ibnu Taimiyah dan lainnya. Mereka gencar melakukan perubahan terhadap sistemlamadenganmenyerapberbagaiidemodern,baikdibidangpendidikan,politik,sosialdansebagainya. Merekajugaberusahamengubahtradisidanamalanyang tidak sesuaidengan kesabaranmereka, bahkan sekali-kali juga dengan cara radikal. Maka terkenallah nama-nama pelopor pembaharuan tersebut seperti DR. Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul, ayah Hamka) dan DR. Abdullah Ahmad, keduanya dihadiahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas al-Azhar. Juga masyhur nama-nama seperti Zainuddin Labay el- Yunusiah, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Inyiak Adam Balai-balai, Syekh Abbas Abdullah Padang Japang, Syekh Muhammad Thaib Umar Sungayang dan lainnya

[36] Risalah tersebut merupakan tulisan pertamayangmeragukankreadibilitas Tarekat Naqsyabandiyah, yang ditulis sebagai Jawaban ataspertanyaantentangTarekat Naqsyabandiyah.

[37] M. Sanusi Latief,op. cit.,hal. 135

[38] Baharuddin Rusli,op. cit.,hal. 49; M. Sanusi Latief,op. cit.,hal, 131; lihat pula Mhd. Nur,Gerakan Kaum Sufi di Minangkabau(Skripsi, PPS Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1991) hal. 49 dst…

[39] Lihat Schieke,op. cit.,57

0 Comment