22 Februari 2023

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADITS NABI SAW                   

Orientalis secara khusus (sempit), adalah suatu paham ajaran atau penelitian orang-orang Barat tentang dunia Timur yang Islam, yang meliputi bahasa, agama (iktikad dan syari'at), kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan aspek-aspek lainnya dari kehidupan umat islam.

Berdasarkan berjalannya waktu, banyak pemikir barat intelektual yang mengkaji ilmu keislaman pada para ulama yang berada di Timur Tengah seperti Ignaz Goldzihe dan Joseph Schacht. Ignaz Goldziher adalah salah satu dari sekian banyak pemikir Barat yang mengkaji Islam namun memandang Islam dari segi kacamata Barat. Ignaz Goldziher mempelajari tentang hadist pada sejumlah. ulama Al-Azhar. Goldziher membuat buku yang berjudul Muharninedanische Studen (Studi Tentang Hadis-hadis Nabi Muhammad). Goldziher mengkritik bahwa hadist yang dikatakan bersumber dari nabi adalah tidak benar, tokoh hadist Ibnu Syihab Al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan oleh khalifah Umawiyyah yakni Abdul Malik bin Marwan untuk membuat hadist palsu yang secara politik berpihak kepada penguasa Umawiyyah, Goldziher juga tidak mempercayai kebenaran metodologi dan cara penulisan pembukuan hadis yang menurut ulama sudah dilakukan sejak abad ke dua hijriyah oleh Umar bin Abdul Aziz.

Disamping itu juga muncul tokoh orientalis kedua yaitu Joseph Schacht yang pada usia 21 tahun telah memperoleh gelar doktor di Universitas Berslaw. Karya nya yang terkenal yaitu The Origin of Muhammad Yurisprudence yang terbit pada tahun 1960. Di dalam buku ini Schact mengkritik hadist Nabi diantaranya yaitu, isnad atau pemakaian sanad pada hadist merupakan findakan yang tidak akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka (semena-mena), menurut penelitiannya terhadap kitab “al-muwwattha' Imam Malik tidak ditemukan sanad pada buku tersebut dan masih banyak lagi yang akan penulis bahas pada Bab Pembahasan mengenai kritikan Schacht terhadap hadist Nabi SAW.

Kritikan hadist dari dua orang orientalis ini ditanggapi oleh ulama Hadis, yakninya tuduhan Ignaz bahwa bagian terbesar dari hadist adalah catatan ulama pada abad kedua hijriah. Tuduhan itu muncul karena Ignaz melihat kodifikasi hadist baru terjadi di akhir abad pertama pada awal abad kedua di masa khalifah Abdul Aziz. Dia beranggapan apa yang dibukukan ketikan itu adalah catatan sejarah yang dibuat sahabat. Kemudian tanggapan Ulama terhadap Schacht adalah tuduhan Schacht terhadap naskah kuno kitab "al-muwattha' " itu merupakan naskah asli dari kitab tersebut, tidak ada dasarnya sama sekali, sebab kita tidak dapat memastikan bahwa Schacht pernah menemukan kitab "al ­muwattha' " yang langsung ditulis oleh Imam Malik.

Kekeliruan besar yang dialami Goldziher dan orang-orang yang sepaham dengannya ialah karena mereka menganalogikan kehidupan manusia Barat pada kehidupan ulama-ulama islam.2

B. Pembahasan

1. pengertian Orientalis

Orientalisme, adalah kata majemuk yang terdiri dari kata: oriental dan istne. Menurut etimologi, kata oriental berasal dari bahasa Romawi orient, yang secara literal berarti "timur", secara geografis bermakna "dunia belahan timur", dan secara etnologis bermakna "bangsa-bangsa timur". Selanjutnya kata orient diserap dari bahasa Inggris dan Belanda, dengan ejaan yang sama. Tambahan al di belakangnya, menunjukkan kata tersebut berfungsi sebagai adjective. Dalam hal ini, artinya adalah hal-hal yang bersifat Timur, berkaitan dengan bangsa dan negara yang terletak di Timur. Kata isme, secara etimologis berasal dari bahasa Belanda, artinya suatu paham, ajaran, aliran atau sikap".[1]

Dengan demikian kata orientalisme dapat diartikan, suatu paham, ajaran atau aliran yang membicarakan hal-hal berkaitan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa Timur, dengan segenap aspeknya. Secara geografis dan etnografis, pengertian Timur adalah negara-negara dan bangsa-bangsa yang berada di Benua Asia (Asia Barat Daya, Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur) dan Afrika (Afrika Utara, Tengah dan. Selatan).[2]

Orientalis adalah istilah yang digunakan untuk seseorang yang ahli tentang hal­hal yang berkaitan dengan tirnur atau yang Bering disebut dengan ahli ketimuran.[3]

Orientalisme secara umum (luas) adalah suatu paham, ajaran atau penelitian orang-orang Barat tentang dunia Timur, yang meliputi semua bahasa, agama, kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan aspek lainnya dari kehidupan bangsa- bangsa Timur.

Orientalisme secara khusus (sernpit), adalah suatu paham ajaran atau penelitian orang-orang Barat tentang dunia Timur yang Islam, yang meliputi bahasa, agama (iktikad dan syari'at), kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan aspek-aspek lainnya dari kehidupan umat islam.

Secara literal, kata orientalis menunjukkan subjek, pelaku atau orang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan "Timur", biasanya disingkat dengan "ahli ketimuran". Akan tetapi karena berdasarkan sejarah munculnya disiplin ilmu ini lebih ditekankan kepada penyelidikan atau studi orang-orang Barat,, pengertiannya ditambahkan menjadi, sarjana-sarjana Barat yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur.

Untuk mendapatkan pengertian yang agak lengkap, berikut dikutipkan defenisi dari Ali Husni al-Kharboutly, dalam bukunya Al-Isytisyroqfi Tarikh al-Islan2y sperti dikutii) H. Abidin Ja'far mengatakan


Orientalis yaitu sarjana Barat yang mementingkan studi soal-soal ketimuran

Dalam terminology yang umum, kata orientalis ditekankan pemahamannya kepada orang-orang Barat yang mempelajari agama dunia Timur. Akan tetapi dalarn perkembangan dewasa ini, penekanan kepada orang-orang Barat Baja sudah sukar dipertahankan, karena orang-orang Timur yang non islam pun dewasa ini juga

mencurahkan perhatian dan waktunya untuk studi Islam seperti orang-orang Jepang, Filiphina dan sebagainya. Oleh sebab itu sebagian ilmuan yang moderat menggolongkan orang-orang Asia non Islam yang ahli dan mencurahkan perhatiannya kepada masalah keislaman tersebut, juga dikategorikan dengan orientalis. Akan tetapi halos diakui, sebutan orientalis bagi kelompok ini tidaklah populer.

Sarnpai disini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orientalis ialah orang-orang barat non muslim yang melakukan kajian penelitian terhadap, sosial kehidupan orang-orang Timor yang meliputi kehidupan beragama, berpolitik, berbudaya dan lain-lain. Lebih khusus lagi dalam hal hadist Nabi yang diyakini oleh umat islam, sebagai dasar penetapan hukum.

Banyaknya pare ilmuan barat yang mengkaji tentang kehidupan orang-orang timur meliputi hadist Nabi, make pada kesempatan kali ini penulis hanya membahas due orang orientalis dalam memandang hadist yang pada akhirnya men.akritik hadist Nabi SAW,

2. Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht Terhadap Hadits

a. Ignaz Goldziher (1850-1921 M)

Ignaz adalah tokoh orientalis Yahudi dari Hungaria yang dilahirkan, pada tahun 1850 M. la belajar di Budhapest, Berlin dan Leipzig. Dalam usia 12 ia telah menunjukkan kekuatan intelekLualnya dengan keberhasilannya menulis risalah mengenai asal usul dan Nvaktu yang tepat untuk sembahyang bagi umat Yahudi. Dan dalam usia 19 tahun ia telah mendapatkan gelar doctor. Tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajar bersama Syekh Thahir al-Jaziri. Kemudian ia pergi ke Palestine dan Mesir juga dalam rangka belajar.

Di Mesir ia belajar kepada sejumlah ulama al-Azhar, dan beberapa tahun kemudian ia pulang dan diangkat sebagai guru besar di Budhapest. Hasil penelitiannya di bidang keislaman banyak yang dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis, balikan ada yang dipublikasikan dalam bahasa Arab. Hasil karyanya di bidang hadis yang dipublikasikan pada tahun 1890 ialah yang berjudul "Muhammedanische Studen" (Studi tentang hadis-hadis Nabi Muhammad). Buku ini berisi kritikannya terhadap hadis Rasulullah dan menjadi rujukan bagi peneliti orientalis sesudahnya. Di antara kritikannya terhadap, hadis ialah:


a) Bahagian terbesar dari hadis yang dikatakan bersumber dari Nabi adalah tidak benar.

Catatan-catatan itu hanya merupakan jerih payah umat islam pada mesa keemasan sebagai dolcumen atas kemajuan yang dicapai di bidang agama, sejarah dan sosial. Pada seat sesudahnya terjadi ketegangan antara Dinasti Umawiyyah dengan Ahlul Bait di Madinah (ulama yang takwa). Mereka ini memerangi kelompok pemberontak Umawiyah dengan membuat hadis sebanyak-banyaknya yang memojokkan dinasti pengacau. Sebaliknya Umawiyyah pun melakukan hal yang same. Oleh karena itu hadis-hadis yang


Janganlah kamu melakukan perjalanan kecuali menuju tiga mesjid: Masjidil Hot-am, jVfasjidku ('Vabawi) dan Masjid Magdis (al-Aqsa)" (HR.al-Bukhari).

Kata Goldziher, 'Abdul al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang Syam yang pergi haji ke Makkah itu melakukan baiat kepada 'Abdullah bin al-Zubair. Karena itu is berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Oubbah al Shakhra di Qudus (Jerusalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Makkah.


Tuduhan Ignaz tersebut berdasarkan kepada kenyataan bahwa al­zuhri itu adalah teman baik Abdul Malik bin Marwan dan tergolong ulania yang dekat dengan penguasa, dan hadis yang berasal dari sanad al-Zuhri tentang keutamaan Baitul Maqdis itu hanya berasal dari al-Zuhri, tidak ada sanad lain yang dilalui hadis tersebut.


c) Goldziher tidak mempercayai kebenaran metodologi dan cara penulisan atau pembukuan hadis yang menurut ulama sudah dilakukan sejak abad ke dua hijriyah oleh Urnai bin Abdul Aziz. Hal ini di ungkapkannya dalam bukunya "Saudi Islam" dengan alasan bahwa somber hadisnya ditemukan beredar di kalangan umat Islam tidak dapat diyakini sebagai yang bersumber dari Nabi. "'


Maksudnya, menurut Goldziher, "Pada fase awal di mana ketegangan memuncak terjadi antara Umawiyah dan kelompok ulama yang takwa maka untuk memerangi kebejatan dan kebobrokan yang merajalela, para ulama yang takwa itu membuat hadits-hadits yang mernuj a ahlul bait. Ini secara tidak langsung bertujuan untuk memukul Umawiyah.


Dalam waktu yang sama, pemerintahan Umawiyah menurut Goldziher tidak mau tinggal diarn bahkan melakukan hal serupa dengan terra yang berlainan untuk mendukung pendirian mereka. Untuk tujuan ini penguasa berhasil merangkul sekelompok ulama untuk memenuhi keinginan mereka. Bahkan menurut islamolog asal yahudi ini, praktik memalsukan hadits (wadh'id-hadist) ini tidak hanya terbatas dalam linglcup politik saja, bahkan juga me-masuki "kawasan" religi, seperti melakukan perubahan-perubahan dalam ibadah sehingga tidak sesuai dengan praktik penduduk Madinah."


b) Tokoh hadis Ibnu Syihab al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan oleh kalifah Umawiyyah, Abdul Malik bin Marwan, untuk membuat hadis palsu yang secara politik berpihak kepada penguasa Umawiyah.

 

dari hafalan, sebab hadist tidak ada yang ditulis di masa Rasul dan Sahabat. Ia tidak percaya terhadap keakuratan hafalan sahabat terhadap hadis.

Ketidakpercayaannya dibuktikan dengan banyaknya hadis yang redaksinya berbeda beda bahkan bertentangan. Pertentangan juga terjadi pada maknanya yang sulit untuk dipertemukan kecuali mengorbankan sebagian yang dianggap tidak dari Nabi. Hal ini nienunjukk-an bahwa hadist itu merupakan karya sahabat dan tabiin yang mereka boat untuk kepentingan fatwa, politik dan lain-lain.

b. Joseph Schacht (1902-1969 M)

Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902. la memperoleh gelar sarjana tingkat pertama di Universitas Prusia. Pada tahun 1923 dalam usia 21 tahun ia telah memperoleh gelar Doktor di Universitas Berslaw. Ia pernah belajar bahasa Arab di Universitas Fuad Awal (sekarang sudah menjadi Universitas Kairo) dan tinggal disana sampai tahun 1939. Setelah itu ia pindah ke Universitas Leiden Belanda, tahun 1959 pindah ke New York.


Ia memiliki beberapa bidang kajian, tetapi yang lebih menonjol di bidang hulcum dengan karyanya yang berjudul "The Origin of Muhammad Yurisprudence" yang terbit pada tahun 1960. Dalam buku ini ia menulis beberapa kritikan terhadap hadist Nabi, di antaranya bahwa isnad atau pemakaian sanad pada hadist merupakan tindakan yang tidak akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka (semena-mena) terhadap hadist Nabi yang digerakkan oleh kelompok Islam yang menghubungkan teorinya kepada tokoh-tokoh (sahabat atau tabi'in masa lalu) dengan harapan teorinya dipercaya dan diterima. Menunitnya, berdasarkan penelitiannya terhadap kitab al-Muwattha' Imam Malik, al­Muwattha' Syaiban dan kitab al-Umm Imam Syafi'i, tidak ditemukan sanad pada ketika buku tersebut. Padahal buku-buku itu merupakan rujukan bagi peneliti hokum dan hadis.


Menurut Schacht, dalam kitab al Muwattha ada hadist yang putus sanadnya, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam bin Urwah, dari Ayahnya, bahwa Umar bin Khatab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah jum'at, membaca ayat sajadah (ayat dimana pembaca dan pendengarnya disunahkan sujud), maka beliau turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang­orang ikut sujud juga. Pada hari jum'at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu, sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat hal itu beliau berkata, "Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat sajadah kecuali apabila kits matf. Berdasar hal itu, beliaupun mencegah mereka bersujud.


Sedangkan, menurut Schacht dalam kitab sbahih al-Bukhari terdapat sanad yang bersambung, dan dalam naskah kuno kitab al-muwattha' terdapat kata-kata "dan kami bersujud bersama Umar", dan kata-kata ini tidak pernah diucapkan urwah, hanya dianggap bahwa itu ucapannya. Kenyataannya, inilah teks asli kitab al-muwattha'. Keadaan ini adalah bukti bahwa "pembuatan" teks hadist sudah ada


lebih dahulu, kemudian bare dibuatkan sanadnya, sehingga hadits itu disebut berasal dari masa Silam.


3. Kritik Terhadap Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht Menurut Para Ulama

1) Tanggapan Ulama terhadap Ignaz Goldziher

Goldziher menuduh bahwa sebagian terbesar dari hadist adalah catatan sejarah tentang hasil kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, politik, dan social pada dua abad pertama hijriah. Tuduhan ini secara historis dan de facto tidak beralasan.


Tuduhan itu muncul karena. Ignaz melihat kodifikasi hadits bare terjadi di akhir abad pertama dan awal abad kedua di masa Khalifah Abdul Aziz. Dia beranggapan apa yang dibukukan ketikan itu adalah catatan sejarah yang dibuat sahabat. Di masa Nabi hadist tidak ada. yang dibuk-ukan karena ada larangan dari Rasul, sehingga tidak diterima akal kalau yang mereka tulis seabad kemudian adalah hadist yang bersumber dari Nabi.


Secara historis tuduhan itu palsu tidak ada bukti yang kuat untuk membenarkannya, sebab:

1.      1. Rasulullah wafat setelah bangunan agama Islam benar-benar sempurna, dengan selesainya Kitabullah dan sunnah Nabi saw. sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an dalam surat al-Madinah ayat 3:


"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu aganiamu dan telah Ku cukupkan kepadfanm nikmat-Ku, dan kelak Ku-redai Islam itu agamanw. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja herbuot dosa, sesungguhnya A Hah Mafia Pengampunan lagi Mafia Penyayang". 19

2.1. Pelarangan menulis hadits di Masa Rasulullah dapat dibenarlan, tetapi Rasulullah juga menyuruh sebagian sahabat tertentu untuk memelihara hadist melalui catatan. Para sahabat pernah memberikan laporan kepada Rasulullah bahwa Amar menulis semua ucapan Rasul ketika Marah padahal tidak ada hubungannya dengan syara' dan pembelajaran.

Mendengar laporan itu, Rasul berkata:

Hadist ini bukti bahwa Nabi juga menyuruh sahabat yang pandai menulis supaya menulis hadist itu. Bagi sahabat yang tidak ahli dalam menulis dilarang melak-ukannya, karena khawatir banyak kesalahan yang merubah makna. Oleh karena itu banyak sahabat yang memiliki catatan hadist yang mereka dengar dari Rasulullah, seperti Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari (w.78 M). la memiliki catatan hadist tentang manasik haji dan kemudian diriwayatkan oleh Muslim, Abu Hurairah al-Dausi (w.59

H). la memiliki catatan hadist yang dikenal dengan al-shahifiah al­shahihah. Hasil catatannya diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.


3.1. Sahabat diketahui memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Mereka mampu menghafal ribuan hadits yang mereka terima dari Nabi. Kegiatan menghafal sudah merupakan budaya orang Arab yang mereka wariskan dari dulu- Bangsa Arab sebelum Islam Bering melakukan perlombaan baca syair tanpa teks, karenanya mereka telah terbiasa dan terlatih mengahafal termasuk kemudian menghafal hadist. Mereka Bering berdiskusi mernbetulkan hapalan hadist yang meraka terima, karena khawatir terjadi kesalahan dalam meriwayatkan.


Golziher mengatakan, "   maka untuk memerangi kebejatan dan kebobrokan yang merajalela, para ulama yang takwa itu membuat hadist yang memuji ahlul bait. ,


Ungakapan semacam ini hanya muncul dari orang-orang yang belum mengetahui kepribadian ulama kita. Jangankan berdusta terhadap Rasul SAW, dalam kehidupan mereka sehari-hari pun sang-at keras dalam membasi dusta. Saking tegasnya mereka terhadap dusta ini, sebagian mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dusta adalah kafir hares dibunuh dan tidak diterima tobamya.

Tuduhan bahwa al-Zuhri sengaja membuat hadist tentang perjalanan ke tiga masjid untuk memperkuat kekuasaan Khalifah Abdul Malik dengan alasan bahwa al-Zuhri dekat dengan Abdul Malik adalah KELIRU disebabkan:

a)    Pada waktu itu al-Zuhri berumur antara 10 sampai 18 tahun. Rasanya tidak logic apabila seorang anak semuda itu sudah populer dikalangan ilmuwan di luar lingkungannya sendiri, sehingga mereka tunduk hanya karena is mampu meniadakan kewajiban ibadah haji yang sudah diterangkan berates-rates kali baik dalam Al-Qur'an maupun hadist­hadist Nabi SAW.

b) Sulit diterima jika al-zuhri yang tact kepada agamanya mau menjual agamanya untuk kepentingan politik penguasa.

c)   Tuduhannya yang mengatakan bahwa hadits tentang perjalanan menuju tiga masjid itu hanya dari sanad al-zuhri, juga tidak benar karena ternyata selain al-zuhri terdapat 19 perawi yang meriwayatkan hadis itu. Diantaranya yaitu"Abd al-Malik bin 'Umair, Qasim, Qatadah, Ibrahim bin Sahl, Qushaim, Mujalid, 'Abd al-Hamid, Laits, 'Abd al­Malik bin 'Umair, Aban bin Tsa'labah, 'Abd al-Malik, Yazid bin Abu Habib, Hisyam, Salamah bin Kuhail, Yazid bin Abu Maryam, Muhammad bin Ibrahim, Muhammad bin `Amr, al-Zuhri.

d) Tuduhannya abdul malik memerintahkan haji di Quba al-syakhra' di camping masjid al-Maqdis Yerusalem sebagai pengganti Ka'bah di Mekkah sangat sukar dipahami, karena Qubah itu selesai dibangun tahun 1972, sedangkan tahun itu Mekkah sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan bani Umaiyah dan Zuber pemimpinan di Mekkah telah wafat tahun itu juga. Matra kekhawatiran terjadi bai'at umat jamaah haji kepada Zuber di Makkah sangat tidak beralasan.

2) Tanggapan AM Hadist terhadap Joseph Schacht

Sanggahan terhadap kritikan ini adalah, bahwa bagaimanapun juga, tuduhan Schacht terhadap naskah kuno kitab al-muivattha' itu merupakan naskah asli dari kitab tersebut, tidak ada dasarnya sama sekali, sebab kita tidak dapat memastikan bahwa Schacht pernah menemukan kitab al-mznvattha'yang Ian.-sung ditulis oleh Imam Malik. Sebenarnya, orang yang mengetahui bahasa dan tulisan Arab kuno akan segera mengetahui bahwa kekeliruan itu berasal atas kesalahan penulis naskah dimana is lupa menulis huruf "sin" dalam kalimat sehingga kalimat itu akhirnya berbunyi          

Selanjutnya, apabila masalah ini seperti yang dituduh Schacht, yaitu ada pemalsuan teks hadis lebih dahulu diiringi pemalsuan sanad kemudian, kalau itu benar, maka siapa yang memalsukan? Apakah Malik atau Hisyam bin Urwah? Sedangkan menurut penilaian umum, kedua orang itu adalah orang yang cerdas dan tidak logic jika hal itu mereka lakukan.

 

Menurut Schacht, contoh lain pemalsuan sanad terdapat dalam kitab al- uhint karya Imam Syafi'i. Kata Schacht, ada tiga riwayat dari Ali tentang masalah shalat di atas kubur termasuk bid'ah yang muncul di Iraq. Tetapi hal itu justru tidak tersebar di Iraq, begitu juga di Madinah. Meskipun dalam hal itu, ada hadist Nabi dimana dalam sanadnya terdapat nama. putera-putera Sahl yang sengaja dipakai untuk kepentingan tersebut. Hadist itu adalah mursal. Kemudian pada masa belakangan, sanad tersebut diperbaiki dan disempurnakan, yaitu dengan memasukkan nama sahl di dalamnya dan dengan membuat sanad-sanad lain yang berasal dari sahabat-sahabat lain. Sanggahan terhadap kesimpulan Schacht ini adalah:

a)     Disini jelas bahwa Schacht telah melakukan kekeliruan, karena riwayat dari Ali itu hanya ada satu, bukan tiga sebagaimana dikatakan Schacht.

b)     Apabila shalat di atas kubur merupakan bid'ah yang terjadi di Iraq, kemudian untuk mendukung itu, orang-orang membuat hadist palsu baik di Iraq maupun di Madinah, maka kenapa hal itu justru tidak tersebar di Iraq maupun di Madinah.

c)        Bagaimana mungkin orang-orang di Iraq membujuk orang-orang di Madinah untuk sama-sama membuat hadis palsu, padahal rang-orang Madinah wring berbeda pendapat dari orang-orang Iraq, bahkan melawannya.

d)        Penelitian Schacht terhadap tiga buku yang menurutnya adalah buku tentang Hadis Nabi (al-muwattha' Imam Malik la-muwattha' Syaibani dan al-Umm Imam Syafi'i) adalah tidak tepat bila dijadikan objek penelitian hadis, karena.

ketiga buku ini bukan buku hadis melainkan buku. fiqh. Kebanyakan buku Fiqh saat itu tidak menuliskan sanad pada hadis yang mereka kutip untuk mempersingkat bahasan karena yang menjadi fokus mereka adalah matannya yang mengandung hukum.

Berdasarkan sanggahan di atas, para ulama sebenarnya sudah melakukan penelitian terhadap hadis diatas, dan mereka menemukan kesalahannya. Dari jalur sanad itu sendiri mereka menilai hadis itu mursal, bukan muttashil. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa para u.lama dalam menemukan suatu masalah adalah berdasarkan keadaan masalah itu sendiri. Apabila mereka menemukan matan hadis yang shahih, sedang sanadnya tidak shahih, maka mereka tidak akan menerima matan hadis tersebut berdasarkan sanadnya. Namun mereka dapat saja menerima matan hadis itu melalui jalur sanad lain, dan ini tentu sangat rumit.

Tuduhan Schacht bahwa Ibnu Sirin mengatakan penelitian hadis baru mulai tahun 126 H, sangat tidak masuk akal karena Ibnu. Sirin sudah wafat tahun 110 sehingga tidak mungkin ia mengomentari hal-hal yang terjadi pada tahun 126 H. Menurut sejarah fitnah dalam islam baru terjadi masa Ali bin Abi Thalib bukan masa al-Walid bin Zaid.

Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

1.  Goldziher mengkritik hadist pada matan hadist, sedangkan Schacht mengkritik hadist pada sanadnya. Goldzidiher mengkritik hadist Nabi SAW, bahwa bahagian terbesar dari hadis yang dikatakan bersumber dari Nabi adalah tidak benar. Bagian terbesar dari riwayat hadits tidak benar dikatakan sebagai catatan tentang fase awal islam.

2.  Tokoh hadist Ibnu Syihab al-Zuhri merupakan orang yang diperalat atau dimanfaatkan oleh kalifah Umawiyyah, Abdul Malik bin Marwan, untuk membuat hadist palsu yang secara politik berpihak kepada penguasa Umawwiyah.

3.   Menurut Schacht dalam buku nya ia menulis beberapa kritikan terhadap hadist Nabi, di antaranya bahwa isnad atau pemakaian sanad pada hadist merupakan tindakan yang tidak akademis karena dibuat berdasarkan kemauan belaka (semena-mena) terhadap hadist Nabi yang digerakkan oleh kelompok Islam yang menghubungkan teorinya kepada tokoh-tokoh (sahabat atau tabi'in masa lalu) dengan harapan teorinya dipercaya dan diterima. Schacht mengatakan bahwa di dalam kitab al Muwattha ada hadist yang putus sanadnya, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Hisyam bin Urwah.

4.  Para ulama hadis yang mengkritisi pandangan Ignaz dan Schact bahwa, pemikiran-pemikran mereka mengenai hadist adalah tidak benar.

b. Saran

Menurut penulis Goldziher dan Schacht adalah dua orang intelektual barat yang mengkaji Islam dari segi kacamata barat. Dimana dua orang orientalis ini inemberikan pandangan-pandangan yang dapat merusak pemahaman bagi masyarakat Islam khususnya. Untuk itu kita sebagai umat Islam, wajib menuntut ilmu khususnya mengenai hadist. Karma tanpa kita sadari, Islam telah banyak di fitnah oleh orang-orang barat yang sebenarnya mereka sangat membenci Islam.

Dalam penulisan makalah ini, penulis masili kekurangan referensi sehingga dalam penyampaian tulisan pun masih banyak kekarangannya. Untuk itu, penulis berharap semoga kita semua secara bersama-sama mencari kebenaran yang hakiki dalam menyikapi pandangan-pandangan orientalis pads umumnya. 

DAFTAR PUSTAKA

Azami Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, (PT Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994)

Hamzah Alirman, Orientalisme: Citra Islam Di Alfala Barat, (JAIN IB Press: Padang, 2003)

Rasyid Daud, Pembaruan Islam dan Orientalisme &dam Sorotan, (Syaamil: Bandung, 2006)

Ritongga Rahman, Studi 11mu-11inu Hadis, (Interpena: Yogyakarta, 2011)



[1].  Alirman HanaA Oriedalisine: Citra Islam Di Mata Barat, (Padang: LAIN Press, 2003), hal.9

 [2].  Ibid

[3]. Rahman Ritonga, Studi Rims-11inuzi Hadits, (Yogyakarta: Interpena, 2011), h. 297 3

 

0 Comment