17 Februari 2023

HUBUNGAN PENGEMBANGAN ILMU DAN DUNIA POLITIK 

Ilmu merupakan salah satu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat. Hal itu disebabkan karena ilmu pengetahuan mempunyai tujuan memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia.

Ada dua hal yang menyebabkan ilmu pengetahuan berkembangan: Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu terhadap - atau dalam - masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang yang hidup dalam dunia modern, mau tidak mau secara mendalam dipengaruhi dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi modern.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan sering disebut sebagai kurun ilmu dan teknologi, hampir seluruh aspek kehidupan dipengaruhi oleh keberadaannya. Salah satu contoh, bahwa ilmu pengetahuan tersebut mempengaruhi segala aspek ialah tentang politik. Seseorang bisa berpolitik dan berkuasa disebabkan dia mempunyai ilmu pengetahuan. Dia bisa membawa suatu negara menjadi baik apabila ilmu pengetahuaannya digunakan dengan baik dan benar, akan tetapi apabila ilmu pengetahuannya digunakan untuk hal-hal yang negatif, maka dia akan membawa negaranya kepada kehancuran.  

Masalah-masalah dalam filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan dapat digolongkan menjadi empat, yaitu[1]: Pertama, masalah-masalah ilmu pengetahuan epistemologi, logika, filsafat ilmu dan filsafat bahasa. Kedua, masalah-masalah realitas atau eksistensi metafisika, ontologi, kosmologi. Ketiga, masalah-masalah nilai aksiologi, estetika, etika, filsafat agama, dan keempat, masalah-masalah masyarakat, filsafat sosial, ekonomi dan politik. Masalah besar filsafat adalah bagaimana cara mepersatukan semua bagian yang berbeda-beda itu menjadi keseluruhan yang komprehensif.

Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant[2] yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon[3] menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu the great mother of the sciences.

Filsafat ilmu adalah salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan dengan masalah-masalah ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pun sesungguhnya dapat dibagi lagi menjadi sejumlah filsafat ilmu yang lebih khusus, seperti filsafat matematika, filsafat ilmu-ilmu fisika, filsafat biologi, filsafat linguistik, filsafat psikologi, filsafat ilmu-ilmu sosial, politik dan filsafat ilmu-ilmu lainnya.

Dalam makalah ini akan dibahas secara khirarki pengerti filsafat, filsafat ilmu hubungan dengan dunia politik.

A.    Pengertian Filsafat dan Filsafat Ilmu

Filsafat secara etimologis berarti cinta kebijaksanaan love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya. Kata filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras 582-496 SM dan kemudian diikuti oleh kaum sophist dan juga Socrates 470-399 SM. Ada juga yang berpendapat bahwa filsafat mengandung arti kegandrungan mencari hikmah kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup dan kehidupan.[4] Dengan begitu, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan dan mendambakan pengetahuan.

Ilmu filsafat adalah ilmu yang menunjukkan bagaimana upaya manusia yang tidak pernah menyerah untuk menentukan kebenaran atau kenyataan secara kritis, mendasar, dan integral. Karena itu dalam berfilsafat, proses yang dilalui adalah refleksi, kontemplasi, abstraksi, dialog, evaluasi, menuju suatu sintesis jawaban atas dasar pilihan keyakinan sendiri-sendiri, yang disana-sini tidak sama, berbeda, bahkan saling bertentangan, yang muncul dalam setiap tahap atau pun kurun waktu[5].

Filsafat ilmu merupakan refleksi secara filsafati akan hakekat ilmu yang tidak akan mengenal titik henti dalam menuju sasaran yang hendak dicapai, yaitu kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan hingga segi-segi dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar cabang ilmu yang satu dengan yang lainnya.

Tujuan filsafat ilmu adalah memberikan pemahaman tentang apa dan bagaimana hakekat, sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cakrawala pengetahuan manusia. Di samping  itu filsafat  ilmu  juga  memperluas wawasan  ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi yang berlangsung dengan begitu cepat, spektakuler, mendasar, yang secara intensif menyentuh semua segi dan sendi kehidupan dan secara intensif merombak budaya manusia.

Filsafat ilmu dengan begitu, merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm[6] bahwa ilmu pengetahuan sebagai teori adalah sesuatu yang selalu berubah.

Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo, dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, ilmuwan akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya.

Dalam perkembangan filsafat ilmu juga mengarahkan pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik, bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, akan tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan umat manusia[7]. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain, seperti ilmu-ilmu kealaman.

Adapun perkembangan ilmu pengetahuan menurut Bahm ada dua: Pertama, pengaruh ilmu pengetahuan terhadap teknologi dan industri melalui apa yang disebut dengan ilmu terapan. Dalam diri para ilmuwan yang sedang mengembangkan ilmu pengetahuan modern dan sibuk merancang cara-cara penerapan hasil ilmu-ilmu itu. Kedua, pengaruh ilmu terhadap - atau dalam - masyarakat dan peradaban. Dalam diri kebanyakan orang yang hidup dalam dunia modern, yang mau tidak mau secara mendalam dipengaruhi dan dikuasai oleh hasil perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi modern.

Dampak perkembangan ilmu pengetahuan pada perkembangan manusia dan dunianya menimbulkan semacam kecenderungan yang khas dan tak bisa dipisahkan dari suatu ilmu yang sedang maju[8]. Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan untuk maju terus tanpa henti dan tanpa batas. Setelah suatu penemuan atau suatu perumusan tercapai, ketika itu juga tampaklah kemauan dan kemungkinan untuk maju selangkah lagi, entah itu menuju dasar yang lebih dalam ataupun ke arah cakramawala yang lebih luas. Kecenderungan kedua ialah hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia mikro maupun makro. Semakin suatu ilmu maju, semakin keinginan itu meningkat sampai memaksa, merajalela dan bahkan membabi buta. Ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, justru memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.

Secara umum kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu terkait dengan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan objektivitas dan pertimbangan nilai kemanusiaan. Pertimbangan objektivitas mengharuskan ilmu pengetahuan menetapkan kebenaran sebagai landasan dan pola dasarnya. Sedang pertimbangan nilai kemanusiaan menunut ilmu pengetahuan untuk bekerja dengan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan sekaligus pasca-ilmu, artinya perlu mempertimbangkan asumsi dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan tersebut.

Jika demikian, sebagai konsekuensi dari pertimbangan itu, para ilmuwan terpolarisasi menjadi dua, tak lain karena dua pertimbangan itu belum dapat berjalan seiring dan masih berat sebelah. Maka berdasarkan pertimbangan demikian, pandangan para ilmuwan dapat dibedakan menjadi 2 golongan[9]:

Pertama, Para ilmuwan yang hanya menggunakan satu pertimbangan, yaitu nilai kebenaran dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai metafisika yang lain, seperti nilai etika, kesusilaan dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Prinsip tentang ilmu pengetahuan yang bebas nilai akan menjadikan kebenaran sebagai satu-satunya ukuran dan segala-galanya bagi seluruh kegiatan ilmiah, termasuk penentuan tujuan bagi ilmu pengetahuan.

Kedua, Para ilmuwan yang memandang sangat perlu memasukkan pertimbangan nilai-nilai etika, kesusilaan dan kegunaan untuk melengkapi pertimbangan nilai kebenaran, yang akhirnya sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus terkait dengan nilai.

Dengan demikian, dapat diperoleh kejelasan bahwa hanya dengan menjaga jarak antara ilmu dan ideologi, maka pertimbangan etika bagi ilmu pengetahuan menjadi mungkin untuk dilaksanakan, yakni demi kepentingan masyarakat. Dalam lingkungan budaya dan kontelasi sosial politik tertentu, pertimbangan ilmu dapat saja berubah, tetapi tidak pada sistem ilmu itu sendiri.

Memang harus diakui, perlu ada pembatasan, pada saat mana ilmu bebas nilai dan saat bagaimana terkait nilai. Pengembangan ilmu pengetahuan memerlukan dua pertimbangan, yaitu pertimbangan dari segi ilmu yang statis dan segi ilmu yang dinamis. Segi statis ilmu adalah ciri sistem yang tercermin dalam metode ilmiah, sedangkan segi dinamisnya adalah semacam pedoman, asas-asas yang perlu diperhatikan oleh para ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya.[10]

Kontekstualisasi filsafat ilmu dengan kondisi aktual yang sedang alami dewasa ini juga menjadi semakin dirasakan urgensinya. Hal itu seiring dengan perkembangan masyarakat yang sedang mengalami dekadensi dalam berbagai bidang kehidupan.[11] 

B.     Politik dalam Perspektif Filsafat Ilmu dan Kajian Budaya

Ketika membahas tentang politik, sesungguhnya sangat dekat dengan kajian budaya, bahkan bisa jadi lebih dekat ketimbang dengan ilmu politik sendiri. Sejarah perkembangan kajian budaya adalah sejarah perlawanan terhadap dominasi kekuasaan sebuah tradisi ilmu pengetahuan. Kajian budaya muncul dari pemikiran sekelompok orang yang meyakini bahwa bangunan teori adalah sebuah praktek politik sehari-hari manusia.[12] Ilmu pengetahuan bagi kajian budaya selanjutnya adalah sesuatu yang tidak netral, objektif, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan posisi tempat seseorang berbicara, kepada siapa sasaran pembicaraannya dan situasi tertentu yang melingkari.

Politik yang dirujuk oleh kajian budaya bukan politik sebagaimana yang dipelajari dalam ilmu politik.[13] Operasi kekuasaan dalam ilmu politik telah tergumpal dalam persoalan mencapai sistem demokrasi yang ideal. Impian menuju demokrasi mewujud dalam kajian tentang aktor-aktor politik lembaga atau individu, kualitas lembaga kepresidenan, lembaga perwakilan, partai politik, atau kualitas warganegara seperti elit dan warganegara biasa. Atau juga dalam bentuk kajian tentang produk-produk kebijakan, dan lain-lain. Kekuasaan telah tersistematisasi dalam wilayah-wilayah yang sangat definitif.

Selanjutnya, pendukung penting bagi keberhasilan demokrasi adalah sebuah kebudayaan politik, satu kajian khusus dalam ilmu politik. Kebudayaan bermakna sebagai orientasi, nilai dan seperangkat kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh warganegara. Dari sini tampak jelas bahwa kebudayaan bagi ilmu politik adalah suatu produk jadi, given.

Political culture sebagai sebuah fokus kajian makin kukuh setelah dua ilmuwan terkenal dari Universitas Chicago melakukan penelitian di lima negara, Amerika, Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko.[14]

Politiknya kajian budaya sama sekali berbeda dengan ilmu politik mainstream. Kajian budaya justru ingin menelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk, operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan korelasi dalam proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak menopangnya, dan seterusnya.[15]

Karakteristik ilmu politik mainstream yang demikian tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan disiplin sebelum perang dunia II[16]. Periode itu merupakan masa pembentukan identitas politik sebagai sebuah disiplin keilmuan. Sebagai ilmu yang lahir di tengah-tengah dominasi ilmu alam, pertanyaan bernada gugatan yang meragukan eksistensi keilmuan sangat mengganggu dan menggelisahkan. Semangat zaman yang serba naturalis  kala itu menjadi dasar  interogasi  disiplin  ini  terhadap keilmuan lainnya. Ilmu politik dalam pandangan tradisi tersebut, khususnya dari kalangan ilmuwan sosial kala itu, dianggap bukanlah ilmu yang sebenar-benarnya, dengan alasan tiadanya subject matters yang jelas. Ilmu politik hanya memakai disiplin ilmu lain untuk menjelaskan fenomena kekuasaan.

Respons para pengusung ilmu politik kala itu adalah mengikuti logika keilmiahan saat itu. Jadilah politik sebuah ilmu dengan meminjam tradisi positivistik dalam melihat fenomena politik sekaligus untuk membedakan dirinya dengan periode sebelumnya yang dianggap terlalu di atas langit, yang melihat politik sebagai idealisme-idealisme kosong. Semua fenomena dikuantifikasikan, terukur dan karenanya terprediksi semua kemungkinannya, khususnya terhadap perilaku individu. Tradisi ini dikenal sebagai tradisi behavioralis, atau dikenal juga sebagai mazhab Chicago, tempat kajian dilakukan.

Berbagai kritik terhadap tradisi ini muncul silih berganti. Kritik ini direspons dengan terus memperbaiki perangkat metode tanpa melepaskan dasar keinginan menjadikan ilmu politik sebagai ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah[17].

Kritik terhadap cara pandang ilmuwan politik yang melihat seperangkat nilai hanya sebatas produk adalah Antonio Gramsci[18]. Lewat konsepsi hegemoni, Gramsci sesungguhnya ingin mengatakan bahwa ada operasi kekuasaan yang berlangsung baik dalam proses maupun produk sebuah kebudayaan politik, karenanya membatasi kajian politik hanya sebatas pada produk akhir sangat mereduksi kompleksitas fenomena politik. Kritik Gramsci dan ilmuwan politik di kampus-kampus di Amerika sendiri mulai menimbulkan wacana-wacana tandingan dalam bidang ini.

Adapun kajian politik di Indonesia masih didominasi oleh tradisi behavioralis atau logico-positivisme. Hal ini bisa dipahami dengan melihat kenyataan puluhan mahasiswa yang belajar di universitas-universitas bertradisi behavioralis di Amerika membawa pulang main set behavioralis setidaknya dalam tesis atau disertasi mereka. Akhirnya studi ilmu politik di kampus-kampus utama di Indonesia terwarnai habis-habisan oleh tradisi ini sampai sekarang. Kurikulum-kurikulum jurusan ilmu politik masih dalam makna politik dalam kerangka klasik.[19]

Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari target pendidikan untuk mahasiswa strata satu di negeri ini. Target bahwa mahasiswa dapat berpikir logis dan fokus pada bidang yang dikajinya membuat peluang melakukan perkawinan-perkawinan antara berbagai pendekatan menjadi sangat minim. Kajian budaya dengan sendirinya keluar dari peluang pilihan. Tujuan pendidikan  seperti itu sesungguhnya telah merugikan kemajuan ilmu politik di Indonesia hampir separuh abad. Perkembangan studi disiplin yang sama tidak bisa begitu saja direspons di dalam negeri sendiri, termasuk perkembangan fenomena politik yang sangat pesat ditandai dengan kemunculan studi-studi seperti feminimisme. Perselisihan di daerah berbasis etnis dan mewujud dalam gerakan etnonasionalisme berlangsung cukup merata di tanah air. Dan sangat tidak memadai menjelaskan hal ini dari tradisi behavioralis, mengingat kompleksnya persoalan ini karena menyangkut pula asal-usul sosial.

Pada saat yang sama karya monumental rezim Orde Baru yang otoritarian selama lebih dari 30 tahun telah tidak hanya membatasi partisipasi warga negara, melainkan juga membelasuknya kekuasaan ke dalam ruang-ruang yang tak terbayangkan sebelumnya. Politik masuk  ke tempat  tidur  karena program  Keluarga  Berencana  yang mewajibkan berapa banyak anak yang boleh dimiliki oleh pasangan suami istri. Politik masuk dapur dan menggelisahkan ibu-ibu muslim karena label halal sebuah produk bumbu masak diragukan keabsahannya, akibat inkonsistensi dalam lembaga sertifikasi produk halal. Fenomena keseharian seperti itu sekali lagi tidak memadai kalau masih mau dilihat dengan cara yang lama.[20]

Studi politik Indonesia yang didominasi oleh kajian-kajian klasik politik tidak bisa dilepaskan dari hiruk-pikuk politik nasional. Jauh lebih menantang dan laku sebagai komoditas untuk menebak-nebak susunan kabinet Gotong Royong Megawati ketimbang mengurusi bagaimana siasat massa rakyat NU dalam menerima kekalahan Abdurrahman Wahid yang telah mereka anggap sebagai wakil Tuhan di dunia.

Dalam keterbatasan ini ilmu politik dapat bertemu dengan kajian budaya. Ilmu politik di Indonesia perlu insyaf dengan melebarkan makna kekuasaan di luar pagar-pagar format kelembagaan. Di sisi lain kajian budaya bisa lebih berdamai akan keperluan praktis studi politik atas keperluan perangkat kerja yang terinci. Bukan demi mereproduksi gaya berpikir positivistik, melainkan demi mengikuti semangat kehati-hatian tradisi ini yang telah teruji. Dan tentu saja demi membuka selebar-lebarnya ruang pluralitas dalam pendekatan ilmu politik di negeri sendiri.[21]

Keterkaitan politik dan kajian budaya tersebut dengan sendirinya juga memerlukan pemahaman hakekat masing-masing ilmu dan kajian tersebut. Poespoprodjo, menyatakan dengan filsafat ilmu akan dapat dipahami perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Hal itu berarti, dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa, sehingga seorang ilmuwan politik dan pengkaji budaya dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

Kesimpulan 

Filsafat ilmu, perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia politik mempunyai keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya,  bahwa antara yang satu dengan yang lain menjalin hubungan yang saling mendukung perkembangan satu dengan yang lain. Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo, dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

Dari pengembangan ilmu itu juga maka lahirlah ilmu politik yang dijadikan pijakan oleh para politisi, namun demikian tidak selamanya dunia politik berpijak pada ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu pengetahuan bisa juga lahir dari dunia politik praktis.


DAFTAR PUSTAKA

 

Almond  dan Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984

Bahm, Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan. Yogyakarta:  Kanisius, 2003

Bahm, What Is Science, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, New Mexico: Albuquerqe, 1980

Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1991

Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999

Koento,Wibisono, S. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program S3 Kajian Budaya Unud, Denpasar: 2004

Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj.Tjun Surjaman, Bandung: Remadja Karya CV, 1989

Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985

Savirani, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des. 2004. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm.

Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (penerj. Kamdani dan Himam Baihaqi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1992

Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1985

Verhak dan Imam,  Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991

Wibisono S. dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten: Intan Pariwara, 1997

 



[1]Bahm, Filsafat Perbandingan: Filsafat Barat, India, Cina dalam Perbandingan, (Yogyakarta:  Kanisius, 2003),  17.

[2]Wibisono S. dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Klaten: Intan Pariwara, 1997), 6-7.

[3]The Liang Gie., Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 93.

[4]Lasiyo dan Yuwono, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985),  1.

[5]Wibisono, S. Koento, Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Paper Pelengkap Materi Kuliah Filsafat Ilmu Program S3 Kajian Budaya Unud, (Denpasar: 2004), 4-5.

[6]Bahm., What Is Science, Reprinted from My Axiology; The Science Of Values; 44-49, World Books, (New Mexico, Albuquerqe, 1980),1.

[7]Wibisono, Filsafat Ilmu…, 13.

[8]Verhak dan Imam,  Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), 230.

[9]Pembahasan mengenai  ini dapat dilihat dalam  Peursen …. 4-5.

[10]Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj.Tjun Surjaman, (Bandung: Remadja Karya CV, 1989), 57.

[11]Kisah perjalanan hidup Sang Mahatma dituangkan dalam Gandhi Sebuah Otobiografi: Kisah Eksprimen-eksprimenku dalam Mencari Kebenaran, Pnerj. Gedong Bagoes Oka, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 40

[12]Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 63-229.

[13]Dalam ilmu politik, politik diartikan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Lihat Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 1992), 10-11

[14]Almond  dan Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), 120

[15]Savirani, Dari Negara ke Coca Cola: Merintis Kajian Budaya dalam Ilmu Politik di Indonesia (serial online), Oct-Des. 2004. Available from: URL: http:/www.kunci/eid.htm.

[16]Sejarah perkembangan ilmu politik dapat dilihat dalam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1991), 1-3

[17]Karakteristik dari mazhab positivisme dalam ilmu politik dapat dilihat dalam Gaffar, Dua Tradisi Keilmuan, Diktat Kuliah Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.

[18]Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, (penerj. Kamdani dan Himam Baihaqi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 30

[19]Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…, 4.

[20]Ibid.,

[21]Ibid., 5.

0 Comment