24 Februari 2023

MELACAK   PENGARUH SURAU SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN DALAM ISLAMISASI

A.Minangkabau 

Minangkabau   dalam konteks sejarah dan realitas masyarakat adalah suatu konsep yang   utuh dan lengkap. Dari segi sosial budaya, Minangkabau sudah jauh melampaui Provinsi Sumatera Barat sekarang. Sebab, pemakai budaya Minangkabau   jauh melampui teritorial   wilayah Sumatera Barat. Ia meliputi daerah   antara lain; sebahagian   penduduk Provinsi Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, dan malah sampai ke negara sekitarga   Negeri Sembilan di Malaysia. Sejarah Minangkabau masa lalu dan dibuktikan   oleh realitas daerah budaya dan suku Minangkabau saat ini   terdiri dua bahagian   yaitu   : Pertama , Luhak Nan Tigo, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Kedua,Rantau terdiri: Kampar, Siak, Rokan, Bonai, Bila, Kuala, dan Asahan    yang kemudian menjadi bahagian wilayah Sumatera bahagian Timur. Indragiri    masuk   kere-sidenan Riau, Batanghari dan   Jambi masuk keresidenan Jambi, Muko-Muko, Majuto, dan Bangkahulu termasuk keresidenan Bengkulu. Natal, Sibolga, Barus termasuk keresidenan Tapanuli, Sinkel, Trumon Tapak Tuan, dan Meoulabuh di pantai barat Aceh   masuk bahagian kere-sidenan   Aceh . Begitu juga rantau Naning di Malaka dan juga Negeri Sembilan   terakhir jadi daerah taklukan Minangkabau dengan lenyapnya dinasti Pagaruyung pada tahun 1809 [2]

Bergantinya nama Minangkabau menjadi Sumatera Barat, seiring dengan masuknya kolonial Belanda, yang kemudian menyebut daerah ini sebagai Residentie van Sumatra Westkust . Penamaan ini kemudian terus digunakan pada masa Indonesia merdeka, meskipun batas- wilayah batasnya mengalami pergeseran. Apa yang sekarang dikenal sebagai Sumatera Barat jauh lebih kecil dari Minangkabau. [3] Batas-batas wilayah yang kini berlaku tidak sepenuhnya mengikuti keluasan penyebaran orang Minangkabau dan pengaruh kulturalnya. Sebagai salah satu dari 30   provinsi di Indonesia luas daratan Sumatera Barat lebih kurang 1/48,2 (sekitar 42.297.30 km2) dari keseluruhan luas daratan Indonesia (sekitar 2.026.528 km2). [4]Tetapi setelah era kemerdekaanpun, Sumatera Barat masih sering disebut dengan “Minangkabau”, dengan letak wilayah: di sebelah Utara berbatasan dengan propinsi Sumatera Utara; di sebelah Timur berbatasan dengan provinsi Riau; di sebelah Selatan dilindungi dengan   provinsi Jambi dan Riau; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia [5]

Tentang seberapa jauh luas wilayah dan batas-batas Minangkabau dalam konteks sejarah diungkap dalam tambo dan bidal adat bahwa wilayah terorital   Minangkabau sajak dari riak nan badabua, siluluak punai mati, sirangkak nan badankung, buayo putiah daguak. Taratak aier hitam, sampai ka durian nan ditakuak rajo . Versi lain menyebutnya dari Riak Nan badabur, sehiliran Pasir Panjang, yaitu dari Bayang sampai Sikilang Air Bangis; Gunung Malintang hilir di Pasaman, Rao dan LubukSikaping, Lalu ke Batu Bersurat, Sialang Balantak Basi, Gunung patah sembilan, lalu ke Durian di tekuk raja . [6] Penulis buku Kato Pusako menggambarkan tentang Minangkabau “    Sajak durian di takuak raja, Sialang balantak basi, buayo nan putiah daguak, Sirangkak nan badangkang, Sampai taratak air hitam, Sampai riak nan badabua, Sampai bateh Indropuro , Sampai ka siak Indrogiri, Hinggo sipisak pisau hanyuik, sampai sikilang air bagis”   [ 7 ] .Batas yang dipakai dalam buku Kato Pusako ini mengabungkan pendekatan budaya dengan teritorial. Akan tetapi, secara meyakinkan, batas wilayah Minangkabau dalam konteks sejarah dan budaya sosial belum dapat ditunjukan. Akan tetapi, interpretasi tentang kata-kata ombak nan badabua itu diperkirakan adalah lautan Hindia, ke utaranya disebut Sikilang air Bagis,                         artinya terikat dengan   Tapanuli Sumatera Utara, Taratak Air Hitam, yaitu batas ke Timur sampai ke daerah Indragiri di Riau, sedangkan  Durian di takuk raja adalah batas arah ke tenggara   dengan provinsi Jambi. Pada daerah yang berada   dalam batas-batas tersebut memang corak sosial budaya masyarakat   memiliki kesamaan dengan Minangkabau asli di Darek Luhak Nan Tigo, pusat alam Minangkabau.

            Perbedaan   pengertian tentang luas dan daerah   Minangkabau   masa lalu   disebabkan oleh perbedaan   para ahli dalam menempatkan mana yang dimaksud dengan Minangkabau, apakah Minangkabau dalam artian daerah asli    yaitu Luhak Nan Tigo   atau juga termasuk daerah rantau. Bila rantau   dimasukan sebagai Minangkabau maka   daerah ini   meliputi   Sumatera Tengah   bahkan sampai ke Negeri Sembilan di Malaysia. Pembatasan dan pengecilan wilayah Minangkabau telah direncanakan sedemikian rupa oleh penjajah Belanda. Misalnya, seorang peneliti Belanda menuliskan bahwa daerah Minangkabau   terletak di sekitar dataran tinggi   yang terbentang di antara onggokan Bukit Barisan  bagian tengah yang membujur dari utara ke selatan   pulau   Sumatera   yang dilingkari oleh tiga buah gunung yaitu Merapi, Singalang dan Sago. Ini tentu artinya, Minangkabau adalah daerah asli saja yaitu darek, sedangkan rantau adalah daerah yang berdiri sendiri pula. Selain itu, ada lagi informasi   penulis penjajah   bahwa daerah Minangkabau adalah kawasan yang   berada pada ketinggian   sekitar 300 sampai 900 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayahnya lebih kurang   42.000 km persegi , yang berarti 11 %(persen)   dari luas pulau Sumatera. [8]  Ada pula yang menyebutkan bahwa wilayah Minangkabau   seluruhnya lebih  kurang 18.000 juta bujur sangkar, kurang 3 % dari seluruh wilayah Indonesia. [9]

Pembahagian wilayah dalam kesatuan   politik, ekonomi dan sosio-kultural lazim dikenal dengan Darek, Pesisir dan Rantau. Darek adalah daerah pusat Minang-kabau yang terdiri dari tiga luhak, Pesisir merupakan wilayah yang berada sepanjang pantai sejak Pasaman, Pariaman sampai Painan. Sedangkan rantau wilayah dibawah pengaruh kerajaan Minangkabau dulunya, seperti Batanghari, Kerinci di Propinsi Jambi, Taluk Kuantan di provinsi Riau sekarang. De Jong , menetapkan bahwa daerah Minangkabau itu terdiri dari dua lingkungan wilayah yaitu :(1) Minangkabau asli, yang disebut juga dengan darek yang terdiri dari tiga                               luhak ,   yaitu;   Luhak Agam,   Luhak Tanah Datar dan Luhak Limo Puluh Kota. (2) Daerah Rantau, yaitu perluasan Minangkabau yang berbentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas, yaitu : (a)   rantau luhak Agam yang meliputi   daerah dari pesisi barat    sejak Pariaman sampai   Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. (b) rantau Luhak Tanah Datar   meliputi Kubung tigo Baleh, Pesisir Barat dan Selatan dari Padang   sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. (c) rantau luhak Limo Puluh Kota yang meliputi Bangkinang, lembah Kampar Kiri dan Kampar kanan serta Rokan. [10]

Dalam pengertian rantau tradisional dipandang sebagai wilayah kedua atau disebut oleh penulis asing dengan istilah “kolonisasi” bagi orang   Minangkabau yang berada di pusat ( darek). Di sini dipahami rantau sebagai wilayah terpisah dari darek dari segi kewenangan   atau kekuasaan , tetapi tetap berada dalam satu wilayah   kultural. Pepatah menyebutkan “Darek Berpenghulu, Rantau Barajo”. Di Pusat (Darek) pemerintahan yang dikuasai oleh penghulu, sementara di rantau pemegang kekuasaan adalah Raja. Implementasi dari kekuatan penghulu di Darek   ada pada Nagari,   sebagai sebuah pemerintahan   yang berdiri sendiri. Masing-masing nagari   mengatur urusannya   dan kemudian ia berada dalam satu Dewan  di bawah penghulu nagari. Hasil   keputusan bersama yang dihasilkan   Dewan Nagari ini   yang akan menjadi aturan dalam setiap nagari. Sementara, di rantau raja memiliki kewenangan yang lebih luas. Raja merupakan penguasa     yang mendapat hak ulayat dari pemerintahan pusat di darek. Dengan kedudukan yang kuat dari setiap nagari dan tidak adanya kekuatan pusat yang dapat mengontrolnya, maka nagari oleh peneliti sering diidentikan dengan republik-republik   kecil.
Bentuk pemerintahan nagari di Minangkabau dengan segala pranata yang mendukungnya   jauh sebelum adanya   Raja di Minangkabau telah ada dan memegang kekuasaan secara riil dalam sistem hidup bermasyarakat. Dalam tambo diceritakan bahwa    orang pertama yang memimpin alam Minangkabau adalah   dua orang yang sangat bijaksana, yaitu   Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Kedua orang ini adalah bersaudara seibu, berlainan ayah. Kedua pemimpin legendaris Minangkabau ini menceritakan mewariskan dua sistem budaya masyarakat yang berjalan sesuai kaidah-kaidahnya masing-masing. Kedua sistem budaya atau adat ini disebut dengan laras .   Laras adalah   wilayah budaya   yang dipimpin   dalam dua  sistem adat yakninya   sistem Datuk Katumangungan yang bernama Laras Koto Piliang. Dan sistem Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Laras Bodi chaniago . Perbedaan pokok pada dua kelarasan ini hanyalah dalam menentukan kedudukan Raja. Bagi laras Koto Piling Raja itu memimpin seluruh alam Minangkabau, sedangkan oleh Laras Bodi Chaniago, Raja hanya ada di rantau, sedangkan Luhak memimpin penghulu, raja hanya sebatas simbol belaka. Kedua kelarasan ini pada dasarnya menganut sistem demokrasi, hanya saja laras Koto Piliang lebih sempit dan cendrung otokrasi, sedangkan laras Bodi Chaniago lebih luas dan demokratis.         
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua pemimpin laras tersebut membagi alam Minangkabau, guna menentukan wilayah  kekuasaan masin-masing. Bodi Chaniago memiliki wilayah keuasaan di Luhak Agam dan Koto Piliang  berkuasa di Luhak Lima Puluh Kota, sementara Luhak Tanah Datar adalah daerah campuran kedua laras,  karena ia merupakan pusat kekuasaan alam Minangkabau.  Pada akhirya,  nama kedua laras tadi berobah menjadi  empat suku induk di Minangkabau, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Chaniago. Masing-masing suku itu dipimpin oleh seorang Datuk atau Penghulu suku. Selanjutnya  komonitas yang mendiami wilayah baru dapat dikatakan nagari kalau sudah didiami oleh keempat suku itu. Bentuk kolektif dari empat suku itulah  yang menjadi modal dasar didirikanya  suatu nagari.[11]
Dalam tambo diceritakan pula bahwa nenek moyang orang Minangkabau  membangun nagari pertama di lereng gunung Merapi, yaitu Pariangan Padang Panjang. Setelah kemudian mereka berkembang biak, maka berdirilah nagari-nagari selingkaran gunung Merapi dan sealiran Batang Bengkaweh, yang disebut juga dengan Pakan Tuo.  Hal ini disebut dalam pepatah adat :

Dari Mana titik pelita, dari semak turun ke padi
Dari mana asal nenek moyang kita, dari Puncak Gunung Merapi.

Mengenai   asal-usul nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi   semua tambo menceritakan demikian adanya. Pada suatu ketika bumi   bersentak naik dan lagi   bersentak turun, datanglah keturunan   Raja Iskandar Zulkarnain yaitu Sri Maha Raja   Diraja dan mendarat di puncak gunung merapi. Di sana ia kawin dengan Puti Indo Jelita, adik perempuan dari ninik Datuk Suri Dirajo. Dari   perkawinan itu lahir Datuk Katu-manggungan. Kemudian setelah Sri Maharaja Diraja meninggal, Indo Jelita dikawini oleh seorang    penasehat Sri Maharaja, yaitu Cati Bilang Pandai. Dari perkawinan kedua ini lahirlah Datuk Perpatih Nan Sabatang dan beberapa orang putra putri lagi. Putra putri Indo Jelita itulah  yang kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang orang Minangkabau. Selanjutnya keturunan ini menguasai daerah baru dan menyusun masyarakat dengan mengikuti garis keibuan. Maka selanjutnya   garis keturunan di Minangkabau mengacu pada hari keturunan ibu, atau matriarchaat . 

Sejalan dengan   perkembangan masyarakat, maka   kemudian dari perkampung sederhana   disusunlah masyarakat dalam kelompok yang   disebut dengan taratak, koto dan nagari berdasarkan suku dan daerah tempat tinggal. Sedangkan dari segi sosial budaya, maka masyarakat disusun pula pada suatu kepemimpinan yang berjenjang yaitu, tunggai, mamak rumah, kapala suku dan penghulu suku. Untuk mengatur bagaimana masyarakat hidup maka ditetapkan hukum-hukum tak tertulis yang mengatur tentang sistem hidup bermasyarakat yang kemudian dinamakan dengan hukum adat. Model seperti diatas terus berkembang pada Luhak nan tiga. Ketika masyarakat bertambah ramai juga maka mereka berusaha mencari wilayah baru          untuk anak kemenakan mereka, itulah yang kemudian dikenal dengan rantau. Kalau pada tahap awal konsep rantau hanya sebatas daerah sekeliling alam minangkabau, maka   dalam perkembangan selanjutnya konsep rantau mengalami perluasan arti,   yaitu keseluruh   daerah di mana saja di dunia ini   menjadi daerah rantaunya orang Minangkabau.   Budaya merantau sebagai pengembangan   diri telah menjadi ciri khas etnis Minangkabau sejak lama,   seperti yang di tunjukan oleh bidal adatnya :

“Ka ratau madang di hulu,   babuah babungo balun
ka rantau bujang dahulu,   di rumah baguno balun”,

Artinya setiap pemuda di dorong untuk merantau karena di tempat kelahirannya ia belum banyak bisa digunakan (bermanfaat banyak). Maka dengan adanya perobahan konsep merantau demikian juga membawa pengaruh kepada makna   Minangkabau, hal ini lebih disebabkan   oleh    pola hidup masyarakat Minang yang dikenal dengan merantau.

Dalam perjalanan sejarah alam Minangkabau selanjutnya,   meskipun tidak banyak fakta yang dapat dikemukakan ada beberapa   pendapat yang menyebutkan bahwa awal mula dari sejarah Minangkabau   berada dalam kekaburan, kecuali yang terdapat dalam beberapa prasasti yang mengungkapkan tentang adanya kerajaan Pagaruyung   dengan rajanya Aditiyawarman yang memerintah sejak tahun 1356 Masehi [12] .Pendapat lain menyebutkan bahwa Aditiyawarman   memerintah dari tahun   1347-1373 masehi, ia   adalah mantan Punggawa atau Diplomat Majapahit datang dan diangkat menjadi raja   Minangkabau. Dalam kekaburan sejarah tersebut tambo, pepatah-petitih, bidal, pantun dan kaba serta      cerita rakyat yang selalu terpelihara   secara turun temurun, dari generasi ke generasi secara lisan   adalah   bahan pokok sejarah yang dapat dijadikan dasar   untuk membimbing peneliti mengetahui asal-usul Minangkabau.   Mengenai pendapat bahwa kebenaran tambo dan kaba hanya sekitar 2 persen saja, namun yang pasti, berkat bantuan dan upaya penyelidikan terhadap peningalan kuno, maka tambo dan kaba tetap merupakan sumber berharga dalam mengkaji sejarah Minangkabau. Mengenai asal-usul Tambo diperkirakan telah berawal sejak masa awal kedatangan Islam, atau bahkan lebih awal lagi,                    namun versi yang tertulis semuanya ditemukan berasal dari abad ke –19, terutama setelah perang Paderi berakhir. Meskipun terdapat berbagai versi , namun kesemuanya memperlihatkan sikap kesejarahan yang sama, yang secara tegas mempelihatkan dua hal yang menarik. Pertama, “ Alam Minangkabau” digambarkan   sebagai terdiri atas dua unsur pokok yang menetap dan merupakan wilayah asli yang disebut dengan Luhak Nan Tigo atau disebut juga dengan darek dan wilayah lain yang berubah, dinamis, terus berubah dan bergerak, itulah yang kemudian dinamakan dengan rantau.   Kedua, tambo juga melihat perjalanan sejarah sebagai sebuah irama yang bercorak spiral,  bukan siklis, yang akhir kembali ke asal, tidak pula eksalogis   dan linier, yang akhirnya menuju tingkat tertinggi, sebagaimana yang diberikan Islam, tetapi perjalanan dan lingkaran yang mangkin membesar   tanpa terlepas dari lingkaran awal yang terkecil. Dari dua pesan tambo, maka tidaklah   sulit memahami   bahwa dinamika dan “kemajuan” Minangkabau adalah suatu proses sejarah panjang,   yang selaput pikiran kritis, dinamis dan selalu   berusaha   mengadakan perubahan dalam menjaga eksistensinya. 

Konsepsi yang terdapat pada tambo lalu disampaikan secara oral   dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke kemanakan, dari generasi ke generasi berikutnya,  pewarisan yang oral dan subyektif ini tentu akan memberikan peluang masuknya  kepentingan dan pesan setiap orang yang menyampaikannya. Kekhawatiran  terhadap adanya pendapat  dan perasaan pribadi yang dimasukkan ke dalam tambo dan kaba itu  tidaklah akan mengurangi arti pentingnya. Dari tambo dan kaba yang  bersifat lisan itu,  akhirnya dituliskan  riawayat Minangkabau, setelah nenek moyang orang Minangkabau mengenal tulisan  Arab sesudah masuknya Islam ke Minangkabau.  Hal ini, terbukti dari tambo asli ditulis dengan tangan dengan tulisan arab  berbahasa Melayu. Pengungkapan tentang Minangkabau menjadi bahagian yang penting dalam tambo, sejak asal-usul keturunannya, negeri yang mula ditempati sampai kepada bagaimana mereka mengatur kehidupannya. Aturan tentang kehidupan itulah yang kemudian dikenal dengan adat alam Minangkabau.

Minangkabau dengan kebudayaannya  telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya, seperti yang sejalan dengan  filosofi adatnya “Alam Takambang jadi guru”. Oleh karena itu pula  maka pengertian Minangkabau sekarang, termasuk yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah lebih menukik kepada aspek sosial budaya,  ketimbang aspek daerah atau wilayah. Kenyataan ini,  telah ada sejak  Belanda di  abad  19  menguasai Minangkabau, maka dengan berbagai   kebijakan politik   ia berhasil memecah kesatuan wilayah alam Minangkabau, kondisi seperti itu dilanjutkan  oleh pemerintah Repoblik Indonesia  setelah merdeka sampai saat ini melalui undang-undang Pemerintahan Desa, sehingga secara tidak langsung mencabut akar historis kehidupan bermasyarakatMinangkabau melalui  lembaga  nagari.

B. Islam dan adat  Minangkabau

Dalam sejarah, dalam hal ini tambo, begitu juga dalam pengetahuan masyarakat  secara turun temurun   bahwa  perumusan adat Minangkabau dilakukan oleh dua orang besar mereka, yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk perpatih Nan Sabatang. Untuk bagaimana  kedua orang tersebut menyusun adat, tentu diperlukan pengetahuan tentang  asal-usul nenek moyang mereka. Sebab, adat adalah  merupakan kebudayaan  yang tidak timbul begitu saja, tetapi ia memiliki masa dan ruang yang jelas. Dalam konteks sejarah ummat manusia, nenek moyang orang Minangkabau bukanlah turun dari puncak gunung merapi dalam artian di sana asal usul pertama mereka. Karena, sulit sekali  diterima  akal kalau mitos sejarah  itu dipahami  apa adanya, tetapi ia merupakan simbol  bahwa daerah pertama  yang ditemukan  nenek moyang orang Minangkabau adalah puncak gunung merapi.

Nenek moyang suku Minangkabau berasal dari percampuran antara bangsa Melayu Tua yang telah datang pada zaman Neoliticum dengan bangsa Melayu Muda yang menyusul kemudian pada zaman perunggu. Ke dua bangsa ini adalah serumpun dengan bangsa Astronesia.[13] Adalah kenyataan bahwa berita tertulis tentang Minangkabau baru ada sejak abad  ke-7 dan karena itu priode  antara abad pertama  masehi hingga abad ke ke-7 dinamakan dengan Zaman Mula Sejarah Minangkabau ,yang didalamnya meliputi dua priode, yaitu Mula Sejarah Minangkabau dan    Priode Minangkabau Timur. [14]

Kegelapan sejarah Minangkabau pada priode awal itu bukanlah suatu alasan untuk mengatakan bahwa kebudayaan awal Minangkabau tidak dapat diketahui dan dijadikan pedoman oleh masyarakatnya.  Data sejarah yang diungkap tambo bila dilakukan penafsiran silang antara satu tambo dengan tambo yang lain, kemudian dihubungankan dengan kenyataan dan fakta sejarah, seperti pantun, pepatah, petitih ,bidal yang masih menjadi pegangan masyarakat Minangkabau sekarang, maka tidak ada alasan untuk menyebut bahwa tambo sebagai sumber adat   tidak rasional dan bersifat fiktif. Rasionalitas tambo sebagai sumber sejarah dan informasi tentang kebudayaan Minangkabau, akan sulit ditunjukan bila dibaca  menurut apa adanya, seperti layak membaca cerita atau berita. Akan tetapi, bila dibaca dengan  cermat dan mendalam, maka tambo yang tidak pernah  dituliskan siapa penulisnya dan  mengunakan bahasa semiotika dalam bentuk perlambang, kias dan banding yang sukar ditangkap   menurut teksnya, akan memdatangkan arti yang memadai dan sesuai pesan yang dimaksudnya.. Pemaknaan itu bisa di dapat dengan membanding  beberapa tambo yang ada, kemudian mencari akarnya pada  pepatah-petitih    yang masih jadi pedoman budaya  masyarakat. Lebih dari itu, dapat juga  dipedomani bahwa dalam praktek penulisan sejarah di Barat dan Timur , semua informasi    sejarah dapat dijadikan sumber awal yang pada akhirnya akan diuji validitas data tersebut dengan data lain yang sama. 

Dengan telah tersusunnya masyarakat dalam suatu aturan yang disepakati bersama  yang disebut dengan adat, membuktikan bahwa  jauh sebelum agama Islam masuk ke daerah ini masyarakat Minangkabau  sudah dikenal sebagai masyarakat yang kuat memegang adatnya. Pertanyaan kemudian yang harus dikaji lebih jauh  bagaimana Agama Islam dapat hidup dan berkembang pesat di tengah budaya yang sudah mapan dan kuat. Dari berbagai literatur yang ada menjelaskan bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui jalan dagang dan dapat diterima masyarakat dengan penuh kedamaian dan toleransi yang tinggi dengan kepercayaan yang sedang dianut  masyarakat ketika itu. Hampir semua penulis sejarah keislaman tentang Minangkabau menyebut bahwa Islam masuk kedaerah ini adalah ketika  sufisme[15] sedang mengalami masa kejayaannnya. Akibatnya, Islam yang kemudian datang  juga tidak lepas dari pengaruhnya.

Sulit dipastikan, kapan sebenarnya Islam masuk ke kawasan ini. Ada yang mengatakan pada abad ke -12, ada pula pada abad ke -14 dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa suatu almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama   hijriah. [16] Tapi, M.Jurstra dalam bukunya, Minangkabau, Overzicht van Land, Geshiede en Volksmemastikan bahwa Islam tidak berlaku di Minangkabau sebelum tahun 1550M. Karena, perutusan orang-orang Minangkabau yang menghadap Albuerque di Malaka pada tahun 1551 masih belum beragama. Begitu juga Rue de Ariro, seorang kapitan dari Malaka tahun 1554 menyebut orang-orang Minangkabau yang belum beragama. [17] Berbagai versi sejarah tentang Islam di Minangkabau, namun yang lebih bisa diterima oleh banyak pihak bahwa Islam baru dikenal oleh masyarakat Minangkabau dalam arti sebuah agama diperkirakan sekitar tahun 1600 Masehi

Pendekatan persuasif, ekonomi dan sosial budaya (adat istiadat) yang   telah terlebih dahulu menjadi filosofi dan pandangan hidup masyarakat, secara perlahan tapi pasti Islam dapat mengeser posisi kepercayaan dan pandangan hidup animisme dan dinamisme menjadi   aqidah Islam yang benar. Bukanlah hal yang mudah untuk menetapkan faktor apa yang paling dominan dan menetukan sehingga Islam begitu cepat dan mudah diterima masyarakat di Nusantara. Ada yang memberikan porsi pada faktor pendekatan yang dipakai oleh penyiar Islam dengan cara damai, toleran dan penuh pengertian. Di sisi lain memberikan penekanan pada ajaran Islam itu sendiri. Ajaran islam yang disodorkan kepada masyarakat lebih banyak aspek mistis atau tasauf daripada aspek hukum. Artinya  fungsi ganda yang dimiliki penyiar Islam sebagai pedagang dan juga guru tarekat ternyata memberikan ruang yang lebih luas bagi tumbuhnya suasana yang kondusif bagi kejiwaan masyarakat, yang sebelumnya dipengaruhi secara mendalam oleh agama Hindu dan Budha dan kepercayaan lokal. William Marseden, dalam bukunya , The History of Sumatera ,mengakui seberapa cepatnya proses pengislaman itu. Ia heran melihat masyarakat Minangkabau telah sepenuhnya memeluk Islam, ketika ia mengunjugi daerah tersebut pada tahun 1778. Padahal dalam sebuah manuskrip tahun 1761 di gambarkan bahwa masyarakat di sana kebanyakan masih menyembah berhala. Hanya saja, sekalipun telah menganut Islam, tambah Marsden, takhyul dan praktik-praktik tidak Islami lainnya masih banyak dilakukan masyarakat Minangkabau pada saat itu. Dan Syariat Islam seperti Shalat, Puasa, masih jarang dilaksanakan dan mesjid (surau) jarang dikunjungi, kecuali oleh para pemuka agama. [18]

Khusus fase awal Islam ke Minangkabau menurut suatu pendapat mengungkapkan bahwa penduduk asli telah diislamkan oleh pedagang-pedagang Islam yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Indragiri, pada abad 15 dan 16 M[19].   Pendapat ini sangat boleh jadi, bila memang Malaka waktu itu dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M, membawa akibat pindahnya jalan perdagangan melalui pantai barat pulau Sumatera. Pada sisi lain, kerajaan Pasai di Aceh yang telah bercorak Islam menanjak naik dibawah kekuasaan sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau[20] oleh kekuasaan Aceh. Dalam kondisi seperti ini menurut pendapat lain Islam mulai masuk dari kota-kota di pantai barat Sumatera menuju ke pedalaman Minangkabau.

Pada saat kebesaran kerajaan Pasai saudagar-saudagar Islam Aceh telah sampai ke pesisir barat pulau Sumatera yang   lebih dikenal dengan Minangkabau. Disamping berdagang mereka juga memperkenalkan agama baru yang   mereka anut, yaitu Islam. Penyebaran islam oleh saudagar-saudagar Aceh telah menganggu ketenangan Raja Adytiwarman yang menjadi Raja di Minangkabau masa itu. Sehingga pihak Raja sering memboikot    perdangangan dengan pedagang Aceh. Akibatnya saudagar Aceh lebih mengkonsentrasikan perjuangannya pada masyarakat sepanjang rantau (pesisir lautan Indonesia). Kejayaan kerajaan Aceh selanjutnya membawa pengaruh yang berarti bagi perluasan Islam di Minangkabau pada masa-masa berikutnya. Demikianlah juga halnya dalam wacana pemikiran  yang lekat dengan warna sufisme, yang secara signifikan mulai dirintis oleh nama-nama besar semacam Hamzah al-Fansuri, [21] Syam al-Din al-Sumatrani [22] , Nur al-Din al-Raniri, [23] Abd al -Rauf al-Sinkili [24] ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau pada masa awal.   Hamzah al-Fansuri dan Syam al-Din al-Sumatrani adalah dua tokoh yang banyak melahirkan karya besar dalam bentuk esai dan puisi dengan corak pemikiran Wahdat al-Wujud. Sedangkan dua ulama terakhir cenderung kepada pemikiran yang mengharmonisasikan antara syari'ah dan tasawuf. Polemik tasawuf heterodok (wujudiah) dengan paham ortodoks yang berkembang luas di Aceh pada abad ke 16 dan 17 Masehi. Kedua paham yang bertentangan dan mendatangkan konflik keagamaan dan   membawa korban besar   di   Aceh diatas, merembes dan   dapat ditemukan jejaknya pada Islam di Minangkabau. Namun, yang paling dominan, khususnya dikalangan pengikut tarekat adalah paham   yang mendamaikan antara tarekat dan syariat cukup mendapat tempat yang berarti hal ini. Kenyataan ini tetap diakui dan diyakini kaum tradisionil Minangkabau bahwa ulama yang menjadi sumber rujukan bagi mereka adalah seorang ulama besar, yaitu Syekh Abd. al-Ra'uf dari Sinkel (W. 1693) yang lebih terkenal sebagai Tuanku Syiah Kuala.   Keberhasilan Syekh   Abd. al-Rauf dalam  menempatkan diri sebagai ulama yang berwibawa dan berpengaruh di kerajaan Aceh serta mampu menyebarkan ajaran yang diperolehnya   ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan Aceh, satu di antara daerah Minangkabau.

Pengaruh Al-Sinkili dalam   Pengembangan Islam di Minangkabau di teruskan oleh   murid-muridnya. Yang paling terkenal di antara para murid al-Sinkili di Sumatera bagian barat adalah Burhan al-Din, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Ulakan [25] . Burhanuddin Ulakan Pariaman bukan saja murid Al-Sinkili yang bertugas mengembangkan   agama Islam, bahkan ia juga mendapat   mandat dari Sultan Iskandar Tsani sebagai penguasa di wilayah   sepanjang pantai   barat, yang saat ini telah berada juga dibawah penguasaan kearajaan Aceh. Bukti bahwa Syekh Burhanuddin mendapat mandat penguasa dan pengembang Islam dari sultan Aceh adalah dengan ditemukannya   cap stempel   kerajaan Aceh  pada peninggalan Syekh Burhanuddin berupa stempel berkepala sembilan . [26]

Di dalam mengemban tugas kerajaan dan penyebaran Islam    Syekh Burhanuddin menetapkan basis   kegiatannya dengan membangun surau di Tanjung Medan Ulakan. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan pada akhirnya memainkan peran sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau    Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan   keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Dalam perjalanan sejarah perkembangan   dan penyiaran   Islam  (dakwah Islamiyah) di Ranah Minangkabau selanjutnya surau menjadi ujung tombak dari proses Islamisasi di Minangkabau, karena surau bukanlah   sekedar tempat ibadah   semata, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga   kemasyarakatan.

Tradisi[27] yang dikembangkan pada  surau[28] di  Minangkabau[29]  tampaknya mempunyai daya tarik tersendiri, Surau meskipun  dicap  sebagai “ lembaga tradisional” namun keberadaannya  tidak dapat  digantikan oleh  lembaga-lembaga  lain. Peranan surau sebagai pusat  pengembangan agama  dan  pemberdayaan masyarakat, merupakan  fakta yang tidak dapat dibantah. Bahkan eksistensinya merupakan  cikal bakal  dari  sistem penyiaran Islam melalui pendidikan model madrasah dan  sekolah. Sejarah  membuktikan bahwa  keberadaan surat erat kaitannya dengan masuk dan  berkembangnya  Islam  di Nusantara, khususnya Minangkabau. Surau Ulakan disamping menyiarkan Islam dalam bentuk pendidikan dan dakwah juga menjadi pusat kegiatan tarekat Syathariyah . Disamping itu. sekitar setengah abad dari  kejayaan Surau Syekh Burhanuddin Ulakan, maka sekitar paruh pertama abad XVII  terdapat pula beberapa surau di pedalaman Minangkabau yang menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabandiyah, yang menonjol di antaranya di daerah Limapuluh Kota dan Tanah Datar. Di daerah pesisir dan Agam terdapat pulau surau tarekat Qadiriyah tapi tidak begitu di kenal seperti Tarekat Naqsabandiyah menunjukkan perkembangan positif Tarekat Syathariyah. Surau-surau Syarhariyah beralih fungsi menjadi pusat pengembangan Tarekat Naqsabansiyah, khususnya zikir dan suluk, misalnya Surau Cangking di Agam, Surau Silungkang, Surau Kasik di Singkarak, Surau Pasir di Agam dan Surau di Bonjol. Verkerk Pistorius memperkirakan bahwa sampai tahun 1869 kira-kira seperdelapan dari penduduk Minangkabau telah bergabung dengan Tarekat Naqsabandiyah
            
        Pengembangan Islam yang lebih terencana  baru dapat berlangsung setelah  Pusat Minangkabau (Darek)   mendapat tempat yang berarti  dalam sistem sosial kemasyarakatan  di rantau yaitu diterimanya surau (masjid)  sebagai salah satu persyarat sahnya satu nagari baru, disamping   setelah Islam masuk dan menjadi anutan oleh Raja Pangaruyung. Islamnya, pusat kerajaan Minangkabau berikut dengan segala pemimpin yang  memegang tampuk kekuasaan baru mulai muncul kepermukaan setelah  lumpuhnya Imperium Sriwijaya di Palembang dan Majapahit di Jawa diakhir abad ke 15 Masehi. Keruntuhan  kekuasaan Hindu dan Budha terbesar di Asia Tenggara masa itu tidak dapat dipisahkan  dari pengaruh Islam di Nusantara karena semangkin kuatnya Kerajaan Malaka yang berdiri sekitar tahun 1400 Masehi dan satu abad kemudian ( abad ke 15 ) Kerajaan Malaka memainkan peranan penting sebagai pusat penyiaran Islam di Nusantara. Begitu juga halnya dalam lapangan ekonomi dan politik pengaruh kerajaan Malaka begitu luas, sampai ke daerah Kampar, Siak dan  Kerajaan Minangkabau. Pada masa Pemerintahan Sultan Mansursyah  Malaka mencapai puncak kejayaannya dan pada masa ini seorang putera Siak (Nama negeri di Minangkabau Timur) menuntut ilmu agama Islam ke Malaka, setelah ia menguasai ilmu-ilmu agama ia pulang ke negerinya kemudian diberi gelar Syekh Labai Panjang Janggut, ialah orang pertama yang menyisiri Sungai Kampar untuk mengembangkan Islam ke pedalaman Minangkabau sampai ke Luhak Lima Puluh Kota Payakumbuh dan akhirnya  Islam sampai di Pusat kekuasaan Islam Pagaruyung.

Perbedaan pendapat tentang    pengembangan Islam ke Minangkabau lewat jalur utara melalui  sungai Kampar, melalui Malaka perantaraan orang Siak, yang buktinya sebutan orang Siak bagi penuntut Ilmu di  Minangkabau masih kedengaran adanya. Perbedaan ini tidak menafikan keberadaan  Syekh Burhanuddin Ulakan yang berada di pesisir pantai Minangkabau. Bahkan dapat ditegaskan, bahwa data sejarah  menunjukan bahwa pengembangan Islam di Nusantara  berawal dari daerah pesisir pantai, bukanlah hal yang sulit diterima bahwa   pertama kali masuk ke Minangkabau. Satu hal, yang hampir semua ditutur dalam sejarah bahwa raja Minangkabau pertama yang memeluk agama Islam adalah Raja Angwarman setelah Islam bertukar namanya dengan Sultan Alif (1581M)  masih dari Dinasti Aditiyarman. Sejak masa itu sturuktur sosial kerajaan Pagaruyung mengalami perobahan, sesuai dengan tuntutan masyarakat Islam kelembagaan Rajo Tigo Selo (Raja Adat, Raja Ibadat (Masih dalam agama Hindu Budha) dan Raja Alam  tidak lagi memadai, maka akhirnya dibentuklah kelembagaan eksekutif  (Pelaksana) dari hukum adat dan hukum agama Islam yang dianut luas oleh masyarakat di Darek dan Rantau. Lembaga baru itu kemudian disebut dengan istilah Basa ampek Balai (Artinya ada empat pemegang kekuasaan dalam masyarakat sesuai bidangnya) yaitu: (1) Titah di Sungai Tarab yang memegang adat dan pusaka, sekaligus berfungsi sebagai perdana  menteri kerajaan Pagaruyung. (2) Datuk Indomo di Saruaso yang memiliki kewenangan pertahanan dan keamanaan kerajaan.(3) Tuan Qadhi di Padang Ganting penanggung jawab utama bidang keagamaan dan (4) Makhudum di Sumanik sebagai bendaharawan dan menteri keuangan Nagara.  Disamping itu,  diangkat pula Tuan Gadang di Batipuh sebagai Panglima tertinggi Pagaruyung. Pembentukan dua kelembagaan pada kerajaan Pagaruyung semangkin memperluas kesempatan untuk penyiaran Islam bagi masyarakat Minangkabau baik di darek begitu juga di rantau. Ada dua lembaga ini masih baru bersifat formalitas dalam kerajaan, belum lagi dapat berfungsi penuh dan dapat menjadi alat penyiaran Islam yang efektif. Barulah sejak kedatangan Syekh Burhanuddin  Islam semangkin kuat dan kemudian pengembangannya secara sistimatis dan meluas serta  meninggalkan  sistim pendidikan dan penyiaran yang mapan.[30]

Pengembangan Islam yang demikian pesat  dan masuk jauh ke pedalaman Minangkabu melalui lembaga surau. Surau dapat memainkan perannya sebagai unsur kebudayaan asli suku Melayu  dan berkaitan dengan keyakinan yang  dianutnya.  Setelah  Islam masuk  ke Nusantara surau  menjadi  bangunan  Islam.  Dahulu surau  adalah  tempat bertemu, berkumpul, berapat  dan  tempat tidur  bagi pemuda-pemuda dan  laki-laki  yang sudah tua,  terutama duda. Selain di Minangkabau bangunan  sejenis  terdapat  juga di Mentawai, disebut Uma,  di Toraja  Timur, disebut  Lobo, di  Aceh  disebut  Muenasah  dan  di  Jawa  disebut Langgar.[31] Surau menurut  pola adat Minangkabau adalah  kepunyaan kaum  atau Indu. Indu ialah bagian  dari suku, dapat  juga  disamakan dengan Clan.  Surau  adalah  pelengkap rumah gadang (rumah adat). Namun tidak setiap rumah gadang  memilikinya, karena surau yang telah ada masih  dapat  menampung  para pemuda untuk bermalam, para musafir dan pedagang bila melewati suatu desa dan kemalaman dalam  perjalannya. Dengan demikian para pemuda yang tinggal dan bermalan di surau dapat  mengetahui informasi yang terjadi di luar desa mereka, serta situasi kehidupan di rantau. Jadi surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat inaformasi dan tempat terjadinya sosialisasi  pemuda.[32]
Sebelum  masuknya agama Islam surau  telah  menjadi institusi dalam  struktur adat Minangkabau. Dalam sejarah Minangkabau dipercayai  bahwa surau besar pertama  didirikan  raja Aditiawarman  tahun  1356 M  dikawasan  Bukit  Gombak.[33] Surau yang selain berfungsi sebagai pusat peribadatan  Hindu-Budha ini  juga  tempat pertemuan  anak-anak  muda untuk mempelajari berbagai pengetahuan  dan  keterampilan sebagai persiapan menempuh kehidupan. Surau  bahkan  sebelum  kedatangan  Islam,  di  Minangkabau telah mempunyai kedudukan  penting  dalam struktur  masyarakat.  Fungsinya lebih  dari sekedar tempat  kegiatan  keagamaan.  Menurut  ketentuan  adat surau  berfungsi  tempat berkumpulnya  para remaja, laki-laki  dewasa  yang belum  kawin atau  duda. Karena adat menentukan  bahwa anak laki-laki tak punya kamar  dirumah orang tua mereka, maka mereka bermalam  di  surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat  penting  bagi  pendewasaan  generasi muda Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun dari  keterampilan praktis  lainnya.[34]

Melalui lembaga surau Islamisasi berjalan secara perlahan-lahan tapi pasti. Tantangan paling nyata muncul dari kalangan adat. Banyak ajaran Islam dan praktek sosial yang dilakukan kalangan adat yang bertentangan, seperti minuman arak, berjudi menyaung ayam dan perbuatan   maksiat lainnya. Akibatnya, para penghulu merasa terusik oleh kedatangan Islam khususnya   peranan kalangan surau dalam menyebarkan islam ke tengah-tengah masyarakat. Penentangan   kalangan penghulu terhadap Islam pada tahap Islam tidaklah begitu menghambat lajunya penyiaran Islam. Hal ini disebabkan kedua belah pihak menempatkan dirinya secara arif dan tidak saling mencampuri. Penghulu atau kalangan adat  mengurus masalah adat dan nagari, sedangkan ulama mengurus agama atau surau kalaupun mereka menyiarkan islam tetapi bersifat persuasif dam   akomodatif . Perbedaan baru muncul secara nyata ketika di surau muncul gerakan penyiaran Islam yang lebih intensif, ulama surau mengunakan pendekatan revolusi dan represi, yang dikenal dengan gerakan Paderi.

Kedatangan Islam, pada dasarnya tidak melahirkan konflik dalam masyarakat Minangkabau. Sistim adat yang sudah ada dan berkembang   tidak pernah diganggu oleh Islam, malah sebaliknya Islam memberikan   pengakuan pada tatanan adat, khususnya yang berkaitan dengan Akhlak dan budi pekerti. Maka, adalah keliru pendapat yang menyebutkan bahwa adat Minangkabau dan agama Islam bertentangan, akan tetapi pertentangan antara pemangku adat dengan kalangan ulama memang pernah ada konflik. Pada kenyataannya di masyarakat sejak dulu sampai sekarang   keduanya dapat berjalan secara bersamaan tanpa ada satu diantaranya   yang ternafikan. Penulis sejarah Taufik Abdullah menyimpulkan bahwa adat dan agama di Minangkabau dapat berjalan secara seimbang dan saling mengisi. misalnya ,ia menulis:   

Dampak paling awal dari agama islam adalah dalam formulasi adat yang baru, sebagai pola prilaku ideal, dalam artian bahwa unsur-unsur luar seluruhnya dapat diserap ke dalam orde yang berlaku sebagai bagian dari suatu sistem yang koheren. Sangat suka mengetahui bagaimana cara reformasi dari seluruh pola   masyarakat struktural yang dicapai. Pertama-tama tidak ada sumber adat yang dikenal sebelum masuknya agama Islam, kecuali dalam informasi yang tersebut di sana sini   dalam tambo , serta pepatah-petitih adat. Kedua, “kodifikasi” atau lebih tepatnya perumusan, adat yang sebenarnya  baru dimulai setelah masuknya tulisan   Arab. Lagi pula, dasar logika dan formulasi adat bersandar pada “hukum logika” Islam atau “mantik”. Sikap Minangkabau terhadap adat di dasarkan pada posisi berdampingan dari keseinambungan yang imperatif dari adat – tak lakang dipaneh dan tak lapuk dek hujan- dengan pengakuan tentang betapa pentingnya perubahan – sakali air adang sakali tapian berubah- .Maka secara implisit dalam adat harus ada perubahan serta penyesuaian terhadap keadaan – hasta-usang di pabaharui, lapuk-lapuk dikajangi - sedangkan ketengangan permanen dalam sistem tersebut   berkat kebutuhan untuk menyesuaikan nilai dasar  dengan keadaan yang berubah. Untuk menghadapi keadaan yang bertentangan ini, sistem diatur sedemikian rupa, sehinga reavaluasi yang tak dapat dicegah dapat berlangsung lancar, adat dibagi dalam berbagai kategori, dengan unsur-unsur tetap dan yang berubah, prinsip umum serta variasi lokal mendapat tempat masing-masing yang sewajarnya   . [35]

Penyesuaian adat dengan agama itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ini adalah hasil usaha terus menerus yang diprakarsai oleh    kearifan   tokoh penyebar Islam   pertama   yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Kenyataan menunjukan bahwa penyesuaian atau persenyawaan adat dan agama   mula pertama terjadi di daerah rantau, khususnya daerah Pesisir, sejak dari Pariaman sampai ke Pesisir Selatan. Di mana, daerah ini lebih dahulu pengaruh Islam yang kuat, terutama ketika Syekh Burhanuddin bersama muridnya yang pertama yaitu Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru) dari Koto Tangah Padang, Buyung Mudo (Syekh Bayang) dari Bayang Painan dapat menacapkan Islam ke dalam struktur   masyarakatnya   .   Ada beberapa   faktor yang menyebabkan   perpaduan  dan persenyawaan adat dan syarak begitu cepat   dan lacar dirantau   antara lain :

Pertama: Adanya bantuan   dan pengaruh dari kekuasaan pemerintahan di   rantau   yaitu, raja atau disebut juga dengan panggilan Rangkayo , di mana mereka mendapat dukungan secara moral dan ekonomi dari kerajaan Aceh yang menguasai perdagangan rakyat di daerah pesisir rantau. Akibatnya, Islam dan budaya Aceh menjadi satu pilihan agama dan budaya bagi masyarakat rantau. Sebagaimana di Aceh berlaku pepatah 'Adat bak Pentu Manaruhum Sultan Iskandar, Syarak bak Syiah di Kuala” (Adat dibawah kekuasaan almarhum Sultan Iskandar Muda, Syarak (Agama) dibawah keputusan Syiah Kuala (gelar untuk Syekh Abdur Rauf al-Sinkili).Bukan tidak mungkin , filosofi budaya Aceh ini yang melahirkan diktum adat Minangkabau           Syarak mandaki adat manurun.  Diktum ini ada yang memberikan arti bahwa   agama ditetapkan pada Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman, sedangkan adat ditetapkan pada Basa Ampek Balai di Darek (Pusat Alam Minangkabau).

Kedua: Pendekatan dan perjuangan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin beserta sahabat dan murid-muridnya di rantau telah mengem-bangkan Islam secara terencana, sistematis dengan mengunakan pendekatan kultural (menyesuaikan dengan pola budaya masyarakat yang telah ada). Sehingga memudahkan para Raja, Penghulu, Rangkayo dan masyarakat rantau memeluk agama Islam.

Ketiga:Syekh Burhanuddin dengan empat orang teman utamanya adalah putra-putra Minangkabau yang paham dan mengerti akan seluk beluk budaya dan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka mudah berkomonikasi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungkannya. Hasil dari penyesuaian yang dilakukan menjadikan semangkin mudah berpadunya adat dan Syarak. Sebagai bukti dapat dilihat sampai sekarang di rantau anak berbangsa kepada bapak dengan gelar Sidi, Sutan, Bagindo yang diambilkan dari ayahnya (Patrialchaat) dan bersuku kepada Ibu Koto,Panyalai,Piliang Bodi,Sikumbang dan lainnya (matrialchaat). Adanya pusaka tinggi yang merupakan warisan kolektif yang tak boleh dimiliki pribadi kecuali atas beberapa kasus tertentu menurut sepanjang adat. (menurut aturan adat Minangkabau jatuhnya kepada pihak kemanakan). Ada pula pusaka rendah, yaitu hasil usaha yang dilakukan oleh satu keluarga boleh dimiliki oleh anak-anaknya sesuai menurut hukum Islam. Komporomi ini lebih nyata sekali dalam pepatah adat :

                        Kaluk Paku kacang belimbing
                        ambiak tampurung lengang-lenggangkan
                        bao manurun ka Saruaso
                        Anak dipangku kamanakan dibimbing
                        Urang kampung  dipatenggangkan
                        tenggang kampung jan binaso
                        Tenggang nagari jo adaiknyo.

Keempat; Filsafat adat alam Minangkabau yang mendorongkan masyarakat untuk bersikap dinamis dan segera membaca perkembangan zaman tanpaharus tercerabut dari jati dirinya sebagai orang yang beradat. Misalnya seperti yang tertuangkan dalam pepatah adat:

Panakiak Pisau Siraut
Selodang ambiak kanyiru
Satitik jadikan lalut
Alam Takambang Jadi guru

Filosofi  alam takambang  jadi guru  sebagai kultur masyarakat Minangkabau sangat menunjang sekali persenyawaan adat dan syarak yang prinsipnya sama-sama berasal dari Sunnatullah (Hukum Allah) yang tersurat dan tersirat).

Dilain pihak, lambat dan mandeknya perpaduan adat dan agama berikut pengembangan Islam di  Luhak Nan Tigo (Pusat alam Minangkabau), disebabkan banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh pemuka agama, kendala itu berasal dari kalangan adat (Penghulu), hal ini disebabkan oleh :

Pertama: Pengaruh dari agama Budha yang aristokrat   masih  berbekas pada masyarakat pedalaman  sementara ninik mamak (Penghulu) masih tetap terjerat dalam  kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang Budihistis dan aristokrat serta permainan judi, menyabung ayam dan perbuatan maksiat lainnya. Disamping itu di kawasan Luhak Lima Puluh Kota antara ummat   Islam pernah terjadi pertentangan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah. Akibat dari konflik paham keagamaan ini mereka para penghulu memilih mempertahankan kebiasaan lamanya, (adat-istiadatnya) sedangkan masyarakat banyak bingung karena penghulu adalah ikutan dan teladan dalam kehidupan mereka.

Kedua: Basa Ampek Balai sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di Darek masih bersikap formalitis dan melihat perkembangan lebih dulu, mereka lebih menanti perkembangan sebab mereka merasakan jika agama Islam diberi peluang lebih besar tentu posisi dan kedudukannya akan tergeser dalam masyarakat, karena mereka bukanlah Ulama. Mereka menyadari bahwa mereka sebagai pemegang kekuasaan sangat berkepentingan sekali untuk menguasai  masyarakat, namun agama Islam masih perlu diberikan kesempatan untuk memgembangkan dirinya secara sendiri.Walaupun ummat Islam sudah banyak namun mereka masih belum mampu menerobos jauh kedalam sistim pemerintahan alam Minangkabau.

Ketiga, Karena kuatnya kekuasaan dan pengaruh Panghulu di Luhak Nan Tigo. Taufik Abdullah menyebutnya Nagari adalah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang penghulu  bersifat mandiri dan otonom.Sementara kekuatan ulama masih sangat terbatas sekali. Memperhatikan keadaan tersebut  membuat kalangan adat dan agama merasa tidak puas dan sering terjadi perselisihan ditengah-tengah masyarakat.  Atas usaha pemuka agama dalam hal ini Syekh Burhanuddin dan pengikutnya  mereka dapat meyakinkan para penghulu. Maka untuk menjaga ketenteraman masyarakat di buatlah satu kesepakatan antara  Darek dan Rantau,  yang berisikan bahwa kekuatan Syarak (agama) yang telah dipegang oleh para ulama di rantau yang berpusat di Ulakan harus dipadukan dengan kekuatan adat yang berpusat di Luhak Tanah Datar (Pagaruyung), sebab kedatangan ajaran Islam tidaklah bertentangan dengan adat Minangkabau. Agar para Ulama pemegang Syarak dan para penghulu pemangku adat bersama-sama membangun dan memelihara adat dan agama (Islam) sehingga anak, kemanakan aman sentosa, tenang dan damai. Untuk itu perlu adanya perjanjian dan kesepakatan di alam Minangkabau antara kaum adat dan kaum agama dibawah restu yang dipertuankan  di Pagaruyung dengan ketentuan: (a) seluruh rakyat alam Minangkabau resmi menganut dan mengamalkan Islam dalam paham mazhab Syafi’i seperti yang berlaku di Aceh. (b)mensenyawakan adat dan syarak bahwa adat basandi syarak. Kata syarak (Agama ) akan dipakai oleh adat. (c) struktur pemerintahan menurut sepanjang adat dilengkapi dengan fungsionaris-fungsionaris keagamaan. Walaupun kekuasaan Raja sebagai lambang kesatuan alam Minangkabau, karena rantau dan nagari  dibawah raja-raja kecil dan penghulu namun kesatuan agama perlu diwujudkan dan dipertahankan.

Kesepakatan Darek dan Rantau yang dilalukan oleh  Syekh Burhanuddin dengan beberapa penghulu menjadi titik awal pembicaraan selanjutnya. Maka pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas yaitu: (1)Amai Said (2)Rajo Dihulu (3)Rajo Mangkuto(4) Rajo Sulaeman.(5)Panduko Magek. (6)Tan Basa.(7)Majo Basa.(8)Malako (9)Malakewi.(10)Rangkayo Batuah (11)Rajo Sampono  menemui Basa Ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau dan  memperkatakan (membincangkan) agama (Syarak) dan adat. Mereka berangkat menemui Basa Ampek Balai atas inistiaf dari Tuanku Padang Ganting dengan nasehat dari Tuan Qadhi Padang Ganting. Kemudian dilangsungkan pertemuan itu di puncak Pato (berasal dari Fatwa atau Petuah) dengan di hadiri Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu terkemuka di Luhak Nan Tigo. Pemilihan tempat ketinggian ini karena dari sini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebesaran alam Minangkabau, bukit itu dinamakan dengan Bukit Marapalam teletak antara Desa Sungayang dengan Batu Bulek. Inilah yang kemudian dikenal dengamn Perjanjian Bukit Marapalam . Piagam Bukit Marapalam itu berbunyi:

“ Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”

Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan ditempat ini  hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syarak yang akan menjadi pegangan anak kemanakan ,hidup yang akan dipakai mati yang akan ditopang,bahwa adat dan syarak akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau ,dengan ini kami sambil menyerahkan kepada Allah SWT sambil mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu ka ganti Nabi, Rajo ka ganti Allah, kami mengikrarkan bahwa:

Adaik basandi kapado syarak,syarak basandi kapado kitabullah, syarak mengato adaik  mamakai.(Adat bersendikan syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak (agama) menyatakan adat melaksanakan).[36]

Sagala undang-undang  adat dan kelengkapannya dalam alam Minangkabau Luhak dan Rantau, kampung dan nagari disesuaikan dengan tuntunan adat dan syarak( agama Islam). Ikrar dan kesepakatan ini disampaikan oleh segala ulama dan penghulu kepada rakyat di alam Minangkabau. Perjanjian dituliskan dibawahnya : Atas nama Syarak Syekh Burhanuddin Ulakan dan atas nama kaum adat  Basa Ampek Balai Titah di Sungai Tarab dan disetujui oleh Raja Alam Yang dipertuankan di Pagaruyung.

Setelah selesai ikrar Bukit Marapalam lalu Basa Ampek Balai bersama Syekh Burhanuddin dan rombongan minta pengesahan kepada Yang dipertuankan rajo alam Minangkabau di Pagaruyung yang disaksikan oleh Rajo Adat dan Raja Ibadat. Dalam pertemuan Bukit Marapalam itu juga dibicarakan sisa-sisa ajaran Syiah, sehinga dapat pula kesepakatan bahwa agama Islam yang akan dikembangkan di Minangkabau adalah menuruti Mazhab Imam Syafi’i, beritikad Ahlusunah waljmaah. Selanjutnya melalui para Ulama dan Penghulu diaturlah adat dan syarak di Luhak dan nagari sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan hukum dan hak alam serta dinamika dan daya cipta, rasa dan karsa manusia dalam membangun budaya. Kemudian sesuai perkembangan waktu kelembagaan Rajo Tiga Selo berubah menjadi Tali Tigo Sapilin, Tungku Nan Tigo Sajarangan yaitu Ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Kelembagaan Basa ampek Balai dituangkan lagi menjadi Urang Ampek Jinih, jikalau di Mesjid dikenal dengan Imam, Khatib, Labai, dan pegawai. Di suku dikenal Penghulu, Malin, labai, dubalang dan urangtua Jika dinagari dilengkapi dengan empat yaitu: Balabuah,batapian,babalai dan ba musajik.[37]

Sejak dikukuhkannya Perjanjian Bukit Marapalan oleh pemuka adat dan agama di Minangkabau, maka dilakukan kesepakatan   kesepakatan ini oleh kedua belah pihak. Wujud nyata dari perjanjian itu cantumkan dalam   filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat : ​​Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti berdasarkan pada agama, agama ( Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). , (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya) Adaik buruk (jahiliyah dibuag, adaik yang baik (Islamiyah) dipakai (Maksudnya adat yang   baik sesuai dengan norma Islam harus dipertahankan sementara adat buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam harus dibuang.)Syarak dan adat itu bak aur jo tabing , sanda menyanda kaduonya (Antara adat dan agama itu layak aur dan tebing yang saling memperkuat atau tidak ada antagonistik di dalam kedua filosofi hidup ini). Disebut lagi dalam salah satu kaedah hukum Islam al'adatul muhkamah ( Adat itu   menghukumi, artinya mempunyai kekuatan hukum). Syarak Mandaki adaik manurun, (Agama bersumber dari Ulakan   menuju pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, yang tempatnya Ulakan di dataran rendah sedangkan Pagaruyung berada di dataran   tinggi Minangkabau)

Inilah bentuk final (Akhir) dari penyesuaian adat dan agama   di Minangkabau yang kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Syekh Burhanuddin sebagai tokoh Ulama masa itu, dengan di dukung oleh tokoh-tokoh adat baik di rantau maupun di Darek (Pusat) Minangkabau .Kesepakatan Bukit   Marapalam merupakan babak baru dari perjalanan kehidupan sosial budaya dan agama dalam masyarakat Minangkabau, sekaligus menjadi titik tolak  bagi Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan paham keagamaannya secara lebih luas  dan diterima oleh semua lapisan masyarakat di Minangkabau. Lebih penting lagi perjanjian bukit marapalam juga puncak dari kompromi ideologis yang cukup penting dalam sejarah intelektual pemuka adat dan agama, yang patut didalami oleh generasi muda Minang di masa depan.

Di lain pihak, ada  pendapat  yang menempatkan perjanjian Bukit Marapalam sebagai pucak integrasi dan sintesis  akhir dari konflik cultural,  baru terjadi pada abad ke 19 Masehi, yakni setelah berakhirnya Perang Paderi. Telaah  yang digunakan berangkat dari pendekatan budaya.” Corak Budaya Minangkabau yang sintetik itu pada  dasarnya bersifat universal. Jikok dibalun sabalun kuku, jika dikambang saleba alam. Budaya aslinya bercermin kepada alam:Alam takambang jadi guru. Alam terkembang seperti kita tahu, bukanlah sesuatu yang liar dan tak beraturan, tetapi sebaliknya, sangat teratur dan tunduk kepada hukum-hukum alam. Semua pepatah-petitih,pantun,bidal adat dan sebagainya, dengan mana filsafat adat dialegorikan, sebelum Islam masuk ,bercermin kepada hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan,karena hukum alam itu ternyata adalah sunnatullah. Karenanya tidak ada satupun yang harus berbeda dengan hukum alam takambang jadi guru pra Islam dengan sunnatullah itu. Inilah sintetisme itu. Karena adat Minangkabau pada hakikatnya adalah ajaran budi, dan budi pekerti, dia berada pada pelataran filsafat budi (ethical philosophy), yang tujuannya adalah untuk menata prilaku - sosial maupun individual - agar sesuai dengan hukum alam itu. Dengan masuknya Islam, Islam tinggal menambahkan unsur-unsur kepercayaan yang bersifat theologik-eskatalogik (Ketuhanan dan alam akhirat) yang semuanya berpunca pada Keesaan dan Kemaha-Kuasaan Allah. Karena filsafat budi tidak mengenal dan tidak bercampur dengan paham kosmologi  pra Islam yang berorentasi pada paham serba roh (Animisme dan dinamisme), maka tidak ada yang harus dibersihkan dari filsafat budi itu. Bahwa Paderi dan gerakan Reformasi selanjutnya yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan penggal pertama abad 20 di Minangkabau bertujuan untuk memerangi khurafat, bid’ah dan takhyul, syirik, bidikannya bukanlah pada ajaran adat yang berguru kepada alam itu,  tetapi kepada praktek -praktek heretek (menyimpang) pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam; misalnya kebiasaan minum arak, berjudi, menyabung ayam, main perempuan, berjampi-jampian, sihir dan sebagainya, yang semua itu sama sekali tidak diajarkan oleh adat, bahkan dilarang. Dan praktek-praktek inilah yang diperangi oleh gerakan Puritanisme Paderi dan gerakan pembaharuan gelombang-gelombang berikutnya. Ini juga sintetisme, sehingga ajaran adat yang bersifat penghalusan budi bersintesis dengan ajaran Islam yang bersifat lebih penghalusan budi, tetapi yang sekarang dihubungkan dengan kepercayaan kepada Allah SWT serta Muhammad Rasulullah SAW panutan utama akan kehalusan budi itu. Apa yang terjadi sepanjang abad ke 19 dan tengah pertama abad ke 20 itu adalah sebuah proses pengintegrasian dan sintesis dari kedua sumber budaya yang datang dan yang menanti.

Dalam proses pengintegrasian  dan sintesis dari kedua sumber budaya ini kata sepakat akhirnya dibuhul dengan perjanjian Bukit Marapalam,yang masih di abad ke 19 sesudah Perang Paderi,yaitu dengan adigium :”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kirabullah” Dari Adigium ini terlihat dengan jelas bagaimana status dan jenjang hirarki antara adat, Syarak dan Kitabullah. Ini pun diperkuat lagi dengan adigium-adigium penjelasan dan pendampingnya, seperti ungkapan : Syarak mengato adaik mamakai”,Syarak bertelanjang adaik basisamping,adat buruk (jahliyah dibuang dan baik (Islamiyah) dipakai dan lainnya”Status dan hirarkinya adalah demikian ,sehingga secara prinsip tidak mungkin ada benturan antara adat dan syarak, yang diatasn ya adalah al-Qur’an  kalimatul ‘ulya. Maka Al Qur’an dengan sendirinya adalah kontitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat adat Minangkabau.[38]  

Sisi lain yang patut juga dipahami bahwa  Perjanjian Bukit Marapalam adalah merupakan suatu mata rantai dari penyesuaian adat dan Islam di Minangkabau. Amir Syarifuddin dalam Disertasinya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Minangkabau IAIN Jakarta hal.328-51 menyimpulkan bahwa Penyesuaian adat dan Islam telah mengalami tiga priode besar yaitu : (1) Masa di mana adat dan hukum Islam berjalan sendiri-sendiri dalam batas yang tidak saling mempengaruhi, yang dimunculkan dalam pepatah adat “ Adat Basandi Alur dan Patut, dan Syarak Basandi Dalil” ini adalah masa-masa awal Islam di Minangkabau, di mana dominasi adat sangat begitu kuat dan Islam belum lagi masuk ke dalam sistim sosial masyarakat. (2) Priode sama-sama dilakukan keduanya, artinya adat dan Islam telah masuk kedalam sistem sosial masyarakat namun masih belum  berpengaruh, karena ia baru saja diterima oleh masyarakat  dan nilai-nilai moral yang dibawa Islam sejalan dengan pesan adat Minangkabau. Pepatah  adatnya pada masa ini Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Adat”. (3) Priode  ketiga  lahir sebagai buah dari ketidakpuasan diantara ulama terhadap gerakan Paderi yang pada mula bertujuan untuk membersihkan agama dari pengaruh adat, kemudian menjadi  perebutan kekuasaan  antara kaum agama dan kaum adat, sayang kedua-duanya  kalah dan Belanda berhasil memasuki Menangkabau. Puncak ketidakpuasaan dua kelompok ini melahirkan akomodasi dan itu dituangkan dalam Perjanjian Bukit Marapalam, sehingga melahirkan filosofi adatAdat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”

Perbedaan lahirnya Perjanjian Bukit Marapalam  dapat ditarik suatu benang merah yang tidak saling bertentangan. Melihat masa kehadiran Syekh Burhanuddin (Abad 17 Masehi)  dan masa  sesudah Paderi (abad 19 Masehi) ada jarak waktu dua abad, tentu waktu yang cukup lama. Ini bisa saja dilihat dengan pendekatan yang bersifat lebih luwes. Bukan tidak mungkin, Syekh Burhanuddin memang di abad 17 itu telah melakukan perintisan awal dari upaya sintesis antara adat dan agama ini. Upaya Syekh Burhanuddin bersama pemuka adat di Rantau menemui Basa Ampek Balai  untuk merundingkan hubungan adat dan agama ini adalah merupakan modal awal bagi lahirnya piagam Bukit Marapalam yang jadi momentum bersejarah dalam proses integrasi dan sintesis adat dan agama  seperti yang dikemukan Pakar Sosiologi dan Hukum Islam diatas diatas. Bisa juga diinterpretasikan  bahwa Perjanjian Bukit Marapalam  pasca Paderi  (abad ke 19 ) adalah tindak lanjut dari Perjanjian Bukit Marapalam pertama yang telah disponsori oleh Syekh Burhanuddin dulunya.

            Argumen lain yang patut dipertimbangkan adalah jika Perjanjian Bukit Marapalam itu baru sesudah Paderi, maka bagaimana mungkin Tambo adat alam Minangkabau yang menjelaskan tentang   pokok pembicaraan sebelum perjanjian dibuat  yang dikenal dengan 10 (sepuluh) landasan pokok dalam penyesuaian adat dan syarak, 4(empat )jatuh pada adat, yaitu adat, istiadat, nan diadatkan dan sabana adat dan 6 (enam) jatuh pada Pusako, yaitu: kalo-kalo, baribu kalo, bajanjang naik, batanggo turun, hukum ijtihad dan undang-undang permainan alam itu telah  ditulis. Aturan adat  itu ditulis dengan huruf arab melayu. Penulisan huruf arab Melayu baru berkembang luas setelah Islam menyebar melalui lembaga pendidikan Surau yang mula pertama di rintis Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Kenyataan ini dapat menjadi indikasi bahwa Perjajian Bukit Marapalam pertama itu telah  terlaksana pada abad 17  berdasarkan dorongan dan desakan Syekh Burhanuddin bersama-sama Pemuka adat dari rantau, Basa Ampek Balai dan Penghulu-Penghulu di Luhak nan Tiga waktu itu.

            Patut juga menjadi bahan renungan pemerhati kebudayaan Minangkabau bahwa memilih antara data historis yang didukung oleh  bukti ilmiah  dengan  penuturan lisan oleh para pemuka adat dan cendikiawan  adat adalah sesuatu yang memerlukan kajian dan perenungan yang mendalam. Bukan tidak mungkin kebiasaan berpikir “ilusif dan imajinatif” para pemangku adat itu ada benarnya disamping tentu ada pula yang perlu dikritisi secara cermat. Kebangaan pada sejarah masa  lalu masih saja menjadi faktor penghambat menemukan kejernihan sejarah sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin dan perannya dalam pengembangan Islam atau Islamisasi Minangkabau masih banyak data yang bersifat oral dan kalaupun sudah ditulis itu baru sebatas cerita dari mulut ke mulut yang dapat juga melalui cerita lisan.  Kondisi seperti ini patut menjadi tantangan bagi peminat Sejarah Islam  Minangkabau untuk menguak hutan belantara keilmuaan yang demikian luasnya. Yang pasti Syekh Burhanuddin sebagai figur Ulama pengembang Islam masa lalu keberadaannya dalam peta pengembangan Islam di Minangkabau tidak perlu diragukan lagi,  karena  bukti konkritnya dan kepercayaan masyarakat terhadapnya (evidensi) dapat dijadikan pegangan.    Lebih dari itu, bagi Ulama , cendikiawan Islam  dan pemuka adat Minangkabau perlu menangkap semangat zaman  bagaimana Adat dan Agama ini dapat diwariskan  dalam pengertian yang lebih rasional dan dan dapat mendorong  akselerasi (Percepatan) tumbuhnya generasi yang berbasiskan pada “Adat dan Agama “ sebagai identitas dirinya di era moderen dan global yang berobah dan berkembang begitu cepat dan meluas.

Perjanjian bukit marapalam  itu adalah  bentuk final dari persenyawaan adat dan agama di alam Minangkabau. Meskipun tidak dapat  dipungkuri bahwa pemerintahan  di  Minangkabau  diatur menurut  dua  sistem,  yaitu Sistem Koto  Piliang  dan  Sistem Bodi  Caniago.  Gagasan yang dituangkan oleh Datuk Katumanggungan disebut laras Koto Piliang,  sedangkan yang dituangkan atau dititahkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang  dikenal dengan  laras Bodi  Caniago.[39] Kedua kelarasan  ini melahirkan  aturan-aturan (adat)  yang menjadi  way  of  life (pandangan  hidup) orang  Minangkabau  yang  didasarkan kepada  ketentuan  nyata  yang terdapat  dalam alam  kehidupan dan alam  pikiran seperti yang  ditemukan  dalam pepatah    alam takambang  menjadi  guru “. Sistim baru yang dilahirkan oleh kesepakatan bersama diatas tidaklah merusak sistem yang telah mapan sebelumnya ini. Akan tetapi, ia memperkokoh   jalinan  hubungan  yang  erat  antara  lembaga keagamaan (surau)  sebagai pusat ibadat dengan kerajaan  sebagai  pusat  kekuasaan menjadi begitu kokoh dan satu dalam kehidupan sosial budaya ,seperti yang   diisyaratkan oleh pepatah “ syara’ mangato adat  mamakai” (agama memberikan fatwa dan adat melaksanakannya), sehingga agama dan adat menjadi identitas orang Minang. Akan sangat ‘aib  jika  orang Minang dikatakan sebagai orang yang tidak beradat  atau tidak beragama. 

Buah dari jalinan  adat dan agama  melahirkan tumbuhnya tradisi   surau, di mana masing-masing suku dari masing daerah di ranah Minang mempunyai surau, bahkan a’ib jika bagi suatu suku dalam satu kampung yang tidak punya surau. Di surau-surau ini para murid menimba ilmu dari guru-gurunya, sekaligus sebagai tempat transmisi ajaran Islam ke berbagai daerah lainnya. Ajaran yang dikembangkan di surau pada umumnya   berbau mistik, karena  inilah   yang serasi dengan keadaan masyarakat, nama sufi  seperti misalnya Ibn ‘Arabi dan al-Jilli,  Hamzah Fansuri dan Abd. Rauf al-Sinkili  adalah tokoh yang dikenal luas dalam wacana keagamaan di surau. Demikian juga hanya di surau  telah di perkenalkan  empat tarikat fase awal abad ke 17 M. yaitu ; tarikat Qadariyah didirikan oleh Abdul Qadir Jailani (w 1166 M), Naqsyabandiyah, oleh Baha’al-Din (w 1388  M), Syattariyah oleh Abdul Syattar (w 1415 M) dan Suhrawardi.  Dari keempat tarikat tersebut, tarikat Syatariyah mempunyai penganut  banyak yang dalam dan luas, yang pada mula bersumber dari  Syekh Abd. Rauf, yang kelak mempunyai murid Syekh Burhanuddin di Minangkabau.[40]

Selain melalui Tarekat, Islam telah dipelajari juga melalui perkawinan. Pada umumnya para pedagang Islam telah memiliki perkampungan   etnis sendiri, sehingga mereka cenderung tinggal lebih lama, sehingga ada mereka yang menikah dengan penduduk setempat, terutama putri dari kalangan ningrat, sehingga langkah ini mendukung penyebaran Islam di Indonesia. Islam semakin berkembang ke daerah pedalaman.   Secara bertahap Islam mulai memberi pengaruh terutama pada kalangan struktur pemerintahan, seperti terlihat pada sistem pemerintahan nagari. Tidaklah dapat dikatakan sebuah nagari bila tidak ada di nagari tersebut 1. Masjid dan Balairung, 2. Bersawah dan berladang, 3. Bertepian tempat mandi, 4. Berpasar dan bergelanggang . [41]  Selain itu untuk melengkapi sebuah nagari harus ada pula empat jinih (jenis) yaitu ; A. Penghulu, b. Alim ulama, c. Manti dan d. Dubalang. Bila diperhatikan tentang penggunaan istilah adat di Minangkabau, biasanya setiap nagari berdiri dengan adatnya sendiri, menyelenggarakan republik-repuplik kecil yang berhak mengatur nagarinya dalam wilayah masing-masing. Pada umumnya setiap nagari di perintah oleh seorang penghulu. Untuk kebesaran sebuah penghulu ia harus melengkapi struktur pemerintahannya. Kalau penghulunya bergelar misalnya Datuk Malano, maka pembantu di bidang agama bergelar dengan Malin Malano, Fakih Malano, Labai Malano dan lain sebagainya. Semua gelar itu dasari kepada bahasa-bahasa Umat Islam (bahasa Arab).

Selain pengaruh di atas, terlihat lagi dalam penulisan Tambo Adat Alam Minangkabau . Tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab Melayu. Tambo-tambo lama itu disalin dari tangan ketangan seperti hikayat Syekh Jalaluddin yang diterbitkan di Belanda dengan judul Verheal Padri-Onlusten op Sumatra  tahun 1857 dan naskah tuangku Imam Bonjol oleh Naali Sutan Caniago dengan judul Memorie Van Tuangku Imam Bonjol oleh De Stuerss dan banyak lagi naskah Arab-Melayu lainnya. Di sini tergambar keterpaduan antara adat dan Islam, terutama sekali dalam bidang kebudayaan. Sekaligus juga sebagai bukti bahwa unsur-unsur Islam  sangat relevan dengan masyarakat Minangkabau. Hal itu tercermin sejak orang Minangkabau menerima Islam sebagai panutannya. Perpaduan itu lahir adalah setelah Islam intensif berkembang di Minangkabau yaitu pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya. [42]

Begitu erat dan kentalnya adat di Minangkabau, sehingga antara adat dengan Islam sulit dipisahkan, sehingga lahir pada mulanya istilah Adat  Basandi Syara', Syara' basandi Adat, namun dalam musyawarah Bukit Marapalam di zaman Paderi, lahirlah perpaduan yang lebih tegas dan sempurna, yaitu   :  Adat basandi syara', Syara' basandi Kitabullah. Sedangkan dalam pengaruh selanjutnya lebih nampak lagi dalam pepatah Minang, Syarak mengato adat memakai (antara adat dan Islam menegur), atau yang lebih tegas lagi adalah Syara' bertilanjang, adat bersisamping (ulama berbicara secara tegas dan tuntas, sedangkan adat berbicara dengan kata kiasan. ) Pergolakan dan pergerakan kehidupan         keagamaan sejak awal   di   Minangkabau sampai berakhirnya   gerakan paderi   dan munculnya Kaum Tuo dan Kaum Mudo dengan para pelaku ulama dan pemangku adat pada   dasarnya berbasiskan di surau. Penyusunan konsep, srtategi   perjuangan   dan basecamp nya   mengambil tempat   pada   surau-surau yang   sekaligus   tempat   kediaman   para Tuanku dan ulama   tersebut. [43]

Keberadaan seorang ulama  lebih ditentukan oleh  dukungan  dan pengakuan  pemuka adat  (penghulu). Dt. Tan Kabasaran, salah seorang tokoh adat dan  sekaligus  seorang ulama  menceritakan  anekdotnya dengan gurunya Buya Abusamah, ketika membentuk Komite Nasional  RI untuk  wilayah Bukittinggi. Untuk menentukan  ulama yang  akan  duduk  pada komite tersebut  timbul perdebatan apa yang menjadi ukuran keulamaan  seseorang, tanya  saya kepada  Buya  Abusamah, sebab  ada ulama yang benar  alim, tetapi tidak mendapat  pengakuan  dari  ninik  mamak,  dilain pihak  ada ulama yang  ilmunya  sekedar  saja,  tetapi  sangat  diagungkan  oleh ninik mamak. Ketika itu  Buya Abusamah  mengatakan bahwa  didaerah Minangkabau   ini  ada dua tipe ulama,

Pertama ; ulama kepala kabau  (kerbau), artinya seseorang yang  diangkat  dengan  prosedur  adat  menjadi tuanku (ulama) meskipun ilmunya  belum mencapai  kualitas yang  sebenarnya.  Ulama seperti ini  cenderung  memihak  kepada kaum  adat  dan pemerintahan, sehingga fatwanyalah  yang menjadi  patokan oleh  kalangan adat  dan pemerintah. Akibatnya  sering terjadi  perbenturan pendapat  dengan  ulama yang sebenarnya. Ulama kepala kerbau ini  yang menjadi alat  kekuasaan untuk  mendukung program-program  kaum  adat dan  pemerintahan yang kadangkala tidak  dapat  diterima  oleh  masyarakat. Bahkan justru  mengundang disintegrasi ulama  dengan  masyarakat,  surau  dengan  masyarakat  dan imlikasi  lainnya yang tidak menguntungkan bagi agama  dan  masyarakat itu  sendiri.
Kedua ulama  kepala maco (ikan  asin), yaitu ulama yang benar-benar  belajar agama  di surau  dalam waktu yang  cukup lama  dan penuh  kesulitan, sehingga makanannya kepala maco saja (ikan asin saja). Ulama seperti ini secara keilmuan memiliki kemampuan  yang  kuat,  namun tidak mendapat  dukungan atau  pengakuan (gelar)  dari  ninik mamak. Karena tidak memiliki hubungan geniologis  dengan  kalangan adat. [44]    Ulama di luar sistem adat  ini meskipun fatwanya benar  dan  punya  dasar yang kuat dari agama cenderung diabaikan oleh masyarakat, apalagi oleh kalangan adat dan pemerintah. Ketidak berdayaan ulama, dalam artian yang sebenarnya ini, ikut mempengaruhi  rusaknya  dan berubahnya pandangan  masyarakat terhadap surau  dan ulama  surau.  Kenyataan ini  dapat  dimaklumi sebagai akibat dari  pertentangan kaum adat  dan  golongan  agama sejak  perang paderi  dulunya. Ditambah  lagi pemerintahan Belanda dan  Jepang yang berkuasa pada saat  sebelum kemerdekaan  memang tidak  berpihak  kepada  kaum agama. Golongan agama kalaupun digunakan oleh  pemerintahan itu hanya untuk kegiatan yang menguntungkan  mereka saja. Sedangkan  kalangan ulama yang  benar-benar  ingin membimbing  dan  mencerdaskan masyarakat,  jelas menjadi batu penarung  bagi  kelansungan  penjajahannya.
Surau dalam terminologi  di atas pada  dasarnya  berada  dalam suatu struktur  kepemimpinan  yang  jelas  dengan  pembahagian kerja mereka  masing-masing sebagai  berikut :

Imam, yaitu orang yang  dituakan di  surau yang biasanya  memimpin shalat  jam’ah, sekaligus sebagai guru utama  dalam  surau tersebut. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau panggilan kepadanya Angku  Imam. Sedangkan  cara  mendudukan iman  di  surau dilaksanakan melalui pemilihan  dengan  kriteria  yang paling alim dalam masyarakat atau  dalam  suku  (marga)nya  sendiri.

Khatib, yaitu orang yang bertugas menyampaikan  khutbah pada  shalat  Jum’at  dan bertanggungjawab dalam melaksanakan  dakwah  Islamiyah  di surau tersebut.  Khatib  dalam hal  ini berfungsi  sebagai kaki tangan oleh  Angku Imam, atau boleh  dikatakan  sebagai asisten  angku imam, atau  sebagai sekretaris  Angku Imam.
Bilal, yaitu seorang yang dipercaya oleh masyarakat  sebagai  mu’azin  sebelum  shalat, sekaligus bertanggungjawab  tentang pemeliharaan surau  dan harta  bendanya. Kadangkala bilal  sangat boleh  jadi  diidentikkan dengan gharim  surau. Bilal,  dibandingkan dengan imam  dan  khatib, jauh  lebih berjasa terutama dalam menghidupkan  dan memelihara  keutuhan fisik  surau  secara  keseluruhan.

Amil, yaitu mereka  yang  bertugas  melakukan kegiatan urusan zakat mulai dari   mencri para muzakki sampai kepada mengelola, mengumpulkan, mencatat, menghitung, menyimpan pada  tempat  yang disepakati dan mencari serta meneliti para mustahik zakat dan membagikan  kepadanya secara patut  sesuai ketentruan ajaran agama.

Jama’ah.  Dalam hal ini jama’ah dibagi  kepada dua bagian yaitu  : pertama; jama’ah tetap yaitu orang yang rajin  ke surau untuk  shalat lima  waktu sehari  semalam”. Kedudukan  jama’ah  adakalanya murid dekat  angku  imam, yaitu masyarakat  sekitar  surau dan  adakalanya  orang yang  sengaja  datang  dari  jauh  khusus untuk menuntut  ilmu agama  kepada  Angku Imam. Kedua jama’ah tidak tetap, ialah  orang-orang yang datang ke  surau pada  waktu tertentu  menurut keperluan masing-masing, seperti minta obat, nasehat perkawinan (konsultasi keluarga), bimbingan  kerohanian  atau  orang yahg tertentu  singgah  seperti orang  rantau  pulang kampung atau musafir yang kemalaman.

Struktur seperti  di atas  sejalan  dengan  struktur adat  dalam masyarakat Minangkabau yang  dikenal  dengan penghulu, manti, malin  dan dubalang.
Penghulu adalah  pimpinan  adat  dalam  kaumnya/sukunya  yang  selalu  berusaha untuk ke[pentigan  anak  kemenakannya  dan masyarakat. Penghulu  diangkat atas  kesepakatan kaum,  yaitu orang yang  dipilh oleh anak kemenakannya laki-laki atau perempuan. Sesuai  dengan  pepatah adat “ Maangkek panghulu  sakato kaum, maangkek  rajo  sakato alam”  ( mengangkat penghulu  disepakati  oleh kaum  dan mengankat  raja disepakati oleh masyarakat umum).  Penghulu  memiliki kata  putus (mementukan  keputusan  terhadap anak kemenakan.  Prinsip kepemimpinannya  ganting  putuih  biang  cabik “  (  kata putus  ditangannya) dan ia  berfungsi sebagai  pemegang kebenaran.

Manti asal katanya dari mantri, yaitu orang -orang  yang dipercaya  membantu penghulu  dalam  kaumnya. Dalam adat Minangkabau  disebut  manti “ parmato  nagari” (cerminan  nagari)  sebagai mediasi  antara penghulu  dengan kemenakannya, atau  ulusan jari  sambungan lidah oleh penghulu, tapi  adakalanya  manti  dalam s uku tertentu tidak  diadakan. Manti adalah  orang  cerdik  pandai yang  dipercayai oleh  seorang penghulu  dan  diterima  oleh masyarakatnya. Prinsip  kepemimpinan  dalam  adat ( kato manti  kato salasai) (  keputusan manti  menyelesaikan masalah), karuh janih  kusuik salasai (  yang tidak baik   menjadi  jernih, yang kusut menjadi selesai).  Dengan  demikian manti  berfung  sebagai memberi penyuluhan  hukum,  seperti hukum adat, hukum agama  dan  hukum yang ada  dalam  masyarakat. Di  sini manti  disebut  memegang kata  pusaka.

Malin adalah sebutan untuk alim  ulama,  sebelum Islam masuk  ke  Minangkabau disebut  dengan Pandito, munkin dari kata Pendeta.   Malin  adalah  jabatan  fungsional dalam suku  yang  dipercayai oleh  kaum, penghulu  dan masyarakatnya. Malin inilah yang  mengatur  kegiatan keagamaan pada  sukunya  masing-masing  melalui  surau yang  dibangun oleh suku tersebut. Malin  sekaligus  berfungsi sebagai pelaksana  pendidikan  keagamaan, dakwah dan  kegiatan  keagamaan  lainnya  dilingkungan suku  tersebut.  Prinsip  kepemimpinan malin adalah  kata malin kato hakikat   (  kata  malin adalah  kata yang sebenarnya).  Malin  berfungsi  sebagai  suluah  bendang  dalam  nagari, tahu halal  dengan haram, tahu  sah  dengan  batalnya. Malin biasanya  lebih banyak  mengurus masalah-masalah agama Islam, seperti  mengurus  nikah,  talak,  rujuk, kelahiran, dan kematian.  Infak,  zakat  dan kegiatan masjid/surau  yang  di bawah  sukunya.

Dubalang  atau  disebut  juga hulubalang  adalah jabatan fungsional  adat  dalam kaum yang  dipilih oleh  kaum dan  penghulu,  bertanggungjawab kepada penghulu.  Dubalang  berfungsi menjaga  keamanan,  pengawal  pemimpin,  membantu tugas-tugas  penghulu  untuk menjaga  keamanan nagari,  bahkan di bidang  keaamanan ini ia  boleh bertindak  sebagai seorang  polisi. Prinsip  kepemimpinan  dubalang adalah  kata  dubalang kata tegas ( mandareh, lunak  disudu,  kareh  ditakik) Kata  dubalang   kata  keras,  lunak dapat  diikuti,  keras  juga dilawannya).

Dari empat jenis orang-orang   di   atas   dapat   ditarik   pengertian   bahwa Malin sebagai   pemegang kunci keagamaan melalaui suraunya   memiliki   fungsi   yang strategis   sekali   didalam struktur adat Minagkabau. Tidak lengkap suatu suku tanpa   adanya malin sebagai penjaga moral masyarakat. Keempat kelompok ini dalam   sistem   adat Minangkabau   dikenal   dengan   sebutan “urang   ampek jinih” (   orang   yang memiliki keputusan   didalam nagari/suku.) Pepatah “Adat basandi   syara', syara' basandi   Kitabullah”  adalah merupakan puncak dari keseluruhan   proses   persintuhan,   perbenturan, penyesuaian   dan perpaduan   antara adat yang telah terlebih dahulu tertanan dalam kehidupan masyarakat   Minangkabau dengan agama Islam yang datang kemudian. Kedatangan   Islam   dengan   ajaran menyangkut   akidah   dan syariat tentang kehidupan sosial masyarakat   Minangkabau tidaklah merusak   sistem sosial yang telah ada sebelumnya. Hal   ini   dapat   diamati   dalam   berbagai praktek kehidupan bermasyarakat , antara   lain :Penyesuaian   adat dengan agama tidak dengan   menghancurkan tatanan   lama, tetapi menciptakan tataran baru  yang bersifat islami. Cara   bentuk penyesuaian ini   berarti   Islam menyempurnakan   bentuk bangunan   adat lama.   Misalnya;   lembaga   raja   adat   yang mengurus   maslah pemerintahan   dibentuk   dengan mengadakan   lembaga raja ibadat yang   khusus mengurus   masalah keagamaan, sehingga   dikenal dengan sebutan    Rajo   dan Tigo   Selo , ( Raja   tiga kedudukan) yaitu   raja   adat di Buo, Raja   Ibadat   di Sumpur   Kudus   dan   Raja Alam   di   Pagaruyung.

Demikian   juga   halnya   dalam kekuasaan pemerintahan   disamping   dilakukan oleh Rajo Tiga   Selo, juga   dibantu oleh   dewan   menteri yang   disebut dengan “ basa ampek   balai”  (empat   orang   besar   pemerintahan), yaitu   :   Andomo di   Saruaso, Tuan   Kadi   di Padang Ganting, Mangkhudum   di Sumanik   dan Tuan   Gadang   di Batipuh.   Tuan Kadi   di Padang   Ganting   adalah   orang yang   secara   khusus memiliki   kewenangan untuk   menyelesaikan   urusan  beragama islam. Begitu   juga halnya  dengan tingkatan   yang lebih bawah, yaitu   dalam suatu perangkat   satu nagari   atau suku, yang   sbelumnya terdiri   dari   penghulu, manti   dan   dubalang, kemudian   ditambah dengan jabatan baru,   yaitu Malin   sebagai   pejabat agama.   Keempat   orang   ini   disebut   dengan   “orang   empat jinih   (orang   empat   jenis). Mereka   yang   berempat   ini merupakan   wakil   dari   empat   usur pimpinan   masyarakat. Penghulu mewakili   ninik mamak  (pimpinan   suku), malin   mewakili alim   ulama (pemuka   agama), manti   mewakili cendikiawan/cerdik pandai,   sedangkan d ubalang   mewakili   generasi   muda.   Masing-masing mereka memiliki   kewenangan   dan   pendapat,   seperti yang tertuang   dalam pepatah adat   : ​​“ Kato penghulu kato manyalasai, kato manti kato barubung, kato malin kato hakikat dan kato dubalang kato mandareh. Artinya (pendapat penghulu selalu menyelesaikan masalah, pendapat manti menjadi perantara dengan                              masyarakat, pendapat ulama, pendapat yanhg   sebenarnya,   sedangkan pendapat dubalang   (militer)   bersifat   mengikat.

Orang   empat   jenis   di   atas   merupakan penanggung jawab   kehidupan sosial,   agama, dan   kemasyarakatan sesuai   dengan kedudukan   dan   fungsinya   masing-masing,   seperti yang   digambarkan   dalam   pepatah adat   “Penghulu   tagak   dipintu   adat, malin tagak dipintu syara', manti   tagak   dipintu   susah,   dubalang tagak   dipintu mati ( Penghulu pemegang   kekuasaan   adat, malin pemegang kekuasaan syara'   (agama),   manti pemegang kehiudpan sosial kemasyarakatan, sedangkan dubalang   bertanggungjawab   dalam  pertahanan dan keamanan). Keterpaduan   adat   dan syara' seperti di atas   juga dapat   diamati pada   tingkat   yang   paling bawah   dalam masyarakat   Minangkabau masa   lalu.   Misalnya   dalam   persyaratan adanya   sebuah nagari   di samping memenuhi persyatan adat,   yaitu   ssuku   nan   ampek   (suku   yang   empat), galanggang sebuah,   labuh   (jalan),   tapian, sawah   ladang,   pandam   pakuburan dan balai adat.   Kemudian harus   dilengkapi   dengan   musaji' (masjid) dan surau   sebagai  lembaga   keagamaan   dan   tempat ibadah kaum muslimin.   Di sini   dapat dikatakan bahwa   surau   dan   mesjid   memiliki hubungan   yang   tak   dapat   dipisahkan   dari keberadaan suatu nagari. Tidaklah   bernama   suatu nagari, jika tidak   ada masjid   dan surau. Untuk   mendukung   terlaksananya kegiatan   di   mesjid   dan surau, maka dalam suatu nagari dibentuk   perangkat tuanku, malin,   labai, khatib dan   bilal nagari.   Tuanku Nagari   bertugas   menjadi pemimpin agama   dan   sekaligus  pemegang kekuasan di   surau   dan   masjid.   Malin, Labai,   Khatib   dan Bilal   nagari, merpakan orang-orang yang membantu tuanku di bidangnya   masing-masing.   Tuanku nagari bukanlah personil   satu orang,   tetapi dia merupakan jabatan yang   meliputi   empat   bidang. 1. Tuanku kadi mengurus   masalah   nikah   kawin, 2.   Menuangkanku   imam   menjadi imam tetap di masjid/surau,   3.   Tuanku khatib bertanggungjawab   dalam bidang dakwah dan khutbah, 4. Tuanku bilal menjadi juru   penerang agama   Islam dan mu'azin. [45]

Surau sebagai lembaga tarekat merupakan pusat Tarekat Syathariyah di Ulakan, di pantai Barat Sumatera (di sebelah utara kota Padang). Pengaruh Ulakan bagi perkembangan Islam di Minangkabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah dikalangan para ulama sering dianggap bahwa kota kecil ini adalah sumber penyebaran Islam. Bahkan, bukan tak mungkin peranan ini menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo Minangkabau, “ Syara’ mendaki, adat menurun “. Namun yang pasti ialah bahwa dengan Ulakan tradisi surau atau pesantren, sebagai pusat pengajaran dan pusat pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan, bermula di Minangkabau. Dari sinilah “silsilah” atau mata rantai surau-surau dimulai. [46]

Melalui pendekatan ajaran Tarekat Syathariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Ulakan. Dengan ajaran yang menekankan  kesederhanaan,  lebih mengutamakan  masalah  batini”, maka Tarekat  Syathariyah berkembang dengan pesat. Bahkan sampai saat ini di Ulakan Pariaman Tarekat Syathariyah masih tetap eksis.[47] Surau Ulakan sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan yang pertama di Minangkabau sangat besar pengaruhnya bagi pengembangan Islam ke seluruh pelosok alam Minangkabau. Tumbuhnya surau sebagai lembaga pendidikan agama dan tarekat terus berkembang pesat. Setiap Ulama Minangkabau memiliki surau sendiri, baik sebagai tempat pelaksanaan pengajaran agama maupun Tarekat. Pada era ini, perkembangan tarekat menemukan momentumnya, sehingga dapat dikatakan eksistensi surau bukan saja menunjukkan suatu jenis lembaga pendidikan masyarakat, akan tetapi lebih dari itu menunjukkan bentuk Tarekat yang dianut oleh suatu komunitas masyarakat Islam Minangkabau.[48]  Bahkan pada masa ini, fungsi surau terkadang lebih dominan sebagai tempat praktek tarekat, ketimbang sebagai lembaga pendidikan. Setiap surau di Minangkabau, memiliki otoritas tersendiri, baik dalam praktek tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keIslaman.

Pilihan Syekh Burhanuddin menjadikan surau sebagai basis pengembangan Islam di Minangkabau menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam kehidupan keagamaan di Minangkabau untuk masa-masa berikutnya. Segera setelah ia kembali dari Aceh, Burhanuddin mendirikan surau Syathariyah, sebuah lembaga pendidikan sejenis ribat, di Ulakan. Tak lama kemudian surau Ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau. Surau yang dibangun tahun 1860 atas bantuan seorang sahabatnya Idris Majo Lelo berlokasi di Tanjung Medan Ulakan, yang selanjutnya menjadi pusat pengembangan Islam dan pusat pengembangan Tarekat Syathariyah yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin kepada murid-muridnya dari berbagai daerah di Minangkabau. Setelah Syekh Burhanuddin wafat tahun 1111H/1698M, maka tugas pengembangan Tarekat Syathariyah dipercayakannya kepada Syekh Abdurrahman atau disebut dengan panggilan khalifah, ini khalifah pertama Syekh Burhanuddin, khususnya dalam bidang Tarekat Syathariyah. Kemudian secara berkesinambungan diteruskan oleh khalifah-khalifah yang lain; seperti Khairuddin, Jalaluddin, Idris, Muhsin, Habibullah, Sultan Kisa’i, Abdul Madjid Ibnu Latif, Abdurahim di Tapakis, dan Zainuddin serta beberapa nama lain sampai saat ini. Di tangan mereka inilah Tarekat Syathariyah tumbuh berkembang serta mengalami pergumulan dengan Tarekat lainnya, khususnya Tarekat Naqsabandiyah sejak akhir abad ke-19. Begitu kuatnya pengaruh tarekat  di kalangan  masyarakat, sehingga pada abad XIX M hampir semua ulama di Minangkabau adalah penganut, pengamal dan penyebar satu atau beberapa tarekat.  Dengan demikian, maka ulama yang memimpin suatu surau sebagi pusat pengajian Al-Qur’an atau pengajian “kitab” juga merangkap sebagai guru Tarekat… Surau Syekh Burhanuddin Ulakan  di Tanjung Medan Ulakan Pariaman di sampingsebagai pusat pengajarn dan penyiaran agama, juga berfungsi sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Syathariyah.[49]

Peranan surau dan ulama Tarekat dalam gerakan keagamaan ini,  konflik antara ulama tarekat dengan gerakan modernisasi (pembaharuan), konflik sesama ulama tarekat sendiri terjadi berikut ekses yang ditimbulkan oleh konflik elit masyarakat ini pada kehidupan dan keagamaan selanjutnya. Adalah suatu fakta bahwa gerakan  ulama dan surau tarekat dalam proses Islamisasi di Minangkabau tidak dapat  dinafikan begitru saja,disamping itu perlu ditemukan mata rantai yang jelas antara gerakan Islam periode awal yang dimulai oleh Syekh Burhanuddin Ulakan sampai munculnya ulama-ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan. Peranan surau sebagai  lembaga keagamaan  bukan saja memberikan corak dan warna pemahaman dan aktivitas keagamaan masyarakat, akan tetapi ia juga membawa makna yang dalam dalam sturuktur sosial masyarakat Minangkabau. Ketika Belanda berhasil menaklukan Paderi dengan mengunakan tangan kaum adat ,mereka dengan sadar mengakui bahwa pengaruh orang  surau atau yang lebih dikenal dengan Orang Siak telah mencekam jauh kedalam susunan masyarakat Minangkabau . Bahkan mereka adalah tokoh yang dengan gigih menjadi tiang utama  pengikat solidaritas sosial yang sebeumnya telah dibangun kuat oleh  adat alam Minangkabau. Maka tidaklah mengherankan tak lama setalah  Minangkabau dikeuasai oleh Belanda, seorang pengulas Belanda menyebut bahwa “Kita duduk diatas volcano pengikut Muhammad”, maksudnya tentu saja sewaktu-waktu kekuatan Islam  itu akan muncul dan akan mengancam apapun kesetabilan politik yang telah diletakan.

Memperhatikan betapa kuat dan eratnya hubungan adat dan agama dalam sistim sosial kultur masyarakat Minangkabau, maka sangatlah beralasan sekali Buya Hamka  menyebut bahwa hubungan timbal balik adat dan Syarak dalam kebudayaan Minangkabau  adalah sangat solid dan tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Memperkatakan adat Minangkabau  tidak mungkin dipisahkan dari syara’, dari hukum, dari bayyinah dan qarinah, dari ijtihad dan ilmu, dari Iman dan Islam, dari Allah dan dari Rasul.[50] Selanjutnya beliau mengulas, bahwa gerakan ulama-ulama Islam Minangkabau selalu mengisi adat-istiadat itu dengan keagamaan, dengan Iman dan Islam. Kalaupun pernah terjadi sikap keras kaum Ulama, terutama dengan timbulnyaPerang Paderi, bukanlah karena Islam memerangi orang kafir. Namun, kaum Ulama menantang adat ketika adat itu telah membeku atau atas fitnah atau kepentingan kalangan adat yang mencri keuntungan dari prestise yang meeka miliki, sehinga merugikan perjuangan islam. 
Dengan adanya hubungan timbal balik adat dan syarak dalam kebudayaan Minangkabau yang kemudian dilengkapi dengan dibangunnya intitusi keagamaan yang diterima luas dalam sturktur adat maka kemudian ia dapat mendorong  dinamika keagamaan masyarakat Minangkabau   berjalan begitu  cepat  dan mendasar. Pendekatan persuasif dan  penyesuaian serta  akomodasi yang dipakai  yang dipakai oleh ulama priode awal  kemudian tidak memadai lagi untuk membersihkan ummat dari pengaruh budaya non Islam. Ujung dari ini semua melahirkan suatu dinamika panjang dalam sejarah Islam di Minangkabau . Para peneliti umumnya mengelompokan  ummat Islam itu pada dua kutub yang saling berhadap-hadapan. Mereka menyebut kepada kelompok Tradisionil dan Modernis.

C.   Islam Tradisional   di Minangkabau.

Mendifinisikan apa yang disebut dengan tradisionalisme   islam   memerlukan sudut pandang yang luas dan konperhensif, hal ini disebabkan   oleh tidak adanya istilah bahasa Indonesia yang   dapat mencakup seluruh rangkain semantik dari konsep tradisionalisme ini.   Dari segi bahasa tradisionalisme berasal dari akar kata tradisi. Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi   ke   generasi berikutnya   secara turun temurun. Kebiasaan yang diwariskan   mencukup berbagai nilai budaya, yang meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan,   sistem pengetahuan bahasa, kesenian,   sistem   kepercayaan   dan sebagainya. Seorang individu   dalam  proses masyarakat mengalami proses belajar dan berindak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam   masyarakatnya. Nilai budaya yang menjadi pedoman   bertingkah laku bagi masyarakat   adalah warisan yang telah mengalmi proses penyerahan   dari   satu generasi ke generasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya tertentu menjadi tradisi yang biasanya terus   dipertahankan oleh masyarakat tersebut [51] .

Dalam konteks pemikiran keagamaan terma tradisi memiliki cakupan yang luas sekali. Fazlur Rahman menulis bahwa tradisi adalah metodologi berpikir dalam   agama yang sangat diperlukan untuk menenpatkan Islam dalam merespon perkembangan zaman.    Mohammed Arkoun, seperti yangditulis oleh Suadi Putro dalam bukunya Islam dan Modernitas …..Bagi Arkoun, tradisi memiliki dua arti : tradisi dengan t kecil dan Tradisi dengan t besar. Yang pertama memiliki arti umum dan kuno, kuno, yang terdapat pada masyarakat semua manusia sebelum datangnya wahyu agama-agama. Sedangkan tradisi dalam arti yang ideal adalah Tradisi Ilahi yang tidak dapat diubah oleh manusia. Tradisi ini merupakan pengungkapan  kenyataan abadi yang mutlak. Tradisi yang terakhir ini   selama dua puluh tahun di Mekah dan Medinah telah bergumul dalam kancah sosial dan budaya yang terbunuhnya, setelah itu menjelma menjadi tradisi Islam yang berkembang dengan sejarahnya sendiri. [52] Pengertian tradisi di sini ditujukan pada warisan masa lalu yang terpelihara   sebagai hasil dari persintuhannya dengan budaya dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, maka   dapat juga disebut bahwa terma   tradisionalisme yang berarti kelompok atau paham yang memiliki sikap dan pandangan hidup   “tradisional” atau   “mengikuti tradisi” bila dikaitkan dengan Islam, maka  terma tradisi menyiratkan suatu yang sakral, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu didalam sejarah kemanusiaan   tertentu untuk mana   ia dimaksudkan, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik keseinambungan horizontal dengan Sumber maupun mata rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden metahistorikal. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu, apa-apa yang – berdasarkan model-model sakral- sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan silsilah , yaitu rantai yang mengaitkan setiap priode, episiode atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional   kepada Sunber, seperti tanpa demikian gamblang di dalam Sufisme. [53] 

Dalam wacana pemikiran islam kata  “tradisi” atau “tradisional” sering digunakan  sebagai lawan dari kata “moderen” atau “modernitas”. Dalam keilmuan yang lebih luas kata  “tradisi” memiliki beberapa pengertian. Diantara konsep yang paling sering disebut sebagai tradisi adalah “hadis ,sunnah, dan adat” Ketiga konsep ini secara langsung memiliki akar yang kuat dengan pengertian tradisionalis, khususnya tradisionalis di Indonesia. Hadis atau Sunnah adalah elemen pokok dari kalangan tradisonalis, sehingga secara eksplisit mereka menyebut dirinya sebagai  Ahlusunnah wal jama’ah (aswaja),  pengertian ini secara lugas memberikan penjelasan bahwa kaum tradisionalis adalah pihak yang dengan sungguh-sungguh membela hadis sebagai sebuah tradisi  yang diterima secara shahih, melalui sanad yang kuat. Konsep ini sekaligus menjadi pembeda tradisionalis dengan kalangan modernis  yang lebih mengedapan rasio, sehingga sering disebut sebagai kelompok rasionalis, yang lebih mendahulukan rasio (hasil pikiran) dari sunnah. Para tradisionalis memiliki pandangan yang tegas tentang sunnah. Sunnah meskipun secara literal ia hanya merupakan laporan (reports) atas segala perkatan, perbuatan dan tindakan  nabi Muhammad SAW, namun bagi tradisonalis diyakini bahwa kata-katanya berasal dari Muhammad sendiri. Maka dengan demikian semua hadis mestilah menjadi  doktrin dan norma-norma prilaku  yang otorotatif. Bahkan  Hadis jauh lebih luas pengaruhnya dalam kehidupan muslim, dibanding al-qur’an, karena tidak ada kepercayaan atau praktek keagamaan  yang ujungnya  tidak diabsahkan oleh hadis. Pembelaan mereka terhadap hadis seringkali menjadikan ulama tradisionalis, tidak begitu memperhatikan tentang orisinilitas hadis itu sendiri. Akibatnya, perdebatan tentang hadis, apakah sahih atau tidak  juga menjadi salah tema menarik dalam wacana keagamaan antara tradisionalis dengan modernis. 

Dalam pergulatan pemikiran Islam di Indonesia sejak  akhir abad ke XIX yang lalu konsep tradisionalis  mengalami reduksi pengertian.  Kalangan tradisional atau kalangan yang mempertahankan tradisi adalah mereka dengan segala upaya mengidenfikasikan diri atau kelompoknya sebagai pihak  berpendirian dan berusaha  mempertahakan pendiriannya  terhadap  serangan kalangan modernis yang anti pada tradisi dengan segala konsekwensinya. Di antara tradisi yang telah menjadi kepercayaan dan praktek keagamaan kalangan tradisionalis, sehingga mereka berbeda dengan modernis adalah;  masalah otoritas hadis dan pemeriksaan terhadap perawi dan riwayatnya, masalah apakah harus berpegang pada mazhab atau setiap orang harus merujuk langsung kepada Al-qur’an dan Hadis (Masalah Mazhab, Tajdid dan Taqlid), penghormatan kepada guru atau orang saleh ( haul dan upacara kematiam, sebagai  tradisi yang sudah lama hidup dalam masyarakat), dan masalah-masalah yang muncul akibat perkembangan modernisasi dalam masyarakat. Masalah-masalah diatas lebih  menekankan pada aspek membicarakan kedudukan Islam dalam masyarakat.

            Pembicaraan mengenai kedudukan Islam dalam masyarakat,  khususnya di daerah Minangkabau, adalah suatu yang menarik dan telah menjadi kajian luas dilingkungan  peneliti baik dalam  negeri maupun oleh peneliti asing. Masalah pokok yang sampai saat terakhir belum lagi bisa dijawab secara tuntas adalah tentang kategorisasi yang diberikan terhadap penganut Islam, bila dilihat dari praktek dan paham keagamaan yang dianutnya.  Kategori tradisionalis dan modernis yang telah lama  dipopulerkan seolah-olah tidak mampu mewakili dari prilaku dan praktek keagamaan dari kedua belah pihak.  Kaum  tradisionalis  umumnya dianggap terkebelakang dan cendrung mapan (mempertahankan status quo) dalam pemahaman mengenai masyarakat  dan pemikiran islam. Hal ini karena keteguhan mereka dalam memegang hukum Islam ortodoks (yaitu, Mazhab sunni atau aliran hukum-hukum Islam), yang mengantarkan  mereka pada penolakan terhadap moderitas dan pendekatan rasional dalam kehidupan. Demikian juga dalam bidang teologi, mereka sangat ketat mengikuti teologi skolastisisme Al-As’yari dan Al-Maturidi, yang telah membuat mereka berpandangan fatalistik  dengan menyerahkan sepenuhnya hal pada kehendak Tuhan dan tidak menerima paham kebebasan berkehendak, serta pemikiran bebas manusia. Selajutnya para tradisionalis itu juga dituduh mengabaikan masalah-masalah duniawi dalam praktek ritual mistisisme Islam(tasauf). Aktivitas mereka dalam organisasi sufi (tarekat) memperlihatkan pengabaian mereka  terhadap keduniawi, dan sebaliknya, hanya berorentasi pada kebahagiaan di akhirat kelak. Dengan pandangan dunia tersebut,  para tradisonalis ini sering dicap sebagai kelompok masyarakat pasif  dan acuh tak acuh terhadap tantangan dinamik moderniasi, sebuah komonitas di mana para Kiyai (ulamanya) memegangi secara ketat tradisi yang mati. [54]  

Gambaran tradisionalisme diatas  telah menempatkan kaum tradisionalis sebagai kelompok yang secara diametral bertentangan  dengan kaum modernis. Kenyataan ini sering diperlihatkan oleh kalangan tradisionalis dalam bidang pemikiran keagamaan dan sikap keagamaan   yang kaku dan statis sementara  kalangan modernis  progresif dan dinamis.  Pengkategorian   antara tradisionalis dengan modernis dengan mengacu pada sikap dan pemikiran keagamaan antara dua kelompok ini telah menjadi pemicu yang kuat  menimbulkan pertentangan antara dua belah pihak. Dalam kasus  di Minangkabau misalnya reaksi terhadap penyebaran pembaharuan pertama kali muncul dari kalangan adat  serta dari kalangan agama yang bersifat tradisi[55] Kalangan adat dan kalangan agama yang  bersifat tradisi ini pada dasarnya kedua kelompok ini memiliki akar pemikiran yang sama, yaitu sama-sama  cendrung pada kemapanan, statis dan ingin tetap mempertahankan tradisi serta kebiasaan masa lalu, sulit menerima pembaharuan yang datang, sebab dikhawatirkan akan merobah tradisi yang mereka telah warisi sejak lama.   

Sisi lain yang juga menjadi karakteristik kalangan tradisionalis adalah  mengenai aktualisasi dan tingkah laku politik  kalangan mereka. Memperhatikan pada  pandangan  ideologi dan tingkah laku politik NU di Jawa sebagai representasi kalangan tradisionalis, PERTI atau Tarbiyah di Minangkabau, yang oleh sementara pihak dituduh  sebagai   pihak yang lebih mendahulukan kepentingan materi dan sosial ketimbang kepentingan keagamaan. Tuduhan ini   tidak sepenuhnya benar, karena bagaimanapun juga  perbedaan pendapat dan penafsiran kalangan ulama dan pemimpin organisasi tradisional ini terhadap masalah-masalah politik  yang ada,  tidak lain,  kecuali karena luasnya akses kelompok ini kepada khazanah politik Islam masa lalu. Maka, beralasan sekali pendapat yang menyebutkan bahwa sikap politik akomodatif dan pragmatis yang dipakai oleh kalangan tradisionalis merupakan pilihan politik yang didasarkan pada pertimbangan  yang matang dan  memiliki argumen yang kokoh. Dalam kasus tradisionalis di Minangkabau yang di representasi oleh PERTI  misalnya, sikap kooperatif terhadap pemerintah yang hampir selalu di tampilkan oleh PERTI dalam antisipasi kehidupan politiknya, Alaidin menyebut, sering pihak luar mencap organisasi ini  sebagai organisasi yang tidak berpendirian, tidak “bernafas” dan hidup menupang “biduk” orang . Padahal menurut Rusli Abdul Wahid  seorang tokoh sentral Perti yang ikut “membidani” lahirnya organisasi ini, sikap tersebut lahir dari suatu pandangan mendasar kalangan sunni (Ahl al-Sunnah wa al-jamaah) tentang bagaimana seharusnya prilaku politik seorang  muslim terhadap pemerintah yang sah.[56]

Berkaitan dengan masalah kepemimpinan dan distribusi kekuasaan dikalangan tradisionalis juga satu bentuk kekhususan yang mereka miliki.  Peran Ulama, Kiyai di Jawa, Syekh atau Tuanku di Minangkabau, memiliki otoritas yang absolut  dilingkungannya, bahkan mereka relatif bisa dikatakan menguasai pengambilan keputusan  di dalam organisasinya. Meskipun  Musyawarah tertinggi dalam organisasi mereka telah memutuskan atau menetapkan suatu keputusan, akan tetapi apabila keputusan itu tidak mendapat  pengesahan dari Kiyai atau Tuanku sesepuh mereka, maka keputusan itu tidak akan berlaku efektif. Pemberian kekuasaan pada Ulama   itu adalah refleksi dari sikap kepatuhannya kepada tradisi keagamaan yang mereka anut, yaitu menghormati sang guru. Mengenai seberapa jauh hegemoni ulama terhadap pengikutnya ini terdapat perbedaan yang  signifikan antara tradisionalis di Jawa dengan Minangkabau. Di Jawa peran Kiyai begitu kuat, khususnya Kiyai di Psanteren, karena Pasanteren itu  pada umumnya milik keluarga Kiyai, maka segala keputusan dan kepemimpinan sepenuh di tangan sang Kiyai. Lain halnya di Minangkabau, peran Tuanku atau Syekh, meskipun ia punya Psanteren di Minangkabau  dulu disebut dengan Surau, akan tetapi  masyarakat tetapi dapat mengontrol  organisasi surau, sebab surau biasanya tidak sepenuhya milik sang Tuanku atau Syekh. Di tambah lagi perbedaan kultur  antara masyarakat Jawa yang cendrung feodalistik dan paternalitik  dengan masyarakat Minangkabau yang egaliter dan mandiri.

Dalam kasus Tradisonalisme Minangkabau meskipun sudah sedikit terbuka, karena memang kondisi sosio-kultural masyarakat Minangkabau yang demikian  terbuka dan egeliter, namun dalam kepimpinan  kaum tradisionalis  masih tidak jauh beranjak dari kerangka paternalistik. Contoh yang paling menarik dapat ditemukan pada sistem kepemimpinan dalam  organisasi Jamaah Syathariyah, sebuah organisasi yang menghimpun penganut  tarekat Syathariyah di Sumatera Barat dan sekitarnya. Salah satu prinsip dan mekanisme  dasar dalam proses pergantian kepemimpinan organisasi  yaitu adanya wewenang (hak istimewa)  yang dimiliki oleh seorang guru (Syekh atau Tuanku) untuk menunjukan pengantinya. Hak itu disebutnya dengan washiyah. Penunjukan melalui wasiat ini dapat dilakukn seorang ketika ia masih hidup atau sudah mati melalui rukyah shadiq (mimpi yang benar). Proses pergantian ini sangat rahasia, hanya sang guru yang tahu sendiri.[57]     

Disamping itu sisi lain yang juga merupakan ciri khas kalangan tradisionalis adalah mengenai respons mereka terhadap perubahan sosial dan modernitas. Kalangan Islam tradisionalis yang umumnya dianggap bersikap konservatif dan curiga terhadap perubahan telah menjadikan kelompok ini sebagai sasaran ejekan bagi kelompok modernis. Selektifitas kalangan tardionalis dalam menerima pembaharaun telah menjadikan kelompok ini terlambat dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada, akibatnya kalangan tradisionalis dituduh sebagai ummat yang kolot, kuno., jumud, fanatik dan pemelihara kesesatan. Tuduhan dan jargon-jargon negatif ini telah menjadikan mereka semangin sulit dim   asuki kelompk modernis. Bukan tidak mungkin pula kuatnya kelompok tradisionalis ini disebabkan   oleh arus balik yang ditimbulkan oleh kalangan  modernis yang dengan gencar menyerang dan menyudutkan mereka dalam berbagai event.

Stereotipe ketidakberubahan kalangan tradisonalisme Islam  seperti disebutkan diatas, saat ini tidak sepenuhnya dapat diterima. Perubahan intelektual dan keagamaan  yang lebih luas tengah terjadi di kalangan tradisionalisme Islam Indonesia. Dinamika kalangan tardisionalis NU di Jawa dan Perti atau Tarbiyah di Minangkabau adalah dua  organisasi  yang dapat dijadikan model dari perubahan intelektual dan keagamaan itu. Kaum Nahdiyin di Jawa betapa dengan artikulatif sekali dapat memanfaatkan warisan keilmuaan klasik dan bentuk-bentuk masa lalu serta  tradisi untuk melakukan reformasi dan perubahan dalam berbagai pandangan kehidupannya. Begitu juga halnya orang-orang Tarbiyah di Minangkabau secara perlahan tapi pasti mereka tengah  mengalami masa perubahan   berarti tanpa harus meninggalkan basis masa lalunya. Mobilasasi pendidikan dari kader-kader kalangan tradisionalis telah secara tegas mampu mengeser corak dan warna pemikiran keagamaan pendahulunya.  Bahkan. Dalam kasus NU di Jawa, mereka telah  melampau jauh garis demarkasi  tradisionalisme kalsik. Misalnya tindakan Pengurus Besar NU membuka bank konvesional (bank riba) yaitu dengan mendirikan Bank Nusuma,dan sikap radikal NU pada   pemerintahan. [58] Demikian juga halnya kalangan tradisionalis di Minangkabau, mereka terpilah pada dua  kelompok, mereka yang akomodatif dan dan koperatif dengan pemerintah    bergabung dalam organisasi Tarbiyah Islamiyah dibawah lindungan Golongan Karya, dengan segala konsekwensi mereka mendukung program pemerintahan. Sedangkan kelompok kedua mereka yang  mengkritisi kebijakan  pemerintahan terutama yang berkaitan dengan agama. Mereka bergabung dalam organisasi Perti dan menyalurkan aspirasi politiknya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua inilah yang   secara tegas masih tetap konsisten pada tradisi dan  sedikit sekali mengalami perubahan  dalam praktek keagamaannya. Di  komonitas kelompok kedua ini khutbah Jum’at berbahasa arab, melihat bulan dengan rukyah, dan praktek keagamaan lainnya masih begitu kuat. Secara umum kelompok Perti yang masih kuno dan kaku ini berada di daerah Pariaman, Sijunjung, Pasaman dan Pasisir Selatan. Sedangkan Golongan Tarbiyah yang sudah mengalami tranformasi keilmuan dan budaya yang agak sedikit maju berada di wilayah Padang, Agam,Payakumbuh, Tanah Datar, Solok.      

Identifikasi muslim tradisionalis dan modernis bagi orang Minangkabau tidak bisa sama dengan muslim Jawa atau daerah lainnya. Maka generalisasi terhadap kandungan  konsep ini tentu bukanlah hal dapat menyelesaikan masalah. Memperhatikan dinamika keagamaan sepanjang sejarah dan pergulatannya dengan adat dan alam pikiran, maka  ada benar  pendapat yang menyebutkan bahwa  orentasi keagamaan masyarakat Minangkabau  itu pada dasarnya ada tiga corak, (1) Mereka yang ingin mempertahankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akomodasi oleh adat, mereka ini lebih  populer dengan sebutan  kelompok tradisionalis, (2) Aliran baru yang lebih bersifat ortodoks, yang pada mulanya diperkenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang Ulama Minangkabau yang pernah menjadi Imam dan Qadhi di Mesjid Haram Mekah pada awal abad 20, (3) Kelompok kebangkitan baru , yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “Modernisme” atau di Minangkabau di sebut “Kaum Mudo”.[59]
Ketiga-tiga kelompok diatas memiliki  kekuatan tersendiri dalam masyarakat. Mereka yang cendrung mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang sudah diakomadasi oleh adat atau disebut   “Kaum Kuno”  biasanya  banyak di pedesaan,  merekalah yang menjadi tulang punggung pembina agama di Desa. Ulama dan pemuka agama yang mereka kuasai biasanya dikukuhkan oleh kalangan adat (penghulu). Maka dengan demikian fatwa dan katanya banyak dipanut masyarakat. Untuk mempercepat lajunya gerakan mereka pun mengabungkan diri dalam wadah organisasi , diantara organisasinya adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyah,  PERTI, Persatuan Pembela Tarekat Indonesia (PPTI) dan beberapa organisasi lainnya.  Sedangkan kelompok yang disebut sebagai “aliran baru ”mereka hidup dipusat-pusat ekonomi atau pemerintah ,mereka cendrung radikal dan puritan dalam bertindak dan bersikap. Mereka umumnya orang-orang yang sudah terpelajar dan banyak membaca tentang dunia Islam , sehingga  mereka sering menentang cara-cara pengamalan dan pemahaman  kaum tradisionil. Mereka  adalah orang kritis dan lebih rasional, kepercayaan kepada magis dan unsur-unsur syirik, seperti tahyul dan khurafat adalah musuhnya yang sangat berat sekali. Rujukan mereka dalam menetukan pilihan pendapat adalah Ibnu Taimiyah  dan modernis Islam lainnya.Kelompok ini direpresentasikan oleh mereka yang berasal dari lingkungan Pendidikan Thawalib dan orang yang sepaham dengannya, misalnya mereka yang bergabung dalam organisasi Persatuan Islam (Persis.) Sedangkan kelompok yang dikatakan “Modernisme” Islam adalah generasi kedua setelah aliran baru diatas. Mereka adalah orang  yang telah disintuh modernisasi, terutama dalam bentuk pemikiran dan budaya hidupnya. Mereka  dengan tegas menempatkan dirinya secara utuh, tidak perlu terpengaruh atau dipengaruhi oleh pemikiran ulama masa lalu. Kebebesan berpikir dan mengeluarkan pendapat adalah jargon yang di dengung-dengungkan. Sedangkan dalam bidang agama mereka menyebut “ kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis” .Impelementasi  kembali pada al-qur’an dan hadis dalam artian adalah bahwa  bebasnya setiap orang menentukan pendapatnya, tidak perlu lagi terikat dengan pendapat ulama sebelum kita. Mereka menyebut juga bebasnya berijtihad  bagi yang mampu. Kelompok ketiga inilah yang disebut “Kaum Mudo”.  Kelompok terakhir ini  mereka biasanya bergabung dalam organisasi kaum modernis, misalnya Perserikatan Muhammadiyah.

Mengemukanya  wacana tradisionalis dan modernis sejak abad 19 lalu itu jika diamati secara mendalam bukan tidak mungkin ia lebih disebabkan kepentingan kelompok, individu dan   buah dari politik adu dombanya Belanda, karena bagaimanapun juga perbedaan itu terjadi tidak lebih dari masalah-masalah furu’iyah  atau lebih populer dengan sebutan masalah khilfiyah . Khilafiyah itu adalah perbedaan interpretasi  para ulama dalam memahami masalah keagamaan yang punya hubungan dengan tradisi yang telah lama berlangsung di dalam kehidupan masyarakat. Akibat dari perbedaan interpretasi itu melahirkan dua kubu pemikiran satu diantaranya mereka  yang  mendukung cara-cara penyiaran Islam melalui penyesuaian dengan sistim  dan tradisi yang sudah mapan, mereka akhirnya dikenal dengan sebutan Kaum Tuo atau disebut juga golongan tradisionalis. Mereka yang  dijuluki sebagai golongan tradisioalis ini memiliki pengaruh dan kekuatan masa pada desa-desa dan sedikit sekali di perkotaan, mereka memiliki basis pengembangan pemikirannya pada Surau atau halakah- halakah ditempat ulamanya . Dan yang lain Ulama yang dengan tegas menolak cara penyesuaian atau bersifat akomodatif  dengan tradisi dan budaya yang ada dalam masyarakat, mereka dengan tegas dan lugas mengkritik  praktek keagamaan yang dilakukan oleh ulama tradsionil atau kaum kuno, kemudian menawarkan cara tegas dan keras dalam menegakan Islam, mereka itu kemudian  diidentifikasi sebagai  Kaum Mudo atau golongan Modernis. Kalangan Modernis dalam menyebarkan paham dan pemikirannya melakukan inovasi dan kreasi yang luar biasa pengaruhnya dalam mendorong lahir corak baru dalam pemikiran Islam di Minangkabau. Diantara inovasi itu adalah merobah Surau mereka menjadi Madrasah, seperti Madrash Thawalib,melaklukan  pengajian umum dalam bentuk Tabligh akbar dan sebagainya.

Pengelompokan masyarakat Minangkabau pada Islam tradisionalis dan modernis tidaklah bisa disamakan corak dengan  masyarakat Jawa. Perbedaan kulturaldan budaya antara dua masyarakat ini turut memberikan  warna baru pemahaman dan dinamika keagamaan antra komonitas ini. Islam tradisionil di Jawa dengan kultur feodal yang begitu kental  berpusat pada Pesantern  dan Kiyai .  Pesantern dan Kiyai adalah dua intitusi yang sangat berperan aktif  dalam menentukan corak pemahamam masyarakat,  dapat juga dikatakan kedua institusi ini adalah porosnya kalangan tradisionalis. Fatwa  yang dikeluarkan seorang Kiyai yang memiliki Pesateren   ternama akan menjadi referensi utama bagai masyarakat sekitarnya. Sedangkan di Minangkabau yang memiliki budaya egaliter dan demokratis posisi Surau dan Ulama yang menjadi pemimpin di Surau tidak seluas Psanteren dan Kiyai di Jawa. Ulama  dan Institusi surau yang dipimpinnya bukan  sepenuhnya berada dibawah gengamam sang Ulama, akan tetapi ia disurau memiliki fungsi terbatas sebagai  pemberi nasehat. Dalam  petitih Minang disebut. Ulama  itu ka suluah bendang dalam Nagari, ka pai tampek ba  tanyo,ka pulang tampek babarito (Ulama hanya untuk pemberi nasehat di Nagari serta menjadi tempat bertannya atau melaporkan sesuatu yang ditemukan di tempat lain).

Dalam kaitanya dengan Konsep Tradisonalias dan Modernis serta pengaruhnya dalam masyarakat Minangkabau  sejak masa awalnya wacana ini telah mengalami perubahan    yang signifakan sekali. Jika dahulu  golongan tradisionilis itu diidentikan dengan kuno, tidak  mempunyai akses ke pusat modernisasi, informasi dan stagnan dalam berpikir. Justru sekarang golongan tradisionalis telah mengalami mobilisasi vertikal yang luas  dan dapat menyesuaikan dirinya dengan perobahan yang terjadi.  Ketika mereka membicarakan soal-soal kehidupan mereka sudah tidak lagi terjerat oleh konsep teologis pasrah pada nasib dan takdir, tetapi mereka sudah melintasi wilayah itu dengan konsep ikhitiyar dan kreatifitas yang tinggi. Sedangkan ketika pembicaarn soal keagamaan yang bersifat teologi (aqidah) mereka masih setia pada khazanah lama, seperti pemikiran ketauhidan  Ahlusunnah waljmaah dan tarekat masih dominan dalam prilaku beragamanya. Sementara,  kalangan yang mengaku sebagai modernis malah terjebak pada pemikiran stagnan, seperti ketidaksiapan kalangan modenis  Minangkabau yang direpresentasikan oleh Muhamadiyah  menerima pikiran moderen yang ditawarkan oleh ulama klasik  dalam bentuk mazhab. Mereka terpaku pada pemikiran satu arah yaitu warisan intelektual yang bersumber dari jalur Ibnu Taimyah dan segenap jajarannya. Menafikan khazanah lama itu pertanda ketidaksiapan mereka menyaring pikiran baik dari beragam sumber yang ada.

Menempatkan Islam tradisionalis sebagai kaku dan mengalami stagnasi perlu dikaji ulang, sebab semangkin banyaknya pengikut ulama tradisionalis dan semangkin maraknya praktek  tarekat atau ziarah yang berada dibawah koordinasi guru tarekat, ini menunjukan bawa Islam tradisionalis  masih memiliki vitalitas, memiliki kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang tidak beku tetapi mengalami perubahan. Pandangan “konservatif” Ulama tradisionalis  (Tuanku,Imam,Labai,Khatib di Ulakan dan yang berhubungan dengan nya) ternyata  bukan menghasilkan sistem yang statis, tetapi suatu sistem di mana perubahan-perubahan yang dilakukan terjadi secara perlahan-lahan dan melalui tahap-tahap yang tidak mudah diamati. Dalam sebuah wawancara dengan Ulama yang memiliki Surau dan suraunya  mempunyai pengaruh luas di masyarakat ia menyebutkan: ”Pembaharuan dan perobahan adalah alami, akan tetapi dalam masalah keagamaan pembaharuan bukanlah pada segi ajarannya tapi pada cara  menyampaikannya“[60] . ketika diamati dilapanganpun demikian adanya Tradisionalis Islam di Minangkabau saat ini telah berobah cara pandang mereka dalam menempatkan soal yang perlu dilakukan perubahan dan masalah lain yang bersifat permanen. Misalnya,  Surau Tuanku Kuning Zubir di Pakandangan  Pariaman disamping masih mempertahankan diri melakukan pengajian kitab kuning sistem halakah, mereka memberikan kesempatan kepada muridnya untuk mengembangkan diri pada bidang lain yang diminatinya. Santri diberikan kebebasan untuk memasuki Sekolah Umum (SLTP dan SMU)  pada siang hari dan malamnya mengaji kitab dengan beliau. Corak moderen yang ditawarkan oleh ulama tradisionalis ini memberika ruang kepadanya untuk mendapatkn santri yang lebih banyak serta mendatangkan citra baru bagi lembaga ini. Banyak contoh Ulama dan lembaga Islam tradisionalis mencari model baru untuk membuat mereka tetap eksis dalam perubahan zaman. Ini memberikan indikasi bahwa kalangan tradisionalis mengalami perubahan  guna men jaga kelangsungan hidup mereka.      

Dalam kenyataannya di masyarakat sampai saat ini ummat Islam yang dikatakan sebagai golongan tradisionalis belum banyak bisa dipengaruhi oleh kalangan modernis. Lemahnya pengaruh Modernis  pada masyarakat Minangkabau   masih sebuah tanda tanya dan perlu kajian mendalam. Bukti konkritnya menunjukan bahwa  golongan modernis belum mampu menerobos pelosok dan pedesaan di Minangkabau. Muhammadiyah sebagai rerpresentasi dari  golongan modernis hanya bisa diakui dan memiliki massa pada pusat-pusat  kota atau setingginya pusat kecamatan. Sementara, kalangan tradisionalis disamping ia mememiliki basis utama pada surau di desa, mereka juga sudah mampu memasuki pusat-pusat perkotaan, Misalnya, di pusat kota Padang ada beberapa pusat pengajian tarekat dan beberapa ritual keagamaan yang bercorak tradisionil itu. Lebih konkrit lagi. Kalangan modernis belum mampu mengadakan pertemuan dalam bentuk pertemuan keagamaan seluas  dan disebesar yang dilakukan golongan tradisionalis. Misalnya acara Bersyafar di Maqam Syekh Burhanuddin yang dilakukan setiap tahun tidak kurang 500 ribu  kaum tradisionalis Islam datang dan beribadah disana dari berbagai daerah Sumatera barat,Riau,Jambi dan daerah lainnya .

Bukti lain, bahwa kalangan tradisonalis masih tetap hidup di tengah  arus modernisasi adalah kuatnya organisasi mereka dalam mengayomi anggotanya. Dikalangan pengikut  Tarekat Syathariyah ada Jamaah Syathariyah, bagi pengikut Nasabandiyah ada organisasi Persatuan Pembela Tarekat Indonesia (PPTI), dalam bentuk luas ada Persatuan Tarbiyah Islam disingkat dengan Tarbiyah , disamping itu juga ada Persatuan Tarbiyah Islamiyah disingkat PERTI . Organisasi tersebut memiliki anggota dan pengurus sampai  pada tingkat paling rendah di kota dan desa.   Lebih konkrit lagi dapat dibaca pada data yang dikeluarkan oleh Kantor wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat, tentang keadaan Mesjid dan bentuk pengamalan masyarakat disekitarnya.
Tabel . 1
Jumlah Tempat Peribadatan menurut Bahasa   Khutbah dan Kegiatannya
Prop. Sumatera Barat Tahun 1999/2000
TIDAK
Satuan
Organisasi
Jum
lah
Mas
jid
MASJID
Jum
Lah
Lang
Gar
Langgar
Jum
lah
bubur
alla
Mushalla
Keterangan
Khutbah dg. Bahasa
Kegiatan
Kegiatan
Kegiatan
Ar
ab
Indo
Nesia
Daerah
Ind
Drh
Ada Pe
Nga
Jian
Ada Gila
ra
sah
Ada
 Pe
nga
jian
Ada Gila
ra
sah
Ada
 Pe
nga
jian
Ada Gila
ra
sah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
1
Kab. Pd. Pariaman
390
217
173
-
-
259
12
1874
884
80
115



2
Kab. Agam
493
17
416
-
60
493
71
974
646
9
216
109
6

3
Kab. Tnh. Datar
287
22
208
-
57
287
14
874
623
-
368
89
-

4
Kab. Solok
396
4
392
-
-
328
37
1148
747
142
111
27
2

5
Kab. 50. Kota
378
1
375
2
-
342
71
700
528
26
183
30
1

6
Kab. Ps. Selatan
438
-
435
3
-
435
-
610
599
-
67
-
4

7
Kab. Pasaman
678
12
656
10
-
628
93
798
724
18
242
69
-

8
Kab. Swhl/Sijunjung
271
27
218
-
26
213
10
975
462
10
64
54
2

9
Kodya. Padang
418
15
394
8
1
414
116
540
481
74
180
83
3

10
Kodya. Bukittinggi
35
-
35
-
-
35
33
83
75
23
41
-
25

11
Kodya. Pd. Panjang
28
-
28
-
-
28
6
39
39
3
38
13
1

12
Kodya. Sawahlunto
43
3
40
-
-
42
17
150
115
34
60
1
-

13
Kodya. Solok
34
-
34
-
-
32
28
66
46
13
21
7
-

14
Kodya. Payakumbuh
74
-
74
-
-
74
28
232
201
-
27
25
-


Jumlah
3963
318
3478
23
144
3610
536
9063
6170
432
1733
577
44


[1] Prof.Dr.M.Nasroen. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, 1971.Penerbit Bulan Bintang.Jakarta. halaman.19
[2] Muchtar Naim, Dr.Merantau Pola Migrasi  Suku Minangkabau. Pers Universitas Gajahmada. 1984. Halamn 74
[3] M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Penghoeloe,Minangkabau Sejarah Ringkas, hal. 100.
[4] Burhanudin Daya,Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995),  hal. 27. Data luas Indonesia ini setelah Timor Timur keluar dari Indonesia. (2.41.137 km persegi – 14.069 km persegi).
4 Mulyanto Sumardi, dkk. al., Profil Sumatera Barat (Jakarta: PT. Inter Nusa, 1992), hal. 301.
[6] Muhammad Rajab.  Sistem Kekerabatan di Minangkabau .   Pusat  Studi Minangkabau. Padang . 1969. Halaman 201.
[7] ABDT.Madjo Indo. Kato Pusako: Pepatah, Petitih Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat Minangkabau. Penerbit MPAM kerjasama PT.Rora Karya. Jakarta. 1999.halaman 1.  
[8] H. Blink,De Economische geographie Bovenlanden en het belastingraaggtuk voor Sumatra's. Weskust, Vragen Vanden dag, 23. (1908), hal. 195-614.
[9] Elizabeth E. Graves. Tanggapan Minangkabau terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda  Abad ke-19. (New York : Cornel Modern Indnesia Project Southeast  Asia Program , 10981) hal.1
[10] PE de Joselline de Jong,struktur politik Minangkabau dan Negeri sembilan Sosio. Eduard Ijdo,Leiden, 1980.1951,halaman 3
[11] Christine Dobine,Rivivalisme Islam di Minangkabau pada Abad ke-19. (London camridge university Press, 1974) halaman 321. Lihat Juga Taufik Abdulah. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan sejarah islam di indonesia. Yayasam Obor Indonesia. Jakarta. 1987. Halaman  104-127. 
[12] Chritine Dobbin,Revivalisme Islam dalam Perubahan Ekonomi Petani Sumatera Tengah ,1784-1847 (London: Curzon Press Ltd,1993) halaman 119.
[13] Rasyid Manggis. Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya. Sri Darma Padang. 1971.halaman 11. Juga dapat dibaca dalam Hamka,Sejarah Ummat Islam. Bulan Bintang.Jakarta. 1976, halaman 15-6.
[14]  Drs.MDMansoer dkk. Sejarah Minangkabau. 1970.Bharata.Jakarta. halaman 37.
[15] Martin Van Brunessen, 1994,The Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southes Asia),Studi Islamika 1 April-Juni 1994, h. 1. Bandingkan juga dengan Azyumardi Azra dalamJaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII,Mizan Bandung, h. 2. Bahwa para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan Nusantara  ini. Azra dalamPerspektif Islam di Asia Tenggaramenuliskan secara umum Islam tasawuf tetap unggul dalam tahap pertama Islamisasi ini, setidaknya sampai akhir abad k-17. Hal ini karena tasawuf Islam yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan menemukan mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu “cocok” dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan senkritisme lokal, Yayasan Obor Indonesia, 1989, Jakarta, h. XV.

[16] Taufik, Abdullah. . Sejarah dan Masyarakat,Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta,Pustaka Firdaus,1987)h.111-2)
[17] Nasroen,M,Prof. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. (Jakarta, Penerbit Pasaman.1957.h.21)
[18] Alaidin, Koto, DR. Pemikiran Politik PERTI.(Persatuan Tarbiyah Islamiyah)45-70. Jakarta.Penerbit Nimas Multima,1997.h.16-7.
[19] Slamet Mulyana,Runtuhnya kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara, Bharata, Jakarta, 1963, h. 261, JG Van Leur,Masyarakat Dagang Indonesia,Sumur, Bandung, 1955, h. 102, DG Hall,Sejarah Asia Tenggara,Kuala Lumpur, 1979, h. 252-253.
[20] Uka Tjandrasasmita,Masuknya Islam ke Indonesia,dalam BuletinYaperma, no. I, tahun III, Pebruari, 1976, h. 80
[21] Hamzah al-Fansuri adalah seorang tokoh cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka  yang hidupnya diperkirakan antara pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 Masehi. Ia berasal dari Fansuri, sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatera yang terletak di antara kota Sibolga dan Singkel. Ia menulis beberapa buku di antaranya Syarab al-'Asikin (Minuman Orang-orang yang Bercinta), Asrar al-'Arifin (Rahasia Orang-orang Arif) (Lihat Abul Hadi WM 1995). Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisinya. Penerbit Mizan Bandung, h. 9 

[22] Syam al-Din al-Sumatrani adalah murid dan sahabat Hamzah al-Fansuri. Ia hidup diperkirakan sekitar tahun 1575 M. dan wafat 1630 M. Ia dikenal sebagai salah satu dari dua ulama atau Syekh terkemuka yang menyebarkan paham wujudiyah atau paham wahdat al-wujud (Kesatuan Wujud Tuhan dengan Alam) pada masa hidup mereka di daerah Aceh. (Abdul Aziz Dahlan,Pembelaan terhadap Wahdat al-Wujud: Tasawuf Syamsuddin Sumatrani), Jurnal Ulumul Qur'an, Jilid III, No.3. th. 1992, h. 98.

[23] Al-Raniri, Abd. al-Rauf al-Sinkili dan Muhammad Yusuf adalah para pembaharu yang paling pertama dalam sejarah Islam di bagian dunia Asia Tenggara. Mereka berperan sebagai penyampai (pemancar) yang penting dalam  mengakrabkan Islam di Nusantara dengan perkembangan pemikiran dan praktik Islam di Haramain khususnya. Dalam konteks ini, misalnya, sejak paruh baya kedua abad ke-17, mereka memperkenalkan pemikiran dan tradisi tasawuf "Arab" yang lebih setia kepada ortodoksi atau syari'ah untuk menggeser dan mengganti tasawuf pada masa sebelumnya yang diwarnai oleh tradisi sufisme "India" yang cenderung eksensif dan karenanya sering menuduh "Heterodoks" atau "Tidak Ortodoks" alias menyimpang (Azyumardi Azra, 1992,Jurnal Ulumul Qur'an, Jilid III, No.3, tth., h. 80

[24] Abd al-Rauf al-Sinkili lahir di Sinkili daerah Fansur (Barus) Pantai Barat Sumatera lahir sekitar tahun 1024/1615. Kitab yang memuat tentang riwayat hidup tokoh ini ditulis dalam kitabal-Umdat al-Muttajin(Naskah kode W. 301 Perpustakaan Nasional Jakarta). Tulisan ulama ini sangat akomodatif terhadap pendekatan Wahdat al-Wujud yang berkembang sebelumnya. Lebih luas mengenai tokoh ini dapat dilihat penelitian (disertasi) Salman Harun dan Penoh Dauli, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[25] Ulakan adalah sebuah desa di pantai wilayah Minangkabau (sekarang Sumatera Barat). Riwayat lokal mengenai perkembangan Islam di Minangkabau menyatakan Burhan al-Din (1056-1104/1646-92) belajar dengan al-Sinkili selama beberapa tahun sebelum kembali ke tempat kelahirannya. Burhan al-Din tentu saja, bukan ulama pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Minangkabau, tetapi tak diragukan lagi ia memainkan peran penentu dalam menguatkan Islamisasi di kalangan penduduk setempat.   Peran Syekh Burhan al-Din dalam pengembangan Islam di Minangkabau berawal dari usaha mendirikan surau (pesantren) sebagai pusat penyiaran Islam. Pengajian al-Qur'an dan pusat pengembangan tarekat. Surau pertama yang dijadikan Syekh Burhanuddin sebagai basis pengembangan Islam  akhirnya masuk dalam  sistem budaya Minangkabau. Hal ini tergambar dalam kehidupan masyarakatnya dimana setiap nagari ada masjid dan   setiap kampung serta kaum (suku) mempunyai surau. Surau sepintas   dapat   dilihat   seperti halnya mushalla tempat melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan. Peranan   Surau Syekh Burhanuddin Ulakan di Minangkabau cukup besar sehingga dalam tradisi sejarah di kalangan ulama sering dianggap bahwa kota kecil inilah sumber penyebaran Islam. Apalagi, bukan tidak mungkin peran ini menimbulkan diktum yang terkenal dalam tambo adat Minangkabau, “ Agama mendaki, adat menurun” . Namun yang pasti ialah bahwa dengan tradisi surau atau pesantren, sebagai pusat pengajaran dan pemupukan ilmu pengetahuan keagamaan, bermula di Minangkabau.Dari sinilah “ silsilah” atau mata rantai surau-surau dimulai.

[26] Stempel kepala sembilan yang didalamnya  tertera  simbol dari Kerajaan Aceh   dulu masih tersimpan di tangan khalifah Syekh Burhanuddin  seperti benda peninggalan lainnya, sejak peristiwa PRRI, setempel ini hilang, namun  banyak  pihak pernah melihatnya.   Penjelasan  dari  BAAM DT. Maninjun. Wawancara. 25 April 2001.Di Ulakan Pariaman. 
[27] Tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi  ke  generasi berikutnya  secara turun temurun. Kebiasaan yang diawariskan  mencukup berbagai nilai  budaya, yang mencakup adat istiadat,  sistem kemasyarakatan,  sistem pengetahuan bahasa, kesenian,  sistem  kepercayaan  dan sebagainya. Seorang individu  dalam  masyarakat mengalami proses belajar dan berindak sessuai dengan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam  masyarakatnya. Nilai budaya yang menjadi pedoman  bertingkah laku bagi masyarakat  adalah warisan yang telah mengalmi proses penyerahan  dari  satu generasi kegenerasi berikutnya. Proses ini menyebabkan nilai-nilai budaya tertentu menjadi tradisi yang biasanya terus   dipertahankan oleh msyarakat tersebut. (   Lihat Depdikbud. Ensiklopedi Nasional Indonesia ,   PT. Cipta Adi Pusstaka, Jakarta, 1991, h.   414
[28] Kata surau berasal  dari  kata  Melayu. Secara harfiyah  kata ini, berarti suatu  bangunan kecil,  tempat  sembayang (shalat) orang-orang Islam, tempat  belajar (mengajial-Qur'an)  bagi  anak-anak  orang Islam  serta  tempat  wirid  pengajian bagi orang-orang dewasa. Kata  ini pada  umumnya  dipakai orang Minangkabau  (Sumatera  Barat), untuk  menamai suatu bangunan yang menyerupai bentuk masjid dan digunakan untuk shalat. Kata  surau  di Sumatera Barat  dalam perkembangan  melalui kemajuan, kalau  ditinjau  secara semantik. Awalnya surau hanya berfungsi sebagai   tempat ibadah   dan mengaji   al-Qur'an, kemudian   fungsinya   meningkat   menjadi tempat   (lembaga pendidikan dan pengajaran),   serta kegiatan   sosial   dan budaya (   Lihat   Dep.   Agama   RI. Ensikplopedi Islam di Indonesia, III , Depag. RI, Jakarta , 1993, h.1139    
[29] Minangkabau  dalam  konteks sejarah  meliputi  etnis  (suku Minangkabau), teritorial (wilayah Minangkabau) dengan batas-batas tertentu, linguistik (bahasa Minangkabau)  dan kultural  (budaya Minangkabau). Maka yang dimaksud dalam  penelitanini  adalah Minangkabau  dalam arti  budaya atau kultur.
[30] BAAM DT,Maninjun (Seorang pemuka adat dan juga mantan wali Nagari Ulakan yang terpelajar,salah seorang Dosen di Universitas Pancasila Jakarta dalam Mata kuliah Antropologi Budaya).Wawancara. 25 Maret 2002 di Ulakan Pariaman Sumatera Barat
[31] Sidi  Gazalba,Mesjid  Pusat Ibadat  dan Kebudayaan  Islam,Pustaka al-Husna, Jakarta,  1989,  h.   314-15
[32] Mulyani,Surau dan  Pembaharuan Pendidikan Islam  di Minagkabau, IAIN IB Press,  1999, h.   7
[33] Azyumardi Azra,Pendidikan. T. H.   118
[34] Ibid
[35] Taufik Abdullah. Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis islam di indonesia,Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1987. Halaman 114.
[36] HBM.Surat. Persenyawaan Adat Dan Syarak. (belum diterbitkan) 2000. Padang Sumatera Barat.
[37] Drs.H.Bagindo M.Letter. Proses Persenyawaan Adat dan Syarak di Minangkabau(Naskah belum diterbit). Penulis seorang Pemuka Agama yang berasal dari daerah Pariaman dan juga ketua Yayasan Syekh Burhanuddin Ulakan , Pensiunan Kepala Bidang Penerangan Agama Islam Kanwil Depag Sumatera Barat. Juga  menjadi Anggota DPRD I Sumatera Barat 1995-2000. Mubaligh yang dikenal luas di Sumatera Barat
[38] Dr.Mochtar Naim.Filosofi Budaya Minangkabau :Mengembalikan Identitas Keislaman-Keminangan sebagai jati diri orang Minangkabau.Makalah dipersentasikan pada Dialog Kebuidayaan ,Pesta Budaya Minang 2000 TIM Jakarta 21 Oktober 2000.
[39] Taufik  Abdullah,Adat dan IslamSuatuTinjuan Tentang KonflikdiMinangkabau.         Dalam Taufik  Abdullah  (Ed),Sejarahdan MasyarakatPergeseran HistorisIslamdiIndonesia,PustakaFirdaus, Jakarta, 1987. H. 310             
[40] Syekh Burhanuddin adalah orang yang pertama membawa ajaran tarikat Syatariyah ke Minang , lihat GWJ Drewes,Indonesia, Mysticm and Activism Unity and Variety in Muslim Civilization,The University of Chicago Press, Amerika, 1963, h. 289-291
[41] M. Nasroen,Dasar Filsafat Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Jakarta, 1971. h. 36
[42] Taufik Abdullah,Adat dan Islam ; Suatu Tinjaun Tentang Konflik di Minangkabau,Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, h. 116
[43] Runtuhnya surau dan berobah  hubungan adat dan agama dalam tataran sosial kemasyarakatan disebabkan faktor-faktor siginifikan adalah :  (1) Pengaruh perang paderi yang jadwal pengajaran tarekat,  dianggap  sebagai bid'ah. (2) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern sepeti Sumatera  Thawalib, Perguruan Muhammadiyah  Kauman. (3) Pengaruh dari pendidikan Belanda yang  diterima oleh masyarakat  Sumatera  Barat, terutama  semenjak  dibukanya Sekolah Raja di Bukittinggi pada akhir tahun  1850-an hingga berkembangnya pendidikan modern saat ini. (4) Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan  yang cenderung menganak tirikan  pendidikan agama. (5) Perkembangan Ekonomi   dunia   dan   modernisasi arus membawa pengaruh pada   perubahan masyarakat   dari   masyarakat agamis   menjadi masyarakat   sekuler yang   lebih   peduli pada kehidupan duniawi semata. Disamping   faktor-faktor di atas kota-kota di   Minangkabau terus berkembang dan semakin banyak   didatangi   para perantau dari kampung-kampung sekitarnya. Para perantau ini bermukim   di perkotaan   bersama anank isterinya   dalam satu kelurga berbahaya . Perlahan tapi pasti, sistem keluarga   batih   yang selama   ini di anut mulai   tersaingi oleh sistem keluarga  nuklir. Proses ini   meurut   Taufik Abdulah   cenderung memperlemah hubungan mamak-kemenakan , yang dalam sistem kekerabatan matrilinial   Minangkabau merupakan   salah satu   aspek penting.
Surau di Minangkabau   setelah   kedatangan Islam secara umum   dapat   dikelompokkan menjadi dua bentuk. Pertama : Surau   Gadang (surau   besar), yaitu surau yang menjadi induk   dari beberapa   surau kecil   disekitarnya.   Surau ini biasanya   sekaligus tempat tinggal guru (Syekh) yang   masyhur   dengan kealimannya. Disurau gadang ini dilakukan   pengajian rutin oleh Syekh dengan murid-muridnya yang   menjadi guru pada surau surau-surau   di   daerah   sekitar surau   gadang tersebut. Penamaan surau   gadang ini biasanya dikaitkan dengan nama Syekh yang mendiami   surau itu atau  nama  daerah tempat surau itu   berdiri. Misalnya surau   Gadang   Tanjung   Medan di Ulakan,   Surau Koto Tuo   di Koto Tuo   Ampek   Angkek , surau Inyiak   Candung   di   Bukittinggi,   surau   Inyiak Jaho   di Padang Panjang,   surau Inyiak Parabek dan lain sebagainya. Surau-surau   gadang ini pada akhirnya ada yang   memfungsikan   diri sebagai masjid, madrasah/ pesantren   dan tempat   pengajian.   Kedua surau   ketek  (surau kecil).   Surau ini   dilihat dari jenisnya ada dua bentuk, yaitu: Surau   yang   didirikan   oleh  suku, hindu, korong kampung, dan pedagang. Contoh surau-surau yang banyak ditemukan   di kapung atau nagari di Sumatera   Barat. Pada umumnya   pada   jenis   ini memiliki akar   dan   posisi yang kuat dalam masyarakat, karena di surau ini dilakukan bermacam-macam kegiatan keagamaan dan kemasyarkatan   seperti   mengaji   al-Qur'an,   wirid   agama, pengajian tarekat, bela diri silat, belajar panitahan (pidato   adat)   dan   kesenian masyarakat lainnya
Model surau ketek kedua adalah   surau   yang   didirikan   disekitar   surau gadang (besar) yang didiami oleh   murid-murid yang belajar   pada   seorang   Syekh.   Model surau   ketek ini, dapat ditemukan pada komplek surau   Syekh   Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan Pariaman dan surau Syekh   Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh, Komplek surau Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung   Bukittinggi,   komplek surau Tuanku   Koto   Tuo di Koto Tuo   Agam, komlek   surau Jaho   di Padang   Panjang   dan   lain sebagainya .
Sedangkan institusi surau sebagai lembaga pengembangan   dakwah Islamiyah   secara umum tetap berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat, meskipun mengalami pasang naik dan pasang surut. Surau-surau yang diurus oleh   kalangan ulama   modernis cenderung lebih menonjolkan dalam bidang syiar dakwah dan masalah   sosial   seperti   wiri-wirid umum, peringatan hari   besar Islam   dan panti   asuhan. Pada   sisi lain surau yang dikelola oleh ulama tradisionalis lebih bersifat pembinaan   keagaamaan   ke dalam   seperti pengajian tarekat, ziarah bersama kemakam   Syekh-Syekh, khatam al-Qur'an dan semacamnya.   Seperti yang dapat ditemukan di surau Tuanku Kuning  Zubir di Pakandangan Pariaman, Surau Tuangku Ismet Ismael di Koto Tuo Bukittinggi.
Surau sebagai lembaga   kemasyarakatan, pada   umumnya mengalami   perubahan yang sangat signifikan sekali.   Hampir saja lembaga   surau tidak   dgunakan lagi   sebagai   sarana   pembinaan adat   dan   kesnian di   Sumatera Barat, begiru juga tidak   ditemukan lagi   ssurau yang   menjadi   basis   pembinaan kemasyarakatan, sosial   dan   pemerintahan   nagari. Misalnya   sangat   jarang   ditemukan   surau yang   dipakai   sebagai tempat   rapat   desa   dan pertemuan   lainnya, karena   adanya lembaga  kemasyarakatan lain yang   telah   dipermanenkan oleh pemerintahan, sebutlah misalnya balai pertemuan   LKMD,   balai pertemuan pemuda,   karang taruna, PKK   dan semacamnya.
[44] Tanggal. Tan  Kabasaran, Ketua  Majelis Pertimbangan MUI Tingkat  I Sumatera Barat, dan Pemuka adat di Kabupaten Agam,Wawancara,di Bukittinggi tanggal 17 Oktober 2000.   
[45]  Ibid
[46] Taufik Abdullah. 1987.Islam dan Masyarakat. LP3S. Jakarta. H. 127
[47] Sampai sekarang di Ulakan  setiap bulan Syafar melaksanakan upacarabasapa gadangdanbasapa ketek  yang dilaksanakan oleh penganut Tarekat Syathariyah dengan bermacam-macam ritual. Para penziarah datang dari berbagai wilayah di bawah pimpinan seorang guru, biasanya guru Tarekat.
[48] ​​Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam ekonomi petani yang sedang berubah:Sumatera Tengah 1984 – 1847. Terj. Lilian D. Tedjasukandhana. (Jakarta, INIS, 1992). H. 142.
[49] Sanusi latif,1992. Gerakan Kaum Tua di Minangkabau. Disertasi IAIN Syahid. Jakarta. Hal. 86.
[50] Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Penerbit Panjimas. 1984. Jakarta, hal.129-146
[51] Depdikbud. Ensiklopedi Nasional Indonesia,PT. Cipta Adi Pusstaka, Jakarta, 1991, h. 414    
[52] Suadi Puro. Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas,Penerbit Paramadina.Jakara. 1998.hal.46.
[53] Sayyed Hosen Nasr. Tradisi Islam: Di Tengah Kancah Modern. Penerbit Pustaka. 1987. Jakarta.hal.3
[54] Abdurrahman Wahid, Tradisionalisme Radikal : Persinggungan Nahdtul Ulama dengan negara,Penerbit LKiS, Jakarta, 1999. Hal.vii
[55] Deliar Noer,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Penerbit LP3ES, Jakarta, Cet.3, 1985, halaman 235.
[56] Alaidin, Koto,DR. Pemikiran Politik Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah)1945-1970. Penebit Nimas Multima, Jakarta, 1997. Halaman.4
[57] Penelitian yang mengungkapkan tentang Jamaah Syathariyah di Sumatera Barat telah dilakukan oleh Drs.Yurisman,M.Ag  dalam sebuah Tesis yang berjudul :Gerakan Dakwah Jamaah Syathariyah di Sumatera Barat 1970-1995 . IAIN Imam Bonjol Padang. Tahun 1999. Penelitian mengungkap bahwa bagaimanapun kalangan Syathariyah masih saja tidak mampu keluar dari koridor ketradisionalanya. Baca hal58-62. 
[58] Radikalisme Politik dalam pengertian kritik yang luas ,terbuka dan mendasar  atasstatus quoSoeharto dipelihatkan  NU melalui Ketua Umum   KH.Abdurrahman Wahid . Lebih jauh lihat: Missuo Nakamura dalamTradisionalisme Radikal. 1999. LKiS.Jakarta.h.55-85
[59] Abdullah, Taufik.1996. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. LP3ES Jakarta h.216.
[60] Tuanku Kuning Zubir,Wawancara, Di Surau Pakandangan Pariaman Sumatera Barat  25 April 2001. Beliau ulama yang dikenal luas  memiliki surau tempat pengajian halakah dan muridnya tersebar luas di Sumatera Barat. Riau dan Jambi. Bahkan sampai di Jakarta dan Bandung.

0 Comment