14 November 2012

Metode Muhammad Ali al-Shâbuni dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”

A.    Pendahuluan
Al-Qur’ân adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, di samping berfungsi sebagai petunjuk,  ia juga berfungsi sebagai pembeda. Disadari bahwa al-Qur’ân menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niat di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’ân yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsir). Kesadaran tersebut telah dimulai sejak masa turunnya al-Qur’ân yang dipelopori sendiri oleh Nabi Muhammad s.a.w.

Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H. seiring dengan majunya peradaban Islam, lahirlah berbagai mazhab di kalangan umat Islam. Masing-masing mazhab meyakinkan pengikutnya dengan menanamkan dan mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, tidak jarang mereka menjadikan al-Qur’ân dan hadis Nabi sebagai legitimasi-nya.

Hal ini menjadi salah satu penyebab beralihnya bentuk tafsir dari ma’tsur menjadi ra’yu (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad akal). Sebagai contoh, kaum fuqaha’ yang telah menafsirkan al-Qur’ân dari sudut pandang hukum fiqh, seperti al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkâm al-Qur'ân. Kaum teolog telah menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan pemahaman teologis mereka, seperti al-Tafsir al-Kabir karya al-Râzi, begitu juga kaum sufi yang juga menafsirkan al-Qur’ân sesuai dengan pemahaman dan pengalaman batin mereka, seperti Ahmad ‘Atha ‘Abd al-Qâdir dalam karyanya at-Tafsir al-Sufi li al-Qur'ân. Realita ini sesuai dengan pandangan teori hermeneutika yang menyatakan bahwa seorang mufassir ketika menafsirkan al-Qur’ân ia tidak bisa lepas dari pengaruh konteks sosial, politik, ekonomi, psikologis, teologis, dan lain-lain.

Lebih lanjut sejarah telah mencatat, sejak al-Qur’ân diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. hingga sekarang, aktifitas atau dinamika penafsiran al-Qur’ân tidak pernah mengalami kemandekan. Sebab, al-Qur’ân memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, ia selalu terbuka untuk interpretasi baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal, sehingga dapat dimaklumi jika kemudian muncul beragam metode penafsiran yang telah ditawarkan oleh para mufassir, baik klasik, pertengahan, maupun pada masa modern, yang bila ditelusuri sejarah perkembangannya akan ditemukan secara garis besarnya empat metode penafsiran, yakni metode ijmâli (global), metode tahliliy (analisis), metode muqaran (perbandingan), dan yang terkini adalah metode maudhu'i (tematik).
Salah satu dari sekian banyak tafsir yang ada adalah tafsir Rawâi’ al-Bayân fi Tafsiri Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân karya Muhammad Ali al-Shâbuni. Salah satu metode yang ditempuh al-Shâbuni, sebagaimana yang dijelaskan dalam muqaddimah tafsirnya; adalah mengambil kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi dari para ulama sebelumnya, kemudian ia melakukan al-tarjih di antara dalil-dalil tersebut.

Maka hal inilah yang menjadi kajian penulis dalam makalah ini, pada sub bahasan selanjutnya akan dipaparkan sekilas biografi Muhammad Ali al-Shâbuni, gambaran umum kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân, Metode (manhaj) al-Shâbuni dalam tafsir Rawâi’ al-Bayân, terakhir kesimpulan dan saran.
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library research) dengan menghimpun data-data dari berbagai sumber yang terkait dan relevan dengan pembahasan.

B.    Sekilas Biografi Muhammad Ali al-Shâbuni

Bersama Syekh Yusuf al-Qardhawi, Syekh Ali al-Shâbuni ditetapkan sebagai tokoh muslim dunia 2007 oleh DIQA. Nama besar Syekh Muhammad Ali al-Shâbuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara-nya.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ali Ibn Ali Ibn Jamil al-Shâbuni. Beliau dilahirkan di Madinah pada tahun 1347 H/1928 M. Ia alumni Tsanawiyah al-Syari’ah. Syekh al-Shâbuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya, Syekh Jamil al-Shâbuni, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasannya dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, al-Shâbuni sudah hafal al-Qur’ân. Tak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama di tempatnya belajar sangat menyukai kepribadiannya.

Selain belajar kepada ayahnya, Ia juga berguru kepada para ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-Idhbi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah.

Untuk menambah pengetahuannya, al-Shâbuni juga sering mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai Masjid. Setelah menamatkan pendidikan dasar, al-Shâbuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah al-Tijariyah. Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus Syari’ah, Khasrawiya, yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiya, ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiya dan lulus tahun 1949. Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai Strata satu dari Fakultas Syari’ah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di Universitas yang sama, ia memperoleh gelar Magister pada konsentrasi Peradilan Syari’ah (Qudha al-Syari’ah). Studinya di Mesir merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria.

Selepas dari Mesir, al-Shâbuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai Sekolah Menengah Atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru Sekolah Menengah Atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1963. Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syari’ah Universitas Umm al-Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua Universitas ini berada di kota Makkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, al-Shâbuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syari’ah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.

Di samping mengajar di kedua Universitas itu, Syekh al-Shâbuni juga sering memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjid al-Haram. Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di salah satu Masjid di kota Jeddah. Kegiatan ini berlangsung selama sekitar delapan tahun. Setiap materi yang disampaikannya dalam kuliah umum ini direkamnya dalam kaset. Bahkan tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di Televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum Syekh al-Shâbuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998.

Di samping sibuk mengajar, al-Shâbuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasehat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai al-Qur’ân dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Shafwah al-Tafâsir”. Kitab tafsir al-Qur’ân ini merupakan salah satu tafsir terbaik, karena luasnya pengetahuan yang dimiliki oleh sang pengarang. Selain dikenal sebagai pengahafal al-Qur’ân, ia juga memahami dasar-dasar ilmu tafsir, guru besar ilmu Syari’ah, dan ketokohannya sebagai seorang intelektual muslim.

Pemikirannya dituangkan dalam bentuk karya tulis, seperti dapat dilihat pada kitab Shafwah al-Tafâsir, Rawâi’ al-Bayân fi Tafsir Ayat al-Ahkâm min al-Qur’ân, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’ân (Pengantar Studi al-Qur’ân), Para Nabi dalam al-Qur’ân, Qabasun min Nur al-Qur’ân (cahaya al-Qur’ân),  dan lain-lain.

C.    Gambaran Umum Kitab Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”

Amin Suma  mengatakan bahwa kitab Rawâi’ al-Bayân  ini terdiri dari dua jilid, dengan tebal halaman masing-masing 627 dan 637 halaman. Disusun oleh Muhammad Ali al-Shâbuni, salah seorang guru besar Fakultas Syari’ah di Jami’ah Umm al-Qurân Makkah al-Mukarramah.  Namun ketika penulis melihat kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân tersebut terbitan Dâr al-Kutb al-Islamiyah; Jakarta, cetakan pertama tahun 1422 H. / 2001 M. dijumpai jilid I dengan daftar isinya berjumlah 496 halaman dan jilid II 518 halaman yang memuat 40 pembahasan.  Ini tampak sedikit berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh Amin Suma dalam bukunya “Pengantar Tafsir Ahkâm”.

Kemudian kitab ini juga berbeda dengan tafsir ayat al-Ahkâm Muhammad Ali al-Sayis yang tidak memiliki fihris (daftar isi), kecuali hanya menyebutkan ayat-ayat yang akan dibahas, Rawâi’ al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkâm min al-Qurân (berbagai kekaguman keterangan tentang tafsir ayat-ayat hukum) susunan Ali al-Shâbuni ini memiliki daftar isi yang gamblang dan lengkap dengan topik-topik yang akan dibahas. Hanya saja pada daftar isinya tidak disebutkan nomor-nomor ayat dan nama-nama surat yang akan dibahas.  Barangkali inilah salah satu bentuk kekurangan kitab tafsir Rawâi’ al-Bayân ini dalam perspektif para mufassir kontemporer saat ini.

Sistematika penyusunan Rawâi’ al-Bayân adalah mengurutkan susunan tafsirnya yang dimulai dari surat al-Fâtihah hingga surat al-Muzammil, dan hanya memfokuskan pada ayat-ayat hukum, sehingga tidak semua ayat dalam surat ditafsirkan, meskipun demikian ia tetap menafsirkan sesuai dengan tartib al-mushâfi.

D.    Metode Muhammad Ali al-Shâbuni dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”

Pada Muqaddimah tafsir Rawâi’ al-Bayân Muhammad Ali al-Shâbuni mengatakan bahwa “ sungguh aku berkeinginan kuat untuk bergabung dengan kelompok orang-orang mulia itu dan meniru jejak mereka, meskipun aku tidak seperti mereka, dengan harapan semoga aku dapat berhasil memperoleh sekelumit dari pahala yang mereka peroleh”  seperti kata seorang penyair:

فَتَشبَّهُوْا إِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا مِثْلَهُمْ, إِنَّ التَّشَبَّهَ بِالْكِرَمِ فَلاَحٌ

“berusahalah menyerupai mereka, kendatipun kamu tidak seperti mereka, sebab menyerupai orang-orang yang mulia itu akan membawa kesuksesan”

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa “aku telah mempunyai cita-cita luhur, mudah-mudahan Allah s.w.t. memberikan kemudahan kepadaku untuk mengabdi kepada agama Islam dan ilmu pengetahuan. Lalu aku mengeluarkan sebagian kitab-kitab yang dapat dimanfaatkan oleh umat manusia, karena dorongan keyakinanku, bahwa hal ini merupakan warisan-warisan yang baik (al-baqiyat al-shalihat) yang akan menjadi simpanan bagi manusia setelah ia meninggal dunia.

Allah s.w.t. telah memberikan kemudahan kepada al-Shâbuni untuk dapat bertetangga dengan “negeri yang aman sentosa” (Makkah al-Mukarramah)  seraya beliau mengajar pada Fakultas Syari’ah dan Dirasah Islamiyah, dan Allah telah berkenan menyediakan untuknya situasi dan kondisi yang membantunya dalam meluangkan waktu guna menelaah, belajar, menulis, dan mengarang, sehingga ia diberi oleh Allah s.w.t. kemuliaan bertetangga dengan Bait Allah al-‘Atiq, di negeri yang aman dan iman, negeri yang penghuninya telah dikarunia Allah s.w.t. sejak dulu kala dengan kemanan, ketenangan, dan ketentraman.

Kitab Rawâi’ al-Bayân ini merupakan kitab yang terakhir ditulis oleh Muhammad Ali al-Shâbuni yang diterbitkan dalam dua jilid.  Di dalamnya terhimpun ayat-ayat tentang hukum secara khusus dalam bentuk ceramah-ceramah ilmiah yang singkat tapi padat yang dapat mengkombinasikan antara metode lama dalam kesempurnaan isinya, dan metode baru dalam kemudahan pemahamannya. Dalam memberikan ceramah-ceramah tersebut ia menempuh suatu metode yang barangkali baru, sistematis lagi praktis. Ia bermaksud menggunakan sistematika yang lembut, di samping ketelitian yang mendalam.  Kemudian dalam menyampaikan uraian tentang ayat-ayat hukum pada kitab ini, al-Shâbuni memperhatikan sepuluh segi,  yaitu:

1. Uraian lafaz dengan mengambil saksi dengan pendapat para mufassirin dan pakar-pakar bahasa Arab.
Contoh: kata al-Sufahâ’ dalam surat al-Baqarah: 142  dan dalam surat an-Nisâ’: 5 . Meskipun kata ini secara bahasa memiliki arti yang sama yakni “tidak cerdas”. Namun, dalam aplikasinya ia memiliki makna yang berbeda, kata ini dalam surat pertama diartikan dengan “orang-orang Yahudi, musyrikin, dan munafiqin”, sementara dalam surat yang kedua diartikan dengan “orang-orang yang tidak bisa mengelola keuangan atau al-mubazzirin.”

2.    Menjelaskan pengertian global bagi ayat-ayat yang mulia secara sepintas.
Menurut al-Shâbuni, ijmali adalah dikemas dalam bahasa sendiri, tidak menggunakan catatan kaki, atau sumber pengambilan sebagaimana lazimnya tulisan (karya ilmiah). Tujuannya adalah agar pembaca tidak terganggu perhatiannya dalam memahami maksud ayat secara ringkas dan menyeluruh.

3.    Memaparkan asbab al-nuzul ayat, jika memang ada.
Dalam muqaddimah tafsirnya, ia menjelaskan bahwa tidak semua ayat al-Qur'ân memiliki al-asbab al-nuzul. Oleh karena itu, ia tidak selalu menampilkan al-asbab al-nuzul-nya. Meskipun demikian, al-asbab al-nuzul termasuk salah satu aspek yang dibahasnya dalam Rawâi’ al-Bayân.

4.    Menceritakan segi-segi pertalian (munasabah) antara ayat-ayat terdahulu dan ayat-ayat yang datang kemudian.
Hal ini disebut juga dengan wajh al-munâsabah bain al-ayât (segi kesesuaian di antara ayat-ayat). Munasabah berangkat dari pemahaman bahwa ayat dan surat dalam al-Qur’ân adalah satu kesatuan yang utuh, memiliki hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat, atau antara satu surat dengan surat yang lain.

5.    Menjelaskan analisis tentang wajah-wajah bacaan yang mutawatir.
Al-Shâbuni dalam tafsirnya mengkaitkan qira’at dengan akibat hukum dan kesejarahannya, seperti penafsirannya tentang persoalan hukum wudhu’ dan tayammum:

6.    Memberikan analisis singkat tentang wajah-wajah I’rab-nya.
Dalam hal ini al-Shâbuni tampak lebih banyak menerangkan tarkib (susunan) kata untuk menjelaskan mana yang menjadi al-mubtada’, fâ’il, al-maf’ul, al-sifat, dan lain-lain.

7.    Menjelaskan intisari tafsir, dan ini mencakup rahasia-rahasia dan faedah-faedah ditinjau dari segi sastra dan pengetahuan-pengetahuan yang detail.
Kehalusan tafsir dianggap penting oleh al-Shâbuni, dengan alasan pembaca akan lebih tertarik dan mudah mencerna makna yang dikandung dalam suatu ayat.

8.    Menjelaskan kandungan hukum dan argumentasi-argumentasi Fuqaha’ dan men-tarjih  di antara dalil-dalil yang mereka kemukakan.
Sesuai dengan namanya, maka pembahasan tentang hukum dalam tafsir ini menjadi sangat penting. Al-Shâbuni dalam tafsirnya mengambil sumber dari pendapat para sahabat, tabi’in, kemudian para imam mazhab. Dalam masalah fiqh, al-Shâbuni mengambil metode al-talfiq dan al-tarjih, yakni tidak berpegang pada satu mazhab, dan mengambil pendapat yang lebih kuat.

9.    Memaparkan kesimpulan tentang petunjuk-petunjuk ayat-ayat yang mulia.
Dalam hal ini al-Shâbuni mengemukakan petunjuk-petunjuk yang diperoleh dari ayat, atau dalam bentuk kesimpulan ringkas yang biasanya berupa point-point dengan menggunakan nomor 1, 2 dan seterusnya. Ia selalu memuat makna global dan kesimpulan pada setiap pembahasannya. Jika makna global diletakkan di awal pembicaraan, maka kesimpulan berada di akhir pembahasan sebelum al-hikmah al-tasyri’.

10.    Menuliskan penutup (pembahasan akhir) dan bagian ini meliputi hikmah disyariatkan ayat-ayat hukum tersebut.

Tujuan dari pembahasan terakhir ini adalah untuk menunjukkan bahwa pada setiap ayat hukum yang dibahas mengandung hikmah, dan dapat diambil pelajarannya, sehingga dapat menjadi pendukung bagi pemberlakuan ayat-ayat hukum. Dalam konteks inilah al-Shâbuni banyak mengutip pendapat para mufassir tentang al-hikmah al-tasyri’.

Kemudian dengan segala kerendahan hati al-Shâbuni mengatakan bahwa apa yang ada dalam kitab Rawâi’ al-Bayân tersebut bukanlah jerih payahnya semata, tetapi merupakan kongkulasi dan persepsi-persepsi mufassirin yang tersohor, baik yang lama maupun yang baru, dan merupakan produk otak-otak genius dari pakar-pakar ulama intelek dan ahli tafsir terkemuka yang tidak tidur dalam rangka mengabdi kitab yang mulia ini, demi mencari ridha Allah semata. Di antara mereka itu ada yang ahli fikih, ahli hadis, ahli bahasa, ahli ushul, ahli tafsir, ahli istinbat hukum dan orang-orang yang menulis kitab al-Qur’ân lainnya.

Ia tak ubahnya seperti seorang manusia yang melihat berbagai intan permata dan mutiara-mutiara berharga yang bertaburan di sana sini, lalu dihimpun dan disusun dalam untaian yang satu. Kemudian ia laksana orang yang masuk ke dalam pertamanan yang kaya, yang di dalamnya terdapat buah-buahan yang bagus, bunga-bunga yang indah menawan, kemudian ia mengulurkan tangannya dengan pelan-pelan seraya mengambilnya, lalu dikumpulkan dalam sebuah onggokan dan dipasang dalam sebuah fot bunga, sehingga mengembirakan hati dan mempesonakan mata.

Dalam penafsiran al-Shâbuni berusaha menyimpulkan apa yang dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu dan ulama-ulama belakangan, dan dikompromikannya antara metode lama dan metode baru, dan ia tidak menulis suatu keteranganpun, sehingga ia membaca terlebih dahulu lebih dari lima belas referensi dari beberapa induk referensi tafsir, di samping juga referensi di bidang bahasa Arab dan hadis. Kemudian ia tuliskan (muhadharat) tersebut dengan memberikan petunjuk kepada sumber-sumber pengambilan yang ia kutip dengan segala ketelitian dan kepercayaan.

Metode tafsir adalah langkah-langkah yang teratur dan seperangkat ulasan materi yang disiapkan untuk penulisan tafsir al-Qur’ân agar sampai pada maksud dan tujuan.

Al-Shâbuni ketika menafsirkan ayat al-Qur’ân tentang masalah Qurban ia melihatnya sebagai jalan untuk taqarrub ila Allah. Selanjutnya ia mengkaji al-Munasabah al-ayat dan al-asbab al-nuzul-nya, pembahasan kosa kata dan lafaz, kandungan hukum dengan mengambil sumber dari hadis, pendapat para ulama guna memperjelas masalah.

Hampir dari setiap praktek penafsirannya ia selalu menekankan pada pengambilan sumber-sumber penafsiran yang telah ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karyanya masuk dalam kategori metode tafsir muqarran (perbandingan).

Sementara itu, terkait dengan corak (al-laun) penafsiran di sini adalah pemikiran yang mendominasi dari karya-karya mufassir sesuai dengan kecenderungan atau latarbelakang keahlianya.

Corak penafsiran selama ini yang dikenal antara lain adalah corak sastra (bahasa), filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqh atau hukum, maka kitab Rawâi’ al-Bayân karya al-Shâbuni ini termasuk dalam kategori tafsir fiqh atau hukum. Sebab, karya ini lebih banyak mengkaji ayat-ayat hukum, dan beliau pun tidak terpaku pada suatu mazhab tertentu.

Hal yang dapat dilihat dari karya ini adalah penggunaan istinbât al-hukm, yakni usaha mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Rawâi’ al-Bayân adalah tafsir yang berusaha menampilkan ketetapan hukum dari ayat-ayat hukum, dan dalam menetapkan hukum, al-Shâbuni mengikuti cara yang digunakan ahl al-ushul, yakni penetapan hukum dapat dilakukan dengan menggunakan ijtihad.

Ijtihad tidak dapat dilakukan manakala kasus yang hendak ditetapkan hukumnya telah ada dalil yang sharih (jelas) serta qath’i (pasti). Ijtihad berlaku ketika suatu kasus belum ada nash hukumnya. Hal ini dapat dilakukan melalui qiyas, istihsan, istishab, atau memperhatikan ‘urf, ataupun maslahah al-mursalah.

Al-Shâbuni dalam tafsir Rawâi’ al-Bayân ini terikat dengan pendapat-pendapat serta mengikuti ijtihad-ijtihad ulama salaf. Sebab, ia dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan hukum selalu menyebutkan beberapa pendapat yang berbeda-beda disertai dengan dalil-dalil dan alasan-alasannya. Selanjutnya, ia mengakahiri pembahasannya dengan tarjih yakni menguatkan (memberikan penilaian), pendapat mana yang shahih dan pendapat mana yang jauh dari kebenaran.Caranya ini dalam kaca mata ilmu ushul al-fiqh disebut dengan talfiq.

Sementara itu, ia tidak terikat oleh salah satu mazhab. Salah satu contoh dalam masalah sihir,  ia menilai pendapat jumhur lebih kuat ketimbang pendapat Mu’tazilah. Kemudian dalam hal wajib tidaknya qadha puasa sunat yang rusak atau batal, ia lebih memilih Hanafiyah ketimbang Syafi’iyah.  Sementara masalah debu yang suci dalam tayamum, ia menguatkan pendapat Syafi’iyah daripada Hanafiyah.

E.    Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Shâbuni; Rawâi’ al-Bayân fi Tafsiri Ayât al-Ahkâm min al-Qur'ân dapat disebut sebagai tafsir perbandingan (muqaran). Sebab, sumber penafsiran yang digunakan al-Shâbuni adalah sumber-sumber yang sudah ada, ia telah melakukan usaha pengkomparasian dengan metode tarjih atau dalam ilmu ushul al-fiqh disebut dengan talfiq, dan usahanya dalam istinbat hukum adalah usaha wajh al-istidlal (usaha mencari petunjuk dalil). Sementara, coraknya adalah corak al-fiqh.

F.    Saran

Barangkali inilah yang dapat penulis sajikan tentang Metode Muhammad Ali al-Shâbuni dalam Tafsir Rawâi’ al-Bayân “Tafsir al-Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân” pada makalah ini, semoga bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk menambah wawasan keilmuan kita pada matakuliah Manahij al-Tafsir. Akhir kata, penulis menyadari makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka peluang bagi pembaca agar bersedia memberikan kritikan dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan untuk masa yang akan datang.

G.    Daftar Rujukan
Al-Shâbuni Muhammad Ali, Shafwah al-Tafâsir, Tafsir li al-Qur’ân al-Karim, cetakan ke-1, Beirut: Dâr al-Kutb al-Islamiyyah, 2002
-------------- Muhammad Ali, Rawâi’ al-Bayân “Tafsir Ayat al-Ahkâm Min al-Qur’ân”, cetakan ke-I, Jakarta: Dâr al-Kutb al-Islamiyah, 2001
Suma Muhammad Amin, Pengantar Tafsir Ahkâm, cetakan ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002


0 Comment