14 November 2012


BADAL HAJI DAN PUASA

A.    Pendahuluan
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah bahwa rasulullah SAW bersabda :

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية و علم ينتفع به و ولد صالح يدعو له

Artinya : Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang orang mengambil manfaat darinya, dan anak yang salih yang mendo’akannya.

Maksud hadis ini adalah bahwa amalan orang yang meninggal dunia tidak akan bertambah kecuali dari tiga perkara ini. Begitu juga Allah berfirman :

Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya (Q.S. al-Najm : 39)

Artinya : Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.S. Yasin : 54)

Kedua ayat ini menjelaskan bahwa manusia tidak akan diberi balasan melainkan atas segala apa yang sudah mereka kerjakan di dunia. Hal ini bertentangan dengan ketentuan menggantikan orang lain dalam melakukan ibadah haji dan puasa seperti dalam hadis berikut ini :

عن بريدة قال : بينا أنا جالس عند رسول الله صلي الله عليه و سلم إذ أتته امرأة فقالت : إني تصدقت علي أمي بجارية و إنها ماتت فقال : وجب أجرك و ردها عليك الميراث, قالت : يا رسول الله إنه كان عليها صوم شهر أفأصوم عنها؟ قال : صومي عنها. قالت : إنها لم تحج قط أفأحج عنها؟ قال : حجي عنها.

Artinya : Buraidah r.a. berkata : ketika saya sedang duduk-duduk bersama rasulullah tiba-tiba datang seorang wanita lalu berkata : saya menyedekahkan seorang budak kepada ibuku lalu ia meninggal.  Lalu nabi menjawab : kamu tetap dapat pahala dan budak itu kembali kepadamu sebagai warisan. Wanita tadi kembali bertanya : Wahai rasulullah! Ibuku satu bulan tidak berpuasa, apakah boleh saya menggantikan puasanya? Jawab nabi : puasalah untuknya. Beliau juga belum haji, bolehkah saya menghajikannya? Jawab nabi : Lakukanlah haji untuknya.

Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kita pada makalah ini. Dalam makalah ini saya mencoba memaparkan teks-teks hadis yang berkaitan dengan masalah badal haji dan meng-qadha puasa, pendapat para ulama tentang hadis tersebut, apa yang dimaksud dengan badal haji dan puasa, serta hukum-hukum fikih yang muncul dari hadis tersebut.

B.    Teks Hadis dan Penilaian Ulama Terhadapnya

1.    Hadis-hadis tentang badal haji

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : كان الفضل رديف رسول الله صلي الله عليه و سلم فجاءت امرأة من خثعم فجعل الفضل ينظر إليها و تنطر إليه, و جعل النبي صلي الله عليه و سلم يصرف وجه الفضل إلي الشق الآخر, فقالت يا رسول الله : إن فريضة الله علي عباده في الحج أدركت أبي شيخا كبيرا لا يثبت علي الراحلة, أفأحج عنه؟ قال : نعم. و ذلك في حجة الوداع.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan al-Darimi.

Bukhari meriwayatkan hadis ini pada kitab sahihnya pada lima tempat  :

a.    Pada bab haji pasal kewajiban menunaikan ibadah haji dan keutamaannnya dengan nomor hadis 1513.
b.    Pada bab jaza’ al-shaid pasal menghajikan orang yang tidak sanggup naik kendaraan dengan nomor hadis 1854.
c.    Pada bab jaza’ al-shaid pasal tentang perempuan menghajikan laki-laki dengan nomor hadis 1855.
d.    Pada bab al-maghazi pasal tentang Haji Wada’ dengan nomor hadis 4399.
e.    Pada bab al-isti’dzan pasal tentang firman Allah surat al-Nur : 27 dengan nomor hadis 6228.

Sedangkan Muslim meriwayatkan hadis ini pada kitab sahihnya pada bab haji pasal tentang menghajikan orang yang lemah dengan nomor hadis 1334. 

Adapun Abu Daud meriwayatkan hadis ini pada sunannya pada bab manasik haji pasal tentang menghajikan orang lain dengan nomor hadis 1806. Menurut Isham al-Shababithi hadis ini adalah sahih.
Adapun Turmudzi meriwayatkan hadis di atas dari Ali bin Abi Thalib pada sunannya pada bab haji pasal tentang Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf dengan nomor hadis 885. Beliau menilai hadis ini adalah hasan sahih.

Adapun Nasa’i meriwayatkan hadis ini pada sunannya pada bab manasik haji pasal tentang menghajikan orang yang masih hidup yang tidak sanggup naik kendaraan dengan nomor hadis 2634 dan 2635 dengan sanad yang berbeda. Menurut pen-tahqiq, hadis ini adalah sahih. Sanad yang pertama juga terdapat pada Bukhari dan Muslim. Sedangkan sanad yang kedua hanya terdapat pada Sunan Nasa’i saja.

Sedangkan Ibnu Majah meriwayatkan hadis di atas pada sunannya pada bab manasik pasal tentang menghajikan orang yang masih hidup jika ia tidak sanggup melakukannya dengan nomor hadis 2907 dan 2909.

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال : إن رسول الله صلي الله عليه و سلم سمع رجلا يقول : ليبك عن شبرمة. قال : و من شبرمة؟ قال : أخ لي أو قريب لي. فقال :  أحججت عن نفسك؟ قال : لا. قال : فحج عن نفسك ثم حج عن شبرمة.

Hadis yang kedua ini diriwayatkan oleh  Abu Daud pada sunannya pada bab manasik pasal tentang menghajikan orang lain dengan nomor hadis 1808. Al-Mundziri berkata mengutip perkataan Baihaqi : sanadnya sahih dan tidak ada yang lebih sahih sanadnya dari pada sanad di atas yang berkaitan dengan masalah ini. Sedangkan menurut Isham al-Shababithi : pada sanad hadis ini terdapat ‘Azrah, beliau majhul al-hal. Juga ada Qatadah seorang mudallas sedangkan ia meriwayatkan hadis ini dengan shigat ‘an’anah.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada sunannya pada bab manasik pasal tentang menghajikan orang yang sudah meninggal dengan nomor hadis 2903.

Hadis ini juga disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya . Begitu juga dengan Albani turut menilainya sahih.

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أن امرأة جاءت إلي النبي صلي الله عليه و سلم فقالت : إن أمي نذرت أن تحج فلم تحج حتي ماتت, أفأحج عنها؟ قال : نعم حجي عنها, أرأيت لو كان علي أمك دين أكنت  قاضيته؟ اقضوا الله , فالله أحق بالوفاء

Hadis yang ketiga ini diriwayatkan oleh Bukhari pada Sahihnya pada bab jaza’ al-shaid pasal tentang haji dan nazar orang yang sudah meninggal serta laki-laki  menghajikan perempuan dengan nomor hadis 1852 . Beliau juga meriwayatkannya pada bab sumpah dan nazar pasal tentang orang yang bernazar lalu meninggal dengan nomor hadis 6699 dengan redaksi yang agak berbeda, dimana yang bertanya adalah seorang laki-laki tentang saudarinya yang pernah bernazar untuk haji namun meninggal dunia .Hadis ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i pada sunannya pada bab manasik haji pasal orang yang pernah bernazar untuk menunaikan haji kemudian meninggal dengan nomor hadis 2631. Riwayat Nasa’i ini redaksinya sedikit berbeda dengan riwayat Bukhari, dimana yang bertanya adalah saudara laki-laki dari si mayat. 

عن أبي الغوث بن حصين – رجل من الفرع – أنه استفتي النبي صلي الله عليه و سلم حجة كانت علي أبيه مات و لم يحج. قال النبي صلي الله عليه و سلم : حج عن أبيك و قال النبي صلي الله عليه و سلم و كذلك الصيام في النذر يقضي عنه.

Hadis yang keempat ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah pada sunannya pada bab Manasik pasal tentang menghajikan orang yang sudah meninggal dengan nomor hadis 2905. Bushairi seperti yang dikutip oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi mengomentari hadis ini bahwa pada sanadnya terdapat Usman bin Atha’ al-Khurasani, beliau di-dhaif-kan oleh Ibnu Ma’in. Ada juga yang menilai beliau munkar al-Hadits dan matruk. Kemudian menurut Hakim beliau meriwayatkan beberapa hadis maudhu’ dari bapaknya.

Berkaitan dengan riwayat tentang badal haji ini ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan:

a.    Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan al-Fadhl bin Abbas. Kemungkinan Ibnu Abbas meriwayatkan hadis ini dari sahabat yang lain dan juga dari al-Fadhl bin Abbas karena beliau adalah pelaku sejarah.

b.    Riwayat hadis ini bermacam-macam seolah-olah terkesan saling bertentangan dan menjadi ‘illlat dalam hadis. Dalam satu riwayat yang bertanya adalah seorang wanita tentang bapaknya yang bernazar untuk menunaikan haji. Dalam riwayat yang lain yang bertanya adalah seorang laki-laki tentang bapaknya dan ibunya yang sudah wajib haji tapi tidak sanggup menunaikannya. Menurut sebagian ulama hadis bahwa ini bukan merupakan ‘illat pada hadis karena kemungkinan banyaknya orang yang bertanya. Atau menurut Ibnu Hajar bahwa yang bertanya adalah seorang lelaki sedangkan ia membawa anak perempuannya. Lelaki ini bertanya tentang ayah dan ibunya yang sudah wajib haji tapi tidak sanggup mengerjakannya. Kemudian anak perempuannya juga disuruh bertanya dengan harapan nabi tertarik untuk menikahi anaknya. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Abu Ya’la dari al-Fadhl bin Abbas :

كنت ردف النبي صلي الله عليه و سلم و أعرابي معه بنت له حسناء فجعل الأعرابي يعرضها لرسول الله صلي الله عليه و سلم رجاء أن يتزوجها و جعلت ألتفت إليها و يأخذ النبي صلي الله عليه و سلم برأسي فيلويه فكان يلبي حتي رمي جمرة العقبة

Artinya : Aku menemani nabi SAW kemudian ada seorang arab kampung membawa seorang putri yang cantik membawanya kepada rasululllah SAW berharap semoga nabi mau menikahinya. Akupun menoleh kepada wanita itu. Lantas nabi mengambil kepalaku dan memalingkannya. Beliau senantiasa ber-talbiyah sampai melempar jumrah Aqabah.

Kemudian ketika wanita ini bertanya kepada nabi menggunakan kata أبي. Yang beliau maksudkan disini adalah kakeknya. Karena kata أب dalam bahasa Arab di samping digunakan untuk bapak juga untuk kakek.

2.    Hadis-hadis tentang qadha’ puasa orang yang sudah meninggal

عن ابن عباس أن امرأة قالت : يا رسول الله, إن أمي ماتت و عليها صوم نذر فأصوم عنها؟ فقال : أرأيت لو كان علي أمك دين فقضيته أكان يؤدي ذلك عنها؟ قالت : نعم, قال : فصومي عن أمك.

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari pada bab puasa pasal tentang orang yang meninggal sedangkan ia belum meng-qadha puasanya dengan nomor hadis 1953. Sedangkan Muslim meriwayatkannya pada bab puasa pasal tentang meng-qadha puasa orang yang telah meninggal nomor hadis 1148.

 و في رواية أن امرأة ركبت البحر فنذرت إن نجاها الله أن تصوم شهرا, فأنجاها الله فلم تصم حتي ماتت فجاءت قرابة لها إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم  فذكرت ذلك : فقال : صومي عنها

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Abu Daud

عن عائشة أن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال : من مات و عليه صيام صام عنه وليه

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam sahihnya  pada bab puasa pasal tentang orang yang meninggal sedangkan ia belum meng-qadha puasanya dengan nomor hadis 1952 dan Muslim dalam sahihnya pada bab puasa pasal tentang meng-qadha puasa orang yang telah meninggal nomor hadis 1147

عن بريدة قال : بينا أنا جالس عند رسول الله صلي الله عليه و سلم إذ أتته امرأة فقالت : إني تصدقت علي أمي بجارية و إنها ماتت فقال : وجب أجرك و ردها عليك الميراث, قالت : يا رسول الله إنه كان عليها صوم شهر أفأصوم عنها؟ قال : صومي عنها. قالت : إنها لم تحج قط أفأحج عنها؟ قال : حجي عنها.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Turmudzi dan beliau mensahihkannya.
Tidak jauh berbeda dengan hadis tentang badal haji, hadis yang berkaitan dengan meng-qadha puasa orang yang telah meninggal juga terdapat berbagai macam riwayat yang terkesan saling bertentangan (mudhtharib). Dalam satu hadis yang bertanya adalah laki-laki dan dalam hadis yang lain yang bertanya adalah perempuan. Ada yang bertanya tentang puasa nazar dan ada pula yang bertanya tentang puasa ramadhan. Ada yang jumlahnya lima belas hari, ada yang satu bulan, dan ada yang dua bulan berturut-turut. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy kemungkinan ini terjadi pada momen yang berbeda.

C.    Pengertian Badal Haji dan Puasa

Supaya kita mempunyai persepsi yang sama tentang badal haji dan puasa, berikut kami paparkan pengertian badal haji dan puasa yang kami maksudkan.

Badal berasal dari bahasa Arab yang berarti mengganti. Namun term yang lazim digunakan dalam literatur Arab bukanlah badal tapi niyabah dan qadha’. 

Niyabah berasal dari kata ناوب – يناوب – نيابة artinya menggantikan.

Qadha’ artinya melaksanakan sesuatu . Dalam terminologi fikih biasanya qadha’ digunakan sebagai lawan dari pada أداء.  أداء artinya menunaikan suatu ibadah pada waktunya. Sedangkan qadha’ melakukan suatu ibadah di luar waktunya. 

Al-hajj secara bahasa adalah al-Qashd artinya yang dituju. Menurut Khalil adalah keinginan yang kuat untuk menuju suatu tempat yang diagungkan. Secara terminologi al-hajj adalah Pergi ke Baitullah untuk melakukan pekerjaan khusus.  Atau Sengaja menuju Baitullah di Mekkah untuk menunaikan ibadah khusus seperti thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, Mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah.

Puasa bahasa Arabnya adalah الصيام  artinya adalah الإمساك yaitu menahan. Secara terminologi puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan syarat-syarat yang khusus.

Maka dengan demikian yang dimaksud dengan badal haji dan puasa adalah menggantikan orang lain dalam melakukan ibadah haji dan puasa baik ketika ia masih hidup atau sudah meninggal. Khusus puasa hanya dilakukan setelah yang bersangkutan meninggal dunia.

D.    Fikih Hadis

1.    Pendapat para ulama tentang menghajikan orang lain

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat klasifikasi ibadah berikut ini. Ibadah terbagi kepada tiga :

a.    Ibadah Maliyah khusus, seperti zakat, kafarat, dan membagikan daging kurban. Dalam hal ini para ulama sepakat bolehnya orang lain menggantikan seseorang untuk mendistribusikannya baik karena terpaksa atau suka rela karena target dari amalan ini  tercapai walaupun orang lain yang mendistribusikannya.

b.    Ibadah yang bersifat fisik secara khusus seperti shalat dan puasa. Dalam hal ini seseorang tidak boleh menggantikan orang lain untuk melakukannya karena target-membuat fisik menjadi letih dan penat-tidak tercapai dengan digantikan oleh orang lain.

c.    Ibadah yang membutuhkan harta dan fisik sekaligus seperti haji. Dalam hal ini jumhur membolehkan seseorang menggantikan orang lain untuk menunaikan ibadah haji karena orang tersebut punya kemampuan secara finansial tapi memiliki fisik yang lemah. Salah satu tujuan haji yaitu membelanjakan harta di jalan Allah tercapai walaupun orang lain yang mengerjakannya. Sedangkan Malikiyyah berpendapat tidak boleh menggantikan orang lain menunaikan ibadah haji baik itu haji fardhu atau sunnat karena haji adalah amalan yang menuntut pengorbanan fisik sama seperti shalat dan puasa. Hal itu tidak akan terwujud jika orang lain yang melakukannya. Haji bertujuan untuk melatih seseorang berpisah dengan kampung halamannya, keluar dari kebiasaan seperti memakai pakaian yang berjahit, mengingatkan seseorang pada akhirat, mengagungkan syiar Allah serta menampakkan ketundukan kepadaNya. Semua ini tidak akan terwujud kecuali jika dilakukan sendiri.

Maka dari klasifikasi di atas dapat kita simpulkan bahwa jumhur ulama membolehkan menggantikan orang lain untuk menunaikan ibadah haji. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat rincian pendapat ulama berikut ini :

a.    Menurut Hanafiyyah orang yang mampu secara finansial untuk menunaikan ibadah haji namun tidak mampu secara fisik karena lemah atau sakit atau sudah meninggal dan tidak sempat menunaikan ibadah haji boleh digantikan oleh orang lain . Khusus untuk yang sudah meninggal maka harta yang digunakan untuk haji adalah sepertiga . Sedangkan orang yang sakit jika ia sembuh dari sakitnya maka tetap wajib baginya menunaikan ibadah haji.

b.    Menurut Malikiyyah tidak boleh menggantikan orang yang masih hidup untuk menunaikan ibadah haji secara mutlak walaupun orang tersebut sakit bahkan lumpuh. Dengan demikian ia tidak termasuk orang yang dianggap mampu dalam firman Allah surat Ali Imran : 97. Sedangkan orang yang sudah meninggal dan ia berwasiat untuk dihajikan maka boleh dihajikan tapi hukumnya makruh . Dan harta yang boleh digunakan adalah sepertiga.

c.    Syafi’iyyah membolehkan menghajikan orang lain pada dua kategori :

1)    Orang yang lumpuh dan lemah karena tua atau sakit kronis.Namun jika setelah dihajikan orang ini sembuh maka ia tetap wajib menunaikan ibadah haji.

2)    Orang yang meninggal dunia dan belum menunaikan ibadah haji sedangkan ia mampu secara finansial. Harta yang digunakan adalah seluruh harta yang ditinggalkan bukan hanya yang sepertiga.

 Menurut Syafi’iyyah mampu terbagi kepada dua : mampu melakukannya   sendiri dan mampu dengan menggunakan jasa orang lain. 

d.    Hanabilah sependapat dengan Syafi’iyyah dalam masalah ini. Namun menurut Hanabilah orang yang sakit jika sudah dihajikan oleh orang lain kemudian sembuh tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji.

Kesimpulannya adalah bahwa  jumhur membolehkan menghajikan orang yang sakit dan  sudah meninggal sedangkan Malikiyyah hanya membolehkan orang yang sudah meninggal saja itupun jika ia berwasiat dan hukumnya makruh. Kemudian orang yang sudah meninggal hartanya yang digunakan untuk keperluan haji adalah yang sepertiga menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah. Sedangkan menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah seluruh hartanya. Kemudian menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah bahwa orang yang sakit kemudian dihajikan oleh orang lain lalu sembuh tetap wajib baginya menunaikan ibadah haji. Sedangkan menurut Hanabilah tidak wajib karena beliau telah menunaikan kewajibannya. Ibnu Hazm lebih memilih untuk men-tarjih pendapat Hanabilah.

Adapun alasan yang dikemukakan oleh para fuqaha’ yang membolehkan badal haji adalah hadis-hadis yang telah kita muat di awal tulisan ini.

2.    Orang yang paling berhak untuk menghajikan seseorang

Orang yang paling berhak untuk menghajikan seseorang adalah orang yang terdekat yaitu anak atau saudara. Rasululllah SAW bersabda :

عن عبد الله بن الزبير قال : جاء رجل من خثعم إلي رسول الله صلي الله عليه و سلم فقال : إن أبي أدركه الإسلام و هو شيخ كبير لا يستطيع ركوب الرحل و الحج مكتوب عليه, أفأحج عنه؟ قال : أنت أكبر  ولده؟ قال : نعم, قال : أرأيت لو كان علي أبيك دين فقضيته عنه أكان يجزي ذلك عنه؟ قال : نعم, قال : فاحجج عنه

Artinya : Abdullah bin Zubair berkata : Seorang lelaki dari Khats’am datang menemui rasululllah SAW dan berkata : Sesungguhnya bapakku masuk Islam di usia senja tidak sanggup menaiki kendaraan sedangkan ia wajib menunaikan ibadah haji, bolehkah saya menghajikannya? Apakah anda anaknya yang paling besar? Beliau menjawab : ia. Bagaimana menurutmu jika bapakmu punya hutang lalu kamu bayar, apakah itu dapat melunasi hutangnya? Ia wahai rasulullah. Beliau bersabda : hajikanlah beliau.
Hadis ini diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ahmad. Maka berdasarkan hadis ini sebagian ulama mengatakan bahwa seyogyanya yang menghajikan orang tua itu adalah anaknya yang paling besar. Ini bukan berarti yang lain tidak boleh melakukannya. Ini hanya menyangkut permasalahan yang lebih baik saja.

3.    Kebolehan seorang wanita menghajikan laki-laki dan sebaliknya.

Berdasarkan hadis Ibnu Abbas tentang wanita dari Khats’am yang bertanya kepada rasulullah di atas, para ulama membolehkan seorang wanita menghajikan laki-laki. Bahkan Imam Bukhari meletakkan hadis ini di bawah judul “pasal tentang kaum wanita menghajikan laki-laki”. Tidak ada perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini kecuali Hasan bin Shalih. Adapun Hanafiyyah walaupun membolehkan tapi menganggapnya makruh karena perempuan biasanya kurang maksimal dalam mengerjakan ibadah haji seperti tidak melakukan raml  pada thawaf dan sa’i serta tidak mencukur rambut tapi hanya memendekkan saja . Sedangkan dalil yang membolehkan seorang lelaki menghajikan seorang wanita adalah sabda rasulullah berikut ini :

عن الفضل بن عباس أنه كان رديف النبي صلي الله عليه و سلم فجاءه رجل فقال : يارسول الله, إن أمي عجوز كبيرة و إن حملتها لم تستمسك و إن ربطتها خشيت أن أقتلها, فقال رسول الله صلي الله عليه و سلم : أرأيت لو كان علي أمك دين أكنت قاضيه؟ قال : نعم, قال : فحج عن أمك

Artinya : Menurut penuturan al-Fadhl bin Abbas yang menjadi teman rasulullah dalam perjalanan seorang lelaki datang menemui rasululllah dan berkata : Wahai rasulullah sesungguhnya ibuku sudah sepuh. Jika aku membawanya-untuk haji-beliau tidak sanggup berpegang. Jika aku ikat, aku khawatir ia akan celaka. Rasululllah SAW bersabda : Bagaimana menurutmu jika ibumu punya hutang, apakah kamu mau melunasinya? Beliau menjawab : ia wahai rasulullah. Maka hajikanlah ibumu.

Hadis ini diriwayatkan oleh Nasa’i dan al-Darimi namun hadis ini syadz karena bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat.

4.    Keharusan mereka yang menghajikan orang lain untuk haji terlebih dahulu

Berdasarkan hadis Syubrumah di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang akan menghajikan orang lain hendaklah sudah pernah menunaikannya  terlebih dahulu. Sedangkan ulama Kufah tidak mensyaratkan harus pernah haji. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah “احجج عن أبيك”. Zahir hadis tidak mensyaratkan keharusan haji bagi orang yang akan menghajikan orang lain. 

5.    Hukum menyewa orang lain untuk menunaikan ibadah haji

 Menurut ulama Hanafiyyah klasik tidak boleh menyewa orang lain untuk menunaikan ibadah haji seperti dengan ungkapan “استأجرتك علي أن تحج عني بكذا” tetapi diperbolehkan ia menyuruh orang lain untuk menghajikannya dan sebagai balasan ia memberi orang tersebut uang karena orang tersebut telah meninggalkan pekerjaannya dengan menggunakan lafaz “أمرتك أن تحج عني” tanpa menyebutkan upahnya. Alasan mereka adalah bahwa Ubay bin Ka’ab pernah mengajarkan seseorang al-Qur’an lantas orang tersebut menghadiahkan untuknya sebuah busur, lalu beliau menanyakan hal tersebut kepada nabi dan  beliau menjawab “إن سرك أن تتقلد قوسا من نار فتقلدها”. Begitu juga dengan perkataan nabi kepada Usman bin abi al-‘Ash “واتخذ مؤذنا لا يأخذ علي أذانه أجرا”. Karena ibadah ini ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka tidak boleh mengambil upah darinya seperti shalat dan puasa.

Sedangkan jumhur fuqaha’ dan ulama Hanafiyyah kontemporer membolehkan mengambil upah dari haji dan ibadah lainnya. Alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas yang berbunyi :

إن أحق ما أخذتم عليه أجرا كتاب الله

Artinya : Sesuatu yang paling layak untuk kamu mengambil upah darinya adalah kitabullah.

Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Nasa’i dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa sahabat nabi mengambil upah dari ruqiyah yang mereka lakukan dengan kitab Allah. Ketika hal itu disampaikan kepada rasulullah, beliau membenarkannya.

Malikiyyah walaupun membolehkan menyewa orang lain untuk menunaikan haji tapi hukumnya makruh menurut mereka. Bentuk sewa ini menurut mereka ada dua :

a.    Menyewa seseorang dengan upah tertentu. Dengan demikian uang sewaan menjadi milik orang yang disewa.
b.    Al-Balagh, yaitu memberikan sejumlah uang kepada orang yang menghajikannya, jika uang tersebut kurang maka orang tersebut minta tambahan kepada orang yang menyewanya. Jika berlebih maka ia harus mengembalikannya.

6.    Hukum mengqadha’ puasa orang yang telah meninggal dunia

Menurut para ulama jika ada orang yang tidak bisa puasa di bulan ramadhan kemudian meninggal dan belum sempat untuk meng-qadha puasanya karena berbagai alasan seperti sempitnya waktu, sakit, sedang dalam perjalanan, dan alasan lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan tidak wajib baginya qadha karena semua ini bukan karena kelalaiannya . Dan tidak wajib pula bagi walinya untuk membayar fidyah. Tapi Qatadah seperti yang disampaikan oleh Thawus berpendapat bahwa tetap wajib bagi walinya membayar fidyah.

Adapun  jika ia punya waktu untuk meng-qadha-nya kemudian meninggal dalam keadaan belum meng-qadha puasanya dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama :

a.    Mayoritas para fuqaha’ seperti Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib bagi walinya meng-qadha puasanya baik puasa ramadhan atau puasa nazar. Puasanya tidak sah menurut Syafi’iyyah karena puasa merupakan ibadah fisik maka tidak boleh digantikan semasa hidup atau sesudah mati.  Hal ini berdasarkan hadis rasulullah yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Ibnu Abbas berikut :

لا يصلي أحد عن أحد و لا يصوم أحد عن أحد و لكن يطعم عنه مكان كل يوم مد من حنطة

Artinya :Tidak sah seseorang menggantikan shalat orang lain tidak  pula menggantikan puasa orang lain. Tetapi yang boleh adalah ia memberi makan atas setiap hari-karena tidak puasa-sebanyak satu mud gandum.

Yang wajib dilakukan oleh wali disini menurut Syafi’i adalah membayar fidyah berdasarkan hadis di atas serta hadis Aisyah dan Ibnu Umar berikut :

يطعم عنه في قضاء رمضان و لا يصام عنه

Artinya :Memberi makan sebagai qadha puasa ramadhannya tidak dengan menggantinya dengan puasa.
من مات و عليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا

Artinya : Barang siapa yang meninggal kemudian punya kewajiban puasa maka hendaklah walinya memberi makan orang miskin atas setiap puasanya.

b.    Sebagian berpendapat seperti sekelompok muhaddits dari kalangan Syafi’iyyah, Abu Tsur, Auza’i, dan Dzahiriyyah bahwa walinya harus meng-qadha puasanya baik itu puasa ramadhan atau puasa nazar. Kelompok ini beramal dengan zahir hadis dan tidak menakwilkannya.

c.    Sebagian berpendapat seperti Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Ubaid, dan Laits bin Sa’ad bahwa yang harus di-qadha adalah puasa nazar sedangkan puasa ramadhan tidak, cukup hanya dengan memberi makan orang miskin. Dalam hal ini Hanabilah tidak mewajibkan tapi hanya menganjurkan sebagai langkah preventif untuk membebaskan si mayat dari kewajibannya. Alasan kelompok ini adalah mereka menyamakan nazar dengan hutang sehingga wajib dibayar. Jika seseorang meninggal dan ia mempunyai hutang maka walinya wajib membayar hutangnya. Begitu juga dengan orang yang bernazar untuk berpuasa kemudian dia meninggal wajib bagi walinya untuk meng-qadha puasanya.

E.    Penutup

Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa :

1. Riwayat tentang badal haji dan puasa punya redaksi yang banyak. Namun itu tidak berimplikasi pada kekuatan hadis karena perbedaannya bukan substansif. Para ulama telah mencoba untuk mengelaborasi antara riwayat tersebut termasuk Ibnu Hajar dan Ibnu Taimiyyah.

2. masalah badal haji dan puasa adalah masalah yang debatable. Ada pendapat yang rajih dan ada pendapat yang marjuh. Dalam hal ini perlu kelapangan dada dalam menyikapi perbedaan seperti kata Imam Syafi’i “ Pendapatku betul tapi ada kemungkinan salah dan pendapat selainku salah tapi ada kemungkinan betul.”

3. Antara ayat pada surat al-Najm : 39 dan surat Yasin : 54 dengan riwayat badal haji dan puasa tidaklah saling bertentangan. Ini hanya menyangkut masalah ‘amm-khash. Walaupun tidak bisa pula dipukul rata pada semua permasalahan. Maka klasifikasi ibadah yang dibuat oleh Wahbah Zuhailiy di atas sangat membantu dalam memahami hal ini.

Demikianlah makalah ini saya tulis, semoga bermanfaat untuk saya pribadi dan pembaca semuanya dalam rangka membingkai kerangka berpikir kita.



Daftar Pustaka
Abadi, Al-Fairuz, al-Qamus al-Muhith, (Beirut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 2000)

Abadi, Muhammad Syamsul Haq  al-‘Azhim, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Kairo : Dar al-Hadits, 2001)

Al-Asqalaniy, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000)

Al-Jazairiy, Abu Bakar, al-Hajj al-Mabrur, (Kairo : Dar al-Salam, 2000)

Al-Mubarakfuriy, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ al-Turmudziy, ( Beirut : Dar al-Fikr, 1995)

Al-Nawawiy, Yahya Ibn Syarf, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Damaskus : Dar al-Khair, 1999)

Al-Qardhawiy, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)

--------------------------, Mi’ah Su’al ‘An al-Hajj wa al-‘Umrah, (Kairo : Maktabah Wahbah, 2004)

Al-Qazawainiy, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, ( Kairo : Dar al-Hadits, 1999)

Al-Suyuthi dan Al-Sindi, Syarh Sunan al-Nasa’i, (Kairo : Dar al-Hadits, 1999)

Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Authar, (Kairo : Dar al-Hadits, 2000)

Al-Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, 1997)

Anas, Isham, al-Hajj wa al’Umrah, (Kairo : Dar al-Salam, 2006)

Hasyim, Ahmad Umar,  al-Shiyam fi al-Islam, (Kairo : Maktabah al-Usrah, 2001)

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, (Kairo : al-Fath li al-I’lam al-‘Arabiy, 1999)





0 Comment