14 November 2012


Oleh: Zilfaroni

Belakangan ini, agama adalah sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan, dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhr banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik memang sangat berpotensi untuk memecah belah dan saling klaim kebenaran sehingga menimbulkan berbagai macam konflik.
Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan yang membawa-bawa nama agama (mengatasnamakan agama) sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidak harmonisan.
Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk system, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.

Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini tentang bagaimana toleransi dan kebebasan beragama menurut Al-Quran.

B.     Makna Toleransi dan Kebebasan Beragama

Secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris)  yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Selanjutnya dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya : “bersifat atau bersikap toleran, yakni menenggang ( menghargai, membiarkan dan membolehkan) pendirian (pendapat, pendangan, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.

Di dalam bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan, bersikap murah hati, ramah dan lapang dada.

Dari dua pengertian di atas penulis menyimpulkan toleransi secara etimologi adalah sikap saling mengizinkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.

Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.

Sementara kebebasan beragaman berarti, kebebasan seseorang untuk memeluk agama yang diyakininya dan beribdah menurut agama dan kepercayaannya itu.

C.    Penafsiran Ayat Tentang Toleransi dan Kebebasan Beragama
Sejak 14 abad yang lalu, al-Quran telah member perhatian yang khusus terhadap masalah kebebasan beragama tersebut, baik pada periode Makah dan Madinah. Dalam hal ini al-Quran menegaskannya dalam beberapa ayat, diantaranya.

 Artinya: dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?( Yunus:/10:99)

Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(Al-Baqarah/2:256)

Dilihat dari kronologis turunnya, ayat pertama di atas adalah tergolong ayat yang turun pada periode Makkah (Makkiyah) sedangkan ayat yang kedua adaqlah turun pada periodeMadinah (Madaniyah). Ayat pertama di atas dapat dikategorikan sebagai suatu peringatan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW supaya tidk melakukan pemaksaan dalam menjalankan misi dakwahnya. Meskipun redaksi ayat tersebut berbentuk istifham (pertanyaan), namun maksudnya adalah larangan (li al-nahyi), yakni janganlah memaksa seseorang untuk beriman. Dalam hal iniAllahmengingatkan, bahwa jika ia menghendaki, sebenarnya ia dapat memaksa seluruh umat manusia untuk memilih kepercayaan yang diyakininya. 

Oleh karena itu, tidaklayak bagi seseorang untuk bersikap melebihi sikap Tuhan, menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat satu keyakinan dan satu agama.
Tugas para nabi dan Rasul adalah hanya menyampaikan amanat allah dan mengingatkan kaumnya untuk diajak ke jalan yang benar, tidak dapat memaksa atau mendatangkan petunjuk untuk beriman, karena tidak ada seorangpun yang beriman kecuali dengan izin Allah

Artinya: “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Al-An’am/6:108)

Latar belakang turunya ayat tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah adalah berawal dari tindakan orang Islam yang memaki berhala-berhala orang kafir, sehingga merekapun melakukan reaksi yang sama dengan cara memaki Allah, maka turunlah ayat tersebut guna mencegah terjadinya hal yang serupa secaqra berlebihan dan berkelanjutan  sementara menurut ibn Abbas, orang kafir berkata kepada Nabi Muhammad SAW:” Hai Muhammad, berhentilah engkau memaki Tuhan Kami atau kami pun akan memakai Tuhanmu?”. –melalui ayat tersebut- Allah melarang umat Islam memaki berhala-berhala mereka, supaya mereka tidak memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan

Dalam penafsiran ayat tersebut al-Zuhailiy menyatakan bahwa dilarangnya umat Islam melakukan caci-maki dan menjelek-jelekkan orang kafir adalah dalam  upaya untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, karena meskipun di balik tindakan tersebut ada suatu kemaslahatan yang diharapkan atau tujuan mengharapkan pahala, namun semua itu tidak ada artinya jika dihadapkan pada dosa yang lebih besar, yaitu mencaci-maki Allah dan kerusakan yang lebih berbahaya.  Sementara menurut al-Tahbathaba’iy, ayat tersebut secara jelas mengajarkan tentang adab dalam kehidupan beragama, yaitu menghargai hal-hal yang dimuliakan dan disucikan umat agama lain, serta menjaga batas-batasnya jangan sampai melakukan tindakan yang dapat memperkeruh hubungan antar uman beragama, seperti berkat kasar dan mengejek agama lain. Karena sikap fanatic seseorang terhadap agamanya dan tidak rela bila ada orang lain yang melecehkannya, karena ia kan bereaksi dengan hal yang sama atau bahkan berlebihan.

Dalam menjaga kerukunan hidup beragama dalam masyarakat yang majemuk, al-quran telah menetapkan rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh setiap manusia yang beriman, yaitu:

Artinya: 11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
(Al-Hujurat/49:11-12)

Dalam hal ini meskipun ayat di atas secara khusus ditujukan kapada orang mukmin, tentu prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya tidak hanya berlaku di antar uman Islam, tetapi juga merupakan pedoman pergaulan dengan para pemeluk agama lain. Karena pengabaian terhadap ketentuan tersebut akan dapat menimbulkan konlfik dan  permusuhan dalam hidup masyarakat.

Adapun inti dari ketentuanyang terdapat dalam ayat di atas adalah:

1.    Jangan sampai suatu kelompok menghina kelompok lain
2.    Jangan saling mencela
3.    Jangan menyebut kelompok tertentu dengan kesan melecehkan
4.    Jangan suka berprasangka buruk
5.    Jangan suka mencari-cari kesalahn orang lain
6.    Jangan menyebar isu yang merugikan orang lain

Artinya: “1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir  2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS Al-Kafirun; 1-6)

Menurut sebagian riwayat ayat ini diturunkan merupakan jawaban atas usulan kompromi yang ditawarkan oleh beberapa tokoh Quraisy dalam hal ibadah. Mereka mengatakan :”Hai Muhammad, marilah mengikuti agama kami, niscaya kami akan megikuti agamamu, kamu menyembah Tuhan kami selama satu tahun dan kami menyembah Tuhanmu selama satu tahun pula. Kalau agamamu benar, kami mendapat keuntungan karean kami juga menyembah Tuhanmu, dan juka kami yang benar, maka kamu juga mendapatkan keuntungan”. Mendengar usulan tersebut Nabi secara tegas menjawab :”Aku berlindung kapada Allah dari golongan yang mempersekutukan Allah”. Setelah itu turunlah ayat di atas.
Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.

Artinya:”8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. 9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah/60:8-9)

Ayat di atas mengindikasikan bahwa perbedaan agama selayaknya tidak dijadikan sebagai alas an untuk tidak menjalin hubungan kerjasama yang harmonis . Ayat yang pertama menegaskan Allah tidak melarang orang-orang mukmin untuk menghormati golongan lain dan berbuat baik kepada mereka, baik ucapan maupun perbuatan, serta berlaku adil terhadap mereka dalam memutuskan suatu perkara, selama mereka tidak memerangi uamt Islam dengan motifasi keagamaan atau mengusir umat Islam Dari negeri atau tempat tinggal mereka

Dengan demikian dapat difahami bahwa kebolehan dan larangan dalam dua ayat di atas tidak bersifat muthlaq, melainkan muqayyad, yakni dibatasi dan dikaitkan dengan suatu sebab seperti membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan, dan mewujudkan kerukunan untuk kemaslahatan bersama.

Secara historis, aktualisasi Dari pesan al-Quran di atas dapat dilihat dalam kehidupan Rasulullah SAW dan pada sahabatnya di Madinah. Dalam kehidupan sehari-hari Nabi SAW selalu bersikap lapanlg dada dan murah hati terhadap Ahli Kitab, baik Yahudi dan Nasrani. Adakalanya beliau mengunjungi mereka, menghormati mereka, berbuat baik serta menjenguk penderita sakit dari mereka, menerima dan member dengan mereka .  Perlakuan Nabi SAW tersebut tentunya diikuti pula oleh para sahabat dan menjadi teladan bagi umat Islam pada umumnya.

Toleransi pada kaum muslimin seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW, diantaranya sebagai berikut:

a.    Tidak boleh memaksakan suatu agama pada orang lain.

Di dalam agama Islam orang muslim tidak boleh melakukan pemaksaan pada kaum agama lainnya, karena memaksakan suatu agama bertentangan dengan firman Allah SWT di dalam surat Al-Kafirun ayat   1-6.

Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah  menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku".

Disitu dijelaskan bahwa orang-orang muslim tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang-orang kafir, begitu pula orang-orang kafir tidak menyembah apa yang di sembah oleh orang muslimin. Disitu juga dijelaskan bahwa bagi kita agama kita (orang muslim) dan bagi mereka agama mereka (orang kafir).

b.    Tidak boleh memusuhi orang-orang selain muslim atau kafir

Perintah Nabi untuk melindungi orang-orang selain muslim seperti yang dilakukan oleh Nabi waktu berada di Madinah. Kaum Yahudi dan Nasrani yang jumlahnya sedikit dilindungi baik keamanannya maupun dalam beribadah. Kaum muslimin dianjurkan untuk bisa hidup damai dengan masyarakat sesamanya walaupun berbeda keyakinan.

c.    Hidup rukun dan damai dengan sesama manusia

Hidup rukun antar kaum muslimin maupun non muslimin seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW akan membawa kehidupan yang damai dan sentosa, selain itu juga dianjurkan untuk bersikap lembut pada sesama manusia baik yang beragama Islam maupun yang beragama Nasrani atau Yahudi.

d.    Saling tolong menolong dengan sesama manusia

Dengan hidup rukun dan saling tolong menolong sesama manusia akan membuat hidup di dunia yang damai dan tenang. Nabi memerintahkan untuk saling menolong dan membantu dengan sesamanya tanpa memandang suku dan agama yang dipeluknya. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur'an pada surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut:

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa di dalam Al-Qur'an dijelaskan dengan sikap tolong menolong hanya pada kaum muslimin tetapi dianjurkan untuk tolong menolong kepada sesama manusia baik itu yang beragama Islam maupun non Islam. Selain itu juga seorang muslim  dianjurkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi ini dengan sesama makhluk Tuhan dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kejahatan pada manusia. Disitu dikatakan untuk tidak mematuhi sesamanya. Selain itu juga dilarang tolong menolong dalam perbuatan yang tidak baik (perbuatan keji atau dosa).

D.    Penutup
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Quran tentang toleransi dan kebebasan beragama di atas, semakin jelaslah bahwa pengakuan Islam atas ajaran agama dan umat agama lain, serta menjamin kebebasan setiap insan dalam memeluk agama.

Toleransi dan kebebasan beragama yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Demikinlah makalah tentang Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran, semoga bermanfaat bagi semua. Namun, Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Terimakasih .

DAFTAR  PUSTAKA

al-Zamakhsyari, Muhammad bin Umar, al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil, Beirut:Dar al-Fikr, 1983

al-Wahidiy, Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Dar al-Fikr, 1991

al-Thabathaba’iy, Muhammad al-Husain, al-Mizan fiy Tafsir al-Quran, Beirut: Muasasah al-‘Alamiyah li al-Mathbu’at, 1991

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Gularnic, David G., Webster’s World Dictionary of American Language, New York: The World Publishin Cmpany, 1959

Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-Itqan fiy Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr,1979

Qardawi, Yusuf, MInoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, terjemahan Muhammad Baqir, Bandung: Mizan, 1985

Said Hawa al-asaa fiy al-Tafsir  mesir: Dar al-Salam, 1989


0 Comment