14 November 2012

Pemahaman Hadis-hadis Mukhtalif dan Tanawwu’ al-Ibadah

A. Pendahuluan

Untuk mengkaji dan memahami hadis secara mendalam dibutuhkan seperangkat ilmu dan kaedah-kaedah pokok yang mendasarinya. Semua itu akan dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus sebagai landasan teoritis dalam meneliti dan memahami hadis. Metode menjadi sangat penting ketika dihadapkan dengan penelitian ilmiah, karena tanpa metode, penelitian tidak bisa dikatakan ilmiah. Berangkat dari kata “metode” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai dengan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Dalam kajian hadis mukhtalif, para ulama telah merumuskan teori atau ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu mukhtalif al-hadits. Dengan memahami ilmu ini seseorang akan terhindar dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami hadis-hadis mukhtalif. Bisa saja seseorang meninggalkan hadis yang sebenarnya harus dipedomani lantaran tidak mengetahui wujud pemahaman yang ditampilkan oleh hadis-hadis yang saling bertentangan tersebut. Oleh karena itu, ilmu mukhtalif al-hadits merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam memahami hadis. Ajjâj al-Khatib mendefenisikan ilmu mukhtalif al-hadits sebagai:

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, kemudian untuk dapat menghilangkan pertentangan tersebut atau untuk dapat menemukan pengkompromiannya. Sebagaimana pembahasan tentang hadis-hadis yang sulit memahami atau menggambarkannya, kemudian dihilangkan kesulitan-kesulitan itu serta menjelaskan hakikat pemahamannya. 

Tambahan keterangan ini menunjukkan bahwa ilmu mukhtalif al-hadits juga dapat digunakan untuk memahami hadits mukhtalif serta berupaya untuk menjelaskan kandungan yang termuat di dalam hadis tersebut. Jika disimak defenisi di atas dengan cermat, diperoleh gambaran bahwa ilmu mukhtalif al-hadits merupakan seperangkat teori untuk menyelesaikan hadis-hadis yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan dan bertujuan untuk menghilangkan pertentangan tersebut. Secara tidak lansung Ajjâj al-Khatib telah menyatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada hadis yang bertentangan apabila dipahami pertentangan tersebut dengan baik. Lalu di kalangan muhadditsûn terdapat istilah hadis-hadis mukhtalif. apakah istilah ini menggambarkan adanya hadis-hadis yang saling bertentangan, apakah yang dimaksud dengan hadis mukhtalif dan bagaimana cara memahami atau menyelesaikannya?

Berangkat dari pertanyaan di atas, makalah ini akan melihat beberapa aspek kajian tentang hadis-hadis mukhtalif dan tanawwu’ al-ibadah serta metode dalam menyelesaikannya dengan tidak lupa memaparkan contoh-contoh yang relevan. Serta diharapkan dapat dijadikan bahan diskusi dalam mata kuliah fiqh al-hadits.

B. Pengertian Hadits Mukhtalif

Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (subjek) dari kata اختلافا  yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Menurut Ibn Manzhûr, ihktilâf merujuk pada makna لم يتفق (tidak serasi/tidak cocok) dan (segala sesuatu yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’ân surat al-An’âm ayat 141:   Sedangkan menurut Lois Ma’lûf, ikhtilâf mempunyai beberapa makna di antaranya, تعارض  (bertentangan),  تنوع (beragam) atau تعدد (bermacam-macam), dan تردد (saling bertolak belakang).  Dengan melihat pengertian yang dikemukakan di atas, pada intinya ikhtilâf mengandung dua makna, yaitu, تعارض  dan تنوع .

Secara istilah ada beberapa rumusan defenisi hadis mukhtalif di antaranya:

1. Al-Nawâwiy (dikutib oleh al-Syuyûthiy)

Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua hadis tersebut dikompromikan atau di-tarjîh (untuk diambil mana yang kuat dari salah satunya).

Edi Safri mengkritik defenisi ini dengan menyebutkan bahwa defenisi ini sebenarnya mengendung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan defenisi tersebut mencakup semua hadis yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadis-hadis dalam kategori maqbûl atau mardûd, tanpa ada batasan. Pada hal, tidak semua hadis yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat ditemukan pengkompromian atau penyelesaiannya, melainkan apabila hadis-hadis tersebut sama-sama maqbûl. Apabila salah satunya maqbûl dan yang lainnya mardûd, maka dalam hal ini pertentangan yang tampak tidak perlu diindahkan. Cukuplah dipegang yang maqbûl dan ditinggalkan yang mardûd.

Walaupun defenisi yang dikemukan al-Nawâwiy terdapat kekurangan, namun ia telah menawarkan dua cara dalam menyelesaikan hadis mukhtalif yakni kompromi dan tarjîh. Menurut al-Nawâwiy, ada hadis-hadis mukhtalif yang memungkinkan untuk dikompromikan, dan ada hadis-hadis mukhtalif yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Untuk kategori yang kedua ini, apabila tidak diketahui antara salah-satu hadis-hadis tersebut ada yang nâsakh dan yang mansûkh maka ditempuh jalan tarjîh.  Artinya al-Nawâwiy juga menempuh cara nasakh dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif di samping cara kompromi dan tarjîh, namun ia tidak menjelaskan secara tegas dalam rumusan defenisinya.

2. Tahunuwiy (dikutib oleh Edi Safri)

Hadis mukhtalif ialah dua hadis yang maqbûl saling bertentangan pada makna zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh kedua hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).

Sepertinya Tahunuwiy hendak menyuguhkan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawâwiy, dalam defenisi di atas Tahunuwiy mensyaratkan hadis-hadis mukhtalif itu hendaknya dapat diterima sebagai hujjah atau maqbûl.

3. Edi Safri

Hadis mukhtalif ialah hadis shahîh atau hadis hasan yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan hadis shahîh atau hadis hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjîh. 

Di dalam defenisi di atas, Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti yang diungkapkan oleh al-Nawâwiy, yaitu kompromi, nashk, dan tarjîh.

Ketiga defenisi di atas mengandung perbedaan dan persamaan yang mendasar. Dari segi subjek (hadis-hadis mukhtalif), Tahunuwiy dan Edi Safri mensyaratkan hadis-hadis yang bertentangan itu harus maqbûl, baik berkualitas shahîh maupun hasan. Sementara al-Nawâwiy tidak mensyaratkannya. Dalam aspek metode penyelesaiannya, Tahunuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawâwiy dan Edi Safri menawarkan kompromi, nasakh dan tarjîh.

C. Metode Operasional

Secara lansung, masing-masing defenisi di atas, telah menawarkan metode untuk menghilangkan pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya, baik kompromi, nasakh, maupun tarjîh. Namun, bagaimana cara mengoperasikan metode-metode tersebut? dan apakah metode-metode tersebut digunakan secara berurutan? Jika hadis mukhtalif bukan dalam arti ta’ârudh tetapi tanawwu’, bagaiamana cara menyelesaikannya, dan apakah ada cara lain selain ketiga cara di atas?

Untuk mengawali pembahasan tentang metode atau cara menyelesaikan hadis mukhtalif, sengaja dikutip pernyataan Imam al-Syafi’iy sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadis-hadis mukhtalif, yaitu: Jangan mempertentangkan hadis Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya. Dan jangan jadikan hadis-hadis bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.

Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan. Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadis dengan hadis lainnya saling bertentangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, salah satu dari hadis tersebut bukanlah hadis maqbûl, karena hadis mardûd, baik dha’îf maupun mawdhû’, besar kemungkinan bertentangan dengan hadis shahîh atau hasan. Kedua, karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut.  Karena bisa saja masing-masing hadis tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.

Berdasarkan hasil penelitian Edi Safri mengenai metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalif menurut Imam al-Syafi’iy, ada tiga cara yang mesti dilakukan yakni penyelesaian dengan cara kompromi, penyelesaian dengan cara nasakh dan penyelesaian dengan cara tarjîh. Di mana ketiga cara tersebut dilakukan dengan berurutan.  Artinya jika cara pertama tidak menemukan jalan keluar, maka ditempuh cara kedua, jika cara kedua belum juga diperoleh solusi, maka ditempuh cara ketiga. Berikut penjelasan lebih lanjut:

1. Penyelesaian dengan Cara Kompromi

Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi dalam menyelesaikan hadis mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masingnya, sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntutannya.  Untuk menemukan benang merah antara kedua hadis yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara, yaitu:

a. Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan Kaedah Ushûl

Maksudnya  ialah memahami hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang telah dirumuskan oleh ulama (ushûliyûn). Adapun yang menjadi objek kajian ilmu ushûl fiqh ialah bagaimana meng-istinbâth-kan hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’ân maupun hadis. Untuk sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil tersebut dipahami agar istinbâth hukum sesuai dengan yang dituju oleh dalil. Di antara kaidah ushûl yang terkait seperti âm, khash, muthlaq, dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan yang muqayyad. 

Sebagai contoh adalah hadis tentang mengambil upah dari jasa berbekam:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ 

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

Dua hadis ini melarang mengambil upah dari jasa berbekam, kemudian hadis lain menyebutkan:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah pernah berbekam yang dilakukan oleh Abu Thaibah kemudian ia diberi upah oleh Rasulullah. Hadis pertama dikeluarkan oleh al-Nasâ’iy, hadis kedua dan ketiga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab yang sama. Dilihat dari sisi redaksi antara pertama dan kedua dengan ketiga tampak saling bertentangan. Hadis pertama dan kedua menjelaskan adanya larangan mengambil keuntungan dari berbekam, sekaligus menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram. Para ulama mencoba memahami pertentangan tersebut dengan menggunakan pendekatan muthlaq dan muqyyad. Haramnya kasb al-hajâm merupakan suatu yang muthlaq, kemudian dibatasi oleh adanya qârinah untuk mengambil manfaat dari orang lain karena Rasullullah melakukannya.  Adanya qarinah menjadikan kasb al-hâjam tidak lagi haram akan tetapi makruh.

b. Pemahaman Kontekstual

Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini ialah memahami hadis- hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi latarbelakang disampaikannya hadis, dengan memperhatikan asbâb al-wurud hadis-hadis tersebut. Dengan kata lain memperhatikan konteks. 

Jika asbab al-wurud al-hadits tidak diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju oleh suatu hadis sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan antara satu hadis dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, mengetahui konteks hadis menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman hadis. Jika konteks suatu hadis diikutsertakan dalam memahami hadis-hadis mukhtalif, akan terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya, sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan, dan masing-masing hadis dapat diketahui arah pemahamannya.

Sebagai contoh diambil hadis tentang meminang wanita yang telah dipinang orang lain. 

وَحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ 

Hadis lain yang dipandang bertentangan adalah:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

Dalam hadis pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam hadis kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua hadis tersebut.

Imam al-Syafi’iy berpendapat bahwa hadis pertama tidak bertentangan dengan hadis kedua, karena hadis pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya.   Adapun yang menjadi latar belakang munculnya hadis pertama adalah: Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima, untuk selanjutnya diteruskan ke jenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut dibanding laki-laki pertama, sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks hadis pertama. 

Sementara hadis kedua, berbeda konteksnya dengan hadis pertama. Fatimah binti Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’âwiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan hadis pertama – karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan meminangkannya untuk Usamah.  Hal ini menggambarkan bahwa konteks hadis pertama berbeda dengan konteks hadis kedua, hadis pertama kondisinya di mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya. Sementara hadis kedua kondisinya di mana seorang laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan yang disukainya.

c. Pemahaman Korelatif

Pemahaman korelatif yang dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya yang dipandang mukhtalif yang membahas permasalahan yang sama sehingga pertentangan yang tampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan.  Karena dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua hadis saja, akan tetapi bisa saja ada beberapa hadis yang saling terkait satu sama lainnya. Oleh karena itu semua hadis tersebut mesti dipahami secara bersama untuk dilihat hubungan makna antara satu hadis dengan hadis lainnya, sehingga diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut, dan pertentangan yang terjadi dapat diselesaikan.

Sebagai contoh dikemukan hadis-hadis tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat. 

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ


Dalam hadis lain dinyatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى

Dua hadis di atas sama-sama diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dalam kitab shahîh-nya. hadis pertama menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga terbit matahari, dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara hadis kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik waktu setelah subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam matahari.

Dua hadis di atas dipandang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja, sebelum dilihat riwayat lain yang dipandang relevan untuk menarik benang merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh hadis pertama adalah shalat sunnat, sementara hadis kedua merupakan shalat wajib yang mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah melaksanakannya pada waktu ingat. Jika hadis kedua dipahami dengan shalat wajib, maka hadis pertama berkenaan dengan shalat sunnat. Namun apakah yang dimaksudkan oleh hadis pertama adalah shalat sunnat mu’aqqad atau ghair mu’aqqad?

Adapun hadis yang relevan menjelaskan persoalan ini ialah: hadis Ummu Salamah yang menerangkan bahwa: suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku setelah ashar. Lalu beliau shalat dua raka’at, tak pernah aku melihat beliau melakukan hal yang sama.” Ummu Salamah pun bertanya: engkau melakukan shalat yang sebelum ini tak pernah aku melihatnya. Rasul menjawab: ”sebelum ini aku senantiasa melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat zuhur. Namun tadi aku tidak sempat melakukannya karena sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan sadaqah. Dua raka’at tadi ialah shalat dua rakaat setelah zuhur.

Riwayat dari Qais juga dipadang mempunyai aspek korelasi dengan dua hadis yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâriy yang bertentangan di atas. Qais berkata: pernah Nabi memandangku ketika aku melaksanakan shalat dua raka’at setelah subuh. Lantas beliaupun bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Qais menjawab: tadi aku tak sempat melakukan shalat sunat fajar. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku.

Keterangan dari Ummu Salamah dan Qais memastikan bahwa shalat yang dilarang pada hadis pertama merupakan shalat sunnat ghair muakkad. Untuk shalat sunnat muakkad, maka dua keterangan di atas mengindikasikan bahwa ia boleh dilaksanakan.

d. Menggunakan Cara Ta’wîl

Ta’wil berarti memalingkan lafaz dari makna lahiriyahnya kepada makna lain yang dikandung oleh lafaz tersebut karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini dilakukan jika makna lahiriyah yang ditampilkan oleh lafaz hadis dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujunya, dengan mengambil kemungkinan makna lain yang lebih tepat di antara kemungkinan makna yang dikandung oleh lafaz. Pemalingan ini dilakukan kerana adanya dalil yang menghendakinya. Al-Syafi’iy memandang metode ta’wil dapat digunakan untuk menghilangkan pertentangan antara satu hadis dengan hadis lainnya.  Contoh:

أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ

وحَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ وقَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ

Hadis pertama pada contoh di atas menggambarkan bahwa waktu yang lebih utama untuk melaksanakan shalat subuh ialah waktu asfar, yakni waktu subuh sudah mulai terang. Sedangkan hadis kedua menjelaskan bahwa waktu yang utama untuk melaksanakan shalat subuh ialah ghalas, yakni suasana gelap diujung malam dan datangnya cahaya subuh. Kedua hadis di atas menampilkan pertentangan antara satu dengan lainnya, di mana hadis pertama di akhir waktu, dan hadis kedua di awal waktu.

Dalam masalah ini Imam al-Syafi’i justru tidak melihat pertentangan antara kedua hadis di atas. Imam al-Syafi’iy men-takwil-kan kata isfâr pada hadis pertama. Di mana isfâr yang semulanya dimaknai dengan “waktu subuh yang sudah mulai terang mendekati matahari terbit” di-takwil-kan dengan makna “awal waktu subuh yang ditandai dengan terbitnya cahaya fajar yang tampak di langit.  Dengan kata lain, makna isfâr pada hadis pertama di-takwil¬-kan dengan makna ghalas pada hadis kedua. Hal ini dilakukan karena hadis pertama dipandang memiliki nilai lebih dibanding hadis kedua untuk dijadikan sebagai hujjah.

2. Penyelesaian dengan Cara Nasakh

Penyelesaian dalam bentuk nasakh dipandang sebagai bentuk penyelesaian hadis-hadis mukhtalif non-kompromi. Dikatakan demikian, karena salah satu dari hadis tidak lagi dapat diamalkan, hal ini sesuai dengan ungkapan imam al-Syafi’iy terdahulu yakni: ”Dan jangan jadikan hadis-hadis bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selain harus meninggalkan salah satu darinya.” Di sini terungkap bahwa cara kompromi tidak membuahkan penyelesaian. Oleh sebab itu, ditempuh cara nasakh. Sebab, pada hadis-hadis mukhtalif yang pertentangannya tidak saja pada makna lahiriyahnya, tetapi juga pada makna yang dikandungnya, dalam masalah seperti ini mungkin sekali antara hadis-hadis tersebut telah terjadi nasakh.  Oleh karena itu, ia mesti dipahami dengan melihat ketentuan-ketentuan nasakh, yakni mengamalkan yang nâsakh dan meninggalkan yang mansûkh.

Secara etimologi nasakh mengandung dua makna, yaitu الإزالة (menghilangkan) dan النقل (memindahkan).  Secara Istilah ulama ushûl merumuskan sebagai: Pembatalan hukum syar’iy oleh syar’iy berdasarkan dalil syar’iy yang datang kemudian.  Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:

أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ 
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ. 

Dua hadis di atas terlihat saling bertentangan, hadis pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadis kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh.  Hukum keharaman makan daging kuda pada hadis pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kebolehan makan daging kuda pada hadis Jâbir Ibn ‘Abd Allah yang datang setelahnya.

3. Penyelesaian dengan Cara Tarjîh.
Secara etimologi tarjîh berarti “menguatkan”, sedangkan secara terminologi tarjîh menurut defenisi jumhur ulama ialah:  menguatkan salah satu indikator dalil yang zhanniy atas yang lainnya untuk diamalkan.

Dalam masalah penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan cara tarjîh, dimaksudkan membandingkan hadis-hadis yang tampak bertentangan yang tidak dapat dikompromikan dan tidak pula ditemukan adanya indikasi nasakh, maka dengan perbandingan tersebut diambil hadis yang lebih kuat yang memiliki nilai hujjah lebih tinggi dari hadis yang lainnya, di mana yang lebih kuat diamalkan dan yang lemah ditinggalkan.  Oleh karena hal-hal yang dapat menguatkan suatu hadis untuk dijadikan hujjah digunakan sebagai data dan senjata untuk melemahkan hadis lain yang memiliki data ke-hujjah-an yang lebih sedikit, baik dari aspek sanad maupun matn. Dengan mengadu data ke-hujjah-an dapat diketahui antara hadis yang bertentangan tersebut yang lebih râjih, sehingga dengan marjûh-nya yang lemah mengakibatkan pertentangan yang terjadi hilang, dan sekaligus melahirkan konsekwensi baru, yakni ditinggalkannya yang lemah.

Sebelum masuk pada pembahasan berikutnya perlu dijelaskan bahwa konsep penyelesaian hadis mukhtalif di atas, menurut Imam al-Syafi’iy dilakukan dengan berurutan. Namun, menurut Hanafiyah, urutannya tidak seperti yang diungkapkan Imam al-Syafi’iy, bahkan Hanafiyah memiliki metode lain yang tidak ditemukan dalam pendapat Imam al-Syafi’iy. Hanafiyah mendahulukan penyelesaian hadis mukhtalif dengan terlebih dahulu menerapkan metode nasakh, jika tidak ditemukan indikasi nasakh dan mansûkh, maka diteruskan dengan tarjîh, jika dengan cara tarjîh tidak juga berbuah solusi atas pertentangan yang terjadi barulah digunakan jalan kompromi, terakhir ketika ketiga cara tidak juga menuai hasil yang pasti, maka Hanafiyah menempuh jalan yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Tasâqut al-dalîlain mengandung arti menggugurkan dua dalil yang bertentangan, maka dalam problem hadis mukhtalif. Kedua hadis yang saling bertentangan tersebut digugurkan segugur-gugurnya, untuk kemudian merujuk pada dalil yang derajatnya di bawah derajat dalil yang saling bertentangan tersebut.

Di sinilah letak perbedaan Imam al-Syafi’iy dengan Hanafiyah dalam menyelesaikan pertentangan antara satu dalil dengan dalil lainnya. Hal ini didasari oleh cara pandang yang berbeda, Hanafiyah mendahulukan nasakh, hal ini bisa saja dilakukan agar kerja tidak berulang, karena jika ditempuh kompromi terlebih dahulu, ternyata pertentangan yang terjadi sudah ada kejelasan nasakh-nya, maka cara kompromi dipandang dapat menyita waktu. Dalam persoalan ini belum diteliti apa yang melatarbelakangi Hanafiyah menggunakan urutan metode yang berbeda dengan al-Syafi’iy. Namun al-Syafi’iy dalam pernyataan terdahulu telah dijelaskan bahwa ia memilki prinsip mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan salah satu darinya, apalagi meninggalkan kedua dalil tersebut.

4. Masalah Tanawwu’ al-‘Ibâdah

Tanawwu’ al-‘Ibâdah merupakan salah satu cara yang ditempuh Imam al-Syafi’iy dalam menyelesaikan hadis mukhtalif dengan catatan mukhtalif tidak pada makna ta’âruth tapi tanawwu’. Adapun yang dimakud dengan hadis-hadis tanawwu’ al-ibâdah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah, akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.

Manakah yang lebih utama untuk diamalkan? Dalam masalah ini perlu disimak tiga hal: (1) ragam ibadah yang sering dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat. (2) memperhatikan ajaran yang dibawa oleh hadis itu sendiri, manakah yang lebih tepat dan lengkap sesuai dengan situasi dan kondisi. (3) memperhatikan manakah di antara hadis-hadis tersebut yang lebih tinggi tingkat ke-shahîh-annya.  Maka dalam hal ini tingkat kesempurnaan lebih penting untuk dijadikan yang utama. Contoh: tentang ragam bacaan dalam rukû’ dan sujûd:

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ

و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

وحَدَّثَنِي حَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ
Tiga contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya, mana yang lebih  tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, maupun makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan ketika sujûd dan rukû’ itu. Banyak lagi bacaan lain yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, ataupun bacaan yang lainnya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ikhtilâf secara bahasa mengandung dua makna, yaitu, تعارض  (pertentangan) dan تنوع (ragam). Sehingga dari makna ini hadis mukhtalif tidak saja dipahami sebagai hadis yang secara lahiriyahnya tampak bertentangan, namun juga digunakan untuk istilah ragam hadis yang mengandung perbedaan. Namun tidak membawa pertentangan.

Hadis mukhtalif dapat diartikan dengan hadis maqbûl, baik shahîh atau hasan yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan hadis lainnya yang berkualitas sama. Namun, makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat diselesaikan, baik dengan cara kompromi, nasakh atau pun tarjîh.

Menurut Imam al-Syafi’iy hadis mukhtalif dalam kategori bertentangan dapat dipahami dan selesaikan pertentangannya melelaui metode kompromi, nasakh atau pun tarjîh. Di mana metode kompromi meliputi beberapa langkah yaitu: dengan menggunakan pendekatan kaedah ushûl, pemahaman kontekstual, korelatif, dan takwîl. Ketiga ini dilakukan dengan berurutan. Urutannya seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Syafi’iy, berbeda dengan Hanafiyah, di mana Hanafiyah menawarkan urutan nasakh, tarjîh, kompromi, dan yang terakhir ialah menempuh metode yang tidak ada dalam konsep al-Syafi’iy, yakni tasâqut al-dalîlain. Kemudian bagi al-Syafi’iy untuk hadis mukhtalif dalam kategori perbedaan yang mengandung keragaman diselesaikan dengan tanawwu’ al-ibâdah.

E. Saran

Barangkali inilah yang dapat penulis sajikan tentang pemahaman hadits-hadits mukhtalif dan tanawwu‘ al-ibadah pada makalah ini, semoga bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk menambah wawasan keilmuan kita pada matakuliah Fiqh al-Hadits. Akhir kata, penulis menyadari makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka peluang bagi pembaca agar bersedia memberikan kritikan dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan untuk masa yang akan datang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Badrân, Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985

al-Bukhâriy, Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ismâ’îl Ibn Mughîrah Ibn Bardizbâh, Shahîh al-Bukhâriy, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999

Ibn Manzhûr, Jamâl al-Dîn Muhammad Ibn Mukarram Lisân al-‘Arab, Bairût: Dâr Fikr, 1990

Al-Khatib, Muhammad Ajjâj, Ushul al-Hadits Ulûmuh wa Musthalah, Bairût: Dâr Fikr, 1989

Ma’lûf, Lois, al-Munjid fiy Lughah wa al-I’lâm, Bairût: Dâr al-Masyrûq, 1994

Al-Naisâbûriy, Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy, Shahîh Muslim, al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001

Al-Nasâ’iy, Abdurrahman Ahmad Ibn Syu’îb Ibn ‘Aliy, Sunan al-Nasâ’iy, Bairût Dâr Kutub al-‘Ilmiyah, 1995

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wcana Ilmu, 1997), Cet ke-2, h. 196
al-Qâsimiy, Muhammad Jamâl al-Dîn, Qawâ’id al-Tahdîts min Funûn Mushthalah al-Hadits, Bairût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth

Safri, Edi, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, Padang: IAIN IB Press, 1999

Samrah, Abu ‘Isâ Muhammad Ibn ‘Isâ Ibn, Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Tirmidziy, Bairût: Dâr al-Fikr, 1994

Al-Syafi’iy, Muhammad Ibn Idris, al-Umm, Bairût, Dâr al-Fikr, 1983
_________, Âmir Ahmad Khaidir (ed.), Ihktilâf al-Hadits, Bairût, Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1985

Al-Syuyûthiy, Jalâl al-Dîn Abu al-Fadhl Abd al-Rahmân, Tadrîb al-Râwiy fiy Syarh Taqrîb al-Nawâwiy, Bairût: Dâr Fikr, 1988
Maktabah Syamilah: Ishdar al-Tsaniy



0 Comment