14 November 2012

HADIS-HADIS TENTANG DUKUN

Kejahilan terhadap syariat terkadang menjadikan seseorang bersifat gegabah, serampangan, dan tergesa-gesa dalam berbuat. Ia dengan mudah melakukan sesuatu padahal akan memudharatkan dirinya. Betapa sering, karena kejahilan, seseorang terjatuh ke dalam perbuatan kufur dan kesyirikan, bid’ah, pengingkaran terhadap sesuatu yang sudah jelas ada nash-nya dalam syariat, dan terjatuh dalam berbagai bentuk kemaksiatan.

Dapat secara langsung disaksikan dalam kehidupan ini, ada orang yang hanya bermodal bisa memimpin zikir dan membaca doa, ia posisikan dirinya sebagai orang yang terpandang walaupun buta terhadap ilmu agama. Ada pula orang yang gemar berceloteh di panggung-panggung dan di mimbar-mimbar, merasa dirinya seakan-akan da’i yang tidak tertandingi, padahal dia tidak memiliki ilmu agama kecuali hanya sedikit.

Begitu juga dalam kehidupan perkampungan yang mayoritas Islam, banyak ditemukan orang-orang yang mengaku pintar, bisa meramal sesuatu yang akan terjadi, menebak masa depan seseorang, mengaku mengetahui hal-hal gaib , dan bisa membaca apa yang tersembunyi di dalam hati seseorang, serta merasa mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh orang lain. Di dalam Islam, orang seperti ini dikenal dengan kâhin (dukun). Hal inilah yang menjadi kajian penulis dalam makalah ini. Kajian ini adalah kajian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode maudhu’i (tematis).

Sistematika penulisan pada makalah ini yaitu; pendahuluan, pengertian dukun (kâhin), hadis-hadis yang mengungkap tentang dukun, syarh dan pemahaman hadis tersebut, terakhir kesimpulan dan saran.

B.    Pengertian Dukun

Dalam bahasa Arab, dukun berasal dari kata:تَكَهّنَ   كَهَنَ- يََكْهَنُ- كَهاَنَةً -, isim fa’ilnya adalah: كاَهِن ج. كَهَنَة- كُهّان, yang berarti dukun, petenung atau tukang tenung.  Imam al-Qurthubi berkata: Siapa yang mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah s.a.w., maka dia telah  berdusta dalam pengakuannya tersebut.  Barangkali yang dimaksud dengan orang yang mengetahui perkara ghaib tanpa didasari oleh dalil nash tersebut yang dikenal dengan istilah “kahin-kuhhan”.

        Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, ditemui defenisi tentang dukun yaitu: orang yang melakukan praktek tradisional, biasanya menggunakan obat-obatan yang bersifat alami, seperti air dan daun-daunan, disertai dengan doa-doa, jampi-jampi atau mantra.

        Kemudian istilah dukun juga mempunyai arti yang luas. Dukun juga diartikan sebagai peramal, yakni orang yang melakukan praktek meramal. Ia dianggap dapat mengetahui keadaan yang akan datang, nasib masa depan seseorang, atau mengetahui apa yang akan terjadi dengan menggunakan petunjuk dari fenomena alam, garis telapak tangan, perjalanan bintang, tingkah laku hewan,  dan lain-lain.

Begitu juga dalam bahasa Indonesia, dukun mempunyai cakupan makna yang luas. Namun yang dimaksud dalam makalah ini adalah orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib atau mengetahui segala bentuk rahasia batin. Di antara ulama ada yang merinci; jika hal-hal yang bersifat ghaib itu berupa kejadian yang akan datang (belum terjadi) maka orang yang mengaku mengetahuinya diistilahkan dengan kâhin dan jika hal-hal yang bersifat ghaib itu berupa kejadian yang telah terjadi (seperti tempat barang hilang, dan lain-lain), maka orang yang mengaku mengetahuinya diistilahkan dengan ‘Arraf.

Jika kita melirik sejarah, maka akan ditemukan bahwa perdukunan adalah salah satu fenomena menyimpang yang paling berbahaya dalam kehidupan umat manusia sepanjang sejarah, karena ia mengancam akidah dan merusak tauhid. Dan dukun adalah salah satu musuh utama para Nabi dan Rasul pembawa panji akidah dan pengemban risalah tauhid. Dengan demikian para dukun juga merupakan musuh bagi kaum mukmin, bahkan bagi umat manusia seluruhnya, karena perdukunan menjadi salah satu penghalang utama di jalan lurus menuju tauhid dan iman yang murni kepada Allah s.w.t.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kâhin adalah orang yang biasa memberitahukan tentang kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa di masa mendatang, mengaku mengetahui berbagai rahasia dan ilmu tentang alam gaib, serta orang yang mampu menunjukan barang yang dicuri atau tempat kehilangan suatu barang, dan mengetahui sesuatu yang ada dalam hati orang lain. Pada hal Allah s.w.t. telah menegaskan dalam Surat al-An’am [6] ayat 59:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ.

Artinya:

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

C.    Hadis-hadis Tentang Dukun

Merujuk ke dalam kitab Mu’jam al-Mufahrasy Li al-Fazh al-Hadits Nabawiy, karya A. J. Weinsink, dengan menggunakan kata: كَهَنَ, pada bagian kata: كَاهِنٌ ج. كَاهِنُوْنَ, كَهَنَةٌ, كُهَّانٌ, begitu banyak ditemukan hadis-hadis yang terkait dengan persoalan ini, baik berupa larangan mendatanginya, meyakini apa yang disampaikannya, maupun ciri-ciri dukun tersebut. Yaitu dapat dilihat pada kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal, Sunan al-Tirmidzi, Shahih al-Bukhariy, Sunan Abu Daud, Ibnu Madjah, dan shahih Muslim . Namun dalam penulisan makalah ini, untuk melacak hadis-hadis tentang dukun tersebut, penulis menggunakan Maktabah Syamilah, dengan memakai kata: كَاهِنٌ- كَاهِنُوْنَ  dan kata: كُهَّانٌ, serta kata-kata yang terdapat pada matn hadis itu sendiri . Begitu juga dalam pemaparan hadis-hadis yang akan diuraikan pemahaman dan syarh-nya adalah hadis-hadis yang bersumber dari shahih Bukhari dan Muslim. Kemudian sebagai hadis pendukung, akan dipaparkan juga hadis-hadis yang bersumber selain dari keduanya, yang terdapat dalam kutub al-sittah dan kutub al-tis’ah, jika ditemukan.

1.    Hadis Riwayat Bukhari

حَدَّثَنَا عَلِىٌّ حَدَّثَنَا هِشَامٌ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ ح وَحَدَّثَنِى أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى يَحْيَى بْنُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ قَالَتْ عَائِشَةُ - رضى الله عنها: سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكُهَّانِ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُمْ لَيْسُوا بِشَيْئٍ. فَقَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّهُمْ يُحَدِّثُوْنَ أَحْيَانًا بِالشَّيْئِ فَيَكُوْنُ حَقًّا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا الْجِنِّيُّ فَيُقَرْقِرُهَا فِيْ أُذُنِ وَلِيِّهِ كَقَرْقَرَةِ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُوْنَ فِيْهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ

Artinya:
‘Aisyah r.a. berkata: Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang dukun-dukun. Rasulullah mengatakan kepada mereka: “Mereka tidak ada kebenaran sedikitpun.” Lalu mereka berkata: wahai Rasulullah, “Terkadang para dukun itu menyampaikan sesuatu dan benar terjadi.” Rasulullah menjawab: “kalimat yang mereka sampaikan itu datang dari Allah yang telah disambar oleh para jin lalu para jin itu membisikkan ke telinga wali-walinya (para dukun) sebagaimana berkotek ayam dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan.”

2.    Hadis riwayat Bukhari

حدثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن أبي بكر بن عبد الرحمن عن أبي مسعود الأنصاري رضي الله عنه: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْب وَمَهْرِ الْبَغْيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Artinya:
Dari Abiy Mas’ud al-Anshariy r.a.: bahwa Rasulullah s.a.w. melarang memakan harga anjing, hasil pelacuran dan hasil perdukunan.

3.    Hadis Riwayat Muslim

حدثني أبو الطاهروحرملة بن يحيى قالا أخبرنا ابن وهب أخبرني يونس عن ابن شهاب عن أبي سلمة بن عبد الرحمن بن عوف عن معاوية بن الحكم السُّلَمِيْ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلُ الله أُمُوْرًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِيْ الجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نَأْتِيْ الْكُهَّان قَالَ فَلاَ تَأْتُوْا الْكُهَّانَ قَالَ قُلْتُ كُنَّا نَتَطَيَّرُ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُهُ أَحَدُكُمْ فِيْ نَفْسِهِ فَلاَيَصُدَّنَّكُمْ.

Artinya:
Dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Sulami, dia berkata, Aku berkata: wahai Rasulullah, ada beberapa hal yang bisa kami lakukan pada masa jahiliyah dahulu, kami bisa mendatangi para dukun. Rasulullah s.a.w. bersabda: jangan lagi kamu datangi para dukun. Aku berkata lagi: kami juga menemukan firasat buruk. Rasulullah s.a.w. bersabda: itu memang sesuatu yang bisa saja ditemui oleh seseorang di antara kamu dalam dirinya, tetapi hal itu jangan sampai menghalang-halangi kamu.

4.    Hadis  Riwayat Muslim

عن عبيدالله عن نافع عن صَفِيَّةَ عن بَعْضٍ أَزْوَاجٍ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عليه و سلَّمَ: عن النََبِيْ صلى الله عليه و سلم قال مَنْ أَتَى عَرَّافًّا فَسَألَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً 

Artinya:
Dari Shafiyah, dari salah seorang istri Nabi s.a.w. dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: siapa yang mendatangi dukun, lalu dia bertanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.

D.    Syarh dan Pemahaman Hadis

Hadis pertama diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. (istri Nabi s.a.w), bahwa ia menceritakan: ada beberapa orang bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang persoalan dukun (kâhin). Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah menjawab: para dukun itu tidak punya pengetahuan apa-apa, mereka tidak mengetahui sedikitpun kecuali apa yang telah dibisikan oleh jin kepada mereka. Jika terkadang mereka menyampaikan sesuatu yang nyata (kebenaran), hal itu merupakan kalimat yang telah dicuri jin dari langit, kemudian jin itu membisikan ke telinga mereka (para dukun) itu yang telah ditambah dengan seratus kebohongan. Artinya sesuatu yang telah dicuri melalui pendengaran jin tersebut disampaikan kepada para walinya dengan penambahan atau telah dicampuri dengan seratus kebohongan.

Hadis pada urutan kedua pada pembahasan di atas diriwayatkan dari Abi Mas’ud al-Anshari dan dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahih-nya. Dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani,  bahwa Rasulullah s.a.w. mengharamkan mengambil atau memakan harga anjing, mahar pezina dan upah tukang tenung (dukun). Hadis ini menunjukan bahwa ada kemiripan hukum antara harga anjing, mahar pezina dan upah tukang tenung (dukun). Ketiga persoalan ini berstatus haram dalam syari’at Islam.

Hukum yang pertama adalah tentang harga anjing. Makna lahiriyah larangan tersebut adalah haram menjualnya, hal ini berlaku secara umum; baik anjing yang terlatih maupun yang tidak terlatih, baik anjing yang boleh dipelihara maupun anjing yang tidak boleh dipelihara. Sebagai konsekuensi logisnya, tidak ada ganti rugi bagi orang yang membinasakannya. Begitulah pendapat jumhur ulama.

Imam Malik mengatakan: tidak boleh dijual, tetapi bagi yang membinasakannya wajib mengganti rugi. Akan tetapi dinukil juga pendapat lain darinya yang sama seperti pendapat jumhur. Lalu ada lagi pendapat lain darinya yang sama seperti pendapat Abu Hanifah, yaitu boleh dijual dan wajib mengganti rugi. Atha’ dan al-Nakha’i berkata: boleh menjual anjing pemburu dan tidak boleh menjual anjing selain darinya.

Imam al-Qurthubi mengatakan: pendapat yang masyhur dalam mazhab Imam Malik mengatakan bolehnya memelihara anjing dan tidak disukainya menjualnya, tetapi jual beli tidak dibatalkan apabila sudah dilaksanakan. Seakan-akan karena pendapatnya anjing bukan najis dan diperkenankan dipelihara karena manfaatnya yang bersifat mubah, maka hukumnya sama dengan hukum semua barang yang diperjualbelikan. Hanya saja syariat melarang untuk menjualnya sebagai petunjuk untuk menjauhinya, karena tidak termasuk akhlak yang terpuji.

Al-Qurthubi melanjutkan perkataannya, adapun disamakannya menjual anjing dengan mahar pezina serta upah tukang tenung, dapat dipahami bahwa yang disamakan adalah harga anjing yang tidak diperbolehkan untuk dipelihara. Namun jika dikatakan bahwa larangan itu berlaku umum bagi setiap anjing, maka dijawab bahwa larangan pada ketiga perkara ini mengacu kepada makna “tidak disukai” dalam artian yang lebih luas daripada sekedar makhruh maupun haram, sebab keduanya adalah terlarang. Kemudian hukum yang lebih spesifik bagi keduanya dapat disimpulkan dari dalil lain. Kita telah mengetahui haramnya mahar pezina dan upah tukang tenung (dukun) dari ijma’ ulama, bukan hanya bersumber pada larangan hadis di atas. Adapun penyebutannya secara berurutan tidaklah berarti semuanya sama dari segala segi, karena kadangkala suatu perintah disebutkan secara berurutan dengan larangan, dan kewajiban disebutkan berurutan dengan penafian.

Hukum kedua adalah tentang mahar pezina. Maksudnya adalah sesuatu yang diambil oleh wanita pezina sebagai imbalan melayani laki-laki. Dinamakan sebagai “mahar” hanya dalam konteks majaz. Hadis ini dijadikan dalil bahwa apabila budak wanita dipaksa melakukan zina, maka tidak ada “mahar” (imbalan) baginya. Namun, salah satu pendapat ulama madzhab Syafi’i menyatakan wajib diberikan kepada majikannya.

Hukum ketiga adalah tentang upah tukang tenung (dukun). Hukumnya adalah haram menurut kesepakatan ulama, karena termasuk mengambil imbalan atas perbuatan yang batil. Termasuk di dalam hal ini  adalah ahl al-nujum, mengukur dengan tongkat, serta perbuatan-perbuatan para peramal untuk mengetahui perkara yang ghaib.

Kata حُلْوَانٌ (upah) merupakan bentuk mashdar, jika dikatakan حَلَوْتُهُ حُلْوَاناً  , berarti “saya memberikan kepadanya”. Namun kata tersebut berasal dari kata حَلاَوَة yang artinya menyerupai sesuatu yang manis. Upah tukang tenung disamakan dengan sesuatu yang manis, karena didapatkan dengan mudah tanpa ada kesulitan dan biaya. Kata حُلْوَان juga berarti رِشْوَةٌ (suap), dan digunakan pula untuk mengungkapkan perbuatan seseorang yang mengambil mahar putrinya.

Hadis yang ketiga bersumber dari Muawiyah ibn al-Hakam al-Sulami dan dikeluarkan oleh Imam Muslim pada kitab shahih-nya. Seseorang menceritakan  tentang kehidupan pada masa jahiliyah sebelum Islam datang. Salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu adalah mendatangi para dukun, baik untuk bertanya tentang sesuatu yang akan terjadi, meramal nasib, maupun mengobati penyakit. Setelah Islam datang, Rasulullah s.a.w. melarang umat Islam agar jangan mendatangi atau mempercayai dukun lagi, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang jahiliyah terdahulu. Kemudian kebiasaan lainnya yang terjadi pada masa itu, bahwa masyarakat meyakini firasat-firasat buruk  yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan hal inilah yang diluruskan oleh Rasulullah dengan sabda beliau: hal itu memang sesuatu yang bisa saja ditemui oleh seseorang di antara kamu dalam dirinya, tetapi hal itu jangan sampai menghalang-halangi kamu.

Hadis pada urutan yang keempat pada pembahasan di atas, menjelaskan tentang hukuman bagi orang-orang yang gemar mendatangi para dukun. Hendaklah sebagai seorang muslim untuk membentengi diri dengan zikir agar terhindar dari sihir dan keburukan-keburukan orang yang berniat jahat. Dan apabila tertimpa kesulitan, jangan sampai mengkonsultasikannya kepada para dukun dan tukang sihir. Di sini terdapat keterangan dari mayoritas kalangan mazhab Syafi’i mengatakan bahwa shalat orang tersebut tidak berpahala selama rentang waktu 40 hari . Kemudian Imam Nawawi mengatakan: “Sangat berlimpah hadis-hadis shahih yang melarang mendatangi dukun dan mempercayai ucapan mereka” .

Imam Nawawi melarang mendatangi dukun dan mempercayai ucapannya, disebabkan kemampuan gaib sang dukun hanya berasal dari bisikan setan (jin) semata. Pendapat beliau ini sesuai dengan hadis riwayat Bukhari yang telah penulis paparkan di atas.

Menurut penulis, maksud tidak diterima shalatnya  selama 40 malam adalah bahwa shalatnya selama 40 hari sah sehingga dia tidak perlu mengulangnya, akan tetapi pahala shalatnya selama 40 malam itu terhapus dengan dosa karena telah bertanya kepada dukun. Jadi ketika shalatnya tidak diterima bukan berarti dia tidak perlu shalat, karena itu hanya akan menambah dosanya. Jadi seperti itulah kiasan tentang betapa besarnya dosa hanya sekedar bertanya kepada dukun sampai dosanya seimbang dengan pahala 40 hari shalat.

Kemudian pada riwayat lain, Rasulullah s.a.w. mengatakan:

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يحيى بن سعيد عن عوف قال ثنا خلاس عن أبي هريرة والحسن عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم 

Artinya:
Dari Abu Hurairah dan Hasan dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: Siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu membenarkan apa yang dikatakannya, berarti ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Hadis ini mengindikasikan hukuman bagi umat Islam yang mendatangi para dukun, di sini jelas bahwa hukumnya adalah haram. Kemudian tentang hukum membunuh dukun atau tukang sihir, di sini muncul perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Diriwayatkan dari Abu Hanifah r.a. bahwasanya ia berkata: tukang sihir atau dukun itu boleh dibunuh, bila diketahui ia benar-benar tukang  sihir dan ia tidak dituntut untuk bertaubat, juga tidak diterima pengakuannya bahwa ia telah meninggalkan sihir dan telah bertaubat. Apabila ia berikrar bahwa dirinya adalah tukang sihir, maka halal darahnya, baik ia seorang hamba yang muslim ataupun seorang yang merdeka dzimmi. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah.

Ibnu Syuja’ berkata: menghukumi tukang sihir, baik laki-laki maupun perempuan. Dan ia berkata, seraya mengutip pendapat Abu Hanifah; sesungguhnya tukang sihir itu di samping kufur, ia telah membuat kerusakan di muka bumi, sedangkan orang yang berbuat kerusakan, bila membunuh seseorang, maka ia harus dihukum bunuh.

Telah diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa apabila seorang muslim diketahui telah mempraktekkan sihir, maka ia harus dibunuh dan tidak usah dituntut untuk bertaubat terlebih dahulu. Sebab, jika seorang muslim telah murtad bathinnya, maka tidaklah dapat diketahui taubatnya, karena ia selalu melahirkan keislamannya. Adapun tukang sihir dari ahli kitab tidak boleh dibunuh menurut persepsi Imam Malik, kecuali bila ia membahayakan kaum muslimin, maka boleh dibunuh. Sementara Imam Syafi’i berpendapat lain, bahwa ia tidaklah kafir disebabkan praktek sihirnya, apabila ia membunuh seseorang dengan sihirnya itu dan mengatakan terus terang: “sihirku telah dapat membunuh seseorang sebaya dia, dan aku memang sengaja membunuhnya”, maka ia harus dibunuh sebagai qishash-nya. Namun, apabila ia mengatakan: “sihirku kadang-kadang dapat membunuh orang dan kadang-kadang meleset”, maka ia tidak dibunuh, tetapi dalam hal ini ia dikenai diat (denda).

Imam Ahmad mengatakan: ia kufur akibat sihirnya, baik sihirnya itu dapat membunuh orang atau tidak. Dan diterimakah taubatnya? Ada dua riwayat; jika tukang sihir itu termasuk ahli kitab, maka tidak boleh dibunuh, terkecuali bila ia memusuhi umat Islam.

Imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa tukang sihir adalah kafir, boleh dibunuh dan tidak dituntut untuk bertaubat terlebih dahulu, mengenai tukang sihir dari golongan ahli kitab hukumnya sama dengan tukang sihir yang muslim. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa tukang sihir tidaklah kafir dan tidak boleh dibunuh, terkecuali ia memang sengaja ingin membunuh orang lain dengan sihirnya itu. Sedangkan imam Malik berpendapat, bahwa tukang sihir yang muslim harus dibunuh dan dianggap kafir, sedangkan tukang sihir ahli kitab tidak demikian ketentuannya. Hemat penulis, dengan memadukan beberapa pendapat di atas, maka dalam persoalan ini penulis menyimpulkan bahwa dukun atau tukang sihir itu sudah pasti menyimpang dari kemurnian akidah Islam, pelakunya disebut musyrik. Maka tidak ada salahnya jika ia dibunuh atas perbuatannya tersebut. Tentu keberadaannya telah mengurangi jaminan keamanan kehidupan umat Islam, pada suatu waktu ia bisa saja membahayakan nyawa dan kehidupan orang lain dengan ilmu sihir yang ia miliki dan dengan kemusyrikan yang melanda bathinnya.

Terkait dengan persoalan di atas, ada dukun yang dibolehkan di dalam agama Islam. Menurut Fuqaha’ dukun yang dibolehkan itu ialah dukun yang dalam praktek, cara dan obat-obatan yang digunakannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena pada dasarnya setiap usaha yang dapat meringankan penderitaan orang lain adalah perbuatan yang terpuji dan dihargai oleh Allah s.w.t. seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadisnya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ الْهَمْدَانِىُّ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ ».

Maksud hadis ini pada intinya adalah siapa yang menghilangkan kesusahan atau penderitaan dari seorang mukmin, maka Allah akan menghilangkan penderitaannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan urusannya dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.

Syaratnya, dalam mengobati orang sakit (pasien) dukun itu selalu bersandar kepada kekuasaan Allah s.w.t. tidak melupakan-Nya sebagai satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang mampu mengetahui dan mengobati segala jenis penyakit tanpa menghubungkannya dengan kekuasaan Allah s.w.t. obat-obatan yang digunakannya tidak berupa benda atau bahan-bahan yang bernajis atau yang diharamkan Allah s.w.t. atau yang mengarah kepada syirik.

Jika dijumpai dukun yang mengobati pasiennya dengan mengucapkan mantra-mantra yang tidak jelas, dan ia mengaku bersekutu dengan jin. Maka dukun seperti inilah yang diharamkan oleh Rasulullah s.a.w. untuk mendatangi dan bertanya kepadanya tentang sesuatu. Dan obat-obatan yang ia berikan bersumber dari bahan-bahan yang haram atau bernajis. Hal ini sesuai dengan kecaman Rasulullah s.a.w:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ.

Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah s.a.w. melarang berobat menggunakan bahan atau benda najis.

E.    Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan oleh para dukun itu semata-mata adalah berita hasil pendengaran jin yang dicurinya dari langit. Setan selalu berusaha untuk  menyesatkan manusia, salah satu langkah yang dilakukannya adalah membuat manusia agar tertarik terhadap sihir dan menimbulkan salah paham di dalam diri manusia, sehingga mereka mengira bahwa mereka mengetahui hal-hal yang gaib. Praktek perdukunan dan ilmu sihir sangat dikecam oleh Islam, begitu juga persoalan mendatangi dan bertanya kepada mereka adalah termasuk perbuatan yang dilaknat oleh Allah s.w.t. hadis-hadis tentang larangan mendatangi dan bertanya kepada dukun ini begitu banyak ditemukan, seperti yang dikatakan oleh imam al-Nawawi yang telah penulis paparkan pada bab pembahsan di atas.

Kemudian ada juga dukun yang diperbolehkan menurut ajaran Islam, sebagaimana pendapat fuqaha’: dukun yang dibolehkan itu adalah dukun yang yang dalam praktek, cara dan obat-obatan yang digunakannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam memberikan pengobatan terhadap orang sakit, sang dukun selalu bersandar kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. dan ia tidak merasa bahwa dirinya bisa menyembuhkan penyakit serta mengetahui persoalan gaib. Namun ia meyakini bahwa satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakit hanya Allah s.w.t., bahan-bahan pengobatannya pun tidak berasal dari benda-benda yang haram dan najis. Wallahu a’lam.

F.    Saran

Barangkali inilah yang dapat penulis paparkan tentang hadis-hadis yang membicarakan persoalan dukun (studi syarh  dan pemahamannya), pada makalah ini, semoga bisa dijadikan sebagai salah satu bahan untuk menambah wawasan keilmuan dan dapat menjadi motivasi dalam diri ini agar lebih dekat kepada Allah s.w.t. serta selalu mengharapkan perlindungan-Nya.

Akhir kata, penulis menyadari makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka peluang bagi pembaca agar bersedia memberikan kritikan dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan untuk masa yang akan datang.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Yunus Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990

Al-Asqalani Imam al-Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari, Dahlan Cetakan ke-I, Riyadh: Maktabah Darussalam, 1997

Azis Abdul, dkk. [ed.] “Tim Penyusun”, Ensiklopedi Hukum Islam, cetakan  ke-3, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999

Weinsink A. J., Mu’jam al-Mufahrasy li al-Fazh al-Hadits  Nabawiy, Leiden: Brill, 1969

Al-Ja’fiy Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il ibn Ibrâhîm ibn Mughirah ibn al-Bardizbah al-Bukhâriy, Shahih al-Bukhâriy, Beirût: Dar al-Fikr, 1981

Al-Naisabûriy Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairiy, al-Jâmi’ al-Shahih, Dâr al-Fikr: Beirût- Libanon, t.th.

Sunarto Achmad, Mutiara Hadits Shahih Muslim, (Surabaya: Karya Agung, 2007)

Al-Baghdâdiy Abu ‘Abd Allâh Ahmad ibn Muhammad ibn Hilal ibn Asad  al-Syaibâniy al-Marwaziy, Musnad Ahmad ibn Hanbal wa Bihamisuhu Muntakhab Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Ahwal wa al-Af’âl, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Al-Nawawi Imam, Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, cetakan ke-I, Kairo: Daar al-Hadits, 1994

Al-Shabuni Muhammad Ali, Rawâi’ al-Bayan “Tafsir Ayat al-Ahkâm Min al-Quran”, cetakan ke-I, Makkah al-Mukarramah: Dâr al-Kutb al-Islamiah, 2001

0 Comment