01 November 2012

DAKWAH DAN SENI BERBICARA 

Al-Qur’an adalah kitab dakwah yang mencakup didalamnya unsur-unsur yang mengintari dakwah, seperti juru dakwah, penerima dakwah, metode dakwah,  dan media dakwah. Dakwah dengan segala unsurnya adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain, masing-masing unsur dalam dakwah mendapat perhatian dan sorotan dalam al-Qur’an secara sistematis dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang mengintarinya.

Dakwah sebagai ujung tombak bagi pengembangan Islam diwujudkan keberbagai segi kehidupan manusia. Melaksanakannya dalam artian umum adalah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Hal itu disebut dengan mubaligh atau juru penerang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya.  Dakwah dalam artian khusus adalah fardhu kifayah.  Hal inilah yang disebut dengan juru dakwah (al-Da’i). Untuk merealisasikannya kepada masyarakat diselenggarakan oleh al-da’i yang telah memenuhi kriteria-kriteria untuk itu dengan mempergunakan cara-cara tertentu, sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat. Dakwah seperangkat aktifitas yang dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kemampuannya, bertujuan menjadikan seluruh umat manusia meyakini dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan bertanggungjawab serta diiringi dengan akhlak mulia demi memperoleh kebahagiaan sekarang dan yang akan datang.

B. PENGERTIAN DAKWAH

Dakwah telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia, berarti mengajak (menyeru) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.  Dalam bahasa Arab berakar dari kata د, ع, و (dal, ‘ain dan waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.  Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a-yad’u-da’watan, (fiil naqish) berarti “menyeru, memanggil, mengajak, dan menjamu”,  atau kata da’a-yad’u-du’aan, dakwahu, berarti “menyeru akan dia. Kemudian dari kata al-da’i, jamak da’atun, mu’anasnya da’iyatun, jamak da’iyatun, berarti orang yang mengajak manusia ke agama dan kepada mazhabnya.  Kata itu dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam al-Qur’an sebanyak 211 kali,   dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi 30 kali, fi’il mudhari’ 112 kali, isim fa’il 7 kali dan yang seakar dengan kata du’a 20 kali.

Dari segi bahasa, kata dakwah memiliki banyak arti, di antaranya (1) al-da’wat ila al-tha’am (memanggil makan); (2) da’a lahu (berdo’a); dan (3) da’ahu fi ishlah al-din (mengajak kepada kebaikan agama).

Di dalam al-Qur’an, kata dakwah dalam bentuk fi’il khususnya dalam bentuk da’a-yad’u-ud’u, berarti mengajak atau mendorong ke suatu tujuan. Seperti tampak, kata da’a pertama kali dipakai dalam al-Qur’an dengan arti mengadu (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya adalah Nabi (Nuh).  Lalu kata itu berarti memohon pertolongan (kepada Allah) yang pelakunya adalah manusia (dalam arti umum).  Setelah itu, kata da’a berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah kaum Muslimin.  Khusus dalam bentuk da’a terulang dalam al-Qur’an sebanyak 5 kali.

Pada sisi lain, kata dakwah dalam bentuk seperti di atas juga dipergunakan Rasul Allah Saw. dalam menyebarkan dakwah secara tertulis, yakni dalam bentuk surat yang dikirim kepada Heraclius, raja Romawi, antara lain berbunyi:  saya mengajak tuan memperkenankan panggilan Allah peluklah (Islam) supaya tuan selamat. Ini menunjukkan pula bahwa, dakwah Rasul Saw. selain dilaksanakan dengan metode lisan juga dengan tulisan (surat).

Kemudian dari segi istilah, Bahi al-Khuli mengatakan, dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.  Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M/1323 H) dalam hal ini mengistilahkan dakwah dengan ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.  Dalam pada itu, ‘Ali Mahfuzd mengintrodusir pengertian dakwah yaitu :

حث الناس على الخير والهدى والامر با لمعروف والنهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل وا لآجل  

Pengertian hast dalam definisi di atas sangat identik dengan motivasi, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Motivasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan.

Sedangkan, Abu Bakar Zakaria mengatakan, dakwah ialah usaha para ulama dan orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) dengan memberi pengajaran kepada masyarakat akan hal-hal yang dapat menyadarkan mereka terhadap urusan keagamaan dan keduniaannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.  Lebih jauh Amin Rais  mengemukakan  bahwa dakwah adalah setiap usaha rekontruksi  masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili  agar  menjadi masyarakat yang  Islami.

Dari pengertian dakwah yang telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa dakwah mengandung arti:

1.    Memberi tuntunan dan pedoman serta jalan hidup yang harus dilalui dan dihindari oleh manusia agar mereka mendapat petunjuk dan terhidar dari kesesatan.

2.    Mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang atau masyarakat dari yang tidak baik kepada yang baik,  dari masyarakat jahili menjadi masyarakat  Islami.

3.    Memberikan penghargaan akan sesuatu nilai agama yang didakwahkan itu sehingga dirasakan oleh seseorang atau masyarakat suatu kebutuhan yang vital dalam kehidupannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dakwah ialah segala aktifitas yang dilakukan oleh mukmin sesuai kemampuan yang dimilikinya, yang bertujuan menjadikan seluruh umat manusia beragama Islam dengan baik disertai akhlak yang mulia agar mereka memperoleh sa’adah masa kini dan masa datang. Dengan begitu, dipahami pula bahwa dakwah merupakan suatu sistem, dalam mengupayakan aktifitas mencapai sasarannya dengan tepat terkait dengan berbagai komponen dakwah itu sendiri.

Berdasarkan pemahaman di atas dapat dibantah anggapan yang dikemukan oleh A. Halim bahwa asumsi dakwah hanya sebagai penyampaian dari luar, sebagai kegiatan ceramah, sasaran dakwah adalah untuk masyarakat statis, hanya sekedar penyampai dan pada gilirannya akan mengalahkan yang batil , kenyataan di atas mungkin ada benarnya, bila dakwah itu dipahami dalam artian sempit. Akan tetapi jika dakwah dipahami secara hakiki dan dalam pengertian yang lebih luas, maka kata dakwah mampu memberdayakan semua potensi yang dimiliki manusia dalam menghadapi dunia yang luas ini, karena dakwah adalah seluas kehidupan manusia itu juga, termasuk melalui kesenian.

Dalam perjalanan dakwah dari masa ke masa, realitas menunjukkan, bahwa fungsi dakwah dalam masyarakat sesungguhnya telah terlaksana antara lain :

a.  Sebagai penggerak dan energi, mendorong manusia  untuk berbuat.
b.    Untuk mengarahkan perbuatan seseorang ke arah tujuan yang hendak dicapai.
c.    Sebagai seleksi terhadap perbuatan manusia, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan dan yang serasi guna mencapai tujuan itu sendiri, dengan mengenyampingkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tercapainya tujuan.

C. Diskursus Dakwah Sebagai Ilmu

Persoalan sekarang adalah ketika ada kajian kritis apakah dakwah itu sudah merupakan bagian dari ilmu atau tidak. Paling tidak problem itu dapat dilihat dari dua sisi; pertama dari segi sejarah munculnya dan perkembangan ilmu-ilmu yang ada dalam Islam, bahwa ilmu dakwah tidak ada dalam khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, seperti halnya ilmu kalam, filsafat, tasawuf, fiqh, ulum al-Qur’an, ulmu al-hadis dan sebagainya. Sementara itu, kesulitan juga muncul ketika ada pembicaraan siapa “mujtahid” pertama yang menggagas munculnya “ilmu dakwah”. Kedua, ketika dakwah ditinjau dari teori keilmuan yang ada atau “filsafat ilmu.” Problem itu muncul waktu menjelaskan “epistemilogi dakwah.” Kerangka keilmuan “dakwah” tidak jelas, sehingga Jalaluddin Rakhmat  berkaitan dengan masalah kedua ini memberi komentar; “ilmu dakwah” adalah “Arabisasi istilah-istilah yang ada dalam ilmu komunikasi.” Dengan tidak jelasnya kerangka keilmuan “dakwah” maka pendapat tentang “dakwah” sebagai ilmu terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa “Dakwah bukanlah ilmu pengetahuan dalam pengertian “sains,”  Selo Soemardjan misalnya ketika ia  menjelaskan apakah dakwah sebagai “ilmu” atau tidak? Ia mencoba membagi “ilmu” kepada kepada dua bagian, yaitu ilmu spritual dan ilmu sekuler (intelektual). Ilmu spritual adalah ilmu yang didasarkan pada kepercayaan atau agama tertentu. 

Di dalamnya kepercayaan lebih kuat dibanding kepada pemikiran. Ilmu ini sebanding dengan kata ngilmu dalam bahasa Jawa. Sementara itu ilmu sekuler, sebagai lazim diketahui, adalah ilmu yang didasarkan pada pemikiran semata, tanpa terikat pada kepercayaan atau agama apa pun. Teori-teori atau pemikiran-pemikiran di dalamnya dapat diperdebatkan secara bebas dan harus dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik. Menurut Selo Soemardjan, apakah dakwah dapat dipandang sebagai ilmu atau bukan, bergantung pada pengertian ilmu yang mana dipakai. Kalau yang dipakai adalah arti yang pertama, maka tidak lagi diragukan bahwa dakwah adalah ilmu. Akan tetapi, apakah dakwah juga dapat dimasukkan dalam kategori ilmu menurut arti kedua, masih perlu pembahasan yang lebih cermat dan teliti. Lihat! A. Ilyas Ismail, “Beberapa Kendala Dakwah Sebagai Ilmu” dalam Republika (opini), 28 Agustus 1992.

Kesimpulan itu berasal dari makalah Selo Soemardjan dalam “Seminar Dakwah Sebagai Ilmu” yang diselenggarakan Fakultas Dakwah IAIN Jakarta,10-11 Agustus 1992. Dari sudut lain, dakwah ilmu atau bukan, yaitu pembagian Ilmu kedalam beberapa kelompok; Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Humaniora. Secara pasti dapat dikatakan bahwa dakwah bukanlah Ilmu Alam karena yang masuk ilmu alam itu ialah, kimia, fisika, biologi. Dan kecil kemungkinan dapat dimasukkan dalam Ilmu Humaniora, seperti sejarah, kebudayaan, sastra dan bahasa. Ada kemungkinan dapat dimasukkan ke dalam ilmu sosial. Tapi masih muncul pertanyaan, ke mana dakwah dapat dicantolkan sebagai ilmu sosial. Ini suatu pertanyaan yang masih perlu dijelaskan karena masih ada problem.

Oleh karena itu ia lebih tepat dikatakan sebagai pengetahuan saja atau seni dalam menyampaikan ajaran Islam. Sementara itu ada kelompok kedua berpendapat bahwa dakwah sudah layak atau sudah memenuhi syarat-syarat disebut sebagai ilmu pengetahuan, atau paling tidak sedang berproses untuk mencari metodologi keilmuan seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya.      Sementara itu, Naquib al-Attas memformulasikan rumpun ilmu-ilmu ke-Islam-an dipilahnya ke dalam dua aspek keilmuan; pertama, Kelompok Body if Islamic knowledge. Kelompok ini meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, Syari’ah, Tauhid, Tasawuf dan Adab. Kedua, kelompok ilmu-ilmu rasional/filsafat. Dari kedua kelompok ilmu itu dalam pandangan Naquib al-Attas Fakultas Tarbiyah dan Dakwah tidak termasuk ke dalam kedua struktur ilmu di atas. Melainkan dapat ditempatkan sebagai applied science. Dengan demikian Fakultas Tarbiyah dan Dakwah, meskipun diminati banyak orang, namun belum memiliki obyek kajian yang jelas. Aktivitasnya hanya sebatas menerapkan teori-teori yang ada untuk diberi label Islam. 

Amrullah Achmad mengemukakan beberapa kendala utama “dakwah” untuk dapat dikatakan sebagai ilmu. Pertama, “dakwah” belum mempunyai kriteria khusus untuk memisahkannya dari ilmu-ilmu lain, terutama berkaitan dengan masalah obyek kajian. Kedua, belum ada sistem untuk mengklasifikasikan masalah-masalah dakwah. Ketiga, belum ada perangkat teori dakwah. Keempat, belum ada metodologi penelitian dakwah yang baku. Kelima, belum ada sub-sub ilmu dakwah karena obyek formal dan materialnya belum jelas. Keenam, dakwah belum dapat berfungsi secara rasional untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan yang dihadapi.   

Departemen Agama RI di bawah Direkrorat Pembinaan Perguruan Tinggi sebagai suatu lembaga yang membina IAIN, nota bene sebagian besar mempunyai fakultas dakwah atau jurusan dakwah, telah berusaha untuk mendudukkan dakwah sebagai “ilmu”  dan begitu juga  untuk merumuskan obyek formal dan material dari dakwah. Usaha itu terlihat dari penyusunan buku Pengantar Ilmu Dakwah oleh Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama yang dilaksanakan bersama IAIN Ar-Raniri Aceh tahun 1984-1985. Dalam buku itu diposisikan dakwah termasuk ilmu agama menurut ahli agama dan termasuk humaniora menurut para ahli ilmu humaniora. “Ilmu dakwah” dikatakan sebagai ilmu agama disebabkan ia membicarakan  kepercayaan, norma-norma, kebajikan, dan nilai-nilai; sedangkan dikatakan sebagai sebagai ilmu humaniora karena ia dianggap berkaitan dengan sikap dan prilaku yang menghasilkan kebudayaan. Sebenarnya alasan menempatkan “ilmu dakwah” sebagai ilmu humaniora dibantah oleh ahli agama, sebab agama bukanlah hasil kebudayaan, tetapi kebudayaan adalah hasil aktualisasi agama oleh pemeluknya. Malahan dalam buku itu juga dikatakan dakwah termasuk dalam kelompok ilmu sosial karena ia membicarakan hubungan antar manusia dalam komunikasi dakwah. Dengan demikian “Ilmu Dakwah” adalah merupakan gabungan ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora. Hal ini sebenarnya membingungkan karena masing-masing ilmu itu mempunyai obyek yang jelas. Maka dari itu dakwah lebih dekat dikelompokkan kepada ilmu sosial. Sebagai alasan ialah, ketika dalam buku itu (buku Pengantar Ilmu Dakwah di atas) dijelaskan obyek material dari “ilmu dakwah” bahwa ia terjebak dalam pendekatan “ilmu komunikasi” atau dengan bahasa lain dapat dikatakan obyek material dari ilmu dakwah sama dengan komunikasi, yaitu prilaku manusia yang berhubungan dengan pesan. Komunikasi, dalam perkembangannya yang cukup pesat, adalah termasuk “ilmu sosial,” walaupun dalam pembahasan obyek formal dari “ilmu dakwah” adalah pesan keagamaan yang berhubungan dengan akidah, syariah, mu’amalah dan lain-lain. 

Walaupun demikian ilmu dakwah lebih dekat kepada ilmu sosial dengan analogi kepada kepada “ilmu komunikasi,” bukan berarti perbincangan, silang-pendapat dakwah sebagai ilmu sudah selesai, sebab banyak agenda yang harus diselesaikan oleh ilmuan-pemikir dakwah untuk memberikan jawaban terhadap beberapa agenda yang dikemukakan di atas, terutama berkaitan dengan aspek keilmuan. Maka dari itu, dalam analisis tulisan ini penulis memakai ilmu-ilmu lain sebagai alat analisis, seperti “ilmu antrpologi-sosial, sosiologi agama, psikologi” dan ilmu ke-Islam-an lainnya. Dengan demikian untuk analisis dakwah bersifat interdisciplinary. Artinya, dakwah tidak bisa hanya dianalisis dari satu sudut ilmu saja, tetapi harus ditinjau dari sudut beberapa ilmu.

Sebenarnya, dakwah ditetapkan oleh Departemen Agama RI dengan nomor Keputusan 110 tahun 1982, sebagai salah satu bidang “Ilmu Agama Islam’ dari 8 bidang ilmu yang ditetapkan, adalah sebuah “kemenangan” secara politis. Tetapi secara akademis pemikir Islam-Indonesia, pada umumnya, dan orang yang berkiprah (pemikir-praktisi) dakwah, pada khusus, punya tanggung jawab secara ilmiah dan moral untuk menjelaskan  bahwa dakwah itu adalah “ilmu.” Pendapat ini senada dengan pendapat yang diketangahkan oleh Sulaiman Ibrahim, yaitu masih daloam proses pencanaian dan penempaan yang belum berakhir.  Dengan bahasa lain dapat dikatakan orang-orang dakwah (ilmuan-praktisi) dimenangkan secara politik untuk mengatakan dakwah itu sebagai ilmu, tetapi dari teori keilmuan (epistemologi) secara utuh “orang-orang dakwah” perlu bekerja keras.  

Dari diskursus yang dikemukakan di atas, terlihat ketika dakwah dikatakan sebagai ilmu masih banyak hal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut, terutama yang berkaitan dengan epistemologi, obyek material dan formal, pendekatan yang dipakai, dan sejarah. Tetapi walaupun demikian dapat dikatakan bahwa dakwah sudah memulai proses untuk menjadi sebuah ilmu yang diakui dan mandiri.

D. Epistemologi (teori pengetahuan)

Dalam perbincangan filsafat ilmu epistemologi diartikan: cara mendapatkan sesuatu, dalam hal ini epistemologi adalah dari mana sumber atau teori pengetahuan didapatkan. Dalam perspektif epistemologi secara umum bahwa sumber atau teori pengetahuan didapatkan dari hasil rasioanalitas manusia berdasarkan data. Sedangkan dalam perspektif epistemologi Islam  bahwa teori pengetahuan didapatkan dari teks atau wahyu dan pemikiran manusia dalam aspek tradisi yang mensejarah. Jelasnya bahwa subjek atau sumber Ilmu dalam Islam adalah Allah sebagaimana yang terdapat dalam Surat al-Baqarah: 33. Allah sebagai sumber pengetahuan menampilkan diri lewat al-Qur’an yang tertulis sebagai fitrah munazalah dan lewat ayat yang tercipta yaitu alam dan realitas sebagai fitrah majbulah. Jelasnya bentuk teori ilmu apapun baik secara normatif atau empiris bersumber dari Allah swt.

Berdasarkan hal itu dalam perspektif epistemologi Islam, epistemologi dakwah adalah sekumpulan pengetahuan yang bersumber dari wahyu (teks) dan pemikiran rasional muslim sepanjang sejarah (tradisi Islam), dengan ini dakwah memiliki kelayakan epistemik. Dalam kerangka epistemik ini ilmu dakwah harus dipahami sebagai ilmu teoritik dan terapan Islam untuk menumbuhkan, menata dan merekayasa masa depan kehidupan umat dan peradaban Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.

E. Aksiologi Dakwah

Islam berbeda dengan pandangan bangunan ilmu barat yang memandang ilmu dipisahkan dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain teori ilmu tidak terkait dengan praxis. Dalam pandangan Islam ilmu baru berguna dan bermakna bila telah menjadi realita. Jika kebenaran telah ditemukan melalui aktivitas keilmuan, selanjutnya kebenaran menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal itu, aksiologi atau nilai guna dakwah adalah: bertujuan mewujudkan ummatan wasathan, khairul umah dan khairu al- baraiyah.

F. Objek dan Sifat Studi Ilmu Dakwah

Setiap ilmu mempunyai objek tertentu baik objek material dan objek formal. Dalam dunia ilmu pengetahuan sering ditemukan adanya kesamam objek material dalam dua disiplin ilmu, akan tetapi mempunyai objek formal yang berbeda. Sebagai contoh ilmu ekonomi dengan ilmu komunikasi. Ilmu ekonomi dan komunikasi mempunyai objek material yang sama yaitu prilaku manusia dalam masyarakat. Namun objek formalnya berbeda, ilmu ekonomi mempelajari dan mengkaji manusia dalam kontek pertukaran uang dan barang. Sedang ilmu komunikasi mempelajari pernyataan manusia dalam situasi berkomunikasi lewat pernyataan. Objek formal inilah yang menunjukkan jati diri dari suatau ilmu, sekaligus membedakan dengan ilmu yang lain.

Objek ilmu dakwah terbagi menjadi dua, objek material dan formal. Objek material, secara doktrinal, Ilmu Dakwah mengkaji tentang al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber (ajaran dasar) utama ajaran Islam. Ketika ajaran dasar ini bersentuhan dengan pemikiran manusia, maka lahir berbagai disiplin ilmu dalam Islam, seperti: Ulum al-Qur’an dan Ulum al-hadist, Ilmu Kalam, Filsafat Islam, Ilmu Tasawuf, yang terangkum dalam khazanah keilmuan Islam klasik. Bila doktrin ini bersentuhan dengan kehidupan bermasyarakat, maka muncul pula ilmu terapan, seperti fiqh dan ushul al-fiqh. Bila ketiga ajaran dasar ini disampaikan atau bersentuhan dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas, maka dakwah sebagai sebuah kajian bukan hanya sebagai doktrin, akan tetapi memerlukan ilmu umum lainnya sebagai metodologi.

    Ilmu-ilmu lain sebagai metodologi dalam mentransformasikan doktrin ke tengah masyarakat; antara lain adalah: Ilmu Komunikasi sebagai metodologi penyiaran doktrin Islam, Ilmu Konseling/psikologi sebagai metodologi merubah kondisi kejiwaan sesuai doktrin Islam, Ilmu Manajemen sebagai metodologi pembentukan lembaga kemasyarakatan sesuai doktrin Islam, Sosiologi dan Ilmu Pembangunan Masyarakat, Ilmu Ekonomi sebagai metodologi pemahaman dan pengembangan masyarakat ke arah yang sesuai dengan doktrin Islam, Ilmu Komunikasi Massa dengan seluruh cabangnya seperti Pertelevisian, Jurnalistik, Public Relation, Human Relation, dan semacamnya sebagai metodologi penyampaian doktrin Islam ke tengah masyarakat.

Kenapa tidak jika ilmu-ilmu lain menjadi metodologi dalam mentransformasikan doktrin Islam ke tengah masyarakat. Maka tidak salah jika Seni, Arsitektur, Teknik Sipil, Ilmu Politik, bahkan ilmu eksakta sekalipun menjadi metodologi bagi Ilmu Dakwah untuk mentransformasikan ajaran Islam.

Berikutnya objek formalnya: mengkaji dan mempelajari bagaimana mengajak umat manusia agar masuk dalam sistem Islam dalam semua segi kehidupan. Bentuk kegiatan mengajak tersebut, terdiri secara lisan (komunikasi), tulisan (jurnalisme) dan aksi sosial. Inilah karakteristik yang spesifik yang membedakan Ilmu Dakwah dari ilmu-ilmu Islam lainya (Ulumul Qur’an, Ulum al-hadits, Fiqh, dan lain-lain) yaitu mempelajari dan mengkaji bagaimana mengajak umat manusia kepada jalan Islam. Kajian dalam objek formal ini sangat terkait dengan sifat objek studi ilmu dakwah yaitu proses “tranformasi”. Adapun wilayah pengembangan Grand Theory Ilmu Dakwah, adalah teori-teori “transformasi” masyarakat dari suatu kondisi ke kondisi sesuai doktrin Islam (Teori-teori menerapkan “walau satu ayat” menjadi sistem kehidupan).

G. KERJA DAKWAH

Dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, sesunguhnya terdiri dari : mengajak dengan lisan dan tulisan (dakwah bil lisan dan bil qalam), mengajak dengan af’al wa al-ahwal (dakwah perbuatan dan aksi sosial Islam) dan mengorganisir serta mengelola kegiatan mengajak  (bil lisan, bil qalam dan bil hal) dan mengelola hasil-hasil dakwah dalam bentuk lembaga-lembaga Islam sebagai lembaga dakwah secara efesien dan efektif dengan melakukan sistematisasi tindakan, koordinasi, singkronisasi dan integrasi program dan kegiatan dengan sumber daya dan waktu yang tersedia untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah Islam.

Mengajak dengan lisan dan tulisan dikenal sebagai Tabligh Islam yang di dalamnya mengandung dua dimensi kekuatan yaitu komunikasi dan penyiaran Islam serta bimbingan dan penyuluhan Islam. Dimensi kegiatan komunikasi dan penyiaran Islam bersasaran massal atas dasar pola kecenderungan masalah yang berkembang dalam masyarakat secara umum dalam semua segi kehidupan yang berdampak pada arah perkembangan system dan sejarah kehidupan jama’ah dan ummat Islam. Dimensi kegiatan bimbingan dan penyuluhan Islam bersasaran individual dan kelompok kecil atas dasar masalah khusus (kasuistik) dalam semua kehidupan yang berdampak pada kehidupan individu dan keluarga.

Mengajak dengan tindakan nyata (haal) disebut sebagai kegiatan dakwah dalam pengembangan masyarakat Islam. Pengembangan masyarakat Islam atau aksi sosial, ekonomi dan lingkungan Islam adalah system tindakan nyata yang menawarkan alternative model pemecahan masalah ummat dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dalam tradisi dakwah Nabi Saw. dikenal dakwah dengan model uswatun hasanah yang mengindikasikan model-model (contoh) Nabi Saw. dalam memecahkan masalah yang dihadapi ummat. Hal-hal yang dipandang bersifat doktrinal dan konseptual dinyatakan secara empirik yang hasilnya dapat dirasakan oleh ummat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Sedangkan mengorganisir dan mengelola kegiatan mengajak dan hasil dari ajakan itu disebut sebagai manajemen dakwah Islam. Dimensi ini merupakan aspek organisasional kegiatan mengajak itu sendiri (bil lisan, bil qalam dan bil haal) dan mengelola dalam rangka memelihara dan membina kembangkan hasil ajakan dalam bentuk lembaga-lembaga Islam yang mengemban missi dakwah Islam.

H. Bentuk-bentuk Seni Berbicara dalam berdakwah

Sebagaimana disebutkan di atas dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistem Islam) dalam semua segi kehidupan, sesunguhnya terdiri dari : mengajak dengan lisan dan tulisan (dakwah bil lisan dan bil qalam). Mengajak dengan lisan dipastikan mempergunakan suara. Orang pada umumnya sangat senang mendengarkan suara yang indah, sejuk, menarik, berkesan dan merayu. Untuk merealisasikan hal itu Allah Swt. telah memberikan kemasan mempergunakan bahasa untuk berbicara dengan lawan bicara dengan baik. Kemasan bahasa itu memerlukan bentuk komunitas dalam berbicara, sehingga apa yang dibicarakan relevan dengan kemampuan lawan bicara. Ketika menyesuaikan bahasa dengan lawan bicara tersebut itu dinamakan seni bicara.

Seni adalah bagian dari metode dakwah, namun juga sebagai media dalam berdakwah. Salah satu diantara seni tersebut adalah seni berbicara. Berbicara sebagai sebuah seni turut menentukan lancarnya kegiatan dakwah di dunia Islam. Dakwah tidak dilakukan dengan kekerasan, akan tetapi dengan komunikasi “sambung rasa” yaitu komunikasi seni.  Dalam memberikan pelajaran, al-Qur’an menuntun juru dakwah dengan mempergunakan bahasa yang indah, lemah lembut, jelas, tegas, menyentuh jiwa dan mendalam. Keindahan bersumber kepada Tuhan. Keindahan yang ada pada alam termasuk yang dinikmati manusia adalah bagian terkecil dari keindahan yang dianugerahkan Allah, karena Allah adalah indah dan suka kepada yang indah. Muhammad Quthub menyebut bahwa kesenian itu indah dan ianya adalah hakikat al-kaun (kenyataan realitas alam) dan puncak kesenian itu adalah al-Haq (kebenaran). Kalau begitu keindahan itu adalah ide atau gagasan, lahir dari qalbu yang dalam, sesuatu yang lahir dari qalbu dapat diterima akal yang sehat. Justru itu pula keindahan dan kebenaran merupakan komponen dalam kesenian yang tidak dapat dipisahkan antara sama lainnya. Kesenian yang dimaksudkan adalah kesenian yan membawa kebenaran. Bahauddin al-Amiry beralasan mengatakan, bahwa al-Haq merupakan unsur penting dalam kesenian. Kesenian tidak bebas nilai, kebebasan ansih hanya ada pada orang gila. Seni yang mengandung hal-hal yang buruk dan tidak bermoral bagi manusia, meskipun indah harus ditolak ( Plato dalam Sumardjo, 2000;92 dalam bukunya Filsafat seni.

Kalau ada para tokoh agama yang menolak hubungan kesenian dengan Islam dan Tuhan, tentulah dapat dipahami, bahwa prinsip mereka berangkat dari pandangan realitas. Mungkin mereka beranggapan, keindahan secara mutlak berada di tangan Tuhan, sedangkan keindahan yang ada pada alam adalah bagian terkecil dari keindahan Tuhan yang relatif. Oleh karenanya secara nurani manusia berusaha mencari keindahan, melalui riwayat, hikayat, kaba (khabar), risalah, kisah, khutbah, salawat dan dzikir, sehingga melahirkan puisi-puisi  dalam bentuk syair-syair, sajak, nazam, kasidah, al-Barzanji, al-burdah, syaraf al-alam, al-Diba’iy, masnawi, ruba’iy, madah, bidal (pribahasa) dan lain sebagainya. Bahkan Siti Rugayah menambahkan perlu kepada kaedah yang menarik untuk diterima oleh khalayak. Antara kaedah yang dianggap memberi kesan dan mempunyai daya tarik tersendiri ialah penulisan kreatif yang merangkumi puisi, cerpen, novel, drama, pantun dan syair.   Pada kajian ini puisi, drama, pantun, dan syair adalah bagian yang tidak terlepas dari mempergunakan bahasa lisan. Ketika ia diungkapkan subjeknya dipastikan mencari bahasa yang relevan, baik dari segi tempat mengungkapkannya, maupun materi yang bersesuaian dengan kondisi yang mengintarinya. Semua itu merupakan fitrah yang dimiliki manusia.

Firtah yang diberikan Allah kepada manusia adalah berolah rasa melalui kesenian. Kesenian tidak lain untuk membangkit sesuatu yang indah dalam bentuk produk maupun dalam bentuk proses menikmatinya. Seperti hadis nabi mengungkapkan “ Allah itu Maha Indah, Dia suka kepada keindahan” ( Hadis Muslim dalam Kutub al-Iman), keindahan yang disukai Allah adalah keindahan yang tidak melampaui batas, karena Ia tidak suka kepada orang yang melampaui batas ( QS 7;31). Yusuf Qardhawi  dalam bukunya al-Islam wa al-Fann, menyatakan keyakinannya bahwa pentingnya kesenian dalam kehidupan, karena kesenian merupakan perkara yang sangat penting dengan hati dan perasaan. Kesenian berusaha membentuk kecenderungan jiwa manusia dengan alat-alat yang diperdengarkan, dibaca, dilihat, dirasakan maupun dipikirkan. Oleh karena itu kesenian sesungguhnya sama dengan ilmu, ia dapat dipergunakan untuk kebijakan dan pembangunan, atau untuk kejahatan dan kerusakan. Untuk itu kesenian adalah alat untuk mencapai tujuan, maka hukumnya sejalan dengan hukum tujuan itu sendiri. Jika dipergunakan kepada hukum yang diredhai Allah, maka ia halal, dan sebaliknya. Al-Qur’an dilihat dari susunan  kata dan kalimatnya, sangat retorik sekali. Misalnya ayat yang akhir kalimatnya dengan  baris fatah saja, yang akhir kalimatnya berbaris kasrah, yang  akhir kalimat memakai mad ‘arid sukun, memakai mad jai’z muttashil atau  munfaashil, yang memakai huruf akhir dengan qalqalah dan sebagainya. Semua  itu  sebagai bukti  bahwa tuturan ayat-ayat al-Qur’an sangat retorik sekali. Bahkan di sini terletak salah satu kemu’jizatannya yang mengalahkan keindahan  para sasra dan sya’ir arab sebelumnya. Untuk lebih spesifik kajian ini, maka pembentang melihat dari tuturan Allah dalam al-Qur’an mempergunakan kata dan mengemas bahasa dalam seni berbicara.

Didalam al-Qur’an terdapat 6 (enam) sighat fi’il amr dalam berbicara kepada orang lain. Dalam ilmu balaghah, amr memiliki makna tersendiri, diantaranya; do’a (permohonan), irsyad (bimbingan), iltimas (tawaran), tamanni ( harapan yang sulit dicapai), takhyir (pemilihan), taswiyah (penyamaan), ta’jiz (melemahkan lawan bicara), tahdid ( ancaman), dan ibahah (kebolehan).  Dalam hal ini teks amr pada enam redaksi ayat قو لوا قـولا…   mengandung makna irsyad, yaitu Allah menyuruh manusia untuk memberikan bimbingan kepada orang lain dengan mempergunakan bahasa yang tepat menghadapi lawan bicara yang berbeda latar belakang. Bahasa  yang terpakai dapat mengantarkannya kepada petunjuk Allah Swt. Bahasa-bahasa yang dipakai dalam bericara adalah sebagai berikut :

a. Qaulan ma’rufan

    Dari sudut etimologis, kata معروفا adalah isim maf’ul dari akar kata عرف, يعرف, عرفة :  yang berarti mengenal/mengetahui.  Secara terminologis   قولا معروفا : قولا جميـلا حسـنا معروفا الى الخير لا نكر فيه ولا فحش ولا مخالفة لحدود الله.     

Artinya : Ucapan yang indah, baik lagi pantas dalam tujuan kebaikan, tidak mengandung kemungkaran, kekejian dan tidak bertentangan dari ketentuan Allah.    Pengertian di atas memposisikan orang yang berbicara kepada orang lain untuk menyampaikan perkataan yang pantas, sesuai dengan tuntunan agama dan menutup peluang terjadinya pelecehan atau tersinggung karena miskomunikasi. Perkataan yang pantas itu jauh dari unsur-unsur kejahatan maupun kekejian yang terselubung di balik untaian kata-kata manis yang diucapkan. Qaulan ma’rufan ini disampaikan secara lugas, tepat dan sangat toleran, bukan mengada-ada ataupun berlebih-lebihan.

Di dalam al-Qur’an kalimat Qaulan ma’rufan terdapat dalam empat tempat, pertama ayat 235 surat al-Baqarah (02/87), yaitu :

Artinya : Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma`ruf. Dan janganlah kamu ber`azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Kedua ayat 5  surat al-Nisa’ ( 04/ 92) , yaitu :
Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Ketiga ayat 8 surat al-Nisa’, yaitu :
Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Keempat ayat 32 surat al-Ahzab, yaitu

Artinya : Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik

Memperhatikan asbab al-nuzul ayat-ayat di atas, maka ayat tersebut turun di Madinah, masyarakatnya sudah berada dengan komunitas yang majemuk. Apabila dilihat dari aspek ini, maka pemilihan kata yang baik dalam menyampaikan ajaran Islam secara psikologis, sangat diperlukan. Sedangkan bila dilihat dari konteks isi yang sedang dibicarakan, maka ayat tersebut berbicara tentang wanita-wanita dan anak yatim serta orang miskin. Seperti terdapat pada surat al-Nisa’ ayat 9 (04/92) berhubungan dengan anak yatim, sedangkan dalam ayat 32 surat al-Ahzab (33/90) yaitu tuntunan terhadap isteri-isteri Rasul agar berbicara dengan cara yang wajar-wajar saja. Dengan demikian ketika al-Qur’an  membicarakan kelembutan, seperti masalah anak yatim, wanita, kata qaul dirangkaikan dengan ma’rufan. Hal ini menunjukkan kata ma’ruf berarti pembicaraan bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencurahkan pemikiran. Sedangkan kepada orang lemah jika tidak dapat membantu secara material, sekurangnya dapat memberikan bantuan psikologis.

b. Qaulan Kariman

Lafazd كريـما berasal dari :   كرم  يكرم  كرما  كرمة  كرا مة   berarti     menyampaikan dengan mudah dan baik, atau bermakna   الجـامع لآنواع الخير والشرف  وا لـفضائل  yaitu : Himpunan keberagaman kebaikan, kemuliaan serta kelebihan.  Sedangkan seacara terminologi kalimat قولا كريما  ialah  قولا جمـيلا لـينا طيـبا حسـنا  بأدب  وتو قير  وتعظيم    yaitu : Ucapan yang mulia, lembut, bermanfaat dan baik dengan menjaga adab sopan santun, ketenangan dan kemuliaan.     Pengertian di atas mempergunakan bahasa yang lugas, bermakna, mulia dan agung. Hal ini dilakukan dalam upaya menjaga untuk tidak menyinggung kehormatan atau harga diri lawan bicara. Seni bicara ini dilakukan agar materi dakwah yang disampaikan dapat menyentuh hati sanubari seseorang. Biasanya orang yang berusia lanjut, sangat mudah tersinggung. Maka qaulan kariman adalah lafazd yang beroreantasi pada tutur kata yang bermuatan penghormatan dan kemuliaan terhadap lawan bicara. Sasaran dakwah dalam hal ini adalah orang-orang yang telah berusia lanjut.

Kalaimat Qaulan Kariman terdapat satu kali dalam al-Qur’an, yaitu ayat 23 surat al-Isra’ (17/50), yaitu : Surat  al-Isra’ 23, yaitu :

Artinya : Dan Allahmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban kepada Allah Swt. untuk beribadah hanya kepada-Nya. Kewajiban tersebut diiringi dengan perintah berbuat baik kepada orang tua. Perintah berbuat baik kepada orang tua sekaligus dengan penjelasan bentuk-bentuk berbuat kepadanya ketika keduanya telah tua dengan mengunakan kata-kata yang tidak meremehkan, menghardik dan justru diperintahkan berbicara dengan kata yang mulia.

    Pemilihan kata kariman (mulia) menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada orang tua, terutama dalam memilih kata-kata yang mulia, sebagai salah satu cara menghormatinya. Perbuatan tersebut sangat manusiawi (fitrah) sekali karena kedua orang tualah yang memelihara, mendidik, membesarkan dan menyapih semenjak kecil sampai menjadi besar (QS. Luqman : 14 (31/57). Makna yang terkandung dari kajian di atas adalah bahwa berbuat baik kepada orang tua merupakan tugas yang mulia sekaligus sebagai doktrin nomor dua setelah melakukan kewajiban kepada Allah Swt. Namun kebaikan yang dilakukan kepada keduanya selama tidak bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan nash, akan tetapi juga tidak mengurangi rasa hormat kepadanya dengan bergaul secara baik.

    Pemakaian qaulan kariman yang hanya satu kali ditemukan dalam al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa berbicara dengan orang tua harus berbeda dengan berbicara dengan selainnya. Hal ini bukan berati boleh berbicara kasar dengan orang lain, akan tetapi kepada orang tua bukan hanya bahasa yang mulia, sikap yang baik, bahkan harus memposisikannya pada posisi yang terhormat dengan merendahkan kedua sayap (rasa hormat yang tinggi ) (QS. Al-Isra’ : 24 (17/ 50).

c. Qaulan Maisuran

    Dari sudut semantik, kata ميـسورا  adalah isim maf’ul yang berakar dari يسر  يسيـر يسرا     yang berarti  الليل و الانقياد ضد المعسـور , yaitu mudah dipahami dan jelas.     Dari terminologis ialah tutur kata yang ringan, mudah dimengerti, bermuatan pengharapan terhadap prospek yang indah sebagai penyejuk dan penawar hati lawan bicara.

Penekanan pada pengertian di atas adalah bahwa dakwah yang disampaikan kepada audiens melalui bahasa yang ringan, jelas dan mudah dipahami. Untuk sasaran dakwah yang seperti ini materi dakwah tidak perlu membutuhkan waktu yang lama, tidak berbelit-belit. Dalam hal ini pesan dakwah yang disampaikan sangat sederhana dan dapat diterima secara spontan, tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam dan mendasar. Didalam al-Qur’an kalimat ini ditemukan pada surat  al-Isra’; 28, yaitu :

Artinya : Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Allahmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.

Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya memberikan pengertian dengan mudah lagi lemah lembut.  Ayat ini terletak setelah ada perintah agar memberikan hak (bantuan) kepada keluarga dekat, orang miskin, dan musafir, serta ada larangan boros, karena boros itu adalah perbuatan setan. Orang biasanya akan minta tolong terlebih dahulu kepada keluarga dekat ketimbang kepada orang lain. Alangkah sedihnya, jika keluarga yang diharapkan membantu justru membalas dengan ucapan kasar, apalagi orang miskin dan musafir mendapat jawaban kasar tentu akan bersedih hati yang dalam.

    Sebagai asbab al-nuzul ayat ini adalah kasus yang terjadi sewaktu orang-orang dari Muzainah minta kenderaan pada Nabi yang akan digunakan untuk berperang fi sabilillah. Nabi menjawab “aku tidak mendapatkan kenderaan lagi untuk kamu”. Mendengar jawaban Nabi, orang tersebut berpaling dengan berlinang air mata dan sedih, karena mereka mengira Nabi marah, sehingga tidak diberi fasilitas untuk berperang, maka Allah menunjukki Nabi dengan turunnya ayat ini.  Kalimat قولا ميسورا ini memberi gambaran bahwa ketika shahabat meminta fasilitas untuk memperjuangkan agama Islam, bukan untuk kepentingan pribadi, namun dalam menjawab kekecewaan tersebut, Allah memberi petunjuk kepada Nabi untuk tidak menolak permintaan mereka dengan kasar, apalagi orang yang hanya semata-mata untuk memenuhi keperluan pribadinya. Ayat di atas sejalan dengan ayat 10 surat al-Dhuha (93/11), yaitu untuk tidak mengulurkan tangan dan menghardik orang lain. Dengan demikian jelas bahwa kalimat qaulan maisuran adalah suatu istilah al-Qur’an dalam menuntun melakukan bicara sebagai sebuah metode dakwah dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti dan melegakan perasaan para audiensnya.

d. Qaulan Laiyinan

    Kata لـينا berasal dari akar kata لان  يلين  لينـا  ليانا  ولينة  yang berarti; lemah lembut atau ramah. Atau, ضد الخـشونة  yaitu lawan dari kasar.  Secara istilahan qaulan laiyinan ialah perkataan dengan kalimat yang simpatik, halus, mudah dicerna dan ramah, agar berbekas pada jiwa, berkesan serta bermanfaat.
Pada pengertian di atas terdapat adanya unsur persuasif dalam menyampaikan materi dakwah kepada lawan bicara. Cara seperti ini dari awal terkesan membawa image positif bagi lawan bicara, sehingga ia memperhatikan dan mendengarnya dengan baik dan serius. Kesan lebih jauh dalam penggunaan kalimat ini tertuju kepada orang yang lebih berpengaruh dalam suatu komunitas masyarakat.

Kalimat laiyinan didalam al-Qur’an ditemukan pada surat Thaha : 44 (20/45), yaitu : surat Thaha; 44, yaitu :

Artinya : maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Ayat di atas memberi isyarat kepada Nabi Musa dan Harun, untuk menemui raja Fir’aun dalam upaya menyampaikan kebenaran ayat-ayat Allah, karena perlakuannya dalam masyarakat telah benar-benar melampaui batas. Ayat ini juga sekaligus memotifasi Musa dan Harun, agar keduanya mampu menghadapi orang kejam dan sadis tersebut. Untuk itu Allah menjamin keduanya untuk tidak khuwatir, karena Allah berada bersama keduanya. “ Aku mendengar dan melihat (QS. Thaha : 46 (20/45). Dengan adanya jaminan Allah, maka Musa dan Harun pergi melakukan dakwah kepada Fir’aun dengan memakai bahasa yang lemah lembut. Kalaupun sebanarnya Allah bisa dan mampu memaksakan keinginanNya untuk memerintahkan Rasulnya untuk berkata kepada raja yang zalim itu dengan intruktif dan keras, namun hal itu bukan cara berbicara yang terbaik dalam mencapai hasil kepada seseorang, apalagi terhadap orang yang berkuasa penuh. Artinya Allah menyuruh Musa dan Harun agar mampu menyampaikan ajaran Islam kepada raja yang zalim dengan cara lemah lembut. Nampaknya inilah seni bicara dakwah efektif yang di bawa Islam kepada umat ini. Berbicara dengan lemah lembut tanpa emosi, caci maki dan melecehkan orang lain, kesannya membawa komunikasi yang efektif dalam berdialog, tentu akan jauh lebih efektif jika metode ini dipergunakan terhadap orang-orang yang lemah pula.

e. Qaulan Balighan

    Secara etimologis, kata بليغا  berakar dari kata; بلغ  يبلغ  بلوغا  بليغا  bentuk jamaknya  بلغا   berarti صارا او كان فصيحا  yaitu : ucapan yang fasih sampai kepada yang dimaksud. Atau diartikan dengan ringkas dengan makna sampai, yaitu jika sesuatu perkataan telah sampai kepada orang lain, maka ia akan berbekas pada hati, sebagai mana diungkap oleh Zamaksyari; قولا بليغا : هو قول مؤثر فى قلو ب يغتم به اغتماما ويستشعر منه الخوف استشعارا  (Perkataan yang membekas di hati yang sebelumnya tertutup hingga menimbulkan kesadaran yang mendalam).  Lebih jauh Sayyid Qutb mengemukakan bahwa qaulan balighan adalah perkataan yang lansung menggugah jiwa dan melekat secara lansung di hati.

    Pengertian di atas memberi titik fokus kepada kata “ sampai” yang korelatif dengan “berbekas”. Keduanya terkesan sangat terkait saat memberikan metode maw’izhah dalam bentuk qaulan balighan, yaitu ungkapan yang sampai kepada maksud yang dituju serta memberi bekas mendalam dilubuk hati para lawan bicara. Bentuk ini menyingkap kegelapan yang menutupi hati dan akan menerima kebenaran  yang disampaikan kepadanya.    

Kata qaulan balighan terdapat dalam surat al-Nisa’ : 63 ( 04/92), yaitu :

Artinya : Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.

 Istilah ini dipergunakan dalam berbicara atau menyampaikan pesan kepada orang lain dengan perkataan yang mengena sampai pada sasaran. Ayat ini menggambarkan prilaku orang munafik sewaktu mereka diajak untuk mematuhi hukum Allah Swt. Namun mereka menghalangi orang lain untuk mematuhi ajaran Islam tersebut. Karena memang begitu tipologi yang mereka anut, jika mereka mendapat musibah atau penderitaan karena perbuatannya, maka mereka datang memohon perlindungan atau bantuan kepada Allah. Untuk menghadapi prilaku masyarakat yang seperti ini sangat diperlukan mempergunakan bentuk metode ini, yaitu memberi pelajaran dan peringatan dengan bahasa yang mengena sampai kelubuk hatinya yang dalam. Sebab orang-orang munafik lebih berbahaya dalam Islam, ketimbang orang-orang kafir yang jelas-jelas kekafirannya. 

Latar belakang turun ayat ini adalah pada suatu ketika terjadi pertengkaran antara laki-laki dari kalangan Anshar dengan pria Yahudi. Untuk menyelesaikan masalah, pria Yahudi menawarkan agar persengketaan dihadapkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai hakim, karena ia yakin bahwa Nabi pasti akan berlaku adil. Namun pria Anshar menolak, karena ia merasa berada di pihak yang salah. Bahkan ia menuntut supaya permasalahan ini dihakimi oleh Ka’ab bin Asyraf seorang tukang sihir. Kejadian ini melatar belakangi turunnya Q.S. al-Nisa’ 60 dan ayat 63 di atas.  Peristiwa di atas pria Anshar lari dari ketentuan agama dan mencari-cari celah buat keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Oleh karenanya menghadapi orang munafik diperlukan mengimbanginya dengan bahasa yang sarat makna, tajam lagi membekas pada hatinya, agar provokasinya yang buruk dapat terpatahkan, sehingga tidak menular kepada orang lain.

Ayat 63 surat al-Nisa’ di atas mempunyai relevansi dengan ayat sebelum dan sesudahnya  dengan tema utama “dasar-dasar pemerintahan” (al-Nisa’; 58-70), yaitu mencakupi sifat amanah, perintah mematuhi pemimpin, berhukum pada hukum Allah, kehati-hati terhadap orang-orang munafik. Maka bentuk ini sangat dibutuhkan oleh seorang pemimin terutama dalam menghadapi kaum munafik.

    Memperhatikan bentuk metode dakwah maw’izhah al-hasanah melalui qaulan balighan, nampaknya sangat relevan dengan tipologi orang munafik. Untuk itu diperlukan komunikasi/pembicaraan yang bisa menembus dan menggugah jiwanya atau menyentuh perasaannya dengan tepat. Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mengesankan atau membekas pada hatinya. Sebab jiwa munafik dihatinya banyak dusta, khianat, bohong, mungkir janji. Jika jiwanya tidak tersentuh dengan tepat dan jelas, maka sulit untuk menundukkannya. Kalimat qaulan balighan adalah gaya bahasa al-Qur’an yang bertujuan mengetok jiwa yang kesat dan kasar, kepada jiwa yang dapat menerima kebenaran sehingga akhirnya dapat merubah tingkah laku umat kepada jalan yang diredhai Allah Swt.

f. Qaulan Sadidan

    Dari tinjauan semantik, kata سديدا berakar dari kata ( سـد, يسد, سديدا) yang berarti ( اغلاق الخلل وردم الثلم ) yaitu menutupi aib dan memperbaiki yang retak atau ( الصواب من القول) yaitu semua perkataan yang benar.  Secara terminologis, sadidan adalah kalimat لااله الاالله dengan makna الصدق perkataan yang jujur. Atau mengartikan dengan الصواب وكل الحق   yaitu :ucapan yang benar dan segala sesuatu yang hak.  Lebih jauh Muhammad Hasan al-Hamsyi, merumuskan :  قولا صادقا يراد به الوصول الى الحق مستقيما لاأعواج فيه ولا انحراف ( Perkataan yang jujur dengan oreantasi mencapai kebenaran, konsisten tanpa penyelewengan ataupun penyimpangan).

Didalam al-Qur’an Allah Swt. kata ini ditemukan pada dua surat, yaitu al-Nisa’ ayat 9, dan surat al-Ahazab ayat 70, yaitu : 

Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Surat al-Ahzab 70, yaitu :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.

    Terma yang diungkap oleh al-Qur’an pada surat al-Nisa’; 9 adalah menyangkut dengan harta anak yatim, yaitu mengenai hak-hak warisan, larangan memakan harta anak yatim, pembahagian harta warisan dan ancaman terhadap orang yang durhaka kepada hukum Allah Swt. Oleh karenanya ayat 9 ini memberi isyarat wajib berkata benar kepada lawan bicara agar tidak terjadi generasi yang terkontaminasi oleh cara-cara yang tidak benar dilakukan oleh generasi sebelumnya. Bila cara-cara tidak benar itu masih tetap subur, maka akan muncul para generasi yang lemah dikemudian hari. Walaupun ayat ini tertuju kepada anak yatim, namun lapangan qaulan sadidan, tetap universal, termasuk cara menyampaikan pesan kepada orang lain, yaitu perkataan yang benar. Karena sangat boleh jadi ada peluang untuk menyeleweng dari perkataan yang tidak benar, bohong dan penipuan. Untuk itu da’i tidak ada istilah basa basi sekalipun yang disampaikan itu pahit. Dalam hal ini Rasyid Ridha, memberikan spesifikasi ayat ini bahwa qaulan sadidan harus senergik dengan metode qaulan ma’rufan, yaitu disampaikan melalui cara yang ma’ruf. Lebih jauh menjaga perasaan orang lain diseputar pembahagian harta warisan. Sehingga para generasi penerus harta warisan itu tidak terobsesi dengan kehidupan serba materi,  walupun kenyataan ini telah berubah dari wacana spritual menjadi material. Dalam menyampaikan materi dakwah seputar harta warisan, diperlukan qaulan sadidan, sehingga kekhuatiran akan efek negatif dalam membina kader bangsa yang potensial terwujud sebagaimana mestinya.

    Sedangkan terma pada surat al-Ahzab; 70 adalah taqwa kepada Allah membawa kepada kebaikan amal dan ampunan dosa. Konteks ayat ini memberi koreksian kepada diri, agar menghindari perbuatan menyakiti hati orang lain, selalu dalam posisi yang benar dan menunjukkan ketaatan dalam beribadah. Da’i bila telah terkesan menyakiti orang lain, niscaya kebenaran yang ia sampaikan dilecehkan orang. Untuk membuktikan benar-tidaknya suatu pesan yang disampaikan, sangat terkait dengan ketaatannya dalam beramal. Ketaatan dalam berbuat itu suatu cara membawa orang lain kepada Islam.


DAFTAR RUJUKAN

         Abdul Munir Mulkhan, “Ilmu Dakwah Diam dalam Gugatan,” dalam Mingguan Misi, Yogyakarta: IAIN Wali Songo Press, 1995      

                Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1389 H/1969M).

  Abî Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Aiy al-Qur’ân, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al Halabi wa Auladuh, 1968)

  Abî Qâsim Jâr Allâh Mahmud bin Umar al-Zamakhsyarî al-Khawârizmî, Al-Kasysyâf ‘an-Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyun al-Aqâwîl Fî Wujuh al-Ta’wîl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983)

                Abu Bakar Zakaria, al-Da’wah ila al-Islam, (Mesir: Dâr al-’Urulah,  tt)

 Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir: Musthafâ al-Babi al-Halabi wa Auladuh,1963)
                Alî Mahfuzh, Hidayah al-Mursyidîn,: (Mesir: Dâr al-Kitab al-’Arabî, 1952)

  Ali al-Jarim & Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wâdihah, (Jakarta; CV. Sa’adiyah Putra, Tth)

 Al-Imâm Abî al-Hasan Alî ibn Ahmad al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzul (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, 1991)
               Amin Rais,  Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996)

         Amrullah Achmad, “Dakwah dan Perubahan Sosial” (editor), (Yogyakarta, PLP2M, 1985)

                Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

Ibn Katsîr, Isma’il, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr   Ihya al-Turâts al-’Arabî, 1388/1969)
 Ibn Manzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Shadir, 1990)

               Ibrâhîm Mushthafâ, Ahmad Hasan al-Zayât, Hamid Abd al-Qadir dan Muhammad ‘Alî al-Najîr, al-Mu’jam al-Wasîth, (Istambul-Turki: Dâr al-Dakwah, 1989)

 Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1996)

                M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, (Beirut: Dâr al-Fikr, T.t)
                Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1973)

       Mochtar Husein, Dakwah Masa Kini, (Ujung Pandang: Nuhiyah, 1986)

  Moh Ali Aziz, Cs, Dakwah Pemberdayaa Masyarakat Paradigma Aksi Metodologi, Pustaka Pesanteren, Yogyakarta, 2005)

               Muhammad Abu Zahrah, al-Da’wah ila al-Islam, (Ttp.Dar al-Fikr al-’Arabi, tt). h. 21

                   Muhammad al-Bahi al-Khuli, Tazkirah al-Du’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1952),
       Muhammad Fu’âd ‘Abd. al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâzh al-Qur’ân, (Beirut, Dâr al-Ma’rifah, 1992)

  Muhammad Hasan al-Hamsyi, Mufradât al-Qur’ân Tafsîr wa Bayân, (Damascus, Beirut: Dâr al-Râsyid, Tt.)

         Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, Pengantar Ilmu Dakwah (selanjutnya disebut Pengantar) (Aceh, IAIN Ar--Raniri,1984-85)

                Said Hawa, Al-Asâs Fî al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Salâm, 1993)
  Salmadanis, Bentuk-bentuk Metode Dakwah Dalam al-Qur’an, Dalam Majalah Ilmiah Turats, Nomor; 10, Volume VII, 1996

   ---------------,  Surau di Era Otonomi, The Minangkabau Foudation, Jakarta, 2001
      --------------,  Al-Da’i dan Identitasnya, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2002
      --------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2001
      --------------, Filsafat Dakwah, IAIN “IB” Press,  Cet. I. Padang,  1999
      --------------, Intervensi Politik Menanggulangi Kemungkaran, Nuansa Madani, Jakarta,  1999
      --------------, Mengantar Usahawan Ke Pintu Surga Melalui Pemahaman Nilai-nilai Tauhid Dalam Berusaha, Nuansa Madani, Jakarta, September 2001
      --------------, Prinsip Dasar Metode Dakwah,  The Minangkabau Foundation, Jakarta, 2000
       --------------, Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Cet. II. Jakarta, 2002
       --------------. Amar Ma’ru Nahi Mungkar dan Politik Perspektif Ad. Jabbar, Nuasa Madani, Jakarta, 2002
       --------------, Metode Dakwah Perspektif al-Qur’an, The Minangkabau Foundation, Jakarta. 2002
       --------------, Adat Basandi Syarak; Norma dan Aplikasinya Menuju Kembali ke Nagari dan Surau, PT. Kartika Insan Lestari, Jakarta, 2003

   Sayyid Qutb,  Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Syuruq, 1971)
   Siti Rugayah Hj. Tibek & Salasiah Hanin Hamjah, Dakwah dan Pembangunan Masyarakat, Fakulti Pengajian Islam, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi – Malaysia, 2005

           Syakirman M. Noor, “Urgensi Filsafat Ilmu dalam Meningkatkan Mutu Kesarjanaan IAIN” dalam al-Ta’lim (Jurnal-Padang Fakultas Tarbiyah IAIN IB) 1998

   Yulizal Yunus, Sastra Islam di Indonesia, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeik Bayang, IAIN – IB Press, 1999

           Yuyun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta, Sinar Harapan, 1990)

          --------------, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Gramedia, 1994)
   Zulkiple Abd. Ghani & Mohd.Syukri Yeoh Abdullah, Dakwah dan Etika Politik di Malaysia, Utusan Publications & Distributors SDN Bhd, Kuala Lumpur, 2005



0 Comment