15 November 2012


QURBAN, AKIKAH DAN KHITAN

Kurban wajib bagi orang yang mampu atau berkecukupan tapi bila tidak melaksanakan kurban, Nabi Muhammad SAW mengingatkan : "Barang siapa yang sudah mampu dan mempunyai kesanggupan tapi tidak berkurban, maka dia jangan dekat-dekat kemushallahku." Hadis tersebut merupakan sindiran bagi orang-orang yang mampu dan banyak harta tapi tidak mau berkurban.
Sejarah qurban itu dibagi menjadi tiga, yaitu : zaman Nabi Adam As; zaman Nabi Ibrahim As; dan pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Pertama pada zaman Nabi Adam As. Qurban dilaksanakan oleh putra-putranya yaitu bernama Qabil dan Habil. Kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok peternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk qurban.

Ketika keduanya melaksanakan qurban, ternyata yang habis adalah qurban yang dikeluarkan oleh si Habil sementara buah-buahan yang dikeluarkan si Qabil tetap utuh, tidak berkurang. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27 : "Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata : "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil " Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".

Kurban si Habil di terima Allah SWT karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan dikeluarkan dengan tulus dan ikhlas. Sementara si Qabil mengeluarkan sebagian harta yang jelek-jelek dan terpaksa. Oleh karena kurban tidak diterima Allah. Akhirnya si Qabil menaruh dendam kepada si Habil. Berawal dari perebutan calon istrinya, dimana peraturan waktu itu dengan sistem silang.

Kedua, pada zaman Nabi Ibrahim As. Dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Ash-Shafaat ayat 100-111 yang menceritakan mengenai qurban dan pengorbanan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun beliau belum juga dikaruniai putra oleh Allah dan beliau selalu berdoa: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang saleh" (Q.S. 37:100)

Kemudian dari istrinya yang kedua yakni Siti Hajar yang dinikahinya ketika Nabi Ibrahim mengadakan silaturahmi ke Mesir (setiap kedatangan pembesar diberi hadiah seorang istri yang cantik oleh pembesar Mesir). Dari Siti Hajar lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Islam, ia lahir di tengah-tengah padang pasir tersebut. Bahkan kemudian dikenal dengan Mekkah.

Pada saat Nabi Ibrahim diberi petunjuk oleh Allah, agar meninggalkan istrinya Siti Hajar dengan seorang putranya yang dari lahir dan ia disuruh menemui istrinya yang pertamanya yakni Siti Sarah yang berada di Yerussalem kota tempat Masjidil Agsho. Beliau meninggalkan beberapa potong roti dan sebuah guci besiris air untuk Siti Hajar dan Ismail.

Pada waktu Siti Hajar kehabisan makanan dan air, ia melihat disebelah timur ada air yang ternyata adalah fatamorgana yaitu di Bukit Sofa. Di situ Ismail ditinggalkan dan Siti Hajar naik Kebukit Marwah serta kembali ke Sofa sampai berulang tujuh kali, tapi tidak juga mendapatkan air sampai ai kembali ke Bukit Marwah yang terakhir. Ia merasa khawatir terhadap anaknya barangkali Ismail kehausan dilihat kaki Ismail bergerak-gerak diatas tanah dan tiba-tiba keluar air dari dalam tanah. Siti Hajar berlari kebawah sambil berteriak kegirangan :"zami-zami?" itulah kemudian menjadi sumur Zam-Zam itulah kemudian menjadi sumur Zam-zam. Di situlah Siti Hajar dan Nabi Ismail di padang pasir yang kering kerontang yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim dan ditempat itulah Allah SWT. Menetapkan sebagai tempat ibadah haji.

Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Hajj : 27 : "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan Haji, niscaya akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai onta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh".

Memang sudah disiapkan oleh Allah, disana tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada gunung berapi yang menyebabkan ada sumber kehidupan tapi atas kehendak Allah maka jadilah sumur "Zam-zam"."Nabi Ismail ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim yang berada di Yerusalem sampai Nabi Ismail menjelang remaja. Kemudian di Yerusalem ternyata Siti Sarah hamil yang melahirkan seorang putra yang diberi nama Iskhak. Nabi Ibrahim diperintahkan lagi oleh Allah untuk kembali ke Mekkah untuk menengok istri dan anaknya yang pertama yaitu Nabi Ismail, yang rupanya sudah mulai besar. Dalam suatu riwayat kira-kira berusia 6-7 tahun. Sejak dilahirkan sampai besar itu Nabi Ismail menjadi kesayangan. Tiba-tiba Allah memberi ujian kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ash Shaffaat : 102 : "Maka tatkala sampai (pada usia sanggup atau cukup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata : Hai anakku aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pemdapatmu " Ia menjawab: "hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Asbabun Nujul atau latar belakang sejarahnya ketika nabi Ibrahim bermimpi (ruyal Haq). Dalam impiannya ia mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Nabi Ismail dan sampai di Mina beliau menginap, beliau mimpi yang sama. Demikian juga ketika di Arafah malamnya di Mina, masih bermimpi yang sama juga. Betapa ujian Berat kepada Nabi Ibrahim as. Supaya menyembelih putra kesayangannya. Itulah yang dijelaskan dalam surat Ash-Shaffaat ayat 102.

Setelah terjadi dialog dengan putranya. Ibrahim mengajak putranya Nabi Ismail, kira-kira antara ratusan meter dari tempat tinggalnya (Minah), baru lebih kurang 70-80 meter berjalan, setan menggoda istrinya Siti Hajar: "Ya Hajar! Apakah benar suamimu yang membawa parang akan menyembelih anakmu Ismail yang sedang tumbuh dan menggemaskan itu?". Akhirnya Siti Hajar, sambil berteriak-teriak: "Ya Ibrahim, ya Ibrahim mau dikemanakan anakku?" Tapi Nabi Ibrahim tetap melaksanakan perintah Allah SWT, ditempat itulah dimana pada tanggal 10 bulan Dzulhijjah bagi jemaah haji disuruh melempar batu dengan membaca : Bismillahi Allahu Akbar. Hal tersebut mengandung arti bahwa kita melempar setan atau sifat-sifat setan yang ada di dalam diri kita. Akhirnya tibalah mereka di Jabal Qurban kira-kira 200 meter dari tempat tinggal Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat ASH-Shaffaat ayat 103-107: "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik". Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar ".

Dan yang ketiga, dalam Zaman Nabi Muhammad SAW. Masalah kurban diceritakan kembali yaitu di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3 "Se-sungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus".

Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan: "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah dapat kamu mengitungnya" (QS:Ibrahim: 34). Oleh karena itu berkaitan dengan ibadah kurban yang sudah ada sejak Nabi Adam, Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. Allah berfirman: "Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah", Sholat merupakan hubungan vertikal dengan Allah untuk mensyukuri nikmat Allah. Hubungan antara sesama manusia secara horisontal diwujudkan bahwa setelah shalat Idul Adha yaitu dengan berkurban memotong hewan ternak berupa kambing atau sapi untuk dibagikan kepada fakir miskin.

A.    Qurban
1.    Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi'il madhi) - yaqrabu (fi'il mudhari') - qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri.
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya.

Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00.

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah.

2.    Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi'i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, "Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji."

Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza'i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah).

Ukuran "mampu" berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban.

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

•    "Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah." (TQS Al Kautsar : 2)
•    "Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah." (HR. At Tirmidzi)
•    "Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian." (HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi "wanhar" (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi'li). Sedang hadits At Tirmidzi, "umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum" (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni "kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum" (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi'li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau.

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :
"Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih).

Perkataan Nabi "fa laa yaqrabanna musholaanaa" (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu untuk mendekati tempat sholat Idul Adhha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii') seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

"Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya."

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, "Ini milik Allah," atau "Ini binatang qurban."

3.    Keutamaan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :
"Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban." (HR. At Tirmidzi).

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, "Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama."

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :

"Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. ."

4.    Waktu dan Tempat Qurban
a.     Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :

"Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam." (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW :

"Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi'i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama.

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

b.     Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan.

5.    Hewan Qurban
a.     Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban. Allah SWT berfirman :

"...supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an'am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an'aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain.

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

b.     Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin.

c.    Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun.

d.    Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan.

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :

1.    yang nyata-nyata buta sebelah,
2.    yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3.    yang nyata-nyata pincang jalannya,
4.    yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5.    yang tidak ada sebagian tanduknya,
6.    yang tidak ada sebagian kupingnya,
7.    yang terpotong hidungnya,
8.    yang pendek ekornya (karena terpotong/putus) ,
9.    yang rabun matanya.

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu'ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

6.    Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a'lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW :

"Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

7.    Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

1. Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa "Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii'ul ‘aliim." (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

2. Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

3. Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : "Bismillaahi Allaahu akbar." (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir "Allahu akbar!")

4. Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : "Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ..." (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari....)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu.

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

1. Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi'i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim.

2. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih. Telah diterangkan sebelumnya.

3.  Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).

4. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan).

8. Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti. Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :

"Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah." (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah.

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib.

Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya.

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat dari tempat penyembelihan.

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim.

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban. Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :

"...(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban)." (HR. Bukhari dan Muslim).

Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir.

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama. Dalilnya sabda Nabi SAW :
"Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya.. ." (HR. Ahmad).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza'i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,"Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?"

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami-- larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.

B.    Akikah

1.    Pengertian Akikah

Aqiqah berasal dari kata aqqa yang artinya memotong atau membelah. Ada yang mengungkapkan bahwa aqiqah artinya rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak lahir. Ada lagi mengartikan bahwa aqiqah ialah nama kambing yang disembelih untuk kepentingan bayi.

Adapun dalil yang menyatakan, bahwa kambing yang disembelih itu dinamakan aqiqah antara lain adalah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bazzar dari Atha’, dari Ibnu Abbas secara marfu’ :
Bagi seorang anak laki-laki dua ekor aqiqah dan seorang anak perempuan seekor.”
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan aqiqah – di-Indonesiakan menjadi akikah – adalah serangkaian ajaran Nabi SAW untuk anak yang baru lahir yang terdiri atas mencukur rambut bayi, memberi nama, dan menyembelih hewan.

2.    Hukum, Waktu dan Hikmah

Hukum akikah (Aqiqah) adalah sunnah mua’kkad. akikah (Aqiqah) adalah kambing yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Buraidah bahwa Nabi Saw telah mengakikahkan Hasan dan Husain.

Hukum akikah (Aqiqah) tidak wajib, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman ibn Abu Sa'id dari ayahnya bahwa Nabi Saw pernah ditanya tentang akikah (Aqiqah), kemudian beliau bersabda, "Aku tidak menyukai al-'uquq (akikah). Siapa di antara kalian hendak menyembelih untuk anaknya, maka hendaknya ia melakukannya."

Dalam hadis ini, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa beliau tidak suka (al-'uquq) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akikah itu tidak wajib karena akikah adalah menyembelih kambing tanpa sebab jinayah (tindak kriminal) dan tanpa sebab nazar.

Waktu utama aqiqah adalah hari ke-7 kelahiran, kemudian hari ke-14 kelahiran, kemudian hari ke-21 kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat hari kelipatan tujuh. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hambali, namun dinilai lemah oleh ulama Malikiyah. Jadi, jika aqiqah dilaksanakan sebelum atau setelah waktu tadi sebenarnya diperbolehkan. Karena yg penting adalah aqiqahnya dilaksanakan.

Aqiqah asalnya menjadi beban ayah selaku pemberi nafkah. Aqiqah ditunaikan dari harta ayah, bukan dari harta anak. Orang lain tidak boleh melaksanakan aqiqah selain melalui izin ayah.

Imam Asy Syafi’i mensyaratkan bahwa yang dianjurkan aqiqah adalah orang yang mampu. Apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka aqiqah menjadi gugur, walaupun nanti beberapa waktu kemudian orang tua menjadi kaya. Sebaliknya apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan kaya, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi anaknya meskipun anaknya sudah dewasa.

Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Perhitungan hari ke-7 kelahiran, hari pertamanya dihitung mulai dari hari kelahiran. Misalnya si bayi lahir pada hari Senin, maka hari ke-7 kelahiran adalah hari Ahad. Berarti hari Ahad adalah hari pelaksanaan aqiqah. Pendapat yang menyatakan, “Jika seseorang anak tidak diaqiqahi, maka ia tidak akan memberi syafaat kepada orang tuanya pada hari kiamat nanti”, ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ibnul Qayyim. [Keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin lainnya. Demikian pembahasan ringkas mengenai aqiqah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.

3.    Amalan baik yang dilakukan ketika anak baru lahir

1.  Disunnahkan (mandub) ber-adzan ditelinga kanan seorang bayi ketika dilahirkan, sebagaimana juga disunnatkan untuk ber-iqomat di telinga kirinya.

2. Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata, “Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut).” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)

Dari hadist di atas dapat di taik kesimpulan bahwa ketika anak baru di lahirkan disunnahkan mentahniknya, yakni mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi.

C.    Khitan

1.    Pengertian Khitan

Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa Arab khatana ( ختن ) yang berarti “memotong”. Dalam ensiklopedi islam kata khatana berarti memotong atau “mengerat”. Menurut Ibnu Hajar bahwa al Khitan adalah isim masdar dari kata khatana yang berarti “memotong”, khatn yang berarti “memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus pula”. Kata “memotong” dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus. Maksudnya, bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus dipotong. Secara terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari najis. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdullah Nasih Ulwan, khitan adalah “memotong yaitu tempat pemotongan penis, yang merupakan timbulnya konsekuensi hukum-hukum syara’”.

Sementara Imam Al Mawardi mendefinisikan khitan sebagai berikut :

“Khitan adalah pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (khasafah), yang baik adalah mencakup memotongan pangkal kulit dan pangkal kepala penis (khasafah), minimal tidak ada lagi kulit yang menutupinya”.

2.    Hukum dan Hikmah

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa khitan telah disyariatkan agama. Mereka mengatakan hukum khitan wajib sedang yang lain mengatakan sunnah. Sehubungan dengan hal itu, maka perlu dipelajari masing-masing pendapat tersebut baik yang mengatakan wajib maupun yang sunnah.

a.    Hukum Wajib

Asy-Syafi’i mengatakan bahwasanya khitan hukumnya wajib, dengan alasan:

1. Nabi diperintahkan mengikuti syariat Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl ayat 123) dan salah satu syariatnya adalah khitan.
2. Sekiranya khitan tidak wajib, mengapa orang yang dikhitan membuka aurat yang diharamkan.
3. Imam Nawawi berpendapat ini adalah pendapat shahih dan masyhur yang ditetapkan oleh Syafi’i dan disepakati oleh sebagian besar ulama. Dalil yang menyatakan pendapat ini adalah firman Allah SWT. : 

ثم اوحينا اليك ان اتبع ملة ابراهيم حنيفا

Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad) : “ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif. (QS. An-Nahl : 123).

Menurut ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim AS. Hal ini menunjukkan bahwa segala ajaran beliau wajib kita ikuti, misalnya melaksanakan khitan. Orang yang kulufnya tidak dikhitan itu bisa membatalkan wudhu dan shalatnya. Qulfah yang menutupi dzakar secara keseluruhan bisa menghalangi air untuk membersihkan sisa air kencing yang masih menempel didalamnya.

Atas dasar itu maka benyak diantara ulama’ salaf dan khalaf melarang menjadikan orang yang tidak dikhitan sebagai imam. Ulama lain yang mengatakan khitan wajib adalah Imam Malik dan Imam Hambali, mereka berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah menjadi imam dan tidak diterima syahadatnya.17 Jadi, begitu wajibnya khitan sehingga orang yang tidak dikhitan tidak bisa menjadi imam.

Dalam kitab Al Majmu’ diungkapkan mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum khitan adalah wajib. menurut Al Khitabi, Ibnul Qayyim berkata bahwa hukum khitan adalah wajib, selain itu Imam Al Atha’ berkata “Apabila orang dewasa masuk Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum dikhitan”.

Ada beberapa hal yang mereka jadikan alasan kenapa khitan itu wajib, antara lain:

1. Khitan adalah perbuatan memotong sebagian dari anggota badan. Seandainya tidak wajib, tentu hal ini dilarang untuk melakukannnya sebagaimana dilarang memotong jari-jari atau tangan kita selain karena hukum qisas.

2. Memotong anggota badan akan berakibat sakit, maka tidak diperkenankan memotongnya kecuali dalam tiga hal, yakni : demi kemaslahatan, karena hukuman (qishas)dan demi kewajiban. Makapemotongan anggota badan dalam khitan adalah demi kewajiban.

Khitan hukumnya wajib karena salah satu bentuk syiar Islam yang dapat membedakan antara muslim dan non muslim. Sehingga ketika mendapatkan Jenazah ditengah peperangan melawan non muslim, dapat dipastikan sebagai jenazah muslim jika ia berkhitan. Kemudian jenazahnya bisa diurus secara Islam.

b. Hukum Sunnah

Apabila diamati kebiasaan masyarakat, ada yang mengistilahkan khitan ini dengan istilah “sunnat”. Hal ini menunjukkan bahwa hukum khitan adalah sunnah.20 Pendapat ini merupakan pengikut Imam Hanafi. Alasan mereka yang berpendapat bahwa hukum khitan sunnah adalah sebagai berikut :

a. Adanya Hadits riwayat Baihaqi

عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال :الختان سنة للرجال مكرمة للنساء.

Dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW., bersabda : “Khitan itu sunnah untuk laki-laki dan mukarramah bagi kaum perempuan “(HR. Al Baihaqi).

b. Adanya Hadits masalah fitrah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah

عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:الفطرة خمس: أوخمس من الفطرة : الختان و الاستحداد و تقليم الاطفار و نتف الإبط وقصى الشارب

Dari abu hurairah ra berkata : “Rasulullah SAW. bersabda: “fitrah itu ada lima macam : atau lima macam dari fitrah : yaitu berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong kumis. (HR. Ibnu Majjah).
Dalam hadis tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan memotong kumis, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan dan memotong kuku sehingga khitan bukan perkara wajib.

c.    Khitan termasuk salah satu bentuk syiar Islam dan tidak semua syiar Islam itu wajib.

Dari berbagai pendapat tersebut, penulis cenderung untuk mengikuti pendapat yang mengatakan khitan hukumnya wajib, sebab dalil-dalil yang mewajibkannya sangat kuat dan shahih. Apalagi dalam praktek khitan aurat harus terbuka, orang lain yang mengkhitan jelas melihatnya bahkan memegangnya, padahal semacam itu diharamkan dalam hukum Islam. Jika bukan karena hukumnya wajib, tentu hal itu tidak diperbolehkan karena menutup aurat hukumnya wajib.24 Argumen lain bahwa khitan dikaitkan dengan adanya pelaksanaan ibadah, misalnya shalat yang mensyaratkan kesucian badan, tempat dan pakaian.

3.    Hikmah Khitan
a.    Nilai Keimanan

Khitan adalah sebaik-baik syariat yang Allah SWT. turunkan kepada hamba-Nya  arena mengandung hal yang baik dalam bidang lahir dan batin. Ia adalah pelengkap fitrah (keimanan) yang diciptakan Allah SWT. Untuk manusia. Asal syariat khitan adalah menyempurnakan agama. Sebagaimana ibadah-ibadah lain, inti dari khitan adalah iman. Dengan kata lain, khitan merupakan institusi atau perwujudan iman seseorang. Iman memiliki dimensi spiritual yang dapat diwujudkan dalam tindakan melalui ibadah.

Khitan mengandung hikmah yang bersifat intrinsik sebagai pendekatan (Taqarrub) kepada Allah SWT.49 Pada mulanya khitan dijadikan sebagai identitas keagamaan, ketika Allah SWT berjanji kepada Nabi Ibrahim AS, bahwa Dia akan menjadikan Ibrahim sebagai pemimpin dan menjadikan keturunan Ibrahim sebagai raja dan Nabi, serta akan memberikan tanda khusus pada dia dan keturunannya. Tanda khusus itu adalah dikhitannya setiap anak yang lahir. Khitan merupakan indikator masuknya seseorang kedalam agama Nabi Ibrahim AS.50 hal ini sesuai dengan takwil QS. Al-Baqarah ayat 138.

 صبغة الله ومن احسن من الله صبعة ونحن له عبدون

“Shibghah Allah dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah ? dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah. (QS. Al-Baqarah : 138).

Dalam ayat di atas, shibghah artinya celupan52. Shibghah Allah artinya celupan Allah yang berarti iman kepada Allah SWT., tidak disertai kemusyrikan. Allah SWT. mencelup hamba-Nya menjadi orang yang beriman melepas mereka dari kekafiran dan kemusyrikan. Allah SWT. Menjadikan khitan sebagai ciri suatu umat juga sebagai simbol agama dan syariatnya. Khitan merupakan salah satu ujian yang diberikan Allah pada Nabi Ibrahim AS. Ketika beliau bisa menjalani ujian tersebut maka beliau menjadi pemimpin (imam) bagi manusia. Nabi Ibrahim AS diuji oleh Allah berkhitan, walaupun beliau berumur 80 tahun Nabi Ibrahim tentu tidak akan berkhitan dalam usia yang begitu lanjut jika hal itu bukan karena perintah

Allah SWT. Tanpa dasar iman yang kuat dia tidak akan melakukannya.
Seperti hadits Nabi SAW. :

عن ابي هريرة قال: قال رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : إختتن ابراهيم النبى عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم) رواه ومسلم (

“Dari Abu Hurairah berkata ; Rasulullah SAW. bersabda : “Nabi Ibrahim as. berkhitan pada usia 80 (delapan puluh) tahun dengan menggunakan qadum”. (HR Muslim).

Ibnu Hajar berkata, Nabi ibrahim AS diperintahkan berkhitan dalam usia 80 tahun. Beliau segera melaksanakan perintah itu dengan menggunakan kampak, tetapi ternyata menimbulkan penyakit yang agak parah. Beliau berdo’a kepada Allah SWT. dan Allah menurunkan wahyu kepadanya, “sesungguhnya engkau terburu-buru berkhitan sebelum kami beritahukan alat apa yang harus engkau gunakan”. Nabi Ibrahim menjawab, “wahai Tuhanku saya tidak suka untuk menunda-nuda perintah-Mu”. Nabi Ibrahim AS tidak menunda-nunda perintah Allah SWT. Karena menunjukkan rasa keimanannya kepada-Nya, dengan melaksanakan perintah-Nya walaupun pada usia lanjut. Dia dapat menjadi contoh bagi umat Islam dalam melaksanakan perintah Allah SWT.

Bagi orang Muslim, khitan dilakukan dalam bentuk ritual yang benar-benar Islami. Di mulai dari selamatan dengan mengundang orang-orang, kemudian mengantarkan anaknya kepada tukang khitan. Semua ini dilakukan orang tua karena ia mencintai anaknya dan sebagai rasa tanggung jawab untuk mendidiknya. Bagi anak yang dikhitan akan menjadikannya lebih giat mempelajari ilmu-ilmu agama dan lebih semangat mengamalkan ajaran agama pasca khitan.

Bagi masyarakat Indonesia kebanyakan khitan dilakukan ketika anak berusia baligh. Sebagai seorang yang telah berdiri sendiri dihadapan hukum Allah SWT; ia berkewajiban berikrar syahadatain. Maka sangat perlu dalam setiap upacara khitan dibarengi dengan pengucapan syahadatain oleh anak yang dikhitan. Pengucapan ikrar syahadatain di hadapan hadirin peserta tasyakuran khitan, tentu akan membawa suasana yang lebih sakral dan lebih berkesan bagi anak yang dikhitan. Apalagi jika diisi pula dengan ceramah yang materinya mengarah pada makna syahadatain dan kewajiban anak pasca khitan. Sehingga diharapkan anak lebih menyadari keberadaan dirinya sebagai makhluk serta menyadari kewajibannya terhadap Sang Pencipta.

Imam Malik da  Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidak sah menjadi imam dan tidak sah syahadatnya. Orang yang tidak mengucapkan syahadat belum dianggap masuk Islam. Khitan menyempurnakan Islam karena ia indikator orang masuk Islam.

b.    Nilai Kesehatan

Khitan termasuk perkara yang disyariatkan Allah SWT kepada hamba-Nya demi menyempurnakan kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan fitrahnya. Banyak sekali nash-nash yang menganjurkan berkhitan berikut menjelaskan arti dan tujuannya. Diantaranya sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi :

عن ابى هريرة رضي الله عنه قال : فال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الفطرة خمس : أو خمس من الفطرة : الختان و الاستحداد و تقليم الاطفار و نتف الإبط وقصى الشارب) رواه ابن ما جه(

“Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “fitrah itu ada lima macam, atau lima dari fitrah adalah : berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong kumis”.(HR. Ibnu Majjah).

Berdasarkan keterangan di atas, khitan mendapat rangking pertama sebagai fitrah badan. Khitan termasuk ujian yang diberikan Allah kepada Ibrahim AS. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 124 yang berbunyi :

و اذ ابتلي ابراهيم ربه بكلمت فاتمهن قال اني جاعلك للناس اماما قال ومن ذريتى قال لا ينال عهدى الظالمين

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata : “(dan saya mohon juga) dari keturunanku”, Allah berfirman : “Janji-Ku (ini) tidak mengenaiorang-orang yang dhalim”. (QS. Al Baqarah: 124).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas bahwa sesungguhnya Ibrahim dicoba dengan thaharah (bersuci), diantaranya berkaitan dengan badan atau jasad dan lima perintah lainnya berkaitan dengan kepala diantaranya mencukur kumis, membersihkan hidung, berkumur, bersiwak dan merapikan rambut sedang yang di badan antara lain : memotong kuku, memotong bulu kemaluan, khitan, mencabut bulu ketiak dan membersihkan tempat keluarnya kotoran (qubul dan dubur) dengan air.

Islam telah mempertegas tentang tujuan pentingnya berkhitan, yakni untuk bersuci dan menjaga kesucian. Khitan erat kaitannya dengan pemeliharaan kebersihan kemaluan karena orang lebih mudah membersihkan kelaminnya sesudah buang air kecil.

Khitan adalah aspek penting dalam thaharah (kesucian dankebersihan) yang sangat ditekankan dalam syariat dalam Islam. Ketika kulit yang menutupi penis tidak dikhitan, maka air kencing dan kotoran yang lain dapat mengumpul di bawah lipatan kulit. Daerah ini dapat menjadi infeksi dan penyakit karena menjadi tempat pertumbuhan bakteri. Salah satu majalah kedokteran yang terbit di Inggris, yaitu “British Medical Journal” menulis bahwa sesungguhnya penderita penyakit infeksi alat kelamin dan leher rahim disebabkan oleh suami yang tidak bersih (khitan). Khitan merupakan sarana yang tepat dalam pendidikan anak, karena dapat mengajarkan kebersihan anak sejak dini. Semua ahli kelamin sepakat bahwa kulup paling disukai syphilis. Praktek khitan mengurangi terjadinya syphilis pada laki-laki sampai 25-73 %.

Khitan adalah usaha pencegahan terhadap penyakit kelamin dan ini terbukti. Penyakit ini sangat sulit dihindari bila penderita tidak dikhitan. Seorang profesor di University Of Chicago menulis sebuah artikel dalam majalah The Medical Brrains yang isinya mengakui besarnya manfaat khitan. Dia menyatakan, bahwa salah satu faktor orang Mesir Kuno mencapai kejayaan adalah karena mereka membiasakan khitan. Di khitan itu termasuk cara pencegahan menularnya semacam penyakit yang ditimbulkan oleh kutu air yang banyak terdapat di Mesir.

Ilmu kesehatan modern masih tetap berpendirian bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan. Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan hidup bersih dan teratur. Tidak heran kalau kebersihan merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW. pada pengikutnya dan dijadikan sendi dasar dalam kehidupan sehari-hari.

Khitan dipandang kaum muslimin sebagai syarat aturan kebersihan. Faedahnya untuk kebersihan alat kelamin, agar mudah dibersihkan dari sisa-sisa air seni. Orang yang tidak dikhitan tidak akan bisa bersih kelaminnya, maka dalam Islam khitan sebagai solusi agar manusia terhindar dari kotoran yang bisa mengganggu ibadahnya. Sebagaimana diketahui, bahwa khitan termasuk sunnah Nabi Muhammad SAW. dan petunjuk Nabi Ibrahim AS. Hal ini sudah cukup untuk mengatakannya sebagai keutamaan dan kemuliaan. Di samping nash-nash syariat yang shahih selalu sesuai dengan kenyataan secara ilmiyah dan teruji  bahwa khitan mempunyai nilai kesehatan. Dari berbagai kesesuaian ini perintah khitan datang dari syariat maupun dari ilmu kedoketaran.

Bagi kehidupan manusia, kesehatan jelas sangat penting terlebih bagi fisik (lahiriyah) semata, tetapi yang utama adalah kesehatan hati dan akal. Kesehatan diperlukan orang untuk ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dengan demikian tanpa tubuh sehat orang tidak akan bisa menjalankan ibadah dan dia akan merasa berat menjalankannya.

c.    Nilai Ibadah

Shalat adalah kewajiban yang mensyaratkan kesucian diri dari hadats dan najis. Sedangkan salah satu sumber timbulnya najis adalah alat kelamin (khasafah). Sementara itu, apabila khasafah masih tertutup oleh kulit (kulup) maka sisa air kencing sulit untuk dibersihkan akibatnya kewajiban shalat praktis tidak terpenuhi lantaran tidak terpenuhinya salah satu dari sekian syarat sahnya shalat.

Khitan merupakan prasyarat mutlak yang harus dilaksanakan demi terjaminnya kesucian diri dari najis dan demi sahnya shalat. Dengan demikian kewajiban shalat tidak terpenuhi tanpa khitan. Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh yang menyatakan :

مالايصل الواجب الا به فهو واجب

“Sesuatu yang menyebabkan tidak tercapainya kewajiban kecuali dengan sesuatu itu maka sesuatu itu wajib hukumnya”.

Kewajiban shalat tidak akan tercapai kecuali dengan khitan, maka khitan menjadi wajib. Kewajiban khitan berlaku bagi anak atau orang yang berakal sehat dan sudah baligh, dengan khitan anak dididik melaksanakan ibadah yang sesuai dengan perintah Allah SWT. Ibadah ritual dalam Islam seperti halnya shalat lima waktu, haji, umroh, membaca Al-Qur'an masing-masing mansyaratkan kesucian diri dari najis dan hadats. Ibadah shalat dan ibadah lain merupakan ritualitas yang dhajatkan oleh setiap muslim dalam rangka menghambakan diri pada Allah SWT.

Sebagai wujud peribadatan seorang hamba kepada sang Khaliq tentu ia yang melakukan shalat mengharap shalatnya diterima oleh-Nya. Padahal Allah SWT sendiri tidak akan menerima shalat orang yang berhadats dan bernajis. Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda:

اخبرنا معمر عن همام بن منبة انه سمع ابا هريرة يقول : قال رسول الله صل الله عليه وسلم : لا تقبل صلاة من احدث حتى يتوضا  )رواه البخارى(

Dikhabarkan oleh Ma’mar dari Hammam bin Munabbah sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW. Bersabda : “Tidak diterima shalat orang yang berhadats sehingga dia berwudlu” (HR. Bukhari).

Menurut Hadits tersebut, agar shalat orang diterima oleh Allah SWT menghilangkan najis dahulu sebelum shalat. Sebagaimana telah kita maklumi bersama bahwa penyebab datangnya hadats dan najis adalah keluarnya sesuatu dari khasyafah, yaitu air kencing.

Air kencing yang keluar dari alat kelamin harus disucikan dahulu. Cara mensucikannya mustahil terlaksana hingga bersih, jika ujung khasyafahnya tertutup kulup. Maka setiap air kencing keluar pasti akan membasahi bundaran khasyafah sampai pangkal leher khasyafah. Padahal leher khasyafah berbentuk lekukan yang tidak bisa dibersihkan jika tidak dibuka.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan kesempurnaan ibadah terutama shalat, agaknya khitan memang diperlukan. Shalat secara lahiriyah berhubungan dengan kebersihan jasmani. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum shalat harus dalam keadaan bersih, bersih kemaluan dari najis saat buang air kecil. Air kencing yang dikeluarkan akan terjamin kebersihannya, jika qulfah sudah dibuang (dikhitan). Tanpa adanya lapisan penutup (qulfah) diperkirakan pembersihan yang dilakukan lebih merata.

Dalam khitan ternyata ada nilai-nilai yang dapat diberikan kepada anak-anak. Salah satu yang bisa kita lihat adalah nilai ibadah. Dalam kaitannya dengan kesempurnaan ibadah, terutama shalat, agaknya khitan memang diperlukan. Secara lahiriyah shalat berhubungan dengan kebersihan jasmani.

d.    Nilai Pendidikan Seks

Khitan menjadi penting dari segi kesehatan bahkan dari nafsu syahwat bisa mengendalikannya. Khitan menjadi penyeimbang antara nafsu binatang dengan tidak bernafsu sama sekali. Jika nafsu birahi melampaui batas maka orang akan sama dengan binatang. Sebaliknya jika tidak mempunyai nafsu tentu ia akan sama seperti benda-benda mati. Khitan menempatkan orang pada posisi pertengahan.

Para ulama’ berpendapat bahwa di dalam khitan terdapat kebersihan, kesucian, keindahan, keseimbangan tubuh serta pengaturan syahwat. Khitan membuat syahwat manusia seimbang. Oleh karena itu orang yang tidak berkhitan selalu tidak merasa puas dalam berhubungan seks.

Islam tidak membiarkan syahwat itu dihidupkan selepas-lepasnya, tapi jangan terlalu dimatikan. Orang Islam diajarkan menghidupkan nafsu birahi dan syahwatnya serta mengendalikannya. Manusia yang menghadapi syahwatnya dapat disamakan dengan menghadapi dan menundukkan kuda. Mengendalikan syahwat menjadi mudah bagi laki-laki karena dia sudah dikhitan.

Bila dipahami secara mendalam, ternyata khitan mempunyai nilai pendidikan terutama pendidikan seks, misalnya perintah melaksanakan khitan, tanpa disadari bahwa khitan bisa menghindarkan anak melakukan onani. Kulup pada kelamin pengandung lendir-lendir yang bisa merangsang dzakar yang bisa mengakibatkan anak sering menggaruk-nggaruk penis dan sering mempermainkannya. Jadi khitan bermanfaat untuk membersihkan kotorankotoran yang ada pada kelamin. 

Pada dasarnya khitan mengajarkan anak menjadi dewasa. Faedah yang bisa didapat dari khitan dari sudut psikologis adalah anak merasa dirinya sudah muslim dan dia wajib menutupi auratnya dan tidak boleh melihat aurat orang lain. Karena melihat aurat orang lain secara agama hukumnya haram. Aurat adalah bagian tubuh manusia yang harus ditutupi dan tidak boleh dilihat orang lain. Dilihat dari sudut seksiologi aurat ialah bagian tubuh yang erogen, menimbulkan nafsu birahi bila dilihat. Agama mengehendaki kehidupan yang beradab dengan pakaian yang tidak merangsang orang lain.

4.    Pelaksanaan Khitan

Menyimak pendapat para ulama tentang waktu pelaksanan khitan dapat dikelompokan dalam tiga waktu yaitu waktu wajib, sunnah, dan makruh.

1.    Waktu wajib

Wajibnya khitan adalah saat datang waktu baligh (dewasa) bagi anak laki-laki yang berakal sehat dan berfisik sehat. Jadi sekalipun ia sehat akal dan telah berusia baligh namun bila belum memiliki fisik yang sehat maka ia tidak berkewajiban khitan. Dengan demikian, hal di atas merupakan syarat wajib untuk dikhitan.

Ketentuan balighnya seorang anak dalam khitan ini selain ketentuan fiqh yang menyatakan bahwa usia baligh bagi anak laki-laki maksimum genap berusia 15 tahun atau minimum sudah bermimpi basah, tentunya itu adalah batas usia maksimum anak harus melaksanakan shalat.  Rasulullah SAW. telah mengajarkan bahwa anak berusia 15 tahun harus mulai dilatih shalat dan ketika berusia 10 tahun mereka harus mulai disiplin shalat sebagimana dijelaskan Rasulullah SAW. dalam sabdanya :

عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مروا اولا دكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين و اضربوهم عليها وهم ابناء عشر وفرقوا بينهم فى المضاجع )  رواه ابو داود(

Dari Umar bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata : Rasulullah SAW bersabda :  Suruhlah anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukulah mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. Abu Dawud).

 Dengan demikian, jelaslah bahwa semua ulama sepakat menyatakan kewajiban melaksanakan khitan ketika anak sudah baligh. Bagi orang tua muslim wajib memerintahkan anak melaksanakan khitan jika ia sudah mencapai usia tersebut. Karena pada masa itu anak dituntut kewajibannya melaksankan syariat agama.

2.    Waktu sunnah

Kategori waktu sunnah dalam khitan yang ditentukan dalam rentang waktu (masa) persiapan menyongsong usia mukallaf. Pada usia tujuh tahun anak dilatih melaksanakan shalat karena sudah memasuki usia pra baligh.  Hal ini untuk mengajarkan anak agar terbiasa dan siap menjadi anak shaleh yang didambakan keluarga.  Sementara pengikut Imam Hanafi dan Maliki menentukan bahwa waktu khitan yang disunnahkan adalah masa kanak-kanak-kanak, yakni pada usia 9 atau 10 tahun atau anak mampu menahan sakit bila dikhitan. Asy-Syafi’i menekankan keutamaan khitan ketika anak masih kecil. Memang agaknya jika kita merujuk Rasulullah SAW. saat mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada usia bayi yakni baru berusia tujuh hari sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi SAW. bahwasannya Aisyah ra. mengatakan :

عن عائشة رضي الله عنها, انه النبي صلى الله عليه وسلم ختن الحسن والحسين يوم السابع ولادئهما  (رواه الحاآم)

“Dari Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi SAW. mengkhitankan Hasan dan Husain ketika berusai tujuh hari dari kelahiranya. (HR. Al-Hakim)

Jika memang demikian, maka hari ketujuh dari kelahiran anak merupakan hari istimewa bagi orang tua. Pasalnya, mereka harus mengerjakan banyak hal yakni mengaqiqahkan, mencukur rambut, menamai dan sekaligus mengkhitankan anaknya.

3.     Waktu makruh

Waktu makruh melaksanakan khitan yakni dimana fisik anak kurang memungkinkan menanggung rasa sakit untuk berkhitan, waktu yang dimaksud adalah bayi kurang dari umur 7 hari. Adapun menurut keterangan lain khitan pada waktu anak berusia kurang dari tujuh hari semenjak kelahirannya dimakruhkan karena selain fisiknya lemah, juga di sinyalir menyerupai perbuatan orang yahudi.






0 Comment