27 Oktober 2020

 


MUSAQQAH, MUZARA’AH, DAN MUKHABARAH

      A.    Pengertian dan Hukum Musaqah

            Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al- mu’amalah. Secara terminologi, musaqah didefenisikan oleh para ulama fiqh sebagai berikut:

            Menurut Abdurrahman al-Jaziri[1], musaqah ialah:

            “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang     lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.

            Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen[2], musaqah adalah:

“Penyerahan sebidang kebun kepada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.

            Ulama Syafi’i mendefenisikan:

“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap”.

            Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

            Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu[3].

            Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

            “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau             kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian:        mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari bauh-buahan        maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).

B.     Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Akad Musaqah

1.      Rukun Musaqah

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap[4]. Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima yaitu:

a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b.      Tanah yang dijadikan objek musaqah.

c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.

d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.

e.       Shighat (ungkapan) ijab dan kabul[5].

2.      Syarat Musaqah

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:

a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.

b.      Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang  mempunyai buah. Dalam menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Akann tetapi, ulama Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel dan anggur dengan syarat bahwa:

1)      Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.

2)      Tenggang waktu yang ditentukan jelas.

3)      Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.

4)      Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.

            Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.

            Adapun ulama Syafi’i berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Rasulullah saw.menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik orang Yahudi itu”.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.

d.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya. Menurut Imam Syafi’i yang terkuat, sah melakukan peerjanjian musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).

e.       Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa-menyewa agar terhindar dari ketidak pastian[6].

3.      Berakhirnya Akad Musaqah

Menurut para ulama fiqh,akad musaqah berakhir apabila:

a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.

b.      Salah satu pihak meninggal dunia.

c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

            Uzur yang mereka maksud dalam hal ini diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dai untuk bekerja.

            Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum dipanen. Adapun jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya[7].

            Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah, juga menyatakan bahwa akad musaqah tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik kebun dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada[8].

C.    Hikmah Musaqah

            Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu untuk menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:

1.      Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.

2.      Salling tukar manfaat di antara manusia.

            Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemeliharaan telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau sendainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka jadilah umat itu umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang besar[9].

D.    Pengertian dan Hukum Muzara’ah

            Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa defenisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.

            Ulama Malikiyah[10] mendefeniskan:

            “Perserikatan dalam pertanian”

            Ulama Hanabilah[11] mendefenisikan:

“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua”

            Kedua defenisi dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paruhan sawah”. Penduduk Irak menyebutnya “ al- mukhabarah”. Tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah.

Imam Syafi’i[12] mendefenisikan:

“ pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.

            Dalam muhkarabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

            Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.

            Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya[13].

            Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

     “Bahwasanya Rasulullah saw.mempekerjakan  penduduk khaibar (dalam    pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam         bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud       dan Nasa’i).

E.     Rukun dan Syarat Muzara’ah

            Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.

            Rukun Muzara’ah menurut mereka sebagai berukut:

1.      Pemilik tanah.

2.      Petani penggarap.

3.      Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

4.      Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab: “ Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa penerimaan (kabul) akad muzara’ah tidak perlu denngan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu[14].

Adapun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:

1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq dan berakal.

2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berukut:

a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah ini tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.

4.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.

c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti saru kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5.      Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan  sebagian hasil panen. Oleh sebeb itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.

            Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani[15]. 

F.     Pengertian dan Hukum Mukhabarah

            Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah.

            Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.[16]

            Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jangung dan kacang. Namun, tidak menutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah pun dilakukan kerja sama muzara’ah.

            Hukum mukhabarah sama dengan muzara’ah, yaitu mubah (boleh). Landasan hukum mukhabarah adalah sabda Nabi SAW yang sekira kira artinya:

“Dari Thawus r.a bahwa ia suka bermukhabarah. Amru berkata: Lalu aku katakana kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi SAW telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguhmengetahui akan hal itu, yaitu Ibn Abbas bahwa Nabi SAW tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik dari pada ia mengambil manfaat itu dengan upah tertentu”. (Hr. Muslim) .

G.    Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah

            Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah/lading dan penggarap) membayar zakat bila telah nisab.

            Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

            Menurut Yusuf Qardawi, jika pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga atau setengah hasil sesuai dengan perjanjian, maka zakat dikenakan atas kedua bagian masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib bagi atas yang memiliki bagian yang cukukp senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi’i, berpendapat bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.[17]

H.    Hikmah Muzara’ah dan Mukharabah[18]

            Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.

I.       Ringkasan Bab 6

1.      Secara etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan. Secara terminologi fiqh, musaqqah yaitu akad untuk pemeliharaan pohom kurma, tanaman (pertanian) , dan lainnya dengan syarat-syarat tertentu. Atau penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu. Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqqah yaitu boleh atau mubah.

2.      Jumhur ulama fiqh berpendirian bahwa rukun musaqqah ada lima, yaitu:

a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b.      Tanah yang dijadikan objek musaqqah.

c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.

d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqqah.

e.       Sighat (ungkapan) ijab dan Kabul.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:

a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqqah harus orang yang cakap nbertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.

b.      Objek musaqqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.

c.       Lamanya perjanjian harus jelas.

Akad musaqqah berakhir apabila:

a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.

b.      Salah satu pihak meninggal dunia.

c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjudkan akad.

3.      Hikmah Musaqqah, antara lain:

a.       Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.

b.      Saling tukar manfaat diantara manusia.

4.      Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama dibidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, muzara’ah ialah pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah. Dalam mukharabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-muza’raah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

Antara muzara’ah dan musaqqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam musaqqah tanaman telah ada tetapi memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu oleh penggarapnya. Kerja sama dalam bentuk muzaraah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh) .

Rukun muzara’ah sebagai berikut:

a.       Pemilik tanah.

b.      Petani penggarap.

c.       Objek al-muza’raah, yaitu anytara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

d.      Ijab dan Kabul.

Adapun syarat-syarat muzaraah sebagai berikut:

a.       Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus telah balig dan berakal.

b.      Syarat yang menyangkut benih yang harus ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

c.       Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut:

1)      Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan.

2)      Batas-batas tanah itu jelas.

3)      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.

d.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

1)      Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

2)      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad. Tanpa boleh ada pengkhususan.

5.      Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah /tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya dan benihnya dari penggarap tanah. Perbedaan antara muzara’ah dan mukhabarah hanya terletak pada benih tanaman. Dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap.

Hukum mukharabah sama dengan muzara’ah. Yaitu mubah (boleh) .

6.      Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu dibebankan kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian yang wajib dizakati( jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama seperti ini salah satu atau keduanya (pemilik sawah/lading dan penggarap) membayar zakat bila telah nisab.

Jika dipandang dari siapa asal benih tanaman, maka dalam muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam. Sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja. Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam. Sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah senisab sebelum pendapatan dibagi dua.

7.      Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Adapula orang yang memiliki tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, dimana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binantangnya dengan tetap mendapatkan bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.

Baca Juga;/.....

     👉     👉     👉     👉     👉     👉

  Artikel terkait lainnya....    👉                                                 👉                                                 👉                                                 👉                                                 👉

 



[1]  Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al- Mazahib al- Arba’ah, (Beirut: Dar al- Taqwa, 2003), juz III, hlm. 20.

[2]  Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm. 275.

[3]  Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana. 2003), cet. Ke-1, hlm. 243.

[4]  Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 284.

[5]  Ibid.

[6]  Ibid., hlm. 284 dan seterusnya.

[7]  Ibid., hlm. 287.

[8]  Ibid., hlm. 288.

[9]  Syeikh Ali Ahmad al- Jurjawi, Falsafah, dan Hikmah Hukum Islam, penerjemah: Hadi Muljo dan Shobahussurur, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), cet. Ke-1, hlm. 398.

[10]  Lihat Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 275.

[11]  Ibid.

[12]  Ibid.

[13]  Lihat Abdul Mujieb, Op. Cit., hlm. 237.

[14]  Lihat Nasru Haroen, Op. Cit., hlm. 278.

[15]  Ibid., hlm. 278-279.

[16]  Abdul Mujieb, Op. cit., hlm. 221.

[17] Yusuf Qardawi, Fiqh al-Zakat (Hukum Zakat) , penerjemah: Salman Harun (et al) , (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa,, 1993) , cet. Ke- 3, hlm. 375.

[18] Lihat Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Op. cit., hlm. 397

0 Comment