29 Oktober 2020

 

HAK MILIK DAN AKAD

      A   Pengertian Hak dan Milik

Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, diantaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagaian (kewajiban), dan kebenaran.

Contoh al-haqq diartikan dengan ketetapan dan kepastian terhadap dalam surat Yasin ayat 7:

Contoh al-haqq diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan tercantum dalam surat al-Anfal ayat 8:

Contoh al-haqq diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat al-baqarah ayat 241:

Contoh al-haqq diartikan dengan kebenaran sebagi lawan dari kebatilan tercantum pada surah Yunus ayat 35:

Dalam terminologi fiqh terhadap beberapa pengertian al-haqq yang di kemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya menurut wahbah al-Zuhaily[1] yang artinya: ''suatu hukum yang telah di tetapkan secara syara''.

Menurut Syeikh Ali al-Kalif[2], yang artinya: ''kemaslahatan yang di peroleh secara syara''.

Mustafa Ahmad al-Zarqa'[3] mendenifisikannya dengan: ''kekhususan yang di tetapkan syara'atas suatu kekuasaan''.

Ibn Nujaim[4] mendenifisikannya lebih singkat dengan: ''Suatu kekhususan yang terlindungi.''

Menurut wahbah al:Zuhaily, yang dikutip oleh Nasrun Haroen,[5] Definisi yang komprehensif ialah defenisi yang dikemukakan Ibn Nurjaim dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'di atas, karena kedua defenisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat,puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan,hak umum, seperti hak-hak negara, kehartabendaan dan nonmateri seperti hak perwalian atas seseorang.

Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadapat sesuatu. Al –Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki ( harta ).Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara', yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara',. Kata milik dalam bahasa indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.

Secara terminologi, al-milk didefenisikan ole Muhammad Abu Zahrah[6] sebagai berikut artinya:

"Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara' untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalangan yang bersifat syara".

Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnnya berada dalam penguasaanya, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memenfaatkannya.pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf , dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan syara'. Contoh halangan syara antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang, seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri.[7]

Dengan kata lain, apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara', orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun melalui perantaraan orang lain.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.

Hak yang dijelaskan diatas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan) adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).

1.       Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah 'ala al-nafsi dan 'ala syaiin mu'ayyanin.

-   Sulthah 'ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadhanah (pemeliharaan anak).

-    Sulthah 'ala syaiin mu'ayyanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.

2.      Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi ('ahdah syakhshiyyah), seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggung jawab harta ('ahdah maliyah), seperti membayar utang.


Para fukaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda (a'yan), sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak bukanlah harta.[8]

 

B   SEBAB SEBAB PEMILIKAN

Para ulama fiqih menyatakan bahwa ada empat  cara pemilikan harta yang di syariatkan Islam:[9]

1.      Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah. Contohnya : bebatuan di sungai yang belum di miliki seseorang atau lembaga hukum. Apabila seseorang mengambel batu dan pasir dari sungai itu dan membawanya kerumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang lain tidak boleh mengambel batu dan pasir yang telah ia kuasai itu. Atau seseorang menangkap ikan di laut lepas dan membawanya pulang. Batu, pasir, dan ikan yang telah ia kuasai itu boleh ia memperjual belikan, boleh ia sedekahkan kepada orang lain dan boleh di gunakan sendiri, karna batu, pasir, dan ikan itu telah menjadi miliknya.

Penguasaan terhadap harta yang mubah dalam fiqh Islam mempunyai arti yang khusus, merupakan asal dari suatu pemilikan tanpa ada ganti rugi. Artinya, penguasaan seseorang terhadap harta mubah merupakan milik awal, tanpa didahului oleh pemilikan sebelumnya. Bedanya akan kelihatan dengan pemilikan melalui suatu transaksi. Dalam transaksi seseorang telah memiliki terlebih dahulu suatu harta, baru kemudian ia gunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain yang boleh ia miliki. Misalnya, dalam jual beli seseorang telah terlebih dahulu memiliki uang atau yang secara hukum dikatakan memiliki uang, kemudian ia membeli sebuah mobil, maka mobil itu ia memiliki berdasarkan uang yang telah ia miliki sebelumnya. Dalam memiliki suatu yang mubah tidak demikian halnya, karena seseorang hanya mengambil sesuatu yang ingin ia miliki dari harta mubah itu, tanpa mengimbalinya dengan harta yang lain. Inilah yang dimaksudkan para ulama fiqh sebagai pemilikan asal atau awal.

2.      Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan orang atau suatu lembaga hukum, seperti jual beli, hibah, dan wakaf.

3.      Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari ahli warisannya yang wafat.

4.      Hasil/buah dari harta yang telah ia miliki seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi yang lahir, dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha pemiliknya, seperti hasil usahanya sebagai pekerja atau keuntungan dagang yang diperoleh seorang pedagang.

Cara pemilikan harta nomor satu sebagaimana dijelaskan diatas disebut juga dengan istilah Ihraz al-Mubahat, yaitu memiliki sesuatu yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki disuatu tempat untuk dimiliki.

Cara pemilikan harta nomor dua sebagaimana dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-'Uqud ('aqad), yakni transaksi.

Cara pemilikan harta nomor tiga sebagimana dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-Khalafiyah (pewarisan).

Cara pemilikan harta nomor empat sebagaimana dijelaskan diatas disebut dengan istilah Al-Tawallud min al-mamluk (berkembang biak).[10]

 

C   Hikmah Kepemilikan

Dengan mengetahui cara-cara pemilkan harta menurut syariah Islam banyak hikmah yang dapat kita gali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain dalam garis besarnya:

1.      Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah di syariatkan Islam.

2.      Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal.

3.      Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah (titipan)dari Allah swt.yang harus digunakan dan di manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusiadan di salurankan di jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.

4.      Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh syara' dalam memiliki harta.

5.      Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal, kemudian diguanakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-aturan) Allah swt.

 

D  PENGERTIAN AKAD

Kata akad berasal dari bahasa Arab al-'aqd yang secara etimologi berarti perimatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fiqih, akad didefiniskan dengan: ''Pertalian ijab (pertanyaan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan.''

Pecantuaman kata-kata yang ''sesuai dengan kehendak syariat'' maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara'. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata- kata ''berpengaruh pada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan kabul)''.[11]

Hasbi Ash Siddieqy,[12] yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: "Perikatan ijab dan kabul  yang dibenarkan syara', yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak".

Adapula yang mendefinisan, akad ialah: "Ikatan atas bagian-bagian tasharuf (pengelolaan) menurut syara' dengan cara serah terima".[13]

 

E    Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Akad

1.      Rukun-rukun Akad

Rukun-rukun akad sebagai berikut:[14]

a.   'Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras dipasar masing-masing pihak satu orang; ahli warisa sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang memiliki hak ('aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.

b.   Ma'qud 'alaih, ialah benda-benda yang diakadkan seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau (pemberian, gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

c.   Maudhu' al-'aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pemberi dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan barang dari pemberian kepada yang diberi utnuk dimilikinya tanpa pengganti ('iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujaun pokok akad i'arah yaitu memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.

d.   Shighat al-'aqd, ialah ijab kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam pengalaman dewas ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjualan dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah panji mas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.

 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-'aqd ialah:

1.      Harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian. Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian misalnya seseorang berkata: "aku serakhan barang ini", kalimat ini masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda ini diserahkan sebagai pemberian, penjualan ataupun titipan-titipan. Kalimat yang leangkapnya: "aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah pemberian".

2.      Harus bersesuaian antara ijab dan kabul. Antara yang berhijab dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata "aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan", tetapi yang mengucapakan kabul berkata: "aku terima benda ini sebagai pemberian". Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan kabul akan menimbulkan perselengketaan yang dilarang oleh Islam karna bertentangan dengan Islam diantara manusia.

3.   Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan. 

Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang  dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:

1)    Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua 'aqd berjauhan tempatnya maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah para fukaha membentuk kiadah: "tulisan itu sama dengan ucapan".

Dengan ketentuanm kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.

2)   Isyarat. Bagi orang-orang tertentu, akad atau ijab dan kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab dan kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulisan baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis dan baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: "Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah".

3)      Ta'athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya. Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut: Seseorang pengail ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada seorang petani, petani ini memberikan beberapa liter beras kepada pengkail yang memberikan ikan tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki pemberi ikan. Proses diatas itu dinamakan ta'athi, tetapi menurut sebagian ulama, jual beli seperti itu tidak dibenarkan.

4) Lisan al-hal. Menurut sebagai ulama, apabila sesorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggalin barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida' (titipan) antara orang yang meletakkan barang yang menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal. 

2.      Syarat-syarat Akad

Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan. Syarat-syarat terjadi akad ada dua macam:[15]

a.   Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut:

1)   Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak seperti orang gila orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) dan karena boros.

2)      Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

3)  Akad itu diijinkan oleh syara' dilakukan oleh orang yang mempunyai hak untuk melakukannya, walaupun dia bukan 'aqid yang memberikan barang.

4)   Janganlah akad itu akad yang dialrang oleh syara' seperti jual beli/mulasamah (saling merasakan).

5)   Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn atau gadai, dianggap sebagai imabalan amanah (kepercayaan).

6)   Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul maka batallah ijabnya.

7)  Ijab dan kabul mesti bersambung, sehingga bila seorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.


F    Macam-macam Akad


Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' akad terbagi dua,[16] yaitu:

1.              Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam[17] yaitu:

a.   Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.

b.   Akad Mawquf, ialah akad yang dialkukan sesorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mubayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diijinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad mawquf adalah yang disebut dalam fiqh dan 'aqad al-fudhuli. Misalnya, ahmad memberi uang sebesar Rp. 2.000.000 kepada hasan untuk membeli seekor kambing. Ternyata ditempat penjualan kambing, uang Rp. 2.000.000 itu dapat membeli dua ekor kambing, sehingga hasan membeli dua ekor kambing. Apabila ahmad menyetujui akad yang telah dilaksanakan oleh hasan itu maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui ahmad maka jual beli itu tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menganggap jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang bathil. 

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fiqh membaginya kepada dua macam[18] yaitu:


1.      Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak lain tidak boleh membatalkan akad itu tanpa siizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.

2.      Akad yang tidak boleh bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad al-wakalah (perwakilan), al-ariyah

( pinjam-meminjam), dan al-wadhi'ah (barang titipan).

Akad yang mengikat bagi pihak pihak yang melangsungkan akad itu di bagi lagi oleh para ulama fiqh menjadi tiga macam, yaitu :

a.    Akad yang mengikuti dan tidak dibatalakan sama sekali. Akad perkawinan termaksud akad yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syara, seperti melalui talak dan khulu' (tuntutan cerai yang di ajukan istri kepda suaminya dengan kesedian pihak istri untuk membanyar ganti rugi).

b.    Akad yang mengikat , tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian ,al-muzara'ah (kerja sama dalam pertanian ), dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan).dalam akad –akad seperti ini berlaku hak khiyar(hak memilih untuk meneruskan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya).

c.  Akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah.[19]

3.  Akad yang tidak sahih,yaitu akad yang terdapat kekeurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad yaang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.


Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara''


[1] Wahhab al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), juz 4, hlm. 8.

[2] Syekh Ali al-Khalif, Al-Haqq wa al-Zimmah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1976), hlm. 36.

[3] Mustafa Ahmad al-Zarqa', Al-Madkhal al-Fiqh al-'Am, jilid III, hlm. 10.

[4] Ibn Nujaim al-Hanafi, Al-Asybah wa al-Vazhair, (Beurut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th), hlm. 87.

[5] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm. 2.

[6] Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah Nazhariyah al-'aqad fi al-syari'ah al-islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), hlm. 15.

[7] Mustafa Ahmad al-Zarqa', Op. Cit., jilid I, hlm. 241.

[8] Lihat Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm. 34.

[9] Lihat Mustafa Ahmad al-Zarqa', Op. Cit., hlm. 242 dan seterusnya.

[10] Lihat Hasbi As Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 8-9.

[11] Lihat Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 97.

[12] Hasbi Ash Siddieqy, Op. Cit., hlm. 21.

[13]  Lihat Hendi Suhendi, Op. Cit., hlm. 46.

[14] Ibid., hlm. 47-48.

[15] Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 27-28.

[16] Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid IV, hlm. 240.

[17] Ibid., hlm. 241.

[18] Ibid., hlm. 241.

[19] Lihat Nasrul haroen,Op.Cit.,hlm.107.

0 Comment