26 Oktober 2020

 

PENGERTIAN HAK DAN MILIK

 A. Pengertian Hak dan Milik

Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.

Contoh al-haqq diartikan dengan ketetapan dan kepastian

terdapat dalam surat Yasin ayat 7yang artinya:

Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena tidak beriman

Contoh al-haqq diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan

tercantum dalam surat al-Anfal ayat 8 yang artinya:

Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik)...

Contoh al-haqq diartikan dengan bagian (kewajiban) yang terbatas tercantum pada surat al-Baqarah ayat 241yang artinya:

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan mut'ah oleh suaminya) menurut yang makruf sebagai suatu kewajiban bagi orang orang takwa.

Contoh al-haqq diartikan dengan kebenaran sebagi lawan dari

kebatilan tercantum dalam surat Yunus ayat 35yang artinya:

Katakanlah: Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?.

Dalam terminologi fiqh terdapat beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqih, diantaranya menurut

Wahbahal-Zuhaili:[1]

"Suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara"

Menurut Syeikh Ali al-Kalif[2]

"Kemaslahatan yang diperoleh secara syara"

Mustafa Ahmad al-Zarqa" mendefinisikannya dengan

"Kekhususan yang ditetapkan syara' atas suatu kekuasaan"

Ibn Nujaim mendefinisikannya lebih singkat dengan:

"Suatu kekhususan yang terlindung"

Menurut WahbahalZuhaily, yang dikutip oleh Nasrun Haroen definisi yang komprehensif adalah definisi yang dikemukakan Ibn Nujaim dan Mustafa Ahmad al-Zarqa' di atas, karena kedua definisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti hak Allah terhadap hamba-Nya (shalat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum, seperti hak-hak negara, kehartabendaan dan nonmateri seperti hak perwalian atas seseorang.

Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-Milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta). Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara' yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara'. Kata milik dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.

Secara terminologi, al-milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah[3] sebagai berikut:

"Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara' untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara".

Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu sepenuhnya berada dalam penguasaannya, sehingga orang lain tidak boleh bertindak dan memanfaatkannya. Pemilik harta bebas untuk bertindak hukum terhadap hartanya, seperti jual beli, hibah, wakaf dan meminjamkannya kepada orang lain, selama tidak ada halangan dari syara'. Contoh halangan syara' antara lain orang itu belum cakap bertindak hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang seperti orang yang jatuh pailit, sehingga dalam hal-hal tertentu mereka tidak dapat bertindak hukum terhadap miliknya sendiri.

Dengan kata lain, apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara', orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun melalui perantara orang lain.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada di bawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.

Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan) adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).

1. Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah 'ala al-nafsi dan ala syaiin mu'ayyan.

-Sultan ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa seperti hak hadhanah (pemeliharaan anak)

-Sulthah ala syai in mu'ayanin ialah hak manusia untuk memilih sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki sebuah mobil.

2. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (ahdahsyakhshiyyalt), seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (ahdah maliyah), seperti membayar utang.

Para fukaha berpendapat bahwa hak merupakan imbangan dari benda (a'yan), sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hak bukanlah harta.   [4]

B. Sebab-Sebab Pemilikan

Para ulama fiqh mengatakan bahwa ada empat cara pemilikan

harta yang disyariatkan Islam:[5]

1. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah. Contohnya: bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum. Apabila seseorang mengambil batu dan pasir dari sungai itu dan membawanya ke rumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang lain tidak bolenmengambil batu dan pasir yang telah ia kuasai itu. Atau seseorang ikan di laut lepas dan membawanya pulang. Batu, pasir, dan ikan yang telah ia kuasai itu boleh ia perjualbelikan, boleh ia sedekahkan kepada orang lain dan boleh digunakan sendiri, karena batu, pasir, dan ikan itu telah menjadi miliknya.

Penguasaan terhadap harta yang mubah dalam fiqih Islam mempunyai arti yang khusus, merupakan asal dari suatu pe milikan tanpa adanya ganti rugi. Artinya, penguasaan seseorang terhadap harta mubah merupakan milik awal, tanpa didahului oleh pemilikan sebelumnya. Bedanya akan kelihatan dengan pemilikan melalui suatu transaksi. Dalam transaksi seseorang telah memiliki terlebih dahulu suatu harta, baru kemudian ia gunakan miliknya itu untuk mendapatkan harta lain yang boleh ia miliki. Misalnya, dalam jual beli seseorang telah terlebih dahulu memiliki uang atau yang secara hukum dikatakan memiliki uang, kemudian ia beli sebuah mobil, maka mobil itu ia miliki berdasarkan uang yang telah ia miliki sebelumnya. Dalam memiliki suatu yang mubah tidak demikian halnya, karena seseorang hanya mengambil sesuatu yang ingin ia miliki dari harta mubah itu, tanpa mengimbalinya dengan harta yang lain. Inilah yang dimaksudkan para ulama fiqhsebagi pemilikan asal/awal.

2. Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan orang atau suatu lembaga hukum, seperti      jual beli, hibah, dan wakaf.

3. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari ahli warisnya yang wafat.

4. Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi yang lahir, dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha pemiliknya, seperti hasil usahanya sebagai pekerja, atau keuntungan dagang yang diperoleh seorang pedagang.

Cara pemilikan harta nomor satu sebagaimana dijelaskan di atasdisebut juga dengan istilah ihrazal-mubahat, yaitu memiliki sesuatuyang boleh dimiliki, atau menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di suatu tempat untuk dimiliki.

Cara pemilikan harta nomor dua sebagaimana dijelaskan di atasdisebut dengan istilah al-uqud (aqad), yakni transaksi.

Cara pemilikan harta nomor tiga sebagaimana dijelaskan di atas disebut dengan istilah al-khalafiyah (pewarisan).

Cara pemilikan harta nomor empat sebagaimana dijelaskan di atas disebut dengan istilah al-tawallud min al-mamluk (berkembang biak).[6]

C. Hikmah Kepemilikan

Dengan mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain dalam garis besarnya:

1. Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan Islam.

2. Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar, dan halal.

3. Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah swt yang harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan di jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.

4. Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh syara' dalam memiliki harta

5 Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik benar, dan halal. kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-aturan) Allah swt.

D. Pengertian Akad

Kata akad berasal dari bahasa Arab al-'aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi figh, akad didefinisikan dengan:

"Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan".

Pencantuman kata-kata yang sesuai dengan kehendak syariat" maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak '. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kata-kata "berpengaruh pada objek perikatan" maksudnya adalah terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan kabul)."[7]

Hasbi Ash Shiddieqy,[8] yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad adalah:

"Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara' yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak".

Ada pula yang mendefinisikan, akad adalah:

"Ikatan atas bagian-bagian tasharruf (pengelolaan) menurut syara dengan cara serah terima".

E. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Akad.

1 Rukun-Rukun Akad.

Rukun-Rukun akad sebagai berikut:

a. Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing-masine pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang: ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Orang yang berakad terkadang orang memiliki hak (aqidashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.

b. Ma'qud 'alaih, adalah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.

c. Maudhu' al-'aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok meng- adakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan barang dari pembeli kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain tanpa ada pengganti.

d. Shighatal-aqd adalah ijab kabul. ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad Adapun kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam pengamalan dewasa ini adalah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighatal'aqd ialah:

1. Shighatalaqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijab kabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya seseorang berkata: "Aku serahkan barang ini", kalimat ini masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda ini diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah: "Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberian".

2) Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Antara yang berijab dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata: "Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan", tetapi yang mengucapkan kabul berkata: "Aku terima benda ini sebagai pemberian". Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dan kabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh Islam, karena bertentangan dengan islam di antara manusia.

3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan.

Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fiqh menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:

1) Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua 'aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah para fukaha membentuk kaidah:

"Tulisan itu sama dengan ucapan".

Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.

2) Isyarat. Bagi orang-0rang tertentu, akad atau ijab dan kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian ka atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut:

"Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah".

3) Ta'athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukanpemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikanimbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya. Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut: Seorang pengail ikan sering memberikan ikan hias pancingannya kepada seorang petani, petani ini memberi beberapa liter beras kepada pengail yang memberikan ikan tanpa disebutkan besar imbalan yang dikehendaki oleh pembeli ikan. Proses di atas itu dinamakan ta'athi, tetapi menurut sebagian ulama, jual beli seperti itu tidak dibenarkan

4) Lisan al-hal. Menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida' (titipan) antara orang yang meletakkan barang dan yang menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal.

2. Syarat-Syarat Akad

Setiap akad mempunyai syarat yang ditentukan syara' yang wajib disempurnakan Syarat syarat terjadinya akad ada dua macam:[9]

a.Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad

sebagai berikut:

1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).

Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.

2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

3) Akad itu diizinkan oleh syara'. dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walupun dia bukan 'aqid yang memiliki barang.

4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara', seperti jual beli mulamasah (saling merasakan).

5) Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan).

6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka apabila orang yang berijab menarik kembali hijabnya sebelum kabul maka batallah hijabnya.

7) ijab dan qabul mesti bersambung, schingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.

F. Macam-Macam Akad

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' akad terbagi dua,[10] yaitu:

1. Akad Sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun da syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam 12

yaitu:

a. Akad yang nafis (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.

b. Akad mauquf, adalah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini, akad ini baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil ini. Contoh lain dari akad mauquf adalah yang disebut dalam fiqh dengan aqad

al-fudhuli. Misalnya, Ahmad memberikan uang sebesar Rp. 2000000 kepada Hasan untuk membeli seekor kambing. Ternyata di tempat penjualan kambing, uang Rp. 2000000 itu dapat membeli dua ekor kambing, sehingga Hasan membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dengan dua ekor kambing ini amat tergantung kepada persetujuan Ahmad, karena Hasan diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad menyetujui akad yang telah dilaksanakan Hasan itu maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui Ahmad maka jual beli itu Akan tetapi, ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menganggap

jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang batil

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya jual beli yang sahih itu, para ulama fiqh membaginya kepada dua macam, yaitu:[11]

1 Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa

 menyewa.

2. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad al-wakalah (perwakilan), al-'ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi'ah (barang titipan).

Akad yang mengikat bagi pihak-pihak yang melangsungkanakad itu dibagi lagi oleh para ulama fiqh menjadi tiga macamyaitu:

a. Akad yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan sama sekali.Akad perkawinan termasuk akad yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yang dibolehkan syara', seperti

melalui talak dan al-khulu' (tuntutan cerai yang diajukan istri kepada suaminya dengan kesediaan pihak istri untuk membayar ganti rugi).

b. Akad yang mengikat, tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, perdamaian, al-muzara'ah (kerja sama dalam pertanian) dan al-musaqah (kerja sama dalam perkebunan). Dalam akad-akad seperti ini berlaku hak khiyar (hak memilih untuk meneruskan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya)

c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah.

2. Akad yang tidak Sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad mu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Kemudian, ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sahih ini kepada dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid.

 Suatu akad dikatakan batil apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’ Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas. Atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan, atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum. Adapun akad fasid menurut mereka merupakan suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak ditunjukkan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual, atau tidak disebutkan brand kendaraan yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti ini, menurut ulama Hanafiyah, adalah fasid, dan jual beli ini dianggap sah apabila unsur-unsur yang menyebabkan kefasidannya itu dihilangkan misalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual, atau menjelaskan brand dan jenis kendaraan yang dijual.[12]       

Akan tetapi, jumhur ulama figh menyatakan bahwa akad yang batil dan fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apa pun.[13]

Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad kepada dua macam, yaitu:

1. Al-'Uqudal-musamma, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara' serta dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf, al-hiaa

al-ji'alah, wasiat, dan perkawinan.

2. Al-Uqudghairal-musamma, ialah akad-akad yang penama annya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna dan ba'ial-wafa.

G. Berakhirnya Akad

Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila:

1.Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad tu mempunyai tenggang waktu

2 Dibatalkan oleh pihak pihak yang berakad, apabila akad sifatnya tidak mengikat

3.Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:

a.jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur luan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi

b. berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.

c. akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak

d. tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna

4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.Dalam hubunganini para ulama yg menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis

berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad, di antaranya akad sewa menyewa, perahu al-kafalah, at-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara'ah Akad juga akan berakhir dalam ba'lalushul (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari pemilik modal

H. Hikmah Akad

Diadakannya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu

mempunyai hikmah, antara lain:

1. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.

2 Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar'i

5 Akad merupakan "payung hukum" di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.

 Baca Juga;/.....

     ðŸ‘‰     ðŸ‘‰     ðŸ‘‰     ðŸ‘‰     ðŸ‘‰     ðŸ‘‰

  Artikel terkait lainnya....    ðŸ‘‰                                                 ðŸ‘‰                                                 ðŸ‘‰                                                 ðŸ‘‰                                                 ðŸ‘‰


[1]Wahbah al-Zuhaily, Al-fiqh al-islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr. 2005), juz 4, hlm. 8.        

[2] Syeikh Ali al-khalif, Al-Haqq wa al-zimmah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,  1976), hlm. 36.

[3] Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-aqd fi al-syari’ah al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Fikr Al-Arabi, 1962), hlm. 15.

[4] Lihat Hendi Suhendi, Op, cit., hlm. 34.

[5] Lihat Mustafa Ahnad al-Zarqa’, Op, cit., hlm. 242. Dan sererusnya.

[6] Lihat Hasbi As Shiddieqy, Op, cit., hlm. 8-9.

[7] Lihat Nasrun Haroen, Op, cit., hlm. 97.

[8] Hasbi Ash Shiddieqy, Op, cit., hlm. 21.

[9] Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Op, cit., hlm. 27-28.

[10]  Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh,  (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), jilid IV, hlm, 240.

[11] Ibid., hlm. 241.

[12]  Wahbah al-Zuhaily, Op, cit., hlm. 235.

[13] Ibid.

0 Comment