19 Februari 2023

ILMU JARAH WA TA'DIL HADITS

Mempelajari Ilmu hadits tidak terlepas dari mengetahui sanad, matan dan yang meriwayatkan hadits (perawi). Hal ini menjadi pembahasan untuk mengetahui apakah suatu hadits  itu shahih atau cacat. Mengaitkan dengan kalimat ini penulis akan mencoba mengurai masalah pembahasan tentang ketercelaan dan keterpujian seorang perawi dalam meriwayatkan hadits, disebut dengan Al-Jarh Wa At-Ta’dil.

Pertumbuhan al-jarh wa at-ta’dil seiring dengan tumbunya periwayatan hadits. Perkembangan yang lebihnya semenjak terjadinya al-fitnah al-kubra (Pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan pada tahun 36 H). Pada masa ini kaum muslimin terbagi menjadi beberapa aliran-aliran, mereka merasa memiliki legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan apabila mengutip hadits-hadits Nabi SAW. Jika tidak ditemukan, maka mereka membuat hadits palsu.

Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits-hadits Rasulullah SAW, tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi, mereka juga melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang menyampaikan hadits tersebut. Ilmu al-jarh wa at-ta’dil sudah lahir sejak zaman sahabat, berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan hadits dalam Islam. Para ulama menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta membuat berbagai metode untuk menyelamatkan hadits dari noda-noda yang menyesatkan.

AL JARH WA AT TA’DIL DAN ‘ADALAT AL SHAHABAH

A.    Pengertian Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk  masdar dari kata jaraha-yajrahu, yang berarti “melukai”. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditunjukan kepada kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya, atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh  periwayat tersebut. Kata at-tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayatan tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat itu.[1] Nur Al-Din ‘Itr dalam buku Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulumul Hadits mengatakan al-jarh sebagai berikut:

الطعن فى راوى الحد يث بما يسلب أويخل بعدالته أوضبطه

“Kecacatan pada perawi Hadits disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”[2]

Adapun  kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala artinya: mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti: mengungkapkan sifat-sifat bersih yang ada pada perawi, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima. Sedangakan menurut. Nur Al-Din ‘Itr dalam bukunya mengatakan at-ta’dil sebagai berikut:

عكسه هوتزكية الراوي والحكم هليه بأنه عدل أو ضابط

“Lawan dari aj-jarh, yaitu: pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit”[3]

Ulama lain mendefenisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:

علم يبحث عن الرواة من حيث ماورد فى شأنهم مما يشنيهو أويزكيهم بالفاظ مخصوصة

“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[4]

Muhammad ‘Ajaj al-Khafib dalam bukunya mengataka al-jarh wa at-ta’dil sebagai berikut:

العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول رواياتهم أوردها

“Ilmu yang membahas hal ihwa para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka”.[5]

Dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah: Ilmu yang membahas para perawi hadits dari segi dhabit dan kecacatan atau ditolak dan diterima riwayat dinilai dari ungkapan atau lafaz tertentu.

B.     Syarat-Syarat Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal ihwal perawi dan berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang shahih dan yang cacat, di samping menggunakan hidup mereka secara maksimal dan penuh kejujuran, juga menggunkan hidup mereka secara maksimal dalam bidang tersebut. Mereka mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-sebab jarh. Karena itu, ulama sependapat atas kewajiban terpunuhi syarat-syarat itu dalam diri pent’adil dan pentarjih. Siapa saja yang menekuni bidang ini hurus memenuhi kriteria alim, bertakwa, wira’i, jujur, tidak terkena jarh, tidak fanatik terhadap sebagian perawi dan mengerti betul sebab-sebab jarh dan ‘adil. Dan yang tidak memenuhi syarat-syarat itu, maka kritiknya terhadap perawi tidak bisa diterima.[6]

Jumhur tokoh-tokoh hadits dan fikih sepakat bahwa seseorang yang bisa diterima periwayatannya adalah seorang rawi yang ’âdil (karakteristik moralnya baik), yaitu ia harus seorang muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan dalam keadaan sadar. Ia harus seorang yang menguasai hafalannya, jika ia meriwayatkan hadits dari hafalannya. Ia juga dituntut untuk menguasai isi kitab, jika ia meriwayatkan haditsnya dari kitab itu. Ia pun harus mengetahui hal-hal yang dapat mengganggu kandungan makna hadits yang diriwayatkannya, pada saat ia meriwayatkannya.[7]

Pendapat Ulama tentang Syarat-syarat (kriteria) Rawi yang ’Adil

No

Nama Ulama

Syarat-syarat Rawi yang ’Adil

Keterangan

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

O

Jm

1

Al-Hakim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3

A = islam

2

Ibn al-Salah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

B = baligh

3

Al-Nawawiy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

C = berakal

4

Ibn Hajar al-’Asqalany

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

D = taqwa

5

Al-Harawiy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

E = memelihara muru’at

6

Al-Syawkaniy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

F = teguh agama

7

Al-Tirmisiy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

G = tidak dosa besar

8

Ahmad M. Syakir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

6

H = menjauhi dosa kecil

9

Nur al-Din ’Itr

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7

I = tidak bid’ah

10

M. ”Ajjaj al-Khatib

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

J = tidak maksiat

11

Al-Gazaliy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

K = tidak fasik

12

Ibn Qudamah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

L = menjauhi hal yg dibolehkan, yang merusak muru’at

13

Al-Amidiy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

M = baik akhlaknya

14

Al-Jurjaniy

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

N = dipercaya

15

Al-Khudariy Bik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

O = biasanya benar

Jumlah Ulama yg menunjuk butir syarat

6

5

5

5

14

2

9

8

3

1

7

3

1

1

1

 

Jm = jumlah

Sumber : Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. (Bulan Bintang, Jakarta.2005)

Kembali kepada Syarat-syarat bagi rawi yang telah diungkapkan para ulama diatas dapat disimpulkan (khusus orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan), yaitu :

a.         Alim dan berilmu pengetahuan

b.         Takwa

c.          Wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil dan makruhat-makruhat).

d.         Jujur

e.         Menjauhi fanatik golongan

f.          Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan

Seorang rawi memiliki banyak aib, umumnya aib seorang rawi berkisar 5 macam :

a.       Bid’ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syari’at).

b.      Mukhalafah (berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)

c.       Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)

d.      Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya)

e.       Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)

Terkait dengan jumlah orang yang berhak mentarjih atau menta’dil para perawi terdapat perbedaan di kalangan ulama hadits yaitu:

1.      Menimal dua orang dalam soal syajadah (kesaksiaan) maupun dalam soal riwayah.

2.      Cukup seorang saja dalam hal riwayah, dan tidak dalam soal kesaksian karena bilangan tidak menjadi sayarat dalam penerimaan hadits. Hal itu juga berlaku terhadap yang mentarjrih atau menta’dil rawi.

3.      Cukup seorang saja, baik dalam hal riwayah maupun syahadah.

Apabila orang yang mentarjih atau menta’dilkan diakui kredibilitas dan kapasitas intelektualnya, tanpa ada unsur fanatisme maka penilaian jarh dan ta’dil dapat dilakukan oleh seorang saja. Akan tetapi bila hal itu tidak memungkinkan, maka penilaiannya berdasarkan padangan masyarakat secara kolektif sehingga penilian dapat dakuo secara mutawatir.

C.    Kaidah Al-Jarh Wa Al-Ta’dil

Kaidah-kaidah umum Syri’at menunjukkan kewajiban memelihara sunnah, menjelaskan hal ihwal para perawi merupakan sarana yang lurus untuk menjaga sunnah. Allah SWT berfirman:[8]

 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6)

 

Juga terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yaitu:


Artinya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.(QS. Al-Baqarah: 282)

 

Yang dimaksud dengan saksi yang diridhai adalah seorang yang kita ridhai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadits tidak kurang dari bentuk kesaksiaan itu. Oleh karena itu hadits tidak diterima kecuali dari orang-orang tsiqah.

Berkenaan dengan al jarh, Rasulullah SAW bersabda:

بئس أخو العشيرة

Artinya: “Seburuk-buruk keluarga adalah dia”.

Dan berkenaan dengan ta’dil, Rasul juga bersabda:

نعم عبدالله خالد ابن الوليد سيوف الله

Artinya: “Sebaik-baik hamba Allah SWT adalah Khalid ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah SWT”. 

Pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan.  Sebagian men-tajrih-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.

Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :[9]

a.       Al-jarh harus lebih didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.[10]

b.      Ta’dil didahulukan dari pada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pertanyaan yang men-tajrih.

c.       Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.

d.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.

Melihat perbedaan tersebut, sekarang kita bisa mengetahui bahwa konsep  الجرح مقدم على التعديل   (mendahulukan jarh dari pada ta’dil) bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas ulama.

D.    Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil

1.      Tingkat-tingkat Al Ta’dil[11]

Pertama, kata-kata yang menunjukkan mubalaghah (intensitas maksimal) dalam hal ta’dil dengan bentuk Af al At-Tafdhil dan sejenisnya. Misalanya kata-kata:  اوتق الناس(yang paling tsiqah ) اضبط الناس  (yang paling dhabit)     ليس له نظير (tiada bandingannya)

Kedua,  misalnya pernyataan :         فلا لا يسال عن مثله , فلا لا يسال عنه (fulan tidak dipertanyakan, orang semisal fulam  tak perlu dipertanyakan)

Ketiga,  kata-kata yang mengukuhkan kualitas yang tsiqah dengan salah satu sifat di antara sekian sifat adil dan tsiqah, baik dengan kata yang sama atau kata yang searti. Misalnya:

ثقة حافظ , ثقة ما من , ثقة ثقة

Keempat, kata-kata yang menunjukan sifat adil dengan kata yang menyiratkan kedhabitan. Misalnya:

عدل ضابط , عدل إمام حجة , ثبت

Kelima, kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunkan kata yang tidak meniratkan kedhabitan. Misalnya:

صدوق , مامون , لاباس به

Disamakan dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan kejujuran perawi dan tidak kejujuran perawi dan ketidakdhabitannya. Misalnya:

محله الصد ق , حسن الحديث 

Sebagian ulama menyamakan kedua kata itu dengan tingkatan keempat.

 Keenam, kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tarjih, seperti penyertaan kata-kata diatas dengan kalimat masyi’ah. Misalnya

صدوق إن شاء الله , صو يلح , مقبول حديثه

2.      Tingkatan tajrih[12]

Pertama, dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam jarh. Misalnya:

اكذب الناس , ركن الكذ ب

Kedua, jarh dengan kedustaan atau pemalsuaan. Misalnya:

كذاب , وضا ع

Yang merupakan kata-kata yang menunjukan mubalghah tetapi masih  di bawah tingkat pertama.

Ketiga, kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau yang sejenis. Misalnya:

متهم با لكذ ي , متهم با لو ضع , يسرق الحديث

Disamakan dengan tingkatan ini adalah kata-kata yang menunjukkan ditinggalkan haditsnya. Misalnya:

ليس بثقة , هالك , متروك

Keempat, dengan kata-kata yang menunjukkan kedha’ifan yang sangat. Misalnya:

ضعيف جدل ردحديثه , طرح حديثه , ليس بشى ء , لا يكتب حديثه

Kelima, kata-kata yang menunjukan penilaian dha’if atas perawi atau kerancuan hafalannya. Misalnya:

ضهفوه , لايحتج به , مضطرب الحد يث , ضعيف , له منا كير

Keenam, menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukan kedha’ifannya, akan tetapi dekat dengan ta’dil. Misalnya:

فيه ضعف فيه مقا ل ليس بحجة ليس بذ لك القوي , غيره أوثق منه

Ulama menggunakan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berada pada keempat tingkat ta’dil. Adapun yang berada pada tingkatan kelima dan keenam yang menunjukkan ketidakdhabitan perawinya, haditsnya ditulis dan di-i’tibar-kan dengan hadits yang lainnya.

Orang yang diberi keterangan dengan keempat tingkat al-jarh yang pertama tidak bisa dibuat hujjah. Sedang yang disifati dengan tingkat kelima dan keenam, haditsnya bisa ditakhrij untuk digunakan sebagai i’tibar.

E.     Adalat al-Shabah  dan Kontraversinya

Keadaan sahabat Nabi tidak sama dalam menerima hadits, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung. Demikian pula ada yang kuat hafalannya dan ada pula yang tidak. Kondisi inilah mungkin yang menjadi salah satu faktor untuk merangukan mereka dalam periwayatan hadits. Namun, jika hal ini dijadikan satu-satunya alasan untuk meragukan peranan besar para sahabat itu sesungguhnya buka dari golongan Islam.

Hal ini sebagaimana telah diramalkan oleh Rasulullah sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh al-Syafi’i yang bersumber dari imam Malik sebagai berikut:

ان الله اختر نى واختار اصحابى فجعلهم اصهارى وجعلهم انصارى وانه سيجئ فى اخى الز مان قوم ينتقصونهم الأ فلا تنا كحوا هم الا فلا تناكحوا اليهم الا نصلوا معهو الا فلا تصلوا عليهو حلة العنة

Artinya: sesungguhnya Allah telah memilih aku dan memilah sahat-sahabatku, Allah menjadikan mereka sebagai kerabat dan pembantu-pembantuku. Dan sesungguhnya kelak pada akhir zaman akan ada satu kelompok yang mendiskreditkan para sahabat, maka ingatlah. Janganlah kamu sekalian mengawini mereka, dan jangan pula anak-anak kalian dikawinkan kepada mereka. Ingat janganlah kamu sekalian shabat bersama-sama mereka, jangan pula shalati (jenazah) mereka. Karena atas mereka halal untuk dikhianati.   (HR. Al-Syafi’i).[13]

 

Sahabat secara etimologi merupakan kata bentukan dari kata al-shuhbaah (persahabatan), yang tidak mengandung persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi berlaku untuk orang yang menyertai orang lain, sedikit atau banyak.[14] Menurut al-Jurjani sahabat adalah orang yang pernah melihat Nabi dan bergaul dengannya, baik pergaulan itu berlangsung lama atau dalam waktu singkat, meskipun tidak meriwayatkan suatu hadits dan mati dalam keadaan Islam. Oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, menyatakan bahwa sahabat adalah seorang muslim yang pernah melihat Nabi SAW bergaul dengannya serta mati dalam keadaan Islam. Pengertian tersebut kemudian dipertegar oleh imam Ahmad bahwa pergaulan itu tanpa batas minimal, sesaatpun sudah termasuk dalam pengertian bergaul.

Muhammad Ajjaj al-Khatib berkesimpulan bahwa jumhur ulama mendukung pendapat ulama yang tidak memberikan batasan tetapi memandang pengertian secara umum, sehingga sahabat sangat banyak jumlahnya. Sedangkan ulama ushul lebih cendrung membatasinya, seperti pandangan Ibn Hazm dan Said ibn Musayyab.

Pada zaman sahabat yaitu zaman setelah Rasulullah wafat, periwayatan hadits semakin meluas. Para sahabat meriwayatkan hadits kepada sesama sahabat atau kepada tabi’in, yaitu: generasi yang hanya bertemu dengan sahabat, tidak bertemu dengan Nabi. Dari sini muncul kontroversi terhadap peranan sahabat dalam periwayatan hadits, sebab tidak adanya justifikasi hukum bila terjadi perbedaan periwayatan yang menyangkut materi hadits yang dulu dipegang Rasul.

Karena kedudukan Rasul tidak bisa digantikan oleh siapapun. Sebagai penggantinya dalam menyelesaikan perbedaan periwayatan itu, satu-satunya adalah dengan cara musyawarah di antara para sahabat dan menilai kasusnya dari perkataan keakraban antara sahabat dengan Nabi, siapa sesungguhnya yang lebih dekat dan lebih mengetahui sikap Rasul mengenai persoalan yang di perbandingkan.

1.      Penilaian Terhadap Keadilan Sahabat

Secara etimologi kata ’adalah berakar dari kata  عد ل - يعد ل - عدالة  yang mengandung kemungkinan arti: menyatakanسوي  tegak lurus, استقم berbuat adil dan jujur. Lawan ’adalah ialah اظلم Al-Jurjanji mengatakan bahwa al-’adalah menpunyai arti lurus, sedang, pertengahan, dan cendrung kepada kebenaran.[15]

Pengertian ’adalah menurut ilmu hadits ialah sengaja menjauhkan diri dari kebohongan dalam meriwayatkan hadits serta menjaga diri dari kepasikan dan kerusakan.

Khatib al-Bagdadi mengartikan ’adalah dengan orang-orang  yang terkenal ketaatannya menjalankan perintah Allah, menjauhi larangannya, menjauhi diri dari perbuatan keji. Memerihara hak dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulan, menjaga lidah dari kata-kata yang dapat merusak agama. Orang yang telah memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia disebut ’adil dalam agama dan dikenal benar dalam tutur katanya.

Sifat-sifat sahabat Nabi banyak dilukiskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, sebagai golongan manusia yang mengetahui isi syari’at Islam. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa mereka adalah umat yang terbaik. Surat Ali Imaran 110


Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

 

Merurut Ibn Hibban, hadits-hadits ini sebenarnya dalil yang menunjukan bahwa semua sahabat itu adil dan tidak satupun di antara mereka yang tercela dan lemah. Ibn Abbas Berkata:

لا تسو بو اصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فلقام احد هم ساعة يعنى مع النبى صلى الله عليه وسلم خير من عمل احدكم اربعين سنه (رواه ابن باتوتة)

Artinya: Jangalah kalian mencaci maki para sahabat Rasulullah SAW sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih dari amal seorang dari kalian selama empat puluh tahun.

لا يدخل النار احد فمن بايع تحت الشجر

Artinya: Tidak akan masuk nereka seorangpun dari orang-orang yang berbai’at di bawah pohon (Hudaibiyah). (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi dan Muslim).

لا يدخل النار جل النا رجل شهيد بدرا والحديبية

Artinya: tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta dalam perang badar dan perjanjian Hudaibiyah. (HR. Ahmad dari Jabir).

 

Para ahli berpendapat bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan keutamaan para sahabat Nabi, namun tidak langsung menunjukkan keadilan mereka. Dari sinilah ada beberapa masalah yang kemudian menimbulkan perbedaan pemasalahan dan penilaian, karena sifat utama belum tentu menunjukkan sifat adil, sebaliknya sifat adil belum tentu memiliki sifat utama. Meskipun sifat utama ini lebih tinggi nilainya dari pada sifat adil. Oleh karenanya ada beberapa pandangan yang mengatakan mengenai tentang penilaian keadilan sahabat ini, antara boleh dikritik dan tidak boleh dikritik.

Ahmad Amin menyatakan bahwa sebagian besar kritikus hadits berpendapat, bahwa umunnya para sahabat jujur. Tak seorangpun diantara mereka mencela dan mendustakannya. Namun segolongan ulama yang lain berpendapat bahwa terdapat para sahabat itu perlu diadakan penelitian sebagaimana terhadap orang lain. Dan segolongan lain pula berpendapat bahwa pra sahabat itu seluruhnya jujur, terkecuali sejak tibulnya perang saudara antara Ali dengan Muawiyah. Atas dasar pengertian inilah Imam al-Ghazali memberi pengertian tentang sahabat yaitu orang yang banyak bergaul dengan Nabi.

Secara rinci dapat dijelaskan bahwa penilaian tentang keadilan sahabat yang dianggap kontroversi tersebut dilatarbelakangi oleh setting sejarah yang hitam, yang terjadi dan mengitari di sekitar kehidupan para sahabat. Seperti perang jamal dan perang Shiffin. Disatu pihak adanya sikap yang berbeda terhadap para sabahat ini, sesungguhnya juga yang menjadi pokok perbedaan penilaian para sahabat ini, sesungguhnya juga yang menjadi pokok perbedaan penilaian ini terletak pada latar belakang pemahaman agama yang berbeda. Alasan yang terakhir inilah tampaknya yang lebih dominan mewarnai penilaian tersebut.

Penilaian ini lebih cendrung untuk menyudutkan salah seorang sahabat Nabi, dengan matif dan tujuan tertentu. Misalnya menguatkan isu keagamaan dan aliran yang dianutnya. Namun disini ada beberapa pandangan dan penilaian terhadap keadilan para sahabat seperti Suni, Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah.

Menurut ahlu sunnah bahwa semua sahabat Nabi itu adil tanpa terkecuali. Pandangan ini mengacu kepada dalil-dalil naqli dan aqli. Menurut Mu’tazilah berpandangan bahwa seluruh sahabat itu adil, kecuali yang memerangi Ali yang dipandang sebagai fasik. Menurut Khawrij berpendapat bahwa para sahabat itu harus dinilai adil, sehingga timbul kekacauan di anatara mereka. Maka sesudah kekacauan itu haruslah diteliti keadilan mereka ketika menerima riwayatnya. Menurut Syi’ah berpendapat bahwa tidak semua sahabat itu adil. Karena menurut pandangan mereka seperti Abu Bakar, Umar, Utsman adalah orang-orang yang rampas kekuasan Ali.

Secara subtansi para ulama kritis hadits berpendapat bahwa tidak seluruh sabahat Nabi itu adil. Bahkan di antara mereka ada yang menetapkan seperti yang dikemukakan oleh al-Mukbili, yang menyatakan hanya manyoritas dari sahabat saja, bukan keseluruhan. Karena pada hakikatnya sahabat itu manusia yang bisa terkena salah, lupa dan juga terbawa hawa nafsu sebagaimana terkena kepada manusia lainnya.

PENUTUP

Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah: Ilmu yang membahas para perawi hadits dari segi dhabit dan kecacatan atau ditolak atau diterima riwayat dinilai dari ungkapan atau lafaz tertentu. Kembali kepada Syarat-syarat bagi rawi yang telah diungkapkan para ulama diatas dapat disimpulkan (khusus orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan), yaitu : Alim dan berilmu pengetahuan, takwa,  wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil dan makruhat-makruhat), jujur, menjauhi fanatik golongan dan mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan. Tingkatan Al-Jarh Wa At-Ta’dil ada enam, ulama menggunakan hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang berada pada keempat tingkat ta’dil. Adapun yang berada pada tingkatan kelima dan keenam yang menunjukkan ketidakdhabitan perawinya, haditsnya ditulis dan di-i’tibar-kan dengan hadits yang lainnya. Orang yang diberi keterangan dengan keempat tingkat al-jarh yang pertama tidak bisa dibuat hujjah. Sedang yang disifati dengan tingkat kelima dan keenam, haditsnya bisa ditakhrij untuk digunakan sebagai i’tibar.

Keadilan sahabat memilih kepada pendapat yang mempunyai dasar yang kuat. Allah SWT dan Rasulullah SAW menilai sahabat sebagai orang yang adil. Hal ini berdasarkan apa yang mereka lakukan, yakni membela agama, membantu dan menolong Rasulullah SAW, hijrah bersama beliau, mengorbankan harta dan jiwa, memiliki komitmen terhadap persoalan agama, melaksanakan hukum dan aturan aturannya, bersikap ketat dalam memenuhi perintah Allah dan larangan-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

‘Ajjaj Al-Khatib, Muhammad. Ushul al-Hadits. Terjemah M. Qodirun Nur dan Musyafiq, Ahmad. (Jakarta: Gaya Media  Pratama, 2001)

Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. (Bulan Bintang: Jakarta, 2005)

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penilitian Hadis Nabi. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992)

Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

Soetari, Endang. Mengkaji Ilmu Hadis Menegakkan Budaya Kritik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004)

Waristum Munawir, Ahmad. Kamus Al-Munawir (Arab-Indonesia), (Bandung: Progresif Pustaka, 1997)

 


[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penilitian Hadis Nabi. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992) h. 72-73

[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) h. 31. Lihat Nur al-Din Itr, Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulumul Hadits, h 92

[3] Ibid, 31

[4] Ibid, h. 32

[5] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib Ushul al-Hadits. Terjemah M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media  Pratama, 2001), Cet 2, h 233

[6] Ibid, h. 240

[7] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. (Bulan Bintang: Jakarta, 2005), h. ttd

[8] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.Cit, h 234-235

[9] Ibid, h. 241 

[11] Ibid, h. 246-247

[12] Ibid, h. 247-248

[13] Endang Soetari, Mengkaji Ilmu Hadis Menegakkan Budaya Kritik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004) h. 100

[14] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Op.Cit, 377

[15] Ahmad Waristum Munawir, Kamus Al-Munawir (Arab-Indonesia), (Bandung: Progresif Pustaka, 1997) h. 905

0 Comment