18 Februari 2023

      A.    PENDAHULUAN

Masa Rasulullah saw perhatian sahabat terhadap sunnah sangat besar. Demikian juga perhatian generasi berikutnya seperti tabi’in, tabi’ tabi’in, dan generasi setelah tabi’ tabi’in. Mereka memelihara hadits dengan cara menghafal, menulis, menghimpun, dan mengodifikasikannya ke dalam kitab-kitab hadits yang tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, di samping gerakan pembinaan hadits tersebut timbul pula kelompok minoritas atau secara individual berdusta membuat hadits yang disebut hadits mawdhu’ (hadits palsu). Maksudnya menyandarkan sesuatu yang bukan dari nabi kemudian dikatakan dari nabi saw.

Kondisi hadits pada masa perkembangan sebelum pengodifikasian dan filterisasi pernah mengalami pembauran dan kesimpangsiuran di tengah jalan sekalipun hanya minoritas saja. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset-riset hadits yang beredar dan meletakkan dasar kaidah-kaidah atau peraturan yang ketat bagi seseorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu ini disebut ilmu hadits.

B.     PENGERTIAN ILMU HADITS

Secara bahasa ilmu (العلم) berarti al idrak  (الادراك) yaitu menghasilkan, sedangkan hadits (الحديث) berarti baru, atau bisa juga berarti khabar (berita).[1] Maka ilmu hadits dalam pengertian bahasa adalah menghasilkan sesuatu yang baru.[2]

Ilmu juga berarti pengetahuan, knowledge dan science. Dan hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw baik dari perkataan, perbuatan maupun persetujuan.[3]

Dari defenisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan. Perawi adalah orang-orang yang membawa, menerima, dan menyampaikan berita dari nabi, yaitu mereka yang ada dalam sanad suatu hadits. Bagaimana sifat-sifat mereka, apakah bertemu langsung dengan pembawa berita atau tidak, bagaimana sifat kejujuran dan keadilan mereka dan bagaimana daya ingat mereka apakah sangat kuat atau lemah. Sedangkan maksud yang diriwayatkan (marwi) terkadang guru-guru perawi yang membawa berita dalam sanad suatu hadits atau isi berita (matan) yang diriwayatkan, apakah terjadi keganjilan jika dibandingkan dengan sanad atau matan perawi yang lebih kredibel. Dengan mengetahui hal tersebut dapat diketahui mana hadits yang shahih dan yang tidak shahih.[4]

Bagi kalangan para ulama-ulama hadits, ilmu hadits dikenal dalam dua bentuk penyebutan. Pertama dikenal dengan ilmu hadits riwayah atau ilmu riwayatul hadits. Dan yang kedua dikenal dengan ilmu hadits dirayah atau ilmu dirayatul hadits. Yang pada dasarnya kedua penyebutan tersebut merupakan pokok pembahasan utama dalam ilmu hadits.

Ilmu hadits riwayah menurut Dr. Muhammad Ujaj al-Khatib adalah ilmu yang membahas tentang pemindahan segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw berupa perkataan atau perbuatan atau ketetapan atau sifat nabi saw dalam hal bentuk fisik maupun akhlak atau kepribadian beliau secara detail dan terperinci.[5]

Ilmu hadits riwayah membahas tentang periwayatan, perpindahan hadits dari sahabat ke tabi’in, dari tabi’in ke tabi’ tabi’in. Ilmu ini tidak lagi dipelajari karena telah selesai sejak hadits dibukukan. Adapun ilmu hadits yang ada sampai saat ini adalah ilmu hadits dirayah.

Ilmu hadits dirayah dikalangan para ulama mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Diantaranya seperti yang disampaikan oleh Syaikhul Islam al-Hafizh ibn Hajar, bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah tentang pengetahuan terhadap keadaan rawi dan marwi.[6] Sedangkan menurut imam Izzuddin bin Jama’ah ilmu dirayatul hadits adalah ilmu yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan.[7] 

C.    SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADITS

Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa nabi masih hidup di tengah-tengah sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadits pun tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadits.[8]

Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits karena konsentrasi mereka kepada al-qur’an yang baru dikodifikasikan  pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini dikenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan), para sahabat tidak meriwayatkan hadits kecuali dengan disertai saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadits karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain. Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elit politik yakni antar pendukung Ali dan Muawiyah dan umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah terjadi pemalsuan hadits (hadits mawdhu) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari massa yang lebih luas.[9]

Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadits dari pemalsuan dengan berbagai cara di antaranya mencek kebenaran hadits dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad. Sanad adalah merupakan syarat mutlak bagi yang meriwayatkan hadits, maka dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah timbul pembicaraan periwayat mana yang adil dan mana yang cacat (al jarh wa at-ta’dil), sanad mana yang terputus (munqathi) dan yang bersambung (muttashil), dan cacat (illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam taraf yang sederhana karena pada masa itu masih sedikit sekali di antara periwayat yang cacat keadilannya.[10]

Perkembangan ilmu hadits semakin pesat ketika ahli hadits membicarakan tentang daya ingat para pembawa dan perawi hadits kuat apa tidak (dhabith), bagaimana metode penerimaan dan penyampaiannya (tahammul wa ada’), hadits yang kontra bersifat menghapus (nasikh dan mansukh) atau kompromi, kalimat hadits yang sulit dipahami (gharib al-hadits), dan lain-lain. Akan tetapi, aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan (syafawi) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan abad kedua hijriah sampai abad ketiga hijriah ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri, masih tercampur dengan ilmu-ilmu lain.[11]

Sesuai dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits yang disebut pada masa kejayaan atau keemasan hadits yaitu pada abad ketiga hijriah perkembangan ilmu hadits juga pesat, karena perkembangan keduanya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri ia masih dalam bentuk bab-bab saja. Orang yang pertama kali menulis ilmu hadits  adalah Ali bin al-Madini syaikhnya al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi.[12]

Perkembangan ilmu hadits mencapai puncak kematangan dan berdiri sendiri pada abad ke-4 H yang merupakan penggabungan dan penyempurnaan berbagai ilmu yang berkembang pada abad-abad sebelumnya secara terpisah dan berserakan. Al-Qadhi Abu muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi adalah orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadits yang berdiri sendiri dalam karyanya al-Muhaddits al-Fashil bain ar-Rawi wa al-Wai. 

D.    OBJEK KAJIAN ILMU HADITS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ilmu hadits riwayah saat ini sudah tidak dipakai lagi karena objek pembahasannya yang menyangkut tentang periwayatan telah selesai dipelajari sejak hadits dibukukan. Ilmu hadits yang ada pada saat ini adalah ilmu hadits dirayah.

Berdasarkan pengertian dari ilmu hadits dirayah itu, dapat diketahui bahwa objek kajian dari ilmu hadits itu adalah sanad dan matan atau rawi dan marwi.

E.     CABANG-CABANG ILMU HADITS

1.      Ilmu Rijal al-Hadits

Ilmu rijal al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.[13]

Melalui ilmu ini dapat diketahui keterangan dari riwayat hidup para perawi, baik yang dipercaya, yang lemah, atau bahkan pembuat hadits mawdhu.

Ilmu rijal al-hadits ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu tarikh ar-ruwah dan ilmu al-jarh wa at-ta’dil.[14]

-          Ilmu Tarikh ar-Ruwah

Yaitu ilmu yang mempelajari tentang sejarah hidup hingga wafatnya seorang perawi, para guru mereka, serta sejarah mereka menerima hadits dari guru-guru mereka, sejarah perjalanan mereka ke daerah lain dalam mencari hadits, dan lain sebagainya.[15]

-          Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil

Adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka atau yang memuji mereka dengan kata-kata khusus. Jadi ilmu ini membahas tentang nilai cacat (al-jarh) seorang perawi dengan menggunakan kata-kata tertentu dan memiliki hierarki tertentu.[16]

2.      Ilmu Ilal al-Hadits

Ilmu ilal al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang membuat cacat pada hadits sementara lahirnya tidak nampak adanya cacat tersebut. Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadits yang terdapat illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan di mana illat tersebut terjadi, dan pada sanad atau pada matan.[17]

3.      Ilmu Gharib al-Hadits

Ilmu gharib al-hadits adalah ilmu yang menerangkan tentang makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.[18] Tujuan ilmu ini untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadits yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpretasi kalimat gharib dalam hadits tersebut.[19]

4.      Ilmu Mukhtalif al-Hadits

Ilmu mukhtalif al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zahir tampak saling bertentangan, untuk kemudian dikumpulkan dan dijelaskan hakikat sebenarnya sehingga hal-hal yang bentuknya bertentangan tersebut justru saling mendukung satu dengan yang lainnya.[20]

5.      Ilmu Nasikh wa Mansukh

Ilmu nasikh wa mansukh adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan karena materi (yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.[21]

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara, yaitu:[22]

a.       Dengan penjelasan dari nash atau syar’i sendiri, yang dalam hal ini adalah Rasulullah saw.

b.      Dengan penjelasan dari para sahabat.

c.       Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta sabab wurud hadits. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian.

6.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits

Ilmu asbab wurud al-hadits adalah ilmu yang menjelaskan tentang sebab-sebab datangnya hadits, latar belakang dan waktu terjadinya. Tujuan mengetahui ilmu ini adalah untuk mengetahui sebab-sebab dan latar belakang munculnya suat hadits, sehingga dapat mendukung dalam pengkajian makna hadits yang dikehendaki.[23]

7.      Ilmu Tashhif wa Tahrif

Ilmu tashhif wa tahrif adalah ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf). Tujuannya untuk mengetahui kata-kata atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadits dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengetahui derajat kualitas kecerdasan seorang perawi.[24]

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Atar, Nuruddin, Minhajun Naqd Fi Ulumul Hadits, (Suria: Darul Fikri, 1997)

al-Khatib, Muhammad Ujaj, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhui, (Suria: Darul Fikri, 1989)

Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2009)

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan bintang, 1991)

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006)

as-Suyuthi Abdurrahman Abu Bakar, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi, (Riyadh: Maktabah Riyadh)

 



[1]Nuruddin Atar, Minhajun Naqd Fi Ulumul Hadits, (Suria: Darul Fikri, 1997), h. 26

[2]Ibid, h. 30

[3]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 68

[4]Ibid

[5]Muhammad Ujaj al-Khatib, Ushulul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhui, (Suria: Darul Fikri, 1989), h. 7

[6]Abdurrahman Abu Bakar as-Suyuthi, Tadrib ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawi, (Riyadh: Maktabah Riyadh), h. 5

[7]Nuruddin Atar, op Cit, h. 32

[8]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 78

[9]Ibid, h. 79

[10]Ibid, h. 80

[11]Ibid, h. 81

[12]Ibid

[13]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, (Jakarta: Bulan bintang, 1991), h. 153

[14]Muhammad Ujaj al-Khatib, op Cit, h. 260-261

[15]Ibid

[16]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 85

[17]Ibid, h. 86-87

[18]M. Hasbi Ash Shiddieqy, op Cit, h. 161

[19]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 87

[20]Muhammad Ujaj al-Khatib, op Cit, h. 283

[21]Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 38

[22]Ibid

[23]Abdul Majid Khon, op Cit, h. 90

[24]Munzier Suparta, op Cit, h. 41

0 Comment