14 Februari 2023

Pembangkit Kesadaran Politik Umat

Renungan; By Zilfa

Dalam tradisi al-Isrâqîyah yang dipelihara dan dikembangkan Mul­la Sadra, pada abad ke-19 M (ke-13 H) tumbuh seorang pemikir dan pejuang Muslim modernis pertama dalam sejarah, yaitu al-Afghani (Jamaluddin al-Afghani, 1255-1315 H/1835-1897 M). Jamalud­din sendiri mengatakan bahwa ia lahir di kota Asadabad di Afgha­nistan (maka bersebutan al-Afgha­ni), tapi penelitian para sarjana menunjukkan bahwa ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (Asadabad) di Iran, bukan di Af­gha­nistan. Ini menyebabkan bahwa banyak orang, khususnya mereka dari Iran, lebih suka menyebut pemikir-pejuang Muslim modernis itu al-Asadabadi, bukan al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya, sebagaimana dike­hen­daki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan al-Afghani. Namun, lepas dari kontraversi itu, Jamaluddin bersama dengan keluar­ganya memang pindah mening­galkan kota kelahirannya, dan pernah menetap di Teheran untuk menuntut ilmu pada seorang alim Syiah yang terkenal di sana, Aqa­shid Shadiq. Kemudian ia melan­jutkan belajar ke al-Najaf di Irak, pusat perguruan Syiah, dan selama beberapa tahun menjadi murid seorang sarjana Syiah yang terkenal, Murtada al-Anshari.

Letak kebesaran al-Afghani bukanlah dia sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh dan daya baca zaman yang tajam. Kebesarannya terletak terutama dalam peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat menghadapi Barat, dan pemberi jalan bagaimana meng­­hadapi arus modernisasi du­nia. Kegiatan politiknya membawa al-Afghani ke banyak negeri, Islam dan bukan-Islam, sejak dari Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Rusia, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Di antara sekian banyak perjalanannya itu yang sangat berkesan baginya ialah ketika ia pada tahun 1871 untuk kedua kalinya mengunjungi Mesir dan menetap di sana selama dela­pan tahun, saat mana pengaruh intelektual dan politiknya yang luar biasa mulai menunjukkan hasil. Di antara murid al-Afghani yang pa­ling terkenal dan yang kemudian sangat berpengaruh di seluruh dunia Islam ialah Abduh (Syaikh Muhammad Abduh, 1261-1323 H/1845-1905 M).

Bersama Muhammad Abduh, al-Afghani karena sesuatu hal pergi ke Prancis, dan di sana mereka ber­dua menerbitkan majalah dalam ba­hasa Arab, al-‘Urwah al-Wutsqâ (“Tali yang Ku­kuh”), media me­reka untuk refor­masi dan modernisasi umat. Di Prancis itu al-Afghani ber­temu dengan Ernest Renan, failasuf dan sejarawan terkenal, yang salah satu bidang kajiannya ialah falsafah Ibn Rusyd. Konon Renan men­dapati kepribadian dan ide-ide yang amat menarik pada al-Afghani, dan sebagai ahli falsafah ia mengatakan merasa seperti sudah kenal sebe­lumnya. Sebab baginya al-Afghani terdengar suaranya seperti suara Ibn Sina dan Ibn Rusyd yang menyeru umat kepada rasionalisme dan kebebasan berpikir. Di kalangan kaum Syiah yang mempunyai tra­disi penyerasian antara falsafah dan dogma yang lebih kuat, rasiona­lisme dan kebebasan berpikir al-Afghani itu tentunya tidak terlalu mengejutkan. Tetapi, di kalangan kaum Sunni, seruan al-Afghani itu menimbulkan kegegeran. Di­tam­bah dengan radikalisme politiknya menghadapi Barat dan peme­rintah­an Islam reaksioner, seruannya ke­pada umat itulah yang dari semula telah me­nye­babkannya hi­dup ber­pindah-pindah tak me­nen­tu. Selain un­tuk meng­hindari reaksi fanatik sebagian ulama dan pe­nindasan para penguasa ter­tentu, al-Afghani mengembara adalah juga guna menyebarkan pikiran-pikiran per­juangannya dan mencari pendengar yang paham dan lebih simpatik.

Pandangan pokok al-Afghani ialah bahwa untuk berhasil me­ngem­balikan kejayaannya yang lalu dan sekaligus guna menghadapi Abad Modern, umat harus kembali menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang lebih murni. Karena pe­ma­haman serta pengamalan umat akan agamanya seperti yang ia saksikan terbukti membawa kekalahan terha­dap bangsa-bangsa bukan-Muslim, Al-Afghani memastikan tentang adanya sesuatu yang salah dalam pe­mahaman dan pengamalan aga­ma, dan tentang adanya suatu ben­tuk semangat keislaman yang lebih murni, yang kini hilang atau me­le­mah. Al-Afghani berpendapat bah­wa semangat itu terletak dalam apa yang menjadi salah satu tema pokok seruannya di atas, yaitu berpikir rasional dan bebas.

Sebagai seorang aktivis politik tampaknya al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan (pidato) daripada dalam tulisan. Sekalipun begitu, karya tulisannya tetap mempunyai nilai besar dalam seja­rah umat di zaman modern, seperti bisa dilihat pada sebuah makalah pendek. Makalah itu bernada pida­to yang amat bersemangat, meng­gambarkan penilaian al-Afghani tentang betapa mundurnya umat Islam dibanding dengan bangsa-bangsa Eropa yang pernah ia saksi­kan, serta seruannya agar kaum Muslim kembali mendapatkan semangat agamanya yang hilang, yang dulu membuat mereka jaya.

Al-Afghani adalah seorang revo­lu­sioner yang diilhami oleh do­rongan keagamaan yang menyala-nyala untuk mengangkat derajat dan memajukan umat, seorang pejuang-pelopor dengan magne­tisme pribadinya yang amat me­mikat. Pikiran-pikirannya berhasil mengelektrifisir sentimen umat, dan sepak terjang perjuangannya telah mengilhami berbagai gerakan  revolusioner Islam melawan pen­jajah­an dan penindasan Barat. Ka­re­na pada dasarnya ia adalah se­orang revolusioner politik, al-Af­gha­ni mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa kalimat-kalimat bersemangat dan rumusan-rumusan kunci, tanpa ela­borasi intelektual yang lebih jauh.


0 Comment