13 Februari 2023

 

Akal: Aktivitas Berpikir

Pada dasarnya wujud manusia bisa dibagi menjadi tiga. Jasmani adalah wujud yang paling lahiri, di mana hampir semua ajaran kesufian menganggap jasmani sebagai peng­halang untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Ting­kat kedua adalah nafsani, yaitu tingkat psi­kologis yang lebih kompleks dari­pada jasmani. Tingkat ketiga adalah ruhani yang lebih kompleks lagi dan mendalam.

Yang menjadi pertanyaan kemu­dian adalah di mana letak akal? Secara teoretis, ada pembagian yang lebih halus sehingga akal, menurut Ibn Taymiyah, lebih merupakan instru­men pada manusia untuk sampai pada kebenaran.

Kalau dikembalikan kepada bahasa, akal berasal dari ‘aql (bahasa Arab) dalam bentuk mashdar (ver­bal noun), yaitu bentuk kata benda yang me­ngan­dung arti kerja. Jadi ‘aql berarti kegiatan atau ak­ti­vitas yang me­ng­gunakan pikiran; akal ti­dak berdiri sen­diri tetapi meru­pakan aktivitas. Ini berbeda dengan konsep Yunani yang menempatkan akal seolah-olah makhluk tersendiri yang dise­but Nous. Itulah sebabnya kenapa setelah membuat berbagai pe­rumpamaan, Allah berfirman wamâ ya‘qiluhâ illâ al-‘âlimûn (Q., 29: 43). Kalau diterjemahkan agak sedikit bebas, berarti tidak ada yang bisa memahaminya secara rasional kecuali mereka yang berpengeta­huan. Ungkapan ini adalah sebuah me­tafor, karena itu, tidak bisa ber­henti hanya sampai di sini. Me­nurut Ibn Taymiyah, kita harus menyebrangi metafor itu dengan menggunakan akal.

Sedangkan Ibn Sina, yang di­pengaruhi falsafah Yunani, mema­ha­mi akal sebagai entitas tersendiri dan ditempatkan di antara ruh de­ngan jiwa. Ruh sebagai bagian eksis­tensial kita yang paling tinggi ber­­asal dari Tuhan. Kita sama de­ngan binatang pada dua tingkat, yaitu jasmani dan nafsani. Tetapi ti­dak pada tingkatan ruhaninya, karena binatang tidak punya ruh. Maka sebetulnya yang disebut ruh bukanlah hidup ini, tetapi sesuatu yang lebih tinggi daripada hidup. Sebab kalau hanya hidup, binatang juga hidup, tetapi tidak punya ruh. Manusia seperti digambarkan Al-Quran, setelah sampai proses ter­tentu dalam pertumbuhannya, ...dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya (Q., 32: 9). Itulah sebabnya kenapa dalam tasawuf semua manusia dipandang mem­punyai sifat ilahi (lâhût), dan inilah yang harus didorong agar bisa kembali kepada Allah.

0 Comment