20 Februari 2023

 HADITS MAUDHU'

Allah SWT telah mengutus Rasulullah dengan persiapan yang matang untuk memikul amanat untuk memperbaiki Akhlak manusia di permukaan bumi, untuk itu ditanamkanlah aqidah yang mantap dan di ajarkan tentang hukum-hukum di dalam islam kepada manusia. Untuk itu di turunkanlah Al qur’an sebagai pedoman dan petunjuk kepada manusia melalui Rasulullah SAW.

Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan semua tentang apa yang diturunkan Allah SWT kepadanya. Dan Rasulullah menjelaskan kepada umatnya melalui sunnah dan hadis-hadis. Kedudukan hadis-hadis ini dalam kehidupan kaum muslimin sangat besar pengaruhnya. Karena itu ada sebahagian dari golongan orang yang ingin menggunakan hadis-hadis ini untuk mendukung kepentingan diri dan kelompok tertentu. Sehingga bermunculanlah hadis-hadis palsu yang disebut dengan hadis maudhu’ yang menimbulkan kekacauan ditengah umat.

Untuk lebih memahami hadis maudhu’ dan karakteristik dari kemaudhu’annya, maka penulis akan mencoba menjelaskan tentang hadis maudhu’, latar belakang kemunculan serta karakteristik dari hadis tersebut.

PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hadis Maudhu’

Kata maudhu’ adalah isim maf’ul dari   يضع -يضع - وضع.yang menurut bahasa berarti الإسقاط letakkan atau menyimpan), والإتلاق الإفتراء (mengada-ada atau membuat-buat), المتروك  أي  الترك ditinggalkan).

Sedangkan secara terminologis, hadis maudhu’ di definisikan sebagai berikut:

عمدا .مص  الله رسول  على  المكذوب المصنوع  المختلق

“Hadis yang dibuat-buat atau di ciptakan, yang didustakan atas nama Rasulullah SAW secara sengaja.”

 يقره أو  يفعله أو يقله لم مما وكذبا إختلاق مص اللهرسول إلى  مانسب

“ Hadis yang di sandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal Beliau tidak mengatakan, melakukan atau menetapkan”[1].

Dari definisi diatas, dapat di ambil kesimpulan bahwa apa saja yang di nisbahkan, atatu di sandarkan kepada Rasulullah, baik yang bersifat positif seperti untuk kepentingan dakwah dan ibadah, maupun yang bersifat negatif seperti sengaja untuk menyesatkan orang lain atatu untuk kepentingan egoisme kelompok, jika Rasul sendiri tidak menyabdakannya, itu adalah Hadist maudhu’. Bahkan ada ulama yang mengatakan, bahwa yang termasuk kategori hadis ini bukan hanya yang disandarkan  kepada Rasulullah SAW saja, akan tetapi juga keada para sahabat dan Tabi’in. seperti pada definisi dibawah ini: 

إلى أو  عليه  اإفراء مص الله رسول على  المنسوب المكذوب  المختلقالخبر

 إلى  أو  الصحابي

“Berita yang dibuat-buat yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dengan sengaja berdusta atas namanya, atatu atas nama sahabat dan tabi’in.”[2]

2.      Sejarah kemunculan, latar belakang dan perkembangannya

Selama umat islam umat Islam berada dibawah pimpinan empat khalifah Rasyidin, hadis Nabi masih murni dan tidak termasuki kedustaan sama sekali. Ketegangan antara Ali bin Abi Thalib dan muawiyah berdampak besar terhadap pecahnya umat dan munculnya aliran keagamaan. Masing-masing ingin melegitimasi pendapat mereka dengan Al Qur’an dan sunnah. Karena mereka tidak menemukan legitimasi tersebut sebahagian dari mereka mencoba mentakwilkan Al Qur’an dan penafsirkan hadis-hadis dengan pengertian yang sebenarnya tidak dikandungnya. Dan ketika sebagian dari mereka tidak menemukan apa yang mereka cari karena banyaknya para pakar yang hapal Al Qur’an dan As sunnah, maka mereka peralih pada pola pemalsuaan dan pendustaan atas diri Rasulullah SAW. Sejak saat itu muncullah hadis-hadis tentang keutamaan Khalifah Rasyidin yang empat dan lain-lainya dari para pemimpin dan pemuka aliran, dan juga hadis pengukuhan kelompok dan aliran tertentu. Perlu digaris bawahi bahwa pemalsuaan hadis belum mencapai puncak pada abad pertama dan kedua hijriah. Hadis-hadis maudhu’ ini makin bertambah banyak dengan bertambahnya bid’ah dan pertikaian.[3]

Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis, antara lain:

a.       Pertentangan Politik

Perpecahan umat Islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan “Ali bin Abi Thalib” besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat ke dalam beberapa golongan dan kemunculan hadis-hadis palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan memmpengaruhi orang-orang dengan membawa-bawa Al Qur’an dan sunnah.


Masing-masing kelompok yang berusaha mencari dalil kedalam Al Qur’an dan sunnah, dalam rangka mengunggulkan kelompok atau mazhabnya masing-masing. Ketika tidak ditemuinya, maka mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW. Dari sinilah Hadis palsu mulai berkembang. Materi hadis palsu yang pertama mengangkat tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.[4]


Menurut Ibnu Abi Al Haddad dalam ‘Syarah Nahj Al Balaghah”, sebagaimana dikutip oleh Mushthafa Al Siba’i, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadis palsu adalah dari golongan syi’ah dan golongan Ahlu Al Sunnah (Jumhur Ulama) menandinginya dengan hadis-hadis lain yang juga maudhu’.[5]


Pada waktu itu karena peretentangan politik, terdapat 3 kelompok besar, yaitu: syi’ah, Khawarij, dan Ahlu al sunnah(jumhur ulama). Sedangkan yang paling banyak memalsukan hadis adalah sekte Rafidhah dari kelompok Syi’ah.[6]


Sedangkan kaum Khawarij tidak terdapat riwayat yang tegas yang menyatakan bahwa kaum Khawarij membuat hadis palsu. Bahkan menurut pendapat yang kuat, bahwa latar belakang ketidakan mereka dalam membuat hadis palsu adalah keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dan berdusta termasuk dosa besar. Bahkan banyak kabar yang mengukuhkan bahwa mereka merupakan kelompok yang paling jujur dalam meriwayatkan hadis. Dalam hal ini abu Daud mengatakan:”Di antara pengikut hawa nafsu, tidak ada aliran yang lebih shahih hadisnya di bandingkan Khawarij.”[7]


b.      Usaha Kaum Zindik

Pada masa itu negara Islam telah mampu meruntuhkan dua negara adikuasa, yaitu Kisra dan Qaishar dan mampu meredam raja-raja dan amir-amir yang bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah kekuasaan mereka dengan cara menyiksa, menjarah harta benda dan menjadikan budak warganya. Di antara para penguasa itu ada kelompok-kelompok khusus, yaitu pihak-pihak yang mengambil keuntungan dan mereka bersikap ekstrem. Tatkala Islam telah tersebar luas, maka masyarakatnya mulai merasakan nikmatnya kemerdekaan dan mendapat perlakuan yang manusiawi. Pada saat yang sama penguasa yang kehilangan kekuasaannya tidak kunjung mendapatkan posisi. Karenanya mereka mendekati Islam dan tunduk.Karena penguasa ini tidak mampu merealisasikan keinginannya dengan senjata, maka mereka mencoba menjauhkan masyarakat dari akidah yang baru ini, dan menggambarkan Islam dan ajaran-ajaranya dengangambaran yang buruk, baik dalam akidah maupun dalam ibadahnya, serta pemikiran-pemikirannya. Mereka muncul dengan tampilan yang beragam dan berada dalam kelompok yangberagam pula. Hanya saja, upaya-upaya mereka itu luluh di hadapan kekuatan Islam, keluhuran tujuan-tujuannya, kesucian aqidahnya, dan kecermatan syari’ahnya, serta dihadapan kegigihan para ulamanya.[8]

 Seorang zindik yang telah memalsukan banyak hadis adalahAbd Al Karim Ibn Auja yang di hukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman  bin ‘Ali, Waliwilayah Basrah. Ketika Hukuman akan di laksanakan dia mengatakan ”Demi Allah saya telah membuat hadis palsu sebanyak 4000 hadis”.Hadis palsu ini telah tersebar ditengah masyarakat. Hammad bin Zaid mengatakan “Hadis yang dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadis”.[9]

Contoh hadis palsu yang mereka buat:

a.   Tuhan akan turun di hari ‘Arafah pada sore hari, naik unta yang berwarna kehijau-hijauan. Dia menyalami penunggang unta dan merangkul pejalan kaki.

b.   Allah swt menciptakan malaikat dari bulu pangkal tangan dan bulu dada-Nya.[10]

Akan tetapi hadis-hadis palsu itu tidaklah tersamar dari tokoh-tokoh hadis. Sehingga mereka menjelaskannya dan melacak para pendusta yang memalsukannya.[11]

c.       Perbedaan Ras, dan Fanatisme Suku, negara dan Imam.

Penguasa Bani Umayyah dalam menjalakan roda pemerintahaan dan memudahkannya, sebahagian bertumpu pada bangsa Arab pada khususnya. Sebahagian mereka sangat fanatik terhadap bangsa arab sehingga memandang kaum muslimin non arab dengan pandangan yang tidak sejalan dengan jiwa Islam, dan kaum mawali (kaum muslimin non Arab) merasakan sikap tersebut.  Akhirnya mereka mengupayakan persamaan antara mereka dengan orang-orang arab, dan mengadakan pergerakan untuk mencapai hal tersebut. Di samping itu, mereka juga membalas pandangan bangsa Arab dengan angkuh dan sombong untuk mengangkat martabat mereka.Contoh Hadis palsunya[12], yaitu:


a.       “Sesungguhnya percakapan mereka yang ada di sekitar ‘Arasy adalah dengan Bahasa Parsi” [13]

b.      “Percakapan yang paling dibenci oleh Allah adalah dengan Bahasa Persi, dan percakapan para penghuni surga adalah dengan bahasa Arab[14]

Selain itu ada di antara meraka yang memalsukan hadis karena negara dan imam, contoh hadis palsunya:

c.       “Empat kota yang termasuk kota-kota di surga adalah Makkah, Madinah, Baitul Maqdis dan Damaskus” [15]

d.      “ Di kemudian hari, akan datang seorang umat-Ku yang bernama Abu Hanifah bin Mu’man. Ia ibaratlan obor bagi umatku”[16]

e.       “Di kemudian hari akan datang seorang umat-Ku yang bernama Muhammad bin Idris(imam Syafi’i), ia akan lebih menimbulkan mudarat kepada umat-Ku di bandingkan iblis.”[17]

    d.      Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasehat atau para tukang cerita.

Sebahagian tukang cerita tidak memiliki keinginan selain sekadar mengumpulkan orang-orang. Lalu membuat hadis-hadis palsu yang membuat mereka lega dan tertarik, menggerakan keinginan-keinginan mereka dan memberikan harapan-harapan bagi mereka. Di antara tikangcerita tersebut ada yang melakukan hal-hal tersebut untuk mendapatkan pemberian-pemberian dari pendengarnya. Mereka tidak mengindahkan adanya dosa sama sekali. Dan anehnya para tukang cerita itu mendengarkan telinga-telinga yang akan mendengarkan ceritanya, membenarkan dan membela mereka dari orang-orang bodoh yang tidak punya keinginan untuk mencek dan menelitinya.[18] Contoh hadis palsunya:

”barang siapa yang mengucapkan La Ilaha Illallah maka Allah akan menciptakan satu burunng dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan”

e.       Senang dengan kebaikan tanpa adanya pengetahuan agama yang cukup.

Sebahagian orang shaleh dan zhahid melihat kesibukan masyarakat terhadap dunia dan meninggalkan akhirat. Lalu mereka membuat hadis palsu berkenaan dengan tarhib dan targhib, dengan harapan mendapat pahala dari Allah SWT. Seandainya mereka menelaah sebagaian dari hadis nabawi, tentulah mereka merasa tidak perlu membuat hadis palsu. Rasulullah bersabda,” Barang siapa berdusta atas diriku secara sengaja, maka hendaklah mereka mempersiapkan tempatnya di neraka.”

Diantara hadis palsu yang mereka hasilkan aalah Hadis-hadis tentang keutamaan surat dalam Al Qur’an, Sebahagian masalah perdukunan, dll[19].

f.        Menjilat Penguasa

Ada di antara pakar hadis memalsukan hadist untuk menyenangkan kecenderungan para khalifah. Ini pernah terjadi pada masa Khalifah bani Abbbasyiah. Diantara hadis palsu yang di buat adalah: “ Tidak ada perlombaan kecuali pada panah, muzah(sayap burung), dan kuku kuda”. Hadis ini dibuat oleh Ghiyat denga maksud untuk mendapatkan simpati atau Hadiah dari Khalifah Al Mahdy. Setelah mendengar hadits tersebut Al Mahdi memberikannya hadiah 10.000 dirham. Namun Ketika Ghiays Hendak Membalik pergi, Al Mahdi menegurnya seraya berkat” Aku yakin itu sebenarnya adalah dusta atas nama Rasulullah”. Menyadari hal tersebut, saat itu juga Khalifah memerintahkan untuk membunuh burung merpatinya.[20]

Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsuan hadits dan menghindarkan upaya para pemalsu. Untuk itu mereka menggunakan metode yang cukup unik yang kesimpulannya sebagai berikut:

a.       Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka, sehingga untuk meneliti tersebut mereka rela meninggalkan keluarga dan tanah airnya. Mereka rela dengansedikit bekal dan pakaian usang dalam mencari sunnah dan mengenal para rawinya. Sehingga mereka dapat membedakan anatara rawi yang tsiqat dan rawi yang jujur tapi mengalami kekacauan hapalannya, serta rawi yang pendusta dan fasik.

b.       Memberi peringatan keras pada para pendusta dan mengungkapkan kejelekan mereka, mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka masyarakat.

c.    Mencari sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad,bahkan hadis yang demikian mereka anggap batil.

d.   Menguji kebenaran hadis dengan membandingkan dengan riwayat yang melalui jalur lain dan hadis-hadis yang telah di akui keberadaannya.

e.       Menetapkan pedoman-pedoman untuk mengungkapkan hadis maudhu’

f.     Menyusun kitab himpunan hadis-hadis maudhu’ untuk memberi menerangan dan peringatan kepada masyarakat tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.[21]

Di kalangan ulama, terdapat beberapa perbedaan pandangan dalam menentukan bobot kemaudhu’an. Perbedaan ini timbul karena adanya, perbedaan pendekatan atau metode panilaian. Menurut Imam Adz Dzahabi, hadis maudhu mempunyai 3 tingkatan, yaitu:

a.  Hadis maudhu’ yang nilai kemaudhu’annya di sepakati secara bulat oleh muhaddisin. Biasanya di ketahui dari pengakuan perawi atatu berdasarkanhasil pengujian dari berbagai aspek.

b.   Hadis maudhu’ yang nilai kemaudhu’annya ditetapkan berdasarkan kesepakatanmayoritas ulama,bukan kesepakatan bulat seluruh ulama. Sementara,sebahagian ulama lain menilai hadis itu bukan maudhu’ tetapi hadis yang di antara sarat shahihnya ada yang gugur saja.

c.  Hadis maudhu’ yang kemaudhu’annya diperselisihkan oleh muhaddisin.Jmhur ulama menilai hadis yang seperti ini sebagaihadis yang diduga maudhu’(Wahm al maudhu). Sebahagian muhaddisin lain menilai hadis yang dusta(kidzb).[22] 

3.      Karakteristik kepalsuan hadis pada sanad

(munzier: 189)Ada beberapa patokan yang bias dijadikan alat untuk mengidentifikasibahwa hadis itu palsu atau sahih, di antaranya:


a.       Dalam Sanad

1.      Atas dasar pengakuan pembuata hadis palsu.

Sebagaimana pengakuan Abu’Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia telah membuat hadis tentang Fadhillah membaca Al Qur’an, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan masalah ini Al Suyuthi mengatakan, bahwa surat-surat Al Qur’an yang di dapati dalam hadis-hadis sahih mengenai keutamaannya hanyalah surat Al Fatihah, Al Baqarah, Ali Imran, Al an ‘am dan tujuh surat yang panjang ( dari surat Al baqarah sampai surat Al Bara’ah), surat Al Kahfi, surat Yasin, Al Dukhan, Al Mulk, Al Zalzalah, An Nur, Al Kafirun, Al Ikhlas dan al Mu’awidzatain. Selain terhadap surat tersebut hadisnya bukanlah hadis shahih.


2.      Adanya Qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya.

Seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syekh, tapi ternyata ia belum pernah betemu secara langsung; atau pernah menerima hadis di suatu daerah, tapi ia belum pernah melakukan rihlah (perjalanan) ke daerah tersebut. Atau pernah menerima hadis dari seorang syekh tapi syekh tersebut di ketahui telah meninggal dunia ketika ia masih kecil, dan lain sebagainya.


3.  Meriwayatkan Hadis sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Sementara itu tidak di temukan dalam riwayat lain. Maka yang demikian itu ditetapkan sebagai hadis Maudhu’. [23] 

4.      Karakteristik kepalsuan hadis pada matan

Dalam matan

1.  Buruknya redaksi Hadis, padahal Nabi Muhammad SAW adalah seseorang yang fasih dalam berbahasa, santun dan enak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan berpengaruh terhadap makna atau pun maksud dari Hadis Nabi SAW. Kecuali apabila si perawi menjelaskan bahwa hadis itu benar-benar menunjukan datangnya dari Nabi SAW.

2.      Maknanya rusak.

Ibnu Hajar menerangkan bahwa kejelasan lafaz ini dititikberatkan pada kerusakan arti.

3.   Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, bertentangan dengan al Qur’an atatu hadis yang lebih kuat, atau ijma’. Seperti hadis yang menyebutkan bahwa umur dunia 700 tahun. Hadis itu bertentangan dengan QS. Al A’raf ayat 187, yang intinya bahwa umur dunia hanya diketahui oleh Allah SWT.

4.    Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatan yang kecil atau ancaman yang yang sangat besar atas perbuatan yang kecil. Seperti hadis yang menyatakan bahwa anak hasil perzinaan tidak masuk surge hingga tujuh turunan. Ini menyalahi QS. Al an’am ayat 164 yang menyatakan bahwa:

 

Artinya: “ Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain”

5.  Hadis yang bertentangan dengan kenyataan sejarahyang benar-benar terjadi di masa Rasulullah SAW, yang jelas tampak kebohonannya. Seperti hadis tentang ketentuan jizyah (pajak) pada penduduk Khaibar. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan hadis tersebut. Pertama, dikatakan bahwasannya hal itu diriwayatkan dari Sa’ad ibn Mu’adz, padahal Sa’ad telah meninggal sebelum perang Khandaq. Kedua, kewajiban jizyah saat itu belum di terapkan.

6.       Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat, seperti hadis:

Bahwasannya Nabi SAW memegang tangn Ali bin Abi Thalib di suatu majlis di anatara para sahabat yang lain….kemudian Nabi bersabda: “Inilah wasiatku dan Saudaraku, dan Khalifah setelahku.”Kemudian sahabat yang lain sepakat.Hadis tersebut jelas kepalsuannya.[24](munzier 190-191)

 

Karya-karya yang populer di bidang hadis maudhu’


Upaya ulama dalam menjaga hadis dari kepalsuan tampak dalam berbagai karya, baik berkenaan dengan nama-nama sahabat, sejarah para perawi, nama-nama asli, kun-yah, laqab dan nisbat, al Jarh wa at ta’dil, para pemalsu hadis-hadis dan hadis-hadis hasil pemalsuan mereka. Di antara karya-karya yang terpopuler tentang hadis maudhu’ adalah:


  1. Tadzkirah al Muadhu’at karya Abu al Fadhl Muhammad Ibn Thahir al Maqdisiy(448-507H).Meliau menyusun secara alfabetis, berisi hadis beserta imam yang menjarh perawinya. Di cetak di Mesir pada tahun 1323H.
  2.  Al Muadhu’at Al Kubra karya abu al Faraj Abdurrahman Ibn al Jauziy(508-598H), terdiri dari 4 jilid. Beliau terlalu longgar dalam memberikan penilaian maudhu’ atas sebagian hadis. Oleh karena itu ulama banyak mengkritik karya ini.
  3. Al ba’its ala al khalash min hawadits al Qashshash karya al Hafizs Zainuddin Abdurrahim al Iraqiy(725—806H). As Suyuthy telah meringkasnya di dalam karyanya Tahzir al khawash Min Akhadzib al Qashashash, pada sub bab ke sembilannya dan memberikan beberapa tambahan. Kitab As Suyuthiy itu telah di cetak di Mesir pada tahun 1351 H.
  4. Al La’aliy al mashnu’ah fi al ahadis  al-maudhu’ah karya al Hafidz Jalaluddin as Suyuthiy (849-911H), yang telah di cetak beberapa kali.
  5. Tanzih asy Syari’ahal Marfhu’ah’an al Akhbar Asy Syani’ah al maudhu’ah karya Abu Al Hasan Ali Ibn Muhammad (ibn Iraqiy) Al Khannaniy yang wafat tahun 963H, merupakan karya lengkap yang berisi tambahan dan susunan atas karya As-Suyuthiy. Di cetak di Mesir pada tahun 1378 H, terdiri dari 2 jilid.
  6. Al Fawa’id al Majmu’ah Fi al-Ahadist al-Maudhu’ah karya al-Qadhiy Abu Abdillah Muhammad Ibn Ali asy-Syaukaniy (1173-1255H). Beliau banyak mengutip karya-karya terdahulunya. Hanya saja beliau terlalu longgar dalam menilai maudhu’ sebagian hadits. Didalamnya beliau memasukkan sebagian hadist maqbul. Hal ini di ingatkan oleg SayyidAbdul Hayyi al-laknawiy di dalamkitab Dzafar al-amaniy. Kitab al-Fawa’id dicetak di Mesir pada tahun 1389H/1960M.
  7. Di samping karya-karya itu, ulama juga menyusun berbagai karya tentang hadis yang populer ditengah masyarakat dengan memberikan penjelasan mana yang kuat dan mana yang lemah, dan mana pula yang maudhu’. Yang terkenal antara lain Al Maqashish Al Hasanah Fi Bayan Katsir Min al Ahadist al Musytaharah Ala al Alsinah karya al Hafidz al-Mu’arrikh Muhammad Ibn Abdurrahmanas Sakhawiy (831-902H), yang di susun secara alfabetis dan sistematis, merupakan kitab yang baik dan banyak mengandung faedah, di cetak di Mesir tahun 1375 H.[25]  (ajad al khatib: 371-372)

PENUTUP

Dari penjelasan-jelasan dalam bahasan tadi dapat disimpulkankan bahwa hadis maudhu’ timbul karena adanya:

1.       Pertentangan Politik

2.       Usaha Kaum Zindik

3.       Perbedaan Ras, dan Fanatisme Suku, negara dan Imam.

4.       Membuat cerita untuk mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasehat (para tukang cerita).

5.       Senang dengan kebaikan tanpa adanya pengetahuan agama yang cukup.

6.       Menjilat Penguasa

Dan secara umum, salah satu cara untuk dapat mengetahui hadis-hadis palsu ini adalah melalui:

1.      Karakteristik sanadnya.

2.      Karakteritik matannya.

Sebagai penutup, penulis mohon maaf atas segala keterbatasan, baik itu dalam metode penulisan maupun isinya. Besar harapan menulis agar pembaca memberikan kritikan dan saran agar ada perbaikan kearah yang lebih baik. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.



[1] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.352

[2] Utang, Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996,h.187

[3] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.353

[4] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.181-189

[5] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.181-189

[6] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.211

[7] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.357

[8] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.358

[9] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.184

[10] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.214

[11] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.358

[12] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.358-359

[13] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.359

[14] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.359

[15] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.359

[16] Zainimal, Ulumul Hadis, Padang: The Minangkabau Foundation, 2005,h.215

[17] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.185

[18] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.360

[19] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.363

[20] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.188

[21] Nuruddin, ‘itr, ‘Ulum Al-Hadits 2, Judul asli Manhaj An-Naqd Fii’Uluum Al-Hadits, Terj. Mujiyo, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1997.h. 76-78

[22] Mohammad, Najib, Pergolakan Poitik Umat Islam Dalam Kemunculan Hadis Maudhu, Bandung: Pustaka Setia, 2001,h. 48

[23] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.189

[24] Munzier, Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1993,h.190-191

[25] Muhammad, ‘Ajjaj Al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, Judul asli Ushul Al Hadits, Terj. Qodirun Nur, Jakarta: Gaya  Media Pratama, 1998 ,h.371-372

0 Comment