19 Februari 2023

 BAB I

PENDAHULUAN 

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur'an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung 
dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. 
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang 
relatif dekat dengan masa Rasulullah. 
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. 
Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini. 

 PEMBAHASAN 

A.    Pengertian Kodifikasi

1.      At Tadwin (Kodifikasi)

Kata kodifikasi secara bahasa berasal dari bahsa inggris yaitu, codification yang berarti penyusunan secar sistematis.[1] Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi merupakan himpunan berbagai peraturan yang menjadi undang-undang dalam bahasa arab, kodifikasi dikenal dengan istilah Tadwin (            ) masdar dari fi’il (          ) mebuktikan dan mendaftarkan.[1] Secara bahasa Tadwin diterjemahkan dengna kumpulan sahiafah (mujtama’ al-suhuf) secara luas Tadwin diartikan dengan al-jan’I (mengumpulkan).[2] Secara istilah, kodifikasi menurut Kamus Bahasa Indonesia merupakan menyusun atau membukukan peraturan sehingga menjadi kitab perundang-undangan.[3]

Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kodifikasi merupakan upaya penulisan, pengumpulan dan  pembukuan hadits-hadits nabi sehingga menjadi kitab.

Sementara yang dimaksud dengan Tadwin Hadis pada periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya. 

2.      Al Kitabah ( Penulisan)

Al kitabah dilihat dari arti bahasa adalah penulisan yang berarti menggurat alat tulis di atas suatu media dan dapat menggambarkan sebuah informasi yang dapat oleh penulisnya. Dengan kata lain pengkodifikasian hadits adalah aktifitas yang dilakukan oleh sebagian sahabat tertentu dalam menulis hadits pada lembaran-lembaran tertentu sebagai bagian bentuk usaha dalam menguatkan hafalan beberapa sahabat yang lemah dalam menghafal. 

3.      Perbedaan Kodifikasi dan Penulisan

Al-Kitabah, menurut bahasa adalah masdar dari kataba-yaktubu menulis. Proses penulisan hadist sesuai dengan apa yang telah dijelaskan diatas adalah bahwa ia dimulaikan sejak zaman Rasulullah. Sedangkan tadwin, menurut bahasa adalah. Pada abad kedua ini mulailah hadist dibukukan dalam sebuah buku yang tersusun dalam sebuah bab besar sesuai dengan kitab yang digunakan, dan semangat ini muncul pada zaman yang sangat berdekatan pada beberapa tempat yang sedang menggalakkan kajian keilmuan pada sebuh daulah. Sehingga muncul kitab al-masanid kemudian shahih dan tepatlah pada saat ini mulai tersusun kitab hadist secara teratur hingga sampai kepada kita. Sesuai dengan keterangan di atas proses kedua ini sudah dimulai sejak zaman Rasulullah secara tidak resmi dan pada masa Umar bin Abdul Aziz secara resmi dilakukan. 

B.     Sejarah hadits Masa Kodifikasi

1.      Latar belakang ide pengkodifikasian hadits

Upaya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits telah dilakukan pertama kali oleh Khalifah Umar Ibn Abd Aziz. Ada beberapa hal yang mendorong Umar Ibn Abd Aziz melakukan usaha pentadwinan hadis yaitu :

a.       Pada akhir abad 1 H, banyak terjadi peperangan sehingga berakibat berkurangnya para sahabat dan tabi’in penghafal hadits.

b.      Periwayatan secara lisan dengan berpegang pada hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafadz dan makna tidak bisa berlangsung sangat lama, yang disebabkan oleh :

1)      Faktor Intern : kondisi kaum muslimin menghafal riwayat dan memelihara hafalan tersebut semakin berkurang dikarenakan :

-          Semangat penghafal berkurang karena pengaruh kadar iaman yang berada pada dada kaum muslimin

-          Perubahan watak, pengaruh pencampuran ras dan berubahnya keadaan masyarakat dan kehidupan. 

2)      Faktor Ekstern

-          Banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sector kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

-          Adanya serangan dari kaum yang sengaja merusak hadits dengan jalan mengaburkan hadits-hadits yang sebenarnya.

-          Mulai tahun 40 H periwayatan hadits dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadits yang dilakukan orang kafir, yahudi, nasrani, zindiq dan peristiwa yang terjadi dikalangan umat Islam. Terbunuhnya khalifah Utsman, sengketa khalifah antara Ali dan Muawiyah, serta terpecahnya umat Islam pada golongan-golongan khawarij, syi’ah, murji’ah dan ahlal sunnah, maka pada kahir abad ke-11 pemalsuan semakin memuncak.

-          Pada masa tabi’in tidak dikhawatirkan lagi bercampurnya antara al-Qur’an dengan hadits karena al-Qur’an telah dibukukan, sehingga hadits yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an secara otomatis harus dibukukan pula.

-          Perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju merangsang dan mendorong kea rah pentadwinan/ pembukuan hadis karena hadits adalah salah satu sumber dari ilmu pengetahuan.

-          Sudah terjadinya potensi atau sarana untuk keperluan penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadits. Yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas di kalangan bangsa arab dan semakin bersemangatnya memelihara dan membina sunnah nabi baik dalam mencari, memahami, menghafal, mengamalkan dan menyebarkannya.[4]

Karena beberapa hal di atas, Umar Ibn Abd Aziz kemudian menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad Bin Hazm (gubernur Madinah). Dari surat tersebut diketahu bahwa :

a.       Umar Ibn Abd Aziz memerintahkan untuk meneliti dan membukukan hadits Rasulullah SAW dengan ketentuan tidak menerima selain hadits rasulullah SAW

b.      Perintah menyebarluaskan hadits-hadits tersebut dengan jalan mengadakan majelis-majelis ilmu Supaya tidak lenyap karena menjadi berang rahasia

Dengan adanya perintah Umar Ibn Abd Aziz inilah para ahli hadits memandang upaya ini merupakan langkah awal dari pembukuan hadits.[5] 

2.      Upaya dan Hasil yang di capai

Sebagaimana yang diketahui, bahwa dalam abad pertama hijriah, muali dari zamn rasul, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman Umayyah, yakni hingga akhir abad 1 H hadits-hadits itu berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkan berdasarkan kepada kekuatan hafalannya.

Akan tetapi upaya pengumpulan ini belum menyeluruh dan sempurna. Karena Umar Ibn Abd Aziz wafat sebelum Abu Bakar Muhammad Bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadits kepadanya.

Pembukuan hadits pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh orang setelah Az-Zuhri dengan cara yang berbeda-beda, sebagian besar diantaranya mengumpulkan hadits rasulullah SAW yang bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para tabi’in. 

3.      Perkembangan usaha pembukuan hadits

Dalam buku Nuzuruddib Itr yang diterjemahkanoleh Mujiyo bahwa ada beberapa tahap upaya pembukuan atau kodifikasi hadits, yaitu :

a.       Tahap pertama, kelahiran ilmu hadits

Tahap ini berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriah. Ketika rasulullah SAW wafat, maka para sahabatlah yang membawa panji-panji Islam. Waktu itu mereka telah hafal al-Qur’an dengan sempurna sepreti halnya mereka menguasai dan memelihara hadits nabi. 

b.      Tahap kedua, penyempurnaan

Pada tahap ini ilmu hadits mencapai titik kesempurnannya. Karena setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dsan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh para ulama. Tahap ini berlangsung dari awal abad ke-2 sampai awal abad ke-3, yang antara lain ditandai dengan sejumlah peristiwa yang menonjol. Oleh karena itu para imam umat Islam bangkit untuk menbantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutup pengaruh yang mungkin timbul.

Pada tahap ini para ulama tidak hanya membukukan hadits namun fatwa-fatwa sahabatpun dimasukkan ke dalam bukunya, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan.

Kitab-kitab hadits yang telah ditulis dan dibukukan pada abad ke-2 ini yaitu :

1)      Al- Muwathatha’ disusun oleh Imam Malik (95 - 179 H)

2)      Al- Maghzali wal Siyar disusun oleh Muhammada Ibn Ishaq (150 H)

3)      Al- Jami’ disusun oleh  Abdul Razzaq as San’any (211 H)

4)      Al- Mushanafi’ disusun oleh Syu’bah Ibn Hahhah (160 H)

5)      Al- Mushanaf disusun oleh Sufyan Ibn U’yai’nah (198 H)

6)      Al- Mushanaf disusun oleh Al- Laits Ibn Sa’ad (175 H)

7)      Al- Mushanaf disusun oleh Al- Auza’y (150 H)

8)      Al- Mushannaf disusun oleh Al- Humaidy (219 H)

9)      Al- Maqhazin Nabawiyah disusun oleh Muhammad Ibn Waqid Al-Aslamy (130 – 207 H)

10)  Al- Musnad disusun oleh Abu Hanifah (150 H)

11)  Al-  Musnad disusun oleh Al Imam Asy Syafizy (204 H)[6]

c.       Tahap ketiga, pembukuan ilmu hadits secara terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad ke empat hijriah. Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama unutk membukukan hadits rasulullah secara khusu. Untuk itu mereka susun kitab-kita musnad untuk menghimpun hadits rasulullah yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat. Kemudian datanglah Al-Bukhori dengan inisiatif baru, yakni membukukan hadits-hadits sahih secara khusu dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami. Kitab yang disusun diberi nama al-Jami’ ash Shahih.

Dalam tahap ini setiap ilmu hadits telah berdiri sebagai suatu ilmu tersendiri, seperti ilmu hadits shahih, ilmu hadits mursal ilmu al-Asma’ wal al-Kuna dan sebagainya.

d.      Tahap kekempat, penyususna kitab-kitab induk “Ulum al-Hadits dan penyebarannya

Tahap ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada Awal abad ketujuh. Para ulama pada periode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun para ulama yang sebelumnya sebagi perintis dalam pembukuan hadits dan ilmu hadits. Kemudian menghimpun keterangan-keterangan yang erserakan dan melengkapinya dan berlandaskan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Keterangan-keterangan tersebut diberi komentar dan digali hukumnya.

e.       Tahap kelima, kematangan dan kesempurnaan pembukuan Ulum al-Hadits

Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad kespuluh. Dalam tahap ini pembukuan ulum al-Hadits mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Bersama itu juga dilakukan penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian berbagai masalahdengan mendetail.

Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu ini adalah al-Imam al-Muhadis al-Faqih al_Ushuli Abu ‘Amr Utsman bin as-Shalah dengan kitab ‘Ulum al-Hadits yang sangat mahsyut itu. Kitab ini juga memiliki keistimewaan sebagai berikut :

1)  Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap pendapat dan kaidah yang dikemukakan para ulama

2)  Memberi batasan terhadap definisi-definisi yang ada sambil menguraikannya, juga menjelaskan definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya

3)  Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.

Dengan demikian kitab tersebut sangat sempurna dari sisi penyusunannya dan merupakan perintis pembukuan ilmu dengan sistematika baru. Ia sangat dihargai oleh para ulama, sehingga cepat dikenal diberbagai penjuru dunia. Murid-murid penyusunnya mempublikasikan gurunya itu dengan sebutan Shahibu kitab ‘Ulum al-Hadits (Penyusun kitab ‘Ulum al-Hadits)[7]

 

KESIMPULAN 
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan hanya kegiatan penulisan al-Hadits Semata, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak 
beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan ke-bid'ah-an penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut sebenarnya adalah larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.  Hal ini berdasarkan fakta bahwa penulisan hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw yang diperintahkan sendiri oleh Rasulullah saw kepada sahabat tertentu.

 

 

 



[1] Depdikbud, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), h. 578

[2] Drs. Endang Soetari AD. M.Si, Ilmu Hadits.Amal Bakti Press. Bandung, 1997, cet-2 h. 55-56

[3] Munzeir Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta : Raja Grafindo Persada) h. 88

[4] Drs. Endang Soetari AD. M.Si, Ilmu Hadits.Amal Bakti Press. Bandung, 1997, cet-2 h. 55-56

[5] M. Ijab Khalik, Ushul Hadits. Beirut, Dar Al Fikr, 1975. h. 178

 

[6] Hasbi Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengabtar Ilmu Hadits, (Jakarta, Bulan Bintang, 1954). h. 82-83

[7] Nuruddin, Ulum Al-Hadits, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994) h. 44-54

 

 



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Depdikbud, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2001

Endang Soetari AD, Ilmu Hadits.Amal Bakti Press. Bandung, 1997, cet-2

Endang Soetari AD. M.Si, Ilmu Hadits.Amal Bakti Press, Bandung, 1997

Hasbi Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengabtar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1954

M. Ijab Khalik, Ushul Hadits. Beirut, Dar Al Fikr, 1975

Munzeir Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Nuruddin, Ulum Al-Hadits, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994) h. 44-54

0 Comment