19 Februari 2023

 HADIST SHAHIH DAN HASAN

Al-Qur’an keseluruhanya bersifat qath’i al wurud   (kepastian datang dari sumber pertama yaitu Allah) dan kemurnianya telah dijamin Allah mulai dari awal turunya sampai dunia ini berakhir, baik di dalam hafalan para hafiz maupun tulisan para khattah. Berbeda dengan kualitas hadist yang bersifat dzani al-wurud  (kepastianya berada antara positif dan negatif), disamping itu kemurninya juga tidak dijamin Allah SWT.

Dengan demikian tidak ada jaminan hadist dapat  terhindar dari intervensi-intervensi luar yang bersifat destruktif, terutama adanya upaya untuk memalsukanya. Dalam rentan waktu pengkodifikasian hadist yang cukup lama, yakni kurang lebih 200 tahun semenjak kewafatan Nabi, tak dapat dipungkiri lagi telah banyak keluar hadist-hadist palsu dengan berbagai motivasi hingga sampai abad ini. Oleh sebab itu para ulama hadist mencoba mengkaji kulitas hadist yang bermunculan di kalangan umat islam.

Dilihat dari segi kualitasnya, hadits-hadits dipilah menjadi shahih, hasan, dha'if  dengan berbagai ragam tingkatanya dan banyak lagi sudut tinjauan yang dihadapkan pada hadits tersebut. Menurut M. Quraish Shihab mengatakan bahwa hadits dari segi klasifikasinya tidak kurang 381 macam.dalam pembahasan ini penulis mencoba menyahuti, tentang pembagian haditsdilihat dari segi kualitasnya. Didalam berbagai literature kitab ilmu hadits, kajian tentang kualitas atau mutu hadits ini hanya ditujukan pada hadits-hadits ahad  (termasuk didalamnya hadits masyhur). Sesuai dengan ke-qath'iy al-wurud-annya, hadits mutawatir tidak diragukan lagi kualitas kehujjahannya. Pada mulanya hadits ahad, dari segi kualitas diklasifikasikan kepada hadits shahih dan hadits dha'if. Namun oleh karena datangnya  Imam Al-Thurmudzi yang datangnya belakangan kerena memunculkan klasifikasi ke-tiga yakni hadits hasan.

Pada makalah ini penulis mencaba mengkaji klasifikasi hadist ditinjau dari kualitasnya khusus tentang hadist shahih dan hadist hasan. 

KAJIAN TENTANG HADIST SHAHIH DAN HASAN

A.  Pengertian Hadist Shahih

Secara etimologi shahih berasal dari kata صح – يصح – ا لصح / ا لصحة / ا لصحا ح / صحيح  yang berarti:   ا لبراءة من كل عيب و ريب yang berarti terhindar dari setiap aib dan keraguan, atau ها ب المريض ذ  yaitu hilangnya sakit atau  خلا ف السقيم yaitu lawan dari sakit[1]. Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedangkan dalam penggunaan pada hadist dan makna-makna yang lain ini adalah makna majazi.[2]

 Secara terminologi beberapa ulama mendefenisikan hadis shahih sebagai berikut:

1.    Menurut Nuruddin ‘Itr :

الحديث الصحيح هوالحديث الذي اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[3]

“Hadist shahih adalah hadist yang muttasil, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadist itu tidak syaz serta tidak mengandung illat”.

2.    Menurut Ibnu Ash-Shalah :

الحديث الصحيح هوالحديث المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولايكنون شاذاولامعلا[4]

“Hadist shahih adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabith dari orang yang adil lagi dhabith pula sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak illat”.

3.    Menurut Imam Nawawiy:

هوما اتصل سنده با لعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة[5]

 “hadist shahih adalah hadist yang muttasil sanadnya melalui (periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabith tanpa syadz dan illat”.

4.    Menurut Muhammad ‘Ajaj Al Khatib.

هوما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة[6]

“ Hadist yang muttasil sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqat dari perawi yang tsiqat pula, sejak awal sampai akhir sanad tanpa syudzuz dan tanpa illat”.

Dari defenisi hadist shahih di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa hadist shahih itu adalah hadist yang muttashil, yang diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabith, tidak syadz  dan tidak mengandung illat.

B.  Pendalaman Syarat-Syarat Hadist Shahih.

Adapun pendalaman tentang syarat-syarat hadist shahih berdasarkan pendapat para ulama hadist di atas adalah sebagai berikut:

1.         Sanadnya bersambung

Yang dimaksud dengan ketersambungan sanad yaitu bahwa setiap rawi hadist yang bersangkutan benar-benar menerima dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.[7] Jadi, seluruh rangkaian periwayatan dalam sanad, mulai dari periwayatan yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadist dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadist yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.[8]  Dengan adanya syarat ini dikecualikan hadist muqati’, mu’dal, mu’alaq, madallas dan jenis-jenis lain yang tidak memenuhi kriteria muttashil ini.[9]

Dalam hal muttasil maka Nabi muhammad SAW pernah bersabda:

تسمعون ويسمعو منكم ويسمع ممن سمع منكم (روه ابو دود ممن ابن عباس و ابن حاتم الرازى عن ثابت بن قيس و ابن عا بس) 

“Kalian mendengar (hadist dari saya), kemudian dari kalian hadist itu didengar orang lain dan dari orang lain tersebut hadist yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain.” (Hadist diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim al-Raziy dari Stabit bin Qays dan Ibnu Abbas).

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadist menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut:

a.    Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti;

b.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat:

1.         Melalui kitab-kitab rijal al hadist, misalnya kitab tahzib al-tahzib susunan Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan kitab al-Kasyif  susunan Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy

2.         Dengan maksud mengetahui;

a.    Apakah periwayat yang dikenal dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadlis);

b.   Apakah antara periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan:1. Sezaman pada masa hidupnya; dan 2. Guru-murid dalam periwayatan hadist;

c.    Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat  yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasaniy, haddasana, akhbarana, ‘an, anna, atau kata-kata lainya.[10]

Jadi jelaslah bahwasanya syarat pertama dalam penetapan hadish shahih adalah ketersambungan sanadnya yaitu bahwa setiap periwayatan hadist yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari periwayat yang ada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.

2.    Periwayat bersifat adil

Secara etimologi adil diartikan sebagai: (1)tidak berat sebelah (tidak memihak), (2) sepatutnya; tidak sewenang-wenang;[11]  Kata adil ini berasal dari bahasa arab  yaitu dari kata: عدل- يعدل- عدل - عدول yang artinya:ما قا م في النفوس انه مستقيم sesuatu yang lurus, atau:ضد الجور lawan dari curang[12].

Keadilan rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan mengekangnya dari perbuatan maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang.[13]

Dalam  hal keadilan rawi ini, berbagai ulama ulama telah membahas siapa orang yang dinyatakan bersifat adil. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Untuk memberikan gambaran betapa beragamnya pendapat ulama tersebut, berikut ini akan digambarkan pokok-pokok pendapat ulama dimaksud dalam bentuk ikhtisar. Pendapat-pendapat dalam bentuk ikhtisar ini akan dibatasi hanya berasal dari lima belas ulama di berbagai zaman. Dari kelima belas ulama ini, sepuluh diantaranya dikenal sebagai ulama hadist,disamping juga diantara mereka ini dikenal di bidang ilmu keislaman tertentu lainya. Kelima orang ulama selebihnya dikenal sebagai ulama ushul al-fiqh dan atau fiqh, disamping dikenal juga dibidang ilmu keislaman lainya.[14]

Dari penjelasan  ikhtisar di atas dapat kita lihat untuk syarat beragama Islam, baligh dan berakal jumlah ulama menyebutkan lebih sedikit dari pada tidak menyebutkan . Al Gazali dan Al Amidi tidak menyebutkan ketiga butir tersebut karena karena mereka menempatkan ketiganya pada syarat-syarat umum.[15]  Jadi ketiga butir ini adalah syarat umum  yang harus ada pada syarat periwayat yang adil .

Lalu syarat taqwa, teguh dalam agama, tidak membuat dosa besar, menjauhi dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat fasik, dan  baik akhlaknya menjadi satu istilah saja yaitu menjalankan perintah agama[16] . disebutkan memelihara muru’ah hampir seluruh ulama memberikan isyarat, bahwa butir tersebut merupakan salah satu syarat yang sangat penting yang harus dimiliki oleh periwayat yang adil.[17]

Sedangkan sifat biasanya benar dan dapat dipercaya beritanya tidak perlu secara eksplisit dinyatakan sebagai syarat perawi yang adil. Sebab kedua butir itu merupakan akibat dari sosok pribadi yang telah memenuhi syarat-syarat yang terdahulu. Jadi kriteria periwayat yang bersifat adil ialah 1. Beragama Islam 2. Mukalaf 3. Melaksanakan ketentuan agama 4. Memelihara muru’ah[18]

Untuk mengetahui keadalahan seorang rawi dapat dilakukan oleh para peneliti sanad sebagai berikut:

1.      Dengan memperhatikan popularitas keutamaan periwayat yang bersangkutan dikalangan ulama hadist. Dengan kata lain, periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya dibandingkan dengan yang lainya,misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsawri yang tidak diragukan lagi ke’adalahanya;

2.      Penilaian dari para kritikus periwayat hadist, yang mana penelitian tersebut berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadist;

3.      Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil, yang mana cara ini ditempuh bila para kritikus periwayat hadist tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat.[19] 

Untuk penelitian yang dilakukan pada masa sekarang terhadap periwayat hadistt tidak lagi sesulit apa yang terjadi sebelum disusunya kitab jarh wa ta’dil yang dapat digunakan sebagai pedoman melakukan tarjih dan ta’dil. Demikian juga dalam hal para periwayat tersebut telah banyak diteliti ulama, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab rijal al-hadist. [20]

3.    Periwayat bersifat dhabith

Dhabith secara etimolgi berasal dari kata ضبط – يضبط – ضبا ط و ضبط yang berarti  لزوم الشئ لا يفارقه في كل شئ و ضبط الشئ: حفظه با لحزم   tetap pada sesuatu dan tidak berpisah dengannya dalam kondisi apapun,dhabit terhadap sesuatu yakni menghafalkanya dengan cermat.[21]

Sedangkan menurut istilah telah dikemukakan ulama dalam berbagai bentuk keterangan. Menurut ibnu hajr al-asqalaniy dan al-sakhawiy, yang dinyatakan sebagai orang dhabith adalah orang yang kuat hafalan tentang apa yang didengarnay dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dikehendakinya. [22]

Dr. Muhammad Ajjaj al-khatib menjelaskan bahwa yang dimaksud dhabit adalah orang yang benar-benar sadaar ketiika menerima hadits, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikanya. Yakni perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkanya (apabila ia meriwayatkan dari hafalanya) serta memahaminya (bila meriwayatkanya secara makna). [23]

Dr. Nuruddin Itr menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dhabith adalah bahwa rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya dengan baik, baik dalam hafalan yang kuat maupun dalam kitabnya, kemudian ia mampu meriwayatkanya kembali ketika meriwayatkannya.[24]

Apabila berbagai pendapat para ulama digabungkan maka butir-butir sifat dhabith yang telah disebutkan adalah:

1.      Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);

2.       Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya);

3.      Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik.

Dhabth ada dua macam : dabht shadr dan dhabth kitab. Dabht shadr adalah bila seorang rawi benar-benar hafal hadist yang telah didengarnya dalam dadanya, dan mampu mengungkapkanya kapan saja. Dabht kitab yaitu bila seorang perawi “menjaga” hadist yang telah didengarnya dalam bentuk kitab.[25] 

Untuk mengetahui sifat dhabith yang ada pada seseorang perawi tentu tidak mudah mengetahuinya. Untuk itu tentu ada cara-cara yang dapat mengetahui hal tersebut. Untuk para ulama mengatakan bahwa untuk menentukan kedhabithan seorang periwayat adalah dengan cara sebagai berikut:

1.      Berdasarkan kesaksian yang diberikan para ulama yang sezaman dengan si periwayat. Karena ulama yang sezaman tentu dapat mengetahui bagaimana keadaan sifat dhabith siperiwayat.

2.      Dengan membandingkan persesuaian riwayat si periwayat dengan periwayat yang telah dikenal kedhabithanya.

3.      Kemudian diperhatikan apakah siperiwayat sering membuat kekeliruan atau tidak. Kalau tidak, maka ia masih dapat digolongkan kepada periwayat yang dhabith, tetapi kalau sering, maka ia tidak dapat digolongkan kepada periwayat yang dhabith. 

4.    Terhindar dari syudzudz

Secara etimologi syaz berasal dari kata: شذ – يشذ – شذوذ عنهyang berti:  انفود عن الجمهور menyendiri dari orang banyak ; ندر  jarang, asing, menyalahi aturan [26].

Sedangkan menurut ulama syaz adalah hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, bertentangan dengan rawi yang lebih tsiqah darinya. Dan syaz itu ada pada sanad yaitu: periwayat yang menyendiri bertentangan dengan periwayat yang lebih tsiqah darinya. Syaz pada matan adalah periwayat bertentangan dengan banyak periwayat yang lebih tsiqah dalam penukilan matan dengan adanya ziyadah (penambahan), nuqshan (pengurangan), iqlab (pemutar balikan), idhtirab (kegoncangan), atau tasrif (perobahan bentuk kata).[27]

Contoh hadist yang syaz  sebagai berikut:

عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد احد كم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يد يه ركبتيه (رواه ابو داود)

   “ Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: apabila salah seorang diantara kamu sujud maka janganlah dia duduk seperti onta, hendaklah meletakan kedua tanganya sebelum kedua lututnya”. (HR. Abu Dawud).

Hadist di atas menjelaskan sujud yang diperintah  oleh Nabi SAW. Di dalam hadist tersebut, Nabi SAW melarang sujud degan cara sama dengan cara onta duduk. Akan tetapi selain hadist di atas juga ada hadist tentang tata cara sujud yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yaitu:

عن وائل بن حجر قال:رأيت  رسول الله صلى الله عليه وسلم : اذا سجد يضع ركبتيه قبل يد يه واذا نهض رفع  يد يه قبل ركبتيه (رواه الترمذي)

   Dari Wail ibn Hujr ia berkata: Aku melihat Rasulullah SAW apabila akan sujud beliau meletakan kedua kedua lututnya sebelum kedua tanganya, dan apabila bangkit dari sujud beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.  (HR.Tirmidzi).

Tata cara sujud Nabi SAW sebagai berikut: meletakan dua lutut sebelum kedua tanganya, kemudian kedua tanganya inilah yang merupakan cara sujud yang benar dan tidak terdapat riwayat yang berasal dari perbuatan Nabi SAW yang berbeda dengan riwayat di atas.[28] Jadi jelaslah pada hadist pertama terdapat syaz karena apabila seorang meletakan kedua tangannya sebelum kedua lututnya maka dia duduk justru seperti duduk onta karena ketika akan duduk onta meletakan kedua tanganya terlebih dahulu. 

5.    Terhindar dari ‘illat

Secara etimologi illat berasal dari kata: عل – يعل – اعتل - علة yang berarti  sakit[29]. Menurut ulama hadist illat itu adalah

sebab yang samar dan tersembunyi yang membuat hadist menjadi rusak, walaupun sepintas kelihatan bersih dari cacatسبب غا مض خفي يقدح في الحديث مع ظهور السلامة منه

Dari defenisi diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa illat yang dimaksud adalah apabila mencakup dua hal; a). Cacat itu samar dan tidak jelas dan b). Cacat itu merusak kualitas sebuah hadist. Jadi hadist yang berilat adalah hadist yang secara zahir tidak bermasalah, namun setelah diteliti dan dicermati ternyata hadist itu bermasalah. Adapun sebab-sebab tersembunyinya dan samarnya cacat tersebut boleh jadi disebabkan oleh karena rawi mengirsalkan hadist mausul, atau mewaqafkan hadist yang marfu’, atau karena keraguan periwayat terhadap apa yang ia riwayatkan.[30] 

C.  Pembagian Hadist Shahih

Hadist shahih terbagi menjadi dua, yaitu: shahih li dzatih dan shahih li ghairih. Hadist shahi li dzatih adalah hadist shahih yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal.[31]

Hadist sahih li ghairih adalah hadist sahih li dzatiihi bila diriwayatkan melalui jalan lain (lebih dari satu jalur sanad) yang semisal denganya, atau lebih kuat darinya. Dinamakan shahih li ghairihi karena karena keshahihannya bukan berasal dari sanad itu sendiri, melainkan datang dari penggabungan riwayat lain. Kedudukanya lebih tinggi dari hasan li dzatihi dan dibawah shahih li dzatihi. [32]

Diantara contoh hadist sahih lighairihi adalah hadist riwayat Turmidzi melalui jalur Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لولا ان اشق على امتى لأمرتهم بالسواك عندكل صلا ة

Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak setiap kali hendak melaksanakan salat”

Ibnu Umar Ash-Shalah menyatakan bahwa Muhammad bin Amr terkenal sebagai orang yang jujur, tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna sehingga hadist riwayatnya hanya mencapai tingkat hasan. Hadist ini juga diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur Al-‘Araj dari Abu Hurairah yang hadistnya dinilai sahih. Oleh karena itu, hadist riwayat Turmidzi tersebut naik menjadi shahih li ghairih.[33]

D.  Pengertian Hadist Hasan

Secara etimologi hasan berasal dari kata : - يحسن- حسناحسنyang berarti ضد القبح و نقيض lawan dari jelek atau anonimnya.[34]

Secara terminologi beberap ulama mendefenisikan hadist hasan sebagai berikut:

1.    Al Tirmidziy mengatakan :

كل حديث يروى ولا يكون فى اسناده من يتهم بالكذب ولا يكون الحديث شاذا ويروى من غيروجه نحو ذلك [35]

 Setiap hadist yang diriwayatkan melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat periwayat yang dicurigai berdusta,tidak syaz dan diriwayaatkan melalui sanad yang lain yang sederajat”.

 

2.    Menurut Ibnu Hajar hadist hasan adalah

خبر الأحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ[36]

“Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna kedhabithanya, bersambung sanadnya, tidak illat dan tidak syadz. 

E.   Pendalaman Syarat-Syarat Hadist Hasan

Dari defenisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa hadist hasan adalah hadist yang memenuhi syarat-syarat hadist shahih seluruhnya hanya saja semua perawinya atau sebagianya kedhabithanya lebih sedikit dibandingkan kedhabithan perawi hadis shahih[37].

Jadi, yang membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadist tersebut. Batasanya adalah keadilan pada hadist hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatanya, sedangkan pada hadist shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatanya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujah dan kandunganya dapat dijadikan sebagai penguat.[38]

F.   Jenis- Jenis Hadist Hasan

Hadist hasan ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan lighairihi. Hasan lizatihi adalah karena kehasananya memenuhi syarat-syarat tertentu, bukan karena faktor lain diluarnya.[39]

Sedangkan hadist hasan lighairihi adalah hadist yang didalamnya terdapat perawi “mashur” yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukanlah perawi yang pelupa atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan mutham bi al kizb dalam hadist juga bukan karena sebab lain yang dapat menyebabkanya tergolong fasik dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang mu’tabar, baik yang berstatus mutabi’ maupun syahid.[40]

Dengan demikian, hadist hasan lighairihi mulanya merupakan hadist dhaif yang naik menjadi hasan karena ada penguat. Jadi dimungkinkan berkkualitas hasan karena penguat itu. Seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dhaif.[41]

Berikut ini kami kutipkan contoh hadist hasan li ghairihi  dari Jami’ At-Tirmidzi; ia berkata,

حدثنا علي بن حجرحدثنا حفص بن غياث عن حجاج عن عطية عن بن عمر قال: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم الظهر فى السفر ركعتين وبعدها ركعتين

Meriwayatkan hadist kepada kami, Ali bin Hujr, ia berkata Hajjaj dari ‘Athiyah dari Ibnu Umar, ia berkat, “aku salat zuhur dua rakaat bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan dan setelah itu shalat dua rakaat lagi”

Abu Isa berkata,  ini adalah hadist hasan, ibnu abi laila juga meriwayatkan dari ‘Athiyah dan Nafi’ dari Ibnu Umar. At-Turmidzi berkata: Muhammad bin ‘Ubaid Al-Muharibi meriwayatkan hadist kepada kami ia berkata, ‘Ali bin Hasyim meriwayatkan hadist kepada kami dari Ibnu Abi Laila dari ‘Athiyah dan Nafi’ dari Ibnu Umar, ia berkata, “aku shalat bersama Rasulullah SAW ketika tidak berpergian dan ketika dalam perjalanan. Aku shalat Zuhur bersamanya ketika tidak berpergian empat rakaat dan setelahnya dua rakaat, dan aku shalat Zuhur bersamanya ketika dalam suatu perjalanan dua rakaat dan setelahnya dua rakaat. Abu Isa berkata, “ini adalah hadist hasan” Demikian kutipan dari Jami’ al-Turmidzi.[42]

 Pada sanad yang pertama hadist di atas terdapat Hajjaj, yaitu putra Arthah. Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahzib menjelaskan tentang Hajjaj:

صدوق كثير الخطأ والتدليس

Ia sangat jujur namun banyak salahnya dan tadlisnya”

Pada hadist tersebut terdapat ‘Athiyyah, yakni putra Sa’ad bin Junadah al-‘Aufi. Ia sederajat dengan Hajjaj, disamping ia adalah seorang Syi’ah akan tetapi kedua rawi ini tidak dituduh dusta dan keluar dari jajaran rawi yang diterima kehadiranya. At-Turmidzi menilai hasan terhadap hadist kedua rawi ini, karena kedua hadist tersebut juga diriwayatkan melalui sanad lain, sebagaimana kita lihat. Sanad lain dalam hadist itu adalah Ibnu Abi Laila. Ia adalah seorang faqih yang agung, namun dari segi daya hafalanya diragukan oleh para muhadditsin. Akan tetapi hadist di atas menjadi kuat karena diriwayatkan pula melalui sanad lain, dan karenanya Al-Turmidzi menghukuminya sebagai hadist hasan.[43] 

Hadist hasan dengan kedua jenisnya dapat dijadikan hujjah dan diamalkan  sebagaimana hadist shahih meski hadist hasan memiliki kekuatan dibawah hadist shahih. Oleh karena itu, sebagian ulama memasukanya kedalam kelompok hadist shahih, antara lain, al hakim, ibnu hibban dan ibnu khuzaimah, meskipun mereka jelas mengetahui bahwa hadist hasan mengetahui kekuatan dibawah hadist shahih dengan bukti dimenangkanya hadist shahih bila terjadi kontradiksi. [44]

H. KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan ini, ada beberapa hal yang perlu disimpulkan diantaranya:

1.      Hadist shahih adalah hadist yang muttasil, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi yang juga adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadist itu tidak syaz serta tidak mengandung illat”.

2.      Hadis shahih terbagi menjadi dua, yaitu: shahih li dzatih dan shahih li ghairih.

3.      hadist hasan adalah hadist yang memenuhi syarat-syarat hadist shahih seluruhnya hanya saja semua perawinya atau sebagianya kedhabithanya lebih sedikit dibandingkan kedhabithan perawi hadist shahih

4.      Hadist hasan ada dua jenis, yaitu hasan lizatihi dan hasan lighairih

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Qathan, Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadist, Terj.Mifdhol Abdurrahman,Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005

Ajaj al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadist, Beirut:Dar al-Fikr, 1989 

Bukhari. M, Kaedah Keshahihan Matan Hadist, Padang, Penerbit Azka, 2004 

Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd, Damaskus: Dar al-Fikr, 1998) 

Itr, Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994 

Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadist, Jakarta: Bulan Bintang, 1988 

Ibnu Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M 

Ibnu Mukarram ibnu Manzur, Muhammad, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M 

Itr, Nuruddin, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994

Mudasir, Ilmu Hadist,Bandung: Cv Pustaka Setia,2005,h.149-150 

Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama,1998

Sutarmadi, Ahmad Al-Imam Al-Tirmidzi Perananya Dalam Pembangunan Hadist Dan Fiqh, Ciputat: PT. Lugos Wacana Ilmu,1998 

Solihin, M.Agus dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist,Bandung: Pustaka Setia, 2009 

W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1995 

Zainimal, Ulumul Hadist, Padang: The Minangkabau Fondation, 2005

 

 

 



[1] Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu Manzur), Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M),j.7, h.287

[2] Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Terj.Mifdhol Abdurrahman,(Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2005),h.117

[3] Nuruddin Itr,Manhaj al-Naqd, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998),h.242

[4] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadist, (Beirut:Dar al-Fikr, 1989),h.304

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.2

[8] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988),h.127

[9] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushul Al Hadist, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998),h.276

[10] Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, op cit, h. 128

[11] W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1995),H.16

[12]Muhammad ibnu Mukarram ibnu Manzur (Ibnu Manzur), Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turast al-Arab, 1412 H/ 1992 M),j.9,h.83

[13] Nuruddin Itr, ‘Ulum al-Hadist, Terj.Mujiyo,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1994),h.3

[14]M.Syuhudi Ismail, op cit, h.129

[15] Suyudi Ismael, op cit,h.132

[16] Ibid,h.133

[17] Ibid

[18] Ibid,h.134

[19] Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang: The Minangkabau Fondation, 2005),h. 139-141

[20] Ibid,h.141

[21] Ibnu Manzur, op cit ,j.9,h.16

[22] M.Syuhudi Ismail, op cit,h.135

[23] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib,Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq , op cit, h.276-277

[24] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit, h.3

[25] Manna’ Al-Qathan, Terj.Mifdhol Abdurrahman, op cit, h.117

[26] Ibnu Manzur, op cit, j.7,h.61

[27] Bukhari. M, Kaedah Keshahihan Matan Hadis, (Padang, Penerbit Azka, 2004),h.217

[28]  Ibid,h.221

[29] Ibnu Manzur, op cit, juz.9,h.367

[30] Bukhari. M, op cit, h. 255

[31] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung:Pustaka Setia, 2009),h.144

[32] Manna’ al-Qathan, terj Mifdhol Abdurrahman, h.123

[33] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung: Cv Pustaka Setia,2005),h.149-150

[34] Ibnu Manzur, op.cit.,j. 3,h.177

[35] Ahmad Sutarmadi, Al-Imam Al-Tirmidzi Perananya Dalam Pembangunan Hadis Dan Fiqh, (Ciputat: PT. Lugos Wacana Ilmu,1998), h.94. dikutip dari Al-‘Ilal Karangan Al-Imam Al-Tirmidzi, Jilid 5,h.340

[36] M Agus Shalihin dan Agus Suyadi, op cit,h.146

[37] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, op cit,h. 299

[38] M.Agus Solihin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadist,(Bandung: Pustaka Setia, 2009),h.146

[39] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,  op cit,h. 300

[40] Ibid

[41] Ibid

[42] Nuruddin Itr, Terj.Mujiyo, op cit, h.35

[43] Ibid,h.36

[44] ‘Ajjaj al-Khatib, Terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq,  op cit,h. 300

0 Comment