05 Januari 2023

ASBABUN NUZUL

    A.    Pengertian Asbabun Nuzul

Ungkapan Asbab Al-Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata “Asbab” dan “Nuzul”. Secara etimonologi , Asbab Al-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Mestipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya suatu dapat disebut Asbab Al-Nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan Asbab Al-Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi Al-Qur’an, seperti halnya Asbab Al-Wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya Hadits.[1]

 

Pengertian secara terminologi ada beberapa ulama yang merumuskan, Shubhi Al-Shalih memberikan definisi Asbab Al-Nuzul sebagai berikut:


ما نزلت الا ية اوالايات بسببه متضمنة له اومجيبة عنه اومبينة لحكمه زمن وقوعه

“Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut ”.[2]

Imam Al-Shabuni mendefinisikan Asbab Al-Nuzul


قد تحصل واقعة, اوتحدث حادثة, فتنزل اية اوايات كريمة في شأن تلك الواقعة او الحادثة, فهذا هو مايسمى بـ (سبب النزول)

“Suatu kejadian atau suatu perkara yang terjadi, maka diturunkan satu ayat atau beberapa ayat untuk menanggulangi yang terjadi pada kejadiaan itu maka itulah yang disebut Asbab Al-Nuzul”.[3]

Masyfuk Zuhdi memberikan definisi Asbab Al-Nuzul sebagai berikut:


ما نزلت الاية اوالايات بسببه متضمنةله اومجيبة لحكمه زمن وقوعه

“Sesuatu yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa”.[4]

Mana’ Al- Qathtan mendefinisikan Asbab Al-Nuzul sebagai berikut:


مانزل قران بشأنه وقت وقوعه كحادثة أوسؤال 

“Asbab Al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an, berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa suatu kejadiaan atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.[5]


Berdasarkan pengertian yang diungkapkan oleh beberapa ulama diatas dapat disimpulkan bahwa Asbab Al-Nuzul adalah suatu yang menyebabkan turunya satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan kejadiaan, menjawap pertanyaan dan menerangkan hukum pada waktu terjadinya peristiwa. Melihat kepada definisi yang diungkapkan para ulama diatas Asbab Al-Nuzul dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk sebab turunnya suatu ayat yaitu karena peristiwa dan pertanyaan kepada Rasul.

 

B.     Kualitas Riwayat Asbabun Nuzul

Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul ialah riwayat Shahih yang berasal dari Rasulullah SAW dan Sahabat. Pemberitahuan para Sahabat tentang hal ini akan dikatakan berhukum Marfu’ (disandarkan pada Rasul) dan akan menjadi Ra’y (pendapat) bila hal ini tidak langsung dari Rasul. Itu sebabnya untuk mengetahui sebab turun ayat selain berdasarkan periwayatan, juga harus benar (Naql Ash-Shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunya Al-Qur’an. Dengan demikian, seperti halnnya periwayatan pada umumnya, diperlukan kehati-hatian dalam menerima riwayat yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul.  Dalam kitab Asbab Al-Nuzul , Al-Wahidi menyatakan: “Pembicaraan Asbab Al-Nuzul harus berdasarkan riwayat dan mendengarnya dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa Nuzul dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.

 

Dapat diketahui bahwa para Ulama Salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan dengan Asbabun Nuzul. Ketetatnya mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi pembawa riwayat (para perawi), sumber riwayat (Isnad), dan redaksi berita (Matan). Bukti keketatan itu diperlihatkan oleh Ibn Sirin ketika menceritakan pengalamannya sendiri: Aku pernah bertanya kepada Ubadah sebuah ayat Al-Qur’an, tetapi ia menjawab, “Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah SWT dan berbicaralah dengan benar. Orang-orang yang mengetahui diturunkan-nya ayat Al-Qur’an sudah tidak ada lagi”.[6]

 

Akan tetapi, perlu dicatat, sikap kekritisnya mereka tidak dikenakan terhadap Asbabun Nuzul yang diriwayatkan oleh Sahabat Nabi. Mereka berasumsi apa yang dikatakan Sahabat Nabi, yang tidak masuk dalam lapangan penukilan dan pendengaran, maka dapat dipastikan bahwa ia mendengar Ijtihad-nya sendiri. Oleh sebab itu, Ibn Shalah, Al-Hakim, dan para Ulama Hadits lainnya menetapkan, “Seorang Sahabat Nabi yang mengalami masa turun wahyu, jika ia meriwayatkan suatu berita tentang Asbabun Nuzul, riwayatnya itu berstatus Marfu’.”[7]

 

Bila ditemukan riwayat yang berbeda, tentang Asbabun Nuzul suatu ayat, maka dapat diselesaikan dengan cara:[8]

1.      Bila satu riyawatnya Shahih, dan yang lain tidak, maka diambil riwayat yang Shahih dan ditolak yang lainnya. Meurutkan riwayat Imam Bukhari dan Muslim dan lainya dari Junnat, bahwa Nabi SAW, sakit sehingga tidak bangun satu atau dua malam, datang seorang perempuan kepada beliau, dan berkata: “Hai Muhammad, saya  tidak melihat Tuhanmu kecuali ia telah meninggalkanmu”, maka turun ayat Al-Dhuha 1-5.


Artinya: Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap). Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu[9]. Dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)[10].  Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.

Sedangkaan menurut riwayat Thabrani dan Ibnu Abi Shaibah dan ibunya (pembantu Nabi SAW), bahwa seekor anak anjing mati dibawah tempat tidur Nabi, maka selama 40 hari Nabi tidak menerima wahyu, hai Kaulah apa yang terjadi dirumah Rasulullah SAW, Jibril tidak datang kepadaku, seandainya rumah ini engkau persiapkan dan engkau sapu, (Jundah berkata, saya ambil sapu, saya keluarkan anak anjing tersebut, kemudian Nabi datang dalam keadaan jenggot bergetar sebagaimana ia biasa menerima wahyu maka turunlah ayat 1-5 ini .

Bila diteliti dua riwayat tersebut, maka riwayat yang pertama lebih kuat karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sedangkan yang kedua diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Shaibah dengan Sanad yang tidak dikenal. 

2.      Apabila dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi salah satu diantaranya mempunyai penguat maka diambil yang memiliki penguat, misalnya riwayat Bukhari dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya berjalan bersama Nabi di Madinah melewati orang Yahudi”. Mereka berkata “Ceritakan kepada kami tentang ruh, maka turunlah ayat 85 surat    Al-Isra’ ”.


Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". 

3.      Bila ada dua riwayat sama-sama Shahih, tetapi tidak ada penguat tetapi dapat dikomromikan, keduanya harus dikompromikan dengan menggap bahwa kedua peristiwa tersebut menjadi penyebab turunya ayat, karena waktu kejadian berdekatan. Misalnya Hilal mengadukan kepada Nabi. Bahwa istrinya berbuat zina, maka turunlah ayat 6 surat An-Nur.


Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. 

4.   Bila kedua riwayat sama-sama Shahih, sama-sama tidak punya penguat dan tidak dapat dikompromikan maka caranya adalah dengan menganggap ayat tersebut berluang sesuai dengan Asbabun Nuzul yang berbilang.

 

C.     Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul


Melihat kembali kepada pengertian Asbab Al-Nuzul diatas, penulis mengambil kesimpulan yang menjadi bentuk-bentuk Asbabun Nuzul itu terkait dengan peristiwa dan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi. Adapaun Asbabun Nuzul yang berbentuk peristwa ada tiga macam yaitu:[11] 

1.      Peristiwa Berupa Pertengkaran atau Perselisihan

Seperti yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Peristiwa tersebut akibat intrik-intrik yang sengaja dimainkan orang-orang Yahudi di Madinah. Hingga sempai kepuncaknya, orang-orang Yahudi ingin menambah kekacauan dan mengatakan senjata…!, senjata…!. Peristiwa tersebut menyebabkan turunya ayat dari surat Ali Imran: 100 yang berbunyi:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberikan al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.

Sampai beberapa ayat berikutnya. Ayat ini diturujnkan bertujuan untuk mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mudah terprovokasi, menjauhkan diri dari konflik dan mengingatkan akan pentingnya kasih sayang dan persatuan umat.

2.       Peristiwa Berupa Kesalahan Fatal

Seperti kisah yang mengimami Shalat, sedangkan dia dalam kondisi mabuk. Pada saat dia membaca surat Al-Kafirun dia membuang lafas (la)    dari kalimat “la ‘abudu”. Sehingga jika diartikan menjadi kata “Katakana hai Muhamad, hai orang-orang kafir, aku menyembah apa yang kamu sembah” hal tersebut kontradiktif  dengan makna sesungguhnya. Karena kesalahan ini turunlah ayat An-Nisa’: 43


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu Shalat, sedang dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

 

3.      Peristiwa Berupa Cita-cita dan Keinginan

Seperti harapan Umar Bin Khattab, dalam sejarahnya ada beberapa harapan Umar, yang dikemukakan kepada Nabi SAW. Kemudian turunlah ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan Umar tersebut, seperti yang diriwatkan oleh Bukhari dan lainnya, dari Anas r.a ia berkata: Umar Bin Khattab r.a berkata, aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal, aku katakan, wahai Rasulullah, bagaiman kalau kita jadikan Maqam Ibrahim itu, sebagai tempat Shalat”. Maka turunlah ayat, surat Al-Baqarah: 125, lanjut Umar, aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istrimu orang-orang yang masuk kedalam rumahnya adalah orang-orang yang baik dan juga orang-orang yang jahat, maka alangkah baiknya jika mereka disuruh untuk mengenakan Hijab, maka turunlah ayat Hijab bagi istri Nabi, yaitu surat Al-Ahzab: 35. Dan istri-istri Rasul, mengerumuninya pada kecemburuan, Umar: katakan kepada mereka: Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberikan ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian. Maka turunlah ayat mengenai peristiwa tersebut (At-Tharim: 5)


Artinya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi tuhannya akan memberikan ganti kepadanya dengan istri yang lebih baik dari kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan,


Adapun sebab turunya Al-Qur’an dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokan pada tiga macam:[12]

a.      Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah berlalu.

Seperti surat Al-Khafi ayat 83 yaitu:

Artinya: Mereka bertanya tentang dzulkarnain.

Ayat ini turun karena adanya pertanyaan orang Yahudi kepada Rasulullah, ketika di Madinah yang diperintahkan, oleh orang-orang Musyrikin Mekkah.

b.      Pertanyaan yang berhungunan dengan sesuatu yang berlangsung pada waktu itu.

Seperti surat Al-Isra ayat: 85 yaitu:


Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Ayat ini berkaitan dengan peristiwa orang-orang Yahudi di Madinah, yang ketika itu perpapasan dengan Rasulullah SAW, lalu orang-orang Yahudi menyatakan kepada Rasulullah tentang roh, maka Nabi diam sejenak dan mengarahkan wajahnya ke langit dengan maksud mengharapkan wahyu untuk menjawab pertanyaan orang yahudi tadi. Maka turulah ayat untuk menjelaskan hal tersebut.

c.       Pertanyaan yang berhubungan dengan masa akan datang

Seperti pertanyaan tentang hari Kiamat


Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang hari kiamat, kapan akan terjadi.

Disamping sebab-sebab tersebut, ada juga ayat yang turun sebagai teguran kepada Nabi, karena kekhalifahan beliau seperti ketika Nabi ditanya oleh Quraisy tentang roh Ashabul Khafi, dan Zulkarnain. Nabi menjawab “Besok akan diceritakan kepadamu” tanpa mengucapkan Insya Allah, akan tetapi ayat terlambat turunnya, selama beberapa hari, menurut Ibnu Ishaq, selama 15 hari, ada juga mengatakan 3 hari, ada yang mengatakan 40 hari, sehingga Nabi marasa cemas, maka turunlah ayat.


Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut):“Insya Allah”. Dan ingatlah kepada tuhanmu jika kamu lupa katakanlah: “Mudah-mudahan tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini. (QS. Al-Khafi: 23-24)

 

D.    Model Ungkapan Asbab Al-Nuzul


Bentuk redaksi yang menerangkan Asbabun Nuzul ini berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pertanyaan yang hanya menjadi kemungkinan mengenainya.[13]

 

1.  Jika perawi mengatakan: “Sebab nuzul ayat ini adalah begini” atau menggunakan ungkapan fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “Turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pernyataan. Misalnya, ia mengatakan “  حث كذا” telah terjadi peristiwa begini, atau “سنل رسول عن كذا فنزلت هذه الاية”. Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab.

2.      Redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab Nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat, yaitu bila perawi mengatakan “نزلت هذه الاية فى كذا ” ayat ini turun mengenai ini. Yang dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab Nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan “  احسب هذه الاية نزلت فى كذ” “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini atau “ ما احسب هذه   الاية نزلت الا فى كذا ” aku tidak mengera ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini. Dengan bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab Nuzul dan mungkin pula menunjukkan yang lain.

 

E.     Kaidah Yang Berlaku Atas Asbabun Nuzul


Pada bagian ini ada pendapat yang mendasari tentang hubungan Asbab Al-Nuzul dengan penerapan hukum yang terkandung dalam satu ayat Al-Qur’an kaidah tersebut adalah:[14]

1.      Kandungan ayat dengan Asbabun Nuzul tidak dapat berlaku pada kasus yang menjadi Asbabun Nuzul. Kaidah tersebut berbunyi:

العبره بعمو الفظ لا بخصوص السبب

Misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 222


Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Sebab turunnyat diatas adalah khusus yaitu Hadits yang bersumber dari Anas tentang istri orang Yahudi dalam keadaan haidh maka dikeluarkan dari rumah, suami dan keluarga tidak mau makan dengannya dan tidak mau bergabung dengannya dalam satu rumah.

Hal tersebut ditanyakan kepada Rasul, maka turunlah ayat diatas. Rasul menjelaskan bahwa istri tersebut diperlakukan dengan baik, dan tinggal dalam satu rumah yang dilarang adalah melakukan hubungan suami istri.

Dapat dilihat bahwa ayat di atas berlafazh umum tetapi sebabnya khusus. Pada kontek ini para ulama sepakat penetapan hukumnya berdasarkan umumnya lafazh tidak dengan khususnya sebab sehingga berlaku untuk semua orang.

2.      Kandungan ayat dengan Asbabun Nuzul tertentu atau khusus hanya berlaku pada kasus yang menjadi sebab turunya ayat itu, pendapat ini berdasarkan kaidah:

العبرة بخصوص السبب لا بعموم اللفظ

Misalnya dalam surat Al-Lail ayat 17-21


Artinya: Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling Takwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan. (QS. Al-Lail: 17-21)

Tujuh hamba sahaya sebelum dibebaskan mereka disiksa dalam menegakkan ajaran Islam. Riwayah yang ada bersumber dari Urmah menyatakan: Bahwa Abu Bakar Shidiq telah memerdekan mereka, dalam hal ini turunlah ayat diatas (dan akan dijauhkan dari mereka orang yang paling bertakwa sampai akhir surat). Menurut Asbab Al-Nuzul ayat tersebut ditujukan untuk Abu Bakar, pendapat ini menurut Jumhur Ulama.

Berdasarkan kaidah di atas dapat difahami bahwa yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafaz, pendapat ini dipegang oleh minoritas ulama.


F.      Peranan Asbab Al-Nuzul Dalam Memahami Dan Menafsirkan Ayat


Untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sangat diperlukan bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur’an sehingga penafsiran ayat Al-Qur’an tidak akan terdapat kesalahan dalam mengambil kandungan-kandungan Al-Qur’an. Pengetahuan tentang Asbab Al-Nuzul amat penting bagi seseorang yang hendak mendalami pengertian ayat-ayat Al-Qur’an. Bila telah mengetahui Asbab Al-Nuzul tentu akan mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi ketika ayat-ayat diturunkan, sehingga dengan mudah untuk mengetahui dan memikirkan apa yang terjadi dibalik ayat-ayat tersebut.

 

Ada beberapa hal yang mendorong untuk mengetahui Asbab Al-Nuzul ayat, yaitu:[15]

1.      Untuk Mengetahui Persoalan Syariat (Hukum)

Untuk mengetahui hikmah atau rahasia yang terkandung di balik ayat-ayat yang dimaksud yang dipersoalkan Syari’at (hukum) misalnya masalah-masalah, antara lain:


a.      Judi, riba, memakan harta anak yatim diharamkan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

b.      Bagaimana mula-mula allah mensyariatkan Shalat khauf (shalat yang dilakukan sewaktu situasi sedang gawat/perang)

c.       Kenapa tidak boleh melakukan Shalat Jenazah atas orang Musyrik.

d.     Bagaimana pembagian harta rampasan perang.

 

Banyak ayat-ayat lain yang berhubungan dengan hukum-hukum Allah SWT yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh manusia. Untuk mengetahui hukum-hukumnya sangat perlu diketahui aspek filosofisnya, yang sebagian aspek-aspek itu dapat diketahui melakui pengertian Asbabun Nuzul ayat, sehingga kekeliruan dalam memahami ayat dapat dihindari, dan tidak mungkin mengetahui hukum-hukum dalam Al-Qur’an tanpa mengetahui Asbabun Nuzul ayat sangat mempengaruhi hukum yang ditetapkan di dalamnya.

2.  Mengetahui Asbabun Nuzul sangat menentukan dalam pengecualian hukum (Takhshish) terhadap orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu sangat perlu dilihat terlebih dulu dari sebab-sebab yang khusus sebelum ditetapkan hukumnya. Mengetahui aspek-aspek  khusus itu dapat dikemukakan memalaui Asbabun Nuzul.

3.      Dengan mengetahui Asbabun Nuzul adalah suatu metode yang paling tetap untuk mengetahui dan memahami pengertian ayat, sehingga diceritakan dalam suatu riwayat bahwa para Sahabat yang paling mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, lebih diutamakan pendapatnya tentang pengertian kandungan ayat ketimbang sahabat yang tidak mengetahui sebab-sebab turunya ayat, sehingga masalah Asbabun Nuzul merupakan hal yang sangat menentukan dalam mengambil pengertian dan hukum yang terkandung dalam suatu ayat

        Dalam kepentingan mengetahui Asbabun Nuzul ini imam Al-Wahidy mengemukakan dengan tegas pendirianya yaitu: “Tidaklah mungkin (seseorang) mengetahui tafsir dari suatu ayat tampa mengetahui kisahnya dan keterangan sekitar turunya ayat tersebut.

            Dengan mengetahui Asbabun Nuzul berarti memahami aspek historis penafsiran Al-Qur’an, sehingga kandungannya akan jelas dan dapat dipahami tanpa ada keraguan dalam melaksanakannya.

 

Beberapa contoh ayat yang mempunyai Asbabun Nuzul:[16]


1.      Asbabun Nuzul surat An Nisa’ ayat 51


Sebab-sebab turun ayat ini adalah seorang Yahudi Mandinah bernama Ka’ab Ibnu Asyraf datang berkunjung ke Mekkah. Ia menyaksikan perang Badar dan mendorong orang kafir Quraisy menuntut bela dan memerangi Muhammad SAW. Kemudian orang-orang Quraisy bertanya kepada Ka’ab yang mengetahui Al Kitab (Taurat): “Siapakah yang lebih benar jalannya (siapakah yang berbeda dipihak yang benar ?) apakah Muhammad SAW ?. lalu Ka’ab menjawab: “kalianlah yang benar”, justru ucapan itu, maka Ka’ab telah berdusta dan mendapatkan kutukan oleh Allah SWT terhadap orang-orang berpandangan demikian, kemudian turunlah surat An Nisa’ ayat 51 yang berbunyi:


Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? mereka percaya kepada jibt dan thaghut [17], dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.


2.      Asbabun Nuzul surat Al Maidah ayat 93:


Sebab-sebab turunya ayat tersebut adalah sahabat Usman Ibnu Mazh’un dan Amru Ibnu Ma’dikariba pernah mengatakan bahwa Khamar itu sebenarnya mudah (boleh diminum), keduanya menggunakan surat Al-Maidah ayat 93:


Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Padahal Amru dan Ma’dikariba belum tahu apakah sebabnya ayat tersebut diatas diturunkan. Ayat ini turunya adalah pada saat turunnya ayat yang mengharamkan Khamar, kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “bagaimanakah nasib bagi saudara-saudara kami yang telah meninggal dunia, sedangkan dalam perut mereka ada minuman khamar (ketika hidup mereka minum khamar), lalu Allah memberitakan bahwa minuman khamar semasa hidupnya sedangkan ayat yang mengharamkan belum turun, telah dianggap tidak berdosa lagi seperti yang tersebut dalam surat Al Maidah ayat 39.

Demikianlah jelas bahwa Usman dan Amru tidak mengetahui Asbabun Nuzul surat Al Maidah 93 sehingga hampir saja keduanya menghalalkan khamar yang telah diharamkan Allah.

3.      Asbabun Nuzul surat Ath Thalaq ayat: 4


Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Sebab turunya ayat ini adalah menunjukkan bahwa sahabat Ubaiy bertanya kepada Rasulullah: “wahai Rasulullah, sebagaian dari wanita-wanita belum dijelaskan tentang status Iddah-nya dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) yakni: wanita yang putus haid baik anak-anak maupun orang dewasa, dan wanita yang sedang mengandung”. Maka untuk menjelaskan hal ini  (kepada Ubaiy) turun ayat 4 surat Ath Thalaq tersebut diatas.

Baca Juga;/......

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉



[1] Rosihon Anwar, UlumulQur’an I. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Cet. Ke-2 h. 60

[2] Ramli Abdul Wahid, UlumulQur’an. (Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada, 2002), Cet. Ke-4 h. 41. Lihat Shubhi Ash-Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, (Beirut: Dar Al-Qalam Al-Malayyin, 1988), h. 132

[3] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At Tibyan Ulum Al-Qur’an (Damaskus: Maktabah Al-Ghazilah, 1390) h. 26

[4] Mashuri Sirajuddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir. (Bandung: Angkasa, 1989), h. 135

[5] Rosihon Anwar, Op.Cit h.61. Lihat Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi “Ulumul Qur’an (Masyurat Al-Ashr Al-Hadis, ttp, 1973) h. 78

 [6] Ibid, h. 68

[7] Ibid h. 68

[8] Hasan Zaidi dan Radhiatul Hasnah, ‘Ulumul Al-Qur’an,(Batusangkar: STAIN Press, 2011) h. 108-109

[9] Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk Sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadaNya". Maka turunlah ayat ini untuk membantah Perkataan orang-orang musyrik itu.

[10] Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.

[11] Hasan Zaidi dan Radhiatul Hasnah, Op.Cit. h. 104-106. Lihat Ramli Abdul Wahid, ‘Ulumul Al-Qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 42-43

[12] Ibid, 106-108  

[13] Mudzakir, Tejemahan Mabahits fi “Ulumul Qur’an,Manna’ Al-Qaththan,  (Jakarta: PT. Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000), h. 120

[14] Hasan Zaidi dan Radhiatul Hasnah, Op.Cit. h. 110-112

[15] Armen Muklis, ‘Ulumul Al-Qur’an, (Padang: IAIN Press, 2001) h. 110-112

[16] Ibid, h.112-115

[17] Jibt dan Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain Allah s.w.t.

0 Comment