02 Januari 2023

 JAM’UL QUR’AN PADA MASA KHULAFA AL RASYIDIN

A.  Pengertian Jam’ul Qur’an pada masa Klulafa al Rasyidin

Mengetahui kata-kata Jam’ul Qur’an perlu kita mengenal pengertiannya secara bahasa, menurut fairuz Abady di dalam bukunya Tartibul Qomus Almuhit menyatakan bahwa al jam’u adalah menyatukan sesuatu yang bertebaran, menurut pendapat Jauhuri dalam Assahah mengatakan bahwa al Jam’u yaitu mengumpulkan sesuatu yang menjadikannya dalam sebuah kumpulan, dengan mengumpulkan beberapa koleksi yang berbeda-beda dari berbagai tempat hingga menjadi sebuah kumpulan.[1] Jadi makna aljam’u adalah proses pengumpulan dan penulisan tercakup dalam berbagai koleksi yang tersebar diberbagai tempat dan dikumpulkan dalam satu kumpulan khusus yang bisa menjadikan sesuatu tersebut dapat di ambil untuk menjadi rujukan.[2]

 

Manna al Khaththan menyatakan jam’ul tersebut dalam dua definisi secara umum yaitu :

1.      Al Jam’u bermakana hafalan, al Qur’an dijaga oleh para sahabat dengan hafalannya maka setiap ingin mengetahui isi al Qur’an tersebut Rasulullah menyuruh para sahabat untuk memenemui 7 orang sahabat yang biasa dipercayai oleh Rasulullah sebagai ajudannya dalam menghafal diantaranya yaitu; Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mu’qal budanya Abi Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.[3]

2.      Aljam’u bermakna mencatat keseluruhan ayat-ayatnya. Membedakan antara ayat dan surat atau menertibkan ayat-ayat saja, atau menertibkan ayat dan surat di dalam satu mushaf  yang mencakup seluruh surat. Sahabat yang dipercayakan oleh Rasulullah dalam menulis al Qur’an adalah Ali bin Abu Tahlib, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit.[4]

 

Pada masa awal Islam al Qur’an sudah dicatat oleh sahabat dalam berbagai wadah seperti ditulis di pelepah-pelepah korma dan lempengan batu dan lainya, namun kegiatan ini masih bersifat temporari tidak terkumpul dalam satu wadah tertentu, sehingga masih bertebaranan dimana-mana.

Setelah wafatnya Rasulullah kegiatan pengumpulan al Qur’an berkembang, tidak hanya dalam bentuk penulisan di lembaran-lembaran yang bertebaran saja namun penulisan ini dimaksudkan untuk mengumpulknnya dalam satu kumpulan mushaf sehingga proses tersebut dilakukan guna terwujudnya sebuah kumpulan kitab al Qur’an.

Dapat disimpulkan bahwa jam’ul Qur’an berarti merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi SAW dengan jalan mengumpulkan seluruh mushaf dan catatan serta hafalan-hafalan yang tersebar sehingga terkumpul dalam satu kumpulan yang satu dan terjamin kebenarannya dengan ijtihad para sahabat dalam menjaga al Qur’an itu sendiri.

 

B.   Faktor-faktor Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin

Pada awalnya proses pengumpulan al Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi pertentangan antara para sahabat sehingga memerlukan ijtihad untuk meyakinkan khalifah, sahabat yang menggagas pengumpulan al Quran ini adalah Umar bin Khaththab, pada awalnya gagasan Umar tersebut ditolak oleh Abu Bakar, namun setelah Umar meyakinkan Abu Bakar betapa pentingnya pengumpulan al Qur’an ini, ketika Abu Bakar menyampaikan hal yang sama kepada sahabat Zaid bin Harits beliau juga menolak tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar dan Umar barulah Zaid menerima dan mulai mengumpulkannya.

 

Peristiwa pertentangan antara sahabat dalam mengumpulkan al Qur’an ini diisyaratkan dengan khabar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jurair dari anak  Zaid bin Tsabit Al Anshari dari bapaknya berkata tatkala banyaknya sahabat yang bergugguran pada perang Yamamah[5] maka Umar bin Khaththab r.a. mendatangi Abu Bakar r.a. mengatakan sungguh para Sahabat Rasulullah SAW yang berada pada perang Yamamah sudah terdesak seperti terengah-engahnya kuda di neraka. Saya takut tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi, sedangkan mereka adalah penghafal al Qur’an, dengan sahidnya mereka akan memudarnya al Qur’an dan akan terlupakan jika tidak di kumpulkan dan di tulis ulang, pada awalnya Abu Bakar menolak melakukannya karena tidak mungkin dia membuat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah hal yang sama juga dilakukan Zaid terhadap gagasan tersebut namun kemudian Umar meyakinkan keduanya. Kemudian setelah Umar bisa meyakinkan keduanya baru Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Dalam kisah yang lain menyatakan bahwa saat setelah Umar meyakinkan Zaid kemudian Umar pergi lalu Zaid merasa mendapar petunjuk dalam dirinya bahwa apa yang disampaikan Umar tersebut adalah benar. Baru Zaid memulia mengumpulkan dan menulis Al Qur’an.[6]

 

Kemudian Zaid berjuang untuk mengumpulkan Al Qur’an sampai mencari akhir surat Attaubah yang tidak ada padanya dan hanya didapatkanya pada hafalan Abu Huzaimah Al Anshari[7], Al Qur’an yang dikumpulkan dan ditulis ini di pegang terus oleh Abu Bakar hingga Akhir hayatnya, al Quran ini juga di jaga oleh Umar hingga berakhir masa kekhalifahannya dan terakhir di pegang oleh Hafsah binti Umar.[8]

 

Penulisan al Qur’an ini pada dasarnya bukan hanya Zaid sendiri yang memiliki catatan tersebut namun masih banyak sahabat-sahabat yang lain, namun haya Zaid yang dipercaya oleh Abu karena Zaid salah satu sahabat yang terkenal menjadi juru tulis wahyu dan memeiliki hafalan yang kuat.[9]

 

Dalam pengumpulan al Qur’an ini ada dua teks al Qur’an pada awalnya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam yang pertama yaitu teks yang dibuat oleh Zaid bin Tzabit sendiri dan yang kedua adalah teks yang dibukukan oleh Ibnu Mas’ud, teks Ibnu Mas’ud ini kebanyakan di pakai di daerah Kuffah di Irak sebagaimana Ubay bin Ka’ab juga memiliki kitab kodifikasi sendiri namun kemudian di gantikan dengan Rasm Utsmani.[10]

 

Menurut penilaian para ahli mufassir ketika mengkaji naskah yang dimiliki Ibnu Mas’ud ada terdapat beberapa perbedaan dengan nash yang di  buat oleh Zaid bin Tsabit. Salah satu contoh surat Contoh yang terdapat pada surat al Baqarah ayat 275 dimulai dengan kata-kata Allathiina yaakuluunar-ribaa laa yaquumuuna-" Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri". Teks Ibn Mas'ud memiliki penggnalan yang sama tapi setelah kata terakhir ada ditambahkan ekspresi yawmal qiyaamati, yaitu, mereka tidak akan mampu berdiri pada "hari kiamat". Varian ini disebutkan dalam Abu Ubaid itu Kitab Fadhail Al-.[11]

 

Dan contoh lain Surah 5.91, dalam teks standar, berisi ajakan fasiyaamu tsalaathati ayyaamin'-"puasa selama tiga hari". Teks Ibn Mas'ud setelah kata terakhir, mutataabi'aatin kata sifat, yang berarti tiga hari "berurutan". Varian berasal dari at- dan juga disebutkan oleh Abu Ubaid. Ini adalah bacaan signifikan yang  ditemukan dalam teks Ubay bin Ka'b dalam teks Ibn Abbas dan murid Ibn Mas'ud Ar-Rabi bin Khuthaim.[12]

Jadi faktor utama timbulnya gagasan untuk mengumpulkan al Quran dan menulis ulang kembali karena banyaknya para sahabat yang sebagain besar adalah para penghafal al Quran, sahabat pada masa Khulafa al Rasyidin adalah ilmuwan sekaligus sebagai prajuri yang berjuang menegakkan kalilmat tauhid.

 

Perang Yamamah adalah pemicu awal terjadinya perang yang banyak menggugurkan para syuhada’ Islam Radiallahu Anhum, menurut sejarah yang termasyhur diantara sahabat yang meninggal tersebut diantaranya ada 70 orang sahabat yang dikenal kuat hafalannya,[13] sehingga kejadian ini membuat khawatir Umar bin khahthab akan hilanbgnya al Qur’an dengan meninggalnya sebagian besar penghafal. Peristiwa ini yang memicu Umar mendesak Abu Bakar untuk memerintahkan pengumpulan Hadits, dan diantara empat sahabat yng masyhur penulis wahyu, maka Zaid dipilih sebagai pengumpul sebab Zaid selain penulis juga penghafal yang kuat dan Zaid selalu bersama Rasulullah sejak masa remajanya.

 

Masa khalifah Usman bin Affan al qur’an kembali di revisi ulang oleh khlifah, hal yang mendorong timbulnya gagasan kodifikasi ulang atau yang terkenal dengan “rasm” yaitu penulisan ulang terhadap nash-nash al Qur’an yang sudah di kodifikasikan sebelumnya gagasan ini timbul didorong oleh perbedaan bacaan para sahabat antara satu daerah dengan daerah lainnya, penyebab perbedaan bacaan al Qur’an karena al Qur’an itu turun dengan loghat yang berbeda juga.[14]

 

Pemicu pertikaian dalam membaca al Qur’an ini timbul pada saat pertempuran Armenia dan Azarbaijan dengan warga Irak dan terdapatlah perbedaan bacaan al Qur’an antara Huzaifah dengan kelompok Irak kemudian Huzaifah mengirimkan surat kepada Usman untuk mencarikan solusi atas kejadian tersebut, jangan samapai pertikaian ini berujung pada rusaknya makna al Quran nantinya.[15]

 

Dikenal bahwa al Qur’an tersebut turun dalam tujuh bahasa bangsa Qurays diwaktu itu, pendapat ulama pada umumnya bahwa al Qur’an turun dengan 7 (tujuh) bahasa di antaranya; Qurays, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kanaah, Tamim, dan Yaman.[16] 

 

Tujuh bahasa yang digunakan tersebut termasuk tujuh bahasa bangsa Arab yang terkenal padanya terdapat beberapa perbedaan secara bacaan sehingga perbedaan kecil ini menyebabkan perselisihan dikalang sahabat dalam membaca Al Qur’an dan mereka saling menyalahkan antra satu dengan yang lain. Peristiwa ini memicu terus berlanjut sehingga khlalifah berinisiatif untuk menyatukannya dan lahirlah Rasm usmani sebagai satu-satunya dasar pengambilan Nash al Qur’an, mushaf-mushaf selain dari Rasm Usmani dihapuskan termasuk yang di buat Ibnu Mas’ud dengan tujuan satu penyatuan umat Islam.

 

C.  Tujuan Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin

Selama kekhalifahan Khulafa al Rasyidin terjadi dua kali perubahan yang siknifikan yang memberikan kontribusi yang urgen demi terjaganya nash al Qur’an serta terjaganya persatuan umat setelah wafanya nabi Muhammad SAW. Perubahan ini menunjukkan betapa seriusnya permasalahan diwakktu itu dan betapa bersungguh-sunguhnya para sahabat dalam menjaga al Qur’an sebagai Qonun utama umat Islam.

 

Tanpa ada usaha yang dilakukan oleh sahabat pada waktu itu kemungkinan besar al Qur’an akan tetap diperdebatkan kebenarannya namun Allah SWT sendiri sudah menjamin akan menjaga al Qur’an sebagaimana firmannya “sesungguhnya kami turunkan al Qur’an dan kami akan menjaganya” menurut penafsiran ini merupakan otoritas Allah dalam menjaga al Qur’an dengan menanamkannya dalam dada setiap umat Islam sehingg kecil kemungkinan terjadi penyelewengan.

 

Adapun tujuan utama pengumpulan al Qur’an itu ada dua bentuk di antaranya:

1.      Pada masa khalifah Abu Bakar terjadi pergolakan politik dan agama sehingga muncul gerakan syahid untuk menumpas orang-orang yang murtad serta orang-orang yang enggan membayar zakat. Pergolakan tersebut banyak menyebabkan syahidnya sahabat-sahabat di medan pertempuran, kekhawatiran timbul dari Umar bin Khathab akan banyaknya para penghafal al Qur’an yang syahid sedangkan al Qur’an dalam wujud nyata masih ditulis di berbagai wadah yang tidak terkonsentrasi pada satu tempat. Kondisi seperti ini mendorong kodifikasi al Qur’an dengan tujuan teradapat dalam satu kumpulan mushhaf yang sudah ditarjih oleh para pengahafal al Qur’an serta diyakini oleh semua penulis al Qur’an yang masyhur tersebut.

2.      Pada masa khalifah Usman bin Affan tujuan penyatuan al Qur’an berbeda alasannya dengan apa yang dilkukan Abu Bakar, pada masa khalifah ketiga Islam sudah bekembang pesat dan tersebar keberbagai tempat yang tidak hanya berpusat pada jazirah Arab saja namun juga sudah menyebar keberbagai daerah, sedanglkan pada awalnya al Qur’an tersebut diturunkan dalam tujuh bahasa resmi bangsa Arab. Bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh seluruh masyarakat Islam sehingga ketiaka bertemu masyarakat antar daerah timbul perselishan antara satu dengan yang lain dan saling menyelahkan antara satu dengan yang lain, sebaga contoh mushaf yang dicatat zaid bin Tsabit berbeda dengan bacaan yang dibuat Ibnu Mas’ud, namun secara makna tidak berbeda hanya dalam bacaan saja yang berbeda. Maka dari permasalaha  ini timbul inisiatif untuk menjadikannya dalam satu bahasa yang dikenal dengan “Rasm Usamni” kemudian kitab ini di perbanyak menjadi lima buah.[17]

 

D.  Hikmah Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin

Perjuangan para sahabat dari masa Khulafa al Rasyidin hingga sekarang sangat berati sekali dalam pengembangan al Qur’an tanpa da usaha dan peranserta meraka maka al Qur’an yang kita dapati saat ini belum tentu terbukukan dengan baik yang berujung seperti hancurnya orang-orang  Yahudi dan Nasrani ketika mendapati Zabur dan Injil sebagai kitabnya, isi dan maknanya sudah berubah yang dibuat dengan sengaja oleh orang-orang sesudah nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.

 

Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari hasil kodifikasi yang sudah dilakukan oleh sahabat-sahabat Radiallahu Anhum ini antara lain:

1.      Ijmak merupakan dasar ketiga dari istinbat hukum sebaba dapat kita lihgat ketika Abu Bakar tidak langsung menolak atau menyuruk Zaid bin Tsabit untuk mengkodifikasikan al Qur’an.

2.      Dalam menetapkan kebenaran dan memutusan sesuatu perlu dilakukan ijtihad yang mendalam serta dibutuhkan saksi yang dapat dipercaya kebenarannya, seperti Zaid dalam mencara akhir surat Attaubah yang didapatnya dari abu Hazaifah yang memiliki hafalan yang kuat.

3.      Dengan prakarsa Umar bin Khaththab tersebut al Qur’an dapat di kumpulkan dari yang semula berserakan dipenjuru kota Mekkah dan Medinah hingga dalam satu Mushaf, tanpa ada upaya yang dilakukan pada zaman Abu Bakar tersebut belum tentu al Quran terbukukan hingga sekarang.

4.      Upaya yang dilakukan Kalifah Usman bin Affan membuahkan hasil persatuan umat Islam, kalu tidak bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lain berbeda bacaannya sehingga akan terpecah oleh karena berbeda pemahan bahkan akan berakibat  pada istinbat hukum.

5.      Suatu perbuatan jadid diperboleh malahan dianjurkan selagi bertujuan demi kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.


Baca Juga;/.......

👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉👉


KESIMPULAN


Dari urai di atas dapat disimpulkan diantaranya:

1.      Jam’ul Qur’an berarti mengumpulkan lembaran al Qur’an yang berada pada berbagai wadah seperti pelepah-kurma, lempengan-lempengan batu dan lainnya terkumpul dalam satu tempat.

2.      Ada dua faktor tekodifikasinya al Qur’an itu pertama didorong oleh banyaknya para penghafal al Qur’an yang gugur pada perang Yamamah melawan Musailamah Al Kazzab yang terjado pada masa Kahalifah Abu Bakar Siddik, Kedua;terjadinya perselisihan umat Islam dalam mambaca al Qur’an sehingga menimbulkan perselisihan antara satu kaum dengan kaum lainnya dan Khalifah Usman bin Affan berinisiatif dengan menjadikannya dalam satu jenis bacaan guna menyatukan umat.

3.      Tujuan al Qur’an dikodifikasikan adalah untuk menyatukan al Qur’an yang bertebaran dari satu lembaran dan dari seluruh hafalam sahabat sebelum ajal menjemput mereka sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanutnya.

Hikmah pengkodifikasian al Qur’am adalah musyawarah dan ijtihad.


[1] Ali bin Sulaiman Al ‘Abid, Jamul Qur’anul Karim Hafzan wa kItabatan, Maktabah Samilah Vol. 1

[2] Ibid.

[3] Mannaal Khaththan, Mabahis fi Ulumil Qur’an, ( Cet.2), h. 119

[4] Ibid., h. 124

[5] Kejadiannya terjadi pada tahun ke 12 hijriah pada saat perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kazzab di bawah pimpinan Khalid bin Walid.

[6] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy, Ulumul Qur’an min Khilali Muqaddimah At Tafasir, (Beirut: Arisalah, 2004 M/1465 H), 46-48

[7] Yang dimaksud dengan Bau Huzaimah disini adalah Abu Huzaimah bin Ausi bin Zaid bin Usram bin Sa’labah bin Amru bin Malik bin Najar Al Anshari bukan Abu Huzaimah bin Tsabit Al Anshari bin Al Fakihu bin Sa’labah bin Sa’adah Al Ausi yang mengetahui akhir dari surat AL Ahzab, ibid.,h. 81

[8] Muhammad Salim Muhisin, Tarikh Al Qur’an Al Karim, (Sanah Tsaiyah Jumadil Akhir, 1402 H), h. 136

[9] John Gilchrist, The Codification of the Qur'an Text a Comprehensive Study of the Original Collection of the Qur'an Text and the Early Surviving Qur'an Manuscripts, (South of Africa, MERCSA, 1989), h. 21-23dan 27

[10] Ibid., h. 63

[11] Ibid., h. 69

[12]Ibid., h. 70

[13] Muhammad Salim Muhisin, Op. Cit, h. 133

[14] Mannaal Khaththan, Op. Cit., h. 128-129

[15] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy, Op. Cit., h. 86

[16] Ibid., h. 158

[17] Ada terdapat beberapa perbedaan tetang jumlah kitab Rasm Usmani ini, ada yang mengatakan tujuh buah yang dikirim ke Makkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah, ada juga  yang menyatakan emapat buah yang dikirimkan ke Iraq, Syam, Mesir, dan Kuffah sedangkan menurut sayuti jumlah yang paling masyhur adalah lima buah, dan kitab-kitab yang dibukukan pada masa usman dan Abu Bakar tersebut tidak ada satu pun yang ditemui pada zaman sekarang., Ibid., h.134

0 Comment