29 Juni 2023

Apakah Ruh Itu Mati ataukah Hanya Jasad yang Mati? 

TERJADI PERBEDAAN PENDAPAT tentang perkara ini. Ada yang berpendapat bahwa ruh itu mati dan merasakan mati. Pasalnya, ruh itu bernyawa dan setiap yang bernyawa itu akan merasakan mati. Menurut mereka, banyak dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada yang kekal, kecuali Allah semata. Allah SWT berfirman, "Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal." (QS. Ar-Rahman: 27) Allah SWT juga berfirman, "Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah." (QS. Qashash: 88) 

Mereka mengatakan bahwa jika malaikat saja mati, ruh manusia tentu lebih pantas untuk mati. Allah SWT telah berfirman tentang penghuni neraka bahwa mereka berkata, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)." (QS. Al-Mu'min: 11) Kematian pertama inilah yang dapat disaksikan, yaitu kematian pada jasad. 

Adapun kematian yang kedua adalah kematian pada ruh. 

Ada juga yang berpendapat bahwa ruh itu tidak mati karena ruh diciptakan untuk kekal, sedangkan kematian itu hanya berlaku pada jasad (raga). Menurut mereka, banyak sekali hadis yang menunjukkan adanya kenikmatan dan siksa atas ruh setelah ruh itu berpisah dari jasadnya hingga Allah mengembalikan ruh-ruh itu pada jasadnya. Sekiranya ruh-ruh itu mati, tentu kenikmatan dan siksa akan hilang darinya.

Allah SWT berfirman, "Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT tu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka." (QS. Ali-'Imran: 169-170)

Ayat tersebut menjelaskan secara tegas dan pasti bahwa ruh dan jasad mereka telah berpisah, dan telah merasakan kematian. Pendapat yang benar perihal matinya ruh adalah berpisahnya ruh dengan jasadnya dan keluamya ruh dari jasad tersebut. Jika makna kematian seperti ini yang dimaksudkan, ia telah merasakan kematian. Akan tetapi, jika yang dimaksudkan dengan kematian adalah jiwa itu tidak ada atau hilang sama sekali, ruh tidak mati dengan makna seperti ini. Namun, ia tetap ada setelah penciptaannya, baik berada dalam nikmat maupun siksa. Hal ini sebagaimana yang akan dibahas pada bab selanjutnya, in syaa Allah. Demikian juga yang telah dijelaskan dalam teks dalil bahwa ruh itu mati hingga Allah mengembalikan lagi kepada jasadnya. 

Ahmad bin Husain al-Kindi telah menyebutkan perbedaan ini di dalam untaian syaimya:

"Manusia berbeda pendapat dan tidak ada kata sepakat, Kecuali pada hal yang mendatangkan kesedihan dan diiringi dengan kesedihan Ada yang mengatakan jiwa manusia lepas dengan selamat. 

Ada yang mengatakan bahwa jiwa dan jasad ada dalam api yang menjilat." 

Jika ada yang bertanya: ketika sangkakala ditiup, apakah ruh-ruh itu tetap hidup seperti semula ataukah mati lalu dihidupkan kembali? Dikatakan, Allah berfirman, "Dan sangkakala pun ditiup maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali mereka yang dikehendaki Allah." (QS. Az-Zumar: 68) 

Allah telah mengecualikan pada sebagian yang ada di langit dan bumi dari kematian ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka yang dikecualikan itu adalah para syuhada. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, lbnu Abbas, dan Sa'id bin Zubair. 

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mereka yang dikecualikan itu adalah Jibril, Mikail, Israfil, dan malaikat maut. Ini adalah pendapat Muqatil dan yang lainnya. Demikian juga ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka yang dikecualikan itu adalah para bidadari yang ada di surga dan selain mereka: para penghuni neraka dengan segala siksa dan penderitaannya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq bin Syaqil, salah seorang teman semadhab kami. 

Imam Ahmad   telah menjelaskan bahwa bidadari dan para pelayan muda tidak mati ketika ditiup sangkakala. Allah 6 telah menjelaskan: "Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya selain kematian pertama (di dunia)." (QS. Ad-Dukhan: 56) Ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak mati, kecuali pada kematian yang pertama. Sekiranya mereka mati untuk yang kedua kalinya, tentu disebutkan dengan dua kematian. 

Adapun perkataan penghuni neraka, "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)," (QS. Al-Mu'min: 11), tafsir ayat ini adalah ayat yang terdapat dalam surah al-Baqarah, yaitu firman Allah 

: "Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati lalu Dia meng­ hidupkan kamu kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali." (QS. Al-Baqarah: 28) 

Pada awalnya manusia itu mati. Mereka berbentuk nutfah yang ada pada tulang sulbi bapak mereka dan rahim ibu mereka. Selanjutnya, Allah menghidupkan mereka lalu mematikan mereka, lalu menghidupkan mereka kembali pada hari kebangkitan. Dalam hal ini, tidak ada kematian ruh mereka sebelum hari kebangkitan. Pasalnya, jika ada kematian sebelum kebangkitan, ruh mengalami tiga kali kematian. 

Kematian ruh-ruh pada peniupan sangkakala yang pertama tidak mesti men­ jadikan kematian padanya pula. Dalam hadis sahih disebutkan: "Manusia pingsan pada hari Kiamat dan aku orang yang pertama kali sadar. Namun, ternyata Musa memegangi tiang Arsy sehingga aku tidak tahu apakah ia sadar sebelumku atau ia telah melewati masa pingsan saat di Thur." 

Pada hari Kiamat ketika Allah datang untuk mengadakan pengadilan dan bumi muncul dengan cahayanya, saat itulah semua manusia pingsan. Firman Allah : "Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka, pada hari itu mereka dibinasakan." (QS. Ath-Thur: 45) 

Sekiranya pingsan di sini maksudnya adalah mati, itu merupakan kematian dalam bentuk lain. Hal ini telah dijelaskan para ulama terkemuka. Abu Abdullah al-Qurthubi berkata bahwa menurut zahir hadis, artinya pingsan yang terjadi pada hari Kiamat, bukan pingsan yang berarti mati karena tiupan sangkakala itu. Syekh Ahmad bin Amr berkata, zahir hadis Nabi menunjukkan bahwa pingsan ini terjadi setelah tiupan yang kedua, yaitu tiupan saat kebangkitan." 

Nash al-Qur'an menetapkan bahwa pengecualian itu terjadi setelah tiupan yang membuat pingsan. Karena itulah, sebagian ulama berkata bahwa Musa termasuk orang yang tidak mati dari kalangan nabi, jelas ini merupakan pendapat yang batil. Adapun menurut Qadhi al-Iyadh, boleh jadi maksud pingsan di sini adalah keterkejutan setelah Kiamat ketika langit dan bumi terbelah. 

Abul Abbas al-Qurthubi membantah hal itu dan berkata bahwa yang demikian itu justru bisa menyangkal apa yang telah disebutkan dalam hadis sahih bahwa ketika ruh beliau keluar dari kubur, beliau bertemu dengan Musa yang sedang memegangi tiang 'Arys. Menurutnya, berarti ini terjadi ketika tiupan karena ketakutan saat langit dan bumi terbelah. 

Abu Abdullah berkata bahwa Syekh Ahmad bin Amr berkata, "Inilah yang dapat menuntaskan kerumitan itu bahwa kematian itu bukan berarti ketiadaan sama sekali. Namun, kematian merupakan perpindahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain." 

Bukti yang menunjukkan hal ini adalah bahwa setelah para syuhada terbunuh dan mati, mereka tetap hidup di sisi Tuhan mereka, mendapatkan limpahan rezeki, senang, dan gembira. Ini merupakan sifat-sifat bagi orang yang hidup di dunia. Jika para syuhada mengalami hal seperti ini, berarti para nabi jauh lebih layak lagi. Itu pun sudah disebutkan dalam hadis sahih Nabi bahwa tanah tidak akan memakan jasad para nabi dan beliau berkumpul dengan para nabi pada malam isra' di Baitul Maqdis, begitu pula di langit, terutama dengan Musa. Beliau juga mengabarkan bahwa jika seorang muslim menyampaikan salam kepada beliau, Allah akan mengembalikan ruh beliau sehingga beliau bisa membalas salamnya itu. 

Masih banyak lagi bukti lain yang secara umum memberikan kepastian bahwa para nabi hanya sekadar keadaan mereka yang ditiadakan dari sisi kita sebagaimana kita tidak mengetahui keadaan malaikat. Mereka hidup dan ada meskipun kita tidak melihat mereka. Jika ditetapkan mereka hidup dan jika sangkakala ditiup yang membuat semua yang ada di langit dan di bumi pingsan, kecuali yang dikehendaki Allah, pingsannya selain para nabi adalah kematian, sedangkan pingsannya para nabi adalah pingsan yang sudah diketahui keadaannya. 

Ketika sangkakala ditiup pada hari kebangkitan, siapa yang tadinya mati menjadi hidup dan siapa yang tadinya pingsan menjadi sadar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi dalam hadis muttafaq 'alaih: "Aku adalah orang yang pertama kali sadar. Beliau adalah orang yang pertama kali keluar dari makamnya sebelum manusia yang lain selain Musa. Dalam hal ini beliau ragu-ragu, apakah Musa bangkit dari pingsannya sebelum beliau ataukah Musa tetap seperti keadaannya semula sebelum sangkakala ditiup, yaitu dalam keadaan sadar karena Musa sudah dihisab dengan tiupan sangkakala di Bukit Thur. Hal ini merupakan kelebihan bagi Musa. Namun, secara umum tidak ada yang melebihi Nabi kita, Muhammad., karena kelebihan pada bagian tertentu tidak mengharuskan kelebihannya secara umum. 

Abu Abdullah al-Qurthubi berkata, "Jika hadis ini dimaknai sebagai keadaan makhluk yang pingsan pada hari Kiamat, tidak ada masalah padanya. Namun, jika dimaknai sebagai kematian pada saat tiupan sangkakala, tiupan itu dianggap sebagai permulaan hari Kiamat. Artinya, jika sangkakala ditiup sebagai tanda kebangkitan, aku (Rasululah) adalah orang yang pertama kali mengangkat kepala. Dan pada saat itu, Musa sudah memegangi tiang Arsy sehingga aku tidak tahu apakah ia sadar sebelumku atau ia telah melewati pingsannya di Bukit Thur." 

Jadi, menakwilkan hadis seperti ini tidak benar. Pasalnya, Rasulullah dalam keadaan ragu apakah Musa sudah sadar sebelum beliau sadar ataukah Musa tidak pingsan karena sudah melewati pingsannya sewaktu di Bukit Thur. Artinya, Rasulullah tidak tahu apakah Musa pingsan atau tidak pingsan. 

Rasulullah bersabda, "Aku orang yang pertama kali sadar. Ini menunjukkan bahwa beliau termasuk orang yang pingsan. Keraguan beliau ini terletak pada masalah, apakah Musa pingsan lalu sadar sebelum beliau ataukah tidak pingsan. Jika yang dimaksud adalah pingsan yang pertama, yaitu pingsan yang berati mati, tentu beliau akan memastikan kematiannya. Namun, beliau ragu apakah Musa mati ataukah tidak mati. 

Pendapat ini batil karena beberapa pertimbangan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pingsan ini karena ketakutan, bukan pingsan berarti mati. Dengan demikian, ayat ini tidak menunjukkan bahwa semua ruh mati ketika sangkakala ditiup yang pertama kali. 

Memang ada isyarat yang menunjukkan bahwa kematian makhluk terjadi pada tiupan yang pertama dan siapa yang tidak pernah merasakan mati sebelumnya, ia akan merasakan mati pada saat itu. Adapun bagi yang sudah merasakan mati atau belum ditetapkan kematian baginya, ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa ia mati untuk kedua kalinya. Wallahu a'lam. 

Ada pendapat yang mengatakan, "Apa yang kalian perbuat berkenaan dengan sabda Nabi: 

'Sesungguhnya, semua manusia pingsan pada hari Kiamat. Aku adalah orang pertama yang keluar dari bumi dan aku dapati Musa memegang tiang Arsy." Hal ini dijawab bahwa tidak diragukan lagi memang lafal hadis disebutkan seperti itu sehingga akan muncul permasalahan. Namun, perawi hadis menyertakan satu hadis ke dalam hadis lain sehingga tersusunlah dua lafal hingga seperti hadis ini. 

Hadis pertama berbunyi: "Semua manusia pingsan pada hari Kiamat dan aku adalah orang yang pertama kali sadar." 

Hadis kedua berbunyi: "Aku adalah orang pertama keluar dari bumi." 

Di dalam riwayat at-Tirmidzi dan lainnya dari hadis Abu Sa'id al-Khudri, ia berkata, Rasululah bersabda, "Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari Kiamat dan ini bukan suatu kebanggaan. Di tanganku ada bendera pujian dan ini bukan suatu kebanggan. Tidaklah ada seseorang nabi pada hari itu yang pertama kali dikeluarkan dari bumi dan ini bukan suatu kebanggaan." At-Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadis hasan sahih." 

Perawi hadis ini masuk dalam perawi hadis lainnya. Syaikh kami, Abul Hajjaj al-Hafizh, mengatakan seperti itu. 

Boleh jadi ada yang bertanya, "Apa pendapatmu tentang sabda beliau: 'Sehingga aku tidak tahu apakah ia telah sadar sebelumku ataukah ia termasuk orang­ orang yang dikecualikan Allah?' sementara orang yang dikecualikan Allah adalah yang dikecualikan dari pingsan karena tiupan sangkakala, bukan mereka yang pingsan karena kedatangan hari Kiamat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: 

"Dan ditiuplah sangkakala maka pingsanlah siapa yang ada di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah," padahal tidak ada pengecualian bagi makhluk dari pingsan karena kedatangan hari Kiamat. 

Hal ini dapat dijawab: Demi Allah, sabda beliau seperti ini hanyalah dugaan dan sebagian riwayat hadis sama sekali tidak kuat. Riwayat yang kuat adalah, "Sehingga aku tidak tahu apakah ia sadar sebelumku atau ia melewati pingsannya di Thur.' Alhasil, sebagian perawi itu mengira bahwa pingsan ini adalah pingsan karena tiupan sangkakala dan Musa termasuk orang yang dikecualikan saat itu. Hal ini sama sekali tidak sejalan dengan maksud hadis. Pasalnya, kesadaran pada saat itu merupakan kesadaran pada saat kebangkitan. Maka, perhatikanlah secara cermat bagaimana beliau bersabda, "Sehingga aku tidak tahu apakah ia telah sadar sebelumku atau ia melewati pingsannya di Thur." 

Hal ini berbeda dengan pingsan yang dialami semua makhluk ketikaAllah datang pada hari Kiamat untuk mengadakan pengadilan terhadap hamba. Allah muncul di hadapan mereka sehingga mereka semuanya pingsan. Andaikan Musa tidak pingsan bersama mereka pada saat itu karena ia sudah dihisab dengan pingsan yang sama di Bukit Thur ketika Allah menampakkan dirinya pada gunung hingga gunung itu menjadi hancur lebur, saat itulah Musa pingsan. Dengan begitu, pingsannya Musa pada saat itu menjadi pengganti dari pingsannya semua makhluk ketika Allah muncul pada hari Kiamat. Perhatikanlah baik-baik makna ini karena jawaban ini mengungkapkan perhatian hadis di atas. Segala puji bagi Allah.

 

0 Comment