28 Juni 2023

Diriwayatkan Dari Ibnu Abdil Bar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Seorang muslim yang melewati makam saudara yang dikenalnya saat di dunia lalu ia mengucapkan salam kepadanya maka Allah akan mengembalikan ruh kepada orang yang sudah meninggal dunia itu hingga ia menjawab salam (saudara)nya." Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui orang yang menziarahi makamnya dan menjawab salam yang ditujukan kepadanya.

Rasulullah SAW melalui beberapa jalur periwayatan bahwa beliau pernah memerintahkan jenazah-jenazah kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar lalu memasukkannya ke dalam sebuah sumur tua. Selanjutnya, beliau mendekati sumur itu seraya memanggil nama-nama mereka, "Wahai fulan bin fulan, wahai fulan bin fulan, apakah kalian sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Sesungguhnya, aku sudah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar." Umar bin Khattab bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau bisa berbicara dengan orang yang sudah meninggal?" Beliau menjawab, "Demi Yang mengutusku dengan kebenaran, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka atas apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak bisa menjawab." Bahkan, Rasulullah SAW juga mengabarkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengiringi jenazahnya saat mereka pergi meninggalkan makam.

Nabi SAW mensyariatkan kepada umatnya bahwa jika mengucapkan salam kepada penghuni makam, ucapkanlah: "Assaliimu 'alaikum diira qaumin mu'minin (semoga kesejahteraan terlimpah atas kalian, tempat tinggal kaum Mukminin)." Ucapan salam seperti ini hanya ditujukan kepada orang yang dapat mendengar dan berakal (mengerti). Jika tidak dimaksudkan untuk itu, ucapan ini seperti halnya ucapan yang ditujukan kepada orang yang ma'dum (tidak ada) atau jamiid (benda mati).

Para ulama salaf (salaful shalih) telah menyepakati hal ini. Demikian juga halnya banyak atsar yang meriwayatkan bahwa orang yang sudah meninggal dapat mengetahui ziarah orang yang masih hidup dan merasa gembira.

Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abid Dunya mengatakan di dalam kitab Al-Qubur bab "Ma'rifah al-mauta bi ziyarah al-a"flya' (Orang yang Sudah Meninggal Dunia Mengetahui Ziarah Orang-Orang yang Masih Hidup)", "Muhammad bin Aun berkata bahwa Yahya bin Yaman menceritakan, dari Abdullah bin Sam'an, dari Zaid bin Aslam, dari Aisyah .,, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: 'Ketika seseorang menziarahi makam saudaranya dan ia duduk di sisi pusaranya, saudara yang sudah meninggal itu mendengar dan menjawab perkataannya hingga seseorang itu pergi (meninggalkan makam)'."

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Muhammad bin Qudamah al-Jauhari berkata, "Jika seseorang melewati makam orang yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu akan membalas salamnya dan mengenalinya. Jika seseorang melewati makam orang yang tidak dikenalnya lalu mengucapkan salam, orang yang sudah meninggal itu hanya membalas salamnya."

Muhammad bin Husain berkata bahwa salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari menceritakan kepadanya, ia berkata, "Aku mimpi bertemu al-Jahdari dua tahun setelah ia meninggal dunia. Dalam mimpi itu aku bertanya: 'Bukankah engkau sudah meninggal dunia?' Ia menjawab: 'Ya, benar.' Aku bertanya: 'Engkau berada di mana?' Ia menjawab: 'Demi Allah, aku berada di salah satu taman surga. Aku dan beberapa sahabatku berkumpul pada setiap malam Jumat dan pagi harinya lalu kami bersama-sama menemui Bakar bin Abdullah al-Muzani untuk mencari kabar tentang kalian.' Aku bertanya: 'Apakah yang berkumpul itu jasad kalian ataukah ruh kalian?" Ia menjawab: 'Sangat tidak mungkin jasad kami yang berkumpul. Jasad kami telah hancur. Hanya ruh-ruh yang saling bertemu.' Aku bertanya lagi: 'Apakah kalian tahu kedatangan kami ke makam kalian?' Ia menjawab: 'Ya, kami tahu 'asyiyyah al-Jum'ah sepanjang Jumat pagi hingga petang), dan pada hari Sabtu hingga terbit matahari.' Aku bertanya: "Mengapa hal itu hanya berlaku untuk hari Jumat dan tidak pada hari-hari yang lain?' Ia menjawab: 'Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat.'

Muhammad bin Husain berkata bahwa Hasan al-Qashab menceritakan kepadanya, ia berkata, "Setiap hari Sabtu pagi, aku pergi bersama Muhammad bin Wasi' ke makam. Kami mengucapkan salam kepada para penghuni yang ada di sana dan mendoakan mereka. Setelah itu, kami pun pulang. Pada suatu hari aku berkata kepada Muhammad bin Wasi': 'Bagaimana jika waktu ziarah kita ubah menjadi hari Senin?' Muhammad bin Wasi' menjawab: 'Aku pemah mendengar riwayat bahwa orang-orang yang sudah meninggal dunia dapat mengetahui orang-orang yang menziarahi makamnya pada hari Jumat serta sehari sebelum dan sesudahnya'."

Salaf adalah sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in. Ada juga yang mengatakan, mereka adalah tiga generasi utama, yang dimulai sejak periode Nabi. Muhammad berkata bahwa Sufyan ats-Tsauri menceritakan kepadanya, ia berkata, "Aku pernah mendengar Dhahhak berkata: 'Siapa yang berziarah pada hari Sabtu sebelum matahari terbit maka penghuni makam mengetahui kedatangannya.' Lantas, ada yang bertanya kepadanya: 'Mengapa hal itu bisa terjadi?' Ia menjawab: 'Karena keutamaan dan keagungan hari Jumat'."

Khalid bin Khidas berkata bahwa Abu Tayyah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Mutharrif pergi pada malam hari dan pada malam itu bertepatan malam Jumat." (Khalid) berkata, "Aku mendengar Abu Tayyah berkata: 'Telah sampai kabar kepadaku bahwa Mutharrif diterangi dengan cahaya yang ada pada cemetinya. Ia berjalan hingga larut malam. Ketika tiba di area makam sambil tetap menunggu kudanya, ia tidak kuasa menahan rasa kantuk. (Dalam tidurnya), Mutharrif bermimpi melihat orang-orang yang sudah meninggal duduk di atas pusaranya masing­ masing. Mereka berkata: 'Ini adalah Mutharrif yang datang pada hari Jumat.'

Mutharrif pun bertanya kepada mereka: 'Apakah kalian tahu saat kami berziarah pada hari Jumat?' Mereka menjawab: 'Ya, kami tahu dan kami juga bisa mendengar apa yang dikatakan burung pada hari itu.' Mutharrif kembali bertanya: 'Apa yang dikatakan burung itu?'

Mereka menjawab: 'Burung itu berkata, salam, salam (selamat sejahtera)'." Muhammad bin Husain berkata bahwa Fadhl bin Muwaffaq, anak paman Sufyan bin Uyainah, menceritakan kepada, ia berkata, "Ketika ayahku meninggal, aku sangat sedih dan terpukul. Karena itu, setiap hari aku menziarahi makamnya. Namun, kemudian aku mulai jarang menziarahi makamnya. Pada suatu hari ketika aku menziarahi makam ayahku dan duduk di sisi pusaranya, tiba-tiba aku mengantuk hingga akhimya aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi seolah-olah makam ayahku terbuka dan tampak ayahku duduk dengan tetap mengenakan kain kafan serta dalam kondisi dan raut muka seperti orang yang sudah meninggal. Aku menangis tatkala melihatnya.'

Ayahku berkata: 'Wahai anakku, apa yang membuatmu jarang menziarahi makamku?'

Aku bertanya: 'Wahai ayahku, apakah engkau mengetahui kedatanganku.'

Ayahku menjawab: 'Setiap kali kamu datang ke sini, pasti aku tahu. Aku senang dan gembira saat kamu datang, begitu juga orang-orang yang ada di sekelilingku, mereka mendapatkan kemudahan berkat doamu.' Alhasil, sejak saat itu aku selalu menziarahi makam ayahku."

Muhammad berkata bahwa Utsman bin Saudah ath-Thufawi-ibunya adalah seorang ahli ibadah dan dijuluki Rahibah (Wanita Rahib)-menceritakan kepadanya, ia berkata, "Ketika ajal menjemput, ibuku mendongakkan kepalanya ke langit seraya berkata: 'Wahai harta dan pusakaku yang menjadi sandaran dalam hidup dan matiku. Janganlah Engkau telantarkan aku ketika aku mati dan janganlah Engkau telantarkan aku ketika aku berada di dalam liang lahat.' Akhimya, ibuku pun meninggal dunia. Setiap hari Jumat aku menziarahi makamnya, mendoakannya, serta memohonkan ampun untuknya dan untuk para penghuni makam lainnya. Pada suatu hari aku mimpi bertemu ibuku, aku pun bertanya, 'Wahai Thu, bagaimana keadaanmu sekarang?'

lbu menjawab: 'Wahai anakku, sesungguhya kematian itu adalah kesulitan yang sangat berat. Alhamdulillah aku sekarang berada di alam barzakh yang penuh dengan keberkahan Allah. Di dalamnya kami beralaskan raihan (bunga-bunga yang harum aromanya) dan bertelekan pada bantal yang terbuat dari sutra tebal dan tipis hingga kelak datang hari Kiamat."

Aku bertanya: Adakah pesan yang ingin Thu sampaikan kepadaku?' Thu menjawab: 'Ya.'

Aku kembali bertanya: 'Apakah itu?'

Thu menjawab: 'Janganlah engkau berhenti berziarah dan mendoakan kami. Sesungguhnya, lbu gembira dengan kedatanganmu pada hari Jumat. Pada saat engkau datang, dikatakan kepadaku: 'Wahai wanita rahib, ini anakmu datang.' Aku pun gembira, begitu juga para penghuni lain yang ada di sekitarku, mereka merasa gembira dengan kedatanganmu'."

Muhammad bin Abdul Aziz bin Sulaiman berkata bahwa Bisyr bin Manshur menceritakan kepadanya, ia berkata, "Sewaktu terjadi wabah penyakit taun (penyakit menular, epidemi), ada seorang laki-laki zuhud yang pergi ke makam untuk ikut shalat jenazah. Ketika menjelang sore hari, ia berdiri di pintu pemakaman seraya berkata: 'Semoga Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni kesalahan kalian, dan menerima kebaikan kalian.' Kalimat ini kerap ia ucapkan.

Pada suatu hari orang itu berkata: 'Pada suatu sore aku langsung pulang ke rumah dan tidak mampir ke pemakaman. Namun, aku tetap berdoa seperti biasa. Saat tidur, aku mimpi ada sekelompok orang mendatangiku. Aku pun bertanya: 'Siapakah kalian dan apa keperluan kalian'?'

Mereka menjawab: 'Kami adalah para penghuni makam.' Aku bertanya: 'Apa keperluan kalian?'

Mereka menjawab: 'Engkau sudah terbiasa memberikan hadiah kepada kami sebelum pulang ke rumahmu.'

Aku kembali bertanya: 'Hadiah apa yang kalian maksudkan?' Mereka menjawab: 'Doa yang biasa engkau panjatkan untuk kami.'

Alhasil, sejak itu aku kembali merutinkan berziarah dan berdoa untuk para penghuni pemakaman, dan aku tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu'."

Muhammad berkata bahwa bahwa Sulaim bin Umair pernah melewati sebuah area pemakaman, saat itu ia ingin buang air kecil. Seorang temannya berkata, "Bagaimana jika engkau turun ke pemakaman itu lalu buang air kecil di sana?"

Sulaim pun menangis mendengar saran temannya tersebut lalu berkata, "Mahasuci Allah. Demi Allah, aku benar-benar malu terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia sebagaimana aku malu terhadap orang-orang yang masih hidup. Sekiranya orang yang sudah meninggal dunia itu tidak mengetahui apa yang aku lakukan, tentu aku tidak akan malu."

Disebutkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui amal yang dilakukan para kerabat atau teman-temannya yang masih hidup. Abdullah bin Mubarak berkata, Tsaur bin Yazid menceritakan kepadaku, dari Ibrahim, dari Abu Ayyub, ia berkata, "Amal orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Jika mereka melihat amal yang baik, mereka senang dan gembira. Namun, jika melihat amal yang buruk, mereka berkata: 'Ya Allah, singkirkanlah perbuatan itu'."

lbnu Abi Dunya berkata bahwa Abbad bin Abbad menemui Ibrahim bin Shaleh yang berada di Palestina. Ibrahim bin Shaleh berkata, "Berilah aku nasihat." Abbad bin Abbad menjawab, "Nasihat seperti apa yang bisa aku sampaikan kepadamu sementara Allah It telah membaguskan keadaanmu? Telah sampai kabar kepadaku bahwa amal orang-orang yang masih hidup diperlihatkan kepada kerabat mereka yang sudah meninggal. Maka lihatlah, amalan apa yang dapat kamu perlihatkan kepada Rasulullah?" Mendengar hal itu, Ibrahim bin Shaleh langsung menangis hingga janggutnya basah bersimbah air mata.

lbnu Abid Dunya berkata bahwa Shadaqah bin Sulaiman al-Ja'fari menceritakan kepadanya, ia berkata, "Aku mempunyai perilaku dan kebiasaan yang tidak baik. Ketika ayahku meninggal, aku bertobat dan menyesal atas sikap dan perilaku selama ini. Aku pun dirundung kesedihan. Dalam tidurku, aku mimpi bertemu ayah, ia berkata, "Wahai anakku, aku senang jika amal-amalmu diperlihatkan kepada kami, amal yang menyerupai amal orang-orang yang saleh. Namun, saat ini, aku sangat malu karena hal itu. Karena itu, janganlah kamu membuat aku sedih dan malu di hadapan orang-orang yang sudah meninggal di sekitarku."

lbnu Abid Dunya berkata, "Setelah kejadian itu, aku selalu mendengarnya mengucapkan doa pada setiap malam (waktu sahur)-sewaktu di Kufah, ia adalah tetanggaku: 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu tobat yang sungguh-sungguh. Wahai Yang membaguskan orang-orang saleh, Yang memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat, dan Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih'."

Banyak sekali atsar dari sahabat berkenaan dengan perkara ini. Ada orang Anshar dari kerabat Abdullah bin Rawahah yang berkata, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari amal yang membuatku malu di hadapanAbdullah bin Rawahah." Kerabatnya mengucapkan hal itu setelah Abdullah bin Rawahah meninggal sebagai syahid.

Cukuplah dalam hal ini, orang yang mengucapkan salam kepada penghuni makam disebut dengan za'iran (peziarah). Sekiranya ahli kubur tidak mengerti (tidak mendengar) salam itu, orang yang mengucapkannya tidak pantas disebut dengan peziarah. Karena orang yang diziarahi, jika tidak mengerti atas kunjungan orang yang datang kepadanya, tidak tepat disebut dengan ungkapan menziarahinya. Inilah yang dipahami dengan makna ziarah kubur oleh semua umat manusia.

Begitu pula dengan mengucapkan salam kepada mereka. Pasalnya, salam yang diucapkan kepada orang yang tidak melihat dan tidak mendengamya adalah sesuatu yang mustahil. Yang pasti, Nabi mengajarkan umatnya jika berziarah kubur hendaklah mengucapkan salam sebagai berikut.

Salamun 'alaikum ahla ad-diyar min al-mu'minfn wa al-muslimfn, wa inna insya allah bikum lah.iqun, yarh.amullahu al-mustaqdimfna minna wa minkum wa al-musta'khirun, nas'alullaha Zana wa lakum al-'afiyah

Salam sejahtera atas kalian wahai para penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Sesungguhnya, atas kehendakAllah kami akan bertemu kalian. SemogaAllah merahmati orang-orang yang lebih dahulu meninggal daripada kami dan kalian, serta yang lebih akhir. Kami memohon keselamatan kepada Allah bagi kami dan kalian.

Oleh karena itu, salam, seruan, dan panggilan ini menandakan adanya orang yang dapat mendengar, melihat, dan dapat membalas salam walaupun orang yang mengucapkan salam itu tidak dapat mendengar jawaban salamnya.

Sekiranya seseorang melaksanakan shalat dekat dengan orang-orang yang sudah meninggal, tentu mereka bisa melihatnya, mengetahui shalatnya, dan mereka berandai-andaibisa mendapatkan nikmat melaksanakan shalat seperti itu. Yazid bin Harun berkata, "Sulaiman at-Taimi telah mengabarkan kepada kami, dari Abu Utsman an-Nahdi bahwa suatu hari Ibnu Sas keluar untuk mengiring jenazah sambil mengenakan pakaian sederhana. Ketika sampai di pemakaman, ia berkata: 'Aku melaksanakan shalat dua rakaat di sana lalu duduk bersandar di dekat makamnya. Demi Allah, tiba-tiba hatiku bergetar karena aku mendengar suara dari dalam makam: 'Pergilah engkau dari sisiku, janganlah engkau menggangguku! Sesungguhnya, kalian adalah orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami adalah orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak bisa beramal. Sekiranya aku bisa melaksanakan shalat dua rakaat seperti yang engkau kerjakan, tentu hal itu lebih aku sukai daripada ini dan itu'."

lbnu Abid Dunya berkata bahwa Abu Qilabah menceritakan kepada kami, "Aku datang dari Syam menuju Basrah. Ketika malam tiba, aku singgah di suatu tempat. Aku lalu berwudhu dan melaksanakan shalat dua rakaat kemudian aku baringkan kepalaku di atas sebuah makam dan aku tertidur. Aku pun terbangun ketika penghuni makam itu mengadu kepadaku seraya berkata: 'Engkau telah mengusikku sejak semalam. Kalian adalah orang-orang yang bisa beramal, tetapi tidak mengetahuinya. Adapun kami mengetahui, tetapi tidak bisa beramal.' Selanjutnya, penghuni makam itu berkata: 'Shalat dua rakaat yang engkau kerjakan, lebih baik daripada dunia dan seisinya. Semoga Allah memberikan balasan kepada penghuni dunia. Sampaikanlah salam kami kepada mereka. Sesungguhnya, doa yang mereka panjatkan sampai kepada kami berupa cahaya sebesar gunung'."

Husain al-ljli berkata bahwa Malik bin Mighwal telah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Suatu ketika, aku pergi ke pemakaman dan duduk di area pemakaman itu. Tiba-tiba ada seseorang datang mendekati sebuah makam lalu meratakan tanahnya.

Setelah itu, orang itu menoleh ke arahku lalu duduk. Aku bertanya: 'Makam siapakah itu?' Ia menjawab: 'Saudaraku.' Aku bertanya: 'Saudara kandungmu?' Ia menjawab: 'Saudaraku karena Allah. Aku mimpi bertemu dengannya maka aku pun bertanya kepadanya: 'Hai fulan, apakah engkau masih hidup? Segala puji bagi Allah.' Ia menjawab: 'Engkau telah mengatakannya. Sekiranya aku dapat mengucapkan tasbih, itu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.' Ia menuturkan: 'Apakah engkau tidak melihat ketika orang-orang memakamkanku? Sesungguhnya, si fulan berdiri lalu melaksanakan shalat dua rakaat. Sekiranya aku mampu untuk melaksanakan shalat dua rakaat seperti itu, tentu lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya'."

Abu Bakar at-Taimi berkata bahwa Humaid ath-Thawil telah menceritakan kepadanya, ia berkata, "Kami pergi ke tempat ar-Rabi' pada masanya. Kami berangkat pada malam Jumat agar bisa melaksanakan shalat Jumat pada pagi harinya. Selanjutnya, kami melewati pemakaman. Kami pun masuk ke dalam dan pada saat itu kami melihat ada jenazah yang sedang akan dimasukkan ke liang lahat. Aku berpikir untuk mencari pahala dengan menshalati jenazah itu. Aku pun segera mendekati makam itu dan shalat dua rakaat dengan ringan tanpa memanjangkannya. Setelah itu, aku mengantuk hingga tertidur di atas makam. Dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan penghuni makam itu. Ia berkata kepadaku: 'Bukankah engkau telah shalat dua rakaat tanpa ingin memanjangkannya?'

Aku jawab: 'Ya, memang begitu.'

Ia berkata: 'Kalian bisa beramal, sedangkan kami tidak bisa beramal. Seandainya aku bisa melakukan shalat dua rakaat seperti shalat yang engkau lakukan, hal itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.'

Aku bertanya: 'Siapakah orang-orang yang ada di dalam makam itu?'

Ia menjawab: 'Mereka adalah orang-orang muslim dan mereka semua mendapatkan kebaikan.'

Aku bertanya: 'Siapakah di antara mereka yang paling mulia?'

Ia menunjukkan satu makam lalu aku berkata dalam hati, 'Ya Allah, keluarkanlah orang yang ada di makam itu agar aku dapat berbicara dengannya.' Temyata, orang yang ada di dalam makam itu benar-benar keluar, orangnya masih muda. Aku bertanya: 'Benarkah engkau orang yang paling mulia di tempat ini?'

Ia menjawab: 'Mereka yang berkata seperti itu.'

Aku bertanya: 'Mengapa engkau mendapatkan kemuliaan itu? Demi Allah, jika dilihat dari usiamu tidak memungkinkan untuk mendapatkan kemuliaan itu. Apakah engkau mendapatkannya karena sering menunaikan ibadah haji dan umrah, jihad di jalan Allah, dan banyak beramal?'

Ia menjawab: 'Aku sering mendapat musibah lalu aku dianugerahi kesabaran untuk menghadapi berbagai musibah itu. Karena itulah, aku dapat mengungguli mereka'." Meskipun di antara riwayat-riwayat ini ada yang tidak sahih jika ditinjau dari derajat hadisnya, tetapi dengan banyaknya riwayat tentang masalah ini sudah menunjukkan kesepakatan maknanya.

Nabi pemah bersabda, "Aku melihat mimpi-mimpi kalian adalah sama bahwa lailatul qadar itu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan." Maksudnya, datangnya lailatul qadar. Jika mimpi kaum Mukminin sama dalam satu hal, itu seperti kesamaan mereka dalam riwayat sebagaimana kesamaan mereka dalam hal melihat baik buruknya sesuatu. Oleh karena itu, apa yang dilihat orang-orang muslim sebagai suatu kebaikan, ia pun baik di sisi Allah. Demikian juga apa yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai suatu keburukan maka ia buruk di sisi Allah. Dalam hal ini, kami tidak menetapkannya semata-mata berdasarkan mimpi, tetapi juga dari sisi dalil dan yang lainnya.

Disebutkan dalam kitab Ash-Shah.ih bahwa orang yang sudah meninggal dunia merasa senang kepada orang-orang yang mengiringi jenazahnya setelah ia dimakamkan. Muslim meriwayatkan dalam Shah.fh.-nya, dari hadis Abdurrahman bin Syimasah al-Mahri, ia berkata, "Kami mengunjungi Amr bin Ash pada saat menjelang ajalnya. Tiba-tiba Amr menangis lama sekali sambil menghadapkan wajahnya ke arah dinding. Anaknya bertanya: 'Mengapa engkau menangis, wahai ayah? Apakah Rasulullah tidak memberikan kabar gembira kepada ayah?'

Amr bin Ash menghadapkan wajahnya ke arah karni seraya berkata: 'Sesungguhnya, perkara yang paling utama bagi kami adalah syahadah (persaksian) bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Dahulu, aku berada dalam tiga fase manusia. Seperti yang engkau ketahui, tidak ada seorang pun yang lebih bend kepada Rasulullah  selain diriku. Tidak ada yang lebih aku sukai selain dapat menangkap beliau lalu membunuhnya. Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu, tentu aku termasuk penghuni neraka. Ketika Allah 6 memberikan cahaya Islam ke dalam hatiku, aku datang menemui Rasulullah. Pada saat itu aku berkata kepada beliau: 'Ulurkan tanganmu wahai Rasulullah, agar aku dapat bersumpah setia (bai'at) kepadamu.' Rasulullah pun mengulurkan tangan kanannya, tetapi aku tidak menyambut uluran tangan beliau. Beliau pun bertanya: 'Ada apa denganmu, wahai Amr?'

Aku menjawab: 'Aku akan meminta syarat.'

Beliau kembali bertanya: 'Syarat apa yang engkau minta?'

Aku menjawab: 'Engkau mengampuni aku.'

Beliau bersabda: 'Bukankah engkau sudah tahu bahwa Islam menghapus kesalahan sebelumnya, hijrah menghapus kesalahan sebelumnya, dan haji menghapus kesalahan sebelumnya?'

Sejak saat itu tidak ada orang yang lebih aku cintai daripada Rasulullah. Tidak ada orang yang lebih agung di mataku selain beliau hingga aku tidak kuasa memandang beliau sebagai bentuk pengagungan kepada beliau. Sekiranya aku diminta seseorang untuk menyebutkan sifat-sifat beliau, aku tidak dapat mengatakannya. Pasalnya, mataku tidak sanggup memandang diri beliau. Sekiranya aku mati dalam keadaan seperti itu, aku berharap semoga aku termasuk golongan para penghuni surga. Selanjutnya, kami diberi kewenangan untuk mengurus banyak hal dan aku tidak tahu apa yang ada di sekitarku. Oleh karena itu, jika aku mati, jangan ada wanita yang meratap sedih atas jenazahku dan jangan ada api yang mengiringi jenazahku.

Jika kalian memakamkan jenazahku, taburkanlah tanah di jasadku kemudian buatlah di sekitar makamku tanda seperti binatang yang akan dijadikan kurban dan dagingnya dibagi-bagikan agar aku merasa senang terhadap kalian dan aku dapat melihat apa yang aku kembalikan kepada para utusan Rabbku'."

Semua keterangan ini menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia merasa senang dengan kedatangan orang-orang yang menziarahi makamnya.

Beberapa ulama salaf mengatakan bahwa mereka pernah berwasiat agar dibacakan al-Qur'an di atas makam mereka sesaat setelah proses pemakaman. Abdulhaq berkata, "Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia berwasiat agar dibacakan surah al-Baqarah di atas makamnya." Ma1a bin Abdurrahman juga berpendapat seperti ini.

Pada awalnya, Imam Ahmad mengingkari riwayat ini. Menurutnya, hal itu tidak ada pengaruhnya kepada orang yang telah meninggal. Akan tetapi, kemudian ia menarik kembali pendapatnya, artinya tidak mengingkarinya.

Al-Khallal menyebutkan dalam kitab Al-Jami' bab "Kitab al-Qira'ah 'Inda al­ Qubur (Bacaan untuk Orang yang Sudah Mmeninggal di Atas Makamnya)", "Abbas bin Muhammad ad-Duri mengabarkan kepada kami bahwa Abdurrahman bin Ala' bin Lajlaj menceritakan kepadanya, dari ayahnya, ia berkata: 'Ayahku berpesan, jika aku mati, letakkanlah jasadku di liang lahat sambil mengucapkan: 'Bismillahi wa 'ala sunnati Rasulillah (dengan asma Allah dan menurut sunnah Rasulullah).' Setelah itu, taburkanlah tanah pada jasadku dan bacakanlah permulaan surah al­ Baqarah di dekat kepalaku. Sungguh aku pernah mendengar Abdullah bin Umar mengatakan seperti itu.'

Abbas bin ad-Duri bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hal ini: 'Apakah engkau membaca sesuatu di atas makam?' Ia menjawab: 'Tidak.' Setelah itu, aku bertanya kepada Yahya bin Ma'in maka ia menceritakan riwayat ini kepadaku."

Al-Khallal berkata, Hasan bin Ahmad al-Warraq menceritakan kepadaku, Ali bin Musa al-Haddad-ia adalah orang yang shaduq (sangat jujur)-berkata, "Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menghadiri prosesi pemakaman jenazah. Ketika jenazah sudah dimakamkan, ada seorang buta yang duduk di sisi makam dan membaca al-Qur'an. Lantas Imam Ahmad berkata: 'Bacaan semacam ini di atas makam adalah bid'ah.'

Ketika kami sudah meninggalkan pemakaman, Muhammad bin Qudamah bertanya kepada Imam Ahmad: 'Wahai Abu Abdullah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir al-Halabi?'

Imam Ahmad menjawab: 'Ia adalah orang yang dapat dipercaya.'

Muhammad bin Qudamah bertanya: 'Apakah engkau pernah menulis hadis darinya?'

Imam Ahmad menjawab: 'Pemah, Mubasysyir telah mengabarkan kepadaku dari Abdurrahman bin Ala' bin Lajlaj dari ayahnya bahwa ia berpesan saat dimakam­ kan nanti agar dibacakan permulaan dan akhir dari surah al-Baqarah di dekat kepalanya.'

Muhammad bin Qudamah berkata: 'Aku pemah mendengar lbnu Umar juga berwasiat seperti itu.'

Imam Ahmad pun lantas berkata: 'Kalau begitu kembalilah! Katakanlah kepada orang buta itu bahwa ia boleh membacanya' ." Hasan bin Shabah az-Za'farani berkata, "Aku pernah bertanya kepada asy­ Syafi'i tentang hukum membaca al-Qur'an dekat makam maka ia mengatakan bahwa hal itu tidak apa."

Al-Khallal menyebutkan dari asy-Sya'bi, ia berkata, "Jika ada seseorang yang meninggal dunia dari kalangan Anshar, mereka saling berebut pergi ke pemakaman untuk membaca al-Qur'an di dekat makamnya." Ia juga berkata, "Abu Yahya an­ Naqid mengabarkan kepadaku, ia berkata: 'Aku mendengar Hasan bin al-Jarawi berkata: 'Aku melawati makam saudara perempuanku lalu aku membaca surah al-Mulk karena aku teringat keutamaan surah tersebut. Selanjutnya, ada seseorang yang datang kepadaku seraya berkata bahwa ia mimpi bertemu dengan saudara perempuanku. Dalam mimpinya, saudara perempuanku berkata: 'Semoga Allah menganugerahkan pahala kebaikan kepada Abu Ali karena aku bisa memperoleh manfaat dari apa yang ia baca'."

Hasan bin Haitsam mengabarkan kepadaku, ia berkata, aku mendengar Abu Bakr bin al-Athrusy, putra dari anak perempuan Abu Nashr bin Tamar berkata, "Ada seseorang yang datang ke makam ibunya pada hari Jumat dan membaca surah Yasm. Pada hari yang lain, ia juga membaca surah Yasm. Selanjutnya, ia berdoa: 'Ya Allah, jika Engkau berikan pahala atas bacaan ini, berikanlah kepada para penghuni makam ini.' Pada hari Jumat berikutnya datanglah seorang perempuan seraya berkata: 'Apakah engkau fulan bin fulanah?' Ia menjawab: 'Ya.' Perempuan itu berkata: 'Sesungguhnya, aku mempunyai anak perempuan yang sudah meninggal, aku mimpi melihatnya sedang duduk di atas makamnya lalu aku bertanya: 'Apa yang membuatmu dapat duduk di sana?' Ia menjawab: 'Sesungguhnya, fulan bin fulanah datang ke makam ibunya lalu membaca surah Yasm dan menghadiahkan pahalanya untuk penghuni makam. Kami pun merasakan kenikmatan itu, kami diampuni, dan juga yang lainnya'."

Di dalam riwayat an-Nasa'i dan juga lainnya disebutkan dari hadis Ma'qil bin Yassar al-Muzani, Nabi bersabda, "Bacakanlah surah Yasfn di sisi orang yang akan meninggal dunia di antara kalian."Ada kemungkinan makna yang dimaksudkan bacaan surah Yasfn di sini adalah ketika seseorang mendekati ajalnya, seperti sabda beliau yang lain: "Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan la Ilaha illallah (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!" Ada juga kemungkinan maknanya adalah membaca surah Yasm di dekat makamnya. Namun, makna yang pertama, yaitu membaca surah Yasin ketika seseorang mendekati ajalnya lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:

Pertama, perintah Rasulullah ij} untuk membaca surah Yasin itu sejalan dengan sabda beliau, "Tuntunlah orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan la Ilaha illallah (tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)!"

Kedua, orang yang akan meninggal dunia dapat mengambil manfaat dari surah ini karena di dalamnya mengandung penjelasan tentang tauhid, hari ber­ bangkit, kabar gembira berupa surga bagi orang-orang yang memiliki tauhid, dan terkandung kegembiraan bagi orang yang meninggal saat membaca firman Allah e:"Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan." (QS. Yasin: 26-27)

Ruh sangat gembira dengan bacaan ini dan ingin segera bertemu Allah dan Allah pun gembira bertemu dengannya. Sesungguhnya, surah Yasin merupakan jantungnya al-Qur'an sehingga mempunyai pengaruh khusus dan mengagumkan jika dibaca di dekat orang yang mendekati ajal (sakratulmaut).

Abul Faraj bin al-Jauzi berkata, "Kami berada di dekat syekh Abdul Waqt Abdul Awwal saat ia mendekati ajal. Pada saat terakhir sebelum meninggal, ia memandang ke arah langit sambil tersenyum, seraya membaca ayat: 'Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.' (QS. Yasin: 26-27) Selanjutnya, ia meninggal dunia."

Ketiga, yang biasa dilakukan oleh orang-orang dahulu dan sekarang adalah membaca surah Yasin di sisi orang yang mendekati ajal.

Keempat, sekiranya para sahabat memahami perintah Nabi ij} dalam sabdanya: "Bacakanlah surah Yasfn di sisi orang yang akan meninggal di antara kalian," adalah sebagai bacaan di dekat makam, tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Hal ini merupakan perkara yang sudah biasa dan masyhur di antara mereka.

Kelima, manfaat mendengarkan bacaan surah Yasin adalah hadirnya hati dan pikiran pada detik-detik terakhir keberadaan seseorang di dunia, inilah yang dimaksudkan dari bacaan ini. Namun, jika surah Yasin ini dibaca di makam, tidak ada pahala yang didapatkan. Pasalnya, pahala bisa didapat dengan membacanya atau mendengarkannya. Berarti, ini merupakan amal, sedangkan orang yang meninggal dunia sudah terputus amalnya.

Al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haq al-Isybili mengartikan hal ini dengan berkata, "Disebutkan bahwa orang-orang yang sudah meninggal dunia bisa bertanya tentang orang-orang yang masih hidup dan bisa mengetahui perkataan dan perbuatan mereka." Lalu ia berkata bahwa Abu Umar bin Abdul Bar meriwayatkan hadis dari lbnu Abbas, dari Nabi SAW}: "Tidaklah seseorang melewati makam saudaranya sesama muslim yang dikenalnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya, melainkan orang yang sudah meninggal itu mengenalnya dan menjawab salamnya."

Hal ini juga diriwayakan dari Abu Hurairah marfu', ia berkata, "Jika seseorang tidak mengenal orang yang ada di dalam makam lalu mengucapkan salam kepadanya, ia (penghuni makam) hanya membalas salamnya."

Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Tidaklah seseorang menziarahi makam saudaranya lalu duduk di sisi pusaranya, melainkan orang yang sudah meninggal itu senang atas kedatangannya hingga ia (peziarah) itu pergi meninggalkannya."

Al-Hafizh Abu Muhammad dalam masalah ini berdalil dengan riwayat Abu Dawud di dalam Sunan-nya, dari hadis Abu Hurairah     bahwa Rasulullah bersabda, "Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku, melainkan Allah akan mengembalikan ruhku hingga aku dapat menjawab salamnya."

Sulaiman bin Nu'aim berkata, "Aku pernah mimpi bertemu Nabi aku berkata kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, orang-orang yang datang kepada engkau dan menyampaikan salam kepada engkau, apakah engkau mengetahui salam mereka?' Beliau menjawab: 'Ya, dan aku menjawab salam mereka'."

Ia juga berkata, "Nabi mengajarkan kepada para sahabat, apa yang harus mereka ucapkan saat memasuki area pemakaman: 'As-salamu 'alaikum ahla ad-diyar (semoga keselamatan bagi kalian penghuni tempat ini)'. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal dunia dapat mengetahui salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya dan juga mengetahui doa orang yang berdoa untuknya."

Abu Muhammad berkata bahwa disebutkan dari Fadhl bin Muwaffaq, ia berkata, "Aku sesekali menziarahi makam ayahku kemudian aku lebih sering menziarahi makamnya. Suatu hari aku melihat jenazah sedang dimakamkan di tempat ayahku dimakamkan. Namun, karena terburu-buru dengan urusanku, aku tidak mendatanginya. Pada malam harinya, aku mimpi bertemu ayah, ia berkata kepadaku: 'Wahai anakku, mengapa engkau tidak mengunjungiku?'

Aku bertanya: 'Wahai ayah, apakah engkau tahu ketika aku menziarahi makammu?'

Ayahku menjawab: 'Wahai anakku, demi Allah, aku sudah mengetahui kedatanganmu sejak engkau berada di jembatan itu hingga tiba di sisi makamku. Aku melihatmu saat duduk hingga engkau pergi dan aku terus melihatmu sampai akhirnya engkau pergi melewati jembatan itu'."

Ibnu Abi Dunya berkata, Ibrahim ibnu Basyar al-Kufi menceritakan kepadaku, ia berkata, Fadhl bin Muwaffaq menceritakan kepadaku lalu ia menceritakan kisah tersebut.

Ada riwayat sahih dari Amr bin Dinar, ia berkata, "Jenazah yang telah meninggal dunia mengetahui apa yang terjadi di tengah keluarganya setelah kematiannya. Bahkan, saat mereka memandikan dan mengafaninya, Jenazah itu memandangi mereka." 

Juga ada riwayat sahih dari Mujahid, ia berkata, "Sesungguhnya, seseorang bisa merasakan gembira setelah ia berada di alam kubur karena kesalehan anaknya." Ini menunjukkan bahwa hal itu juga dilakukan orang-orang terdahulu hingga sekarang, seperti menalkin jenazah di makamnya. Sekiranya orang yang ada di alam kubur tidak bisa mendengar dan mengambil manfaat darinya, tentu perbuatan itu tidak bermanfaat dan hanyalah sia-sia belaka. Ketika Imam Ahmad ditanya tentang perkara ini, ia menganggap sebagai perbuatan yang baik dan menjadikan sandaran atau dalil untuk beramal.

Dalam perkara ini ada riwayat hadis dha'if (lemah) yang disebutkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu'jam-nya dari hadis Abu Umamah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia dan kalian sudah meratakan makamnya dengan tanah, hendaknya salah seorang dari kalian berdiri di sisi makam searah dengan kepalanya sambil mengucapkan: 'Hai fulan bin fulanah,' karena sesungguhnya jenazah yang ada dalam itu bisa mendengar, tetapi tidak bisa menjawab. Selanjutnya, hendaklah ia mengucapkan lagi: 'Hai fulan bin fulanah,' untuk kedua kalinya. Lalu hendaknya ia duduk dan mengucapkan lagi: 'Hai fulan bin fulanah.' Karena sesungguhnya jenazah yang ada dalam makam itu berkata: 'Berilah kami tuntunan, niscaya Allah akan merahmatimu,' tetapi kalian tidak mendengar lalu hendaklah ia berkata: 'Ingatlah apa yang engkau bawa saat meninggalkan dunia, yaitu persaksian la Ilaha illallah wa anna Muhammadarasulullah, wa annaka radhfta billahi rabban, wa bil Islami dinan, wa bi muhammadin nabiyyan, wa bil qur'ani imaman (kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah bahwa engkau ridha Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu, dan al-Qur'an sebagai imammu).

Sesungguhnya, Malaikat Munkar dan Nakir saling menjauh sambil berkata: 'Men­ jauhlah dariku! Tidak ada gunanya kami dekat dengan orang ini karena hujah telah dibacakan kepadanya sehingga Allah dan rasul-Nya menjadi pembela di hadapan kedua malaikat itu'."

Ada seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibu dari orang yang meninggal itu tidak diketahui?" Beliau menjawab, "Ia dinasabkan kepada ibunya, Hawa."

Meskipun hadis ini derajat kesahihannya tidak kuat, tetapi karena perbuatan ini terus dilakukan di mana pun dan kapan pun, juga tidak adanya pengingkaran maka ini menunjukkan bahwa perbuatan itu bisa diamalkan.

Allah SWT tidak menganggap amal ini hanya sekadar tradisi di tengah umat Islam yang menyebar di dunia barat dan timur. Umat yang paling sempurna akalnya dari segala umat yang ada dan yang paling banyak pengetahuannya, yang tidak mungkin berseru kepada orang yang tidak bisa mendengar dan mengetahui. Hal ini dianggap perbuatan baik yang tidak diingkari oleh siapa pun, bahkan disunnahkan orang terdahulu untuk orang di kemudian hari.

Sekiranya orang yang diseru tidak bisa mendengar, tentunya seruan itu seperti ucapan yang ditujukan pada tanah, batu, pohon, atau sesuatu yang tidak ada sama sekali. Jika ada seorang ulama yang menganggap baik suatu perkara, ulama lain tidak boleh ada yang mencela atau meremehkannya.

Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya dengan sanad yang tidak ada masalah padanya bahwa Nabi pemah menghadiri pemakaman jenazah seseorang. Setelah dimakamkan, beliau bersabda, "Mohonkanlah keteguhan untuk saudara kalian karena saat ini ia sedang ditanya."

Rasulullah mengabarkan bahwa pada saat itu jenazah tersebut sedang ditanya. Jika sedang ditanya, berarti jenazah tersebut bisa mendengar apa yang diucapkan kepadanya. Disebutkan pula dari Nabi dengan riwayat yang sahih bahwa jenazah bisa mendengar suara sandal orang-orang yang mengiring jenazahnya juga saat mereka pergi meninggalkan makam.

Abdulhaq meriwayatkan dari seseorang orang saleh, ia berkata, "Saudaraku meninggal dunia lalu aku mimpi bertemu dengannya. Aku bertanya kepadanya: 'Wahai saudaraku, bagaimana keadaanmu ketika engkau diletakkan di dalam liang lahat?' Ia menjawab: 'Seseorang datang dengan membawa bara api, sekiranya bukan karena seseorang yang berdoa untukku, tentu aku sudah binasa'."

Syabib bin Syaibah berkata, "lbuku berwasiat kepadaku saat menjelang wafat: 'Wahai anakku, jika engkau sudah memakamkan jasadku, berdirilah di sisi pusaraku lalu ucapkan: 'Wahai Ummu Syabib, ucapkanlah la Ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)'.' Karena itu, setelah aku memakamkan jenazahnya, aku berdiri di sisi makamnya seraya berkata: 'Wahai Ummu Syabib, ucapkanlah la Ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah).' Setelah itu, aku pun pulang. Pada malam hari aku mimpi bertemu ibu, ia berkata: 'Wahai anakku, aku hampir saja binasa sekiranya engkau tidak mengatakan kepadaku: 'La Ilaha illallah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah)',' engkau telah menjaga wasiatku, wahai anakku."

lbnu Abid Dunya menyebutkkan dari Tumadhir binti Sahl, istri Ayyub bin Uyainah berkata, "Aku mimpi bertemu Sufyan bin Uyainah dan ia berkata: 'Semoga Allah memberikan pahala kebaikan kepada saudaraku, Ayyub, karena ia sering menziarahi makamku. Pada hari ini pun ia ada di dekat makamku'." Ayyub berkata, "Benar, pada hari ini aku datang menziarahi kubumya."

Disebutkan dengan riwayat sahih dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Syahr bin Hausyab bahwa Sha'b bin Jatstsamah dan Auf bin Malik, keduanya adalah bersaudara, bahwa Sha'b berkata kepada Auf, "Wahai saudaraku, siapa pun di antara kita yang lebih dulu meninggal, ia harus datang kepada saudaranya (dalam mimpi)."

Auf bertanya, "Apakah yang seperti ini bisa terjadi?" Sha'b menjawab, "Ya, bisa."

Temyata Sha'b yang lebih dulu meninggal dunia. Setelah itu, Auf mimpi-seperti halnya yang dialami orang yang sedang tidur, seakan-akan Sha'b datang menemuinya. Auf menceritakan bahwa ketika itu ia berkata, "Wahai saudaraku."

Sha'b menjawab, "Ya."

Auf bertanya, "Apa yang terjadi pada dirimu?"

Sha'b menjawab, "Allah Ill telah mengampuni dosa-dosa kami setelah ada musibah itu."

Auf berkata, "Aku melihat ada cahaya hitam di leher Sha'b. Karena itu, aku pun bertanya kepadanya: 'Wahai saudaraku, apa cahaya hitam itu?'

Sha'b menjawab: 'Aku pemah meminjam 10 dinar kepada seorang Yahudi. Di dalam sarung anak panahku, terdapat 10 dinar. Maka, berikanlah uang itu kepada orang Yahudi tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada kejadian di tengah keluargaku sepeninggalku, melainkan kabamya sampai kepadaku, termasuk kabar tentang seekor kucing kecil milikku yang mati beberapa waktu lalu. Ketahuilah, bahwa putriku akan meninggal dunia enam hari lagi. Karena itu, berbuat baiklah kepadanya.'

Ketika terbangun pada pagi harinya, aku berkata kepada diriku sendiri: 'Ini adalah kabar yang benar.' Selanjutnya, aku menemui keluarganya yang menyambutku dengan ucapan: 'Selamat datang wahai Auf. Beginikah yang engkau lakukan terhadap harta peninggalan saudaramu? Engkau tidak pemah menemui kami sejak sepeninggalnya?'

Aku memberi alasan seperti yang biasa dilakukan orang-orang. Pandanganku langsung tertuju pada sarong anak panah milik Sha'b lalu aku menurunkannya dan mengeluarkan isinya. Di dalamnya ada sebuah kantong yang berisi beberapa dinar. Lalu, aku pergi dengan membawa dinar itu kepada orang Yahudi tersebut. Aku bertanya: 'Apakah engkau mempunyai hak yang masih ada pada Sha'b?'

Orang Yahudi itu menjawab: 'Semoga Allah merahmati Sha'b. Ia adalah sahabat Rasulullah • yang paling baik. Sebenamya dinar-dinar itu pun miliknya.'

Maka aku berkata: 'Ceritakanlah kepadaku (perkara yang sebenamya).'

Ia menjawab: 'Ya, aku pemah meminjamkan 10 dinar kepadanya, tetapi aku sudah merelakan uang itu. Demi Allah, memang segitu jumlahnya.'

Aku berkata: 'Ini adalah kejadian yang pertama (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen)'."

Auf kembali menuturkan-setelah kembali kepada keluarga Sha'b, ia berkata, "Apakah ada kejadian di tengah kalian sepeninggal Sha'b?"

Mereka menjawab, "Benar, ada kejadian ini dan itu." Auf kembali bertanya, "Cobalah kalian ingat!"

Mereka menjawab, "Benar, seekor kucing kami mati beberapa hari yang lalu."

Auf berkata, "Ini adalah kejadian kedua (sebagaimana yang dikabarkan dalam mimpi, pen)."

Ia pun kembali bertanya, "Di mana putri saudaraku?" Mereka menjawab, "Ia sedang bermain."

Selanjutnya, Auf mendekatinya dan menyentuh tubuhnya. Ternyata suhu tubuhnya sangat tinggi maka ia pun berkata kepada mereka, "Berbuatlah yang baik kepadanya."

Tepat pada hari keenam, putri Sha'b itu meninggal dunia.

Ini semua merupakan tanda kefakihan pemahaman Auf bin Malik. Ia termasuk generasi sahabat. Ia melaksanakan wasiat Sha'b bin Jatstsamah sepeninggalnya dan ia menyadari kebenaran perkataan Sha'ab dengan adanya petunjuk yang berkaitan dengan apa yang dikatakan Sha'b kepadanya lewat mimpi bahwa jumlah dinar itu sepuluh keping di dalam kantong anak panah. Namun, ia harus memastikan terlebih dahulu kepada orang Yahudi. Dengan begitu, Auf bisa memastikan permasalahannya, dan barulah ia memberikan dinar itu kepada orang Yahudi tersebut.

Hal demikian itu hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang pintar dan cerdas. Mereka itulah para sahabat Rasulullah. Bisa jadi, generasi mendatang akan mengingkari tindakan Auf itu dengan mengatakan, "Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi Auf untuk mengambil dinar-dinar milik Sha'b-padahal harta itu menjadi milik anak-anaknya yang yatim sebagai ahli warisnya - lalu memberikannya kepada orang yahudi hanya berdasarkan mimpi?

Contoh pemahaman cerdas seperti ini hanyaAllah anugerahkan kepada seseorang bukan yang lain, yakni kisah Tsabit bin Qais bin Syammas. Kisah ini diceritakan oleh Abu Umar bin Abdul Bar dan yang lainnya. Abu Umar berkata, "Abdul Waris bin Sufyan telah mengabarkan kepada kami, Qasim bin Ashbagh telah menceritakan kepada kami, dari Tsabit bin Qais bin Syammas bahwa Rasulullah • bersabda kepadanya: 'Wahai Tsabit, apakah engkau ridha hidup dalam keadaan terpuji, mati dalam keadaan syahid, dan kelak engkau pun masuk surga'?" Malik bin Anas berkata, "Tsabit bin Qais pun terbunuh sebagai syahid pada perang Yamamah."

Abu Amr berkata, "Hisyam bin Ammar meriwayatkan dari Shadaqah bin Khalid, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir telah memberitahukan kepada kami, ia berkata: 'Atha' al-Khurasani telah menceritakan kepadaku, ia berkata: 'Putri Tsabit bin Qais bin Syammas telah menceritakan kepadaku, ia berkata bahwa ketika turun ayat 'Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi,' (QS. Al-Hujurat: 2) ayahnya (Tsabit bin Qais) masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat hingga tidak mau menemui Rasulullah. Maka Rasulullah mencarinya, bahkan mengutus orang untuk mencarinya dan menanyakan kabarnya. Tatkala ditanyakan kepada Tsabit bin Qais mengenai sika[pnya itu, Qais menjawab, "Aku orang yang bersuara keras dan aku takut amalku menjadi sia-sia." Rasulullah • pun bersabda, "Engkau bukan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam ayat itu. Bahkan, engkau akan hidup secara baik dan mati secara baik pula."

Ketika turun ayat: "Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri," (QS. Luqman: 18) Qais menutup pintu rumahnya dan terus menangis. Ia tidak mau menemui Rasulullah. Karena itu, beliau mencarinya, bahkan mengutus seseorang untuk mencarinya dan mendapatkan kabamya. Qais pun berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang menyukai keindahan dan aku juga suka menjadi pemimpin kaumku." Beliau bersabda, "Engkau bukan termauk golongan mereka. Bahkan, engkau hid up dalam keadaan terpuji, meninggal dunia dalam keadaan syahid, dan engkau akan masuk surga."

Pada waktu Perang Yamamah, Tsabit bin Qais pergi dengan Khalid bin Walid untuk menghadapi Musail amah. Ketika dua pasukan sudah saling berhadapan dan siap tempur. Tsabit dan Salim, pembantu Abu Hudzaifah berkata, "Tidak seperti yang kami lakukan saat bertempur bersama Rasulullah."

Keduanya pun membuat lubang sendiri-sendiri lalu melompat ke arah musuh dan menyerbu mereka hingga keduanya terbunuh. Pada waktu itu, Tsabit membawa baju besi yang bagus dan mahal harganya. Ketika ada seseorang dari kaum Muslimin melewati jenazahnya, orang tersebut mengambil baju besi itu. Setelah kejadian itu, ada seorang muslim lainnya bermimpi bertemu Tsabit yang mendatanginya seraya berkata, "Aku menyampaikan wasiat kepadamu. Janganlah engkau mengatakan bahwa ini hanyalah sekadar mimpi lalu engkau melalaikannya begitu saja. Waktu aku terbunuh, ada seorang muslim yang lewat di dekatku dan mengambil baju besiku. Posisi orang itu ada di bagian ujung pasukan. Di dalam kemah orang itu ada seekor kuda yang digembalakan dan diikat dengan tali. Orang itu menyimpan baju di dalam periuk dari batu dan periuk itu diduduki oleh seseorang. Temuilah Khalid dan suruhlah ia untuk mengambil baju perangku itu! Jika engkau sudah kembali ke Madinah dan menghadap kepada Khalifah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiq, katakanlah kepadanya bahwa aku masih mempunyai utang sekian dan sekian. Fulan yang sebelumnya sebagai budakku statusnya menjadi merdeka, begitu juga dengan si fulan."

Orang itu pun menemui Khalid bin Walid dan menyampaikan pesan Tsabit bin Qais yang dikatakan lewat mimpinya itu. Maka, ia mengambil baju besi milik Tsabit dan menyerahkannya kepada Abu Bakar setelah menceritakan mimpi orang itu. Abu Bakar melaksanakan wasiat Tsabit seraya berkata, "Kami tidak mengenal seorang pun yang wasiatnya dilaksanakan setelah ia meninggal dunia selain Tsabit bin Qais." Begitulah yang disebutkan Abu Amr. Khalid bin Walid, Abu Bakar, dan para sahabat lainnya sepakat untuk melaksanakan wasiat yang disampaikan lewat mimpi itu dan mengambil baju besi dari orang yang mengambilnya. Semua ini menunjukkan kedalaman pemahaman mereka.

Abu Hanifah, Ahmad, dan Malik bisa menerima pemyataan pihak yang mengadu dari suami istri yang memang baik baginya meskipun tidak baik bagi yang lain, dengan mempertimbangkan kejujuran pihak yang mengadu itu, dan ini lebih utama. Begitu juga Abu Hanifah menerima pemyataan pihak pengadu atas suatu kebun dengan adanya penyewa kepada tetangganya dan adanya tali pembatas.

Allah i menetapkan hukuman had bagi seorang perempuan berdasarkan sumpah suami dengan disertai bukti atau petunjuk yang menguatkannya. Sesungguhnya, hal itu menunjukkan dalil yang nyata dari kejujuran sang suami. Lebih dari itu, Nama ini sudah dikenal (Musailamah), tetapi jika merujuk beberapa referensi ternyata pelafalannya yang benar adalah Musailimah, memvonis terdakwa pembunuhan yang dilakukan berdasarkan qasamah, dapat dilakukan dengan sumpah dari pengadu disertai bukti atau petunjuk berupa lauts. Allah juga menetapkan untuk menerima perkataan pihak pengadu atas harta waris dari keluarga mereka yang meninggal jika ahli waris tersebut meninggal dalam perjalanan sementara ia berwasiat kepada dua orang laki-laki non muslim. Jika ahli waris menyangsikan pengkhianatan dua orang itu, keduanya bisa diminta untuk bersumpah atas nama Allah dan keduanya lebih berhak. Sumpah keduanya lebih diprioritaskan daripada sumpah ahli warisnya. Begitulah yang difirmankanAllah di akhir surah al-Ma'idah dan termasuk ayat-ayat yang terakhir turun sehingga tidak mansukh (dihapus) dan dilaksanakan para sahabat.

Hal ini merupakan dalil tentang penetapan dalam perkara harta dengan meng­ gunakan al-lauts (tanda-tanda penguat). Jika penetapan darah (hukum pembunuhan) saja bisa dilakukan dengan al-lauts berdasarkan qasamah (pembuktian), penetapan dalam masalah harta lebih memungkinkan ditetapkan berdasarkan al-lauts (tanda­ tanda penguat) dan petunjuk.

Atas dasar inilah para pemegang kebijakan menarik barang curian dari tangan para pencuri. Akibatnya, banyak orang yang mengingkari hal ini, mereka meminta tolong kepada mereka jika barangnya dicuri.

Allah telah mengisahkan tentang seorang saksi yang memberikan kesaksian dalam kasus Nabi Yusuf yang jujur dan istri Aziz bahwa saksi tersebut memutuskan perkara berdasarkan petunjuk atau indikasi dari kejujuran Nabi Yusuf dan kebohongan wanita itu. Allah tidak mengingkari hal tersebut, bahkan mengisahkannya sebagai bentuk pengakuan Allah atasnya.

Nabi Muhammad mengabarkan tentang Nabi Sulaiman bin Daud bahwa Nabi Sulaiman memutuskan perkara kasus dua wanita yang berebut bayi, berdasarkan petunjuk yang ditangkap Nabi Sulaiman ketika berkata, "Ambilkan aku pedang! Aku akan membelah bayi ini menjadi dua dan membagikannya kepada kalian berdua." Alhasil, wanita yang lebih tua berkata, "Ya, aku setuju dengan keputusan itu." Ia merasa gembira karena lawan perkaranya akan kehilangan bayi. Adapun, wanita yang lebih muda berkata, "Jangan!" Pasalnya, bayi itu memang anaknya. Akhimya, Nabi Sulaiman menyerahkan bayi itu kepada wanita yang kedua karena melihat adanya rasa cinta dan kasih sayang dalam hatinya. Adapun wanita yang pertama tersipu malu sambil memandangi bayi itu.

Semua ini menunjukkan keputusan hukum yang terbaik dan adil. Syariat Islam mengakui penetapan hukum seperti ini dan mempersaksikan kebenarannya. Apakah penetapan hukum berdasarkan cara al-qiyafah dan penisbatan keturunan yang didasarkan pada perbandingan kemiripan juga bisa diterima meskipun banyak Qasamah adalah sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan, yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.

AI-Lauts adalah tanda-tanda yang memperkuat dugaan penuntut bahwa seseorang betul membunuh korban. Contohnya, adanya jasad korban di halaman rumah musuhnya atau terlihatnya tersangka di dekat kepala korban dan di tangan tersangka ada pisau yang terhunus.

AI-Qiyafah adalah suatu keahlian seseorang untuk mengetahui kemiripan orang melalui jejak atau telapak kakinya. Keahlian ini berguna sebagai salah satu cara untuk menetapkan nasab seseorang, hal yang tidak bisa diketahui? Artinya, (petunjuk) yang berkaitan dengan mimpi Auf bin Malik dan masalah Tsabit bin Qais tidak hanya terbatas pada petunjuk ini, tetapi hal itu lebih kuat dari sekadar petunjuk dalam kisah-kisah ini.

Jika orang yang sudah meninggal dunia bisa mengetahui hal-hal yang detail dan rind tentang apa yang terjadi di dunia, pantaslah jika ia mengetahui orang hidup yang mengunjungi makamnya, mengucapkan salam, dan berdoa.

0 Comment