21 Mei 2023

Pilar Bangunan Sains

Pada prinsipnya setiap sains dibangun di atas tiga dasar utama, yaitu fondasi atau pilar ontologi, aksiologi,dan epistemologi. Untuk mengetahui nilai yang dibawa suatu sains, termasuk sains modern, kita perlu melihat fondasi bangunan sains tersebut. Dari sini akan terlihat ketidaknetralan suatu sains dan implikasi filosofis dan sosialnya.

Pilar ontologi terkait dengan subjek atau realitas apa yang (dianggap) ada dan dapat dikaji atau diketahui. Aksiologi terkait dengan tujuan suatu ilmu pengetahuan, untuk apa. Sedangkan epistemologi berhubungan dengan cara dan sumber suatu pengetahuan, dengan apa atau bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh. Ketiga pilar inilah yang menentukan karakteristik suatu sains, yang membedakan satu sains dengan sains yang lain.

Materialisme ilmiah menjadi inti sari ontologi sains Barat, reali­tas hanya terdiri dari materi, ruang, dan waktu. Tidak ada lagi selain itu. Jiwa hanyalah sekumpulan Pilar dan Bangunan Sains materi, berpikir hanyalah proses material belaka. Tuhan hanya imajinasi manusia yang lemah dan tak berdaya. Sementara itu, malaikat dan setan dianggap sebagai lompatan agen bagi mereka yang tidak mampu menjelaskan aneka fenomena alam secara logis dan ilmiah.

Materialisme ini telah menjadi dogma di setiap pengajaran ilmu pengetahuan alam. Murid-murid menghafalkan, "Materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan:' Pernyataan sederhana ini mempunyai implikasi sangat serius bagi seorang Muslim.

Ajaran Islam tersari dalam prinsip tauhid yang terdeskripsi dalam Rukun Iman dan Rukun Islam. Seluruh bangunan pemi­ kiran dan peradaban Islam bertumpu pada dua pilar utama ini. Rukun Iman terdiri dari enam keyakinan, yaitu yakin pada keberadaan Allah, malaikat, nabi, kitab, Hari Akhir, dan qadha-qadar.

Materialisme yang diajarkan dalam ilmu pengetahuan alam jelas berbenturan dengan Rukun Iman. Materi tidak dapat diciptakan berimplikasi bahwa materi ada dalam keabadian masa lalu tanpa awal pen­ ciptaan, yang berarti tidak memerlukan peran Sang Pencipta. Suatu ketika, seusai menerbitkan buku tentang alam semesta, Pierre Laplace didatangi Napoleon Bonaparte yang menanyakan tentang satu hal, yakni mengapa dalam buku tersebut Laplace tidak sekalipun menyebut Tuhan. Laplace menjawab dengan ringan, dia tidak membutuhkan hipotesis tentang Tuhan bagi keberadaan alam. Keberadaan dan peran Tuhan Allah ditolak oleh prinsip materialisme Hari Akhir Kitab Nabi ilmiah.

Materi tidak dapat dimusnahkan berimplikasi pada penolakan Kiamat sebagai akhir perjalanan dunia. Penolakan Kiamat juga berarti penolakan akan Hari Kebangkitan dan Penghitungan amal setiap orang. Karena Hari Akhir dan Pembalasan tidak ada, pelanggaran norma terus meluas.

 

Dalam perspektif Islam, materialisme ilmiah menolak jantung Rukun Iman, yakni keyakinan akan peran Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Materialisme juga menolak Rukun Iman kelima tentang Hari Akhir yang ditandai dengan kehancuran materi. Padahal, setiap Muslim harus menerima keseluruhan Rukun Iman, tanpa terkecuali. Penolakan, meskipun hanya satu bagian, berarti kufur. Materialisme ilmiah membawa pada kekufuran.

Materialisme ilmiah dan Rukun Iman tidak dapat duduk berdam­ pingan dengan normal karena keduanya bertentangan. Penerimaan keduanya secara bersamaan akan melahirkan paradoks. Masyarakatnya beragama, termasuk Islam, tetapi kesehariannya mengembangkan hidup asusila. Selain itu, pemaksaan menerima keduanya secara bersa­ maan akan melahirkan sikap mendua dan inkonsistensi berpikir karena dua hal tersebut bertentangan.

Langkah praktis mengatasi dualisme gagasan ini adalah dengan merevisi materialisme ilmiah di buku-buku ajar. Teori kuantum dan relativitas khusus telah memperlihatkan bahwa materi mempunyai antimateri yang dapat saling melenyapkan jika hadir secara bersamaan. Berdasarkan perkembangan ini, prinsip "materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan" direvisi menjadi "materi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan dalam keadaan biasa". Keadaan biasa berarti keadaan dengan energi keseharian, tanpa kondisi khusus yang memungkinkan terjadinya penciptaan maupun pemusnahan ma­ teri-antimateri. Dalam keadaan tertentu, seperti keadaan energi cukup tinggi, penciptaan dan pemusnahan dapat dilakukan.

Pilar kedua bangunan sains adalah aksiologi, tujuan sains dibangun. Materialisme telah membuang transendensi sains, juga menyingkirkan tujuan akhir sains. Keadaan ini membuat ilmuwan hanya takjub pada dirinya sendiri ketika berhasil menyibak rahasia alam. Ujung dari pergerakan ini adalah nihilisme, kehampaan spiritual atau kekosongan ruhaniah. Perjalanan hidup manusia bak orang berenang di lautan luas tanpa tahu tepi sehingga tidak tahu harus berenang ke mana.

 

Aksiologi sa1ns Barat hanya berupa kepuasan dan petualangan intelektual sang ilmuwan serta untuk sains itu sendiri. Sains apa saja dapat dan boleh dibangun sepanjang dana atau anggaran tersedia. Teori superdawai yang diharapkan menjadi teori tumpuan bagi uni­ fikasi semua gaya terpaksa menjadi mimpi tanpa pembuktian atas kebenaran prediksinya ketika pada 1993 Superconducting Super Collider dihentikan oleh Kongres Amerika.

Sebagai fondasi epistemologi, sains Barat menerima dan mengagungkan rasionalisme, empirisme, dan objektivisme. Pengalaman em­ piris indriawi dirumuskan melalui metode yang dikenal sebagai metode ilmiah. Fakta-fakta merupakan sumber pengetahuan, dan pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta dan hubungan di antaranya. lnilah inti positivisme.

Dalam Novum Organum (Logika Baru), Bacon menolak metafisika spekulatif Aristoteles dan menekankan pandangan bahwa data seharusnya dikumpulkan dan eksperimen dilakukan untukmenyibak rahasia alam semesta melalui pengamatan terorganisasi. lntuisi dibatasi pada intuisi yang tumbuh dari pengalaman empiris belaka. Selain itu, karena sains Barat lahir dalam suasana konflik dengan gereja, sains Barat tumbuh dan berkembang dalam spirit penolakan terhadap wahyu sebagai sumber informasi pengetahuan.

Penolakan realitas secara utuh dan sumber informasi yang parsial akan melahirkan pengetahuan yang parsial. Masalah timbul ketika kenyataan ini tidak diakui secara objektif sesuai dengan objektivisme yang dianut sains. Alih-alih mengakui keterbatasan objek maupun sum­ ber informasinya, sains justru melakukan klaim di luar wewenangnya.

Dalam pendekatan evolusioner sekalipun, tidak dapat dijelaskan bagaimana jiwa yang menyebabkan sekumpulan materi, berupa tu­ buh manusia maupun hewan, dapat menjadi makhluk hidup. Sains biologi maupun psikologi hanya mengeksplorasi dan memahami per­ kembangan, perilaku fisik, dan jiwa manusia setelah menjadi manusia. Hal yang sama juga dialami oleh alam semesta yang dipahami setelah menjadi alam semesta, tepatnya sesaat setelah ledakan dahsyat The Big Bang. Mengapa harus ledakan dahsyat, dari mana bahan yang meledak, dan di mana ledakan terjadi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains.

Bangunan sains Islam juga didirikan atas tiga pilar: ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Ketiga pilar ini harus bersumber pada prinsip tauhid yang mengkristal dalam Rukun Iman dan Rukun Islam.

Ontologi lslam jelas tidak mungkin menolak hal gaib. Realitas bukan hanya objek yang dapat dilihat, diraba, dirasakan, tetapi juga yang tidak dapat terlihat. Secara sederhana, AI-Quran menjelaskan, Maka, Aku bersumpah demi apa yang kamu Iihat dan demi apa yang tidak kamu lihat. (QS AI-Haqqah [69]: 38-39)

Objek pengetahuan ada dua, yang tampak dan yang tidak tampak oleh mata. Terdapat realitas di balik realitas material. Dalam kisah klasik diriwayatkan, tiga orang pemuda terperangkap dalam gua. Ketika ketiganya berada di dalam gua, sebuah batu besar menggelundung dari ketinggian dan menutup gua. Ketiga pemuda tersebut mencoba mendorong batu tersebut, tetapi kekuatan mereka tidak cukup besar untuk melawan gaya dorong batu. Batu tak bergerak sedikit pun. Ketika berbagai cara telah dilakukan dan tidak memberikan hasil, mereka mencoba cara lain, yakni dengan mengingat kebaikan masing-masing, kemudian berdoa agar diberi kekuatan untuk mendorong batu. Terdo­ ronglah batu besar hingga mereka dapat keluar gua.

Tsunami Aceh 26 Desember 2004 juga menyisakan hal yang tidak terjangkau logika. Ketika air laut masuk dan menerjang kota dengan dahsyat, banyak rumah hancur. Namun, tidak demikian dengan Masjid Baiturrahman, simbol negeri Serambi Makkah itu. la tidak tertembus air. Air hanya menggenang di sekitar masjid. Air dan gelombang tsunami bagai mempunyai jiwa.

Manusia tidak dapat direduksi hanya sebagai makhluk yang terdiri dari materi belaka dan dapat diperlakukan seperti mesin. Manusia jauh lebih kompleks. Meski bagian fisik utuh, tanpa satu bagian pun terputus, jika jiwa atau ruh telah dicabut, manusia tidak dapat lagi bergerak se­ bagaimana ketika ia hidup. Sedangkan mesin dapat menyala kembali jika sumber tenaganya diperbaharui selagi tidak ada bagian mesin yang terputus. llmuwan Muslim klasik, lbn Sina, telah merumuskan dan membuktikan eksistensi jiwa sebagai sesuatu yang bersifat non materi. lbn Sina mengemukakan tiga dalil bagi adanya jiwa.

Pertama, dalil al-istimrar (kelangsungan) yang mengatakan bahwa jasad selalu berubah, tetapi kita tetap mengingat banyak hal. Artinya, kita tetap "berlangsung" dengan pasti dan sesuatu yang berlangsung pada jasad yang berubah-ubah itu disebut jiwa.

Kedua, dalil al-thabi'iy (alami) yang didasarkan pada gejala gerak

yang dibedakan menjadi gerak kehendak dan gerak paksaan. Gerak kehendak terjadi karena hukum alam, seperti benda jatuh, sedangkan gerak paksaan terjadi karena pengaruh dari luar, seperti benda dilempar. Namun, kita melihat burung dapat terbang-tidak jatuh dan tidak disebabkan dari luar-karena itu terdapat gerak ketiga, yakni gerak khusus, dan inilah jiwa.

Ketiga, dalil yang paling menarik, yaitu dalil manusia terbang. Misal, seseorang yang tercipta sempurna ditutup matanya dan ditempatkan di ruang kosong di angkasa sehingga tidak satu pun yang dapat menyentuhnya. Dalam keadaan demikian, ia tetap yakin wujud diri dan zatnya walau tidak mengetahui anggota badannya. Berarti ada wujud selain wujud jisim (jasad) yang bisa mengetahui, mengkhayal, dan merasakan, dan inilah jiwa.

Bukan hanya makhluk hidup yang berjiwa, makhluk atau benda "mati': seperti gunung, juga berjiwa. AI-Quran menyejajarkan gunung dan burung. Keduanya bertasbih bersama Nabi Daud a.s.

Bahwa, sampai saat ini, kita belum mampu merumuskan jiwa gunung yang membuatnya mampu bertasbih, bukan berarti kita boleh meniadakannya dan mengklaim gunung hanya kumpulan materi belaka. Sains Islam harus mampu menguak dan merumuskan isyarat ini.

Aksiologi Islam adalah dikenalnya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya dan diketahuinya watak sejati segala sesuatu, sebagaimana yang diberikan oleh Tuhan. Watak sejati akan memperlihatkan kesatuan hukum alam, sunnatullah, keterkaitan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip llahi. Bagi sang ilmuwan, keberhasilan upaya menguak pola ciptaan dan kesatuan hukum alam akan membuatnya         makin            tunduk kepada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan Surah Ali 'lmran (3): 191.

 

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungi kami dari azab neraka."

Ayat ini memberi gambaran siapa dan bagaimana ilmuwan Muslim, sekaligus dasar bagi basis aksiologi sains Islam. AI-Quran menyebut ko­ munitas ilmuwan sebagai qaumun ya'qilun (sekelompok pemikir, komu­ nitas perenung, himpunan ilmuwan). Mereka melakukan pengamatan atas fenomena alam di langit dan Bumi, menelaah dan menganalisis, ke­ mudian membuat rumusan atau teori.

Fenomena alam dapat berlangsung di alam atau di laboratorium. Untuk mengetahui pola "lintasan" Matahari bisa dilihat bayangan benda yang disebabkan oleh cahaya Matahari. Akan dipaparkan lebih men­ dalam pada bab mendatang, bagaimana lintasan membentuk garis timur-barat dan bergeser ke utara atau ke selatan pada hari yang berbeda. Untuk memperoleh pengetahuan tentang pola lintasan Matahari yang utuh, meski tampak sepele, diperlukan waktu minimal satu tahun. Selain memerlukan waktu yang tidak sebentar, pengamatan harus dilakukan di bawah terik Matahari.

Aristoteles pernah mengajukan gagasan tentang dua benda yang jatuh di udara bebas. Menurutnya, benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat. Pengetahuan yang berangkat dari perasaan umum,common sense. Kita dan orang kebanyakan pun merasakan hal yang sama dan sepakat dengan pandangan ini. Padahal, persoalan benda jatuh adalah persoalan alam nyata, bukan sekadar perasaan. Orang yang silau pada kebesaran nama Aristoteles akan menerima begitu saja pendapatnya tanpa melakukan pengecekan di lapangan.

Galileo adalah orang yang mencoba menguji pandangan Aristoteles. Bagi Galileo, tidak ada ruginya melakukan pengujian atas pandangan Aristoteles ini. Lokasi untuk melakukan pengujian tidak jauh di kotanya, yaitu Menara Pisa. Bila hasil pengujiannya menyatakan bahwa pandangan ini benar, dia akan menerima pandangan tersebut. Penerimaannya tentu berbeda dengan penerimaan orang lain yang tidak melakukan pengujian. Penerimaannya telah sampai taraf haqqun al-yaqin, sedangkan penerimaan orang lain merupakan penerimaan yang sekadar percaya.

Hasil pengamatan Galileo memperlihatkan bahwa pandangan Aristoteles salah. Dua benda yang berbeda massa bergerak dengan ke­ cepatan sama sehingga keduanya sampai di tanah pada waktu yang sama jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama. Galileo membuat koreksi atas pandangan yang telah dianut selama hampir dua puluh abad, dan Galileo pun membuat sejarah ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, mengapa Aristoteles yang dikenal sebagai filsuf dan pemikir terbesar Yunani tersebut masih dapat membuat kesalahan? Hal ini menyatakan bahwa alam bertindak sebagai hakim akhir atas pandangan atau teori tentang dirinya, tentang alam. Semua orang boleh mengajukan pendapat atau teori apa saja tentang fenomena tertentu, pada akhirnya alam itu sendiri yang akan bercerita tentang dirinya. Tugas kitalah memperhatikan dengan saksama apa yang diceritakan alam.

Pengamatan juga dapat dilakukan di laboratorium. Terdapat fenomena alam yang penampakannya lebih mudah dan efektif jika dilakukan di laboratorium, setelah peralatan terkait disusun sedemikian rupa. Sebut saja cahaya putih yang ternyata akan terurai menjadi spektrum beberapa cahaya berwarna jika dilewatkan prisma kaca. Mengharapkan uraian spektrum aneka warna cahaya secara langsung di alam jelas tidak mudah terealisasi. Selain itu, tidak sedikit fenomena alam yang hanya dapat diamati di laboratorium.

Pengamatan dan perumusan atas hasil-hasil pengamatan, seperti yang dilakukan Galileo, dapat dilakukan oleh ilmuwan mana pun dan hasil akhirnya harus sama karena menceritakan satu fenomena alam yang sama. Observasi, analisis, dan formulasi merupakan aktivitas yang dapat dilakukan oleh setiap ilmuwan tanpa pandang bulu. llmuwan Muslim, ilmuwan Nasrani, ilmuwan Buddha, maupun ilmuwan ateis akan melakukan hal yang sama: observasi-analisis-formulasi.

Ketika melakukan observasi, analisis, maupun formulasi, ilmuwan umumnya terpisah dari keramaian. Kerumunan orang justru akan mengganggu setting eksperimen dan merusak konsentrasi dalam menganalisis dan merumuskan teori. llmuwan melakukan semua aktivitas risetnya di ruang yang tenang dan sunyi. Selain harus beraktivitas pada malam hari, ketika mumnya orang sedang tidur lelap, para astronom bekerja di observatorium yang jauh dari keramaian.

Semua ilmuwan melakukan hal yang standar. Lantas, apa yang membedakan ilmuwan Muslim dengan ilmuwan lainnya? Pada Surah Ali 'lmran (3): 191, dipadu antara pikir dan zikir, bahkan zikir disebut lebih dahulu, baru kemudian pikir. Urutan ini menunjukkan bahwa sebelum menjadi ilmuwan yang banyak berpikir, seorang Muslim harus terlatih melakukan zikir.

Zikir dilakukan baik secara formal-dengan melafalkan kalimat tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil-maupun zikir substansial, yakni jiwa terus tersambung dengan Sang Khalik. Kewajiban sebagai Muslim, seperti shalat wajib dan puasa pada bulan Ramadhan, telah dikerjakan dengan baik. Juga ibadah sunnah, seperti zikir Asma AI-Husna, puasa Senin-Kamis, dan shalat Tahajud, menjadi bagian dari tradisi kehidupannya.

Ketika Muslim tersebut menjadi ilmuwan, dia tidak pernah berhenti mengingat atau menyebut asma Allah, baik ketika berdiri, duduk, mau­ pun berbaring. Pengamatan dan perenungannya atas fenomena alam tidak membuatnya terlepas dari Sang Maha Pencipta semua fenomena ini. Fenomena alam dengan aneka pola dan keteraturannya adalah ba­ gian dari kehendak-Nya.

Aneka fenomena alam tidaklah berdiri sendiri, mereka saling ter­ kait satu sama lain. Fenomena alam tidak muncul sia-sia tanpa pesan, tanpa tujuan. llmuwan Muslim mencoba memahami dan menangkap pesan yang terkandung di balik aneka fenomena alam. Mengamati dan merenungkan alam berarti memahami kebijakan-Nya. Ketika misteri sebuah fenomena alam tersibak, ilmuwan Muslim secara spontan akan menyucikan Sang Pengendali yang tersembunyi di balik fenomena tersebut. Tidak sekadar bertasbih, melainkan juga memohon agar upaya menyingkap tabir alam dan hasilnya tidak menggelincirkan serta menyeretnya ke dalam azab-Nya dengan berzikir "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha suci Engkau dan hindarkanlah kami dari azab api neraka."

ltulah aksiologi dalam bangunan sains Islam, yakni menyibak rahasia alam yang tidak satu pun tercipta dengan sia-sia. Keberhasilan sang ilmuwan menyibak rahasia alam tidak membuat ilmuwan Muslim takabur, arogan, dan mengabaikan Sang Pencipta. Sebaliknya, mereka semakin takjub pada kekuasaan-Nya hingga semakin tunduk, dekat, dan takut kepada-Nya.

Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka ma­ cam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sung­ guh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (QS Fathir [35]: 27-28)

Pilar ontologi dan aksiologi telah inheren dalam diri setiap orang beragama, termasuk Islam. Alam gaib, seperti kehidupan setelah kehi­ dupan dunia, menjadi bagian dari keyakinan setiap agama. Keberadaan Allah dan para malaikat yang ditunjuk sebagai pembantu-Nya, juga merupakan keyakinan pokok orang beragama.

Pilar ketiga dan terpenting adalah pilar epistemologi, yakni bagaimana atau dengan apa pengetahuan diperoleh. AI-Quran menyebutkan ada tiga peranti manusia untuk memperoleh pengetahuan, yaitu pen­ dengaran, penglihatan, dan fu'ad.

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, pengli­ hatan, dan hati agar kamu bersyu­ kur. (QS Al-Nahl [16]: 78)

Surah Al-Nahl (16): 78 ini memberi informasi yang cukup menarik. Kita tahu bahwa pendengaran, penglihatan, dan perenungan dilakukan oleh peranti telinga, mata, dan hati. Kita juga tahu bahwa janin telah dilengkapi dengan telinga, mata, dan hati sejak dalam rahim ibu. Informasi bahwa seorang bayi dikeluarkan dari rahim ibunya masih dalam keadaan tidak tahu apa pun berarti ketiga peranti ini belum berfungsi ketika berada dalam rahim. Ketiga instrumen pengenal ini baru diaktifkan sesaat setelah janin keluar.

Berangkat dari kondisi tidak tahu, setelah lahir manusia belajar sedikit demi sedikit. Namun, pada ayat ini tidak digunakan redaksi la'allakum ta'lamun (agar engkau mengetahui), melainkan la'allakum tasykurun). Artinya, pengaktifan ketiga instrumen (telinga, mata, dan hati) tidak sekadar pada taraf mengetahui sesuatu, tetapi manusia harus bersyukur atas karunia pengetahuan yang dimiliki dan diperoleh melalui ketiga peranti tersebut. Pengetahuan harus berbuah syukur kepada Maha Pemberi pengetahuan, Allah Swt. Allah memerintahkan agar rasa syukur diwujudkan ke dalam kemaslahatan umat manusia.

Dalam Surah Ali 'Imran (3): 191 digambarkan aktivitas ilmuwan, yakni zikir dan pikir. Zikir dilakukan sebelum pikir, kemudian diakhiri doa. Namun, karena aktivitas ini dilakukan berkesinambungan, zikir dapat berupa doa, sedangkan doa terkandung dalam zikir. Artinya, doa menjadi bagian integral dari aktivitas pemikiran seorang ilmuwan Muslim. Doa tidak sekadar dilafalkan di bibir, tetapi juga dengan menyucikan diri secara formal dengan berwudhu maupun dengan melaksanakan puasa sunnah.

Metode terakhir ini terkait dengan upaya penyingkapan realitas lebih tinggi, yang hanya mungkin jika pikiran telah tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh oleh keberkahan yang tumbuh dari wahyu karena ruh ditiupkan pada yang menginginkannya. Bagi ilmuwan Muslim, adalah suatu keniscayaan sering meminta pertolongan Tuhan dalam memecahkan masalah. Karena itu, dapat dimengerti mengapa pe­ nyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari metodologi pengetahuan Islam.

0 Comment