13 Mei 2012

ABSTRAK

Metode Tafwid merupakan metode ulama Salaf, yang pada aplikasinya tidak memberikan makna yang lahir dari ayat-ayat sifat Tuhan, terutama mereka ketika mengahadapi ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat). Sebab menurut mereka dengan metode ini sudah merupakan pemaknaan yang layak untuk sifat Tuhan dan mendekatkannya kepada tanzih (penyucian), karena inti dari metode ini sebagai sikap kehati-hatian mereka dari sikaf tasybih (Antropomorfisme) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan tanpa deskripsi makna (bila kaif), atau dengan kata lain ulama Salaf menamakannya dengan ta’wil ijmali. Sebab dengan sendirinya ketika ia menggunakan metode tafwid, berarti ia sudah memberikan ta’wil-nya. Karena ta’wil itu sendiri menurut mereka adalah memalingkan lafaz dari makna zahir-nya tersebut baik dari dalil al-Qur’an maupun dalil al-Hadis. Hal inilah yang secara mayoritas ulama Salaf meggunakannya sebagai salah satu metode dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat al-Sifat.
Ketika perkembangannya muncul juga yang dinamakan metode taslim, yang inti dari kedua metode ini adalah sama-sama menyerahkan ayat-ayat mutasyabihat dari segi makna dengan mengimaninya sebagai Sifat dari keagungan dan kekuasaan-Nya. Dari pemahaman ayat-ayat mutasyabihat, di kemudian hari mendapatkan porsi yang sangat signifikan, terlebih ketika diangkat dalam perdebatan para teolog skolastik dengan statemen-statemen mereka bahwa ulama Salaf tidak menggunakan ta’wil tafsili dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat, mereka hanya memberlakukan metode tafwid dan taslim saja sebagai aplikasinya. Terlebih ketika mereka para teolog hanya mendukung pendapatnya saja, tanpa melihat data-data konkrit sebagaimana generasi awal telah mempraktekannya pada metode ta’wil tafsili.
Penulis melihat di sini sebagai aplikasi konkrit ketika sahabat Ibn ‘Abbas memberikan ta’wil tafsili, dan ulama-ulama Salaf sesudahnya yang dianggap kapabil terhadap penerapannya seperti Mujahid, Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, dan mufassir dikalangan Atba’ al-Tabi’in seperti al-Qurtubi dan lain-lain. Hanya saja metode ta’wil tafsili ini tidak begitu dominan seperti metode tafwid dan taslim yang pada aplikasinya tidak menyimpangkan makna. Oleh sebab itu ulama Salaf disamping menggunakan metode tafwid dan taslim, mereka sudah menggunakan metode ta’wil tafsili, tidak seperti yang dilontarkan dalam perdebatan para teolog skolastik dengan pangakuan masing-masing sebagai aplikasi dari ulama Salaf. Seperti al-Musyabbihah yang berbeda dengan para teolog lainnya yang mengungkapkan maknanya secara literal. Dan ini tentunya sangatlah berpengaruh pada perkembangan ilmu tafsir selanjutnya dengan melahirkan berbagai sekte dalam kajian tafsir. Hal ini dibuktikan penulis ketika melihat sisi perbedaan dan paradigma yang dibangun sebagai penetapan metode mereka dalam memahami ayat-ayat sifat sebagai pemahaman yang proposional yang dimaksudkan akan dalil-dalil tersebut.
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan Islam sebagai risalah yang dibawa oleh Muhammad telah berlangsung lebih dari empat belas abad lamanya. Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam khazanah keislaman selalu dikaji oleh semua lapisan masyarakat untuk melahirkan pemahaman tentang Islam. Dari kajian-kajian tersebut melahirkan berbagai pemahanan yang tidak sedikit menimbulkan pertentangan sebagaimana yang terlihat dalam sejarah perjalanan umat Islam selama lebih dari empat belas abad lamanya. Umumnya umat Islam mengakui akan perbedaan pendapat. Bahkan mereka meyakini bahwa umat Islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga golongan. Sebagaimana yang termuat dalam hadis Nabi bahwa umat Islam ini terbagi kepada tujuh puluh tiga golongan.
Dalam khazanah Islam muncul dikenal satu golongan yang cukup mendapat tempat terhormat dalam umat Islam. Golongan tersebut adalah golongan salaf. Sering sekali setiap perdebatan tentang pemahaman keislaman dikembalikan dan dicarikan rujukan yang bermuara pada golongan tersebut. Sehingga tidak jarang golongan-golongan yang muncul dalam Islam mengaku bahwa merekalah golongan yang sesuai dengan ulama salaf, dari sanalah salah satunya muncul firqah-firqah dalam Islam.
Munculnya firqah-firqah dalam Islam salah satunya terkait erat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Secara global ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah. Secara garis besar paling tidak terdapat tiga golongan yang memiliki pemahaman berbeda yang cukup tajam. Dua kelompok, ekstrim kanan dan ekstrim kiri Mu’tazilah dan Musyabbihah, dan satu kelompok moderat di tengah-tengah keduanya ialah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dari pemahaman terhadap ayat-ayat sifat ini, kaum Mu’tazilah melahirkan konsep “nafi al-sifat” (peniadaan sifat-sifat Allah). Belakangan, karena konsep ini, kaum Musyabbihah mengklaim Mu’tazilah sebagai “al-Mu’attilah” (Kaum yang menafikan sifat-sifat Allah). Sedangkan kaum Musyabbihah, menetapkan adanya sifat-sifat tersebut, tetapi mereka menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat manusia. Adapun kelompok yang dipandang cukup moderat, Ahlussunnah, mengambil jalan tengah, kelompok ini meyakini adanya sifat-sifat bagi Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat manusia.
Pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat, di kemudian hari memiliki keterkaitan urgen dalam pembentukan pemahaman firqah-firqah tersebut di atas. Pertentangan hebat antara kaum Musyabbihah dengan Ahlussunnah, misalkan, salah satu pangkal sebabnya adalah adanya perbedaan pemahaman terhadap aqwal al-salaf (statemen ulama salaf) dalam ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah. Kaum Musyabbihah dengan doktrin dasarnya “mengambil makna zahir ayat-ayat mutasyabihat”, menurut mereka adalah merupakan pengamalan terhadap statemen ulama salaf “”امروها كما جاء ت بلا كيف (pahamilah ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah tanpa ungkapan bagaimana). Sementara pada saat yang sama, Ahlussunnah mengatakan bahwa kaum Musyabbihah tidak memahami statemen ulama salaf “امروها كما جاء ت بلا كيف” dengan sebenarnya. Menurut Ahlussunnah, bahwa yang dimaksud oleh ulama salaf dalam pernyataan mereka امروها كما جاء ت بلا كيف “” adalah penafian tasybih (keserupaan Allah dengan makhluk-Nya), dengan alasan adanya ungkapan “bila kaif (tanpa deskripsi bagaimana), dan karenanya itu tidak memahami dengan mengambil makna zahir ayat-ayat mutasyabihat.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika pertentangan antara dua kubu semakin hebat, terbentuk sementara pemahaman bahwa ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah tidak memakai metode ta’wil. Pemahaman ini belakangan semakin gencar disuarakan kaum Musyabbihah untuk menyerang Ahlussunnah. Kaum Musyabbihah berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dita’wil, karena men-ta’wil ayat-ayat sifat berarti sama dengan mengingkari hakikat ayat itu sendiri, di samping itu mereka meyakini bahwa ulama salaf tidak pernah memakai metode ta’wil. Dari sini kemudian muncul doktrin “al-Mua’wwil Mu’attil” (seorang yang menta’wil berarti mengingkari sifat-sifat Allah). Mereka memunculkan metode tafwid atau taslim sebagai antitesa metode ta’wil. Metode tafwid atau taslim menurut kaum Musyabbihah bukanlah bentuk dari pen-ta’wil-an, tetapi merupakan penyerahan apa adanya makna literal dari ayat. Kedua metode tersebut menurut mereka dipakai ulama salaf dalam memahami ayat-ayat sifat.
Di pihak lain, Ahlussunnah memandang bahwa metode ta’wil merupakan salah satu metode untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, sehingga metode ta’wil tidak dapat dipisahkan dari kitab-kitab tafsir. Bahkan secara umum, semua kitab yang membahas ‘Ulum al-Qur’an tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan metode ta’wil, seperti al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuti, al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Zarkasyi, atau karya lainnya dalam ‘Ulum al-Qur’an dipastikan memuat metode ta’wil.
Sedangkan di sisi lain, kaum Mu’tazilah juga memberlakukan ta’wil dalam memahami ayat-ayat sifat, sebagaimana yang diutarakan Wasil, tetapi dengan penta’wilan itu mereka berkesimpulan pada peniadaan sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang tertera dalam makna literal, bukan berarti mereka menolak ayat-ayat sifat seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Basar, al-Sama’ dan lain-lain, tetapi penafsiran mereka berbeda dengan aliran teologi lainnya.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan menyelami kembali metode pemikiran ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat khususnya ayat-ayat sifat Allah. Ada beberapa hal yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan.
Pertama, dalam melakukan kajian mengenai ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, ulama salaf lebih mengutamakan metode tafwid dan taslim.. Dengan kedua metode ini ulama salaf secara tidak langsung telah menyimpangkan makna (melakukan ta’wil), hal ini merupakan konsistensi ulama salaf dalam mensucikan Allah dari sifat mahluk-Nya, dan makna literal dari ayat-ayat sifat tersebut mustahil bagi Allah. Maka, dalam memahami ayat-ayat sifat, metode yang paling aman ini adalah tafwid dan taslim. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah metode tafwid dan taslim-nya ulama salaf sama dengan yang dipahami kaum Musyabbihah? Hal ini, tentu saja menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut.
Kedua, ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat di samping menerapkan metode tafwid dan taslim, juga menerapkan metode ta’wil tafsili, yang dalam aplikasinya dengan merinci dan menentukan makna majazi (metaforis), sehingga tidak merubah esensi maknanya. Hal ini, dalam mengalihkan makna (ta’wil) merupakan keharusan bagi ulama salaf. Tetapi, asumsi dari berbagai kalangan Mutakalimin muncul bahwa ulama salaf tidak mempraktikkan ta’wil, mereka hanya menerapkan metode tafwid dan taslim saja dalam memahamkan ayat-ayat mutasyabihat. Dengan demikian, berangkat dari asumsi di atas, penelitian ini difokuskan terutama pada metode tafwid, taslim dan ta’wil tafsili yang diaplikasikan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
B. Rumusan Masalah
Untuk menghindari kerancuan dan pembahasan yang melebar, penulis memfokuskan pembahasan ini pada metode tafwid atau taslim sebagai bentuk ta’wil yang dikembangkan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat.. Pada praktiknya, ta’wil terbagi kepada dua bagian Pertama: Memalingkan suatu lafaz dari makna zahir-nya dengan tanpa menentukan makna lain. Metode pertama ini disebut dengan Ta’wil Ijmali. Kedua: Memalingkan suatu lafaz dari makna zahir-nya dengan menentukan makna yang lain bagi lafaz tersebut yang masih dalam kandungan maknanya. Metode kedua ini disebut dengan Ta’wil Tafsili, seperti secara mayoritas ulama salaf men-ta’wil lafaz “Yad” dengan “Qudrah” (kekuasaan) atau dengan “’Ahd (perjanjian)”.
Di samping mendeskripsikan, penulis hendak mengungkap apakah dalam menerapkan metode tafwid, taslim dan ta’wil, para ulama salaf lebih menekankan pada ta’wil tafsili atau ta’wil ijmali atau bahkan menekankan keduanya. Oleh karena itu penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah?
2. Bagaimana penerapan metode tafwid, taslim dan ta’wil tafsili dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah oleh ulama salaf ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengetahui metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
2. Mengetahuai penerapan metode tafwid, taslim dan ta’wil tafsili ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dilakukan guna memberikan gambaran pemahaman ulama salaf tentang ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat yang sering diperdebatkan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memunculkan minat para pembaca untuk mendalami kembali khazanah pemikiran keislaman pada masa lampau serta dapat memberi gambaran posisi ulama salaf dalam khazanah penafsiran.
D. Kajian Pustaka
Berbagai pustaka yang ditelusuri, penulis mengklasifikasikan karya tulis yang berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat dalam dua jenis yaitu skripsi yang disusun oleh para mahasiswa dan buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit.
Untuk karya skripsi, pertama: Pandangan Muhammad ‘Abduh terhadap ayat-ayat Mutasyabihat: Studi terhadap Tafsir al-Manar oleh Nur Rohman. Dalam penelitiannya berusaha menitikberatkan pada pemikiran Muhammad ‘Abduh dari kitab tafsirnya (al-Manar) tentang ayat-ayat mutasyabihat. ‘Abduh mengungkapkan berbagai ayat-ayat mutasyabihat yang ada dalam al-Qur’an. Sedangkan pada kesimpulan tentang ayat-ayat mutasyabihat ia tidak jauh berbeda dengan para ulama sebelumnya yaitu dengan memberlakukan ta’wil guna memahami ayat-ayat mutasyabihat, dan dia cenderung lebih akomodatif dengan mengangkat sepuluh definisi kemudian menganalisanya. Dari skripsi ini, penulis tidak menemukan pengungkapan metode tafwid dan ta’wil ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat pandangan ulama salaf, karena memang dalam penelitian Nur Rohman terfokus kepada pemikiran ‘Abduh sendiri.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Noer Fadilah Wening Dwihastuti mengenai Penafsiran Hamka terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat (Kajian Tafsir al-Azhar). Dia berkesimpulan bahwa Hamka menerapkan dua metode dalam menyikapi ayat-ayat Mutasyabihat. Pertama, menggunakan penta’wilan terhadap ayat-ayat yang dianggap dapat dicari ta’wilnya, dan kedua bersikap tidak melakukan penta’wilan terhadap ayat-ayat yang dianggap hanya Allah saja yang mengetahuinya. Karena jika dipaksakan untuk mencari-cari ta’wilnya dikhawatirkan akan keluar dan menyimpang dari maksud ayat yang disampaikan. Sedangkan pengertian ta’wil dalam arti pengalihan makna, banyak digunakan Hamka dalam melakukan penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang kata-katanya mengandung dua arti, seperti mengalihkan makna aw lamastumu al-nisa dengan bersetubuh, demikian pula ma lam tamasuhunna dita’wilkan dengan sebelum disetubuhi. Sedangkan penerapan tentang metode ta’wil pada ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat Allah oleh Noer Fadilah kurang terapresiasi, karena dalam skripsi ini lebih terfokus pada gambaran umum pemikiran Hamka tentang ayat Mutasyabihat.
Ketiga, mengenai Penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat (Studi Komparatif antara Hasbi ash-Shidieqi dan Hamka) oleh Kurningsih. Dari analisa kedua tokoh, Kurningsih menyatakan tidak ada perbedaan yang mendasar dalam menafsirkan aya-ayat mutasyabihat tentang sifat. Dari berbagai contoh yang dipaparkan, baik oleh ash-Shidieqi maupun Hamka memakai ta’wil pada empat ayat dan tawaquf pada istawa dan ja’a Rabukka, sementara Hamka pada kata istawa dan ain. Kedua tokoh itu disebutkan menggunakan metode ulama salaf dalam memahami beberapa hal tentang ayat-ayat sifat, tetapi skripsi tidak banyak mengupas tentang metode ulama salaf, karena skripsi ini lebih terfokus pada pemikiran dua tokoh yang dikaji.
Keempat, Mengenai Pandangan Tabataba’i terhadap Muhkam Mutasyabih oleh Muhammad Syarief. Dalam tulisannya menitikberatkan pada pemahaman Tabataba’i tentang ta’wil, ia berkesimpulan bahwa Tabataba’i berpendapat bahwa ta’wil dapat dipergunakan pada semua ayat al-Qur’an, baik yang memiliki dimensi muhkam-mutasyabih.
Sementara karya skripsi yang mengkaji tentang konsep ta’wil penulis temukan di antaranya: pertama, Ta’wil dalam Pemikiran Tabataba’i (Studi terhadap Tafsir al-Mizan) oleh Muhammad Ghuzi. Dalam penelitiannya ia lebih menitikberatkan pada metode ta’wil yang digunakan Tabataba’i pada semua ayat al-Qur’an, karena Tabataba’i ingin mengembalikan semua ayat al-Qur’an pada asalnya yang mengandung sisi batin dan lahir serta mengandung simbol-simbol yang memungkinkan semuanya untuk dita’wil.
Kedua, mengenai Komparasi Hermeneutis Konsep Ta’wil Menurut Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Perspektif al-Ta’wil al-Ilmi oleh Fahrur Rozi. Dalam usaha menyingkap karakteristik perspektif al-ta’wil al-ilmi yang tercermin dalam konsep ta’wil, Fahrur Rozi dalam penjelajahannya mengadakan “pengujian paradigmatis” (paradigmatic examination), sehingga terungkap berbagai struktur paradigma keilmuan Syahrur dan Abu Zaid. Di samping itu juga ia mengadakan “pengujian hermeneutis”(hermeneuitical examination) atas produk pemikiran yang dihasilkan, yaitu kerangka konseptual dari konsep ta’wil yang dirumuskan Syahrur dan Abu Zaid. Dari kedua peneliti di atas dalam mengelaborasi pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah belum menyentuh secara metodologis, karena memang dalam penelitiannya tidak mengacu kepada ulama salaf.
Sementara dari survei untuk karya kitab, buku, artikel, penulis menemukan beberapa kitab di antaranya: Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari, dalam bab tafsirnya mengemukakan ta’wil dengan contohnya. Sedangkan dalam buku Idah al-Dalil fi Qat’i Hujaj Ahl al-Ta’til karya Badruddin ibn Jama’ah banyak dimuat ayat-ayat mutasyabihat beserta ta’wil ulama salaf. Ulama salaf menurutnya adalah mereka yang hidup dalam tiga ratus tahun setelah hijrahnya Nabi Muhammad, mereka dari kalangan ulama yang kompeten dalam bidangnya seperti ilmu hadis, ilmu fiqih, tauhid dan sebagainya. Sebagai penolakannya terhadap Antropomorfisme, al-Jama’ah mengemukakan bahwa Allah tidak seperti mahluknya yang membutuhkan kepada tempat, seperti ketika menta’wil lafaz istawa menta’wilnya dengan al-qahr dan al-istila, karena makna ini sesuai dengan sifat dan keagungan Allah.
Dalam kitab al-Asma wa al-Sifat karya al-Baihaqi banyak dimuat ta’wil-ta’wil ulama salaf, seperti Ibn ‘Abbas menta’wil QS. al-Zariyat [51]: 47 tentang “al-yad” dimaknai dengan “al-quwwah”(kekuatan), juga ketika menta’wil tentang cahaya, di sini Allah sebagai pemberi hidayat kepada penghuni langit dan bumi dan bukan dimaknai sebagai cahaya yang terdiri dari unsur materi.
Di samping karya di atas, sebuah karya dari ‘Abdullah al-Harari dengan judul bukunya Sarih al-Bayan fi al-Rad ‘ala man Khalafa al-Qur’an, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf, juga di dalamnya membahas penetapan ta’wil tafsili ulama salaf, penerapan metode ta’wil disertai beberapa contoh baik dari ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi yang mutasyabihat mulai dari Ibn ‘Abbas, Mujahid, Ahmad ib Hanbal, dan al-Bukhari sebagaimana penerapannya terhadap ta’wil ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah. Ia juga mengemukakan pentingnya ta’wil ijmali (istilah lain dari tafwid dan taslim) sebagai penetapan dari ayat-ayat tentang sifat Allah, karena taslim dan tafwid menurutnya lebih dekat kepada metode tanzih (pensucian terhadap sifat Allah dari sifat mahluk-Nya).
Kemudian, kitab Mutasyabih al-Qur’an karya al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamaz\ani yang menghimpun ayat-ayat mutasyabihat dengan beberapa ta’wil-nya. Buku ini berusaha memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang dianggap mengandung ambiguitas oleh kaum Mu’tazilah dan dipakai secara salah oleh lawan-lawannya. Ambiguitas ini dimaksudkan sebagai kemungkinannya secara lahiriyah atau secara ta’wil untuk dipakai sebagai dalil pendukung pendapat-pendapat yang bertentangan atau berbeda dengan kaum Mu’tazilah. Pengertian ini menurut mereka tidak dapat dipegangi karena bertentangan dengan dalil-dalil akal. Kitab ini juga pernah diteliti oleh Machasin dalam sebuah disertasinya, tetapi tidak semua masalah yang dibahas ‘Abd al-Jabbar dibicarakan, melainkan dipilih beberapa topik. Ada empat topik yang dipilih, yakni: tanggung jawab manusia, keadilan Allah, Antropomorfisme dan masalah pelaku dosa besar. Keempat persoalan ini adalah yang paling banyak dibahas dalam teologi Islam klasik.
Selanjutnya, al-Misbah al-Munir karya Ahmad ibn Muhammad ‘Aly al-Fayumi al-Muqarri menampilkan dalam kitabnya tentang makna ayat-ayat al-Qur’an (ma’ani al-Qur’an) khususnya tentang ayat-ayat sifat Allah, seperti kata al-yad (tangan) yang disinyalir sebagai sifat Allah yang bermakna al-qudrah (kekuasaan) atau dengan al-quwwah (kekuatan).
Kemudian kitab yang membahas ilmu-ilmu al-Qur’an adalah al-Itqan karya Jalaluddin al-Sayuti. Dalam bab Muhkam dan Mutasyabih-nya merekam beberapa pendapat sekitar pengertian muhkam dan mutasyabih yang terfokus pada QS. Ali-’Imran [3]: 7. Di antaranya ada yang memberi pengertian bahwa muhkam adalah ayat-ayat al-Qur’an yang diketahui maksud, penjelasan dan penta’wilannya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maknanya, seperti kapan terjadinya hari Kiamat, keluarnya Dajjal dan huruf muqata’ah di awal surat. Ada juga yang memberi pengertian muhkam dengan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya. Ada juga yang mendefinisikan muhkam sebagai ayat-ayat yang mengandung penta’wilan hanya dari satu segi. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung kemungkinan dita’wilkan dari beberapa segi. Kemudian yang lainnya memberikan pengertian bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang ma’qul al-ma’na. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang ghairu ma’qul al-ma’na. Dan masih banyak lagi yang memberikan pengertian lain terhadap kedua terma tersebut.
Kemudian, dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali juga dimuat tentang beberapa kajian akidah ulama salaf. Sebagian dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung sifat Allah seperti lafaz istawa, al-yad, alwajh dikemukakan dengan menggunakan metode ta’wil tafsili, tetapi dalam sebagian ayat mutasyabihat juga menggunakannya metode tafwid dan taslim sebagai kehati-hatian terhadap paham Antropomorfisme.
Di samping itu juga tafsir al-Jami li al-Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi yang menetapkan metode ta’wil tafsili dan berusaha untuk mengungkapkan makna dengan merincinya, seperti QS. al-An’am [6]: 52 mengenai “al-wajh”. Secara lahiriyah makna ayat ini mengandung makna wajah yang dimiliki Tuhan, tetapi al-Qurtubi di sini berusaha memberikan penjelasannya yang berbeda dengan apa yang tersirat dalam ayat tersebut dengan mengungkapkan bahwa wajah yang dimaksud adalah mengharapkan keta’atan manusia kepada Allah secara ikhlas dalam hal beribadah dan tidak menghadap kepada selain-Nya.
Al-Zarkasyi dengan kitabnya al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an juga mengemukakan pentingnya akan metode ta’wil sebagai metodologi penafsiran al-Qur’an terutama dalam penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Ta’wil menurutnya adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya, yaitu makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah melalui istinbat.
Beberapa karya ulama kontemporer yang komprehensif dengan memberikan pandangannya terhadap metode ta’wil terhadap ayat-ayat sifat dengan mengacu kepada beberapa kitab-kitab ulama salaf seperti Al-Sarah al-Qawim fi Halli Alfaz al-Sirat al-Mustaqim karya ‘Abdulah al-Harari yang menjelaskan Ta’wil secara terperinci QS. Taha [20]: 5, bahwa Allah tidak duduk di atas Arsy juga tidak bersemayam, dan juga tidak bersentuhan dengannya. Sebagian interpretasinya dengan mengimani”taslim” tanpa memberikan makna secara zahir-nya, dari pemahaman ta’wil ini ia menamakannya dengan”ta’wil ijmali”. Kemudian buku-buku lain mengenai ilmu-ilmu al-Qur’an seperti Subhi al-Salih dalam Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, sebagian pembahasannya mengenai sifat-sifat Allah pada ayat-ayat yang Mutasyabih (tidak jelas hakikatnya) membagi kepada dua maz\hab di kalangan para ulama: pertama, maz\hab salaf (para ulama di kalangan generasi sahabat Nabi) yang menggunakan metode tafwid terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat dan menyerahkan makna serta pengertiannya kepada Allah SWT. Kedua, Maz\hab khalaf (para ulama di kalangan generasi-generasi berikutnya) yang menetapkan makna bagi lafaz-lafaz yang menurut lahirnya mustahil bagi Allah. Maz\hab ini menurutnya berasal dari Imam Haramain dan jama’ah berikutnya.
Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan Ulumul Qur’an menyebutkan muhkam dan mutasyabih yang terdapat pada QS. Ali-Imran [3]: 7 menjadi titik sentral dari berbagai perdebatan, kriteria, bentuk-bentuk tasybih-nya dan lain sebagainya. Ia juga menyebutkan tiga masalah mengenai ayat-ayat mutasyabihat. Pertama, mengenai boleh tidaknya melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Kedua, jika boleh siapakah yang diperbolehkan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Ketiga, tentang kriteria ayat yang dimasukkan ke dalam kategori ayat-ayat muhkamat dan yang dimasukkan ke dalam katergori ayat-ayat mutasyabihat. Sedangkan untuk melihat historisitas yang dikemukakan oleh para teolog mengenai sifat-sifat Allah, penulis temukan dalam al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani yang banyak memberikan kontribusi lintas interpretasi para teolog dalam menetapkan sifat-sifat Allah, juga dalam kitabnya ia mengklasifikasikan perpecahan aliran-aliran dalam Islam.
Dari beberapa pustaka tersebut di atas, penulis merasa ada sesuatu yang terlewatkan, yaitu mengenai metode ta’wil yang dilakukan oleh ulama salaf. Selama ini hanya disebutkan bahwa orang merujuk pada ulama salaf, tetapi secara khusus belum pernah dibahas bagaimana penafsiran ulama salaf itu sendiri, dan siapa saja yang termasuk ulama salaf . Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk lebih menfokuskan pada penelitian tentang metode ta’wil yang dilakukan ulama salaf.
E. Metode Penelitian
Penelitian pada skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat literer, artinya penelitian ini secara langsung akan didasarkan pada data tertulis yang berbentuk kitab-kitab terutama karya klasik, juga buku-buku yang terkait. Dalam proses pelaksanaannya, sumber data diklasifikasikan dalam dua kategori, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber primer seharusnya adalah karya asli ulama salaf, tetapi karena keterbatasan untuk menjangkau karya-karya mereka, maka penulis mengkaji karya-karya representatif yang memberikan acuan dan mempunyai kontribusi dalam mendeskripsikan pemikiran mereka. Data primer pertama, mengacu kepada karya ulama salaf seperti Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari, alasan dijadikan buku primer karena ia termasuk ulama salaf juga memuat beberapa ta’wil ayat-ayat al-Qur’an dalam bab tafsirnya. Kemudian kitab kedua Idah al-Dalil fi Qat’i Hujaj Ahl al-Ta’til karya Badr al-Din ibn Jama’ah yang memuat ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah beserta ta’wil-nya ulama salaf, kitab ketiganya karya al-Baihaqi yaitu al-Asma wa al-Sifat yang banyak memuat ta’wil-ta’wil ulama salaf juga, kitab keempat Sarih al-Bayan Fi al-Rad Ala Man Khalafa al-Qur’an karya ‘Abdullah al-Harari, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf, juga di dalam kajiannya membahas penetapan ta’wil tafsili ulama salaf. Buku lain tentang Mutasyabih al-Qur’an karya al-Qadi ‘Abd al-Jabbar al-Hamaz\ani yang menghimpun ayat-ayat mutasyabihat dengan beberapa ta’wil-nya. Sedangkan data sekundernya adalah segala sumber tertulis baik kitab, buku, ensiklopedi, jurnal atau tulisan berbentuk artikel yang berkaitan dengan pembahasan, baik mengenai sejarah kajian al-Qur’an maupun metode penta’wilan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan metode deskripsi yang berupaya mendeskripsikan metode pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dan menyusunnya secara sistematis dan logis. Dalam al-Qur’an ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah lebih dari dua puluh ayat disebutkan, tetapi penulis tidak membahas secara keseluruhannya. Dengan segala keterbatasannya untuk menguatkan pendeskripsian ini, penulis menampilkan berbagai contoh yang berkenaan dengan ragam penta’wilan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dalam al-Qur’an dengan tiga makna sifat Allah saja, yaitu makna istawa, al-wajh dan al-yad. Adapun pendekatan sejarah, digunakan dalam rangka menyingkap secara kronologis penafsiran ulama salaf, juga berguna untuk memahami kondisi objektif perkembangan sejarah kajian al-Qur’an di era salaf.
F. Sistematika Pembahasan
Seluruh pembahasan dalam skripsi ini akan penulis paparkan ke dalam beberapa bab agar pembahasan ini teratur, maka sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah untuk memberi penjelasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas periodisasi ulama salaf dan kajiannya dalam ulum al-Qur’an. Bab ini meliputi pengertian salaf secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan pembahasan periodisasi ulama salaf, di mana ulama salaf terbagi kepada tiga masa. Pertama periode sahabat, kedua periode Tabi’in, dan ketiga periode Tabi’ al-Tabi’in, selanjutnya dalam bab ini dijelaskan pula mengenai ulama salaf dalam kajiannya terhadap studi al-Qur’an secara umum guna mengetahui problematika seputar kajian ulum al-Qur’an generasi Islam awal.
Bab ketiga, membahas tinjauan para ulama terhadap kajian ayat-ayat Mutasyabihat. Bab ini meliputi: pengertian Mutasyabihat secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan menjelaskan pengertian ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ayat-ayat sifat Allah dengan maksud agar pembahasan yang terkandung dapat terungkap secara menyeluruh, juga dijelaskan pengertian ayat-ayat tentang sifat, dan pandangan ulama salaf dalam merespon makna ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah. Selanjutnya dalam bab ini dijelaskan pula implikasi pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah terhadap perkembangan firqah-firqah dalam Islam.
Bab keempat, merupakan pembahasan inti yang akan mengkaji ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah dalam konstelasi pemahaman ulama salaf. Pembahasan bagian pertama meliputi metode tafwid, taslim dengan menjelaskan beberapa pengertiannya, dijelaskan pula ungkapan dan penerapan ulama salaf dengan metode tafwid dan taslim dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, dijelaskan pula beberapa contoh dalam tafwid dan taslim.
Bagian kedua masih dalam konstelasi ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat terkait dengan ayat-ayat sifat Allah, dengan membahas metode ta’wil, definisinya dan beberapa contoh ta’wil ayat-ayat mutasyabihat ulama salaf. Bagian ketiga sebagai penegasan kembali dalam penelitian ini, penulis mengkaji relasi antara metode tafwid, taslim dengan ta’wil, dilanjutkan dengan menjelaskan pembagian ta’wil yang dalam hal ini terbagi kepada dua bagian ta’wil ijmali dan ta’wil tafsili, dilanjutkan dengan analisa dan implikasinya dalam konteks penafsiran sebagai catatan akhir penulis.
Bab kelima adalah penutup terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.
BAB II
PERIODISASI ULAMA SALAF
A. Pengertian Salaf secara Etimologi dan Terminologi
1. Pengertian Salaf secara Etimologi
Salaf secara etimologi berasal dari lafaz salafa yaslufu salfan, contoh salafu al-sai (sesuatu yang telah lewat) dengan kata lain Mada artinya yang telah berlalu, seperti salafa fulan seseorang telah berlalu atau juga taqaddama.
Kata salaf juga bermakna al-mutaqaddimu, dengan kata lain mu’tabaran mutaqadiman (orang-orang yang terdahulu yang telah memberikan pelajaran) seperti dalam al-Qur’an:
فجعلنا هم سلفا ومثلا للا خرين ( الزحرف 56)
Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian”.QS. Al-Zuhruf [43]: 56.
Hal senada juga dalam Kamus al-Munawwir, kata “salaf” mengandung arti kullu ma taqaddama min aba’ik (sesuatu yang terdahulu dari nenek moyang, leluhur) yang berarti orang yang lebih dulu, lafaz ini mempunyai lawan kata “khalaf”, sedangkan al-salif merupakan isim fa’il dari salaf yang artinya telah lewat atau yang dahulu atau juga al-mutaqadimu, yang mendahului, juga bermakna lain al-z\ikru yang telah disebut/dikatakan dahulu. Jadi, segala sesuatu apabila dinisbatkan kepada kata”salaf”, maka ia mengandung makna lampau.
Dari pengertian di atas, muncul pula istilah salafiyah yang diturunkan dari akar kata Arab salaf, “mendahului”. Al-Qur’an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu (QS. Al-Maidah [5]: 95, QS. Al-Anfal [8]: 38). Dalam leksikon Arab, salaf adalah leluhur yang saleh (al-salaf al-saleh), dan seorang salafi adalah orang yang mengambil al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber untuk peraturan agama. Istilah salafiyah sering dipertukarkan dengan islah (reformasi) dan tajdid (pembaruan), yang merupakan konsep fundamental bagi pandangan Islam. Namun, bagi sebagian orang, istilah ini berkonotasi reaksi dan kekacauan, akibat dari ketaatan salafiyah yang ketat pada al-Qur’an dan Sunnah serta pengagungannya terhadap masa lalu.
2. Pengertian Salaf secara Terminologi
Sedangkan salaf secara terminologi, mayoritas ulama berpendapat bahwa ulama salaf adalah mereka yang hidup pada tiga abad pertama tahun Hijriyah. Abad pertama disebut periode Sahabat, abad kedua disebut periode Tabi’in, dan periode ketiga disebut Tabi’ al-Tabi’in. Hal ini, didasarkan pada hadis Rasulullah riwayat Muslim, “ Sebaik-baiknya masa (qarn) adalah masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa sesudahnya”. Pendapat yang lebih kuat, satu (qarn) dimaknai dengan 100 tahun. Berdasarkan hadis di atas, yang dimaksud salaf, yaitu ulama yang hidup pada tiga ratus tahun pertama Hijriyah, mereka adalah Ahli fiqih, Ahli hadis, Ahli ilmu ushul, dan Mufassirun. Kemudian ulama pasca tiga ratus tahun pertama Hijriyah dinamakan ”khalaf”.
Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’dullah ibn Jama’ah dalam kitabnya idah al-Dalil senada dengan pendapat di atas. Ia mengatakan, bahwa salaf adalah mereka para ulama yang berkompeten dan mewarisi kebenaran mengenai ilmu-ilmu agama, pengetahuan dan akidah dari Nabi saw. Mereka adalah komunitas ulama yang terpilih pada tiga abad pertama Hijriyah atau sampai pada masa tadwin Hadis resmi. Periode ini, menurut Hasbi Ash-Shidieqi dalam sejarah hadis disebut ”As\r al-Wahyi wa al-Takwin” (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada saat inilah lahir berupa sabda (aqwal), perbuatan (afal), dan penetapan (taqrir) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur’an dalam rangka menegakkan dan membentuk syari’at Islam.
Sedangkan Emad Eldin Shahin berpendapat, bahwa yang disebut generasi salaf masih kontroversial namun, mayoritas ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama Muslim. Hal ini membentang tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi. Sahabat yang berakhir Malik ibn Anas (w. 91 H/710 M atau 93/712) pengikut mereka, Tabi’in (180/796) dan generasi setelahnya, Tabi’ al-Tabi’in (241/855). Ahmad ibn Hanbal (164-241/780-855) dianggap sebagai orang yang terakhir dari generasi salaf. Ketiga generasi ini dipandang tinggi oleh kaum Muslim selanjutnya, atas persahabatan dan kedekatan mereka dengan masa Nabi, juga atas pemahaman serta praktik keislaman mereka yang murni, serta kontribusinya bagi Islam.
Definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini sepenuhnya. salaf tidak terbatas pada kelompok atau era tertentu. Kaum Muslim mengakui para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai generasi salaf, termasuk Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ibn Taimiyah (w. 1328), Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 1350), Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (w. 1792) dan lainnya. Lebih dari itu, pandangan anggota generasi Muslim berubah seiring waktu dalam menanggapi tantangan yang dihadapi oleh komunitas Islam karena dedikasinya bagi reformasi dan kebangkitan terus ada. Tetapi dalam penelitian kali ini, penulis membatasi pembahasan salaf pada ulama generasi tiga abad pertama Hijriyah dengan masa Ahmad ibn Hanbal, al-Qurtubi dan lain-lain sebagai generasi terakhir, maka pada tulisan selanjutnya penulis akan menfokuskan pada tiga abad pertama Hijriyah tersebut.
B. Periodisasi Salaf
1. Periode Sahabat
Periode ini adalah periode seratus tahun pertama Hijriyah, masa ini boleh dikatakan sebagai periode primordial, sebab para sahabat menerima langsung doktrin-doktrin dari Nabi, serta masa pembentukan syariat. Nabi Muhammad merupakan figur sentral yang mempunyai otoritas tunggal dalam masalah keagamaan, para sahabat menerima semua ajaran langsung dari Nabi ”sistem talaqi”, yang mempunyai konsep keagamaan yang sangat mulya dan terpilih sebagai umat yang terbaik.
Pada masa Nabi, nampaknya tidak ada sahabat yang berani menafsirkan al-Qur’an, karena beliau masih berada di tengah-tengah mereka. Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw telah melakukan penafsiran dalam pengertian yang sederhana, yakni memahami dan menjelaskan al-Qur’an kepada para sahabat. Beliau adalah the first interpreter (orang yang pertama menguraikan al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya). Pada masa ini Nabi juga melarang para sahabat untuk menulis selain al-Qur’an karena takut tercampur dengan tulisan-tulisan yang lain. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Muslim:
لا تكتبوا عنى غير القرأن ومن كتب عنى غير ا لقرأن فليمحه (رواه مسلم)
Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hendaklah dihapuskan.(H.R. Muslim).
Nabi menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an dengan bentuk sunnah fi’liyah dan juga dalam bentuk sunnah taqririyah. Salah satu kelebihan tafsir pada masa Nabi, selalu dibantu oleh wahyu, sehingga jika ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait dengan persoalan syari’at, wahyu lain akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi.
Namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh kandungan makna al-Qur’an secara detail sudah dijelaskan oleh Nabi, sebab banyak ayat al-Qur’an yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi sebelum beliau kembali kehariba’an Allah Swt. Dan ini secara tidak langsung merupakan tugas generasi berikutnya untuk memberikan penjelasan dari apa yang mereka pahami mengenai al-Qur’an. Dari kalangan sahabat, orang yang pertama kali berbicara mengenai tafsir adalah Maulana Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Talib (18 SH-40 H). Menurut al-Syarbasyi ia termasuk sahabat yang kompeten dalam bidang ta’wil, sehingga Rasulullah menyebutnya dengan “Madinatu al-ilm”. Ia memahami al-Qur’an yang diturunkan dengan tujuh huruf, dan setiap huruf mempunyai makna yang tersurat dan tersirat. Kemudian ‘Abdullah ibn ‘Abbas (3 SH-68 H) menempati posisi kedua di bidang tafsir setelah ‘Ali ibn Abi Talib dengan mengemukakan hampir separuh hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi. Posisi ketiga adalah ‘Abdullah ibn Mas’ud, ia mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan mufassirin, sehingga ia menempati urutan kedua dalam banyaknya meriwayatkan hadis Nabi. Posisi selanjutnya, Ubai bin Ka’ab salah seorang dari empat sahabat Nabi yang menghimpun ayat-ayat al-Qur’an pada masa Nabi SAW.
Ahli tafsir di kalangan para sahabat yang terkenal luas ada sepuluh orang, empat orang Khulafa al-Rasyidun, yakni Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Us\man bin Affan, dan ‘Ali ibn Abi Talib. Selain mereka terkenal juga nama-nama: ‘Abdullah bin Masud, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin S|abit, Abu Musa Asy’ari dan ‘Abdullah bin Zubair. Di antara empat orang Khulafa al-Rasyidun, yang paling banyak disebut-sebut para ahli riwayat adalah ‘Ali bin Abi Talib. Adapun riwayat tiga orang khalifah lainnya–mengenai soal tafsir–sangat jarang, mungkin karena mereka ia wafat lebih dulu.
Sumber utama penafsiran sahabat adalah al-Qur’an sendiri, al-Qur’an adalah ibarat jalinan kalung di mana yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan menjelaskan. Maka di lingkungan sahabat muncul adagium bahwa al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan. Metode tersebut merupakan satu cara yang ada dalam tafsir bil al-ma’s\ur. Cara yang dipakai dalam metode ini adalah dengan membawa sesuatu ayat yang mutasyabih kepada yang muhkamat, ayat yang mujmal (global) kepada sesuatu yang mubayyan (rinci), yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang am kepada yang khas untuk mendapatkan penjelasannya.
Penafsiran ini cukup kompeten, terlebih mereka ketika menta’wil ayat-ayat mutasyabihat dengan membawanya kepada yang muhkamat. Di antara tokoh-tokoh mufassir masa sahabat, adalah ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau yang populer dengan Ibnu ‘Abbas ia dikenal sebagai salah seorang sahabat yang ahli di bidang tafsir al-Qur’an. Tidak berlebihan jika kemudian ia diberi gelar tarjuman al-Qur’an atau penafsir al-Qur’an. Selain kedalamannya dalam ilmu tafsir, ia juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar ilmu tafsir.
Kelebihan lain ‘Abdullah ibnu ‘Abbas, yaitu keahliannya dalam mengetahui berbagai makna-makna kata dalam al-Qur’an, yang oleh ibnu ‘Abbas berhasil dilacak pemakainnya hingga pada puisi-puisi pra Islam. Ibnu ‘Abbas juga menguasai ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu bahasa, fiqih, sya’ir, sejarah orang-orang Arab dan ilmu Hadis. Di lingkungan para sahabat sendiri, ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam memahami al-Qur’an, mereka selalu mencari dan bertanya kepadanya.
Jadi, kemampuan Ibnu ‘Abbas dalam penafsiran al-Qur’an tidak diragukan lagi. Kemampuan beliau dalam menafsirkan al-Qur’an diyakini merupakan berkah atas do’a yang dipanjatkan oleh Rasulullah untuknya:”semoga Ibnu ‘Abbas menjadi ahli agama, pandai dalam menta’wil al-Qur’an dan menjadi hamba yang shaleh”. , sehingga penafsiran Ibnu ‘Abbas menjadi sebuah tafsir yang cukup representatif dan menjadi rujukan bagi para sahabat waktu itu, juga para ulama tafsir berikutnya.
Akan tetapi banyak orang melebihkan periwayat mengenai Ibn ‘Abbas, sementara di sisi lain ada di antara mereka yang merendahkan dan meremehkan ucapan-ucapannya, sehingga Imam Syafi’i sendiri mengatakan: “Tafsir yang benar dari Ibn ‘Abbas hanya setara seratus hadis”.
Di luar sepuluh orang tersebut di atas, terdapat nama-nama lain di kalangan para sahabat Nabi yang turut ambil bagian dalam penafsiran al-Qur’an, mereka adalah Abu Hurairah, Anas ibn Malik, ‘Abdullah bin Umar, Jabir bin ‘Abdullah dan Ummul-Mu’minin A, riwayat-riwayat tentang penafsiran Ibn ‘Abbas sendiri telah disusun oleh Abu Tahir ibn Ya’qub al-Fairuz Adi. Ia telah berhasil menghimpun atau mengumpulkan dan melakukan sistematika terhadap tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas dengan judul “Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas” dengan metode tafsir periwayatan.
2. Periode Tabi’in
Pasca sahabat, penafsiran terus berlangsung pada generasi setelahnya, yaitu generasi Tabi’in yang notabene murid-murid sahabat Nabi banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Kebanyakan mereka terkonsentrasi di kota-kota, di mana sahabat-sahabat tersebut bertempat. Seperti Said ibn Jubair, Mujahid ibn Jabir dan Ikrimah yang berada di Makkah karena berguru kepada sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang berada di sana.
Di Madinah ada Muhammad ibn Ka’ab dan Zaid ibn Aslam yang berguru kepada sahabat Ubay ibn Ka’ab. Sementara di Irak ada al-Hasan al-Basri dan Amir al-Salabi yang berguru kepada sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud. Gabungan antara penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan Tabi’in inilah yang kemudian dikenal atau dikelompokkan sebagai tafsir bi al-Ma’s\ur.
Mengenai mereka di atas, Ibn Taimiyah mengatakan: “yang paling banyak mengetahui soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu sahabat-sahabat Ibn ‘Abbas, seperti: Mujahid, ‘Ata bin Abi Rayyah, Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas, Said ibn Jubair, Tawus dan lain-lain. Demikian juga mereka yang berada di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-sahabat ‘Abdullah ibn Mas’ud. Sedangkan di Madinah, seperti Zaid ibn Aslam yang menurunkan ilmunya kepada anaknya sendiri, ‘Abdurrahman ibn Zaid dan kepada muridnya, yaitu Malik ibn Anas” .
Adapun di kalangan generasi Tabi’in menurut Ahmad al-Syirbasyi muncul beberapa ulama ahli tafsir, lalu mereka banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW dalam penafsiran al-Qur’an. Di antara mereka adalah: Al-Dahak ibn Muzalim (w. 120 H), Atiyah ibn Sa’ad al-Aufi (w. 111 H), Ismail ibn Abd al-Rahman al-Sadi (w. 146 H), Asbat ibn Nasar, Muhammad ibn Said al-Kalabi (w. 146 H), Muhammad ibn Marwan al-Sidi al-Saghir, Muqatil ibn Sulaiman al-Azdi al-Kurasani (w. 150 H), ‘Abu Khalid ‘Abd al-Malik ibn ‘Abd al-Aziz ibn Juraizi, dan lain-lain.
Pada masa Tabi’in telah mulai dilaksanakan kodifikasi kitab tafsir serta pengklasifikasian secara teratur sesuai dengan masa penyusunan. Kitab tafsir pertama ialah tulisan Sa’id ibn Jubair (w. 64 H), setelah itu Abu Muhammad ibn Ismail ibn ‘Abd al-Rahman al-Kufi, yang terkenal dengan nama al-Sidi (w. 127 H). Kemudian tafsirnya Muhammad ibn Sa’id al-Kalbi (w. 146) dengan tafsirnya “al-Kabir”, dan masih banyak lagi karya tafsir yang lahir pada masa Tabi’in.
John Wansbrough seorang pengkaji karya tafsir klasik berpendapat, bahwa sebenarnya berbagai karya tafsir tertulis mulai bermunculan minimal sejak Abad ke-2 H, meskipun sulit dideteksi mengenai jenis tafsir yang berkembang pada masa itu, serta sulit menentukan kitab tafsir mana yang dipandang lebih tua. Dalam hal itu Wansbrough mengkalisifikasikan berbagai kitab tafsir pra-Tabari ke dalam lima jenis (tipe) yaitu: haggadic (naratif) halakhic (legal), masoretic (tekstual), rhetoric (retorika), dan alleggorical (simbolis). Dalam pengklasifikasian ini Wansbrough menggunakan kriteria stylistic (gaya penafsiran) dan functional (kegunaan, fungsi) dari tafsir tersebut yang kemudian dikolaborasikan antara keduanya. Meskipun rentetan kesejarahan (Historical sequence) dari klasifikasi Wansbrough ini masih diperdebatkan secara luas, akan tetapi kategorisasi tersebut menunjukkan suatu bentuk keilmuan yang kuat, fungsional, mempersatukan dan sangat bermanfa’at.
Penelitian Wansbrough hanya mencakup berbagai kitab tafsir sebelum munculnya karya al-Tabari yang disusun abad ke-1 dan ke-2 hijriyah, yang meliputi berbagai karya seperti Tafsir karya Muqatil ibn Sulaiman (w. 767 M), Fada’il al-Qur’an karya Abu Ubaid (w. 838 M), Tafsir karya ‘Abd al-Razzaq Musytabihat al-Qur’an karya al-Kisa’i (w. 804), Tafsir karya Mujahid al-Jabbar, Tafsir karya Sufyan al-S|auri, Ma’ani al-Qur’an karya al-Farra’(w. 822 M), dan Tafsir Khams Mi’ah al-Atil ibn Sulaiman dan lain-lain. Dari berbagai kitab tafsir tersebut, kitab yang termasuk jenis tafsir haggadic (naratif) adalah tafsir al-Qur’an karya Muqatil ibn Sulaiman, di mana tafsir tersebut berusaha memberikan uraian tentang qissah (narasi, cerita) yang secara khusus menekankan aspek hikmah dan etika yang terkandung dalam berbagai cerita tersebut. Sebagai bahan cerita dalam penafsiran diambil dari cerita-cerita rakyat Timur Dekat seperti rakyat Bizantium, Persia, Paris, dan khususnya cerita di lingkup Yahudi Kristen. Dan kitab yang termasuk jenis tafsir halakhic (legal) yaitu tafsir Khams al-Atil ibn Sulaiman di mana tafsir ini berisi berbagai topik seperti keimanan, peribadatan, kasih sayang, puasa, haji, hutang piutang dan lain-lain. Jenis tafsir ini mulai agak rumit dan teknis karena dikembangkan metode untuk menentukan kronologi wahyu Islami serta analisa atas hukum legalnya. Jenis Tafsir ini menjadi pelopor lahirnya al-Tafsir al-Ahkam yang kemudian dikembangkan oleh al-Jassas (w. 981 M) dengan karyanya Ahkam al-Qur’an, kemudian al-Qurtubi (w. 1272 M) dengan karyanya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an.
Kemudian dari jenis tafsir Masoretic (tekstual) meliputi kitab Ma’ani al-Qur’an karya al-Farra’, Fadail al-Qur’an karya Abu Ubaid, Musytabihat al-Qur’an karya al-Kisa’i, dan kitab al-Wujuh al-Naz\air karya Muqatil ibn Sulaiman yang lain. Aktivitas dalam tafsir jenis ini berkutat pada berbagai penjelasan tentang berbagai aspek leksikon dalam ragam bacaan berbagai ayat al-Qur’an. Pada era modern tafsir jenis ini kemudian dikembangkan oleh ‘Ali al-Sabuni dalam karyanya Safwat al-Tafasir. Sedangkan jenis tafsir rhetoric (retorika) terlihat dalam kitab tafsir majaz al-Qur’an karya Abu Ubaidah (w. 824 M) dan ta’wil al-Muskil al-Qur’an karya ibn Qutaibah (w. 889 M) di mana perhatian terpusat pada nilai sastra al-Qur’an yang ditempatkan di luar batas-batas prosa dan puisi Arab. Dan jenis allegorical (metaforis, simbolis) terlihat dalam karya tafsir sufistik karya Sahl al-Tusturi (w. 896 M), di mana jenis tafsir ini mengungkapkan maksud simbolis al-Qur’an yang mengangkat makna zahir dan batin sebuah ayat al-Qur’an.
Dengan munculnya para mufassir pada masa Tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-Qur’an dan Hadis, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang al-Qur’an dan Hadis. Hal ini, karena al-Qur’an sebagai tasyri’ yang pertama telah dibukukan, maka hadispun yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur’an, secara otomatis harus dibukukan pula.
Sehingga pada masa ini pula selain mereka terkonsentrasi pada al-Qur’an dan tafsir, sebagian para Muhaddisun mereka sudah aktif dalam pemeliharaan, penulisan dan pengumpulan Hadis. Kemudian ditingkatkan dengan adanya pen-tadwin-an hadis diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan Syari’at. Hal ini sebagaimana telah dinashkan dalam al-Qur’an:
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحا فظون ( الحجر 9)
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikr (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami ( pulalah) yang memeliharanya.(QS al-Hijr: 9)
3. Periode Tabi’ al-Tabi’in
Periode Tabi’ al-Tabi’in (generasi ketiga Kaum Muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima dari kaum Tabi’in. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur’an yang dikemukakan oleh para ulama terdahulunya (masa sahabat dan Tabi’in) seperti yang dilakukan Sufyan ibn Uyainah, Waki ibn al-Jarrah, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Yazid ibn Harun, ‘Abd al- Hamid dan lain-lain.
Kitab-kitab tafsir yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat-pendapat apa yang dikatakan oleh para sahabat Nabi dan kaum Tabi’in. Di samping itu juga ada yang menafsirkan seluruh isi al-Qur’an, juga yang menafsirkan sebagian saja (satu juz), ada juga yang menafsirkan satu surat bahkan satu atau beberapa ayat khusus, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Semua pendapat dan penafsiran yang dituangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir at-Tabari dalam penafsiran al-Qur’an.
Al-Tabari, dalam kitab tafsirnya menyebutkan beberapa segi tafsir riwayat, ia menyajikan pula sanad-sanad hadis dan menyusunnya secara serasi serta berurutan dan ia mengungkapkan pula tentang ketetapan nas-nas yang diperselisihkan tentang sanadnya. Sedangkan metode yang dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur’an: pertama, Ia memberikan landasan al-Qur’an tentang periwayatan suatu nas dari Nabi dengan mempergunakan bahasa Arab upaya memahami makna suatu kalimat yang tidak ada keterangan tafsirnya dari As\ar (hadis) yang sahih. Syair-syair Arab, kisah israiliyat juga dijadikan pedoman untuk mengukur ketepatan pemahaman mengenai suatu lafaz dalam al-Qur’an dan Hadis. Tetapi ia terikat dengan prinsip-prinsip dasar yang tidak boleh bertentangan dengan hadis mausuq dan sahih. Kedua, ia tidak menggunakan metode makna majazi (metaforis) dan lebih mengutamakan pemahaman makna-makna dari segi pengertian kata-kata (lafaz).
Pasca Tabari, penafsiran al-Qur’an mengalami perkembangan yang cukup pesat yang ditandai dengan munculnya berbagai kitab tafsir seperti Ta’wilat Ahl al-Sunnah karya Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), Bahr al-Ulum karya Abu Lais al-Samarqandi (w. 983 M), dan al-Kasyf al-Bayan an Tafsir al-Qur’an karya S|a’labi (w. 1035 M), di mana mereka merupakan para mufasir abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah yang menunjukan bahwa “tafsir Tradisional” telah terbentuk. Pada masa ini juga mulai terbentuk sub kajian khusus dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan ‘Ulum al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan sebab-sebab pewahyuan atau Asbab al-Nuzul dengan karyanya al-Wahidi (w.1075 M) dan disempurnakan oleh al-Suyuti (w. 1505 M) dalam karyanya Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
Ketika kitab tafsir pada masa Tabi’ al-Tabi’in sudah terkodifikasi, muncul beragam corak penafsiran al-Qur’an dengan berbagai permasalahannnya, hal ini telah mengundang perhatian banyak pengkaji penafsiran untuk menelaah berbagai corak penafsiran tersebut, sehingga muncul pengklasifikasian maz\hab-maz\hab (sekte-sekte) tafsir pada generasi awal (salaf). Abdul Mustaqim merinci sebab-sebab munculnya mazhab-mazhab tafsir, yang secara umum dibagi menjadi dua faktor: pertama, faktor internal (al-awamil al-dakhili), faktor Internal dipicu oleh beberapa sebab: (i) Kondisi objektif teks al-Qur’an yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, karena al-Qur’an mempunyai berbagai versi bacaan yang dikenal sab’atu ahruf. (ii) Kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. Seperti ayat-ayat mutasyabihat yang dita’wil dari berbagai segi sehingga mempunyai banyak arti. (iii) Adanya ambiguitas makna dalam al-Qur’an, yang disebabkan adanya kata-kata musytarak, seperti kata al-Quru (dapat bermakna suci, dan dapat pula haid). Sedangkan faktor eksternal (al-awamil al-kharijiyyah) adalah faktor-faktor yang berada di luar teks al-Qur’an, yaitu kondisi subyektif mufassir, seperti kondisi sosio-kultural, politik, prejudice-prejudice (pra-anggapan) yang melingkupi mufassir (reader).
C. Beberapa Kontribusi Lain Ulama Salaf dalam Studi Al-Qur’an
Karena penelitian ini terkonsentrasi pemahaman ulama salaf pada ayat-ayat mutasyabihat, penulis terlebih dahulu membahas pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat al-Qur’an secara global sebagai kontribusinya dalam penafsiran. Pembahasan pemahaman secara umum ini berkaitan erat dengan pembahasan selanjutnya dan juga sebagai pengantar pada pembahasan ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah yang menjadi fokus penelitian ini. Juga disusun guna mengetahui peran ulama salaf dalam memberikan pondasi dan meletakkan dasar-dasar ilmu al-Qur’an selain seperti ilmu Tafsir, ilmu asbab al-nuzul, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan yang turun di Madinah (Makkiyah dan Madaniyah), ilmu nasikh mansuh, ilmu gharib al-Qur’an (soal-soal yang memerlukan penta’wilan dan penggalian makna) dan ilmu muhkam dan mutasyabih.
Dalam sejarahnya, sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, namun terdapat pula bagian-bagian al-Qur’an yang sulit untuk dipahami. Seperti terdapat ayat-ayat mutasyabihat dan ayat-ayat yang masih samar pengertiannya (al-ghumud) yang disebabkan oleh ke-mujmal-an al-Qur’an, seperti lafaz musytarak (lafaz yang memiliki makna ganda), gharib al-lafzi (lafaz yang masih asing), al-had\f (pembangunan lafaz), ikhtilaf marji al-damir (adanya perbedaan tempat kembalinya yang diakhirkan), dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi pemicu kajian di kalangan ulama salaf, dan tidak mengherankan jika sejumlah pengamat Barat, seperti Welch dan juga Watt memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang tidak mudah untuk dipahami dan diapresiasi. Sehingga menurut mereka, kitab ini dari segi bahasa, gaya, dan aransemen telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka.
Al-Qur’an di samping mengandung pemahaman muhkamat dan mutasyabihat, juga melahirkan berbagai konsep kajian ilmu al-Qur’an yang sangat luas. Ulama salaf banyak melahirkan kajian al-Qur’an, seperti sahabat Us\man ibn ‘Affan pertama kali memerintahkan reproduksi naskah al-Qur’an meletakkan dasar yang kemudian terkenal dengan nama ‘ilmu rasm al-Quran atau juga ilmu rasm al-Usmani. Kemudian ‘Ali ibn Talib memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali (wafat tahun 69 H ) untuk meletakkan kaidah pramasastra bahasa Arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini ‘Ali ibn Talib adalah sahabat yang meletakkan dasar ilmu i’rab al-Qur’an.
Pada perkembangan selanjutnya, pada abad ke-3 H: ‘Ali al-Madani, guru Imam al-Bukhari menulis kitab tentang asbab al-nuzul. Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam menulis tentang nasikh mansukh qira’at dan fadail al-Qur’an. Muhammad ibn Ayyub al-Darwis (w. 294 H) menulis kandungan ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah, juga Muhammad ibn Khalaf ibn Murzaban (w. 309 H) menulis kitab al-Hawi fi Ulum al-Qur’an.
Sedangkan secara sekilas, pada Abad ke-4 H: Abu Bakar ibn Qasim al-Anbari (w. 328 H) menulis kitab Aja’ib ulum al-Qur’an. Dalam kitabnya ia berbicara tentang keutamaan dan keistimewaan al-Qur’an, tentang turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf, penulis mushaf, jumlah surat, ayat dan lafaznya. Kemudian Abu Hasan al-Asy’ari menulis kitab al-Mukhtazan fi ‘Ulum al-Qur’an (yang tersimpan dalam al-Qur’an). Abu Bakar al-Sajistani menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur’an. Abu Muhammad ‘Ali al-Kurkhi (w. 360 H) menulis kitab Naqat al-Qur’an al-Dalah ala al-Bayan fi Anwa al-’Ulum wa al-Ahkam al-Munabi’ah al-Ikhtilaf al-Anam (Titik-titik al-Qur’an Menunjukan Kejelasan tentang Berbagai Ilmu dan Hukum yang Memberitahukan Perbedaan Pikiran Insan). Kemudian Muhammad Ibn ‘Ali al-Afdawi (w. 388 H) menulis kitab terdiri dari 20 jilid berjudul al-Istigna Fi Ulum al-Qur’an (Kebutuhan akan al-Qur’an).
Pada periode ini juga bermunculan berbagai tafsir dari berbagai kalangan seperti kalangan Syi’ah, Sunni dan Mu’tazilah. Dari kalangan Syi’ah muncul berbagai kitab tafsir seperti Tafsir al-Qur’an karya ‘Ali Ibn Ibrahim al-Qummi (w. 939 M), al-Tibyan Fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn Hasan al-Tusi(w. 1067 M), dan sebuah kitab tafsir yang dapat disejajarkan dengan karya al-Tabari karena banyaknya informasi yang ditunjukkan, yaitu Majma’ al-Bayan Li’ulum al-Qur’an karya Abu ‘Ali al-Tabarsi (w. 1153 M). Semua kitab tafsir di atas berasal dari kalangan Syi’ah Dua Belas (asna ‘asyriyah), sedangkan dari kalangan Syi’ah Isma’iliyah muncul kitab tafsir seperti Mizan al-Tasnim karya Ismail Ibn Hibat Allah (w. 1768 M). Berbagai kitab tafsir dari kalangan Syi’ah ini menggunakan pendekatan alegoris yang selaras dengan tafsir sufistik.
Dari kalangan Sunni muncul berbagai kitab tafsir seperti Mafatih al-Ghaib atau disebut pula al-Tafsir al-Kabir karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) yang sarat dengan pembahasan teologis dan filosofis, dan Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Nasr al-Din al-Baidawi (w. 1291 M) yang merupakan penafsiran teologis dan karya tafsir terbaik dari masa sebelumnya di kalangan Sunni. Sedangkan dari kalangan Mu’tazilah muncul kitab tafsir al-Kasysyaf al-Haqa’iq Gawamid al-Tanzil karya Abu al-Qasim al-Zamakhsari (w. 1143 M) yang merupakan puncak tafsir rasionalistik teologi Mu’tazilah. Dalam kitabnya, al-Zamakhsyari berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan menafsirkan ilmu ketatabahasaan, leksikografi, penilaian yang logis dan pendekatan filologi bahasa Arab.
Bersamaan dengan itu muncul pula berbagai kitab tafsir ensiklopedis sebagaimana yang dirintis al-Tabari seperti Tafsir al-Qur’an al-Azim karya ibn Kas\ir (w. 1373 M), Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1839 M), Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi (w. 1854 M), dan Tafsir Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahali (w. 1459 M) dan Jalal al-Din al-Suyuti (w. 1505 M). Dalam periode ini juga muncul tafsir Sufi yang terkait dengan tafsir di kalangan Syi’ah tetapi berbeda, seperti Haqa’iq al-Tafsir karya Abu ‘Ubaid al-Rahman al-Sulaimi (w. 1012 M). Dan tafsir Ibn ‘Arabi yang pada awalnya ditulis oleh ‘Abd al-Razzaq al-Kasyani (w. 1330 M) tapi kemudian secara keliru dinisbatkan pada gurunya Ibn ‘Arabi. Dalam hal ini masih banyak ulama lain yang tidak penulis sebutkan dari abad ke-5 hingga seterusnya yang melahirkan berbagai ilmu sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an.
Melihat dari berbagai karya ulama salaf yang begitu dominan terhadap kajian al-Qur’an, menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap al-Qur’an tidak terfokus kepada satu kajian saja, tetapi kepada seluruh cakupan makna yang terkandung dalam al-Qur’an yang sangat luas dan memiliki kemungkinan multi interpretasi. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Qur’an sebagai “mitra dialog” dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradabannya. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sesungguhnya pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran, seperti halnya dalam sejarah penafsiran dan pemahaman al-Qur’an masa salaf.
Menurut Komaruddin Hidayat, teks al-Qur’an dengan kehadirannya di tengah umat Islam khususnya melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti, bahkan gelombang geraknya semakin membesar, yaitu sebuah gerak sentripetal dan sentrifugal. Gerak sentrifugal dimaksud adalah karena teks-teks al-Qur’an itu ternyata mempunyai dorongan yang sangat kuat bagi umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya yang untuk selanjutnya terjadilah pengembaraan intelektual karena dorongan al-Qur’an tersebut. Sedangkan maksud gerak sentripetal adalah seluruh wacana Islam yang telah berlangsung belasan abad melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar mengenai berbagai bidang persoalan hidup yang sekular.
Dari perkembangan kajian al-Qur’an sejak periode salaf hingga kontemporer sekarang ini, dapat disimpulkan bahwa kajian al-Qur’an mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis serta telah melewati berbagai zaman, tempat dan generasi pemikiran. Meskipun pemaparan perkembangan sejarah al-Qur’an di atas sangat terbatas dan dikhususkan dalam lingkup para intelektual generasi awal–dan itupun belum cukup semua perkembangan yang ada–namun hal ini menurut penulis sudah cukup membuktikan bahwa kajian al-Qur’an tidak pernah “mati” dan usang dalam perkembangan zaman. Dari berbagai perkembangan kajian al-Qur’an dalam lintas sejarah tersebut, bukan berarti lepas dari berbagai problem yang cukup menarik dan menantang untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut.
BAB III
PANDANGAN ULAMA TERHADAP
AYAT-AYAT MUTASYABIHAbihat secara Etimologi dan Terminologi
1. Pengertian Mutasyabihat secara Etimologi
Mutasyabihat adalah bentuk isim fi’il, berasal dari kata tasyabaha, akar katanya syabiha ditambah dengan huruf ta sebelum fa fi’il, alif setelah fa al-fi’il dan tad’if pada ain al-fi’il, yang berarti samar atau tidak jelas.
Para ahli bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan persekutuan dalam persamaan yang menyebabkan keruwetan dan kekacauan. Dikatakan tasyabah dan isti’abah atau menyerupai sesuatu dengan yang lain sehingga menjadi samar.
Kata mutasyabih bisa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syibhah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
2. Pengertian Mutasyabihat secara Terminologi
Istilah mutasyabihat sebagai lawan kata muhkamat dalam khazanah ilmu tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an, muncul sebagai interpretasi atas Firman Allah pada QS. Al-Imran [3]: 7:
هو الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخرمتشابهات .
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. QS. Ali-Imran [3]: 7.
Secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan mutasyabihat. Al-Suyuti misalnya telah mengemukakan 18 definisi atas makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi pula yang sebagian dikutip dari al-Suyuti. Di antara pendapat yang dikemukakan al-Zarqani ialah sebagai berikut:
1. Mutasyabihat ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya.
2. Mutasyabihat ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna ta’wil.
3. Mutasyabihat ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya.
4. Mutasyabihat ialah ayat yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan, kadang-kadang diterangkan dengan ayat-ayat atau keterangan yang lain karena terjadinya perbedaan dalam menta’wilnya.
5. Mutasyabihat ialah ayat yang seharusnya tidak dijangkau dari segi bahasa, kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya, sepeti lafaz mustarak yang masuk dalam pengertian ini.
6. Mutasyabihat ialah ayat yang terdiri dari isim (kata-kata benda), musytarak dan lafaz-lafaz mubhamat (samar-samar).
7. Mutasyabihat ialah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafaz mujmal muawwal yang muskil. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Razi.
‘Abdullah al-Harari (selanjutnya disebut al-Harari) mengemukakan bahwa mutasyabihat secara terminologi ialah dalil-dalil yang pengertiannya belum jelas, serta membutuhkan pemahaman bahasa arab secara mendalam dan juga membutuhkan pengertian makna yang dimaksud dalam pandangan yang khusus serta penalaran makna yang mendalam, dan tidak semua manusia bisa memberikan pembacaan dan penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut. Seperti dalam QS. Taha [20]: 5, lafaz “istawa ”dimaknai dengan “al-qahr” dan “al-Istila”(menguasai dan menundukan).
Masih menurut al-Harari sebagaimana pemahaman ulama salaf, penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna “zahir”ayat tersebut, sehingga metode penafsiran dan pemahaman yang diterapkan ulama salaf terhadap ayat-ayat sifat dengan menggunakan metode ta’wil tafsili dengan mengalihkan makna tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat keagungan yang dimiliki Allah dan tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya.
Dengan kata lain pengertian mutasyabihat adalah nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu makna dan tidak dimaknai secara “zahir” (makna tekstual), karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Akan tetapi wajib dikembalikan maknanya kepada Allah, berbeda dengan ayat-ayat muhkamat yang maknanya sesuai dengan makna zahir, sehingga ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan maknanya kepada Allah untuk menghindari penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya (tasybih)”ليس كمثله شيئ “.
Menurut pemahaman ulama salaf (baca: Ibn ‘Abbas), ayat mengenai”istawa” tidak ditafsirkan “duduk” (jalasa) atau bersemayam dan berada di atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya, tidak pula diartikan Allah duduk dengan makna lain, karena ulama salaf berpendapat, bahwa segala sesuatu yang duduk dan bersemayam termasuk khusus sifat benda. Lafaz istawa, dita’wil ibn ‘Abbas dengan saida amruhu (naik akan perintah-Nya).
Menurut al-Fayyumi, kata istawa dalam bahasa Arab mempunyai lima belas makna, dengan demikian kata istawa dalam al-Qur’an di-ta’wil dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muhkamat. Dari lima belas makna ini yang selaras dengan sifat Allah adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Sebagaimana interpretasi Imam ‘Ali RA dalam memaknai lafaz istawa dengan mengatakan: ”Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” .
Penafsiran Qahara (menundukan dan menguasai) dari lafaz istawa adalah pendapat ulama salaf dan khalaf. Penetapan makna ini (qahara) oleh ulama salaf dinilai sesuai dengan sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak menginterpretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak terjebak pada paham Antropomorfisme.
Pengertian lain tentang ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang dapat mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, keluarnya dajjal, tentang surga, neraka dan lain-lain.
Terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat-sifat Allah, para mufassir Salaf meletakkan pentingnya metode ta’wil ijmali yaitu dengan memberi ungkapanيليق به تعالى (dengan pemberian makna yang sesuai dengan keagungan-Nya) sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Namun, di sisi lain ulama salaf juga menggunakan metode ta’wil tafsili yaitu dengan menentukan makna yang sesuai keagungan Allah. Adapun makna ayat-ayat mutasyabihat “yang tidak dapat dipahami” ialah dalam perkara-perkara yang dirahasiakan Allah, seperti kejadian hari kiamat, huruf muqata’ah dan lainnya.
Adapun ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, bukanlah termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang maknanya dirahasiakan Allah. Menurut ulama salaf, tidak logis jika sifat-sifat Allah hanya diketahui Allah semata, padahal fungsi Nabi diutus untuk memberikan keterangan dan pemahaman tentang hal yang tidak diketahui umatnya mengenai al-Qur’an tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur’an, bahwa kitab ini diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.
Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian mutasyabihat dan penerapan ulama terhadap ta’wil, diketahui bahwa ta’wil sudah berkembang sejak masa sahabat, seperti yang dipraktikkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Abbas, hal ini sesuai dengan do’a Nabi atas ‘Abdullah ibn ‘Abbas “) “اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويلYa Allah pandaikanlah dia dalam urusan agama dan ajarilah dia tentang ta’wil). Karena inilah ibn ‘Abbas dikenal sebagai sahabat pertama dalam hal ta’wil dan dia sendiri mengomentari dirinya dengan:”انا من الرا سخين في العلم”. Karakteristik dan aplikasinya dalam penafsiran diikuti oleh generasi-generasi setelahnya.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ayat-ayat Mutasyabihat Tentang Sifat Allah.
Dalam al-Qur’an atau Hadis banyak nas-nas yang mengandung pengertian sifat-sifat Tuhan, seperti lafaz “al-wajh” disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua belas kali. Penyebutan kenyataan bahwa “Dia berbicara/ mengatakan….”muncul lebih dari lima kali, penyebutan bahwa seseorang atau sesuatu “berada dalam pengawasan-Nya” terjadi sebanyak lima kali. Allah sebagai Sami (Maha Mendengar) disebutkan lebih dari empat puluh kali dan Basir (Maha Melihat) juga lebih dari empat puluh kali. Wajah orang-orang yang takwa akan memperoleh kebahagian karena dapat memandang-Nya di akhirat kelak. Seringnya penyebutan ini mengangkat makna penting subyek, dan ungkapan-ungkapan seperti ini memperteguh keberadaan sifat-sifat itu pada Dzat Allah.
Kajian mengenai ayat-ayat sifat Allah, baik yang lahir dari ayat-ayat muhkamat maupun mutasyabihat, selalu menjadi perdebatan oleh para teolog (Mu’tazilah, Musyabbihah, Ahlussunnah) dalam memahami sifat Allah pada ayat-ayat tentang sifat tersebut. Mayoritas ulama mempertahankan keabsolutan sifat-sifat qadim Allah, seperti Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak, Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Maha Menerima pujian, Maha Pemberi, Maha Pemurah, dan Maha gagah. Sedangkan pada bagian lain tidak menetapkan pemahaman tentang sifat sebagaimana makna literal dalam ayat-ayat sifat Tuhan, seperti “dua tangan dan “wajah”. Dari sinilah lahir pembahasan terhadap ayat-ayat Mutasyabihat tentang sifat, seperti ketika mengatakan bahwa tangan Allah ada di atas tangan orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad SAW, secara literal ayat ini bermakna bahwa Tuhan mempunyai tangan, padahal mustahil Tuhan mempunyai tangan. Interpretasi yang diberikan ulama Salaf bukanlah dengan tangan seperti makna literal lafaz “al-yad”, tetapi lafaz “al-yad”di-ta’wil dengan perjanjian atau kekuasaan yang harus disikapi sebagai kepatuhan kepada Tuhan, dan akan sangat logis bila lafaz “al-yad” mempunyai makna yang sifatnya transendental. Seperti juga lafaz “istawa”, secara lahiriyah ia bermakna “bersemayam”, ulama Salaf melakukan ta’wil guna memahami kandungan ayat tersebut. Di sini, lafaz “istawa” dita’wil sebagai sifat kekuasaan-Nya.
Selanjutnya, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani memberikan pengertian terhadap makna “al-Sifat”, adalah sifat yang wajib adanya bagi Tuhan, seperti kalangan ulama salaf mereka menetapkan adanya sifat Allah yang azali dari sifat: “al-Ilm, al-qudrah, al-Hayat, al-Iradah, al-Sama, al-Basar, al-Kalam, al-Jalal, al-Ikram, al-Jad, al-In’am, al-Izzah, al-Uzmah”. Mereka juga tidak membedakan antara sifat-sifat zat (esensi) dan sifat-sifat al-fi’il (operatif), tetapi mereka menempuhnya dengan cara yang sama, begitu juga menetapkan “al-sifat al-Khabariyah” seperti lafaz”al-Yadain” dan “al-Wajh”. Dengan hal ini mereka sebagian tidak merincinya, tetapi menetapkan sesuatu yang tersirat dalam al-Qur’an, dan mereka menyebutnya sebagai sifat-sifat yang diwahyukan atau dinamakan sebagai “al-sifat al-khabariyyah”.
Penyerupaan Allah dengan mahluk sebenarnya sudah tertolak dengan penolakan pengertian adanya anggota badan bagi Allah dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung pengertian sifat Allah, sedangkan yang menjadi dasar pendapat para teolog tersebut biasanya dikutip saat menolak pendapat kaum Antropomorfis.
ليس كمثله شئ وهو السميع البصير ( الشورى 11)
Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al-Syura:11).
Ayat di atas merangkum semua isu sentral yang banyak dibahas dalam karya-karya teologi Islam.”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” menetapkan Allah sebagai yang Unik dan berada dari semua mahluk.” Dia bukanlah sebuah substansi (jawhar), kesatuan unsur (jism), atau aksiden (arad), tidak bertempat, atau berada dalam waktu. Dia-lah yang Awal dan tak ada sesuatu sebelum Dia yang Akhir dan tak ada sesuatu yang bisa dikatakan muncul setelah Dia”. Ungkapan ini seperti dikatakan sayf al-Din al-Amidi (w.631 H) dalam bab tentang penolakan atas Antropomorfisme, ibtal al-tasybih dalam bukunya Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam. Jisim, jawhar dan ard adalah tiga bagian wujud yang diciptakan oleh Allah, ketiganya bersifat baru (muhdas\at), sehingga mustahil Allah menyerupai ketiganya.
Pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat sifat cukup beragam. Secara garis besar interpretasi menyikapi sifat-sifat Allah terbagi dalam tiga pemahaman dengan tiga golongan yang mewakilinya. Yaitu:
1. Komunitas yang menolak sifat-sifat Allah, nafi al-sifat, atas dasar bahwa sifat-sifat itu akan mengurangi keesaan-Nya. Inilah pendapat kaum Mu’tazilah yang oleh para penentangnya dijuluki sebagai ta’til.
2. Pendapat kaum Antropomorfis yang terkenal sebagai tasbih/tajsim.
3. Pendapat orang-orang yang mengambil jalan tengah yang diwakili oleh ahl al-Hadis (yakni mereka yang menjadikan Hadis Nabi sebagai dasar argumen) dan kaum Asy’ariyah.
Kaum Antropomorfis memaknai ayat-ayat sifat secara literal sebagaimana adanya, seperti sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat merupakan dua sifat yang bisa membawa kepada paham Antropomorfisme. Kaum Mu’tazilah menolak sifat-sifat (nafi al-Sifat), dan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang selain esensinya, dan bahwa al-Sami’ dan al-Basir merupakan nama-nama Allah seperti halnya al-Rahman dan al-Rahim.. Kaum Asy’ariyah menegaskan adanya keberadaan sifat-sifat, dan berbeda dengan pendapat kaum Antropomorfisme, mereka tetap berada dalam prinsip”tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuknya saja, dan bukanlah seperti sifat mahluk-mahluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan mereka.
Sedangkan mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan Wajah Allah, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Wajah Allah mengandung arti Allah sendiri (berbeda dengan Antropomorfis yang menyatakan sebagai wajah fisik Tuhan), mengingat sudah lazim dalam bahasa Arab penggunaan kata “wajah” dengan maksud orang yang bersangkutan. Sebaliknya, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki wajah, bahwa wajah-Nya, merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan esensi-Nya, sifat Dzat. Berdasarkan prinsip tanzih/mukhalafat li al-Hawadis\ bahwa “tidak ada sesuatu yang berlaku bagi mahluk yang boleh dinisbatkan kepada Allah dalam pengertian yang sama. Kaum Asy’ariyah, berbeda dengan kaum Mu’tazilah menganggap bahwa mereka tidak menyimpangkan makna dalam ungkapan al-Qur’an, sehingga juga tidak seperti kaum Musyabbihah, mereka tidak terjerumus ke dalam bahaya antropomorfisme.
Asy’ariyah dalam memberikan interpretasi menyimpulkan pendapat ahl al-Hadis yang menyatakan: “Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini kecuali apa yang telah difirmankan Allah yang Maha kuasa dan apa yang disabdakan oleh Nabi, karena itu kami katakan: Dia betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan perinciannya”.
Dari beberapa pernyataan tentang sifat Tuhan dan interpretasinya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, peneliti merangkum, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang mutasyabihat mempunyai paham terhadap adanya sifat Tuhan, seperti Ahlusunnah secara umum percaya kepada adanya sifat-sifat Tuhan tanpa merinci bagaimana, dan pendapat kaum Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij yang menolak sifat-sifat Tuhan. Pemahaman ketiga golongan tersebut berbeda antar satu golongan dengan golongan yang lain, tergantung pembacaan mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis.
C. Pengaruh Mutasyabih At al-Sifat terhadap Perkembangan Firqah-firqah dalam Islam
Pemahaman yang beragam pada ayat-ayat sifat merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam Islam, di samping pertikaian yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah ‘Us\man ibn ‘Affan yang berujung pada pada pertikaian antara Muawiyah dan ‘Ali ibn Abi Talib. Perpecahan itu memunculkan firqah-firqah dalam sejarah Islam. Muncul pertentangan dan perdebatan di antaranya: Mu’tazilah dengan konsepnya peniadaaan sifat-sifat Tuhan. Dengan mempertahankan satu atribut tentang kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah Maha Esa dan Maha adil. Dalam usaha memurnikan paham keesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat banyak unsur, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang melekat kepada zat. Dan bila Tuhan dikatakan mempunyai 20 sifat, maka Tuhan akan tersusun dari 21 unsur, bila 40 sifat, maka unsur-Nya akan berjumlah 41 dan bila dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadim, sedang menurut Mu’tazilah dalam paham teologi, Qadim itu esa. Apabila Iman dalam ajaran biasa ialah: Tiada Tuhan selain Allah, maka iman dalam bahasa teologi mengambil bentuk: Tiada yang Qadim selain dari Allah. Jika sifat-sifat itu Qadim, maka secara tidak langsung sifat-sifat itu adalah sekutu Allah. Paham ini akan membawa kepada syirik, dan menurutnya syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Tuhan.
Untuk mengatasi paham syirik inilah, maka Wasil mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini tidak berarti bahwa Wasil dan pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan seperti al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir dan sebagainya seperti halnya Ahlussunnah dan Musyabbihah, mereka menerima kebenaran ayat-ayat itu sebagaimana kebenaran seluruh ayat lainnya. Bagi Mu’tazilah, al-Rahman, al-Rahim, al-Qadir, al-Al pemuka kedua Mu’tazilah: Tuhan Maha Tahu dengan pengetahuan dan pengetahuan Tuhan adalah zat-Nya.
Mengenai teks al-Qur’an, menurut Mu’tazilah tidak selamanya mesti dimaknai secara literal. Ayat-ayat al-Qur’an di samping mengandung arti harfiah, juga mengandung arti metaforis. Selanjutnya mereka berkeyakinan bahwa antara pendapat akal yang benar dan wahyu tidak ada pertentangan. Karena, apabila arti secara lafaz ditinggalkan dan diambil arti majazi atau metaforis, maka pertentangan yang ada akan hilang dengan sendirinya. Perumpamaan mereka ditujukan kepada teks al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan dan kursi, sedangkan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai tangan dan kursi, karena Tuhan tidak berbentuk jasmani dan sebagainya. Dengan demikian mereka mengambil arti metaforis, yaitu kekuatan dan kekuasaan. Dari uraian di atas diketahui sebenarnya Mu’tazilah mempraktekan ta’wil, hanya saja cara menjelaskan tentang sifat dan zat berbeda. Praktik penta’wilan mereka adalah dengan pemakaian makna metaforis terhadap ayat-ayat yang ambigu (mutasyabihat).
Ketika pemahaman Mu’tazilah tentang sifat Tuhan sudah terbentuk, muncul kelompok ekstrem dari kalangan Syi’ah, yaitu golongan Muhaddis, golongan Haswiyyah, mengakui paham Antropomorfisme yang merupakan paham yang sangat kontra dengan paham Mu’tazilah. Menurut mereka Tuhan memiliki bentuk dan mempunyai anggota tubuh dan bagian-bagian yang bisa bersifat spritual maupun fisik, sehingga memungkinkan bagi Tuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, turun-naik, tetap atau benar-benar duduk. Hal ini diriwayatkan olah Asy’ari berdasarkan otoritas (informasi berita dari) Muhammad ibn Isa bahwa Mudar, Kuhmus, dan Ahmad al-Hujaimi memperkenalkan kemungkinan manusia menyentuh Tuhan dan menjabat tangan-Nya di dunia maupun di akhirat, asal saja dalam ikhtiar spritual, mereka mencapai sebuah tingkatan kesucian hati yang memadai serta penyatuan yang murni dengan Tuhan. Ka’bi meriwayatkan bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, bahkan dalam kehidupan ini, dan bahwa Tuhan dengan manusia bisa saling menziarahi. Pemahaman-pemahaman yang muncul ini merupakan implikasi dari pemahaman ayat-ayat sifat Tuhan. Lebih ekstrem lagi ketika Dawud al-Jawaribi diberitakan telah mengatakan:
“Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang kelamin wanita atau janggut, tetapi engkau boleh menanyaiku tentang sesuatu yang lain. Ia juga mengatakan Tuhan adalah jisim, daging, dan darah. Dia mempunyai anggota tubuh, seperti dua tangan dan dua kaki, kepala dan lidah, dua mata dan dua telinga, meskipun demikian, Dia adalah sebuah jisim yang berbeda dengan jisim-jisim yang lainnya, daging yang berbeda dengan daging lainnya, dan darah yang berbeda dengan darah lainnya. Demikian pada sifat-sifatnya yang lain. Dia tidak menyerupai mahluk apa pun, demikian pula mahluk tersebut tidak menyerupainya. Ia juga mengatakan Tuhan adalah lembah dari atas hingga dada-Nya, sedangkan sisa dari-Nya adalah tanah juga. Dia memiliki rambut yang panjang, hitam dan ikal”.
Sedangkan mengenai lafaz-lafaz dalam al-Qur’an (mutasyabih ayat al-sifat) seperti istawa (bersemayam), wajh (wajah), yadain (dua tangan), janb (sisi), maji (datang), ityan (datang), fauqiyah (berada di atas) dan sejenisnya dipahami oleh golongan Musyabbihah secara literal, yaitu sebagaimana kata-kata tersebut dipahami ketika digunakan dalam konteks jisim. Demikian pula kata-kata yang ditemukan dalam hadis, seperti surah (bentuk) dalam sabda Nabi “Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan yang Maha pengasih”, Tuhan membentuk tanah liat Adam dengan tangan-Nya selama empat puluh hari”, “Tuhan meletakkan tangan-Nya atau telapak tangan-Nya di bahuku”, “Sampai aku merasakan dinginnya jemari tangan-Nya di bahuku. “Kalimat-kalimat di atas mereka pahami secara literal sebagaimana pemahama mereka tentang jisim.
Al-Syahrastani berpendapat, bahwa interpretasi Musyabbihah telah menciptakan kebohongan dan menghadirkan hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Nabi umumnya hadis-hadis itu diambil dari orang-orang Yahudi, di mana Antropomorfisme dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Mereka lebih jauh mengatakan bahwa kedua mata Tuhan sakit dan para Malaikat datang menghibur-Nya bahwa Dia menangisi banjir Nuh hingga matanya menjadi merah bahwa Arsy di bawah-Nya berbunyi seperti sadel baru di atas unta. Golongan Musyabbihah juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda,” Tuhan menemuiku, berjabat tangan denganku, bergumul denganku, dan meletakkan tangan-Nya di antara pundaku hingga aku merasakan dingin jemari tangan-Nya”.
Doktrin lain dari interpretasi Musyabbihah, mereka berkeyakinan bahwa suku kata, suara dan karakter yang tertulis dari al-Qur’an semua sudah ada sebelumnya (pre-eksis) dan bersifat Qadim-azali. Menurut mereka sebuah ucapan yang tidak tersusun melalui huruf-huruf atau kata-kata tidak bisa dipahami. Untuk mendukung pendapat ini, mereka menggunakan hadis-hadis, misalkan mereka mengutip sebuah sabda bahwa Musa biasa mendengar perkataan-perkataan Allah yang mirip dengan suara rantai yang diseret. Mereka juga mempertahankan bahwa umat Islam terdahulu percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak diciptakan dan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa kitab tersebut diciptakan, berarti ia tidak beriman kepada Allah. Dari beberapa interpretasi ayat-ayat sifat, kaum Musyabbihah memberikan pengaruh sangat signifikan, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat sifat (mutasyabih ayat al-sifat) secara literal lebih dominan dengan dalil dari Hadis yang dijadikan sebagai alat nalar dalam nuansa eksegesisnya.
Hal ini berbeda ini dengan Ahlussunnah (selanjutnya disebut Asy’ariyah) yang menggambarkan manusia mempunyai tingkatan dalam menginterpretasi tentang diri dan penciptanya. Ketika manusia belum mengenal siapa diri dan Tuhannya, tentu dia akan mencoba menginterpretasi secara bertahap. Pertama ia akan mengenal dirinya setelah itu ia akan mencoba mencari siapa pencipta mereka. Setelah melalui perenungan mereka berpendapat bahwa penciptaan dilakukan oleh suatu zat yang di luar dirinya, yang Maha Pengasih, Maha Memberi, Maha kuasa, serta sifat-sifat Maha lainya. Dan zat itu mereka sebut dengan Tuhan. Oleh karena Tuhan (Allah) dapat dikenali dari tindakan-tindakan yang merupakan penjelmaan dari sifatnya sifat-sifat ini tidak dapat ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukkan bahwa Dia Maha Pengasih, Mahakuasa dan Maha Berkehendak.
Oleh karena itu, Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang bisa dikenal dari tindakan-tindakan-Nya: sifat-sifat ini tidak bisa ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan Maha Berkehendak, demikian pula tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan berkehendak. Menurutnya pula, tidak ada perbedaan dalam hal keabsahan mengenai apa yang disimpulkan, apakah ia manifes atau tersembunyi. Lagi pula, “Yang Maha Mengetahui” sebagaimana yang dilekatkan pada Tuhan, pada kenyataanya, tidak memiliki arti selain bahwa Dia memiliki pengetahuan “Yang Mahakuasa” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki kekuasaan “Yang Maha Berkehendak” tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki berkehendak. Dengan demikian, melalui pengetahuan lahirlah keteratuaran dan kesempurnaan melalui kekuasaan, segala sesuatu muncul dan berwujud melalui kehendak, lahirlah ketentuan masa, ukuran dan bentuk. Manakala sifat-sifat ini dianggap berasal dari zat, maka sifat-sifat itu tidak dapat dipertimbangkan, kecuali apabila dikatakan bahwa zat tersebut ” hidup” dengan “kehidupan”.
Golongan Asy’ariyah merupakan para pengikut Abu Hasan ‘Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, seorang keturunan Abu Musa al-Asy’ari. Abu Hasan mengatakan, bahwa Allah mengetahui dengan pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan melihat dengan penglihatan-Nya. Asy’ariyah berpegangan pada pandangan bahwa setiap maujud dapat dilihat, sebab kemaujudanlah yang membuat sesuatu bisa terlihat. Allah itu maujud. Oleh karena itu, Dia dapat dilihat. Mereka juga mengetahui dari wahyu, bahwa orang-orang yang beriman akan melihat-Nya di hari kemudian sebagaimana firman Allah: “wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan-nyalah mereka melihat” Demikian pula, ayat-ayat dan hadis-hadis yang serupa mengenai melihatnya Allah diinterpretasikan dengan tidak memerlukan arah, tempat, bentuk, atau berhadap-hadapan apakah dengan tabrakan sinar atau kesan, semuanya tidak mungkin.
Ada dua pandangan yang diriwayatkan Asy’ariyah perihal sifat dasar dari penglihatan terhadap Allah. Pertama, pandangan ini merupakan sebuah jenis pengetahuan yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan yang eksis daripada yang non eksis kedua, merupakan sebuah persepsi di luar pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek terhadap benda yang dipersepsikan, tidak pula sebuah efek yang berasal darinya. Asy’ariyah juga mempertahankan bahwa mendengar, melihat adalah dua sifat Allah yang qadim. Tetapi ada juga persepsi yang berada diluar pengetahuan, yang berhubungan dengan objek-objek mereka yang sebenarnya, asal saja objek-objek tersebut eksis.
As’ariyah berpegang bahwa dua tangan dan wajah adalah sifat-sifat yang diberitahukan dari Allah karena, sebagaimana ia jelaskan, wahyu bertutur mengenai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Asy’ariyah mengikuti umat Islam generasi awal (salaf) yang tidak berusaha menafsirkan sifat-sifat tersebut (tafwid, taslim), meskipun, menurut satu pendapat yang diriwayatkan, mereka memperkenalkan penafsiran. Sebagaimana Ahmad ibn Hanbal, Dawud ibn ‘Ali al-Asfahani yang mengikuti para Muhaddis awal, seperti Malik ibn Anas dan Muqatil ibn Sulaiman. Penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan pada ayat yang ambigu mereka katakan:
“Kami beriman dengan segala apa yang diberitakan di dalam Kitab dan sunnah, dan kami tidak mencoba untuk menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak menyerupai mahluk apa pun, dan bahwa semua pencitraan yang kami bentuk mengenai Dia diciptakan oleh-Nya dan dibentuk oleh-Nya. Dan sebaiknya kita katakan sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan, “semuanya berasal dari Tuhan kami” kami beriman dengan apa yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah kami tidak wajib mengetahui sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu dari unsur-unur dasarnya”.
Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, bahwa perbedaan yang terjadi sebagaimana pemaparan di atas merupakan aplikasi pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat sifat, sehingga melahirkan firqah-firqah dalam Islam. Sebagaimana penulis gambarkan, terdapat tiga aliran yang sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman terhadap ayat-ayat sifat, yaitu Mu’tazilah yang berbeda dengan Ahlussunnah dan keduanya berbeda pula dengan Musyabbihah. Pemahaman-pemahaman yang diuraikan di atas, merupakan wacana yang berkembang dalam khazanah keislaman yang sangat mungkin dikritisi lebih lanjut, karena percaturan dalam teologi Islam–terutama dalam kajian ayat-ayat tentang sifat Tuhan–mempunyai banyak masalah yang harus dilihat secara objektif.
Uraian yang dipaparkan penulis di atas merupakan gambaran umum tentang berbagai pemahaman umat Islam dalam menyikapi ayat-ayat sifat Allah yang secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam memahami ayat-ayat tersebut ada perbedaan pendapat apakah akan melakukan ta’wil atau tidak. Dan juga dalam praktik penta’wilan ada beberapa perbedaan antar golongan dengan golongan yang lain. Hal ini berimbas pada produk pemahaman yang dihasilkan. Tetapi walaupun dengan jelas terdapat perbedaan pemahaman, semua golongan mengklaim mewarisi metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat tersebut.
Oleh karena itu pada bab selanjutnya penulis akan mengkaji secara khusus seluk-beluk (konstelasi) ulama salaf dalam mempraktikkan metode tafwid, taslim dan ta’wil yang diaplikasikan dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah.
BAB IV
AYAT-AYAT MUTASYABIHAd dan Taslim
1. Definisi Tafwid dan Taslim
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam Bahasa Inggris, kata ini ditulis method. Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tariqah, al-nizam, al-manhaj atau al-Minhaj. Al-manhaj jamanya dari Manahij yang mempunyai akar kata nahaja, seperti dikatakan nahaja al-tariq (menjelaskan). Dalam bahasa Indonesia, kata metode mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan dan kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan. Pengertian serupa ini juga dijumpai dalam kamus Webster.
Pengertian metode pada umumnya dapat digunakan dalam berbagai objek, baik yang berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut penalaran fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam studi tafsir juga tidak dapat dilepaskan dari metode guna mencapai tujuan dari studi tersebut. Metode dalam studi tafsir dapat didefinisikan dengan suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasulullah.
Adapun istilah metode “tafwid” sering ditemukan dalam istilah bahasa Arab, terutama dalam kajian tafsir dan beberapa disiplin ilmu lain, seperti teologi atau juga ilmu tauhid, tasawuf dan sebagainya. Metode ini, diterapkan ulama salaf dalam mengkaji ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Tuhan. Sebab, inti dari penerapan metode ini sebagai kehati-hatiannya dalam pengaplikasian makna, sehingga metode ini yang paling aman dan bersifat menyerahkan maknanya kepada Tuhan.
Kata tafwid, merupakan bentuk masdar dari kata fawwada yang berarti memberikan kuasa penuh, seperti fawwada ilaih sama dengan atahu tafwidan (memberi kuasa penuh). Lafaz fawwada ilaih juga sama dengan wakkala ilaih (mempercayakan). Lafaz tafwid masdar dari fawwada yaitu fi’il madi yang muta’adi, sedangkan fi’il madi lazim-nya fawada, seperti fawada fi al-amr yang berarti merundingkan. Dengan demikian, makna tafwid ialah pemberian makna kuasa terhadap kekuasaan Tuhan dan mempercayakannya.
Selain tafwid, dalam kajian salaf muncul juga istilah”taslim”, asal kata dari sallama yang merupakan masdar dari fi’il madi yang muta’adi, sedangkan fi’l madi lazim-nya dari salama. seperti salama amruhu ilaih (menyerahkan). Kata “taslim” mempunyai ragam makna, “taslim” bermakna”al-qabul” penerimaan, “taslim” bermakna”al-Iz’an”(sikap) tunduk, patuh, “taslim” bermakan”al-i’tiraf”, pengakuan, “taslim” bermakna “al-munawalah” penyerahan atau penyampaian,”taslim” bermakna “al-tahiyat” penghormatan, atau pemberian hormat. Jadi, kata” taslim” secara etimologi dalam bahasa Arab bermakna penyerahan atau juga penerimaan.
Ulama salaf (seperti ‘Abdullah ibn ‘Abbas, Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal dan lain-lain), ketika mengkaji ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah merinci maknanya. Tetapi, dalam beberapa hal mereka menyerahkan makna (melakukan tafwid) sebagai sikap kehati-hatian, tanpa berusaha memberi makna pada ayat tersebut guna menghindari reduksi keagungan Tuhan. Karena ayat-ayat mutasyabihat secara nalar sulit dipahami (ghair ma’qul al-ma’na,) juga kemungkinan makna ayat tersebut berbeda dengan makna yang tersirat, sehingga mengharuskan untuk dita’wil. Penta’wilan tersebut sudah lazim diterapkan oleh ulama salaf, dalam hal ini dikenal istilah tafwid, taslim dan ta’wil tafsili”.
Istilah Tafwid dan taslim dalam khazanah penafsiran ulama salaf merupakan dua kata yang bersinonim serta didefinisikan dengan definisi yang sama, yaitu mempercayakan sepenuhnya makna ayat-ayat sifat tersebut kepada Tuhan tanpa memberi penjelasan. Jika menghadapi ayat-ayat tersebut, mereka sering memberi ungkapan bila kayf (tanpa deskripsi bagaimana..) sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Metode tafwid dan taslim juga sebagai penolakan terhadap paham tasybih, yang memaknai dan memahami ayat-ayat sifat secara tekstual yang memungkinkan penyikapan sifat Tuhan secara materi.
Metode tafwid dan taslim merupakan aplikasi dari “metode ta’wil ijmali”, yaitu metode yang diterapkan tanpa menentukan makna terhadap ayat-ayat. Ulama salaf menginterpretasikan dengan metode ini secara global terhadap keagungan dan kekuasaan yang dimiliki Allah tanpa memberikan rincian (deskripsi tentang makna). Menurut Ahl hadis (Asy’ariyah), penerimaan seperti ini lebih meyakinkan dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat seperti: “wajah Allah” sebagaimana adanya, yaitu dengan meyakini bahwa wajah merupakan salah satu dari sifat Allah, dan juga menerima ungkapan seperti “tangan-Nya”, “Dia memegang” dan sebagainya. Bagaimanapun menurutnya, apa yang dikatakan mengenai Wajah Allah dalam al-Qur’an adalah sunguh-sungguh layak bagi keagungan-Nya.
2. Ungkapan-ungkapan Tafwid dan Taslim Ulama Salaf
Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa metode tafwid dan taslim adalah sikap dari penetapan ulama Salaf dalam mengkaji ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, yang dalam interpretasinya tidak mengartikan secara metaforis (majazi). Interpretasi yang lahir dari metode ini dengan tidak mengasumsikan bahwa Allah terdiri dari jisim dalam konteks manusia, seperti ungkapan ketika menanyakan bagaimana “istawa-nya” Allah, apakah Ia mempunyai tangan atau terdiri dari benda dan lain-lain. Dalam kajian ulama salaf, pernyataan-pernyataan seperti ini akan membawa kepada paham tasybih, maka metode yang paling aman ketika mengkajinya dengan tafwid dan taslim, dan hal ini, Allah harus disucikan dari sifat-sifat benda.
‘Abdullah ibn ‘Abbas merupakan ulama salaf yang terkemuka. Sebagian besar ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah disikapi dengan penyerahan makna pada Allah, dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat ia selalu memberi pernyataan ” امروها كما جاءت بلا كيف ” (pahamilah ayat-ayat tersebut sebagaimana adanya dan tanpa bagaimana). Karena sudah pasti, bila mengkaji eksistensi Allah, akan menimbulkan prasangka bahwa Allah beranggota badan ”jismiyyah”, berpindah-pindah, bertempat (istawa). Asumsi-asumsi seperti itu, oleh ulama Salaf harus disucikan dengan metode “ta’wil ijmali”, karena dengan sendirinya ketika mereka tidak memberikan makna tentang Allah (eksistensi-Nya), mereka sudah men-ta’wil sesuai dengan atribut yang layak bagi-Nya (tanpa berbicara bagaimana Allah, dimana Allah, juga tanpa memberikan penafsiran tentang Allah yang serupa dengan mahluk-Nya).
Sebagaimana ulama-ulama salaf lainnya dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat, Ahmad ibn Hanbal juga memberi ungkapan jika dihadapkan pada ayat-ayat tersebut, seperti ketika ditanya tentang makna “yanzilu” dalam suatu hadis ” ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا” , ia mengatakan dengan ugkapan tafwidnya “نؤ من بلا كيف ولا معنى “kita mengimaninya tanpa bagaimana Ia (Allah) dan memberikan makna. Ibn Jama’ah menegaskan dalam sebuah penafsirannya, bahwa yang dimaksud “yanzilu rabbuna” adalah dalam konteks rahmat dan ampunan yang dibawa oleh malaikat dengan turun ke bumi dalam sepertiga malam yang diberikan kepada orang-orang yang mengharapkan-Nya.
Ulama salaf (seperti dilakukan ‘Ali ibn Talib, Ibn ‘Abbas, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Mujahid dan para mufassir yang lainnya), lebih menekankan pada metode tafwid dan taslim dalam “membaca”(ta’wil) teks al-Qur’an dan Hadis yang mengandung makna sifat Tuhan seperti lafaz: ”al-wajh, al-yad, al-ain, al-rida, al-ghadab”. Metode tafwid dan taslim merupakan metode yang paling aman dalam menghindari paham Antropomorfisme (tasybih). Tetapi dalam sebagian ayat, metode ta’wil tafsili diterapkan pula oleh ulama salaf dengan mengalihkan makna tekstual kepada makna metaforis yang maknanya tidak menyerupakan Allah dengan mahluk-Nya. Ayat-ayat sifat Allah, tidak diinterpretasikan dalam konteks anggota badan “al-jawarih” dan perbuatan “al-infi’alat”. Begitu juga dalam hal interpretasi sifat, ayat-ayat yang muhkamat menjadi sandaran, seperti ”ليس كمثله شيئ “ . Sehingga, konsistensi ulama salaf dalam mensucikan (ta’wil) sifat Allah tidak menganalogikan sifat-sifat yang dimiliki mahluk-Nya seperti beranggota badan, berpindah-pindah, berubah, bergerak, diam, turun, duduk, bersemayam, mempunyai jarak, menempel, berpisah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa dan sebagainya.
3. Beberapa Contoh Penerapan dalam Tafwid dan Taslim
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, mayoritas ulama salaf tidak menerapkan metode “ta’wil tafsili” dalam menentukan makna yang tersembunyi (esoteris) pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah. Mereka harus berhenti tanpa memberikan makna dengan ungkapan “” امروها كما جاءت بلا كيف (pahamilah dengan tanpa mengungkapkan bagaimana).
Dalam sebuah riwayat al-Baihaqi dari ‘Abdullah, ketika Malik ibn Anas ditanya seseorang mengenai, bagaimana Istiwa-Nya Allah? Maka Anas ibn Malik berdiam sambil tunduk dan mengangkatkan kepalanya dengan mengeluarkan keringat dan berkata:
الرحمن على العر ش استوى كما وصف نفسه ولا يقول كيف وكيف عنه مرفوع وانت رجل سوء صا حب بدعة اخرجوه, قال فاخرج الرجل
Istiwa-Nya Allah “al-Rahman” sebagaimana ia mensifati dirinya dan tidak mengatakan bagaimana dan al-Kaifa / bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi Allah. dan kamu mempunyai niat buruk, keluarkanlah karena telah menanyakan yang bid’ah, maka keluarlah orang tersebut.
Adapun hadis Rasulullah yang mengandung sifat Allah adalah hadis “nuzul ” yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah RA :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا حين يبقى ثلث الليل الاخر يقول : من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فاعطيته ومن يستغفرنى فأغفر له.
Rasulullah SAW telah bersabda ” Tuhan (penuh keberkahan dan maha suci) kita telah turun dalam setiap malam ke (sama al-dunya) langit dunia pada sepertiga malam. Ia berfirman : Barang siapa berdo’a kepadaku maka aku akan kabulkan, dan barang siapa yang meminta kepadaku, maka akan aku berikan, dan barang siapa yang meminta ampun kepadaku, maka akan aku ampuni dosanya.
Ungkapan “tafwid” Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hanbal ketika ditanya tentang hadis di atas, ia menjawab dengan ucapan “ينزل بلا كيف ” (turun-Nya Allah tanpa ungkapan bagaimana) dengan alasan apabila hal ini dimaknai secara literal dengan maksud “al-intiqal” (berpindah-pindah), maka mengindikasikan Allah dengan tempat, dengan serba keterbatasan-Nya dan juga bisa tersentuh antara jarak ketika Ia turun, maka hal ini mustahil menurutnya.
Tafwid dalam kajian tafsir tidak terlepas dari pembahasan teologi yang dideskripsikan ulama salaf merupakan sikaf pensucian (tanjih) terhadap Allah, juga menghindari dari penyerupaan Allah terhadap mahluknya (antropomorfisme) yang lahir dari ayat-ayat Mutasyabihat, karena memberikan makna harfiyahnya adalah hal yang mustahil bagi Allah. Dengan ini mereka mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna yang esoteris dari firman-firman Allah tersebut, dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah. Hal ini, tidak berarti ulama salaf sudah final dalam mengkaji ayat-ayat sifat dengan metode tafwid dan taslim-nya yang hanya menyerahkan maknanya, tetapi di beberapa ayat ulama Salaf telah menerapkan metode ta’wil tafsili dalam memahaminya.
B. Metode Ta’wil
1. Pandangan Ulama terhadap Ta’wil
a. PengertianTa’wil secara Etimologi
Secara etimologi, kata ta’wil merupakan masdar dari awwala yu’awwilu ta’wilan yaitu fi’il madi yang mutaadi. Fiil al-Madi lazim-nya adalah ala yaulu awlan yang berarti raja’a kembali atau mengatur, seperti awwala ilahi al-Syai berarti mengembalikan kepadanya. Ketika fi’il tersebut menjadi muta’adi mengalami pergeseran makna sesuai dengan konteksnya seperti ketika dikatakan awwala al-kalam, ta’wilan, wa ta’awwalah berarti merenungkan, memastikan. Sedangkan dalam kondisi lazim yaitu berupa ala, yaulu, aulan yang berarti kembali.
Hal senada dikatakan oleh Achmad Warson Munawwir yang mengatakan bahwa awwalahu alaih artinya mengembalikan, tetapi jika dikatakan awwala al-kalam berarti menafsirkan dan menjelaskan dan jika dikatakan awwal al-ru’ya berarti menjelaskan arti mimpi. Di sini berarti makna ta’wil sama dengan makna tafsir yang fi’il madinya berupa fassara yaitu penjelasan, komentar atau keterangan.
Sedangkan al-Suyuti ketika menjelaskan makna ta’wil, ia mengatakan bahwa ta’wil berasal dari al-aul yang artinya kembali, maka seakan-akan seseorang memalingkan ayat kepada beberapa makna yang memungkinkan. Dikatakan juga dari al-iyalah yang berarti sama dengan al-siyasah (aturan), maka kalimat kana al-mu’awwil al-kalam sama dengan sasa kalam (mengatur pembicaraan dan meletakan arti pada tempatnya).
Melihat beberapa pendapat yang dijelaskan baik al-Fairuz Adi, al-Suyuti maupun Ahmad warson Munawwir, maka ta’wil secara bahasa mempunyai makna penjelasan atau keterangan.
b. Pengertian Ta’wil secara Terminologi
Secara terminologi, ada bermacam-macam pengertian ta’wil. Al-Zarqani menyatakan bahwa sebagian ulama memahami makna ta’wil sama dengan tafsir, yaitu mengungkapkan makna al-Qur’an dari segi dalalah yang dikehendaki Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Kemudian mereka menunjukkan kesamaan antara makna ta’wil dan makna tafsir, hal ini mereka merujuk ucapan Mujahid “Inna al-Ulama ya’lamu ta’wilah”, yang dimaksud dengan ta’wil di sini adalah tafsirnya. Sedangkan menurut Ibn Jarir al-Tabari” yang dimaksud dengan ahl al-ta’wil adalah ahl al-tafsir”.
Pada perkembangan selanjutnya, Ta’wil yang dikemukakan ulama Mutakhirin yang terdiri Filosuf, Mutakalimin, Ahl Usul dan golongan Sufi, bahwa ta’wil pada dasarnya merupakan memindahkan makna kalam (al-Qur’an) dari tempat semula kepada makna yang lain dengan penetapannya membutuhkan kepada dalil, dan seandainya tidak ada dalil, berarti tidak bisa meninggalkan zahir al-lafaz. Hal ini bisa dilihat dari pengertian yang dikemukakan oleh Ahl Usul di mana mereka memahami makna ta’wil sebagai pengalihan lafaz dari makna yang rajih kepada yang marjuh karena adanya dalil. Sebagaimana Ibn Rusyd dari kalangan filosuf memberi pengertian ta’wil sebagai mengeluarkan lafaz dari dalalah hakiki kepada dalalah majazi. Dari kelompok kaum Sufi memberi pendapat yang serupa mengenai ta’wil sebagai penjelasan makna lafaz dengan jalan isyarah bukan dari ungkapan kalimat. Sedangkan dari komunitas mutakalimin seperti Jahmiyah mengatakan bahwa setiap ayat al-Qur’an mempunyai ta’wil yang menyalahi dalalahnya tetapi tidak ada yang mengetahui ta’wil tersebut kecuali Allah.
Mengenai Taw’il, Ibn Taimiyyah berpendapat, bahwa ta’wil adalah masdar dari awwala yuawwilu ta’wilan seperti kata ta’wil yang berasal dari hawwala yuhawwilu tahwilan, mempunyai bentuk lazim-nya ala yaulu, berarti ada ila kaz\a wa raja’a ilaih artinya kembali. Maka, dari etimologi ini ia memberi pengertian tawil sebagai ma awwala alaih al-Kalam (sesuatu yang seorang mengembalikan pembicaraan kepadanya) yaitu pembicaraan tersebut kembali kepada hakikatnya yang merupakan esensi dari maksud pembicaran. Jika suatu khabar pembicaraan berupa khabari (kalimat berita), maka kepada esensi yang diberitakan pembicaraan tadi kembali dan seandainya pembicaraan itu tidak kembali, berarti tidak mempunyai esensi dari tempat kembali bahkan merupakan kebohongan. Apabila suatu pembicaran berupa talabi (tuntutan), maka kepada hakikat yang dituntut pembicaraan tadi kembali.
Adapun ta’wil dalam arti nafs al-Murad al-Kalam (esensi dari maksud pembicaraan), menurut Ibn Taimiyyah adalah salah satu pengertian ta’wil yang dikemukakan ulama Salaf. Jika al-kalam (pembicaran)itu berupa talabi (tuntutan seperti perintah dan larangan), maka ta’wil-nya adalah esensi perbuatan yang dituntut, dan seandainya kalam itu berupa khabari (kalimat berita), maka ta’wil-nya berupa esensi sesuatu yang diberikan. Sebagai contohnya kalimat tala’at al-syams (matahari telah terbit) maka ta’wil-nya adalah nafs tulu’iha (esensi terbitnya).
Dalam hal ini, Nurcholis Madjid menggaris bawahi pendapat-pendapat di atas dengan menyebut ta’wil sebagai interpretasi metaforis, yaitu pemahaman atau pemberian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber kitab suci (al-Qur’an dan al-sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlukan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi pada makna dalam (batin) yang dikandungnya.
Sedangkan menurut Komaruddin Hidayat, kata ta’wil mengalami perkembangan makna, lebih tepat disejajarkan dengan Hermeneutika, karena mempunyai arti mengembalikan makna teks pada bentuk awal, yang hidup dan dinamis, namun makna itu sekarang telah terwadahi atau bisa terkurung dalam tubuh teks. Dalam memahaminya memerlukan data dan imajinasi konteks sosial serta psikologis baik dari sisi pembicara maupun pendengar. Sedangkan Nasr Hamid Abu zaid menegaskan pengertian ta’wil, adalah kembali pada asal usul sesuatu, apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita. Kembali ke asal usul dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya.
Mengalihkan makna dari makna tekstual, dikenal sebagai salah satu kajian yang istimewa dalam bahasa Arab yang dikenal dengan “Majaz”(metaforis). Jumhur Ulama berpandangan bahwa Majaz termasuk dalam kajian al-Qur’an karena memberikan makna penguat (ta’kid), sedangkan dalam kajian bahasa Arab satu lafaz mempunyai arti yang banyak dan luas, seperti kata“ al-yad ”mempunyai tujuh belas arti di antaranya dengan makna yang lebih spesifik anggota badan dari telapak tangan hingga ke pinggir jari, kemudian arti lain adalah suatu kenikmatan dan kebaikan, kekuasaan, kekuatan, pemerintah, juga makna lain merubah perkara dengan tangan seseorang seperti kerajaan, perjanjian dan lain-lain yang diterapkan sesuai dengan konteksnya. Semua ini adalah sifat ta’wil, yang tugasnya memelihara ruh dari sebuah teks, jangan sampai teks itu berubah menjadi “tubuh mati”sementara ruh yang memberi hidup dan dinamika dari “tubuh teks” telah hilang.
Dari beberapa pengertian ta’wil di atas, secara garis besar ta’wil dapat dikelompokkan dalam tiga macam pengertian. Pertama, ta’wil dalam arti tafsir, yaitu mengungkap makna al-Qur’an secara mufradat dan susunan kalimat baik secara riwayah maupun dirayah. Kedua, ta’wil dalam arti mengalihkan makna hakiki kepada makna majazi. Dan ketiga, ta’wil berarti esensi yang dikehendaki dari suatu pembicaraan. Sedangkan ulama Salaf lebih cenderung kepada term yang kedua dan ketiga, yaitu ta’wil yang berarti esensi dari suatu pembicaraan yang dikehendaki dan ta’wil dalam arti mengalihkan makna hakiki kepada makna majazi.
2. Beberapa Contoh Penerapan Metode Ta’wil Ulama Salaf
a. Makna “ Istawa”.
Dalam al-Qur’an lafaz”Istawa” yang mengandung sifat Allah muncul sebanyak 12 kali, di antaranya: QS. Al-Baqarah [2]: 29, QS. Al-’Araf [7]: 54, QS. Yunus [10]: 3, QS. Al-Ra’d [13]: 2, QS. Taha [20]: 5, QS. Al-Furqan [25]: 59, QS. Al-Qasas [28]: 14, QS.Al-Sajdah [32]: 4, QS. Fussilat [41]: 11, QS. Al-Fath [48]: 29, QS. Al-Najm [53]: 6, QS. Al-Hadid [57]: 4 dan lain-lain.
Ahmad ibn Hanbal (164-241 H), menta’wil QS. Taha [20]: 5:
الرحمن على العرش ا ستوى ( طه, 5 )
(Yaitu) Tuhan yang maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. QS. Taha [20]: 5.
Makna istawa, diinterpretasikan seperti apa yang disiratkan menurut teks tanpa membayangkan unsur-unsur fisik seperti pada mahluk“. Dengan pengertian lain, Ta’wil “ istawa ”dalam hal ini al-Rahman (Allah) tidak disifati dengan bersemayam (yajlis ala al-Arsy), bersentuhan, menempati, berada di atas, berupa fisik, memenuhi Arsy dan duduk bersamanya. Al-Izi ibn Abd al-Salam menggunakan metode tafwid dalam menginterpretasikan makna “istawa ”dengan mengatakan “apa yang difirmankan-Nya tentang istawa tidak ditafsirkan dengan duduk (Ia harus disucikan dari bersentuhan, bersemayam, mempunyai arah, menetap, bertempat, menyatu dengan mahluk, berpindah-pindah), tetapi Ia menguasai ”istawa” dengan kekuasaan-Nya.
Lafaz istawa, apabila diinterpretasikan secara lahiriyah dengan makna bersemayam atau mengambil tempat, maka, eksistensi Allah terdiri dari unsur-unsur material, seperti anggota tubuh yang mempunyai bentuk seperti besar, kecil (al-mahdud). Sedangkan Allah tidak bertempat, sebab yang bertempat itu memiliki bentuk (hal ini mustahil bagi-Nya). Salah satu penerapan metode yang dipakainya untuk menentukan makna ”istawa”adalah dengan metode Ijmali. Malik ibn Anas ketika ditanya seseorang mengenai ayat “istawa” , ia mengatakan ” istawa-Nya seperti sifatnya, tidak dengan mengatakan bagaimana, juga di mana . Di tempat lain Ibn Hajar al-Asqalani men-ta’wil “istawa “dengan menerapkan metode ta’wil tafsili yaitu dengan makna “al-Istila” dan “al-qahr”(menguasai dan menundukkan).
Selanjutnya, al-Qadi ‘Abd al-Jabbar memberikan keterangan (ta’wil) tentang istawa pada ayat:
هو الذ ي خلق لكم ما في الا رض جميعا ثم استوى الى السماء فسواهن .
Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu. QS. Al-Baqarah [2]: 29.
Ta’wil (istawa) berlaku untuk jisim (materi), seperti berdiri, duduk dan juga wajib atas makna yang jisim (materi) akan berpindah (al-intiqal). kata Istawa dalam istilah bahasa Arab beragam dalam makna, tetapi konteks ayat yang dimaksudkan di atas adalah dengan al-istila dan al-Iqtidar (menguasai). Istawa di sini juga di-ta’wil dengan “al-Qasd”. Menurut al-Baihaqi,”al-Qasd”ialah bermaksud kepada penciptaan langit, dan menurutnya ketika membolehkan ta’wil dengan “al-Qasd”, maka boleh juga men-tawilnya dengan makna “al-qudrah”. Sedangkan yang dimaksud dengan ثم استوى الى السماء yaitu naik akan perintahnya ke langit, dan makna فسواهن dengan menciptakan tujuh langit, sebagian yang lain memaknainya dengan ارتفعatau dengan kata lainارتفع أمره (bermaksud kepada perintah-Nya),”al-qasd” juga bermakna “al-iradah”, Ibn Abbas membolehkan ta’wil ini karena sesuai dengan sifat Allah.
Untuk lebih jelas, di antara ulama salaf yang menta’wil lafaz” Istawa” dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No. Nama ulama Letak Surat dan Ayat Ta’wilnya
1. ‘Ali ibn Abi Talib Hadis “Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya”.
2. Ibn ‘Abbas QS. al-Baqarah [2]: 29. Qasada amruhu (bermaksud kepada perintah-Nya).
3. Ahmad ibn Hanbal QS. Taha [20]: 5 (tafwid), tidak memaknai secara literal dengan bersemayam, bersentuhan, menempel, berada di atas, berupa fisik, memenuhi Arsy.
4. Malik ibn Anas QS. Taha [20]: 5 “Istawa” seperi mensifati diri-Nya(tidak mendeskripsikan bagaimana, tidak menyerupakan dengan mahluk-Nya).
5. ‘Abd al-Jabbar QS. al-Baqarah [2]: 29 Al-istila wa al-iqtidar
(menguasai).
6. Abu Mansur al-maturidi QS. Taha [20]: 5. Al-istila wa al-qahr
(menguasai dan menundukan).
7. Al-Baihaqi QS. al-Baqarah [2]: 29 Al-qasd ila al-sama (bermaksud kepada penciptaan langit).
8. Al-Izi ibn abd al-Salam QS. Taha [20]: 5. Membawa Arsy dengan sifat kuasa dan lemah lembut.
9. Ibn Hajar al-Asqalani QS. Taha [20]: 5. Al-Istila dan al-qahr
(menguasai dan menundukan)
10. Al-auza’i, al-Lais, ibn Mubarak QS. Taha [20]: 5. Istawa (tidak menentukan makna menyerahkan apa yang dikehendaki Tuhan).
b. Makna “al-Wajh”.
Dalam al-Qur’an, Lebih dari empat puluh Lafaz “al-wajh” yang di-idafat-kan kepada Allah dan manusia, di antara ayat yang mengandung sifat Allah: QS. Al-Baqarah [2]: 115, QS. Al-Baqarah [2]: 272, QS. Al-An’am [6]: 52, QS. Al-Ra’d [13]: 22, QS. Al-Rum [30]: 37, QS. Al-Rum [30]: 39, QS. Al-Rahman [55]: 27, QS Al-Insan [76]: 9, QS. Al-Baqarah [2]: 112, QS. Al-Nisa [4]: 124, QS. Al-Qasas [28]: 88, QS. Ali-Imran [3]: 20, QS. Al-Qiyamah [75]: 22, QS. Al-Ahzab [33]: 69 dan lain-lain.
Dalam bahasa Arab, pengertian “al-Wajh” mempunyai makna yang cukup luas dan beragam. Di antaranya al- Wajh bermakna rida (al-Rida), al-Wajh bermakna kerajaan atau kekuasaan (al-Mulk), al-Wajh bermakna Qiblat (al-Qiblah), al-Wajh dalam makna ta’at (at-Ta’ah), juga termasuk al-Wajh dalam pengertian bagian anggota tubuh, muka (al-Jarihah).
Al-Bukhari, menta’wil QS. Al-Qasas [28]: 88 mengenai “al-wajh”:
ولا تدع مع الله الها اخر لااله الا هو كل شيئ هالك الا وجهه له الحكم واليه ترجعون .
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali. QS. Al-Qasas[28]: 88.
Lafaz al-wajh dita’wilnya dengan “al-mulk”(kekuasaan atau kerajaan).
Adapun ayat dalam konteks ta’at dan do’a dengan segala kepatuhan, ketundukan dan penyerahan diri terhadap-Nya :
ولا تطر د الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaannya. QS. Al-An’am [6]: 52.
Al-Qurtubi (w. 276) menta’wil lafaz “al-Wajh” dengan keta’atan dan keikhlasan. Artinya, dalam konteks ini orang mu’min dituntut dalam beribadah hanya untuk tujuan ta’at dan ikhlas karena Allah, dan tidak kepada selain-Nya .
Sementara Ibn al-Jawzi, mengenai firman Allah QS. al-Rahman [55]: 27,
ويبقي وجه ربك ذو الجلا ل والاكرام.
Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian. QS. Al-Rahman [55]: 27.
Menta’wil dengan Zat Tuhanmu. Sedangkan al-wajh dalam QS. Al-An’am [6]: 52, “يريدون وجهه.”menta’wilnya dengan maksud bertujuan karena-Nya atau mengharap keridaan-Nya (ير يدونه)” .
Sedangkan al-Bukhari men-ta’wil lafaz“al-Wajh” dalam QS. Al-Qasas [28]: 88 dengan kerajaan atau kekuasan-Nya (al-Mulk) . Kemudian al-Baihaqi dengan sanad yang bersambung kepada Mujahid, men-ta’wil ayat:
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله ,ان الله وا سع عليم .
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu mengahadap disitulah wajah Allah sesungguhnya Allah maha luas (rahmatnya) lagi maha mengetahui. QS. al-Baqarah [2]:115.
Mujahid menginterpretasikan dengan ta’wil-nya ayat di atas: “Wajhullah” artinya Qiblatullah, maksudnya ke manapun manusia mengarah (dalam shalat sunnah), baik ke arah barat atau arah timur, maka telah menghadap Qiblat . Sebagian lagi, pada konteks ini (wajah Allah) dita’wil dengan kekuasaan Allah yang meliputi seluruh alam, sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena Ia selalu berhadapan dengannya.
Pemberian makna al-wajh dengan berpegang kepada zahir ayat, akan menimbulkan pemaknaan bahwa Allah ada di setiap tempat. Dalam konteks al-wajh Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar mengatakan “tidak sah hal ini dimaknai dengan jism, karena semua yang ber-jisim mempunyai muka dan anggota tubuh, hal ini akan menimbulkan pemahaman bahwa Allah bertempat tetapi tidak di tempat. Maka, ta’wil yang serasi dengan lafaz “wajah”(QS. Al-An’am [6]: 52) di sini, menurutnya dengan Zat-Nya, dan pada lafaz tersebut adalah Allah itu sendiri. Al-Jabbar memberikan alasan bahwa dalam konteks ini, Allah memerintahkan kepada orang yang mukallaf untuk selalu beribadah dengan segala kepatuhan (konsistensi), ketundukan, dan selalu mendekatkan diri. Ayat ini tidak memberikan analogi Allah dengan bertempat, konteks ini tentang qiblat yang tidak menjadi syarat dalam hal shalat, seseorang ketika berijtihad tentang arah qiblat, maka ke arah manapun ia shalat disitulah qiblat Allah.
Pemakaian lafaz “al-Wajh” dalam pengertian “zat” sering dipakai dalam bahasa Arab. Seperti biasa dipakai dalam pembicaraan: “فعلت كذالوجهك ”, yang berarti “Saya melakukan ini karenamu (artinya karena Zatmu)”. Alasan pengungkapan “Z|at” dalam bahasa arab sering kali diganti dengan lafaz “al-Wajh”, karena wajah adalah bagian yang paling terlihat pada pandangan mata, juga karena wajah adalah anggota badan yang dapat membedakan antara satu manusia dengan lainnya. Di samping itu, karena kepala seorang manusia dan wajahnya adalah otoritas akalnya dan keindahannya sekaligus. Karena inilah, dalam bahasa arab, “zat” secara metaforis sering diganti dengan ungkapan “al-Wajh” .
Dengan begitu, bahwa indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecapan rasa terletak pada wajah, bersama dengan fungsi biologi berupa pernafasan dan pemasukan makanan, serta fungsi-fungsi sosial dalam komunikasi verbal. Selanjutnya, wajah memainkan peran paling menonjol dalam penggunaan bahasa isyarat non verbal. Ekspresi wajah melengkapi dan memperkuat pembicaraan: emosi seperti bahagia, khawatir, marah, terkejut dan sikap interpersonal misalnya suka/tidak suka atau rasa minder diperlihatkan pada wajah.
Lafaz “al-Wajh” secara metaforis terkadang pula sebagai ungkapan dari keridaan. Hal ini karena ketika seseorang ridha dengan sesuatu, maka ia menerimanya dengan wajah yang penuh keridaan, namun apabila menolak atau membenci maka wajahpun akan menolak dan berpaling. Karena inilah “al-Wajh” terkadang di-ta’wil dengan makna keridaan.
Dari pembahasan di atas, ibn Jama’ah memberikan interpretasi mengenai makna “al-Wajh” pada QS. Al-Rahman [55]: 27, QS. Al-Baqarah [2]: 115 dan QS. Al-Qasas [28]: 88 tidak dalam pengertian “Muka” (Bagian anggota tubuh). Hal ini dapat dilihat dari beberapa alasan:
1. Yang dimaksud ayat dari QS. Al-Rahman [55]: 27, adalah kekelalan “Zat” Allah, bukan kekelalan “al-Wajh” dalam pengertian “Muka”. Sebab bila yang dimaksud kekekalan “al-Wajh” dalam pengertian “Muka”, maka selain “al-Wajh” akan hancur. Dan pemahaman seperti ini mustahil bagi Allah, sebab Allah bukan benda yang dapat terpisah-pisah.
2. Kemudian firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 115, jika diambil makna zahir lafaz “al-Wajh”, maka akan berimplikasi kepada makna bahwa Allah berada di setiap tempat dari bagian bumi ini. Pemahaman inipun sesuatu yang mustahil bagi Allah, sebagai mana telah disepakati oleh para ulama.
3. Lanjutan ayat 27 dari QS al-Rahman di atas adalah penyebutan sifat Allah. Yaitu “ذو الجلال و الاكرام”. Penyebutan sifat ini tentunya bagi Zat Allah, tidak ditujukan hanya untuk “al-Wajh”. Sebab bila ditujukan “hanya” untuk “al-Wajh” maka berimplikasi kepada pemahaman bahwa Allah terpisah-pisah, dan ini sesuatu yang mustahil bagi-Nya dengan kesepakatan ulama.
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan pula dengan jelas bahwa “al-Wajh” dalam beberapa ayat mutasyabihat mengenai sifat tidak dapat diambil dengan makna zahirnya, tetapi dengan ta’wil yang masih dalam kandungan maknanya, dan ketika tidak mengambil makna zahir suatu lafaz maka berarti secara tidak langsung telah menetapkan ta’wil. Sebab secara definitif, ta’wil adalah “mengalihkan suatu lafaz dari makna zahirnya”.
Di antara ulama salaf yang menta’wil lafaz “al-wajh”dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No Nama Ulama Letak surat dan ayat Ta’wilnya
1. Ibn ‘Abbas QS. al-Rahman [55]: 27 Diibaratkan kekekalan wajah Allah (Dzat) seperti halnya disiratkan dalam ayat tersebut.
2. Mujahid QS. al-Qasas [28]: 88 Illa Hua (kecuali Dia).
3. Abu al-Ma’ali QS. al-Rahman [55]: 27 Disifati dengan sifat kekekalan-Nya (ketika memperlihatkan kehancuran semua yang diciptakan-Nya dan kekalnya wujud yang maha suci).
4. Al-Qurtubi QS. al-An’am [6[: 52 Ta'at kepada-Nya dan ikhlas (keikhlasan beribadah kepada Allah SWT dan menghadap kepada-Nya, dan tidak menghadap kepada selain-Nya).
5. Al-Qurtubi QS. al-Rahman [55]: 27 Kekekalan Allah (wajah dianalogikan dengan wujud-Nya).
6. Ibn Jauzi QS. al-Rahman [55]: 27
QS. al-An’am [6]: 52 Kekalnya Tuhanmu.
Mengharapkan-Nya.
7. Al-Dahhak, Abu Ubaidah, Ibn Hazm QS. al-Qasas [28]: 88
QS. al-Qasas [29]: 88 Kecuali Dia (Allah).
Allah itu sendiri.
8. Ibn Kasir QS. al-Qasas [28]: 88
QS. al-Rum [30]: 38 Memberitahukan bahwa Allah yang tetap adanya, yang menghidupkan dan mematikan semua mahluk dan Ia (Allah) tidak mati.
Melihat-Nya pada hari Kiamat (disucikan dari penyerupaan).
9. Al-Qurtubi QS. al-Rum [ 30]: 38 Memberikan yang haq (benar) lebih utama dari pada menahannya (yang dimaksud dengan mengharapkan Allah dan mendekatkan-Nya).
c. Makna “al-Yad ”
lafaz “al-yad” yang mengandung sifat Allah terdapat dalam: QS. Ali-Imran [3]: 73, QS. Al-Maidah [5]: 64, QS. Al-Fath [48]: 10, QS. Al-Hadid [57]: 29, QS. Yasin [36]: 83, QS. Al-Hujurat [49]: 1, QS. Sad [38]: 37, QS. Maidah [5]: 64, Al-Fath [48]: 10 dan lain-lain.
Dalam bahasa Arab, lafaz “al-yad” mempunyai makna yang beragam, al-Fayumi memberikan makna “al-yad” dengan tujuh belas makna yang diterapkan sesuai dengan konteksnya, di antaranya “al-yad” bermakna lengan sampai pinggir jari, “al-yad” bermakna kenikmatan dan kebaikan,”al-yad” juga bermakna kekuatan dan kekuasaan, “al-yad” bermakna merubah perkara dengan perantara orang lain, kemudian juga “al-yad” bermakna kerajaan dan perjanjian dan sebagainya.
Ibn ‘Abbas dan al-Qurtubi menta’wil lafaz al-yad dengan kekuatan dan kekuasaan Allah.
والسماء بنينها بأيد وانا لموسعون (الذاريات47)
Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya kami benar-benar meluaskannya.(QS al-Zariyat: 47)
Menurut Al-Qurtubi dari sahabat ibn ‘Abbas dengan merinci makna”al-yad” tersebut dengan “kekuatan dan kekuasaan Tuhan”, dengan alasan bahwa terciptanya langit mempunyai tanda-tanda kekuasaan, dan ini memberikan nalar pemikiran, bahwa Tuhan mempunyai kekuatan yang sangat sempurna dengan sifat kuasa-Nya yaitu al-qadr. Dari indikasi inilah makna “al-yad”di-ta’wil dengan kekuatan dan kekuasaan.
ان الذ ين يبايعونك انما يبا يعون الله يد الله فوق ايد يهم , فمن نكث فانما ينكث على نفسه ومن اوفى بما عاهد عليه الله فسيؤتيه اجرا عظينا ( الفتح 10)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janjinya itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.(QS al-Fath: 10).
Ayat di atas oleh al-Jabbar di-ta’wil dengan perjanjian, konteks historis ayat ini pada bulan Zulqa’dah di mana kaum muslimin berjanji memerangi kaum musyrikin yang telah menahan Usman. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi yang dimaksud dengan Tangan Allah di atas tangan mereka ialah menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji kepada Allah. Jadi seakan-akan tangan Allah di atas tangan-tangan orang-orang yang berjanji itu. Interpretasi Al-Jabbar mengenai ayat di atas tidak mengartikan dengan tangan dalam konteks sebenarnya. Jika diartikan dengan tangan yang sebenarnya, semestinya dapat menjabat dan berada di atasnya. Penyebutan bahwa tangan Allah ada di atas tangan-tangan mereka dalam pengertian tempat, tidak ada gunanya, karena tangan orang yang lemah bisa saja berada di atas tangan orang yang kuat. Ayat ini menurutnya, untuk memperingatkan bahwa mereka harus menepati janji setia karena Allah yang Maha Kuasa akan dapat menurunkan hukuman-Nya kalau mereka melanggarnya.
Sifat Allah selanjutnya pada lafaz “al-yad” yang secara lahiriyah “tangan Allah terbelenggu”:
وقا لت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ولعنوا بما قالوا بل يداه مبسو طتان ينفق كيف يشاء.(الما ئدة 64)
Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu ” sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak demikian)tetapi kedua tangan Allah terbuka Dia menafkahkan sebagaimana ia kehendaki.(QS al-Maidah: 64).
Konteks pembicaraan dalam ayat ini tidak memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan tangan yang sebenarnya. Menurut kebiasaan orang Arab, kalau penyebutan tangan disertai dengan pembukaan jari-jari (bast) dan pemberian (infaq), maka selalu yang dimaksudkan bukanlah anggota badan yang biasa dipakai untuk memegang, melainkan pemberian atau nikmat. Terbuka dan tergenggamnya tangan sering dipakai oleh mereka untuk melambangkan kemurahan dan kebakhilan. Jadi dalam ayat ini, tuduhan orang-orang Yahudi adalah bahwa Allah bakhil dalam pemberian nikmat kepada hamba-Nya, bukan bahwa tangan-Nya terbelenggu sehingga dijawab oleh Allah dengan menyatakan bahwa ia maha pemurah. Maka, dalam hal ini menurutnya, bahwa pengertian secara lahiriyah tidak diterima dengan penisbatan tangan yang sebenarnya.
Selain ayat di atas, sifat Allah yang dianalogikan dengan lafaz “al-yad” yang menerangkan karunia-Nya yang diberikan kepada yang dikehendaki-Nya:
قل ا ن الفضل بيد الله يؤ تيه من يشاء , والله واسع عليم (ال عمران 73)
Katakanlah: “Sesungguhnya karunia itu ditangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Ali-Imran: 73).
Pemberian makna “al-yad” di atas terkadang dengan makna ni’mat, sebagaimana dalam perkataan orang Arab كم يد لى عند فلان (berapa tangan untukku menurut fulan), maksudnya adalah berapa banyak ni’mat yang telah Allah anugrahkan kepadanya. Atau juga terkadang dengan makna “al-silah” (berusaha) seperti dalam al-Qur’an”مما عملت أ يد ينا (dari apa yang diusahakan) atau dengan kata lain apa yang dikerjakan dari kita.
Untuk lebih jelas, di antara ulama salaf yang menta’wil lafaz “al-yad” bisa dilihat dalam tabel berikut ini:
No Nama Ulama Letak surat dan ayat Ta’wilnya
1. Ibn ‘Abbas QS. al-Zariyat [51]: 47 Kekuatan dan kekua-saan
2. Al-Qurtubi QS. al-Zariyat [51]: 47 Kekuatan dan kekua-saan
3. ‘Abd al-Jabbar QS. al-Fath [48]:10 Janji setia karena Allah
(perjanjian antara Rasulullah dengan kaum muslimin yang harus dipatuhi yang secara tidak langsung berhada-pan dengan perintah Allah).
4. ‘Abd al-Jabbar QS. al-Maidah [5]: 64 Pemberian (al-Infaq)
(pemberian ni’mat kepa-da hamba-Nya yang di-anggap bakhil oleh kaum Yahudi).
5. Abu Hurairah dari Rasulullah. QS. al-Zumar [39]: 67 (selain lafaz al-yad juga al-qabdah) dalam hadis yang di riwayatkan Bu-khari dan Muslim, hadis yang mengibarakan Allah dengan meng-genggam bumi, dengan maksud adalah sebagai analogi dari kekuasaan-Nya yang meliputi semua mahluk-Nya
6. Al-Qurtubi QS. al-Fath [46]: 10 Tangan Allah di atas ta-ngan mereka dalam hal penepatan janji, dan ta-ngan Allah dalam hal kebaikan dengan hidayah di atas tangan mereka dalam keta’atan (artinya dituntut untuk berjanji setia, dan ta’at kepada perintah Allah).
7. Ibn Kisan QS. al-fath [48]: 10 Kekuatan dan pertolo-ngan Allah.
8. Ibn Kas\ir QS. al-fath [48]: 10 Allah ada bersama me-reka, Mendengar, semua perkataan dan melihat serta mengetahui per-buatan, dan perjanjian Allah ini dengan perantara Rasulullah.
9. Al-Qurtubi QS. Yasin [36]: 83 Allah mensucikan diri-Nya dari sifat lemah dan syirik (bersekutu).
10. Al-Qurtubi QS. al-Haqah [69]: 45 Al-quwwah wa al-qudrah (kekuatan dan kekuasaan)
C. Relasi Tafwid, Taslim dan Ta’wil tafsili
1. Ta’wil Terbagi Kepada Dua Bagian
a. Ta’wil Ijmali (tafwid, taslim)
Metode tafwid dan taslim sebagaimana dikaji sebelumnya, diterapkan kalangan sahabat dan Tabi’in dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat dengan tanpa menentukan makna, tetapi dengan mengalihkan dari apa yang tercipta dalam benak pikiran dari gambaran-gambaran (tasawar) dan khayalan-khayalan mengenai eksisnya Allah, karena kemampuan manusia tidak bisa menggambarkan dan memberikan pengertian akan pencipta-Nya. Metode ini merupakan sebuah relasi dari prinsip pensucian (tanzih) yang dalam nuansa eksegesisnya harus mensucikan Allah secara mutlak dari sifat yang dimiliki mahluk-Nya, dan sebagai landasan interpretasinya adalah ayat-ayat yang muhkamat. ليس كمثله شيئ (Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia).
Sebagaimana sebelumnya dijelaskan pula, tafwid, taslim merupakan nama lain dari metode ijmali, yang dalam aplikasinya terhadap ayat-ayat sifat tidak dengan mengajukan ungkapan dan tidak pula dengan mendeskripsikannya (dimana, kapan, bagaimana Allah) pun tidak menginterpretasikan tentang Allah sesuatu yang tercipta dari unsur-unsur materil. Al-Syafi’i, mengenai ayat-ayat mutasyabih dari segi makna mempercayainya dengan segala konsistensi apa yang wahyukan Allah dan yang disabdakan Nabi merupakan yang tersirat dari sifat-sifat Allah yang Agung (al-sifat al-khabariyah), dan untuk tidak mengurangi sifat keagungan tersebut, maka tidak memaknainya dengan sifat-sifat yang melekat pada mahluk-Nya. dan semua pikiran, bayangan, atribut mengenai Allah, Allah tidak seperti yang terlintas dalam pikiran tersebut.
Hal ini, ketika Ahmad ibn Hanbal menafsirkan (ta’wil) tentang Hadis “nuzul dan “ru’yah”:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا.
Tuhan kita yang memberkahi dan suci telah turun setiap malam ke sama al-dunya.
رأيت ر بي في أحسن صورة . رواه الترمذي
Saya melihat Tuhanku dalam bentuk yang paling bagus (HR. al-Tirmizi)
Ia dengan mengatakan “kami mempercayainya dalil tersebut dengan tanpa interpretasi bagaimana bentuk dan rupa Allah, dan dari segi makna kami menyerahkannya” . Dalam hal penyerahan (tafwid) makna, Ahmad ibn Hanbal mengikuti golongan Muhaddis masa awal, seperti Malik ibn Anas dan Muqatil ibn Sulaiman yang mengatakan:
Kami menahan diri dari memberikan sebuah penjelasan dan penafsiran ayat-ayat seperti itu karena dua alasan. Pertama, adalah larangan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dalam ayat berikut: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wil-nya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wil-nya, melainkan Allah. Dan orang-orang yang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat. Semua itu dari sisi Tuhan,’ dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya), melainkan orang-orang yang berakal. Oleh karena itu, kami menolak sikap orang yang suka menentang. Alasan kedua adalah bahwa sebuah penafsiran, sebagaimana yang kami sepakati, merupakan sebuah pendapat mengenai sifat-sifat Allah sebab kita kadang-kadang menafsirkan ayat-ayat itu dengan cara yang tidak dikehendaki oleh Allah sehingga kita akan jatuh pada pertentangan. Sebaiknya, kita katakan, sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan ,”Semua berasal dari Tuhan kami,” Kami beriman dengan apa yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah kami tidak wajib mengetahuinya sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu dari unsur-unsur dasarnya.
Dari beberapa dalil di atas, memunculkan reaksi dari sebagian golongan dengan membawa atribut baru, seperti kaum Mu’tazilah dengan konsepnya pada perdebatan (ru’yah Allah) melihat Allah, kaum Mu’tazilah menolak akan adanya (ru’yah Allah) dengan alasan melihat sesuatu mengisyaratkan bahwa yang dilihat itu tentu berjisim, ada pada suatu tempat dan arah tertentu. Dihadapkan kepada rujukan ayat-ayat al-Qur’an tentang konsep ini, mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat itu sedemikian rupa sehingga menghindar dari konsep “melihat Allah”. Mereka berargumen bahwa yang dimaksudkan ayat tersebut mengenai orang-orang beriman yang akan melihat ganjaran dari Tuhan mereka (bukan melihat Tuhan mereka).
Penetapan mengenai konsep melihatnya Allah pada perkembangan selanjutnya ditentang Asy’ariyah dan para pengikutnya dengan mengatakan: “Sebenarnya, persoalan yang dihadapi kaum Mu’tazilah tidaklah seringan yang mereka kira karena bukan hanya semata-mata menyangkut soal satu atau dua ayat tentang “Wajah” dan “melihat Allah”, melainkan banyak ayat lain yang berbicara tentang Allah, tangan Allah, Singgasana-Nya dan perbuatan-perbuatan Allah seperti dalam al-Qur’an”.
Metode tafwid dan taslim mempunyai relasi dengan metode ta’wil tafsili, karena dalam praktik pengalihan makna mengalihkannya dari makna literal. Sehingga, unsur-unsur interpretasi yang dihasilkaan tetap pada wilayah tidak menghilangkan esensi makna yang dikehendaki.
b. Ta’wil Tafsili
Sebagai penegasan kembali, secara definitif ta’wil tafsili ialah memahami ayat-ayat mutasyabihat dengan tidak mengambil makna literalnya, tetapi dengan menentukan makna, yang esensinya tidak keluar dari ayat yang dikehendaki, seperti ” الر حمن على العر ش اشتوى. Ayat ini, mengandung arti terhadap sifat Allah, maka makna yang terletak pada lafad istawa harus dita’wil dengan makna sifat yang dimiliki Allah, seperti menguasai dan menundukan.
Metode ta’wil tafsili lebih dominan diterapkan ulama khalaf. Tetapi, genealogi pemakaiannya sudah diterapkan di era salaf, seperti Ibn ‘Abbas dari ulama kalangan sahabat, Mujahid salah satu dari murid Ibn ‘Abbas dari kalangan ulama Tabi’in dan juga Ahmad ibn Hanbal yang pro aktif dalam hal penta’wilan, kemudian diikuti al-Bukhari sebagai generasi dari ulama sebelumnya.
Adapun ta’wil lain Ibn ‘Abbas seperti dikatakan Ibn Hajar dalam sarahnya Sahih al-Bukhari ayat tentang al-Saq (betis) dalam QS. Al-Qalam [68]: 42:
يوم يكشف عن ساق ويدعون الى السجود فلا يستطيعون .
“Pada hari betis diungkapkan dan mereka di panggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa”.QS. Al-Qalam [68]: 42.
Mengenai ayat di atas, oleh Ibn ‘Abbas tidak diartikan secara literal dengan betis. Tetapi, makna yang dimaksudkan dengan ayat tersebut (…hari dibukakan) dari kesulitan suatu perkara (hari kiamat), seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan قا مت الحرب على ساق (peperangan terjadi di atas betis), artinya peperangan terjadi dengan sangat (berkecamuk). Jadi, makna al-saq bukan arti betis yang sebenarnya, tetapi dita’wil dengan hari yang sangat berkecamuk (hari kiamat). Abu Musa al-As’yari memberikan ta’wilnya berupa cahaya yang sangat Agung, karena hari ini adalah hari yang berkecamuk, juga makna al-saq yang dikemukakan oleh Ibn Furak adalah apa yang ditemukan oleh orang mu’min dengan kemanfa’atan dan perlindungan.
Selanjutnya, taw’il dari Mujahid yang dinyatakan al-Baihaqi mengenai QS. Al-Baqarah [2]: 115 فاينما تولوا فثم وجه الله”, (maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah) menta’wil-nya dengan qiblatnya Allah. Konteks historis ayat di atas, ketika seorang musafir yang sedang melakukan shalat sunnah di atas hewan tunggangan, dan sulit untuk menentukan arah qiblatnya, maka ke arah manapun tunggangannya itu mengadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya, di sanalah qiblat Allah.
Ta’wil selanjutnya QS. Al-Nur [24]: 35:
الله نور السموا ت والارض, مثل نوره كمشكاة فيها مصباح….الح
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. QS. al-Nur [24]: 35.
Cahaya, diinterpretasikan Mujahid sebagai Mudabbir al-umur (Pengurus semua perkara). Maksud ayat di atas, Allah menunjukan sebagai penerang langit dan bumi dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang-bintang. Abi ibn Ka’ab Hasan dan Abu al-Aliyah menta’wil cahaya dengan langit yang dihiasi Matahari, Bulan dan Bintang. Sedangkan Ibn ‘Abbas menta’wil cahaya Allah sebagai pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi, yakni para malaikat dan orang-orang Mu’min dari golongan manusia dan jin yang berada di bumi dengan petunjuk-Nya berupa keimanan. Jadi, maksud cahaya di sini bukan cahaya sebenarnya, tetapi Allah menganalogikan sebagai cahaya keimanan berupa al-Qur’an yang diberikan kepada orang Mu’min.
Dalam sebuah riwayat dari al-Baihaqi, bahwa Ahmad ibn Hanbal memberikan ta’wil terhadap ayat” وجاء ربك” dengan maksud bahwa Allah memberikan pahala pada hari kiamat ( …dan datang pahala dari Tuhan kalian).
Adapun penerapan ta’wil yang dilakukan Malik ibn Anas, kemudian dielaborasi oleh al-Zarqani dari Abu Bakar ibn al-Arabi dalam sebuah hadis:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا حين يبقى ثلث الليل الاخر يقول : من يدعوني فأ ستجيب له ومن يسألني فاعطيته ومن يستغفرنى فأغفر له
Tuhan (penuh keberkahan dan maha suci) kita telah turun dalam setiap malam ke (sama al-dunya) langit dunia pada sepertiga malam. Ia berfirman”Barang siapa berdo’a kepadaku maka aku akan kabulkan, dan barang siapa yang meminta kepadaku, maka akan aku berikan, dan barang siapa yang meminta ampun kepadaku, maka akan aku ampuni dosanya.
Terdapat dua maz\hab dalam menanggapi hadis di atas: Pertama, maz\hab Jumhur al-Salaf dan sebagian dari kalangan Mutakkalimin” dengan menyerahkan terhadap Allah apa yang berhak baginya, dan apa yang dimaksud adalah bukan makna secara harfiyahnya. Juga mereka tidak memberikan ta’wil-nya dengan tetap pada prinsip tanzih (tanpa menyerupakan dari sifat-sifat mahluk, seperti pada konteks tempat, berpindah-pindah). Kedua, maz\hab mayoritas Mutakalimin dan jama’ah dari kalangan salaf, seperti Malik ibn Anas dan al-Awza’i memberikan ta’wil sesuai konteksnya dengan dua ta’wil: Pertama, yaitu turunnya rahmat dan perintah Allah yang dibawa oleh para malaikat-Nya. Kedua, ta’wil yang mengandung makna majaz al-isti’arah, yang berarti sebuah karunia Allah terhadap hamba-hamba yang mengharapkan-Nya kemudian diqabulkan dengan segala kemurahan-Nya.
2. Metode Ta’wil Bukan Merupakan Ta’til (peniadaan) Bagi Sifat-sifat Allah.
Sebagaimana dikaji sebelumnya, makna ta’wil adalah mengalihkan makna dari dalalah lafaz, yaitu makna yang ditunjukkan zahir lafaz dan makna tersebut dalam balagah (ilmu cara menyusun kalimat yang baik atau mengucapkannya) dikenal dengan makna hakiki. Kemudian makna tersebut dikeluarkan dari pemakaiannya dan digantikan oleh makna yang dalam balagah disebut makna majazi, contoh seperti kata “al-wajh”, kata ini mempunyai makna sesuatu yang menjadi bagian dari kepala, tetapi orang-orang Arab juga biasa menggunakan kata tersebut untuk menyebut arah. Hal inilah yang dimaksud dengan tidak merusak pemakaian linguistik orang Arab.
Penetapan makna dari esensi yang dikehendaki dalam mengkaji ayat-ayat sifat bukan merupakan ta’til (peniadaan terhadap sifat-sifat Allah). Istilah ini (ta’til) dalam penafsiran di era salaf belum pernah muncul. Hal ini muncul dalam kajiannya tentang sifat yang diapresiasikan oleh kaum Mu’tazilah dengan peniadaannya terhadap sifat Tuhan, sehingga dalam hal ini diklaim oleh penentangnya sebagai Mua’ttilah, dan untuk memperkuat pandangannya melegitimasi dari ayat-ayat mutasyabihat yang mengandung pemahaman adanya sifat Allah. Sehingga ta’wil pada perkembangan selanjutnya bukanlah hanya untuk memaknai sebuah teks, tetapi sebagai kepentingan ideologi, sehingga kecenderungan pribadi dan subjektifitas penafsiran muncul dalam beberapa hal. Dan pada akhirnya teks berubah sebagai alat ideologi bagi mua’wwil, karena mengabaikan data-data bahasa dan literal.
Seperti ta’wil yang dilakukan kelompok Rafidah terhadap firman Allah: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, keduanya adalah Ali dan Fatimah. Keluar dari keduanya mutiara dan marjan. Maksudnya, Hasan dan Husain r.a. Demikian pula pendapat mereka terhadap firman Allah: Dan, apabila ia berpaling maka ia berjalan di muka bumi untuk membuat kerusakan dan merusak tanaman dan ternak, maksudnya adalah Muawiyah, dan ta’wil-tawil lainnya.
Penulis melihat adanya kesamaan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah dalam beberapa hal ta’wil, seperti diungkapkan Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar (pemuka Mu’tazilah) mengenai ayat وجاء ربك والملك صفا صفا , secara lahir ayat ini menampilkan Tuhan datang dalam wujud fisik seperti manusia, tetapi yang dimaksud menurut keduanya (Mu’tazilah-As’ariyah) adalah datangnya perintah dari Allah yang dibawa para malaikat untuk menghisab dan memisahkannya semua perkara manusia dari sanak keluarga. Sedangkan Ahmad ibn Hanbal, menta’wil ayat di atas dengan maksud datangnya pahala dari Allah.
Dalam menentukan ta’wilnya, Mu’tazilah menggunakan istilah kebahasaan dan kelogisan pada ayat-ayat sifat, seperti ayat yang menunjukkan bahwa orang dapat bertemu dengan Allah dan akan kembali kepadanya:
الذ ين يظنون أنهم ملا قو ربهم وأنهم اليه راجعون.
(Yaitu) Orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. QS. Al-Baqarah [2]: 46.
Pertemuan dengan Allah dan akan kembali kepada Allah menunjukkan bahwa Ia berada dalam tempat dan karenanya merupakan wujud materi. Alasan penolakan yang diajukannya di sini pun terdiri dari dua lapis. Pertama, alasan kebahasaan, adalah bahwa kata يظن (menyangka) yang dipakai di situ tidak mengharuskan bahwa yang terjadi adalah seperti itu. Nyatanya para penafsir al-Qur’an menta’wilnya dengan “mengetahui”. Maka, yang dimaksudkan ayat di atas adalah bertemunya dengan pahala yang dijanjikan kepada mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada suatu waktu yang di dalamnya tiada yang memiliki segala perkara selain Allah. Kedua, alasan kelogisan, pertemuan bukanlah berdekatan sehingga dapat melihat (التجاور على جهة المشاهد ). Orang buta sering kali” bertemu” dengan orang lain, manakala ia mendengar pembicaraanya, meskipun tidak melihatnya dan terkadang ia pun berada dalam tempat yang jauh. Jadi, bila dikatakan Allah berada dalam tempat tertentu untuk dapat terjadi pertemuan dengannya, tentunya Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan tempat itu dan hanya berbuat di situ. Ia pun mesti membutuhkan tempat yang azali.
Konsep berbeda yang dimunculkan Mu’tazilah adalah penafian terhadap sifat-sifat Tuhan. Tetapi, terhadap ayat-ayat yang dianggap ambigu (mutasyabihat) menggunakannya dengan pengertian yang logis dari bentuk lahiriyah ayat, dan bila tidak menghasilkan penyelesaian yang menurutnya masuk akal, maka memakai penta’wilan yang logis. Kelogisan dalam kedua hal itu diukur dengan hukum kebahasaan dan logika. Kalau dikaitkan dengan realita bahwa hanya ada dua jenis dalil dalam ilmu kalam–dalil naql dan dalil akal–, maka kedua hukum itu–kebahasaan dan logika–dapat disebut dengan dalil akal, walaupun orang dapat mengatakan bahwa hanya yang kedualah yang disebut dengan itu.
Ta’wil yang dilakukan ulama salaf adalah sebagai penetapan makna yang tidak keluar dari makna yang dikehendaki. Karena ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang oleh Allah dijadikan mempunyai sifat-sifat tertentu sehinga pengertiannya kacau dan tidak mudah untuk memahaminya. Sifat itu ialah bahwa pengertian lahiriyahnya tidak menunjukkan maksud yang sebenarnya karena sesuatu yang kembali kepada pengertian asal bahasa (leksikal) atau kebiasan pemakai bahasa.
Pada lafaz “istawa”, ulama salaf sepakat dengan penetapan makna pada lafaz tersebut dengan “al-qahr”, karena maknanya sesuai dengan keagungan Tuhan dan merupakan sifat pujian bagi Allah, yaitu menundukan. Dan hal ini, ketika penamaan (pemberian makna) diterapkan pada manusia, dengan mengatakan ‘Abd al-Qahr, (hamba yang menundukan atau menguasai), tidak ada manusia yang memberikan namanya ‘Abd al-Jalis (hamba yang duduk). Maka, ketika menta’wil lafaz “istawa” dengan “Yajlis-jalis-atau jalasa” ini tidak sesuai dengan sifat dan keagungan Tuhan, dan ketika menta’wil dengan jalis (duduk), maka menjadi batallah keagungan-Nya. Sebagian ulama berpendapat, ta’wil adalah sebagai ungkapan metaforis, seperti menetapkan “al-qudrah” sebagai ta’wil dari lafaz “al-yad”. Dengan demikian penetapan lafaz “al-qudrah” bukan merupakan ta’til (peniadaan) bagi-sifat-sifat Allah dari lafaz “al-yad”. Ibn ‘Abbas memberikan ta’wil “al-yad “ dengan kekuasaan ketika menafsirkan QS al-Z|ariyat: 47 (berarti ibn ‘Abbas bukanlah termasuk “mu’attil” meniadakan terhadap sifat-sifat Allah).
Menetapkan lafaz “al-Istawa” dengan makna “al-Istila”dan “al-qahr” bukan merupakan peniadaan terhadap sifat-sifat Allah, tetapi hal ini memberikan makna yang serasi dengan sifat Allah ”menguasai”. Al-Amidi dalam kitabnya Abkar al-Afkar berkata. ”penafsiran “istawa “ dengan “istila”(menguasai) dan “al-qahr” (menundukan) adalah termasuk ta’wil paling baik dan paling dekat (kepada kebenaran). Juga penetapan ini merupakan pujian terhadap Allah, dan lafaz “al-Qahhar” salah satu nama Allah yang baik”Asma al-Husna”. Dengan demikan metode“ta’wil “bukanlah salah satu dari metode“ta’til” (peniadaan bagi sifat-sifat Allah).
D. Catatan Akhir Penulis (Sebuah Analisa)
Ulama salaf adalah golongan yang mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Metode dan hasil pemikirannya selalu mejadi rujukan penting bagi umat Islam setelah mereka, sehingga tidak heran bila hampir semua umat Islam selalu mencari legitimasi pemikiran mereka dari karya-karya yang dihasilkan oleh golongan tersebut. Bahkan tidak sedikit umat Islam yang mengklaim diri dan golongannya sebagai penerus dan pewaris golongan salaf.
Dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Allah, ulama salaf telah melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat tersebut sebagaimana tercermin dari penyerahan (tawfid) dan penerimaan (taslim) makna sebagai bentuk dari ta’wil ijmali yang mereka lakukan. Dari metode ini mereka berkesimpulan bahwa pemaknaan tentang sifat Allah harus dikembalikan kepada Allah sendiri sebagai yang terwujud dalam al-Qur’an. Sedangkan di satu sisi mereka menerapkan ta’wil tafsili yaitu dengan mengalihkan makna yang tersurat pada makna lain guna menjaga keagungan Tuhan. Seperti kata al-yad mereka maknai dengan kekuasaan dan kekuatan yang mempunyai makna sinonim.
Dalam perkembangan selanjutnya banyak golongan yang mengklaim mewarisi metode penafsiran ulama salaf tersebut, walaupun hasil penafsiran mereka berbeda antara satu dengan yang lain. Seperti golongan ekstrim Musyabbihah yang menafsirkan ayat-ayat sifat sebagaimana makna literal, makna al-yad dengan tangan sebagaimana adanya. Menurut mereka, ini merupakan bentuk dari taslim (penerimaan) makna sebagaimana adanya dan taslim (penyerahan) makna pada Tuhan, dua bentuk metode ta’wil ijmali inilah yang diyakini merupakan warisan golongan salaf. Tetapi dalam praktiknya ulama salaf tidak menafsirkan sebagaimana golongan Musyabbihah, bagi golongan salaf Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk yang berbentuk jism.
Begitu juga dengan golongan Asy’ariyah, mereka mengaku bahwa penafsiran mereka yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan harus diartikan sebagaimana makna aslinya, tanpa memberi penjelasan tentang bagaimana wujud dari sifat tersebut, berasal dari warisan ulama salaf. Seperti tentang al-yad dan al-wajh, mereka artikan sebagai tangan dan wajah Tuhan tanpa memberi penjelasan tentang bagaimana wajah dan tangan Tuhan tersebut. Hal ini untuk menghindari tasybih juga dengan keyakinan bahwa tangan dan wajah Tuhan tidak akan pernah terbayang oleh manusia, tetapi tetap meyakini bahwa Tuhan mempunyai tangan dan wajah yang bisa dilihat pada hari kiamat kelak. Ulama salaf sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya menafsirkan al-yad dengan kekuasaan tidak dengan tangan, begitu juga dengan al-wajh tidak diartikan dengan muka.
Sedangkan golongan Mu’tazilah mengatakan makna-makna tersebut tidak sebagimana makna literalnya, tetapi harus dikembalikan sesuai dengan keagungan Tuhan. Makna al-yad tidak diartikan tangan begitu juga dengan al-wajh tidak diartikan dengan muka, sehingga pada hari kiamat menurut mereka Tuhan tidak bisa dilihat karena tidak berbentuk materi dan tidak menempati ruang, karena ruang akan membatasi kekuasaan Tuhan, sehingga mereka mengartikan tangan dengan kekuasaan, tetapi kuasa dan kekuasaan tersebut bukanlah sifat Tuhan, tetapi merupakan dzat Tuhan itu sendiri. Tuhan bagi mereka tidak mempunyai sifat, karena bila Tuhan disifati berarti Tuhan disekutukan dengan sifat-sifat itu sendiri. Bagi mereka penafsiran tersebut merupakan warisan ulama salaf. Metode penafsiran ini memang mirip dengan metode ta’wil tafsili yang dilakukan oleh ulama salaf. Terdapat perbedaan yang mencolok antara Mu’tazilah dengan ulama salaf. Bila ulama salaf menganggap bahwa kekuasaan, penguasaan serta sifat yang lain merupakan sifat Tuhan yang azali sedangkan mu’tazilan menafikan sifat-sifat tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penta’wilan yang dilakukan ulama salaf untuk menghindari paham tasybih. Dan pada masa tersebut tidak terjadi pertentangan yang menguras tenaga mengenai ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah. Hal ini bisa dipahami, karena pada masa tersebut tidak berkembang aliran-aliran kalam yang pada masa setelah salaf cukup menjadi pertentangan serius antar mutakallimin. Dan jika dilihat perkembangan setelah masa salaf, pertentangan mengenai pemahaman ayat-ayat sifat Allah tersebut banyak didominasi oleh aliran-aliran kalam semacam Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan eksplorasi dari beberapa literatur, banyak hal yang telah penulis temukan dan dapat diambil manfa’atnya, berbagai hal yang sebelumnya tidak jelas (ambiguous), tidak tersentuh (untouchable), atau tidak terpikirkan (unthinkable) khususnya dalam penafsiran ulama salaf. Dari uraian singkat ini peneliti memberikan kesimpulan, tetapi kesimpulan ini bukanlah merupakan hal yang berakhir (final step) pada tataran wacana melainkan suatu langkah awal dan sebagai pemanasan (warming up) bagi berbagai kajian yang lebih mendalam (radic) dan komprehensif lainnya. Namun demikian, kajian ini mesti diakhiri sebagai bentuk tindakan terencana (planned act) dalam suatu penelitian.
Sebagai bentuk penelitian sistematis, penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang senantiasa berpijak pada rumusan masalah yang telah dirumuskan yaitu:
1. Metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat Allah dengan menggunakan metode tafwid, taslim (menyerahkan) maknanya. Dalam menyerahkan makna, bukanlah makna literal yang dimaksudkan, tetapi dengan mengalihkan makna tekstualnya. Metode ini disebut juga dengan metode ta’wil ijmali (mengalihkan makna secara global). Makna tekstual dari ayat mutasyabihat tentang sifat Allah bagi ulama salaf adalah hal yang mustahil diterapkan pada Tuhan, sehingga untuk mensucikan sifat Allah, harus dita’wil dari makna-makna sifat yang dimiliki mahluk-Nya. Hal ini juga supaya tidak mengurangi sifat kekuasaan Tuhan, dan biasanya mereka memberi statemen dengan ungkapan-ungkapan tafwidnya, seperti امروها كما جاء ت بلا كيف atau ungkapan tafwid, taslim lainnya seperti نؤ من بها بلا كيف ولامعنى .
2. Terhadap pemahaman ayat-ayat yang dikategorikan Mutasyabihat tentang sifat Allah, ulama salaf juga menerapkan metode ta’wil tafsili (ta’wil dengan menentukan maknanya). yaitu dengan mengalihkan makna zahir lafaz kepada makna majazi (metaforis). Hal ini juga sebagai penetapannya dalam mensucikan makna sifat Allah dari sifat-sifat yang dimiliki mahluk-Nya. Karena memahami secara tekstual terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat oleh ulama salaf dinilai sebagai tasybih (penyerupaan sifat Tuhan dengan mahluk).
3. Ulama salaf dalam menerapakan metode ta’wil tafsili (ta’wil dengan menentukan maknanya) dengan menetapkan makna yang sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan, sehingga dari ta’wil yang diterapkan tidak menghilangkan makna yang bertalian dengan esensinya. Seperti lafaz al-yad dita’wil dengan al-qudrah (kekuasaan) atau al-ahd (perjanjian), lafaz istawa dita’wil dengan al-qahr (menundukan) atau istaula (menguasai) dan sebagainya.
4. Ulama salaf dalam menerapkan metode ta’wil tafsili dengan mempertimbangkan konteks ayat dengan melihat setting historis dan juga menggunakan metode munasabah (relasi) dengan ayat-ayat yang lain, sehingga dalam menggali makna ayat-ayat mutasyabihat mengenai sifat Allah tidak membawa pemahaman yang parsial dan orsinalitas makna teks tidak diabaikan. Seperti ketika menta’wil lafaz ” جاء” (QS. Al-Fajr) [89]: 22 menghubungkan dengan ayat yang makna secara literal sama, yaitu lafaz “أتى ” (QS. Al-Nahl [16]: 33). Ulama salaf menetapkan ta’wilnya dengan mengalihkan pengertian Allah di sini kepada “para pembawa perintah-Nya”, dan penggunaan lafaz tersebut sebagai bentuk penyebutan malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu.
B. Saran-saran
Sekali lagi, bahwa karya skripsi ini sebuah usaha kecil untuk menelusuri jejak-jejak pemikiran ulama salaf yang maha luas. Metode tafwid, taslim dan ta’wil tafsili yang diterapkan ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat Tuhan mempunyai prinsip tauhid yang mendasar dalam menggali makna (ta’wil). Penulis mencoba mencairkan endapan dengan segala kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki sebagai langkah obyektif dalam penelitiannya. Berbicara mengenai saran-saran, penulis teringat seorang penyair dari Timur, Mohammad Iqbal menukil untuk seorang khalifah:
“Jie se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam
Daryaan ke dil jis se dahel jaen who toofan”
“seperti embun yang mendinginkan hati bunga luly, dan
bagaikan topan yang menggelegakan dalamnya sungai”
Serangkai kata di atas menganalogikan, bahwa sebuah pekerjaan harus senantiasa diimbangi dengan profesionalitas yang memadai, begitu juga penulis mengharapkan kepada pengkaji selanjutnya agar lebih dinamis, produktif dan mempunyai nilai intelektual dengan segala nalar dan interpretasinya sebagai wujud dari pengembangan dan ziarah intelektualitas dalam kajian tafsir (exegesis), terutama dengan mengeksplorasi secara langsung karya-karya tafsir ulama salaf yang mempunyai posisi intelektual di tengah-tengah umat Islam.
C. Penutup
Demikianlah penelitian ini, kiranya dapat menjadikan sebagai gairah intelektual penulis dalam membedah berbagai ragam makna yang esoteris pada ayat-ayat yang dianggap ambigu (mutasyabihat), hal ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri serta banyak memberi kontribusi bagi penulis dalam hal petualangan intelektual kajian ulama salaf yang dalam hal ini dianggap sebagai pewaris Nabi, yang mempunyai kompetensi keilmuan yang cukup memadai, juga sebagai peletak pondasi khazanah keilmuan dalam Islam. Sehingga gairah umat Islam kontemporer dalam mengkaji tafsirnya sangatlah ambisius, banyak melahirkan pemikir-pemikir yang briliant sebagai pengembangan wacana yang tiada henti. Penelitian ini jauh dari kesempurnaan dan sangat membutuhkan berbagai kritik konstruktif sehingga hal itu dapat menjadi kontribusi berharga bagi penulis untuk melakukan evaluasi dan refleksi diri. Semoga Allah SWT selalu memberikan jalan bagi hambanya untuk menyingkap berbagai rahasia samudra ilmu-Nya sehingga dapat lebih mensyukuri akan segala karunia-Nya.wallahu a’lam bimuhkamih wa mutasyabih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Andalusi, al-Gharnati, Muhammad ibn Yusuf, Ibn Hibban. Tafsir al-Bahr al-Muhit. Bairut: Dar al-Fikr, 1983
Al-Asfahani. Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr, tt
Adi, al-Fairuz, Muhammad ibn Ya’qub. Al-Qamus al-Muhit. Bairut: Mua’asasah al-Risalah Dar al-Dayyan, 1987
Al-Albani, Ghawazi Sulaiman Wahbi. Ta’liqan ala Idah al-Dalil fi Qat’i Ahl Ta’til lilImam Badruddin ibn Jama’ah. tkp: Dar al-Salam, tt
Al-Asfarayini, Abu al-Muzaffar. al-Tabsir fi al-Din. Bairut: tp, tt
‘Abd al-Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu’jam al-Mufahras lialfaz al-Qur’an al-Karim . Bairut: Dar al-Fikr, 1992
Abi al-Fath, Muhammad ‘Abd al-Karim, al-Syahrastani. al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dar al-Fikr, 2002
Abd al-Halim, Muhammad. Memahami al-Qur’an: Pendekatan Gaya Dan Tema. Terj. Rofik Suhud. Bandung: Marja, 1999
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an. Terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS, 2002
Al-Baihaqi. al-Asma wa al-Sifat. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1984.
Al-Baghdadi, al-Isfirayini, al-Tamimi, ‘Abd al-Qahir ibn Tahir ibn Muhammad. al-Faraq Baina al-Firaq. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt
Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Isma’il. Sahih al-Bukhari. Bairut: Dar al-Fikr, 1994
Badruddin ibn Jama’ah, Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’dullah. Idah al-Dalil fi Qat’i Hujaj Ahl al-Ta’til. Mesir: Dar al-Salam, 1990
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990
Ba’albaki, Munir. Modern English-Arabic Dictionary. Beirut: Dar al-Ilm Lilmalayin, 1974
Chirzin, Muhammad. al-Qur’an dan Ulum al-Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
DEPAG. Al-Qur’an dan Terjemah. Semarang: Toha Putra, 1989
Al-Fayumi, Ahmad ibn Muhammad ibn Ali. al-Misbah al-Munir. Bairut: Dar al-Fikr, 1978
Faizah, Izzah. “Qur’an dan Tafsir dalam Sejarah Sejak Klasik Hingga Modern dan Kontemporer”, Jurnal Teks. No.1. 2002
Fauzan, Salih. al-Risalah al-Ah li al-Afta: Tanbihat Fi al-Rad man Ta’wala al-Sifat. Riyad: Dar al-Watan, tt
Fauzi, Ali Ihsan. “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Qur’an Survei Bibliografis atas Karya-karya dalam Bahasa Arab”, Ulumul Qur’an, Vol II, 1990
Al-Ghazali. al-Ihya al-Ulum al-Din. Mesir: Maktabah Alam al-Ma’rifah, 2000
Ghuzi, Muhammad. “Ta’wil dalam Pemikiran Tabataba’i: Studi terhadap Tafsir al-Manar”, Skripsi, Jur Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999
Al-Harari, ‘Abdullah. Al-Sarah al-Qawim Fi Halli Alfaz al-Sirat al-Mustaqim. Bairut: Dar al-Masyari, 2000
______. Izhar al-Aqidah al-Sunniyah bi al-Sarah al-Aqidah al-Tahawiyyah. Bairut: Dar al-Masyari, 1997
______. Sarih al-Bayan fi al-Rad ala Man Khalafa al-Qur’an. Bairut: Dar al-Masyari, 1997
______. Al-Maqalat al-Sunniyah Fi Kasyfi al-Dalalat Ahmad Ibn Taimiyyah. Bairut: Dar al-Masyari, 1996
Al-Hamaz\ani, al-Qadi ‘Abd al-Jabbar. Mutasyabih al-Qur’an. Kairo: Dar al-Turas\, tt
Al-Hanafi, al-Samarqandi, al-Maturidi, Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad ibn Muhammad. Ta’wilat Ahl al-Sunnah. Baghdad: al-Irsyad, 1983
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Hastuti, Noer Fadilah Wening. “Penafsiran Hamka terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Kajian Tafsir al-Azhar”, Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan kalijaga, Yogyakarta, 2000
Ibn Rusyd. Fasl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Fisal. Mesir: Dar al-Ma’arif, tt
Ibn Taimiyah. al-Tafsir al-Kabir, al-muhaqqiq ‘Abd al-Rahman Amirah, jilid II Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt
______. al-Iklif fi al-Muhkamat wa Ta’wil. Mesir: Maktabah Amirah as-Syarafah, tt
Ichwan, Nor. Memahami Bahasa al-Qur’an: Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002
Jamaluddin. Tabaqat al-Syafi’iyyah. jilid VII. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987
Al-Jauzi, ‘Abd al-Rahman Abi al-Hasan. Dafu’ Tasybih Biakfi al-Tanzih. Mesir: Maktabah al-Kuliyah al-Azhar, 1991.
Koentjaraningrat (ed.). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1977
Kurningsih. “Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi Komparatif antara Hasbi Ash-Shiddieqi dan Hamka”, Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000
Machasin. Al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasional al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 2000
Munawwir, Warson, Ahmad. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: PP al-Munawwir, 1984
Mustaqim, Abdul. Madzhibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode Klasik Hingga Kontemporer.Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Majma’ al-Lughah al-Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wajiz. Tkp: tp, 1994
Al-Nasafi, ‘Abdullah, Ahmad ibn Mahmud. Madarik al-Tanzil wa al-Haqaiq al-Ta’wil al-Ma’ruf bi al-Tafsir al-Nasafi. Bairut: Dar al-Fikr, tt
Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: LSAF, 1989
Al-Qusairi, al-Naisaburi, Abu al-Husain, Muslim ibn al-Hajjaj. Al-Jami’ al-Sahih. Baerut: Dar al-Fikr. Tt
Al-Qurtubi, al-Ansari, al-Andalusi, Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar. al-Jami LiAhkam al-Qur’an. Tkp: tp, tt
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Jilid III. cet ke 4. Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960
Rahman, Budhy Munawwar (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. cet 2. Jakarta: Paramadina, 1995
Rippin, Andrew.”The Present Status of Tafsir”, The Muslim Word, Vol. 72, 1982
Rozi, Fahrur. “Komparasi Hermeneutis Konsep Ta’wil Menurut Muhammad Syahrur dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Perspektif al-Ta’wil al-Ilmi”, Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003
Rohman, Nur. “Pandangan Muhammad ‘Abduh terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi terhadap Tafsir al-Manar”, Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999
Ash-Shiddieqi, Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Al-Salih, Subhi. Mabahis\ fi Ulum al-Qur’an. Bairut: Dar al-Kutub lilmalayin, 1977
Al-Sayuti, Jalaluddin. al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an. Bairut: Dar al-Fikr, tt
Al-Syurbasyi, Ahmad. Studi tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim. Terj. Zufran Rahman, Jakarta: Kalam Mulia, 1999
Salim, Peter. Salim’s Ninth Collegiate: English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 2000
Shahin, Emad Eldin..”Salafiyah”, dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern. Terj. Eva YN (dkk.), Bandung: Mizan, 2001
Surakhmad, Winarno. pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tariso,1998
Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Amal Bakti Press, 2000
Syarief, Muhammad. “Pandangan Tabataba’i terhadap Muhkam Mutasyabih”, Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000
Al-Tirmiz\i, Abu ‘Isa Muhammad ibn &#039I. Sunan al-Tirmiz\i. Bairut: Dar al-Fikr, tt
Al-Tabari, Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Tabari. jilid VIII. juz 8 Bairut: Dar al-Fikr, 1978
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Poerwadaminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Webster, Noah. Webster’s New Twentieth centurt Dictionary. Amerika Serikat: William Collins, 1980
Wansbroug, John. Qur’anic Studies Sources and Methode Scriptual Interpretation. Oxpord: Oxpord University Press, 1977
Al-Zarqani, ‘Abd al-’Azim. Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an. jilid II. Bairut: Dar al-Fikr, tt
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abdullah. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an. Mesir: al-Halabi, 1957
Al-Z|ahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1976

0 Comment