28 Mei 2012

IBNU TUFAIL
 Hayy Ibn Yaqzhan

1.      PENDAHULUAN
Sebelum datang agama islam adalah manusia berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan dari segi berfikir dan bertindak. Mereka hanyut dalam kegelapan dan tidak mengenal peradaban sebagaimana hidupnya kabilah-kabilah yang saling berdampingan namun tidak punya rasa tenggangrasa antar sesama. Seperti hidupnya para kabilah-kabilah di kawasan Najd, Iraq, Syam, Hijaz, Bahrain, ‘Amman, Yaman dan penduduk yang
tinggal di padang pasir (البداوى).[1]
            Dengan hadirnya agama Islam melalui ilmu yang selalu menjadi landasan dalam berfikir dan bertindak, umat islam menjadi umat yang maju bahkan mengalahkan cara berfikir dan bertindaknya bangsa eropa, bahkan umat islam bisa membuat bangsa eropa terbelalak melihat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat islam terhadap nilai-nilai akhlak dan keilmuan yan sangat tinggi, sehingga menghasilkan para ilmuan yang pakar-pakar dalam berbagai bidang termasuk bidang filsafat.
Sebagai contoh Andalus, yang merupakan pusat kebudayaan islam di eropa yang telah menghasilkan ilmuan kelas dunia sehingga didatangi banyak pelajar dari bangsa eropa seperti Ibnu Rusdy, Imam Thobary, dsb. untuk membangkitkan semangat dalam mempelajari ilmu filsafat, ia berusaha memberikan pengertian bahwa ilmu filsafat itu tidak bertentangan dengan wahyu Allah Swt. Melalui karya-karyanya dia berusaha mewujudkan itu, diantaranya adalah kisah roman yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan. Dengan roman ini, dia mencoba menerangkan antara filsafat dan agama. Bagaimanakah Ibnu Tufail menuangkan hasil karyanya dalam roman ini?, Insyaalah penulis akan memberikan keterangannya dalam makalah ini dari berbagai sumber yang penulis dapatkan, diantaranya dalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها karangan Yusuf Farhat.

2.      Biografi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdul Malik, dengan gelar Abu Bakar dan dinisbahkan kepada bani Qois. Dia dilahirkan di desa وادى أش cadix Granada Andalus, adapaun tanggal kepastian dari kelahirannya tidak begitu diketahui secara pasti, namun para ahli penghubung sejarah memberitakan kelahiran Ibnu Tufail pada abad ke-6 H[2], dan dalam buku Filsafat Islam, Prof. Dr. Sirajuddin Zar menulis bahwa kelahiran Ibnu Tufail pada tahun 506/1110 M.[3]
Disisi lain latar belakang sejarah dari Ibnu Tufail hampir sulit dijumpai, demikian juga dengan para guru-gurunya dan perjalanan dalam mencari ilmu pengetahuan, dugaan kuat dia pernah belajar di Secville karena kota tersebut merupakan pusat kegiatan keilmuan terbesar di Andalus pada sat itu. Ada yang mengatakan Ibnu Tufail mempelajari ilmu kedokteran di Granada dan ada pula yang mengatakan dia murid dari Ibnu Majjah, tapi dia sendiri mengaku tidak pernah bertemu dengan filosof itu.[4] Jadi selain menjadi filosof, Ibnu Tufail juga terkenal dengan bidang kedokteran, matematika dan penyair, dimana lewat karir dokternya dia menaiki tangga kesekretariatan Gubernur Ceuta dan Tangier putra Abdul Mu’min, penguasa Daulah Muwahhidun Spayol pertama yang merebut Marocco pada tahun 542 H yang kemudian menjabat sebagai dokter tinggi dan menjadi Qodhi di pengadilan khalifah Abu Ya’qub Yusuf (558-580 H). Pada tahun 578 H Ibnu Tufail mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa sudah tua dan lemah dan berdasarkan sarannya juga, jabatan dokter istana diserahkan oleh penguasa Daulah Muwahidun  kepada Ibnu Rusdy. Tiga tahun setelah itu, Ibnu Tufail wafat dan pemakamannya dihadiri oleh penguasa dan pembesar Daulah Muwahhidun.[5]
Berpijak pada jabatan terakhir inilah Ibnu Tufail mendapat kesempatan Penuh untuk mengembangkan filsafatnya, tapi sayang hanya sedikit sekali karya-karyanya yang sampai ke kita selain Hayy Ibn Yaqzhan. karya ini merupakan suatu roman filsafat pendek, namun memberikan pengaruh yang begitu besar sehingga karya tersebut dianggap sebagai salah satu buku yang paling mengagumkan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini yang diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spayol, Jerman, Rusia, hingga pada zaman modern pun minat terhadap karya ini masih tetap ada. Ahmad Amin menerbitkan dalam edisi bahasa arab, yang diikuti terjemahaannya pada bahasa Persi dan Urdu.[6]

3.      Filsafat Hayy Ibn Yaqzhan
Dikarenakan karya beliau yang tinggal adalah kisah Hayy Ibn Yaqhzan, maka untuk mengetahui filsafat Ibn Tufail tentu dengan cara mentelaah kisah in, sebab ia mengekpresikan filsafatnya dalam bentuk narasi. Ada yang mengatakan bahwa kisah ini ditulis oleh Ibn Tufail sendiri sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran. Ada juga yang mengatakan tulisan ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan usaha-usaha filosof muslim yang telah mendamaikan antara filsafat dengan agama telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafata selama ini hanya untuk kalangan tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang awam. Karena itu amat logis buku Ibnu Tufail ini ingin menetralisir keadaan dan ingin mengembalikan filsafat ke tempatnya yang semula[7].
Dari keringkasan isi cerita tersebut, sebenarnya Ibn Tufail hendak mengemukakan kebenaran berikut ini, seperti yang yang ringkas oleh Nadhim al-Jist dalam buku Qissat al-iman sebagaimana yang berikut :
A.    Urutan-urutan tangga ma’rifat yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
B.     Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanyapada makhluknya dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
C.     Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan keazalian mutlak, ketidak akhiran, zaman Qodim, hudust (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.
D.    Baik akal menguatkan qodimnya alam dan kebaharuannya, namum kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya tuhan.
E.     Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan dasar-dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan-keinginan badan pada hukum pikiran, tanpa melalaikan badan, atau meninggalkan sama sekali.
F.      Apa yang diperintahkan oleh syariat islam dan apa yang diketahui oleh akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebanaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
G.    Pokok dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya dan membuka kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka, juga pokok pangkal segala kebaikan adalah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.[8]
Sebagai bentuk corak filsafat Ibn Tufail, pada makalah ini kisah tentang Hayy Ibn Yaqzhan akan dicantumkan secara ringkas, bahwa salafus shalih kita terdahulu mengisahkan disuatu pulau dari berbagai banyak kepulauan di India, yang terletak dibawah garis khatulistiwa, lahirkan seorang manusia tanpa ayah dan ibu, yang manusia tersebut dibesarkan oleh alam[9], karena kepulauan tersebut memiliki iklim dan keadaan tanah yang stabil serta dibentangi oleh cahaya dari ufuk timur yang sempurna. Dipulau yang indah, luas, dan mukayafah (cocok dengan habitat/keadaan) tersebut memiliki banyak sekali faedah-faedah dan nilai-nilai kemakmuran bagi manusia, yang konon kabar dimiliki oleh seorang laki-laki yang mempunyai keinginan yang kuat tinggal disana serta mempunyai saudara perempuan yang cantik jelita[10].
Dan didalam buku Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban karangan Taufik Abdullah pun digambarkan tentang kisah yang sama, dengan mengisahkan seorang bayi laki-laki yang berada disebuah pulau, bayi itu boleh jadi muncul karena terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki oleh jiwa manusia, dan lahirlah bayi tersebut dengan nama Hayy Ibn Yaqzhan. Bayi yang dibesarkan dan diasuh oleh alam ini dapat terus hidup dengan lingkungannya, dan dapat berkembang baik menjadi manusia dewasa yang berada dilingkungan alam binatang seperti seekor rusa sebagaimana yang ada dalam buku tersebut. Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa menurut sunnahtullah sehingga dia bukan saja mampu berfikir tentang dunia fenomena, namun juga dapat menangkap hal-hal yang absrak dan mengetahui adanya tuhan, pencipta sekalian alam. Dia bahkan dengan mata batinnya dapat melihat tuhan, dan merasa dekat denganNya serta merasa bahagia.
Tidak jauh dari pulau itu terdapat pula pulau lain yang dihuni oleh satu masyarakat manusia. Absal dan salaman yang termasuk pemuka dalam masyarakat itu adalah penganut agama wahyu, namun memiliki kecendrungan yang berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian metaforis dan teks-teks agama, sedangkan salaman lebih cendrung kepada arti-arti lahiriyah, sejalan dengan sikap masyarakat umumnya pada pulau tersebut. Absal kemudian mengasingkan diri dari masyarakat, dan pada suatu hari Absal menyeberang ke pulau yang dihuni Hayy Ibn Yaqzhan, dan keduanya berjumpa dan setelah Hayy Ibn Yaqzhan diajari pandai berbicara, keduanya saling berdialog dan berkisah. Hayy dengan mudah dapat memahami dan menyetujui keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Absal tentang tuhan, syurga, neraka, hari berbangkit, timbangan, jalan lurus dsb, sebagaimana yang diajarkan oleh wahyu. Disisi lain Absal pun dengan mudah memahami apa yang diterangkan oleh Hayy tentang hasil renungannya dengan alam dan pengalaman rohaniahnya dengan tuhan, dan akhirnya kedua insan tersebut saling membenarkan satu dengan yang lain. Serta keduanya bersepakat untuk menyeberang kepulau yang dihuni oleh salaman, dengan maksud mengajak salaman dan masyarakat sepaya beragama dengan pemahaman-pemahaman yang ada pada kedua insan tersebut. Dan ternyata salaman dan masyarakatnya tidak tertarik dengan ajakan dari Hayy dan Absal, hingga akhirnya keduanya sadar bahwa dengan pemahaman seperti yang berkembang pada masyarakat itu tidak perlu diajak memahami agama seperti yang dipahami oleh Hayy dan Absal, dan akhirnya keduanya kembali kepulau yang tidak berpenghuni tadi dan melanjutkan ibadah serta tafakurnya depada Tuhan seperti sebelumnya.[11]
Dari kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini, Ibnu Tufail membuktikan bahwa manusia yang masih bersih dan suci dan belum terpengaruh oleh fikiran dan pemahaman lain akan mampu mengenal Allah sebagai sang khalid, dia juga bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk serta dia akan mengetahui bahwa hidup ini akan berakhir dan akan ada balasannya. Inilah fitrah manusia, suci dan bersih yang telah dianugrahkan oleh Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasullah Saw
عن أبى هريرة رضى الله عنه, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : كل ولد يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه او ينصرانه او يمجسانه (رواه مسلم)[12]
“setiap anak yang dilahirkan itu berada dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua Ibu Bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majudi (HR. Muslim).
Dari hadits yang mulia ini dapat kita petik sebuah hikmah, jika seandainya manusia itu dibiarkan dengan fitrahnya, maka dia akan berjalan dengan baik dan bisa mengenal Allah seperti yang digambarkan oleh kisah diatas tadi. Seperti filosof lain, Ibnu Tufail pun membahas beberapa permasalahan pokok dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, seperti ketuhanan, fisika, jiwa, epistemologi, rekonsiliasi antara filsafat dengan agama.

A.    Ketuhanan
Konsep ketuhanan, dengan arti seorang makhluk bisa meyakini adanya pencipta alam semesta. Didalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, dengan kekuatan nalar dan renungan terhadap alam sekitarnya, dia meyakini adanya pencipta, dia juga meyakini bahwa alam yang indah dan tersusun rapi ini tidak mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya. Ada 3 argumen yang dimukakan oleh Ibn Tufail untuk membuntikan adanya Allah, yaitu:

1.      Argumen Gerak (al-harakah)
Bagi orang yang meyakini adana qodim, penggerak ini berfungsi mengubah materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam baru, penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada menjadi ada. Argemen gerak ini sebagai bukti alam qodim dan barunya belum pernah dikemukakan oleh filosof muslim manapun sebelumnya, dan dengan argemen ini Ibnu Tufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.[13]

B.     Argumen Materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argumen ini didasarkan  pada ilmu fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat). Hal ini dikemukakan oleh Ibn Tufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut :
*. Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk
            *. Setiap materi membutuhkan bentuk
            *. Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak
            *. Segala yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta
Dengan argumen ini dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, dia mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan berakhir.


C.    Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-ilahiyyat 
Maksudnya segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu, dan ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu Tufail juga filosof lain yang berpegang pada argumen ini sesuai dengan Qur’ani, dan menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan.[14]
Menurut Ibn Tufail alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur, semua planet seperti matahri, bulan, bintang dan lain-lainnya teredar secara teratur. Begitu jug ajenis hewan, semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sangat efektif kemanfaatannya bagi hewan yang bersangkutan, tampaknya tidak satupun ciptaan Allah ini yang tidak percuma.[15] Ketiga argumen yang dikemukakan oleh Ibn Tufail ini membuktikan adanya Allah sebagai sang pencipta.
2.      Fisika
Menurut Ibn Tufail alam ini qodim dan juga baru, alam qodim karena Allah menciptakan sejal azali, tanpa didahului oleh zaman. Dilihat dari esensinya, alam adalah baru karena wujudnya alam tergantung pada zat Allah.[16]
Sebagaimana ketika anda menggegamkan suatu benda, kemudian anda menggerakkan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda dan gerakan benda tersebut tidak terlambat dari segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat, demikianlah alam ini, semuanya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah
إنما أمره إذا اراد شيئا ان يقول له كن فيكون (82)
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila menghendaki sesuatu hanyalah berkata ; Jadilah ! maka terjadilah ia” (QS. Yasin : 82)[17]
3.      Jiwa
Jiwa manusia menurut Ibn Tufail adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jazad dan ruh, badan tersusun dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak demikian. Jiwa bukan jisim dan bukan juga sesuatu daya yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa akan lepas dari badan dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.[18]
Ibn Tufail mengelompokan jiwa kepada tiga kelompok :
*. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungannya dan sellu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
*. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, maka jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
*. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidup, maka jiwa seperti ini akan berakhir seperti hewan.
4.      Epistemologi
Dalam epistemologi, Ibnu Tufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu dimulai dari pancaindra, dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Ma’rifat dilakuakan dengan dua cara yaitu dengan renungan atau pemikiran, seperti yang dilakukan oleh filosof muslim dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi, kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk esensi epistemologi Ibn Tufail, hal ini dapat diraih oleh seseorang tergantung kepada latihan rohani, tingkat pemikiran dan renungan akal.[19]
5.      Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama
Melalui roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal tidak bertentangan dengan wahyu.[20]
Dari kisah yang digambarkan oleh Ibn Tufail, dimana tokoh Hayy dengan renungan, pemikiran dan pengalaman sendiri, dia dapat mengetahui kebenaran, dan tatkala ia bertemu dengan absal yang membawa kebenaran berdasarkan wahyu, ia langsung membenarkan dan mengimaninya, ini menunjukan bahwa akal murni dan pemikiran yang tidak benar bertentangan dengan wahyu, maka apa saja yang disampaikan oleh wahyu langsung diimani oleh akalm karena akal meyakini kebenaran yang dibawa oleh wahyu disebabkan  wahyu langsung datang dari Allah yang tidak dikeragui lagi kebenarannya, seperti halnya pembenaran Hayy terhadap apa yang dibawa oleh Absal.
Ibn Tufail menyadari, mengetahui dan berhubungan dengan Allah melalui pemikiran akal murni yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus, dan orang awam tidak mungkin dapat melakukannya, justru itu bagi orang awam sangat diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh Nabi.[21]
Agama diturunkan untuk semua orang dalam tingkatannya. Filsafat hanya dapat dijangkau oleh orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit. Agama  melambangkan dunia atas semua lambang-lambang eksoteris, agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan persepsi-persepsi antopomorfis sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak, dan filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris yang menafsirkan lambang-lambang itu agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki. Kenyataannya ibn Tufail berusaha dengan penuh kesungguhannya untuk merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Hayy dalam roman filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah, sedangkan Absal ia lambang sebagai wahyu dalam bentuk esoteris yang membawa hakekat, sementara salaman ia lambangkan  sebagai agama yang juga membawa kebenaran dalam bentukk esoteris, kebenaran yang dibawa filsafat tidak bertetangan dengan kebenaran yang dikehendaki agama karena sumbernya sama yakni Allah Swt.
4.      Kesimpulan
Dari kisah roman yang dikisahkan oleh Ibn Tufail, kita dapat memetik kesimpulan secara akal dan iman, bahwa sumber inti dari diri manusia adalah kebenaran yang suci dan tidak ternoda, sehingga jika ada pengaruh luar yang masuk, pengaruh tersebutlah yang merusak dan menodai kesucian diri manusia tersebut, sebagaimana gambaran hadist dari Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas tadi.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Farhat, Yusuf, كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها , Ganef:تراد كسيم-شركة مساهمة سويسرية, 1986, Cet.1


Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam;Filosof dan Filsafatnya, jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004

Yunus, Suraij Ibn, كتاب القضاء, Beirut: دار البشائر الإسلامية 1421-2000, cet.1

Ya’cub, A. Tasman, Filsafat Islam; Profil filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur Tengah dan Barat, Padang: IAIN Press 1999

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoere







[1] Yusuf Farhat, كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها , (Ganef:تراد كسيم-شركة مساهمة سويسرية, 1986), cet.1, hal.7
[2] Ibid, h.157
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam;Filosof dan Filsafatnya, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.205
[4] A. Tasman Ya’cub, Filsafat Islam; Profil filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur Tengah dan Barat, (Padang: IAIN Press 1999)h.96
[5] Taufik  Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoere), h.207
[6] Sirajuddin Zar, op.cit, h.207
[7] ibid
[8] A. Tasman Ya’cub, op.cit, h.99
[9] Didalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامه  karangan Yusuf Farhat di istilah dengan kata-kata شجر
[10] Yusuf Farhat, op.cit, h.167
[11] Taufik  Abdullah, op.cit, h.207-208
[12] Suraij Ibn Yunus, كتاب القضاء, (Beirut: دار البشائر الإسلامية 1421-2000), cet.1, h.43
[13] Sirajuddin Zar, op.cit, h.213
[14] Ibid, h.215
[15] Ibid
[16] Ibid, h.216
[17] ibid
[18] Ibid, h. 217
[19] Ibid, h. 218
[20] Ibid, h. 219
[21] Ibid

0 Comment