13 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari kesenian, baik seni pertunjukan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu, walisongo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat da’wahnya, guna memasukan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.
Awal mula langkah da’wah menggunakan kesenian diterapkan oleh Sunan Kalijaga. Ia menggunakan media wayang sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam pada masyarakat Jawa. Hal ini pertama kali dilakukan di serambi masjid Agung Demak dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Cerita wayang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga banyak bernafaskan Islam, isinya menggambarkan etnik Islam, kesusilaan hidup berdasarkan tuntunan dan ajaran Islam.
Selain itu masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan pemujaan terhadap roh leluhur, sesajen-sesajen dalam kehidupannya, bahkan berkembang setelah agama Hindhu Budha masuk ke Nusantara yaitu sekitar abad ke-IV M. Kebiasaan ini berjalan terus hingga agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-VII M, bahkan sampai sekarangpun masih banyak ditemui. Melihat kenyataan tersebut Sunan Kalijaga tidak langsung memberantas dan melarang adat kebiasaan tersebut, tapi cukup dimasuki dengan unsur-unsur ajaran Islam.
Melalui cara seperti ini penyebaran agama Islam tidak harus dengan jalur formal, tetapi dapat dilakukan melalui adat kebiasaan yang masih dilakukan, baik itu melalui kesenian maupun upacara tradisi masyarakat, yang dalam pelaksanaannya disisipi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian proses penyebaran agama Islam dapat dilakukan secara tidak langsung.
Kesenian atau upacara tradisi telah lama ada bahkan sampai sekarang masih tetap dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan maksud untuk mengingat kembali peristiwa bersejarah yang terjadi pada saat itu dan untuk melestarikan budaya yang mereka miliki. Hal ini dapat dilihat dalam upacara Mauludan, Rajaban, Sekaten dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk mengingat kembali pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang berkaitan dengan syiar Islam.
Seperti yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yakni di daerah Imogiri, Bantul, Yogyakarta, mereka mengadakan upacara tradisi turun temurun. Upacara tersebut dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan ajaran Islam. Sultan Agung adalah raja Mataram yang ke tiga.
Selama masa pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram Islam dapat menyatukan Jawa dan Madura kecuali Banten dan Jakarta. Sebagai orang Islam, Sultan Agung telah berhasil memajukan agamanya. Namun rupanya usahanya belumlah sampai tujuan, hal ini terlihat adanya campuran Islam dengan unsur-unsur lain. Percampuran antara unsur Islam dengan unsur Hindu, Budha dan unsur-unsur kepercayaan lain yang ada di Indonesia sampai sekarang masih terasa, yakni terlihat dalam beberapa upacara tradisional yang masih biasa dilakukan, salah satunya adalah tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Imogiri, Yogyakarta.
Upacara tradisi tersebut oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan nguras Kong, yakni upacara penggantian air di dalam gentong/ tempayan. Gentong tersebut oleh masyarakat Imogiri dan sekitarnya sering disebut dengan istilah kong. Kong tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai benda pusaka dan bersejarah serta diyakini bahwa air yang ada di dalam kong dapat membawa berkah. Kong tersebut berjumlah empat yang diperoleh Sultan Agung dari kerajaan lain sebagai tanda takluk.
Masing-masing kong tersebut oleh Sultan Agung diberi nama yakni Kyai Danumaya (dari kerajaan Aceh), Nyai Danumurti (dari kerajaan Palembang), Kyai Mendung (dari kerajaan Rum, Turki), Kyai Syiem (dari kerajaan Siam, Thailand). Pada zaman dahulu kong tersebut disimpan oleh Sultan Agung di dalam istana kerajaan sebagai tempat air wudhu keluarga. Setelah Sultan Agung wafat keempat kong tersebut diboyong ke makam Imogiri yakni tempat Sultan Agung dimakamkan.
Upacara tradisi nguras kong biasa dilakukan satu tahun sekali yaitu pada hari Jum’at atau Selasa Kliwon pada bulan Suro (Muharram). Proses pelaksanaan upacara penggantian air kong diawali dan diakhiri dengan acara tahlilan bersama oleh keluarga kraton, abdi dalem, masyarakat setempat serta pengunjung yang berkeinginan untuk mengikuti acara tahlil tersebut.
Dalam perkembangannya upacara tradisi nguras kong tersebut dirasa lebih meriah karena diadakannya Kirab Budaya dengan disertai arak-arakan gunungan di sepanjang jalan menuju makam. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa menghormati para leluhur mereka, terutama seorang raja seperti Sultan Agung, mereka menganggap raja adalah utusan Tuhan YME di muka bumi ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram Imogiri, sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas di lingkungan Imogiri, Yogyakarta yang merupakan daerah tempat pelaksanaan tradisi tersebut. Penelitian terhadap upacara tradisi nguras kong ini, dibatasi pada kajian budaya. Hal ini disebabkan karena upacara nguras kong merupakan salah satu upacara tradisi yang digunakan sebagai sarana penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana latar belakang munculnya upacara tradisi nguras kong?
b. Bagaimana bentuk pelaksanaan upacara tradisi nguras kong?
c. Nilai-nilai Islam apa saja yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian :
a. Untuk menjelaskan tentang latar belakang munculnya upacara tradisi nguras kong.
b. Mengkaji lebih dalam tentang bentuk pelaksanaan upacara tradisi nguras kong.
c. Mengkaji tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong.
Kegunaan Penelitian :
1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang upacara nguras kong yang mengandung nilai-nilai Islam.
2. Sebagai alas pijak dan in put yang berguna bagi para peneliti berikutnya, dalam rangka pengembangan ilmu, khususnya dalam masalah yang sama.
3. Sebagai pelengkap dalam ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan upacara tradisional yang terus berkembang, khususnya upacara-upacara yang terdapat di makam raja-raja Mataram Imogiri.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang upacara tradisi masyarakat telah banyak dilakukan, namun untuk pembahasan tentang tradisi nguras kong di makam raja-raja Mataram belum ada pembahasan secara khusus. Walau demikian penulis juga menggunakan beberapa penelitian yang pernah membahas tentang makam Imogiri. Adapun referensi tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, sebuah buku kecil yang ditulis oleh R. Ng. Martohastono berjudul Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, buku ini berisi tentang sejarah berdirinya makam Imogiri.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Maryadi Habib, tentang tinjauan terhadap upacara ziarah tradisional di makam Imogiri. Penelitian ini juga membahas tentang adanya beberapa upacara tradisi yang biasa dilakukan di makam Imogiri yang salah satunya adalah tradisi nguras kong. Namun pembahasan mengenai tradisi tersebut hanya sedikit tidak secara keseluruhan, karena dalam penelitian ini lebih ditekankan pada makna ziarahnya.
Ketiga, juga berupa penelitian yang dilakukan di makam Imogiri, yakni tentang makna simbolik dalam tata busana abdi dalem dan juru kunci makam Imogiri. Penelitian ini lebih menekankan pada makna-makna dalam tata busana yang digunakan para abdi dalem dan juru kunci makam Imogiri.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas, menunjukkan bahwa belum ada penelitian yang membahas tentang upacara tradisi nguras kong secara mendalam dan menyeluruh. Penelitian-penelitian tersebut hanya menyinggung sedikit tentang upacara nguras kong dan memaparkan tentang sejarah dibangunnya makam raja-raja Mataram, namun skripsi tersebut serta buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan dapat penulis jadikan sebagai bahan yang membantu dalam mencari data-data yang otentik.
E. Landasan Teori
Nilai merupakan objek keinginan yang mempunyai kualitas dan dapat menyebabkan seseorang mengambil sikap, baik setuju maupun memberi sifat-sifat tertentu. Nilai itu bersifat ide dan abstrak, oleh karena itu tidak dapat disentuh oleh panca indra. Menurut Pringgodigdo nilai merupakan sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, seperti nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan.
Perasaan seseorang mengusai batin manusia sehingga banyak cerita-cerita yang tidak masuk akal tetapi kebenarannya diakui. Misalnya mitos, yakni sebuah kebenaran religi dalam bentuk cerita. Cerita dalam kerangka sistem suatu religi dimasa lalu atau masa kini, telah atau sedang berlaku sebagai kebenaraan keagamaan. Begitu juga halnya dengan cerita-cerita yang ada dalam masyarakat Jawa yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan mereka.
Religi dan upacara religi merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat di dunia. Menurut Koentjaraningrat sistem religi merupakan salah satu unsur pokok dalam kebudayaan, sedangkan upacara adalah melakukan kegiatan adat, kegiatan untuk rasa kebesaran, tanda-tanda kebesaran, peringatan atau perayaan.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Antropologi yaitu pendekatan yang mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari perilaku tokoh sejarah, struktur dan gaya hidup, serta sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan sebagainya. Menurut ahli Antropologi, sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu :
1. Tempat upacara keagamaan dilakukan, yaitu berhubungan dengan tempat-tempat keramat seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya.
2. Saat-saat upacara dijalankan, yakni mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci.
3. Benda-benda dan alat upacara, yakni aspek tentang benda dan alat yang dipakai dalam upacara seperti patung-patung, lonceng, seruling, genderang atau benda lainnya yang dianggap suci.
4. Orang-orang yang melakukan upacara dan memimpin upacara, yaitu para pelaku upacara keagamaan seperti pendeta, biksu, dukun dan sebagainya.
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori W. Robertson Smith tentang upacara bersaji, sebuah teori mengenai azas-azas religi. Ia berpendapat bahwa disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan dan perasaan manusia untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Sesaji juga merupakan simbol yang digunakan sebagai perantara untuk berhubungan kepada hal-hal ghaib.
Melalui pendekatan Antropologi dan teori W. Robertson Smith tersebut penulis mencoba menganalisis data yang terhimpun meliputi beberapa hal yang berkaitan dengan upacara tradisi Nguras Kong, mulai dari sistem pelaksanaan upacara, sesaji yang dipersembahkan, serta nilai-nilai yang terkandung didalam rangkaian upacara.
F. Metode Penelitian
Untuk mempermudah penelitian dan memperoleh hasil yang maksimal, maka penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pengumpulan Data
a. Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan adalah jenis data primer dan skunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan wawancara dan observasi, sedang data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang maksimal, penulis menggunakan beberapa tehnik yaitu :
1. Wawancara, yaitu dengan cara mengadakan tanya jawab secara terarah guna mendapatkan keterangan yang aktual dan positif dari responden sesuai dengan yang diteliti. Tehnik wawancara ini dibagi menjadi 3 yaitu ;
a. Interview bebas, metode ini penulis gunakan untuk mewancarai peserta upacara tradisi Nguras Kong.
b. Interview terpimpin, metode ini digunakan untuk memperoleh data dengan mewancarai para pejabat makam raja-raja Mataram Imogiri.
c. Interview bebas terpimpin, penulis gunakan untuk wawancara dengan masyarakat umum.
2. Observasi, metode ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan denga sistematis fenomena-fenomena yang sedang diselidiki. Metode ini penulis gunakan untuk melengkapi metode wawancara serta dilakukan secara langsung pada objek penelitian di lokasi.
3. Dokumentasi, metode ini penulis gunakan untuk mengetahui keabsahan atau bukti nyata dari kegiatan yang dilakukan, misalnya dengan memberikan catatan-catatan, gambar atau lainnya yang bisa dijadikan sebagai bukti nyata.
2. Kritik Sumber
Penelitian ini menggunakan kritik sumber yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang diperoleh. Kritik dilakukan dengan kritik intern dan ekstern.
3. Analisis Data
Data yang terkumpul bukanlah merupakan hasil akhir dari suatu penelitian ilmiah, tetapi data-data tersebut masih perlu dianalisis, baik analisis selama di lapangan maupun setelah meninggalkan lapangan.
4. Penulisan
Setelah langkah operasional dilakukan, maka hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini dibagi dalam 5 bab, yakni : bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Penjelasan pada bab ini merupakan bab pengantar dan gambaran secara global dari seluruh pembahasan.
Bab kedua membahas tentang gambaraan umum makam raja-raja Mataram Imogiri meliputi, letak dan sejarah makam Imogiri, upacara-upacara lain yang dilakukan di makam, serta keadaan makam raja-raja Mataram Imogiri. Pembahasan dalam bab ini merupakan penjelasan secara keseluruhan tentang makam Imogiri yang menjadi tempat pelaksanaan upacara.
Bab ketiga, membahas bentuk dan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong, meliputi latar belakang munculnya, rangkaian pelaksanaan upacara, tujuan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong, sesaji upacara dan maknanya. Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan secara lebih lengkap hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan upacara tradisi nguras kong dengan harapan dapat menggali nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tersebut.
Bab keempat, berisi tentang nilai-nilai Islam yang terkandung dalam tradisi nguras kong yang terdiri dari nilai akidah, ibadah, akhlak, dan nilai sejarah. Pembahasan dalam bab ini merupakan pembahasan inti, karena membahas nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara tradisi nguras kong.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dengan disertai saran-saran dan penutup.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOMPLEKS
MAKAM RAJA-RAJA MATARAM IMOGIRI
A. Letak dan Sejarah berdirinya
Makam raja-raja Mataram di Imogiri terletak kurang lebih 17 km sebelah tenggara dari kota Yogyakarta. Kompleks makam tersebut berada di wilayah Kelurahan Girirejo dan Kelurahan Wukirharjo. Hal ini di sebabkan karena, kompleks makam Imogiri yang milik Kasunanan Surakarta berada di wilayah Girirejo, sedangkan makam milik Kasultanan Yogyakarta berada di wilayah Wukirharjo. Kelurahan Girirejo dan Kelurahan Wukirharjo berada di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Makam tersebut terletak di daerah perbukitan Merak Handokopuro atau yang lebih dikenal dengan pegunungan Imogiri. Tempat tersebut merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 85-100 m dari permukaan laut.1 Makam ini merupakan kompleks pemakaman khusus untuk raja-raja Mataram beserta warisnya semenjak Sultan Agung.
Raja-raja yang dimakamkan di makam tersebut dianggap memiliki karakteristik spiritual yang berhubungan dengan kesaktian, kepahlawanan, serta jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam di Jawa, terutama Sultan Agung. Menurut keterangan juru kunci, makam ini dibangun sekitar tahun 1632 M sewaktu kraton Mataram berada di Kerta, Pleret.
Makam tersebut dalam pembangunannya mendatangkan seorang arsitek terkenal yang berasal dari Jepara bernama Tumenggung Citro Kusumo.2 Awal mula berdirinya makam Imogiri dalam sebuah cerita dikisahkan bahwa :
Ketika Sinuhun Hanyokrowati (Sinuhun Sedo Krapyak) mangkat, maka puteranya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom pada waktu sedo, sedang pergi tirakat ke pegunungan selatan. Sehingga sebagai wakil adalah Gusti Pangeran Martopuro. Sesudah satu tahun lamanya bertirakat, maka Gusti Pangeran Adipati Anom pulang ke kerajaan dan memegang kekuasaan Mataram dengan gelar Prabu Hanyokrokusumo.3
Sultan Agung adalah raja Mataram ke tiga, yang memegang kekuasaan pada hari Selasa Legi tanggal 10 Suro tahun 1613 M dengan nama Prabu Hanyokro Kusumo. Selama masa pemerintahannya, Sultan Agung terkenal sebagai raja yang arif, bijaksana, jujur dan sakti, sehingga seluruh rakyat hormat dan segan kepadanya.
Selain itu Sultan Agung juga memiliki salah satu keistimewaan yakni pada setiap hari Jum’at melaksanakan sholat Jum’at di Mekah dengan perjalanan secepat kilat. Dengan seringnya berjama’ah sholat jum’at di masjid Mekah, maka ia meminta izin kepada pemerintah Arab, jika kelak ia meninggal dunia ingin dikuburkan di Mekah. Akan tetapi pemerintah Arab tidak memberikan izin kepada Sultan Agung. Sultan Agung merasa kecewa, kemudian ia hanya meminta sedikit tanah dari Mekah untuk dibawa pulang ke Mataram.4
Setelah memerintah selama 15 tahun ia ingin memulai membangun makam, yaitu dengan melemparkan sebagian tanah yang dibawa dari Mekah, kemudian ia menyuruh para prajuritnya untuk mencari tempat jatuhnya tanah tersebut dengan ciri-ciri tanah tersebut berbau wangi. Tanah tersebut diketemukan di pegunungan Giriloyo yang letaknya di sebelah timur laut dari Imogiri, kemudian Sultan Agung memerintahkan abdi dalemnya untuk segera membangun makam di tempat tersebut. Pada saat makam tersebut dalam pembangunan, paman Sultan Agung yang bernama Panembahan Juminah mengajukan permintaan untuk ikut di makamkan di makam tersebut jika meninggal nanti. Tidak lama kemudian pamannya jatuh sakit kemudian meninggal dunia dan dimakamkan di makam tersebut.
Sultan Agung merasa kecewa karena makamnya telah didahului oleh pamannya, selanjutnya ia melemparkan kembali tanah yang masih tersisa dan tanah tersebut jatuh di pegunungan Merak, kemudian dibangunlah makam diatas pegunungan tersebut. Setelah memerintah selama 32 tahun, Sultan Agung menderita sakit keras dan meninggal dunia pada hari Jum’at Legi, bulan Sapar, tahun 1645 M yang kemudian dimakamkan di Imogiri. 5
Selain cerita tersebut diatas, ada versi lain tentang cerita pembuatan makam Imogiri yakni seperti yang ditulis oleh Pranata, yang menceritakan bahwa :
Pada suatu hari setelah selesai menunaikan sholat Jum’at di Mekah, Sultan Agung bercakap-cakap dengan penguasa Mekah yang pada saat itu adalah Imam Sufingi. Sultan Agung menyatakan keinginannya kepada Imam Sufingi untuk membangun makam di kota Mekah di sebelah Barat makam Nabi Muhammad SAW. Imam Sufingi menolak permintaan Sultan Agung dengan alasan bahwa hal itu tidak baik, sebab Sultan Agung adalah makhluk campuran ganda, yaitu keturunan manusia dan dewa, sedangkan yang dikubur di Mekah adalah Nabi Muhammad SAW, manusia yang suci. 6
Selanjutnya, Pranata dalam bukunya yang berjudul Sultan Agung menceritakan : karena ditolak oleh Imam Sufingi, Sultan Agung merasa kecewa dan pulang ke Mataram kemudian pergi ke Parangkusumo menemui Kanjeng Ratu Kidul. Setibanya di sana Sunan Kalijaga sudah berada disana, kemudian menasehati Sultan Agung :
Ananda Sultan Agung, semua itu meunjukkan dengan jelas bahwa, ananda tidak diperkenankan untuk dimakamkan di tanah suci Arab. Ananda harus dimakamkan di bumi Nusantara ini. Ikutilah tanah yang kulemparkan ini, yang diambil dari Mekah, dimana tanah itu jatuh maka bangunlah makam diatas tanah tersebut untuk engkau dan anak cucumu. 7
Tanah yang dilempar Sunan Kalijaga jatuh diatas bukit yang sekarang bernama Imogiri. Di bukit tersebut kemudian Sultan Agung membangun makamnya.
Raja-raja pendahulu Sultan Agung dimakamkan di sebelah masjid di Kotagede, tetapi Sultan Agung sudah semasa hidupnya membangun makam yang letaknya tinggi di atas bukit. Pembangunan makam di atas bukit dihubungkan dengan pengangkatannya sebagai Susuhunan pada tahun 1624 dan gelar Sultan pada tahun 1645. 8 Menurut Mudjanto, penggunaan gelar Susuhunan dan Sultan oleh Sultan Agung adalah sebagai upaya untuk memantapkan mandat keagamaannya. 9
Pembangunan makam di Imogiri dan penyusunan serangkaian babad memiliki tujuan yang sama yakni untuk menegakkan legitimasi keagamaan Mataram, salah satunya yakni Babad Nitik Sultan Agung. Babad tesebut menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan magis Sultan Agung yang dapat terbang dan melakukan shalat Jum’at di Mekah secara rutin. 10
Melihat dari bentuk arsitektur dan letak geografisnya pembangunan makam Imogiri ini ada 3 unsur kebudayaan yang mempengaruhinya yakni pengaruh dari adat Jawa, Hindu, dan Islam. Pengaruh adat Jawa terlihat dalam pengambilan nama Imogiri dari bahasa Jawa kuno yakni Imo berarti kabut dan Giri berarti gunung. Selain itu terlihat juga dalam bentuk bangunan yakni pendopo yang berada di halaman depan yang berbentuk limasan yaitu bentuk rumah adat Jawa.11
Pengaruh dari Hindu terlihat bahwa makam Imogiri dibangun di atas pegunungan, hal ini menyerupai dengan gunung Himalaya yang menjadi tempat kediaman para Dewa. Pengaruh dari Islam adalah bahwa di komplek pemakaman dibangun sebuah masjid, dan makam tersebut dibangun di atas bukit yang konon merupakan tempat jatuhnya tanah yang dilempar Sultan Agung yang didapat dari Mekah. 12
B. Upacara-upacara di Makam Raja-raja Mataram Imogiri
Upacara dan tata cara mengagungkan roh leluhur banyak macam dan ragamnya, semuanya berhubungan dengan peristiwa kematian dan selametan.13 Mengagungkan, menghormati dan memperingati roh leluhur sudah dikenal orang Jawa dan dilaksanakan sejak nenek moyang beberapa tahun yang silam, sebelum Hindu masuk ke pulau Jawa. Upacara-upacara mengagungkan roh leluhur dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat dan suci.
Berkaitan dengan kepercayaan tersebut upacara-upacara tradisi di makam raja-raja Mataram di Imogiri bertujuan untuk menghormati roh-roh para leluhur yaitu para raja yang dimakamkan di tempat tersebut, khususnya Sultan Agung yang dianggap sebagai pepunden (orang yang dimuliakan) rakyat, sebagai tokoh yang pintar dan hebat. Selain tujuan tersebut juga untuk mencari berkah dari kekuatan ghaib yang ada di makam Imogiri. 14
Beberapa upacara yang dilakukan di makam raja-raja Mataram Imogiri adalah sebagai berikut :
1. Upacara ruwahan/sadranan
Nyadran berarti melaksanakan upacara sadran atau sadranan. Upacara ini diadakan setiap tahun yaitu pada bulan Sya’ban (Ruwah) sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa bulan Ramadhan. Nyadran dilangsungkan dengan selametan dirumah atau dimakam, dengan membuat makanan berupa ketan, kolak dan apem, ditambah sesaji yakni dengan membakar kemenyan dan menyajikan kembang setaman. Nyadran adalah suatu perwujudan pengagungan terhadap arwah leluhur. 15
Upacara ini diselenggarakan 2 rangkaian upacara yaitu caos dhahar (mempersembahkan santapan) dan upacara ziarah. Sebelum upacara dilaksanakan, diperlukan adanya suatu persiapan meliputi persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir adalah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan upacara ruwahan yakni uborampe (barang-barang kebutuhan upacara).
Persiapan batin adalah persiapan kejiwaan untuk melakukaan upacara yang bersifat sakral yakni dilakukan dengan berpuasa untuk membersihkan jiwa. Di makam raja-raja Imogiri upacara nyadran dilangsungkan sesudah didahului upacara utusan dari kraton. Upacara ini dilaksanakan oleh para abdi dalem dan segenap tamu undangan dan bagi masyarakat setempat dalam melaksanakan upacara sendiri waktunya setelah dilaksanakannya upacara hajatan dalem. Upacara ini bertujuan untuk mengagungkan dan mengirim do’a pada leluhur sebagai rasa hormat mereka.
2. Upacara ziarah/nyekar
Ziarah kubur dilakukan untuk mengagungkan arwah yang jasad keluarganya di makamkan di sana. Di samping itu ada pula yang memohon do’a restu kepada nenek moyang dalam menghadapi masalah berat dalam hidup. Ziarah kubur dilakukan setiap Kamis malam Jum’at, ada yang tiap 35 hari sekali (selapan) dan ada pada hari-hari yang dianggap suci, Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon. 16
Upacara ini biasa disebut nyekar, sebab nyekar (tabur bunga) mengikuti ziarah kubur. Upacara tersebut dilakukan dengan khidmat, bunga yang ditabur di atas makam adalah bunga yang dianggap paling baik yakni bunga mawar, melati, kantil dan telasih yang ditambah dengan membakar menyan. 17
3. Upacara mboyong kayu wunglen
Kayu wunglen dipercayai sebagai salah satu wasilah/pengantar Sultan Agung untuk memberikan pertolongan. Menurut cerita, kayu wunglen ini peninggalan Kanjeng Sultan yang dianggap keramat. Kayu tersebut dapat dijadikan untuk menjaga badan dari gangguan sesuatu yang ghaib, dapat menambah kewibawaan serta dapat juga menyembuhkan orang sakit.
Upacara ini dilakukan bila ada masyarakat yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut. Untuk memiliki kayu tersebut harus sowan atau menghadap pada juru kunci makam, kemudian matur atau mengatakan bahwa akan memboyong (membawa pulang) kayu wunglen. Kayu wunglen harus diuji dahulu, yakni dengan cara dimasukkan dalam segelas air putih, jika kayu tersebut langsung tenggelem berarti kayu wunglen boleh dibawa pulang.
Akan tetapi jika kayu tersebut tidak tenggelam berarti tidak dapat dibawa pulang, karena menurut juru kunci, hati orang yang ingin memiliki kayu wunglen tersebut belum benar-benar tulus dan bersih. Setelah kayu diuji dan dapat dibawa pulang maka kayu tersebut harus diganti dengan mahar/uang.
4. Upacara hari pahlawan
Upacara ini dilakukan dengan tahlilan bersama dengan mengundang seluruh abdi dalem yang dilanjutkan tabur bunga. Upacara ini dimaksudkan untuk mengenang kembali jasa-jasa para leluhur yang di makamkan di makam raja-raja Mataram Imogiri dan seluruh pejuang kemerdekaan RI. 18
Upacara-upacara tersebut diatas adalah sebagian dari upacara tradisi yang sering dilakukan di makam Imogiri. Begitu juga halnya dengan upacara tradisi nguras kong, upacara-upacara tradisi tersebut diatas memiliki tujuan yang sama yakni untuk menghormati jasa para leluhur, meskipun cara dan waktu pelaksanaan berbeda.
C. Keadaan Makam Raja-raja Mataram Imogiri
Masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, menganggap bahwa makam atau pasarean merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan cenderung dikeramatkan, meski tidak semua makam dianggap keramat. Dalam hal keyakinan, masyarakat Jawa mempunyai kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib dan keramat, seperti benda-benda pusaka dan makam. Niels Mulder juga berpendapat :
Gaya hidup kebatinan meliputi pelaksanaan dari semua bentuk kebudayaan Jawa yang mempunyai makna mengatasi alam materiil, seperti kepercayaan akan ramalan, penafsiran terhadap lambing-lambang dan kesaktian barang-barang keramat dan makam. 19
Seperti halnya dengan makam Imogiri, masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, menganggap bahwa makam Imogiri adalah makam kermat dan suci, karena orang yang di makamkan di makam tersebut adalah orang yang dianggap berjasa, sakti dan suci seperti Sultan Agung.
Bangunan makam ini berada di antara rerimbunan pohon yang dikelilingi oleh tembok benteng, kurang lebih tingginya 7 meter. Apabila diamati bangunan tersebut menyerupai sebuah benteng kerajaan dengan pintu-pintu yang berbentuk gapura dengan ketebalan dinding sekitar 45 cm. Makam Imogiri berada di puncak bukit, hal ini menyerupai bangunan pura yang di dalamnya terdapat abu pembakaran mayat yang diletakkan pada tempat yang tinggi seperti tradisi Hindu.20
Makam ini termasuk bangunan kuno dan bersejarah karena dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung. Makam ini telah mengalami perbaikan akibat erosi tanah, namun nilai historis, keindahan arsitektural dan nuansa sakralnya hingga sekarang masih tetap terpelihara, sehingga setiap saat mengundang kehadiran para peziarah dan wisatawan untuk menyaksikan ketegarannya. Para peziarah makam untuk dapat sampai ke puncak harus melewati beberapa rangkaian anak tangga yang berjumlah 409 trap.
Menurut mitos, anak tangga ini sering meleset dari hitungan. Pada trap ke-346 terdapat perempatan anak tangga ke arah barat dan timur. Arah barat menuju lokasi pemakaman Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sedangkan arah timur menuju lokasi pemakaman Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kerajaan Mataram mengalami kemunduran setelah wafatnya Sultan Agung, bahkan terjadi perpecahan. Mataram terbagi menjadi 2 yaitu Kasunanan Surakarta dengan Sunan sebagai kepala pemerintahannya dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono sebagai kepala pemerintahannya, yakni pada tanggal 13 Februari 1755 M. 21 Hal ini mengakibatkan makam Imogiri juga terbagi menjadi 3 yaitu :
a. Bagian Mataram, yang terbagi menjadi 2 yaitu :
1. Kasultanan Agung
Dinamakan bagian Kasultanan Agung karena yang dimakamkan disini adalah Kanjeng Sultan Agung. Di makam inilah sebenarnya tujuan sebagian para pengunjung berziarah. Mereka beranggapan bahwa akan mendapat wasilah dari Kanjeng Sultan, sehingga tempat ini dijadikan untuk memohon sesuatu. 22 Sebagian para peziarah berkeyakinan bahwa kekuatan ghaib berada dan menetap di tempat-tempat keramat seperti makam, mereka berkeyakinan makam guru dan raja diberkati dengan kekuatan mistis. 23
Untuk masuk ke Kasultanan Agung harus melewati beberapa gerbang. Gerbang I adalah halaman kemandungan yang berbentuk candi terbuat dari batu merah dan batu putih dengan motif patra (daun). Halaman ini memiliki 2 bangsal pecaosan (penjagaan) yang disebut bangsal sapit urang yakni bangsal Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Gerbang kedua adalah Sri Manganti dengan hiasan pahatan ukir pada bagian kayu. Pintu gerbang yang terakhir adalah gapura Pisowanan Lebet, di halaman ini terdapat bangsal Prabayeksa yang menjadi makam Sultan Agung. Bangunan ini beratapkan kayu jati berdinding kayu wunglen dan berlantai batu putih, dipuncak cungkup dihiasi dengan mahkota megah yang terbuat dari perunggu.
Bangsal Prabayeksa berfungsi sebagai tempat juru kunci dan pelaksanaan upacara nguras kong dan upacara ruwahan. Di halaman ini terdapat empat gentong yang letaknya berjajar dari barat ke timur. Selain itu di halaman ini juga terdapat batu persegi panjang yang berbau harum. Batu tersebut diberi nama “siti harum” yang harus dicium oleh setiap peziarah, karena menurut cerita ditempat tersebut Sultan Agung moksa. Batu tersebut merupakan tempat jatuhnya tanah suci dari Mekah yang dilempar Sultan Agung. 24
2. Kedaton Pakubuwanan
Kedaton ini diberi nama pakubuwanan sebab yang dimakamkan di tempat ini adalah Pakubuwana I. Komplek ini terdiri dari tiga halaman yaitu halaman pertama merupakan bangsal juru kunci, bangsal ke dua tempat pemakaman kerabat kraton, dan halaman ke tiga tempat pemakaman Sri Paduka Pakubuwana I, Sri Paduka Hamangkurat Jawa, Sri Paduka Pakubuwana II.
b. Bagian Kasultanan Yogyakarta, yang terbagi dalam 3 halaman yaitu :
1. Kedaton Kasuwargan Yogyakarta, yang memiliki 3 bangsal yakni bangsal pertama untuk juru kunci, kedua untuk pemakaman kerabat kraton, ketiga merupakan pemakaman Sri Paduka Hamang Kubuwana I, Sri Paduka Hamang Kubuwana II.
2. Kedaton Besiaran Yogyakarta memiliki 3 bangsal, pertama untuk juru kunci, kedua untuk pemakaman kerabat kraton, ketiga tempat pemakaman Sri Paduka Hamang Kubuwana IV, Sri Paduka Hamang Kubuwana V, Sri Paduka Hamang Kubuwana VI.
3. Kedaton Saptorenggo memiliki 3 halaman, pertama bangsal juru kunci, kedua pemakaman kerabat kraton, ketiga untuk pemakaman Sri Paduka Hamang Kubuwana VII, Sri Paduka Hamang Kubuwana VIII, Sri Paduka Hamang Kubuwana IX.
c. Bagian Kasunanan Surakarta memiliki 3 kedaton yaitu :
1. Kasuwargan Surakarta memiliki 4 bangsal yaitu bangsal pertama untuk penjagaan/juru kunci, kedua bangsal biasa, ketiga untuk pemakaman kerabat kraton, keempat untuk pemakaman Sri Paduka Pakubuwana III, Sri Paduka Pakubuwana IV, Sri Paduka Pakubuwana V.
2. Kedaton Astana Leluhur/Kapingsangan memiliki 3 halaman yaitu untuk juru kunci, untuk pemakaman keluarga kraton, dan pemakaman Sri Paduka Pakubuwana VI, Pakubuwana VII, Pakubuwana VIII, Pakubuwana IX.
3. Kedaton Girimulya Surakarta memiliki 3 halaman yaitu untuk juru kunci, untuk pemakaman keluarga keraton dan pemakaman Sri Paduka Pakubuwana X, Pakubuwana XI.
Selain sebagai tempat pemakaman, makam ini juga dijadikan sebagai obyek pariwisata yang cukup terkenal di Yogyakarta sampai luar kota Yogyakarta, dan dibuka bagi siapa saja yang ingin berziarah. Para pengunjung yang memasuki halaman makam Kasultanan Agung, harus beristirahat untuk mendaftar lebih dahulu di bangsal sapit urang, serta menanggalkan pakaian yang digunakan dan menggantinya dengan pakaian tradisional Jawa yaitu pranakan bagi pria dan kemben bagi wanita, serta melepas alas kaki yang dipakai. 25 Selain itu juga di makam raja-raja Mataram terdapat benda-benda yang dianggap keramat dan bersejarah yaitu antara lain :
1. Tangga
Tangga Masjid Pajimatan berjumlah 409 trap. Anak tangga ini merupakan jalan menuju ke puncak makam. Anak tangga ini berjumlah 409 trap yang mengandung makna bahwa kitab suci ada 4, 0 melambangkan Tuhan itu suci dan 9 sebagai lambang bahwa yang menyebarkan Islam di Jawa melalui 9 wali yakni Walisongo. Namun ada juga yang mengatakan bahwa jumlah anak tangga ini 365, sesuai dengan jumlah hari dalam satu tahun.
Menurut mitos, tangga ini dijadikan sebagai ramalan nasib bagi para peziarah. Pada saat naik dan turun tangga menghitung jumlah anak tangga, jika hitungannya sama berarti permohonan sewaktu berziarah akan terkabulkan, dan jika hitungannya berbeda maka permohonanya belum dikabulkan.
2. Cepuri dan Rana
Cempuri adalah bangunan yang mengelilingi halaman pemakaman sebagai batas halaman yang satu dengan yang lain. Sedangkan rana adalah bangunan sebagai sekat dari depan pintu gapura dengan halaman. Cempuri dan rana dibuat dengan menggunakan batu merah yang ditumpangi dengan batu putih.
3. Gentong atau kong
Gentong ini berjumlah empat yang letaknya di sebelah utara pendopo sapit urang. Masing-masing diletakkan di atas dasar batu berbentuk persegi panjang yang di bawahnya dipasang batu hitam sebagai penyangga/pondasi dan masing-masing kong diberi pagar kayu yang kokoh.
4. Cungkup
Cungkup adalah bangunan berbentuk rumah kecil yang di dalamnya terdapat kuburan seseorang. Cungkup ini dimaksudkan untuk melindungi dari panas matahari dan air hujan. Hal ini juga bertujuan untuk menghormati orang yang dimakamkan didalamya.
5. Nisan, sebagai tanda bahwa ditempat tersebut terdapat kuburan seseorang. Jika yang dikubur seorang perempuan maka nisannya tumpul, sedangkan nisan untuk laki-laki berbentuk runcing. 26
DAFTAR PUSTAKA
Ali Fikri, Jati Diri Remaja Muslimah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001.
Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu, 1999.
Departemen Agama, Al-qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: C.V. Jaya sakti, 1997.
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1986.
Istiyani Wahyuningsih, Simbolisme Dalam Busana Abdi Dalem Juru Kunci Makam Imogiri Kasultanan Yogyakarta, Skripsi S-1 Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003.
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI, 1995.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI Press, 1984.
______________, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
______________, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1980.
Louis Kattsof, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987.
Maryadi Habib, Tinjauan Terhadap Upacara Ziarah Tradisional Pada Makam Imogiri, Skripsi S-1 Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1978.
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKIS, 1999.
Nasikun, Pokok-pokok Ajaran Islam, Yogyakarta: C.V. Bina Usaha, 1984.
Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.
___________, Mistisisme Jawa, Yogyakarta: LKIS, 2001.
Nur Amien Fattah, Metode Da’wah Wali Songo, Semarang: Trikusuma Offset, 1985.
Pringgodigdo dan Hasan Sadily, Ensiklopedia Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1973.
R. Ng. Martohastono, Riwayat Pasarean Imogiri, Kotagede : t.p. 1956.
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Utama, 1991.
Solihin Salam, Sekitar Wali Songo, Menara Kudus, 1986.
___________, Sejarah Islam Di Jawa, Jakarta: Djaya Surni, 1964.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Sujarno, Upacara Sedekah Bumi di Gandrungmanis, Yogyakarta: Depdikbud, 1999.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Yogyakarta: Andi Offset, 1989.
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: NARASI, 2003.
Syaikh M. Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Ukadjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Grafika, 1975.
Van Ball, Sejarah Pertumbuhan Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia, 1988.
Winarto Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode & Tehnik, Bandung: Tarsito, 1980.
BAB IV
NILAI-NILAI ISLAM YANG TERKANDUNG
DALAM UPACARA TRADISI NGURAS KONG
Nilai dalam kamus besar Bahasa Indonesia merupakan konsep mengenai penghargaan tertinggi yang diberikan oleh warga masyarakat terhadap masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci, sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan. 1 Agama dalam arti seluas luasnya tentu memiliki aspek fundamental yakni aspek kepercayaan atau keyakinan terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, suci dan ghaib.2
Aspek fundamental dalam agama Islam dirumuskan dalam aqidah atau keimanan yakni dalam rukun iman, yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai oleh umat Islam, diantaranya adalah percaya kepada Allah, para malaikat, para Nabi, kitab-kitab suci, hari kiamat/akhir, dan percaya pada qadha dan qadar. Selain itu masih terdapat unsur-unsur keimanan lain yang harus dipercayai seperti percaya pada syaithan, iblis, jin, syafa’at Nabi Muhammad SAW. dan lain sebagainya.3
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. dengan kitabnya Al-qur’an, merupakan agama untuk seluruh manusia dan alam semesta ini. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. :
وما ارسلنك الا كا فة لنا س بشيرا ونذيرا (سبا : 28)
Artinya : Dan kami tidak mengutusmu kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (Q.S. As-saba’ :28).4
Islam sebagai agama, bertujuan membangun manusia seutuhnya, agar manusia sejahtera lahir batin, bahagia di dunia dan akhirat. Islam menyebarkan ajarannya melalui media dakwah Islam, tanpa melalui dakwah Islam sulit akan berkembang.
Setiap orang muslim berkewajiban melaksanakan tugas dakwah dengan tanggung jawab. Tugas ini dapat terlaksana dengan baik apabila tujuan dari tugas dakwah tercapai. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan tepat dan cepat perlu ada sesuatu cara yang serasi yaitu melaksanakan dakwah dengan metode yang sesuai dengan situasi serta obyek dakwah.
Seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, seni dapat digunakan sebagai media dakwah. Cara ini merupakan sebagian cara yang bijaksana dalam melakukan pendekatan dan menarik simpati rakyat serta memperkenalkan ajaran Islam.5 Untuk itu penulis ingin memaparkan nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam upacara tradisi masyarakat Imogiri yakni diantaranya :
1. Nilai Akidah
Akidah atau keimanan dalam Islam merupakan hakikat yang meresap kedalam hati dan akal. Iman merupakan pedoman dan pegangan yang terbaik bagi manusia dalam rangka mengarungi kehidupan. Iman menjadi sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak, karakter dan mental manusia, sehingga dengan iman tersebut manusia dapat mengatur keseimbangan yang harmonis antara jasmani dan rohani.
Adapun kepercayaan atau akidah yang asasi dituntut oleh Islam untuk dipercayai, sebagai unsur utama adalah percaya adanya Allah dan keesaan-Nya,6 sesuai dengan firman Allah :
قل هوالله احد0الله ا لصمد0 لم يلد ولم يولد0 ولم يكن له كفوا احد (الاحلا ص : 1-4)
Artinya : katakanlah, “Dia-lah Allah YME. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Al-ikhlas : 1-4). 7
Surat Al-ikhlas ini menegaskan kemurnian keesaan Allah SWT. Surat Al-ikhlas ini dibaca pada saat pelaksanaan tahlilan dalam upacara tradisi nguras kong sebanyak 33 kali. Selain bacaan tersebut juga membaca surat al-baqarah ayat 255, atau yang sering disebut dengan ayat kursi. 8
Ayat kursi ini menunjukkan bahwa hanya Allahlah yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Firman Allah :
الله لااله الاهوالحي القيوم لا تأ خذه سنة ولا نوم له ما فى السموات وما فى الارض من ذالذى يشفع عنده الا با ذ نه يعلم ما بين ايديهم وما خلفهم ولا يحيطون بشيء من علمه الا بما شاء وسع كرسيه السموات والارض ولا يؤده حفظهما وهوالعلي العظيم (البقره :255)
Artinya : Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at disisi Allah tanpa izinnya? Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka sedang mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang Allah kehendaki. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. Al-baqoroh : 255).9
2. Nilai Ibadah
Menurut keyakinan Islam, orang yang telah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah. Ruh adalah sesuatu zat yang diciptakan Allah didalam tubuh manusia dan dengan itu manusia hidup.10 Sebagaimana firman Allah :
فا ذ ا سو يته و نفخت فيه من روحي فقعوا له سجد ين (الحجر : 29)
Artinya : maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan-Ku), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S. Al hijr : 29).11
Kepercayaan tersebut telah mewarnai kehidupan orang Jawa, menurut mereka arwah orang yang telah meninggal dunia berkeliaran dan masih mempunyai kontak hubungan dengan keluarga yang masih hidup. Berdasarkan kepercayaan hal ini maka muncullah tradisi kirim do’a, tahlilan, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dan seribu hari (nyewu) setelah seseorang meninggal dunia. Berziarah ke makam dan mendo’akan orang yang meninggal dunia merupakan anjuran menurut ajaran Islam, karena dengan berziarah memperkuat iman dan mengingatkan manusia akan kematian. Sedangkan penentuan hari-hari pelaksanaan kirim do’a adalah sebagai warisan budaya Jawa pra-Islam.
Do’a mempunyai pengaruh yang luas dalam berbagai bentuk pelaksanaan upacara tradisional orang Jawa, termasuk upacara tradisi nguras kong do’a merupakan salah satu unsur dalam pelaksanaan upacara. Berdo’a adalah suatu penyampaian segala permintaan kepada suatu dzat yang tertinggi yaitu Tuhan. Fungsi do’a adalah memohon kepada Allah agar diberi keselamatan dan kesejahteraan, dengan do’a manusia akan selalu ingat kepada Tuhan. Dalam hadits dijelaskan bahwa do’a adalah otaknya ibadah.
Hadits tersebut berbunyi : 12
الد عا ء مغ العبا د ة (رواه البخا رى و مسلم)
Artinya : Do’a itu adalah otaknya ibadah (H.R. Bukhori dan Muslim).
Berdo’a pada dasarnya berisikan ucapan syukur dan terimakasih, adanya pengakuan salah dan dosa serta memuliakan nama Tuhan. Allah SWT. menyerukan kepada manusia untuk berdo’a kepadanya, sebagaimana firman Allah:
وقال ربكم ادعونى استجب لكم ان الدين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين (المؤ من :60)
Artinya : Dan Tuhanmu berfirman “berdo’alah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”. (Q.S. Al Mu’min : 60).13
Dalam pelaksanaan upacara tradisi nguras kong dimeriahkan pula dengan adanya kirab budaya yakni arak-arakan beberapa gunungan yang berisi hasil pertanian masyarakat Imogiri, selain itu upacara ini juga didukung oleh adanya persembahan yang terdapat dalam sesaji. Adanya gunungan yang isinya berupa hasil pertanian dan beberapa macam persembahan oleh masyarakat Imogiri dianggap sebagai sedekah.14
Sedekah merupakan ibadah terhadap sesama manusia, hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Al-qur’an yakni adanya perintah untuk shalat lima waktu dan menafkahkan rizki yang dianugrahkan Allah. Firman Allah :
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقنا هم ينفقون (البقرة : 3)
Artinya : (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Q.S. Al-baqoroh : 3).15
Nilai ibadah yang lain adalah membaca shalawat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. dan keluarga agar mendapatkan syafa’at.
اللهم صلى على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم
Artinya : semoga Sholawat dan salam diberikan kepada Nabi Muhamad dan keluarga.
Sebagaimana firman Allah :
ان الله وملئكته يصلون علىالنبي يايهاالذين امنواصلواعليه وسلموتسليما
(الاحزا ب :56)
Artinya : Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Q.S. Al-ahzab :56).16
Selain itu upacara tradisi nguras kong juga mengandung nilai silaturrahmi. Hal ini nampak dalam pelaksanaan tradisi nguras kong yang dihadiri oleh masyarakat yang sangat antusias terhadap tradisi nguras kong. Sehingga pertemuan mereka dijadikan sebagai ukhuwah Islamiyah mempererat tali persaudaran. Sebagaimana dianjurkan dalam Al-qur’an :
وتقواالله الذي تساء لون به والارحا م ان الله كا ن عليكم رقيبا
(النسا : 1)
Artinya : Dan bertaqwalah kepada Allah dengan menggunakan nama-Nya, kamu satu sama lain peliharalah silaturrahmi. Sesungguhnya Allah menjaga dan mengawasimu (Q. S. An-nisa’: 1).17
3. Nilai Akhlak
Akhlak merupakan sikap jiwa yang telah tertanam dengan kuat yang mendorong pemiliknya untuk melakukan perbuatan. Demikian juga iman adalah bertempat dalam hati yang mempunyai daya dorong terhadap tingkah laku atau perbuatan seseorang. Hanya saja sikap jiwa belum tentu menjurus pada hal-hal yang baik.
Menurut pandangan Islam akhlak yang baik haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidaklah cukup sekedar disimpan dalam hati, melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata berupa amal shaleh atau tingkah laku yang baik. Begitu pula halnya dengan ibadah, ibadah dalam Islam (sholat, puasa, zakat dan haji) merupakan gerak serempak antara jasmani dan rohani, satu sama lain saling melengkapi, sehingga ibadah mempunyai hubungan dengan ajaran moral (akhlak), karena ibadah yang baik akan menghasilkan akhlak yang baik pula.18
Mendo’akan orang tua yang telah mati merupakan perbuatan atau akhlak yang terpuji. Orang tua adalah orang yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik seorang anak, sehingga perlu berlaku baik terhadap orang tua. Pelaksanaan tahlil bersama dalam nguras kong adalah acara kirim do’a kepada seluruh penghuni makam dan sanak saudara yang telah meninggal dunia, yang diakhiri dengan do’a oleh sesepuh abdi dalem makam.
Do’a tersebut berbunyi : 19
اللهم انزل الرحمة والمغفرة على سا ئر اهل القبور من المسلمين والمسلما ت والمؤمنين والمؤمنا ت ارفع لهم الدرجا ت كفر عنهم السيئات ياايتهاالنفس المطمئنة ارجعى الىربك راضية مرضية0 فا دخلى فى عبا دى وادخلى جنتي0
Artinya : Wahai Allah, turunkanlah rahmat dan ampunan atas semua ahli kubur yang Islam dan yang mu’min baik laki-laki maupun perempuan. Angkatlah derajat mereka dan hapuslah dosa-dosa mereka. Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan diridhoi, masuklah kedalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah kedalam syurga-Ku.
Nilai akhlak yang lain juga terdapat dalam rangkaian do’a yaitu mendo’akan seluruh manusia yang muslim baik laki-laki maupun perempuan. Do’a tersebut berbunyi :
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموا ت0
Artinya : Wahai Allah ampunilah orang-orang Islam laki-laki maupun perempuan dan orang-orang mu’min laki-laki maupun perempuan yang masih hidup dan yang telah mati.
Perintah berbuat baik kepada orang tua diterangkan dalam Al-qur’an yang berbunyi :
ووصينا الا نسا ن بوالديه حملته امه وهنا على وهن وفصا له فى عا مين ان شكر لى ولوالديك الي االمصير (لقما ن : 14)
Artinya : Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua, ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah lemah dan menyapihnya dalam 2 tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua orang tuamu, kepada-Kulah kamu kembali (Q.S. Lukman : 14).20
Selain nilai-nilai Islam yang terdapat dalam beberapa rangkaian upacara seperti tersebut diatas, nilai-nilai Islam terdapat pula dalam hal tata busana yang dikenakan oleh para pelaku upacara. Para pelaku upacara, khususnya para abdi dalem makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat mengenakan pakaian tradisional Jawa, yakni pranakan (sorjan) dan mengenakan kain batik. Kain batik merupakan salah satu perlengkapan upacara tradisional yang dipakai oleh abdi dalem juru kunci makam Imogiri Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Sebagai suatu produk kebudayaan, kain batik tidak dapat dipisahkan dari tingkah laku simbolik yang mengungkapkan berbagai peristiwa dengan pesan-pesan tertentu. Hal ini terlihat dalam tata busana abdi dalem juru kunci makam Imogiri yang tercermin dalam:
a. Baju dengan model bentuk baju kurung yang mempunyai motif bergaris tiga melambangkan iman, ikhsan dan Islam. Motif yang bergaris lima melambangkan rukun Islam, sedangkan dengan motif bergaris enam merupakan lambang rukun iman.
b. Baju (sorjan) model leher panjang dengan lengan mengecil yang diberi lima buah kancing dengan jahitan tikam balut sebagai lambing rukun Islam yang lima.
c. Baju (sorjan) model leher lurus diberi tiga buah kancing dengan jahitan tikam balut melambangkan simpul dari iman, ikhsan dan Islam.
d. Kain batik yang dipakai juru kunci makam adalah sebagai pengganti kain sarung, yang mempunyai fungsi untuk menutup aurat dan juga dapat digunakan untuk melakukan ibadah shalat.
e. Blangkon merupakan penutup kepala.
f. Stagen melambangkan bahwa manusia harus dapat mencegah hawa nafsu dengan melakukan puasa.
g. Keris melambangkan tentang kakuasaan. 21
4. Nilai Sejarah
Tradisi nguras kong mempunyai latar belakang sejarah dakwah Islam yang dilakukan oleh Sultan Agung. Metode penyebaran agama Islam yang dilakukan Sultan Agung mempunyai kesamaan dengan yang dilakukan oleh para Walisongo terutama Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dalam menyebarluaskan ajaran Islam dengan mengambil hati masyarakat dengan hiburan dan kesenian. Melalui tradisi lama yang tetap dibina bahkan kemudian disesuaikan dengan budaya Islam, seperti :
a. Grebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan Maulud Nabi sehingga dikenal dengan grebeg puasa dan grebeg Maulud.
b. Gamelan sekaten yang hanya dibunyikan pada grebeg Maulud dihalaman masjid besar. Nada-nada gamelan tersebut berisikan syair-syair Islam dan puji-pujian.
Selain itu Sultan Agung juga memadukan kalender Saka yang berdasarkan jalannya matahari dengan kalender Islam Hijriah menurut jalannya bulan yang dikenal dengan Kalender Jawa yang dimulai pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data-data hasil penelitian terhadap upacara tradisi nguras kong, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Nguras kong adalah suatu upacara tradisi jamasi (membersihkan) gentong. Upacara nguras kong merupakan upacara untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kerajaan Mataram mengalami masa kejayaan sehingga banyak kerajaan lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Mataram. Sebagai tanda persahabatan, kerajaan-kerajaan tersebut memberikan hadiah, diantaranya gentong. Gentong tersebut berjumlah empat, diperoleh dari empat kerajaan yang berbeda yakni dari kerajaan Aceh, Palembang, Turki, dan Thailand. Setelah Sultan Agung wafat keempat gentong tersebut diboyong ke makam Imogiri, tempat Sultan Agung dimakamkan. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Sultan Agung, masyarakat Imogiri melakukan upacara nguras kong setiap tahun pada bulan Syuro yakni pada hari Selasa atau Jum’at Kliwon.
2. Rangkaian pelaksanaan upacara tradisi nguras kong ini diawali dan diakhiri dengan tahlil. Upacara ini mengalami perkembangan, yakni sebelum acara dimulai diadakan kirab budaya yakni arak-arakan gunungan yang berisi hasil pertanian masyarakat Imogiri. Pada malam harinya diadakan tahlil bersama oleh para pengunjung dan para abdi dalem. Pagi harinya merupakan puncak acara yakni pengurasan air kong. Pada saat upacara berlangsung banyak masyarakat yang ikut serta dengan tujuan untuk memperoleh berbagai jenis benda sajian, dengan harapan ngalap berkah.
3. Pelaksanaan upacara tradisi nguras kong ini tidak dapat lepas dari unsur-unsur yang berbau animisme, karena dalam pelaksanaannya upacara ini didukung oleh adanya sesajen. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa upacara ini juga merupakan ritual keagamaan karena adanya tahlilan atau pengiriman do’a terhadap orang yang telah menunggal dunia. Upacara nguras kong mengandung nilai-nilai Islam, yakni diantaranya adanya nilai akidah, ibadah, akhlak dan nilai sejarah.
B. Saran-saran
1. Upacara nguras kong sebagai warisan nenek moyang yang mempunyai nilai-nilai luhur hendaknya dipelihara dan dilestarikan keberadaannya, dalam upaya melestarikan budaya daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional.
2. Para tokoh agama dan masyarakat hendaknya lebih meningkatkan semangat untuk mengembangkan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-qur’an dan Hadits kepada masyarakat awam. Sehingga pelaksanaan upacara nguras kong bersih dari unsur-unsur pra-Islam.
C. Penutup
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studi di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang secara tidak langsung membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun para pembaca sekalian.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : K.R.T. Rekso Winoto
Alamat : Karang Tengah, Imogiri, Bantul Jogjakarta
Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Pimpinan Abdi Dalem Makam Imogiri
Agama : Islam
2. Nama : Dwi Hastono
Alamat : Girirejo, Imogiri, Bantul Jogjakarta
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan : Abdi Dalem Makam Imogiri
Agama : Islam
3. Nama : Danang
Alamat : Girirejo, Imogiri, Bantul Jogjakarta
Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : Kepala Desa Girirejo
Agama : Islam
4. Nama : Mbah Jumali
Alamat : Giriloyo, Imogiri, Bantul Jogjakarta
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Abdi Dalem Makam Imogiri
Agama : Islam
5. Nama : H. Abadi
Alamat : Karang Talun, Imogiri, Bantul Jogjakarta
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan : Abdi Dalem Makam
Agama : Islam
6. Nama : M. Yanto
Alamat : Karang Tengah, Imogiri, Bantul Yogyakarta
Umur : 45 Tahun
Pekerjaan : Abdi dalem Makam Imogiri
Agama : Islam
7. Nama : Bambang Purwanto
Alamat : Wukirsari, Imogiri, Bantul Yogyakarta
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Perangkat Desa Girirejo
Agama : Islam
8. Nama : Marsupardi
Alamat : Gombong, Kebumen
Umur : 48 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
9. Nama : Yoyo
Alamat : Jogokariyan, Yogyakarta
Umur : 29 Tahun
Pekerjaan : Wirausaha
Agama : Islam
Maharsi, M. Hum.
Dosen Fakultas Adab
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Saudari Laili Farkhiyatun
Kepada Yang Terhormat
Dekan Fakultas Adab
IAIN Sunan Kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perubahan seperlunya, maka kami selaku pembimbing berpendapat bahwa skripsi saudari :
Nama : Laili Farkhiyatun
NIM : 99122438
Jurusan : Sejarah Peradaban Islam (Adab)
Judul Skripsi : Nilai-nilai Islam Dalam Upacara Tradisi Nguras Kong Di Makam Raja-raja Mataram Imogiri
Sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora dalam Ilmu Sejarah Peradaban Islam. Karena itu kami berharap skripsi tersebut dalam waktu dekat dapat disidangkan dalam sidang munaqasyah.
Demikian, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Juni 2004
Pembimbing
(Maharsi, M. Hum.)
MOTTO
“من سلك طريقا يلتمس به علما سهل الله له به طريقا الى الجنة ”
“Barang siapa berjalan untuk mencari ilmu
niscaya Allah akan memudahkan jalannya menuju syurga” 1
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan untuk
Almamaterku Fakultas Adab
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dan juga untuk Ayah dan Ibuku
serta kakak dan adik-adikku
yang senantiasa menyayangi aku.

KATA PENGANTAR
االحمد لله رب العلمين والصلاة والسلام على اشرف الانبياء والمرسلين وعلى أله وصحبه أجمعين أشهد أن لا اله ألا الله وأشهد أن محمدا رسول الله0
Segala puji bagi Allah SWT. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya. Tidak ada daya kekuatan kecuali atas pertolongan-Nya.
Alhamdulillah, berkat rahmat dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam rangka mengakhiri studi di Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini ditulis guna memenuhi sebagian syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora dalam Ilmu Sejarah Peradaban Islam. Adapun judul skripsi tersebut adalah Nilai-nilai Islam dalam Upacara Tradisi Nguras Kong di Makam Raja-raja Mataram Imogiri. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada :
1. Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Maharsi, M. Hum. selaku Dosen pembimbing penulisan skripsi.
3. Drs. H.Maman Abdul Malik SY., MS. selaku Penasehat Akademik.
4. Para dosen Fakultas Adab beserta staf karyawan.
5. Pegawai UPT perpustakaan IAIN.
6. K.R.T. Rekso Winoto selaku Pimpinan Abdi Dalem Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat.
7. K.P.H. Suryo Negoro juga selaku Pimpinan Makam Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.
8. Seluruh Abdi Dalem Makam Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
9. Ayah dan Ibu yang senantiasa memberikan do’a dan dorongan, hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
10. Seluruh teman kelas SPI/B : Mustain, Firliansyah, Muzayin, Munir, Nanang, Nuraini dan Sundari serta semua teman kos Ummul Mizan, Luluk dan momo-nya, Mumu dan raki-nya, Upie serta Yuli kalian adalah teman-teman yang baik.
11. Spesial buat Mas Khabibi, kamu telah banyak membantu dan selalu mendengarkan semua keluh kesahku.
Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca sekalian.
Yogyakarta, Juni 2004
Penulis
(Laili Farkhiyatun)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN NOTA DINAS ……………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii
HALAMAN MOTTO ………………………………………………………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………… v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………….. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ……………………………….. 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………………………………. 5
D. Tinjauan Pustaka ………………………………………………. 6
E. Landasan Teori ……………………………………………….. 7
F. Metode Penelitian ……………………………………………… 9
G. Sistematika Pembahasan ………………………………………. 12
BAB II GAMBARAN UMUM MAKAM RAJA-RAJA MATARAM IMOGIRI
A. Letak dan sejarah berdirinya ………………….……………….. 13
B. Upacara-upacara di Makam Raja-raja Mataram Imogiri ………. 18
C. Keadaan Makam Raja-raja Mataram Imogiri ………………….. 21
BAB III BENTUK DAN PELAKSANAAN UPACARA TRADISI
NGURAS KONG DI MAKAM RAJA-RAJA MATARAM IMOGIRI
A. Latar Belakang Munculnya Upacara Tradisi Nguras Kong… 28
B. Rangkaian Pelaksanaan Upacara Tradisi Nguras Kong …… 32
C. Sesaji Upacara dan Maknanya …………………………….. 36
D. Tujuan Pelaksanaan Upacara Tradisi Nguras Kong ………. 39
BAB IV NILAI-NILAI ISLAM YANG TERKANDUNG
DALAM UPACARA TRADISI NGURAS KONG
A. Nilai Akidah ……………………………………………….. 42
B. Nilai Ibadah ……………………………………………….. 44
C. Nilai Akhlak ……………………………………………….. 48
D. Nilai Sejarah ………………………………………………. 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………….. 53
B. Saran-saran ……………………………………………….. 54
C. Penutup …………………………………………………… 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
NILAI-NILAI ISLAM
DALAM UPACARA TRADISI NGURAS KONG
DI KOMPLEKS MAKAM RAJA-RAJA MATARAM
IMOGIRI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Guna memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu Ilmu Humaniora
Oleh :
Laili Farkhiyatun
NIM. 99122438
JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
CURICULUM VITAE
I. Data Pribadi
Nama : Laili Farkhiyatun
Tempat, tanggal lahir : Batumarta, 22 Desember 1981
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Status nikah : Belum Kawin
Alamat : Batumarta IV OKU Sumatera Selatan
II. Data Orang tua
Nama Ayah : Mukijo, S.Pd.
Pekerjaan : PNS
Nama Ibu : Siti Asiyah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Batumarta IV OKU Sumatera Selatan
III. Data Pendidikan
2. TK Darussalam lulus tahun 1987
3. MI Darussalam lulus tahun 1993
4. MTS Nurul Huda lulus tahun 1996
5. MAN Wonokromo lulus tahun 1999
6. IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam tahun 1999
Gunungan yang diarak
pada Acara Kirab Budaya
Pasukan Prajurit Keraton
Pada Acara Kirab Budaya
Proses pengurasan air kong
dan perebutan air kong oleh pengunjung
Pengisian air kong oleh para Abdi dalem
Sesaji Upacara Tahlil Bersama
Sesaji Upacara Pengurasan Air Kong
Kong yang diarak
Pada Acara Kirab Budaya
BAB III
BENTUK DAN PELAKSANAAN
UPACARA TRADISI NGURAS KONG
DI MAKAM RAJA-RAJA MATARAM IMOGIRI
A. Latar Belakang Munculnya Upacara Tradisi Nguras Kong
Pada bab I dijelaskan bahwa upacara adalah melakukan kegiatan adat, kegiatan untuk rasa kebesaran, tanda-tanda kebesaran, peringatan atau perayaan. Menurut orang Jawa hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan lingkaran hidup manusia sejak dalam kandungan, lahir, kanak-kanak, dewasa, sampai saat kematiannya.1 Upacara ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat Jawa secara turun-temurun yang dilakukan dengan harapan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
Suatu tradisi kadang tidak diketahui dengan jelas awal kemunculannya, karena tidak semua tradisi termuat dalam suatu dokumen tertulis. Namun, kebanyakan tradisi hanya ditinggalkan dan diturunkan secara lisan atau melalui suatu cerita (mitos) tertentu. Walaupun demikian, suatu tradisi sangat diyakini keberadaannya dan kebenarannya.
Begitu pula dengan tradis nguras kong yang dilaksanakan di makam raja-raja Mataram Imogiri. Tradisi ini ada sebagai warisan dari nenek moyang yang sudah dilaksanakan turun-temurun oleh masyarakat Imogiri. Keberadaan tradisi ini erat kaitannya dengan cerita (mitos) yang ada dalam masyarakat Imogiri.
Makam Imogiri sebagai salah satu makam yang masih dianggap keramat yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Agung. Di makam ini, upacara-upacara tradisi masih sangat subur. Ini membuktikan bahwa orang Jawa masih sangat memegang adat-istiadat nenek moyang mereka.
Masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, berziarah ke makam Imogiri karena adanya keyakinan bahwa pepunden (orang yang dimuliakan) mereka dimakamkan di sana, sehingga makam tersebut dianggap keramat mengandung kekuatan mistis. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya upacara tradisi yang dilakukan di makam misalnya, upacara ruwahan, nguras kong, nyekar, mboyong kayu wunglen dan lain-lain. Tradisi nguras kong merupakan upacara yang dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Sultan Agung dalam menyebarkan ajaran Islam.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 M), Mataram mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan. Sultan Agung merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak. Ia dikenal dengan sebutan Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti Khalifatullah pemimpin dan penegak agama di tanah Jawa.2
Sultan Agung adalah tokoh kebudayaan Jawa yang memiliki kebijaksanaan tinggi dan berhasil memadukan kebudayaan Jawa dengan Islam.3 Ia mengubah Kalender Saka dengan Kalender Islam yang dimulai pada bulan Juli 1633 M atau 1043 Hijriyah. Kalender ini merupakan wujud persepsi kebudayaan Jawa terhadap Islam.4
Mataram terkenal sebagai kerajaan yang besar sehingga banyak kerajaan lain yang ingin menjalin hubungan persaudaraan dengan Mataram. Selain itu, Sultan Agung juga sering berkunjung ke kerajaan lain sehingga banyak kerajaan yang memberikan hadiah, diantaranya berupa gentong yang berjumlah empat yaitu berasal dari kerajaan Aceh, Palembang, Turki, dan Thailand. (Lihat lampiran I-IV, gambar 1-4).
Gentong tersebut oleh masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan kong. Keempat kong tersebut disimpan di istana kerajaan Mataram yang kemudian digunakan sebagai tempat menyimpan air wudhu untuk keluarga istana. Masing-masing kong tersebut oleh Sultan Agung diberi nama yakni :
1. Kyai Danumaya dari kerajaan Aceh.
2. Nyai Danumurti dari kerajaan Palembang.
3. Kyai Mendung dari kerajaan Turki.
4. Kyai Siyem dari kerajaan Siam, Thailand.
Keempat kong tersebut oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai benda pusaka dan diyakini bahwa air yang ada di dalam kong tersebut dapat membawa berkah. Menurut keterangan juru kunci makam, air kong tersebut diambil dari sumber mata air yang berada di pegunungan Bengkung terletak di sebelah timur makam Imogiri yang berjarak kurang lebih 2 km. Menurut cerita (mitos), sumber mata air ini mengalir dari bekas tancapan tongkat Sultan Agung sewaktu sedang bertapa untuk memperoleh petunjuk. 5
Pada tahun 1645 M yakni selama 32 tahun memerintah Mataram, Sultan Agung menderita sakit dan meninggal dunia, kemudian di makamkan di Imogiri. Keempat kong tersebut kemudian diboyong ke makam Imogiri dan dibagi menjadi 2 yaitu Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti milik Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat sedangkan Kyai Mendung dan Kyai Siyem milik Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Untuk memperingati wafatnya dan mengenang jasa Sultan Agung, maka diadakan upacara nguras kong yang dilakukan setiap satu tahun sekali tepatnya pada hari Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon pada bulan Suro. Hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon pada bulan Syuro dianggap sebagai hari baik untuk melaksanakan upacara. Masyarakat Jawa meyakini bahwa pada bulan tersebut merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pembenahan diri, bersedekah dan melakukan ritual lainnya, seperti tirakat, nyepi, siraman (jamasi) benda-benda pusaka.6
Kliwon berarti kasih/mengasihi, hari keramat dan suci.7 Menurut perhitungan Jawa, Kliwon terletak pada posisi tengah yakni waktu Tuhan yang penuh kasih dan berkah (barokah), manusia yang mendapatkan berkah tentu akan mendapatkan kekuatan hidup yang lebih.8
B. Rangkaian Pelaksanaan Upacara Tradisi Nguras Kong
Upacara nguras kong adalah upacara yang diawali dan diakhiri dengan tahlil. Dalam bahasa Jawa Nguras berarti membersihkan, sedangkan kong berarti gentong yang terbuat dari tanah liat yang biasanya digunakan sebagai tempat menyimpan air wudhu. Jadi nguras kong berarti membersihkan (jamasi) gentong yang berisi air.9 Pelaksanaan upacara tradisi nguras kong terdiri dari beberapa rangkaian, yakni :
Pertama, upacara tradisi nguras kong dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon. Sehari sebelum hari pelaksanaan nguras kong dilakukan, diadakan kirab budaya terlebih dahulu. Kirab ini baru dimulai tahun 2000 dengan tujuan untuk lebih memeriahkan upacara nguras kong. Kirab ini merupakan acara pengambilan siwur (alat untuk menguras/mengambil air) yang diambil dari kantor Kecamatan Imogiri. Siwur tersebut kemudian diarak bersama gentong yang terbuat dari kertas dengan beberapa gunungan yang berisi bermacam-macam hasil pertanian, dengan diiringi para prajurit kraton dan abdi dalem makam yang memakai seragam lengkap. (Lihat lampiran V, gambar 5&6).
Kirab budaya ini dilakukan dengan berjalan menuju pos pertama makam Imogiri yang jauhnya kurang lebih 4 km. Sesampainya di pos pertama diadakan upacara serah terima siwur oleh Bapak Camat Imogiri kepada Bupati makam Imogiri. Setelah acara serah terima selesai kemudian siwur tersebut dibawa menuju bangsal makam Imogiri, dan isi gunungan tersebut dibagikan dan menjadi rebutan para pengunjung.10
Kirab ini selain sebagi tontonan juga sebagai tuntunan. Tuntunan ini dapat diambil dari hal-hal yang tersirat dari acara kirab budaya tersebut, seperti halnya siwur dan gunungan yang memiliki makna tersendiri. Siwur memiliki arti kata si: isi, dan wur: ngawur, maksudnya orang yang berisi jangan ngawur (sembarangan).11
Siwur ini terbuat dari tempurung kelapa. Pohon kelapa mulai dari akar sampai janurnya semua mempunyai manfaat. Begitu juga dengan diri manusia masing-masing, apakah sudah berguna bagi agama, orang tua, bangsa dan negara atau belum. Sedangkan gunungan berasal dari kata gunung, yang berarti gu: gumregah (bangkit), dan nung: dunung, ngerti, pinter, bener lan pener (pandai), sehingga gunungan dimaksudkan agar manusia bangkit dan berjalan sesuai dengan jalan Allah. Gunungan berisi hasil pertanian yang terdiri dari :
1. Polo kapendem, yakni hasil tanaman yang berada di dalam tanah, seperti ubi.
2. Polo gumantung, yakni hasil tanaman yang menggantung dipohon, seperti pepaya, terong dan sebagainya.
3. Polo kasimpar, yakni hasil tanaman yang pohonnya menjalar ditanah, seperti semangka.12
Gunungan adalah salah satu wujud sesajian selametan (wilujengan) yang khusus dibuat untuk disajikan dalam pelaksanaan upacara nguras kong. Gunungan tersebut berisi hasil pertanian masyarakat Imogiri, sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada Allah SWT. atas kenikmatan yang telah diberikan, baik lahir maupun batin. Rasa syukur dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Syukur dengan cara diucapkan dalam hati, syukur ini wujudkan dalam bentuk polo kapendem.
2. Syukur dengan cara diucapkan dengan lisan, syukur ini diwujudkan dalam bentuk polo gumantung.
3. Syukur dengan cara dilakukan dengan tindakan, yang diwujudkan dalam bentuk polo kasimpar.
Rasa syukur masyarakat Imogiri diungkapkan dalam bentuk gunungan yang berisi hasil pertanian, hal ini dikarenakan sebagian besar pekerjaan mereka adalah petani. Semua yang ada dibumi ini adalah ciptaan Allah, dan semua harta benda, pangkat serta derajat yang dimiliki manusia adalah pemberian Allah, sehingga merupakan kewajiban manusia untuk selalu bersyukur atas semua nikmat Allah SWT.13
Sesajian gunungan adalah sesajian sakral yang sudah disucikan dengan do’a mantra, oleh karenanya gunungan dianggap mengandung kekuatan magis yang mampu menolak bala. Maka tidaklah mengherankan jika para pengunjung menginginkan untuk memperoleh apa saja dari isi gunungan.
Kedua, pelaksanaan tahlil bersama yang dilaksanakan pada malam harinya yakni malam Selasa atau Jum’at Kliwon. Acara tahlil dipimpin oleh Bupati makam, diikuti oleh seluruh abdi dalem makam dan keluarga kraton serta seluruh masyarakat pengunjung. Tahlilan berarti membaca dzikir dengan bacaan laa ilaaha illallah, tasybih, tahmid, takbir, ayat-ayat suci Al-qur’an dan shalawat Nabi yang kemudian diakhiri dengan do’a. Inti dari do’a tersebut adalah mendo’akan para arwah leluhur yang disemayamkan di makam raja-raja Mataram.14
Ketiga, pelaksanaan acara menguras air kong (jamasi) oleh pimpinan abdi dalem makam baik Kasultanan Yogyakarta Hadinigrat maupun Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Acara ini dilakukan pada keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB. Air yang berada didalam kong dikuras sampai habis kemudian dibersihkan. Setelah bersih kemudian diisi dengan air yang diambil dari sumber mata air pegunungan Bengkung, dan dicampur dengan air zam-zam 10 liter pada masing-masing kong. Air tersebut diberikan kepada abdi dalem dan pengunjung yang ingin memanfaatkan air tersebut, karena air kong tersebut diyakini dapat memberi berkah. Setelah kong selesai dikuras kemudian sesaji yang telah dipersiapkan di bagi-bagikan kepada para pengunjung yang menyaksikan acara tersebut. (Lihat lampiran VI, gambar 7).
Keempat, rangkaian acara yang terakhir adalah pengisian air kembali kedalam 4 kong tersebut. Pengisian air kong diawali oleh pimpinan abdi dalem dan diikuti seluruh abdi dalem satu persatu dan disusul oleh para pengunjung yang menyaksikan sampai air kong penuh. Setelah air kong penuh kemudian acara ditutup dengan tahlil bersama.15 (Lihat lampiran VII, gambar 8).
Pelaksanaan upacara tradisi ini didukung oleh keluarga Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, para abdi dalem makam dan seluruh masyarakat Imogiri terutama masyarakat Dusun Pajimatan. Upacara nguras kong dihadiri oleh para pengunjung yang berasal dari kota Yogyakarta dan luar kota Yogyakarta, bahkan para turis manca negara. Para pengunjung tersebut memiliki tujuan yang berbeda-beda. Menurut sebagian pengunjung, tujuan menghadiri upacara tersebut hanya untuk mendapatkan air kong, karena setelah meminum air tersebut hati jadi tenang dan semua usaha yang dilakukan berhasil,16 dan juga bagi yang belum mendapatkan jodoh dapat mempercepat untuk menemukan jodoh.17 Selain itu juga ada pengunjung yang menghadiri upacara tersebut hanya mengisi waktu luang dan untuk menenangkan pikiran.18
C. Sesaji Upacara dan Maknanya
Upacara tradisional merupakan warisan para leluhur yang dilaksanakan pada hari dan bulan tertentu, yang didalamnya kaya akan lambang. Lambang itu biasanya mempunyai maksud tertentu yang ditujukan kepada masyarakat yang bersangkutan. Melalui lambang terdapat pesan-pesan yang terselubung dan biasanya diwujudkan dalam bentuk sesaji. Sesajen 19 juga merupakan simbol yang digunakan sebagai perantara spiritual kepada hal-hal yang ghaib. Hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus diatas kekuatan manusia tidak mengganggu.
Upacara tradisi nguras kong dalam pelaksanaannya didukung beberapa sarana yang melengkapi yakni berupa sesajen. Sesajen dalam upacara ini adalah hal yang penting, karena sesaji merupakan pelengkap dalam pelaksanaan upacara. Sesaji dalam tradisi nguras kong terangkai dalam sekul suci, ulam sari lan sa uborampenipun. Sekul suci berarti nasi putih (gurih), ulam sari berarti daging ayam yang lezat (ingkung),lan sa uborampenipun yang berarti semua barang-barang perlengkapan upacara. ( jajan pasar, sanggan dan ketan, kolak, apem serta tumpeng robyong).20 (Lihat lampiran VIII, gambar 9&10).
Sesaji tersebut memiliki makna yaitu :
a. Nasi gurih :
Sajian ini berupa nasi putih yang dimasak dengan santan kelapa. Nasi gurih dalam upacara ini sebagai persembahan dari warga kepada para leluhurnya yang telah tiada. Nasi gurih berwarna putih dimaknai kesucian, sehingga diharapkan dengan hati yang tulus dan perasaan suci serta pikiran jernih terpenuhi segala keinginan dan berdo’a memohon ampun atas dosa yang telah dilakukan.
b. Ingkung :
Ayam yang dimasak secara utuh, diberi santan dan bumbu tidak pedas. Ingkung ini sebagai lambang bahwa orang yang telah meninggal dunia sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, seperti halnya ingkung yang kaku. Ingkung juga melambangkan sikap pasrah kepada kekuasaan Tuhan.21
c. Jajan pasar :
Jajan Pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan) dan juga sebagai lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang kebutuhan.22 Sesaji ini terdiri dari bermacam-macam makanan dan buah-buahan yang dibeli dipasar yang jumlahnya 5 atau 7 jenis. Sesaji ini diperuntukan bagi 5 pasaran dan hari yang berjumlah 7. Hal ini memiliki maksud agar warga masyarakat selalu mendapatkan kemudahan dalam bekerja dan menjalani hari-harinya.
d. Sanggan :
Sesaji yang terdiri dari 2 sisir pisang raja, perlengkapan makan sirih,dan sekar abon-abon (bunga mawar, melati, kenanga dan serbuk kayu cendana). Sanggan ini bermakna untuk menyangga arwah raja, pisang raja melambangkan kemuliaan raja. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa bunga merupakan perantara yang paling baik untuk mengantarkan do’a, karena para arwah menyukai hal-hal yang berbau harum seperti bunga mawar, melati dan kenanga.
e. Ketan, kolak dan apem :
Ketan adalah makanan yang lengket, mempunyai makna agar manusia selalu dekat dengan Tuhan dan hanya kepada-Nya manusia menyandarkan diri.
Kolak, makanan rasanya manis, hal ini bermakna bahwa tidak boleh berkata tentang kejelekan orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan apem berarti ampun. Sebagai lambang bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang tidak luput dari khilaf dan kesalahan, karenanya manusia harus memohon ampun kepada Tuhan.
f. Tumpeng Robyong :
Nasi putih yang dibentuk kerucut lengkap dengan lauk pauknya. Pada puncak tumpeng diberi cabe merah dan dibawahnya berisi lauk pauk yakni daging ayam dan telur serta gudangan (sayuran seperti kacang panjang, wortel, bayam taoge yang dicampur dengan bumbu kelapa). Hal ini sebagai lambang untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.23 Tumpeng robyong merupakan gambaran kesuburan dan kesejahteraan. Puncak tumpeng merupakan lambang puncak keinginan manusia, yaitu mencapai kemuliaan sejati, sedangkan titik dari puncak tumpeng melambangkan kekuasaan Tuhan.24
D. Tujuan Pelaksanaan Upacara Tradisi Nguras Kong
Orang Jawa adalah orang yang religius. Dalam hal adat-istiadat orang Jawa memiliki rasa bangga terhadap kebudayaan nenek moyangnya, khususnya kebudayaan kraton, sehingga mereka selalu berusaha untuk melestarikan budaya warisan para leluhur. Upacara tradisi merupakan bagian dari kebudayaan warisan para leluhur.
Upacara-upacara tradisi membuktikan adanya kedekatan dan eksesibilitas alam ghaib untuk hidup rukun dengan kekuatan-kekuatan yang menguntungkan. Upacara tersebut dilakukan di makam karena adanya anggapan bahwa ada kekuatan ghaib yang menetap di makam, terutama makam guru dan raja yang diberkahi dengan kekuatan mistik, sehingga tempat tersebut dianggap keramat. Di tempat-tempat tersebut orang–orang mencari ilham, kekuatan dan sebagainya agar usaha–usaha yang dilakukan berhasil, maka diadakan upacara ritual di tempat tersebut.
Upacara tradisi nguras kong sebenarnya memiliki tujuan utama yakni untuk menjamasi (membersihkan) pusaka peninggalan kanjeng Sultan Agung yaitu keempat kong tersebut. Selain tujuan tersebut ada juga beberapa tujuan lain diadakanya upacara tradisi nguras kong yakni :
a. Memperingati wafatnya Sultan Agung serta mengenang kembali jasa-jasanya dan mendo’akan arwah paara leluhur yang disemayamkan di makam raja-raja Mataram Imogiri agar amal baiknya diterima dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.
b. Untuk mensyukuri nikmat Allah yakni berupa hasil pertanian, karena dalam rangkaian pelaksanaan upacara nguras kong diadakan kirab budaya yang mengarak beberapa gunungan yang berisi hasil panen masyrakat.
c. Nguras kong juga dijadikan sebagai wahana silaturrahmi bagi seluruh warga masyarakat yang menyaksikan acara tersebut dan mengikat tali persaudaraan antar sesama.25

0 Comment