27 Mei 2012

Refleksi Kebenaran dan Objektivitas dalam Ilmu


PENDAHULUAN

Jika kita sekarang mempelajari berbagai hal berkaitan tentang ilmu pengetahuan, maka kita tentu harus ingat pula keberadaan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan itu. Hal itu dapat diyakini kebenarannya karena filsafat melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang ada sampai dengan sekarang ini.
Sebagai induk dari ilmu maka filsafat berusaha untuk menjawab serta memahami atau mengerti tentang makna kehidupan dan nilai-nilainya. Pemaknaan nilai-nilai yang ada di dunia ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran dan nilai-nilai. Hal ini dapat dimaknai bahwa tanpa kemampuan berbahasa, manusia tidak akan mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dinyatakan pula bahwa “tanpa bahasa” simpul Aldous Huxiey maka manusia tidak jauh berbeda dengan anjing atau monyet.”
Sehubungan dengan pembahasan tentang kebenaran dan objektivitas dalam ilmu (Pembahasan yang sangat rumit bagi penulis) penulis berupaya untuk menguraikan sedikit tentang apa itu Objektivitas dan kebenaran, Hubungan antara metode dengan kebenaran ilmu termasuk didalam tentang beberapa Pandangannya, standarisasi ilmu dan sifat kebenaran ilmu.


PEMBAHASAN

            A. OBJEKTIVITAS
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan.[1] Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji sedikit lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi[2].
Karena objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri.[3] Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan manusia itu sendiri.[4]
Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan hakikat fakta yang merealita[5].

B.     KEBENARAN

Kebenaran tertuang dalam uangkapan-ungkapan yang diangap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akalbudi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya. Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta)[6]. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sesuatu mesti diketahui dahulu baru dinyatakan

a. Hubungan antara metode dengan kebenaran ilmu

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta. Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standar tunggal pengetahuan dengan paradigma tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya[7].
Setiap tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun pandangannya adalah sebagai berikut.

1.      Empirisme

Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja a posteriori Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal bersifat pasif.
Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya[8]. Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

2.      Rasionalisme

Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.

C. STANDARISASI ILMU

Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solid. Lingkungan dari berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita, ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran disbanding  pengetahuan dan keyakinan lainnya. Gadamer menginginkan standar metode yang berbeda untuk ilmu humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya berbeda dengan alasan teoritis[9]. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama[10] . Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, kompleksitas dan variasi yang berbeda[11].  Sekarang apakah pemakaian bahasa merupakan suatu keharusan dalam ilmu? Roger mengatakan bahwa semua kebenaran ilmiah adalah provisional. Pemakaian suatu bahasa dalam rumusan yang lugas dan abstrak bahkan jauh dari nuansa keseharian adalah tidak dapat dihindarkan. Usaha tersebut untuk menghindari pola intuisi yang kadang salah dan tidak bermakna. Apapun bentuk rasionalisasi internal dari ilmuwan tetap membutuhkan pengkomunikasian kebenaran kepada ilmuwan lain, apakah dalam rumusan matematika ataupun rumusan lainnya. Kebenaran ilmiah tidak dapat dipisahkan dari bahasa dalam arti umum, termasuk matematika. Menurut para sosiolog, ilmu adalah suatu aktivitas sosial . Merumuskan suatu pernyataaan adalah usaha mengkomunikasikan, oleh karena itu membutuhkan konsep dan bahasa untuk dapat menyatakannya; jadi kebenaran tidak dapat dipisahkan dari konsep manusia dan alat linguistic[12]. Secara epistemologis kebenaran memegang peranan penting bagi komunikasi antara penghasil pengetahuan kepada yang mewarisinya atupun kepada tradisi epistemologi lainnya.
Wittgenstein dalam pemikiran awalnya berpendapat bahwa dasar penilaian kebenaran dari proposisi adalah kemungkinan ada dan tidaknya fakta atomis yang akan memverifikasi proposisi itu sendiri. Fakta atomis mempunyai peran membuat proposisi benar daripada memapankan proposisi sebagai benar[13].  Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal

D. SIFAT KEBENARAN ILMU

Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama[14]. Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
a.      Evolusionisme

Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman[15]. Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing. Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat[16].
b.      Konstruktivisme

Konstruktivisme menjadikan konsensus sebagai landasan bagi teori kebenaran. Menurut teori ini, konsensus di antara anggota komunitas merupakan jalan bagus untuk mencapai kebenaran, dengan kata lain konsensus hanya merupakan kriteria validitas. Konstruktivisme terjebak dalam pandangan bahwa Alam tidaklah ada, yang ada hanya merupakan kontruksi dari anggota-anggota yang melakukan konsensus.Latous dan Wolgar menyatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak hanya “tentang alam”, tetapi adalah usaha keras untuk mengkonstruksi realitas.
c.       Relativisme

Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya[17]. Rortry mengatakan bahwa pencarian kebenaran adalah nothing tapi hanya perubahan ke kebaikan. Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan. Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

d.      Objektivisme

Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan:pernyataan benar adalah “representasi atas objek” cermin atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan[18]. Namun Tarski melihat suatu pernyataan menjadi tidak memadai tatkala pernyataan itu adalah teori ilmiah yang merupakan abstraksi dan penyederhanaan atas alam. Misal : hukum tentang gerak dari Newton[19]. Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadian yang digabungkan dengan unsur persetujuan[20].

KESIMPULAN

·         Objektivitas adalah sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan.

·         Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai  , hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.

Wa Alla>h Al-A’lam

DAFTAR PUSTAKA


Abbas, H.M., “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu  Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.
Asy’arie, H. Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI, 2010.
Agus, Bustanuddin, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial; Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, Jakarta: GIP, 1999.
Deutsch, Eliot, On Truth: An Ontological Theory, Honolulu: The University Press of Hawai, 1979.
Feyerabend, Paul, “How to Defend Society Againts Science” dalam Scientific Revolutions ed: Ian Hacking, New York:  Oxford University Press, 1983.
Gadamer, Hans Georg, Truth and Method, alih bahasa: Ahmad Sahidah: Kebenaran dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1975.
Hall, David, Truth in Comparative Context. In Social Epistemology : A Journal of Knowledge, Culture and Policy Vol:15 nomor 4,  London: Tailor & Francis Ltd, 2001.
Newton, Roger G,: The Truth of Science: Physical Theories and Reality, London: Harvard University Press, 1997.
Padinjarekutt, Joanne,: The Principle of Verification,  Roma: Gregorianae University, 1974.
Pranarka, A.M.W., Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta:  CSIS, 1987.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisius, Yogyakarta.
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah, menurut Karl R. Popper, Yogyakarta: Kanisius, 1989.













[2] Dikarenakan perlunya pembahasan Ontologi maka Pemakalah menyingung sedikit tentang bahasan tersebut, sebelumnya pemakalah mohon maaf karena masuk kamar orang (meminjam istilah teman-teman)
[3] Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial; Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, (Jakarta: GIP, 1999), hal. 23

[4] H. Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2010), hal. 39–40
[5] Ibid, hal. 41
[6] Eliot Deutsch, On Truth: An Ontological Theory, (Honolulu: The University Press of Hawai, 1979), hal 96-102

[7] A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, , Ilmu Pengetahuan : Sebuah Tinjauan Epistemologis (Yogyakarta:  Kanisius, 2001), Hal 66
[8] H.M. Abbas “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), Hal 87

[9] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, alih bahasa: Ahmad Sahidah: Kebenaran dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1975) Hal 27.
[10] Roger G Newton, The Truth of Science: Physical Theories and Reality, (London: Harvard University Press, 1997) hal 202
[11] David Hall, “Just How Provincial is Western Philosophy: Truth in Comparative Context. In Social Epistemology : A Journal of Knowledge, Culture and Policy Vol:15 nomor 4 (London: Tailor & Francis Ltd, 2001) Hal 268
[12] Roger G Newton, The Truth of science…..Hal 214
[13] Joanne Padinjarekutt, “The Principle of Verification”, (Disertasi, Gregorianae University, Roma, 1974) Hal 61
[14]  Roger G Newton, The Truth of science…..Hal 206
[15] A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar: Suatu Pengantar (Jakarta: CSIS, 1987) Hal 60
[16]  Roger G Newton, The Truth of science…..Hal  210
[17] Paul Feyerabend, “How to Defend Society Againts Science” dalam Scientific Revolutions ed: Ian Hacking,   (New York: Oxford University Press 1983) Hal 156.
[18] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah, menurut Karl R. Popper,( Yogyakarta: Kanisius, 1989), 71.
[19]  Roger G Newton, The Truth of science…Hal 204
[20]  Ibid, Roger G Newton, The Truth of science…..Hal 213

0 Comment