18 Mei 2012

Abstrak
Semakin maraknya tayangan pornografi membuat banyak remaja yang tak kuasa menahan nafsunya. Berbagai rubrik konsultasi di majalah-majalah remaja, terpampang curahan problematika pemuda. Selama ini, dia rutin melakukan masturbasi. Dia ingin lepas dari masturbasi tersebut tapi tak bisa. Onani dan Masturbasi memang aktivitas yang banyak dicela. Akan tetapi mereka menganggap bahwa onani itu lebih baik daripada zina. Tak heran jika perilaku ini kian menggejala di kalangan remaja. Perbuatan masturbasi tersebut di anggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mengatasi/ menghindari dari perbuatan zina secara langsung (berhubungan badan). Sehingga tindak seksual melalui masturbasi ini sering dilakukan secara rutin oleh kebanyakan pemuda atau bahkan seorang yang sudah beristeri/ bersuami.
Sebagian besar dari Ulama mengharamkan perbuatan masturbasi. Salah satu tokoh ulama madzhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah Imam asy-Syafi’i. Dasar hukum yang dijadikan pegangan Imam asy-Syafi’i dalam menetapkan hukum masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah dalam Firman Allah SWT. dalam al-Qur’an Surat al-mu’minun ayat: 5-6. Dimana dalam ayat tersebut hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk di jima’, yaitu dengan isteri dan budaknya. Sehingga masturbasi diharamkan karena tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Dan hal itu diperkuat pada ayat selanjutnya dalam surat yang sama. Selain itu Imam asy-Syafi’i juga melihat dari segi etika moral yang ternyata perbuatan masturbasi ini tidak termasuk perbuatan yang terpuji.
Ibn Hazm salah satu ulama dari mazhab zahiri mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Isma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-An’ām: 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya. Sementara dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang menyatakan tentang keharaman dari perbuatan masturbasi. Walaupun dari segi etika moral Ibn Hazm juga menganggap masturbasi sebagai perbuatan yang tidak terpuji.
Sedangkan pandangan medis mengenai masturbasi atau onani, secara realitas dalam penelitian membuktikan dampak masturbasi yang ternyata dapat mengurangi dan mencegah penyakit kanker prostat yang juga merupakan salah satu kanker penyebab kematian manusia yang terkena penyakit tersebut. Secara psikologipun sedikit banyak ada manfaat yang akan dirasakan dan juga ada kerugian yang akan didapatkan pula dari melakukan perbuatan masturbasi tersebut. Akan tetapi berbagai kecenderungan, berbagai dampak atau efek tersebut akan kembali bagi pelaku itu sendiri dalam menyikapi masturbasi ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat.
Dalam Islam budaya dan perubahan sosial itu sangat jelas pengaruhnya terhadap pemikiran hukum. Perbedaan budaya dan perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah yang dikuasai oleh umat Islam di awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ulama fiqh) mengenai sesuatu masalah hukum yang akhirnya menyebabkan terbentuknya aliran-aliran hukum dalam Islam.
Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tenteram. Di dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang, dan kasih sayang. Pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman mental baginya. Sehingga kadangkala di kalangan remaja khususnya, dalam pergaulan mereka yang sekarang ini cenderung lebih banyak pengaruh dari budaya luar (Barat) tentunya sedikit banyak akan berpengaruh pula baik dalam pola pikir ataupun dalam tingkah laku mereka. Daya berpikir merekapun terkontaminasi oleh tayangan-tayangan hiburan dari berbagai media yang ternyata lebih banyak bernuansa pornografi.
Akibat maraknya tayangan pornografi, banyak remaja yang tak kuasa menahan nafsunya. Sebagian di antara mereka memilih masturbasi atau onani. Mereka menganggap bahwa onani itu lebih baik daripada zina. Tak heran jika perilaku ini kian menggejala di kalangan remaja. Perbuatan masturbasi tersebut di anggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mengatasi/ menghindari dari perbuatan zina secara langsung (berhubungan badan). Sehingga tindak seksual melalui masturbasi ini sering dilakukan secara rutin oleh kebanyakan pemuda tersebut.
Di rubrik konsultasi sebuah majalah remaja, terpampang curahan problematika seorang pemuda. Selama ini, dia rutin melakukan masturbasi. Dia ingin lepas dari masturbasi tersebut tapi tak bisa. Onani dan Masturbasi memang aktivitas yang banyak dicela. Di samping itu, aktivitas seksual swalayan ini ternyata memang banyak dilakukan oleh para remaja. Kebiasaan onani atau masturbasi disebut juga al-istimna’u. Onani adalah mempermainkan anggota badan yang paling vital secara teratur dan terus menerus guna memenuhi tuntutan hasrat seksualnya dan mendapatkan kenikmatan dengan cara mengeluarkan air mani.
Perilaku onani pada stadium kronis yaitu dilakukan secara bertahun-tahun dan secara eksesif (di luar batas, banyak sekali), masalahnya akan semakin kompleks. Karena kebiasaan tersebut bukan hanya merupakan pemuasan bagi kebutuhan fisik belaka, tetapi sudah di tambah oleh problem-problem psikologis berupa kebingungan dan rasa was-was terhadap berbagai dosa dan ekses negatif yang akan dideritanya. Sementara ia sendiri tidak mampu lagi mengendalikan diri. Akibatnya, ia menjadi murung, dihantui ketakutan, minder, tak punya pendirian, tak punya keberanian mendekati lawan jenis, cepat tersinggung, dan berbagai problema psikologis lainnya. Gejala psikologis inilah yang mengubah perbuatan onani menjadi gejala fatalogis atau berubah menjadi suatu penyakit yang kompleks baik fisik maupun psikis. Dengan demikian, perilaku onani, apalagi dilakukan secara eksesif (berlebihan), berakibat buruk terhadap pertumbuhan watak seseorang. Terutama hal ini menyebabkan kebiasaan pemuasan seksual yang terlampau murah dan mudah sehingga daya tahan psikisnya menjadi semakin lemah terbukti dengan semakin lemahnya daya tahan pengekangan diri.
Di New York dan Chicago, ketika University of Chicago & New York Times mensurvey 3.432 orang di antara usia 18 – 59 ; menjumpai 60 % pria dan 40 % wanita melakukan masturbasi rutin dalam setahun tersebut. Hal serupa juga dilakukan di Asia pada tahun 1980, di mana terdapat survey terhadap 10.000 orang anak-anak SMP dan SMA hasilnya 89 % pria melakukan masturbasi dan 53 % wanita melakukannya. Sementara itu di Indonesia, sebuah survey yang dilaksanakan di 7 kota besar di Indonesia menunjukkan hasil 93 % pria dan 56 % wanita melakukan masturbasi.
Data-data di atas menunjukkan betapa banyaknya orang yang melakukan masturbasi, di mana kecenderungan tersebut lebih banyak dilakukan oleh kaum muda. Tampaknya hal itu menunjukkan bahwa nafsu manusia pada masa muda merupakan nafsu yang paling besar. “Perilaku seksual remaja” ini semakin lama semakin marak dan mulai merebah ke dunia anak-anak.
Sebagian penelitian mengatakan bahwa besar kemungkinan sebagian anak-anak kecil telah merasakan kenikmatan seksual sebelum mereka mencapai usia balig, diantaranya dengan mempermainkan salah satu anggota tubuh yang paling vital. Data statistik menyebutkan adanya 350 dari 1000 persoalan yang membutuhkan pertolongan di kota Berlin, Jerman, bersumber dari kebiasaan melakukan onani. Kebiasaan seperti itu khususnya terdapat pada anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh sampai sembilan tahun. Timbulnya kebiasaan seperti itu lebih banyak terjadi pada anak-anak laki-laki daripada perempuan. Walaupun demikian masturbasi yang dilakukan oleh kaum perempuan ternyata lebih sering pada usia yang sudah dewasa.
Banyak wanita yang lebih suka melakukan masturbasi hingga mencapai orgasme sebelum penetrasi. Masturbasi bukan hanya suatu yang dilakukan untuk menikmati kepuasan sendiri. Bahkan banyak yang merasakan kenikmatan itu tersendiri bila melihat pasangannya melakukan masturbasi. Masturbasi dapat dimanfaatkan untuk menemukan cara bagaimana pasangan mengalami orgasme. Masturbasi bersama pasangan dapat membuat Anda berdua menjadi lebih dekat bersama pasangan. Pria dan wanita perlu mempelajari bagaiamana memperlakukan organ genital dengan sensitifitas dan kelembutan yang tinggi.
Wanita yang aktif secara seksual akan mengalami orgasme pada berbagai taraf usia. Kebanyakan wanita mengalami puncak kenikmatan seksual menjelang usia dua puluhan atau sampai tiga puluhan, demikian hasil penelitian yang dilakukan DR Alfred C Kinsey di Amerika. Dalam penelitian Kinsey tersebut juga dibuktikan bahwa masturbasi adalah pendekatan pertama wanita untuk mendapatkan kenikmatan orgasmenya, di mana prosentasinya mencapai 50 % dari seluruh responden. Sedangkan untuk mendapatkan rangsangan birahi, 34 % dari responden melakukan percumbuan untuk mendapatkan kenikmatan rangsangan itu. Jika melihat dari usianya, sebenarnya rangsangan seksual atau birahi itu dimulai sejak masih remaja. Terbukti dari riset yang menyatakan jenis penyaluran birahi berbeda sesuai dengan taraf usia. Masturbasi menempati urutan pertama pada kisaran dilakukan 50 % oleh wanita dalam kisaran umur 13 – 20 tahun. Kemudian dari usia 20 – 35 tahun, 80 % wanita lebih memilih melakukan hubungan seksual sebagai penyaluran rangsangan seksualnya. Akan tetapi kecenderungan itu berubah pada saat usia sang wanita menjelang 40 tahun, sampai dengan 60 % memilih untuk kembali melakukan masturbasi secara tetap.
Bicara tentang masturbasi, pada prinsipnya adalah sebuah tindakan yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan tangan atau benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada umumnya masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri sendiri, walaupun demikian masturbasi lumrah dilakukan oleh dua orang dalam kapasitas hubungan heteroseksual atau homoseksual. Kinsey dalam penelitiannya seperti dikutip dari buku “Woman’s Body”, mengatakan bahwa minimal 1 dari 6 wanita pernah melakukan masturbasi paling sedikit satu kali sepanjang perjalanan hidupnya. Dan kebanyakan dari para wanita menganggap masturbasi adalah cara yang paling cepat dan langsung untuk mendatangkan kenikmatan orgasme.
Dalam hal ini banyak bermunculan pendapat baik di kalangan ulama, kalangan kedokteran, dan masyarakat pada umumnya. Sehingga sampai sekarangpun masih terjadi pro dan kontra dalam permasalahan aktivitas masturbasi atau onani ini.
Seperti dalam penelitian di Australia yang kesimpulannya bahwa peneliti Australia soal masturbasi: the more and the earlier, the better. Makin muda dan makin sering Anda melakukan masturbasi, makin besar peluang Anda mencegah kanker prostat di usia tua. Kesimpulan di atas dimuat di majalah “New Scientist” tanggal 17 Juli. Para peneliti tersebut melakukan riset terhadap 2.338 laki-laki Australia soal kebiasaan seks mereka dibandingkan risikonya terkena kanker prostat. Diantara jumlah tersebut, sebanyak 1.079 laki-laki sudah didiagnosis terkena kanker prostat. Dalam laporan itu dituliskan: Makin sering Anda mendapatkan ejakulasi pada usia 20-50 tahun, makin kecil kemungkinan Anda terkena kanker prostat. Dengan demikian laki-laki yang melakukan masturbasi –dan mendapatkan ejakulasi– lebih dari 5 kali seminggu pada usia 20-an, peluangnya terkena kanker prostat berkurang sampai duapertiga, ketimbang laki-laki yang jarang-jarang melakukan onani. Dalam penelitian itu, tidak dijelaskan secara gamblang mengapa masturbasi bisa mengurangi risiko terkena kanker prostat. Hanya digambarkan makin sering Anda ejakulasi, memungkinkan saluran pengeluaran tidak tersumbat. Sekaligus membersihkan kelenjar kelamin dari penumpukan zat-zat yang dapat memicu kanker prostat. Sedangkan kanker prostat sendiri adalah kanker paling umum di kalangan laki-laki selewat usia 50 tahun dan menjadi pembunuh terbesar kedua di antara kanker-kanker yang menyerang laki-laki. Penyakit ini, telah menewaskan sekitar 500.000 laki-laki setiap tahun. Akan tetapi kanker prostat jarang menyerang laki-laki di bawah 45 tahun, kecuali bila ada di antara keluarga Anda yang demikian. Penyakit ini biasanya dapat disembuhkan bila terdeteksi dalam tahap dini.
Ada pula yang berkata masturbasi menyebabkan mandul. Setelah diteliti, onani tidak mempengaruhi kualitas sperma dan ovum. Banyak yang berkata juga bahwa masturbasi menyebabkan buta, gagap, dan tuli. Ternyata, semua itu tidak terbukti secara medis.
Namun, jangan berkata bahwa onani tak berefek sedikit pun. Secara tidak langsung, onani bisa menyebabkan impotensi. Kerap terjadi, orang yang sering melakukan onani atau masturbasi hanya bisa merasakan orgasme (kenikmatan seksual) lewat masturbasi. Ketika mereka berhubungan badan dengan isteri/ suami mereka, mereka tak bisa mencapai orgasme. Masturbasi juga bisa menyebabkan pikiran terganggu. Aktivis masturbasi cenderung memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan seks sehingga tidak bisa memusatkan konsentrasi ke hal-hal lain. Masturbasi bisa saja mengakibatkan penyakit kelamin jika dilakukan dengan tangan yang kotor atau alat bantu yang tidak steril. Yang jelas, aktivis rutin onani atau masturbasi akan mengalami kelelahan karena aktivitas seks swalayan ini.
Ulama Islam sebagian besar mengharamkan perbuatan onani ini, seperti Imām asy-Syāfi’i, Maliki, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lain-lain. Perbuatan ini dinilai banyak mendatangkan madarat dan lebih mendekatkan pada perzinaan. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan norma Islam yang memerintahkan agar umat Islam menjaga kehormatannya (kemaluannya) dan meninggalkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat.
قد افلح المؤمنون (1) الذين هم في صلوتهم خاشعون (2) والذين هم عن اللغومعرضون (3) والذين هم للزكوة فاعلون (4) والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)
Namun dalam stadium rendah, sebagian ulama membolehkannya atau memakruhkannya dengan syarat, jika keadaannya benar-benar madarat atau terpaksa seperti berada di medan perang yang jauh dari isteri atau belum ada kemampuan menikah sementara kebutuhan biologis semakin mendesak.
Imām asy-Syāfi’i sebagai salah satu dari jumhur ulama yang mengharamkan masturbasi dan justeru Ibn Hazm yang seharusnya lebih keras dalam penetapan hukumnya dibandingkan Imām asy-Syāfi’i, ternyata hanya memakruhkan perbuatan masturbasi/ onani tersebut, sehingga hal ini akan menjadikan timbulnya pertanyaan bagi penulis: apa yang melatarbelakangi/ menjadi dasar peng”haram”an dan pe”makruh”an dari perbuatan masturbasi/ onani tersebut. Pertanyaan inilah yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yang walau bagaimanapun juga memerlukan jawaban melalui kajian yang komprehensip terhadap perbedaan pendapat yang mereka sampaikan.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan pada pemaparan yang telah penyusun kemukakan di atas, maka bisa di tarik pokok masalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi dasar hukum serta faktor-faktor yang melatarbelakangi haramnya masturbasi menurut Imām asy-Syāfi’i dan makruhnya masturbasi menurut Ibn Hazm ?
2. Bagaimana pengaruh masturbasi dalam pandangan masyarakat dari segi medis dalam kehidupan religinya ?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan :
a. Mendeskripsikan latar belakang pendapat hukum masturbasi kedua tokoh yang akan dibahas dalam kaitannya dengan era sekarang.
b. Mengetahui pengaruh masturbasi dalam masyarakat dalam kaitannya dari segi medis dan psikis
2. Kegunaan :
a. Menambah cakrawala ilmiah bagi perkembangan wacana hukum Islam khususnya dalam kasus masturbasi ini.
b. Memberikan pemahaman dan informasi mengenai masturbasi serta efek yang akan ditimbulkannya dari segi medis dan psikis dalam kehidupannya.
D. Telaah Pustaka
Mungkin sudah banyak kajian-kajian yang membahas tentang perilaku seksual “Masturbasi” ini, baik dalam pandangan hukum Islam yang dapat kita lihat dalam kitab-kitab fiqih, kedokteran maupun dalam pandangan yang lain. Namun setelah penulis mengadakan penelusuran mengenai pembahasan tersebut, ternyata kajian mengenai Masturbasi dalam pandangan kedua tokoh ini, belum ada ditemukan kajiannya secara khusus.
Sepanjang penelusuran penulis mengenai kajian ini, belum ada sebuah karya yang secara khusus membahas mengenai masturbasi dalam pandangan kedua tokoh ini secara bersamaan. Penyusun hanya mengetahui pendapat tentang hukum masturbasi lebih bersifat umum, dalam artian tidak ada yang secara khusus mengakaji pendapat Imām asy-Syāfi’i mengenai hukum masturbasi ataupun Ibn Hazm, yang kemudian terkait dengan ilmu kedokteran/ kesehatan di masa sekarang.
Walaupun bisa dilihat sangat sedikit kedua tokoh ini membahas masturbasi/ onani atau yang istilah fiqihnya ” istimna’ ” dalam kitab-kitab karya kedua tokoh tersebut. Seperti disebutkan dalam kitab “al-Umm” karya Imām asy-Syāfi’i mengenai istimna’ adalah haram sebagaimana pendapat jumhur Ulama’.
Sedangkan Ibn Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” memberikan pendapatnya mengenai istimna’ seperti halnya pendapat madzhab Hambali yang mengqiyaskan onani/ masturbasi bahwa mengeluarkan mani dari badan, dan mani sendiri merupakan sebagian dari ( isi ) anggota badan, maka tidak ada larangan/ boleh mengenai hal tersebut.
Masih banyak lagi karya-karya lain yang membahas tentang Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm baik dalam makalah-makalah, artikel-artikel, Skripsi, Thesis, dan lain-lain. Tetapi kajiannya juga mengenai pembahasan tertentu yang kebanyakan belum berkaitan langsung pendapat keduanya mengenai masalah masturbasi ini.
Demikian pula disinggung dalam bukunya Abdul Moqsit, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, dan Syafiq Hasyim yang berjudul Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, yang diterbitkan oleh Rahima Jakarta yang mana buku ini merupakan hasil kerja sama dengan The Ford Foundation dan LKiS Jogjakarta. Dalam buku tersebut juga sedikit disinggung dalam bab awalnya mengenai masturbasi/ onani yang tercantum juga mengenai pendapat kedua tokoh tersebut. Sekali lagi dalam buku ini pun tidak membahas secara khusus mengenai pendapat keduanya. Akan tetapi akan sangat menunjang data-data yang akan di kaji dalam pembahasan penulisan ini.
Abu al-Ghifari dalam bukunya Remaja Korban Mode menukil mengenai masturbasi dari fenomena yang ada sampai dengan efek dari masturbasi yang akan ditimbulkannya dan juga penyebab orang melakukan masturbasi. Beliau juga menuliskan bahwa masturbasi ini merupakan langkah aman untuk menghindari perbuatan zina.
Namun banyak juga pembahasan masturbasi ini berkaitan dengan pandangan dari segi kesehatan ataupun ilmu kedokteran yang bahkan semakin marak pada saat ini. Berbagai hasil penelitian dari para medis baik dari dalam maupun luar negeri telah menunjukkan sedikit banyak masukan sebagai referensi dalam penulisan karya ilmiah ini. Sebagaimana banyak juga nantinya data-data yang penulis ambil dari berbagai website di jaringan internet.
Misalnya: Masturbasi Itu Sehat dalam http//www.vision.net.id. menyampaikan tentang bagaimana dampak dari perbuatan masturbasi bagi si pelaku, yang antara lain di mana salah satunya adalah bahwa pelaku masturbasi khususnya kaum pria pada masa tuanya akan terhindar dari penyakit kanker prostat. Hal itu sebagaimana hasil penelitian Graham Giles bersama timnya di Australia.
Masturbasi: Makin Muda, Makin Sering, Makin Baik, demikian disebutkan dalam Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media, Kamis, 24 Juli 2003, 11:29 WIB (zrp/healthDaysNews). Dalam tulisan tersebut tidak jauh beda dengan website di atas, menerangkan mengenai dampak masturbasi yang justeru akan baik jika sering dilakukan.
Juga masih banyak literatur-literatur lain yang mendukung data tulisan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
E. Kerangka Teoretik
Pada wilayah empiris, fiqh yang merupakan bagian dari produk pemikiran hukum Islam, semestinya juga tidak resisten terhadap persoalan baru yang ada dalam konstruksi sosio-kultur kemasyarakatan. Sebaliknya paradigma fiqh harus mampu menjadi fasilitator untuk menjawab problematika kemasyarakatan. Di satu sisi, adanya asumsi formalistic terhadap fiqh sering menjadi masalah laten. Fiqh oleh sebagian masyarakat Indonesia, diperlakukan sebagai norma dogmatis yang tidak bisa diganggu-gugat, padahal di sisi lain, fiqh juga dituntut untuk dapat menjawab berbagai persoalan-persoalan yang seringkali muncul di tengah-tengah masyarakat yang semakin berkembang, maju dan sekaligus pluralistik. Sehingga kompleksitas masyarakat dalam segala hal ini sangat mengharapkan fiqh sebagai produk pemikiran hukum Islam dapat bersikap fleksibel dan adaptif terhadap problematika masyarakat tersebut.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang menuntut satu kepastian hukum yang jelas dan dalam upaya mencari landasan teoritis bagi reaktualisasi hukum Islam masa kini dan masa mendatang, diperlukan usaha-usaha penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman. Dalam kaitan ini adalah seorang pemikir dunia Islam Najmuddin at-Tufi yang menawarkan konsep Maslahah sebagai tinjauan hukum Islam.
Konsep maslahah at-Tufi bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi
لاضرر ولاضرار
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nas adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya seluruh bentuk kemaslahatan disyari’atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapat dukungan dari nas, baik oleh nas tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam sejumlah nas, maslahah merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan-alasan dalam menentukan hukum syara’. Hukum Islam (fiqhu al-Islam) yang menjadi bagian dari al-Qur’an merupakan hasil dari sebuah reinterpretasi pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang disebut dengan ijtihad. Upaya ijtihad tersebut sangat penting dijaga kesinambungan dan keberlangsungannya karena universalitas Islam mempunyai implikasi terhadap adanya pergulatan yang tidak pernah selesai untuk mencapai tujuan kemaslahatan manusia.
Adapun tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia, yang menurut hasil penelitian para ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Hosen, dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, yakni : daruriyyah (primer), hajjiyyah (skunder), tahsiniyyah (pelengkap).
Dalam hal masturbasi ini banyak bermunculan pendapat baik di kalangan ulama, kalangan kedokteran, dan masyarakat pada umumnya. Sehingga sampai sekarangpun masih terjadi pro dan kontra dalam permasalahan aktivitas masturbasi atau onani ini.
Tersebut juga Saleh Tamimi dalam kitabnya Musykilatun fi Tariq Asysyabābi yang diterjemahkan oleh Ahmad Thabrani Mas’udi dalam bukunya “Onani Masalah Anak Muda” menerangkan dalam bab awalnya mengenai hukum onani tersebut yang di dalamnya terdapat pendapat Imām asy-Syāfi’i yang tergabung dalam jumhur Ulama dengan tegas mengharamkan onani dengan berdasarkan firman Allah yaitu :
والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6) فمن ابتغى وراء ذلك فاولئك هم العدون (7)
Di sisi lain riwayat dari Atha’, yaitu mazhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani. Ibnu Hazm berkata :
“Bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing-masing, menurut ijma’ para ulama, hukumnya boleh (mubah). Maka perbuatan onani tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya, sebagaimana firman Allah SWT :
………وقد فصل لكم ماحرم عليكم……….
Berdasarkan wacana yang berkembang mengenai masturbasi ini, terkesan sebagai perbuatan yang tercela dalam pandangan agama. Di sisi lain masturbasi ini merupakan perbuatan yang bisa “memperpanjang usia” jika di lihat dari segi kesehatan/ medis. Sebagaimana banyak disebutkan dalam hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli kedokteran.
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang masalah mengenai penelitian yang dilakukan di Australia yang kesimpulannya peneliti Australia soal masturbasi: the more and the earlier, the better, bahwa makin muda dan makin sering melakukan masturbasi, makin besar peluangnya dalam mencegah kanker prostat di usia tua. Kesimpulan di atas dimuat di majalah “New Scientist” tanggal 17 Juli. Para peneliti tersebut melakukan riset terhadap 2.338 laki-laki Australia soal kebiasaan seks mereka dibandingkan risikonya terkena kanker prostat. Diantara jumlah tersebut, sebanyak 1.079 laki-laki sudah didiagnosis terkena kanker prostat. Dalam laporan itu dituliskan: Makin sering Anda mendapatkan ejakulasi pada usia 20-50 tahun, makin kecil kemungkinan Anda terkena kanker prostat. Dengan demikian laki-laki yang melakukan masturbasi –dan mendapatkan ejakulasi– lebih dari 5 kali seminggu pada usia 20-an, peluangnya terkena kanker prostat berkurang sampai duapertiga, ketimbang laki-laki yang jarang-jarang melakukan onani. Dalam penelitian itu, tidak dijelaskan secara gamblang mengapa masturbasi bisa mengurangi risiko terkena kanker prostat. Hanya digambarkan makin sering Anda ejakulasi, memungkinkan saluran pengeluaran tidak tersumbat. Sekaligus membersihkan kelenjar kelamin dari penumpukan zat-zat yang dapat memicu kanker prostat. Sedangkan kanker prostat sendiri adalah kanker paling umum di kalangan laki-laki selewat usia 50 tahun dan menjadi pembunuh terbesar kedua di antara kanker-kanker yang menyerang laki-laki. Penyakit ini, telah menewaskan sekitar 500.000 laki-laki setiap tahun. Akan tetapi kanker prostat jarang menyerang laki-laki di bawah 45 tahun, kecuali bila ada di antara keluarga Anda yang demikian. Penyakit ini biasanya dapat disembuhkan bila terdeteksi dalam tahap dini.
Kemudian di mana keterkaitannya masturbasi ini dalam hal kesehatan dengan perbedaan penetapan hukum kedua tokoh Ulama ahli fiqh tersebut. Maka perlu adanya suatu pemikiran dalam perkembangan fiqh dalam kejelasan hukum masturbasi dengan melihat dampak yang akan timbul dan pengaruhnya secara riil dalam masyarakat sekarang, penelitian ini kemudian akan dilakukan dalam bahasa dan kerangka hukum Islam (fiqh) dan ilmu kesehatan/ kedokteran. Sehingga dalam penulisan skripsi ini, tiap babnya selalu di singgung dari segi hukum Islam (fiqh) ataupun ilmu kesehatan atau kedokteran mengenai permasalahan yang diuraikan dalam masing-masing bab sebagai kerangka yang mengarah kepada penelitian yang akan di kaji ini.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan bahan pustaka yang berkaitan pembahasannya dalam penelitian ini, baik bahan primer maupun bahan skunder.
2. Sifat Penelitian
Kajian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif-analitis-komparatif, yakni mendeskripsikan atau menguraikan data-data yang berkaitan dengan masturbasi dalam pandangan Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm yang telah diperoleh dan data-data dari segi medis untuk kemudian dianalisa guna mendapatkan suatu pandangan ataupun kesimpulan yang relevan pada saat ini. Penelitian ini berusaha untuk menelusuri tentang perumusan hukum masturbasi dalam fiqh menurut pandangan kedua tokoh tersebut dan pandangan dari segi medis serta relevansinya pada masa sekarang, sehingga dapat diketahui perbedaan dalil yang digunakan beserta alasannya mengenai pendapat tentang masturbasi dalam hukum Islam.
3. Pendekatan Masalah
Dalam pencapaian hasil yang maksimal, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan usul fiqh dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman tentang tujuan serta esensi dari pendapat dari Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm serta para fuqaha yang signifikan, untuk kemudian memperoleh suatu konsep yang lebih relevan.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian mengenai Masturbasi menurut Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm dari data yang telah diperoleh adalah dengan metode deduktif – komparatif , yaitu pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan dari berbagai literatur yang bersifat umum, untuk kemudian dianalisis dan diidentifikasi sehingga mendapatkan data yang lebih bersifat khusus. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan data lain yang terkait dan diformulasikan menjadi suatu kesimpulan, kemudian membandingkan antara data yang satu dengan yang lain tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya, sehingga akan sampai pada suatu kesimpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Dalam sistematika pembahasan skripsi ini meliputi lima bab, antara lain secara globalnya sebagai berikut :
Bab pertama adalah bab pendahuluan yang di dalamnya memuat sub-sub bab, antara lain: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bab pendahuluan ini merupakan pemaparan mengenai hal-hal yang menjadi dasar munculnya permasalahan yang akan diteliti, untuk kemudian dengan tujuan dan kegunaan penelitian sebagai pangkal menuju arah permasalahan, sehingga membawa kepada kejelasan dari permasalahan tersebut yang tentunya sedikit banyak akan memberikan kontribusi terhadap khasanah keilmuan terutama dalam hukum Islam.
Sementara itu telaah pustaka, akan memberikan suatu deskripsi permasalahan yang diteliti dalam tingkat keilmuan memiliki esensi yang signifikan dan original dalam suatu karya ilmiah. Sedangkan kerangka teoritik merupakan suatu alat analisa yang digunakan untuk pengolahan data atau menganalisa data yang akan diteliti dalam suatu deskripsi global mengenai pandangan terhadap permasalahan. Metode penelitian sendiri adalah suatu penjelasan tentang cara dan langkah-langkah dalam pengumpulan data serta pengolahannya untuk mendapatkan data secara sistematis untuk kemudian di analisa. Kemudian sistematika pembahasan, yaitu urutan yang ditetapkan dalam pembahasan pokok masalah yang diteliti dan juga sebagai pegangan dalam pengklasifikasian data.
Bab kedua mendeskripsikan riwayat hidup serta latar belakang pemikiran-pemikiran Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm. Di sini akan mengungkap secara teoritis berbagai pandangan kedua tokoh ini, yang kemudian dilacak melalui ide-ide serta pendapat mereka pada masyarakat yang mereka hadapi serta zaman mereka masing-masing yang kemudian memunculkan kontroversi pendapat di kalangan ulama. Kemudian di sini juga ditelusuri pemikiran dan pendapat tentang masturbasi menurut Ibn Hazm dan Imām asy-Syāfi’i melalui karya-karya keduanya.
Bab tiga memuat tentang tinjauan medis mengenai masturbasi itu sendiri yang menggambarkan tentang definisi masturbasi, fenomena masturbasi dalam masyarakat dan akibat/ dampak yang ditimbulkanya. Diuraikan juga permasalahan masturbasi dalam pandangan kedokteran dengan berbagai data yang ada, pandangan hukum Islam sendiri baik dari Ulama klasik maupun Ulama kontemporer mengenai masturbasi atau onani ini.
Pada bab empat ini merupakan tinjauan dan analisis tentang pelacakan mengenai hukum masturbasi yang disampaikan Ibn Hazm dan Imam asy-Syafi’i secara keseluruhan. Kemudian hukum masturbasi tersebut dihubungkan dengan kajian secara medis. Setelah adanya tinjauan dan analisis tersebut, maka pada akhir pembahasan bab ini akan menguraikan mengenai masturbasi/ onani ini dalam konsep sekarang dengan melihat efek/ dampak yang akan timbul dan pengaruhnya dalam masyarakat dengan adanya perbuatan tersebut.
Kemudian pada akhir pembahasan ada di bab lima yaitu penutup, yang didalamnya dikemukakan kesimpulan dari permasalahan dalam pembahasan skripsi ini, dan kemudian disampaikan saran-saran.
BAB II
PANDANGAN IBN HAZM DAN IMAM ASY-SYAFI’I
MENGENAI MASTURBASI
A. Imam Asy-Syafi’i dan Pemikirannya
1. Perjalanan Hidup Imam asy-Syāfi’i
Imām al-Syāfi’i sebagai pendiri mazhab Syafi’i nama lengkapnya Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisyi. Dilahirkan di desa Gazah Palestina pada tahun 150 H / 767 M. Dan ia wafat di Mesir pada tahun 204 H / 819 M. Silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn ‘Usman Ibn Syāfi’i ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn Mutalib ibn Abdul al-Manaf datuk Nabi Muhammad S.A.W.
Syafi’i ibn as-Syua’ib adalah yang menjadi nisbat al-Syafi’i Ibnu al-Syua’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada saat perang Badar. Jadi Imam al-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari Yaman), bukan keturunan ‘Alawiyyah.
Sejak dilahirkan Imām al-Syāfi’i sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil Imam al-Syafi’i sudah menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar pertama ia pergi ke daerah Huzail (pedalaman) yang mana merupakan tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imām al-Syāfi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan dengan syi’ir-syi’ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak heran dia sangat ahli dalam kebahasaan ‘Arab.
Ketika umur Imām al-Syāfi’i mencapai 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan keqabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, sehingga ibunya membawa al-Syafi’i ke Mekkah. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
1. Mekkah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Imam al-Syafi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga Quraisy dari keturunan Hasyim dan Mutalib yaitu keluarga dekat Nabi s.a.w.
2. Karena kota Mekkah merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imām al-Syāfi’i dapat berkembang dalam bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.
2. Pendidikan, Pengembaraan dan Karirnya
Imām al-Syāfi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa kecilya di Mekkah. Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam asuhan ibunya serta hidup dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi semangat untuk menuntut ilmunya tidak pudar. Si ibu, Fatimah, mengirimkan al-Syafi’i untuk belajar ke Kuttab (semacam taman kanak-kanak). Dengan kemaunnya yang keras dan dorongan dari ibunya, ia mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai hal-hal yang penting.
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan Imām al-Syāfi’i dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ‘ulama’, mulai pemikiran ‘ulama’ yang didasarkan pada hadis maupun ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang dijadikan dasar pengembangan mazhabnya pertama kali di Mekkah, yaitu dengan mengaktifkan kembali halaqah di Masjid al-Haram.
Untuk pendalaman hadis Imām al-Syāfi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kemampuan menghafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik yang dibaca dengan di depan sang guru, hal ini membuat kekaguman tersendiri bagi Imam Malik.
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, Imam al-Syafi’i kemudian pergi ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fiqh, kepada para murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya tersebut, ia sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain. Pada waktu itu ia menyusun kitab usul fiqh yang pertama dalam Islam yaitu “al-Risalah”.
Sebagai pecinta ilmu, Imām al-Syāfi’i mempunyai banyak guru, begitu banyaknya guru Imam Syafi’i sehingga Imam ibn Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali al-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ‘ulama’ yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin Kholid, Imam Ibrahim in Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad.
Aktivitas dibidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ‘ulama’ fiqh namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fiqh iapun dikenal sebagai ‘ulama’ ahli hadis, tafsir, bahasa dan sastra Arab, ilmu falak, ilmu usul dan ilmu tarikh.
Imām al-Syāfi’i digelari Nasir al-Sunnah artinya pembela Sunnah atau Hadis. Karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana ia sangat memuliakan para ahli hadis. ‘Ulama’ besar Abdul Halim al-Jundi, menulis buku dengan judul, al-Imām al-Syāfi’i, Nasir al-Sunnah wa wadi’ al-Usul. Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Imām al-Syāfi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi s.a.w. dalam melandasi pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas.
Menurut al-Imām al-Syāfi’i, qiyas hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati nasnya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur’an atau Hadis sahih atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas, Imām al-Syāfi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang telah ada.
Imām al-Syāfi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun, atas wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh sang guru Muslim bin Khalid, seorang ‘ulama’ besar yang menjadi mufti di Mekkah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad, pendapat-pendapat Imām al-Syāfi’i yang difatwakan tersebut dinamakan dengan qaul qadim. Ketika itu pengaruh mazhab Syafi’i mulai tersebar luas dikalangan masyarakat, kemudian untuk sementara waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Baghdad menuju Makkah untuk memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.
Pada tahun 198 H. Imam al-Syafi`i kembali ke Baghdad untuk merawat dan mengembangkan benih-benih mazhab yang telah ditebarkan, pada saat itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, dan diantara pilar-pilar pendukung mazhab Syafi’i yang masyhur adalah Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali) al-Zafarani, Abu Sur, al-Karabisi, 4 orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang dalam kitab al-Hujjah.
Kemudian Imam al-Syafi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi mazhabnya, dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri Mesir, disana Imām al-Syāfi’i meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa ia selama di Baghdad, kemudian muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul jadid yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtasar Muzanni dan al-Buwaiti. Diantara pendukung dan periwayat qaul jadid yang terkenal adalah: al-Buwaiti, al-Rabi’ al-Jaizi, al-Muradi, al-Harmalah dan ‘Abdullah bin al-Zubair al-Makki.
3. Guru dan Muridnya
Imam al-Syafi’i pada masa mudanya, waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di markas-markas ilmu pengetahuan, seperti di kota Mekkah, Madinah, Kufah, Syam dan Mesir. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mempelajari ilmu tafsir, fiqh, hadis kepada guru-guru yang banyak tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-gurunya yang masyhur antara lain:
1. di Mekkah
a. Muslim bin Khalid al-Zanji
b. Ismail bin Qastantin
c. Sufyan bin Uyainah
d. Sa’ad bin Abi Salim al-Qaddah
e. Dawud bin Abd. al-Rahman al-Atur
f. Abd. al-Hamid bin abd. Aziz
2. di Madinah
a. Imam Malik bin Anas
b. Ibrahin bin Sa’ad al-Ansari
c. Abd. al-Azzi bin Muhammad al-Darudi
d. Ibrahim bin Abi Yahya al-Aswamiy
e. Muhammad bin Sa’id
f. Abdullah bin Nafi’
3. di Yaman
a. Matraf bin Mazin
b. Hisyam bin Abu Yusuf
c. ‘Umar bin Abi Salamah
d. Yahya bin Hasan
4. di Iraq
a. Waqi’ bin Jannah
b. Hamad bin Usamah
c. Isma’il bin Ulyah
d. Abd. al-Wahab bin Abd. al-Majid
e. Muhammad bin Hasan
f. Qadi bin Yusuf.
Guru-guru tersebut di atas adalah dari berbagai aliran. Misalnya Sufyan bin Uyainah di Mekkah dan Imam Malik bin Anas adalah golongan ahli hadis, di Irak Ia berguru pada golongan dari ahli ra’yi, aliran Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran mazhab al-Auza’i. Karena bermacam-macam aliran itulah, maka Imam Syafi’i terkenal sebagai imam yang sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta ia terkenal sebagai ahli qiyas. Abdul Karim Zaidan menyatakan:
Imam al-Syafi’i melakukan kajian tentang mazhab-mazhab terkenal pada masanya dengan kajian verifikasi, kritis dan membuat perbandingan. Ia pada masa mudanya mengkaji fiqh ahli Mekkah dari Muslim bin Khalid dan lainnya, kemudian mendalaminya kepada Malik bin Anas dan ahli fiqh Madinah hingga ia diperhitungkan termasuk murid Imam Malik dan pengikut madrasah Madinah dan masyhur dengan pensifatan ini hingga ia datang ke Bagdad pertama kali dan mengkaji fiqh Abu Hanifah dan mazhab dari jalur Muhammad bin al-Hasan. Dan karenanya, ia menyimpulkan fiqh Hijaz dan fiqh Irak. Maka ketika pulang ke Mekkah ia mengkaji dengan mendalam dan merenungkannya. Dari sini kelihatan kepribadian Imam al-Syafi’i dengan fiqh yang baru yaitu sintesis dari fiqh ahli Iraq dan ahli Hijaz dan mulai membedah dengan mazhab khusus.
Adapun murid-murid Imam al-Syafi’i tersebar di berbagai negeri, di Mekkah ada Abu Bakar al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad al-‘Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi al-Jarud, kemudian di Bagdad, diantara muridnya adalah Hasan al-Sa’bah al-Za’farani, al-Husain bin Ali al-Karabisiy, Abu Tur al-Kulbiy dan Ahmad bin Muhammad. Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd. al-Hakam dan al-Rabi’ bin Sulaiman. Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadis-hadisnya diantaranya:
1) Ahmad bin Khalid al-Khallal yaitu Abu Bakar Ja’far al-Bagdadiy. Hadis-hadisnya banyak meriwayatkan al-Nasa’i dan al-Turmuzi.
2) Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
3) Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja’far al–Tabari, al-Hafiz, hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud.
4) Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri mazhab Hambali.
5) Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Qasim al-Bagawiy.
6) Isma’il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya.
7) Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari Imām al-Syāfi’i.
8) Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām al-Syāfi’i di Mesir yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad al-Syafi’i, hadisnya banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah.
9) Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah.
4. Karya Ilmiahnya
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Imam al-Syafi’i memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad al-Marwaziy – seperti yang dikutip al-Nawawi – bahwa karya ilmiah Imam al-Syafi’i mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqh, kesusastraan ‘arab dan lainnya. Metode Imam al-Syafi’i dalam mengarang buku itu ada yang langsung ditulis oleh ia sendiri ataupun dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Imam al-Syafi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Apakah ketika ia berada di Mekkah atau ketika berada di Bagdad. Menurut riwayat yang masyhur ia mulai menulis karyanya ketika di Mekkah sebelum datang ke Iraq untuk yang kedua kalinya. Karya-karyanya terkenal dengan materi yang luas dan analisa yang dalam khususnya al-Risalah dan al-Umm. Kitab-kitab karya itu antara lain:
1. Kitab al-Risalah
Al-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fiqh dan merupakan buku pertama yang ditulis ‘ulama’ dalam bidang usul fiqh. Kitab ini disusun dua kali, Pertama ketika Imam al-Syafi’i ada di Baghdad yang kemudian dikenal dengan al-Risalah al-Qodimah, yang kedua ketika ia berada di Mesir dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Namun yang sampai kepada kita sekarang adalah risalah yang kedua.
Imām al-Syāfi’i tidak memberikan nama kitab tersebut dengan al-Risalah., ia hanya menyebutnya dengan al-Kitab (kitab ini), kitabiy (kitabku) dan kitabuna (kitab kami). Kitab ini dinamai al-Risalah karena kitab ini dikirimkan oleh Imām al-Syāfi’i dari Baghdad kepada Abd. al-Rahman bin Mahdi yang berada di Mekkah.
Kitab al-Risalah al-Qadimah ditulis oleh Imām al-Syāfi’i di Mekkah dan baru disempurnakan ketika di Baghdad kemudian dikirimkan oleh Ibnu al-Mahdi. Dan ketika ia berada di Mesir, ia menyusun lagi kitab al-Risalah ini dengan hafalan atas dasar al-Risalah al-Qodimah yang merupakan al-Risalah yang ada sampai sekarang. Oleh karenanya disebut al-Risalah al-Jadidah (kitab risalah yang baru).
2. Kitab al-Hujjah
Kitab al-Hujjah termasuk dalam qoul qodim dalam bidang fiqh dan furu’, karena disusun oleh Imām al-Syāfi’i ketika di Bagdad. Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat yang dikemukakan oleh ulama Iraq khususnya pendapat Muhammad bin al-Hasan.
Dalam kitab kasyf al-Zunun dikatakan bahwa al-Hujjah karya Imam al-Syafi’i merupakan kitab yang besar disusun ketika ia berada di Iraq. Jika dikatakan pendapat yang lama dari mazhabnya maka maksudnya adalah karya ini.
3. Kitab al-Mabsut
Al-Mabsut adalah kitab fiqh karya Imām al-Syāfi’i yang diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman dan al-Za`faraniy. Namun, Para ‘ulama’ berbeda pendapat tentang apakah al-Mabsut ini merupakan kitab al-Hujjah yang diriwayatkan oleh al-Za`faraniy dari Imam al-Syafi`i di Baghdad ataukah merupakan kitab al-Umm yang diriwayatkan al-Rabi’ dari Imam al-Syafi`i di Mesir atau merupakan kitab lain yang berbeda dari keduanya. Menurut pendapat Imam al-Sayid bin Muhammad bin al-Sayid Ja’far al-Kattaniy bahwa kitab al-Mabsuth bukan kitab al-Hujjah ataupun al-Umm akan tetapi kitab tersendiri dari Imām al-Syāfi’i.
4. Kitab al-Musnad
Kitab musnad al-Syafi`i merupakan kitab yang berisi riwayat hadis-hadis al-Syafi`i, sistem penyusunan dan pembahasan kitab ini adalah menurut sistematika kitab-kitab fiqh yakni secara berurutan, diawali dengan masalah ‘ibadah, kemudian munakahah, kemudian masalah jihad, kemudian masalah qada’ dan jinayah. Di sana terdapat beberapa hadis yang diselipkan di antara masalah tersebut. Terdiri dari 66 bab dengan istilah “kitab”. Kitab ini jika dibandingkan dengan musnad Ahmad bin Hambal, jumlah hadisnya lebih sedikit, tetapi jika dibandingkan dengan musnad al-Hanafi maka hadisnya lebih banyak. Kitab ini termasuk kitab yang diperhatikan ‘ulama’ hadis pada abad kedua Hijriah dan merupakan kitab hadis pertama yang sampai kepada kita yang menggunakan “mi’yar” ilmu hadis.
5. Kitab al-Umm
Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imām al-Syāfi’i yang terdapat dalam kitab al-Risalah. Kitab al-Umm ini diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Kitab ini terdiri dari 7 jilid dan telah dimasukkan di dalamnya beberapa karangan Imam Syafi’i yang lain yaitu:
a. Kitab Jami’ al-‘Ilm berisi pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dan kitab Ibhal al-Istihsan berisi bantahan ia terhadap penggunaan istihsan sebagai dasar hujjah.
b. Kitab al-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan, yang berisi bantahan ia terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat ‘ulama’ Madinah sebagai dasar hukum.
c. Kitab Siyar al-Auza’i, yang berisi pembelaan ia terhadap pembahasan Imam Auza’i.
B. Metode Istidlal dan Pola Pemikiran Imām al-Syāfi’i dalam Menetapkan Hukum Islam
Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imām al-Syāfi’i dalam bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da`if.
Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).
Dalam pandangan Imām al-Syāfi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur’an.
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām al-Syāfi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainya Imām al-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.
Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.
2. Al-Sunnah
Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis. Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
a. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
b. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
c. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.
d. Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
Dalam implementasinya, Imām al-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir. Namun jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan hadis ahad sejajar dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir.
Imām al-Syāfi’i menerima hadis ahad mensyaratkan harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a. Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
b. Perawinya dabit.
c. Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.
d. Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang juga meriwayatkan.
Dalam masalah hadis mursal Imām al-Syāfi’i menetapkan dua syarat:
a. Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan sahabat.
b. Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.
Adapun dalam menanggapi pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imam al-Syafi’i membagi kepada dua bagian:
a. Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka diamalkanlah yang nasikh.
b. Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.
Dalam ikhtilaf yang terakhir di atas, Imam al-Syafi’i membaginya dalam dua kategori:
a. Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.
b. Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.
Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:
a. Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh, sehingga harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.
b. Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.
3. Ijma’
Ijma’ menurut Imām al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imam al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Imām al-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.
Imām al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.
4. Qiyas
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām al-Syāfi’i. Dengan demikian Imām al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam. Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i adalah sebagai berikut:
a. Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
b. Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
c. Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
d. Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.
5. Istidlal
Bila Imām al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.
C. Pendapat Imām al-Syāfi’i Tentang Masturbasi/ Onani/ Istimna’
Mengenai hukum masturbasi/ onani atau yang dikenal syari’at dengan istimna’, ulama sudah banyak yang memperbincangkannya. Salah satunya Imām al-Syāfi’i. Beliau menyatakan haramnya onani atau istimna’. Dasarnya adalah firman Allah swt. :
والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)
Argumen beliau, “Karena perbuatan itu (onani) tidak termasuk dari dua hal yang disebutkan dalam ayat di atas.” Dua hal yang dimaksudkan beliau adalah berjima’ dengan isteri dan budak.
Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan hal tersebut.
فمن ابتغى وراء ذلك فأولائك هم العادون (7)
Di antara sifat mulia dari orang-orang yang beriman disebutkan dalam surat al-Mukminun ayat lima sampai tujuh. Mereka memelihara kemaluannya. Tak mengumbarnya sembarangan atau disalurkan pada jalur menyimpang. Bahkan mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya hanya kepada isteri pendamping mereka. Atau kalau tidak kepada budak-budak wanita yang mereka punya. Dua tempat inilah pilihan aman yang diperbolehkan. Sedangkan onani? Tak tercantum dalam ayat ini. Karena itu ia termasuk kategori firman Allah swt. dalam surat al-Mukminun ayat tujuh, yaitu mencari di balik hubungan resmi. Orang yang seperti ini termasuk orang yang melampaui batas.
Makanya Imām al-Syāfi’i mengatakan, “Maka tidak dibolehkan melakukan jima’ kecuali dengan para isteri dan budak-budak yang dimiliki. Juga tidak dibolehkan melakukan istimna’(onani).
D. Ibn Hazm Dan Pemikirannya
1. Perjalanan Hidup Ibn Hazm
Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H/ 994 M di Manta Lisyam (Cordoba). Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’ad bin Hazm bin Galib bin Salih bin Sofyan bin Yazid. Ibn Hazm merupakan keturunan Persia. Kakeknya, Yazid berkebangsaan Persia, Maula Yasib bin Abi Sufyan al-Umawi.
Ayahnya, Ahmad bin Sa’id, termasuk golongan orang cerdas yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau dalam perkataannya, ia berkata “Sungguh saya heran terhadap orang yang kacau balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat dalam penulisannya. Karenanya, jika orang tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya kalam lebih luas daripada ini.”
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus. Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran. Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke hadirat Alloh SWT pada tahun 402 H.
2. Pendidikan Dasar Ibn Hazm
Dalam buku Tauq al-Hamamah karyanya sendiri, Ibn Hazm secara panjang lebar mengungkap otobiografinya. Ibn Hazm memaparkan bahwa dirinya mula-mula memperoleh pendidikan dasarnya dari para jawari, wanita-wanita slav yang melayani keluarganya ayahnya. Dari mereka Ibn Hazm belajar membaca, menulis, puisi dan menghapal al-Qur’an. Ibn Hazm berada dalam bimbingan mereka para wanita hingga ia menginjak usia menjelang dewasa.
Ketika memasuki usia dewasa, Ibn Hazm diserahkan oleh ayahnya kepada seorang ulama yang alim. Zahid dan wira’i, yaitu Abu al-Husaini bin Ali al-Farisi. Dalam bimbingannya Ibn Hazm diperkenalkan dengan banyak ulama dalam berbagai disiplin ilmu. Ibn Hazm pernah diajak menghadiri majlis ta’lim Abu-Qasim Abdurrahman al-Azdi. Dari sinilah bermula pembentukan kepribadian Ibn Hazm yang walau terkenal tajam dan pedas lisannya, namun memiliki rasa keikhlasan yang tinggi dan konsisten antara ilmu dan amal. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari jasa ayahnya yang sangat memperhatikan pendidikannya. Bahkan Abu Laila menyatakan bahwa ayahnya punya peran yang besar dalam pembentukan karakter Ibn Hazm. Sebab ia berperan sebagai ayah, ibu sekaligus guru bagi anaknya.
3. Ibn Hazm Sepeninggal Ayahnya
Ketentraman Cordoba yang tidak kunjung tiba memaksa keluarga Ibn Hazm untuk berhijrah ke Almeria sebuah kota yang berada di tepi pantai yang merupakan kota kedua sesudah Cordoba. Kota ini didiami oleh penduduk yangmayoritas adalah pendukung Abu Mansur al-Amiri. Di Almeria Ibn Hazm benar-benar menikmati ketenangan dan ketentraman. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membaca, menulis dan berdiskusi dengan para ulama dan cendekiawan setenmpat. Aktifitas intelektual Ibn Hazm semakin menanjak dan semakin matang. Namun pada tahun 407 H keadaan tersebut terasa hilang ketika ia dan temannya, Muhammad bin Ischaq dituduh membuat gerakan bawah tanah untuk mengibarkan benera Umayyah. Karena itu, pemerintahan alawaiyyiin yang berkuasa menangkap dan memenjarakan keduanya. Atas jasa pejabat yang loyal pada Abu Mansur keduanya akhirnya dibebaskan untuk kemudian diserahkan kepada salah seorang sahabatnya seorang ulama yang bernama Abu al-Qasim Abdullah bin Hudail yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Muqaffal. Keduanya menjadi tamu istimewa ulama itu selama sebulan sesudah di penjara selama sebulan. Sesudah itu keduanya berangkat menuju Valensia untuk mendukung al-Murtada dalam rangka mengibarkan bendera Umayyah kembali.
Dalam pemerintahan al-Murtada Ibn Hazm diangkat sebagai salah seorang menteri. Namun, oleh karena besarnya alawiyyin, maka ketika terjadi petempuran antara keduanya di Granada, al-Murtada tewas, sedangkan yang masih hidup ditawan termasuk Ibn Hazm lalu kembali ke Cordoba yang telah ditinggalkannya selama 6 tahun. Di Cordoba Ibn Hazm kembali menekuni bidang yang sangat diminatinya yaitu ilmu pengetahuan. Diskusi dan perjalanan ilmiah selalu ia lakukan bila ada kesempatan. Perubahan politik di Cordoba rupanya menarik Ibn Hazm untuk terjun didalamnya. Perubahan itu terjadi ketika penduduk Andalusia menurunkan penguasa alawiyyin secara paksa dan menggantikannya dengan mengangkat turunya umayyah yaitu Abdurrahman bin Hisyam bin Abdul Jabbar sebagai khalifah. Dalam pemerintahan ini Ibn Hazm diangkat sebagai seorang menteri. Namun oleh karena usianya yang masih belia, khalifah baru ini selalu curiga kepada orang yang ada di sekitarnya.dengan semena-mena ia memecat mereka. Karena itu, penduduk Cordoba memberontak dan berhasil membunuhnya setelah sempat memerintah selama 2 bulan, sedangkan yang masih hidup ditawan termasuk Ibn Hazm berada didalamnya. Sejarah tidak mecatat kapan Ibn Hazm dibebaskan. Disinyalir ia dibebaskan tak lama sesudah itu.
Sesudah peristiwa itu Ibn Hazm bersikeras untuk menekuni ilmu tanpa menengok kehidupan politik. Perjalanan ilmiah ia lakukan hampir ke seantero Andalusia. Ia sering menetap di suatu kota dalam waktu yang lama untuk menyebarkan pemikirannya. Biasanya sesudah menulis sebuah buku, Ibn Hazm lantas menyebarkannya ke berbagai daerah.bahkan ketika di Murcia, Ibn Hazm memperoleh pengikut yang sangat besar jumlahnya. Sebab penguasa Murcia saat itu adalah kawan dekat ibn hazm yaitu Ibn Rasyiq. Namun sesudah wafatnya Ibn Rasyiq lambat laun pengikut Ibn Hazm semakin berkurang. Hal ini disebabkan kehadiran al-Baji seorang ulama yang menimba ilmu dari dunia timur. Tak henti-hentinya, al-Baji membantah dan membantai pendapat-pendapat Ibn Hazm. Oleh karena itu kalah pamor akhirnya Ibn Hazm meninggalkan Murcia.
Yang paling tragis adalah penderitaan yang menimpa Ibn Hazm ketika menetap di Sevilla dengan mata kepalanya Ibn hazm menyaksikan pembakaran buku-bukunya oleh penguasa Sevilla yaitu al-Mua’tadid yang memerintah pada tahun 439-464 H. Hati Ibn Hazm benar-benar hancur menerima kenyataan ini. Untung Ibn Hazm telah banyak mengalami penderitaan bahkan yang lebih besar daripada ini. Sehingga peristiwa ini terasa agak ringan.
Pembakaran ini bisa dimengerti, sebab Ibn Hazm merupakan pemikir muslim yang merdeka, mandiri dan berani menentang arus masanya. Kehidupan keluarganya yang serba kecukupan dalam harta, kedudukan dan kehormatan membuatnya tidak tergantung kepada orang lain. Kemandiriannya mengantarkannya sebagai orang yang merdeka dalam cara berpikir, berkata dan berperilaku. Ia tidak membenarkan dirinya mengikuti pendapat orang lainyang tidak sesuai dengan keyakinannya, apapun alasannya. Karena itu, wajar bila kemudian Ibn Hazm sering terlibat perdebatan sengit dengan lawan bicaranya, khususnya kalangan fuqaha. Ibn Hazm terkenal sangat keras, padas dan tajam lisan dan penanya. Ketika berdebat Ibn Hazm sering menggunakan kata yang sangat menyinggung perasaan dalam bicaranya. Misalnya kata-kata jahl, hamq dan lain-lain. Dari sini bisa dipahami mengapa mereka tidak menyukai Ibn Hazm yang ujung-ujungnya adalah pembakaran terhadap sebagian besar buku Ibn Hazm.
Apalagi saat itu mayoitas penduduk Anadalusia bermazhab pada salah satu dari empat mazhab yang terbesar adalah Maliki. Siapa saja yang keluar dari salah satunya dipandang telah keluar dari jalan yang benar. Di sisi lain latar belakang Ibn Hazm menjadikannya sebagai orang yang benar-benar merdeka dalam berpikir dan bertindak. Pendapat siapapun yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya berasal dari Allah, maka ia tinggalkan, tidak peduli apakah ia seorang sahabat, tabi’in atau ulama. Sehingga tidak sulit menemukan tulisan Ibn Hazm yang membantah dan menghujat mereka. Atas dasar inilah hati para ulama terasa semakin sesak. Akhirnya mereka memohon kepada penguasa Sevilla. Al-Mu’tadid punya kepentingan politik sendiri dalam menyingkirkan Ibn Hazm. Sebab latar belakang Ibn Hazm adalah pendukung utama Bani Umayyah yang sewaktu-waktu siap meruntuhkan dirinya. Karenanya, permohonan para ulama itu bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanpa basa-basi al-Mu’tadid memerintahkan agar seluruh kitab Ibn Hazm dibakar. Sesungguhnya tindakan tersebut telah melampaui batas keinginan para ulama. Al-Mu’tadid sebenarnya cukup menghentikan langkah Ibn hazm dengan mengasingkannya ke wilayah lain. Namun yang jelas motif politis lebih mendominasi tindakan yang dilakukan penguasa Sevilla ini. Tindakan yang bertujuan menegakkan syiar agama telah disusupi oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Akhirnya Ibn Hazm terpaksa meninggalkan Sevilla menuju tempat tinggal para leluhurnya sewaktu pertama kali dating ke Andalusia, yaitu desa Manta Lisyam yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Di sini Ibn Hazm semakin berkonsentrasi untuk membaca menulis dan mendidik penerus perjuangannya. Santri-santri berdatangan dari berbagai penjuru Andalusia. Tidak sedikit diantaranya yang menjadi ulama-ulama besar, seperti al-Humaidi.
Ibn Hazm sempat beristeri dan beranak pinak. Ibn Hazm memiliki 3 orang anak yang merupakan tokoh-tokoh ulama dan cendekiawan serta penmerus perjuangan yang telah dirintiskannya. Mereka adalah Abu Rafi’ Fadl, Abu Sulaiman al-Mus’ab dan Abu Salamah Ya’qub. Yang paling menguasai ilmu Ibn Hazm adalah Abu Rafi’. Ia seorang ulama yang diperhitungkan.
Ibn Hazm meninggal dunia pada 28 Sya’ban tahun 456 H/ 5 April 1064 di Manta Lisyam.
E. Sumber-sumber Hukum Ibn Hazm dan Pemikirannya
Menurut Ibn Hazm sumber hukum Islam ada 4 macam yaitu: al-Qur’an, Hadis Sahih, Ijma’ dan dalil. Al-Qur’an bagi Ibn Hazm merupakan pesan dan perintah Allah kepada manusia untuk diakui dan dilaksanakan kandungan isinya diriwayatkan secara benar, tertulis dalam mushaf dan wajib dijadikan pedoman.
Hadis sahih sebagai sumber kedua menurut Ibn Hazm bersifat saling melengkapi dengan al-Qur’an. Kedua sumber ini merupakan satu kesatuan yang wajib ditaati.
Hal ini didasarkan pada firman Allah
يايهاالذين امنوااطيعوالله ورسوله
Dengan demikian al-Qur’an tidak berperan sebagai pemutus terhadap as-Sunnah dalam arti untuk diterimanya suatu hadis harus terlebih dahulu dihadapkan pada al-Qur’an. Sebaliknya as-Sunnah tidak berlaku sebagai pemutus terhadap al-Qur’an dalam arti as-Sunnah adalah satu-satunya jalan untuk mengerti dan memahami al-Qur’an. Keduanya adalah dua bagian dari wahyu yang saling melengkapi dan tidak terpisah antara satu dengan yang lain.
Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’ seluruh umat Islam. Maksudnya adalah ijma’ sahabat. Sebab mereka telah menyaksikan tauqif dari rasulullah padahal ijma’ hanya bisa terjadi melalui tauqif. Juga karena mereka adalah semua orang mukmin dan tidak ada manusia mukmin selain mereka saat itu. Jadi, ijma’ orang-orang yang seperti ini adalah ijma’ seluruh orang-orang mukmin. Adapun ijma’ semua masa sesudah mereka hanyalah ijma’ sebagian orang mukmin bukan ijma’ seluruhnya.
Adapun obyek atau sandaran ijma’ menurut Ibn Hazm adalah berasal dari nass. Tidak boleh terjadi ijma’ tanpa disandarkan pada nass, sebab usaha manusia dalam rangka menemukan illat tidak mungkin sama dikarenakan perbedaan tujuan dan tabiat mereka.
Ibn Hazm tidak menjelaskan arti ijma’ secara definitive tetapi membaginya dalam dua bagian. Pertama; segala sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya sekalipun hanya oleh seorang muslim, seperti dua kalimat syahadat,kewajiban menjalankan sholat lima waktu, keharaman bangkai, darah dan babi, pengakuan terhadap al-Qur’an dan kuantitas zakat. Kedua ; sesuatu yang telah disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku rosul atau suatu keyakinan bahwa rasul telah memberitahukan sikap beliau kepada orang-orang yang telah hadir di hadapan beliau.
Sumber keempat adalah Dalil. Dalil adalah kesimpulan yang diambil dari pemahaman terhadap dalalah ijma’dan nass.
Adapun dalil yang diambil dari nass menurut Ibn Hazm ada 7macam sebagai berikut:
Pertama : konklusi dari 2 premis yang tidak dinasskan pada salah satunya.
Kedua : penerapan syarat yang digantungkan dengan satu bentuk perbuatan tertentu.
Ketiga : peredaksian satu makna dengan berbagai ungkapan
Keempat: pemberlakuan hukum asal berdasar keumuman nass ketika terdapat peristiwa hukum yang tidak dinasskan kehalalan dan keharamannya.
Kelima : putusan-putusan bertingkat dalam arti yang lebih tinggi berada di atas yang berikutnya walaupun tidak ada nass tentang hal itu.
Keenam : kesimpulan yang diambil dalam logika pemutarbalikan setara.
Ketujuh : konsekwensi logis dari makna lafal suatu nass.
Semua ini pada dasarnya menurut Ibn Hazm hanyalah makna-makna nass sendiri dan pemahaman terhadapnya. Ini semua berada di bawah batas-batas nass belum keluar darinya. Sebab dalil-dalil ini adalah perincian dari nass yang masih global atau pengungkapan satu makna dengan berbagai redaksi yang berbeda.
Sedangkan dalil yang diambil dari ijma’ ada 4 macam, yaitu;
Pertama : istishab al-haal.
Kedua : aqallu ma qila
Ketiga : ijma’ para sahabat untuk meninggalkan pendapat yang dipertentangkan
Keempat : ijma’ para sahabat bahwa hukum yang berlaku bagi seluruh kaum muslimin adalah sama.
F. Karya-karya Ibn Hazm
Karya Ibn Hazm meliputi bidang fiqih, usul fiqih, hadis, mustalah hadis, aliran-aliran agama-agama, sejarah sastra, silsilah dan karya-karya apologetik yang berjumlah kurang lebih 400 jilid yang ditulis dengan tangan sendiri. Karya-karya Ibn Hazm tidak dapat diketahui semua, sebab sebagian besar karyanya musnah dibakar oleh penguasa dinasti al-mu’tadid al-Qadi al-Qasim Muhammad bin ismail bin ibad (1068-1091 M).
Adapun karya Ibn Hazm yang masih diketahui antara lain :
1. Bidang Sastra
a. Diwan as-Syi’ri
b. Tauq al-Hamamah fi al-Ifati wa al-Ilaf
c. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawa an-Nufus
2. Bidang Fiqih
a. Al-isal ila fahmi al- khisal
b. Al- Khisal al-Jami’ah
c. Al-Muhalla
3. Bidang usul Fiqh
a. Al-ihkam fi usul al-ahkam
b. Maratib al-ijma’ au Mutaqa al-ijma’
c. Kasy al-iltibas Ma baina Ashab az-Zahir
4. Bidang Perbandingan Agama
a. Al-Fisal fi al-Milal wa an-Nihal wa al-Ahwa’
b. Izharu Tabdil al-Yahudi wan an-Nasara li at-Taurah wa al-Injil wa bayani Tanaqud Ma bi aidihim min Zalika mimma La Yahtamil at-Ta’wil
5. Bidang Aliran-Aliran Agama
a. An-Nasaih al-Munjiyat min ak-Fadaih al-Muhkhziyah wa al-Qabaih al-Murdiyah min Akwal Ahl al-Bida’I min al-Firaq al-Arba’I al-Mu’tazilah, al-murji’ah, al-khawarij wa al-syi’ah.
b. As-Sadi’ wa ar-Radi’
6. Bidang Hadis
a. Syarh Hadis al-Muwatto’ wa al-Kalam ala Masalih
b. Kitab al-Jami’ fi Sahih al-Hadis
7. Bidang Sejarah
a. Jamharah al-Ansab al-Arab
b. Al-Imamah wa al-Khilafah
c. Al-Fihrasah
8. Bidang Filsafat
a. At-Tarib Li Hadd al-Mantiq
b. Al-Maratib al-Ulum.
G. Pendapat Ibn Hazm Tentang Masturbasi/ Onani/ Istimna’
Berbeda dengan pendapat Imām al-Syāfi’i mengenai masturbasi ini, Ibn Hazm mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Itsma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman:
………وقد فصل لكم ماحرم عليكم………
Sebagaimana diriwayatkan juga oleh Atho’, yaitu madzhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani/ masturbasi. Ibnu Hazm berkata:
“ Bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing-masing, menurut ijma’ para ulama, hukumnya boleh (mubah). Maka perbuatan onani/ masturbasi tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya, sebagaiaman firman Allah SWT dalam ayat di atas.
Dan karena Allah tidak menjelaskan bahwa perbuatan onani/ masturbasi sebagai hal yang haram, maka perbuatan itu merupakan/ termasuk yang dibolehkan. Firman-Nya:
هوالذى خلق لكم مافى الارض جميعا
Akan tetapi, walaupun berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan onani/ masturbasi tidak haram, kita tetap membencinya, mengingat perbuatan itu tidak terpuji dan tidak tergolong akhlakul karimah.
Sementara jika kita menelitinya maka tidak ditemukan satu keterangan pun dari firman Allah yang menerangkan keharaman masturbasi itu. Logikanya, bila demikian, maka masturbasi atau onani diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini memang telah diperuntukkan manusia. Khalaqa lakum mā fiy al-ardhi jami’a. Meski begitu, masturbasi dihukumkan Makruh karena tidak termasuk ke dalam perbuatan yang terpuji. Jelasnya, bukan perbuatan yang mencerminkan al-Akhlāq al-Karimah. Abdurrahman al-Jaziry menyebutnya sebagai telah keluar dari fitrah kemanusiaan [al-Fitrah al-Insāniyyah].
BAB III
TINJAUAN MEDIS MENGENAI MASTURBASI/ ONANI
A. Pengertian Masturbasi/ Onani dan Fenomenanya dalam Masyarakat
Masturbasi (Ar.: Istimna’ = usaha untuk mengeluarkan mani). Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lain. Istilah lain untuk masturbasi adalah onani. Masturbasi atau onani sering di sebut rancap. Pengertian onani secara istilah, adalah “kebiasaan membangkitkan nafsu seks dan memuaskannya dengan di lakukan sendiri [dengan bantuan tangannya sendiri atau dengan bantuan busa sabun] tanpa jenis kelamin yang lain.” Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Sebagai kejelasan pembatasan masalah dalam pembahasan ini, maka masturbasi disini sama juga artinya dengan onani ataupun istimna’ sebagai istilah lainnya.
Mengenai pengertian masturbasi ini, dalam pandangan masyarakat awam atau kalangan umum merupakan suatu perbuatan untuk menimbulkan rangsangan terhadap alat kelamin seseorang oleh dirinya sendiri, baik dengan tangan ataupun alat lain, kemudian orang tersebut akan memperoleh kepuasan biologis atas dirinya tanpa melibatkan kelamin orang lain.
Onani atau disebut juga masturbasi, berasal dari bahasa latin, masturbation yang berarti pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (mastur : tangan, batio : menodai) sehingga masturbasi berarti menodai diri sendiri dengan tangan sendiri (dhalimun linnafsih). Ada juga yang menyebut bahwa onani adalah manipulasi alat kelamin sehingga mendapatkan kepuasan seksual. Nama lain bagi onani selain masturbasi adalah zelfbeulekking (penodaan dengan tangan), auto-stimuli, autoetism, self gratification, dan ipsasi. Bahkan para psikolog sering juga menyebut dengan nama monoseks, yaitu kepuasan seks oleh diri sendiri. Para kalangan ulama di kalangan umat Islam sering menyebut dengan istimna’. Jika istimna’ ini dilakukan oleh laki-laki disebut jaldu umrah atau ilthaf.
Dalam pandangan masyarakat Barat masturbasi merupakan bagian yang lazim dari perkembangan seksual, dan tidak menimbulkan dampak fisik walaupun sering dilakukan. Satu-satunya dampak yang mungkin adalah perasaan bersalah. Ada anggapan, masturbasi membuat seseorang menjadi lemah, merusak penglihatan, dan jika berlebihan menyebabkan kelainan otak atau gila. Masturbasi tidak menyebabkan hal-hal ini, tetapi pandangan tersebut masih beredar di antara mereka yang tidak mengetahui. Masturbasi dikatakan menyebabkan pembesaran bibir vulva, pembengkakan testis, dan penyakit. Semua pandangan ini tidak beralasan. Masturbasi dikatakan sebagai bukti dari ketidakmatangan, yang jelas-jelas tidak benar, karena orang yang matang secara seksual dapat mencapai kenikmatan seks melalui masurbasi setelah dia menikah atau semasa lajang. Masturbasi dikatakan menyebabkan frustasi seks dan frigiditas, tetapi peneliti lain menemukan, masturbasi menyebabkan ekses seksual, sehingga jelas anggapan tadi bersifat emosional dan tidak nyata. Dikatakan, seseorang tidak dapat mencapai kepuasan emosional secara penuh melalui masturbasi.
Sebagian besar pria yang onani/ masturbasi cenderung lebih sering melakukannya ketimbang wanita, dan mereka tampaknya sering mengalami atau biasanya mendapatkan orgasme ketika bermasturbasi (80 persen hingga 60 persen). Ini adalah prilaku umum kedua yang paling umum(pertama adalah koitus), bahkan bagi orang-orang mempunyai pasangan seksual. Kebanyakan anak-anak sering semenjak mereka masih bayi menemukan kenikmatan pada rangsangan okasional pada alat kelamin mereka, tetapi tidak mengerti bahwa prilaku ini adalah ’’seksual’’ hingga masa kanak-kanak akhir atau memasuki masa remaja.
Pada masa remaja, kecendrungan untuk masturbasi meningkat baik pada remaja pria maupun remaja putri, dan sebagian orang terus melakukan masturbasi pada masa dewasa, dan banyak juga yang melakukannya sepanjang hidup.
Istilah masturbasi memunculkan banyak mitos bahwa ia memiliki sifat merusak dan membahayakan. Citra negatif ini mungkin dapat ditelusuri hingga asal kata Latin, masturbate, yang merupakan kombinasi dua kata Latin, manus(tangan) dan sturararei (kotor), yang artinya ’’berbuat kotor dengan tangan,’’. Munculnya rasa malu dan kotor yang dicitrakan oleh arti kata ini masih saja ada sampai zaman moderen meskipun para ahli medis sepakat bahwa masturbasi tidak membahayakan fisik ataupun mental. Tidak pula ada bukti bahwa anak-anak yang melakukan rangsangan pada diri sendiri akan membahayakan dirinya.
Barangkali rasa bersalah dan malu muncul karena larangan dari beberapa agama tentang masturbasi. Termasuk pula orangtua yang menghukum anaknya karena melakukan masturbasi. Namun demikian, masturbasi bisa saja membahayakan ketika ia menjadi kompulsif. Masturbasi kompulsif, seperti prilaku kompulsif lainnya, adalah tanda adanya masalah emosial dan membutuhkan perlakuan dari spesialis kesehatan mental.
Sesungguhnya, sebagian ahli menegaskan bahwa mastrubasi memperbaiki kesehatan seksual dengan meningkatkan pemahaman individual tentang tubuhnya sendiri dan tentang penerimaan diri. Pengetahuan ini selanjutnya dimunculkan untuk menciptakan hubungan seksual dengan pasanganya, melalui mansturbasi mutual karena kemampuan untuk memberitahu pasangan mana yang paling menyenangkan.
Sungguh bagus bagi sepasang suami-istri untuk mendiskusikan prilaku mereka mengenai masturbasi dan meredakan rasa tidak aman yang mungkin di miliki salah satu pasangan jika yang lain kadang-kadang menyukai masturbasi mungkin dapat diterima oleh keduanya. Dilakukan sendirian atau dilakukan di hadapan pasangan, tindakan ini dapat menyenangkan dan menambah keintiman sepanjang tidak ada penolakan. Seperti kebanyakan prilaku seksual, tanpa komunikasi yang benar, tindakan masturbasi dapat dipergunakan sebagai tanda sebuah kemarahan, pengasingan atau ketidaknyamanan dengan hubungan yang sedang dibina.
Yang perlu diingat: saat pasangan suami-istri sedang menjaga hubungan seks yang aman, manstrubasi dengan pasangan dapat menyenangkan selain melakukan senggama, sepanjang anda menghindari kontak dengan seperma, atau cairan vagina pasangan anda.
Sementara itu kalangan agamis dalam kehidupan bermasyarakat lebih memandang perbuatan masturbasi ini dari aspek moral si pelaku. Bahwa hal tersebut merupakan cerminan seseorang yang tidak memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, meskipun perbuatan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan orang lain.
B. Pengaruh Masturbasi Dalam Pandangan Medis
Sampai saat ini masih banyak orang yang cemas karena masturbasi. Kecemasan itu tak dapat dilepaskan dari pandangan agama atau nilai moral dan pendapat ilmuwan di masa lalu. Di masyarakat istilah onani lebih dikenal. Sebutan ini, menurut berbagai ulasan yang ditulis Prof. Dr. Dr. Wimpie Pangkahila Sp, And, Ketua Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berasal dari nama seorang laki-laki, Onan, seperti dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Tersebutlah di dalam Kitab Kejadian pasal 38, Onan disuruh ayahnya, Yehuda, mengawini isteri almarhum kakaknya agar kakaknya mempunyai keturunan. Onan keberatan, karena anak yang akan lahir dianggap keturunan kakaknya. Maka Onan menumpahkan spermanya di luar tubuh janda itu setiap berhubungan seksual. Dengan cara yang kini disebut sanggama terputus itu, janda kakaknya tidak hamil. Namun akibatnya mengerikan. Tuhan murka dan Onan mati. Onani atau masturbasi dalam pengertian sekarang bukanlah seperti yang dilakukan Onan. Masturbasi berarti mencari kepuasan seksual dengan rangsangan oleh diri sendiri (autoerotism), dan dapat pula berarti menerima dan memberikan rangsangan seksual pada kelamin untuk saling mencapai kepuasan seksual (mutual masturbation). Yang pasti pada masturbasi tidak terjadi hubungan seksual, tapi dapat dicapai orgasme.
Kemudian bagaimana pula menurut pandangan para dokter mengenai tingkah laku/ perbuatan masturbasi/ onani ini ?
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, bahwa banyak pendapat para dokter mengenai perbuatan masturbasi yang setelah diadakan penelitian, mereka lebih banyak membuktikan masturbasi ini, selama dilakukan dengan higienis, artinya dengan tangan yang bersih, masturbasi tidak berbahaya dan berdampak baik untuk kesehatan. Yang seringkali membuat celaka adalah bila perbuatan masturbasi ini dengan menggunakan alat.
Dalam pandangan medis, justeru dampak positif yang akan timbul dari perbuatan masturbasi ini, adalah bahwa perilaku masturbasi ini bisa menjadi obat untuk mengurangi risiko terkena penyakit kanker prostat, di mana penyakit ini banyak dialami para laki-laki yang sudah lanjut usia (lansia). Penyakit tersebut terjadi karena disinyalir tidak pernah/ kurang melakukan masturbasi/ onani tersebut. Sehingga perbuatan masturbasi ini berpengaruh baik bagi kesehatan si pelaku, dengan catatan mediator yang digunakan dalam keadaan bersih/ steril.
Kekhawatiran masturbasi dapat berakibat kebutaan atau menyebabkan berkurangnya sperma dan lain-lain tidaklah tepat. Sebaliknya masturbasi ternyata baik bagi kesehatan karena dapat melindungi dari kanker prostat. Semakin sering melakukan masturbasi semakin lebih baik, demikian menurut para ahli. Hal ini didasari penelitian terhadap pria yang senang menyenangkan diri sendiri secara teratur yang berumur 20 dan 50 memiliki penurunan sangat jauh kemungkinan berkembangnya penyakit kanker prostat. Penemuan mereka didukung teori yang menyatakan ejakulasi secara teratur dapat mencegah tumbuhnya carcinogen (segala sesuatu yang menyebabkan kanker) dalam prostat sebagai kelenjar yang bertanggung jawab bagi menumpuknya cairan dalam semen. Peningkatan carcinogen menyebabkan kanker prostat. Graham Giles bersama timnya yang berbasis di Melbourne, Australia pun meneliti kebiasaan seksual lebih dari 2.000 pria dimana setengahnya memiliki kanker dan sisanya sehat. Pengaruh pencegahan dengan cara masturbasi merupakan cara paling penting pada pria berumur 20-an, demikian menurut Giles pada majalah New Scientist. Mereka yang ejakulasi lebih dari lima kali dalam seminggu, tiga kali kemungkinan lebih kecil berkembangnya kanker prostat dalam hidupnya. Hasil ini sedikit bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan memiliki banyak pasangan atau sering berhubungan intim meningkatkan resiko kanker prostat sampai 40 persen. Penelitian ini memfokuskan pada hubungan intim bukan pada masturbasi.
Seperti dikutip Journal of the American Medical Association, edisi pekan lalu, mereka melakukan studi terhadap 29.342 petugas kesehatan. Relawan pria itu berusia 46-81 tahun. Kepada mereka diajukan beberapa pertanyaan. Satu di antaranya, berapa rata-rata ejakulasi per bulan pada saat menginjak usia 20-29 tahun dan 40-49 tahun. Studi yang dipimpin Michael F. Leitzmann, peneliti dari Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat, ini berlangsungselama delapan tahun. Kuesioner dikumpulkan, dianalisis, dan kesehatan mereka diperiksa. Mereka lalu dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jawaban frekuensi ejakulasi: 13-20 kali per bulan dan di atas 21 kali. Ejakulasi adalah keluarnya sperma dari penis. Hasilnya: hanya 1.449 relawan yang belakangan menderita kanker prostat. Dari jumlah yang terkena, kondisi 147 relawan sangat kritis. Kankernya sudah parah. Lalu Leitzmann dan koleganya membuat persentase risiko terkena kanker prostat. Menurut dia, kelompok yang cuma berejakulasi 13-20 kali sebulan hanya mengurangi risiko kena kanker prostat 14%. Ini lebih kecil dibandingkan dengan yang berejakulasi 21 kali ke atas saban bulan. Persentase terbebas dari serangan kankernya mencapai 33%. “Artinya, makin sering berejakulasi, makin kecil kemungkinan terjangkit kanker prostat,” ujarnya. Berkurangnya risiko itu lantaran ejakulasi berperan mengeluarkan bahan-bahan kimia penyebab kanker. Andai kata tak dikeluarkan, bahan-bahan tersebut akan menumpuk di kelenjar prostat dan bisa memicu kanker. Studi ini tentu mengejutkan. Sebelum ini, banyak dugaan, makin kerap berejakulasi, risikonya makin didekati kanker. Sebab, kekerapan ejakulasi menunjukkan banyaknya hormon testosteron. Makin banyak hormon seks bisa memicu pertumbuhan sel-sel kanker. Orang pantas khawatir karena kanker prostat terbilang sangat mengganggu. Bila terkena, air mani tak bisa keluar. Pasien akan terganggu saat kencing. Air yang keluar dari kandung kemih sedikit. Kalau terus dibiarkan, bisa mengakibatkan disfungsi ereksi. Toh, ada juga yang meragukan validitas studi Leitzmann. “Apakah mereka dapat mengingat berapa kali berejakulasi beberapa tahun lalu,” kata Michael Naslund, urolog dari University of Maryland Medical Center, Baltimore, Amerika Serikat. Menurut dia, studi ini belum dapat dijadikan petunjuk baru bagi kaum laki-laki yang ingin terhindar dari penyakit itu. Sementara itu, Wimpie Pangkahila, seksolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, tak mau berkomentar lantaran harus melihat metode penelitiannya. Tapi, katanya, frekuensi hubungan seksual atau masturbasi tak terkait dengan kanker. “Berhubungan seks terlalu sering tak berbahaya sepanjang mampu,” ujarnya. Sedangkan risiko kanker lebih terkait dengan faktor-faktor pemicu lain, seperti lingkungan dan gaya hidup.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PERBUATAN MASTURBASI DALAM PANDANGAN IBN HAZM DAN IMAM ASY-SYAFI’I
SERTA PANDANGAN MEDIS
A. Dasar Hukum dan Latar Belakangnya
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa mengenai perbuatan masturbasi dalam pandangan para ulama, ternyata memunculkan berbagai pendapat yang juga menimbulkan perbedaan hukum dalam perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini. Akan tetapi sebagian besar ulama mengharamkan perbuatan tersebut dengan alasan bahwa perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ termasuk dalam perbuatan yang tidak terpuji dan tidak sesuai akhlakul karimah.
Sehingga hampir sebagian besar ulama menganggap bahwa perbuatan masturbasi ini sebagai perbuatan yang dicela oleh Islam. Sebagai salah satu tokoh ulama madzhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah Imam asy-Syafi’i. Dasar hukum yang dipakai/ menjadi pegangan Imam asy-Syafi’i dalam menetapkan hukum masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah dalam Firman Allah SWT. :
والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)
Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan hal tersebut.
فمن ابتغى وراء ذلك فأولائك هم العادون (7)
Menurut pandangan Imam asy-Syafi’i dari ayat di atas, perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini tidak termasuk dua hal yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu dua hal diperbolehkan : berjima’ dengan isteri dan budaknya. Sehingga beliau memandang atas dasar ayat tersebut hanya dua tempat/ hal (berjima’ dengan isteri dan budaknya) saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sementara itu masturbasi/ onani/ istimna’ tidak tercantum didalamnya, maka termasuk perbuatan yang tidak diperbolehkan atau diharamkan dalam Islam. Hal ini juga disebutkan dalam I’anatut Thalibin karya Ibnu Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi, bahwa perbuatan usaha mengeluarkan air mani seseorang dengan tangannya sendiri atau bermain-main dengan alat vitalnya, atau yang sejenisnya dengan sengaja merupakan perbuatan yang dibenci.
Secara lebih spesifik, di samping pada tiga ayat di atas, Malikiyah mendasarkan keharaman onani atau masturbasi tersebut pada hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang sudah cukup kesohor.
” يامعشر الشباب: من استطاع منكم الباءة فليتزوج ، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم ، فإنه له وجاء ”
Mereka menegaskan bahwa kalau memang onani atau masturbasi itu boleh maka pasti Rasulullah SAW. mengarahkan kita untuk melakukan onani atau masturbasi tersebut karena ia lebih mudah ketimbang puasa. Menurutnya, tidak diperhitungkannya onani atau masturbasi oleh Rasulullah SAW. sebagai pemegang otoritas tasyri’ jelas menunjukkan atas keharamannya.
Dalam tataran ini, lebih lanjut asy-Syinqithi menegaskan bahwa pendasaran (istizhal) keharaman masturbasi ataun onani kepada zhahir al-Qur’an di atas adalah absah, dan tidaksatupun ayat al-qur’an ataupun al-Hadits yang menentang Zhahir an-Nash tersebut. Selain itu, Imam an-Nawawi yang juga dari madzhab Syafi’i menyatakan bahwa disamping berdasarkan pada dalil naqli di atas, ada dalil aqli yang dapat dijadikan sebagai rujukan keharamannya, yaitu bahwa dengan semaraknya tindakan masturbasi atau onani, sebagian orang akan enggan untuk nikah. Dampaknya adalah terhentinya perkembangbiakan umat menusia [Qath’u an-Nasl]. Dengan demikian, masturbasi atau onani ini mesti dikikis dan pelakunya sekalipun tidak di-had¬ [diberi sanksi atau hukuman], harus di ta’zir [hukuman berupa denda].
Dalam memperkuat argumennya, Imam asy-Syafi’i menambahkan dengan sebuah hadits Nabi SAW., walaupun oleh Ibnu Katsir dinilai gharib. “Ada tujuh golongan yang tidak akan mendapatkan perhatian dari Allah SWT., tidak disucikan, tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang tekun beribadah, dan termasuk orang yang pertama masuk ke dalam neraka kecuali kalau mereka bertobat: [1] orang yang menikahi tangannya (istilah masturbasi atau onani) [an-Nakih Yadahu]; [2] orang yang melakukan liwath [sodomi atau bersetubuh dari dubur]; [3] orang yang di-liwath [penetrasi melalui duburnya]; [4] orang yang minum khamr [minuman keras]; [5] orang yang memukul kedua orang tuanya hingga mereka mengampuni; [6] orang yang menyakiti tetangganya; dan [7] orang yang menyetubuhi isteri tetangganya.
Akan tetapi Taqiyuddin al-Husainiy – ulama fiqh dari kalangan Syafi’iyyah – memberikan pengecualian atas keharaman masturbasi atau onani tersebut. Menurutnya, jika seorang suami melakukan onani dengan menggunakan tangan istrinya atau budak perempuannya maka hal itu diperbolehkan, karena tangan istri tersebut merupakan salah satu tempat yang boleh dinikmati suami (Mahall Istimta’ihi). Berbeda dengan pendapat tersebut, Qadhi Husain mengatakan, jika tangan seorang perempuan meraba (atau memegang) zakar suami atau sayyidnya maka makruh hukumnya jika sampai keluar sperma, sekalipun sudah mendapatkan izin dari suami atau sayyidnya. Menurut Qadhi Husain, itu telah menyerupai ‘azl (senggama terputus), sementara ‘azl adalah makruh.
Jadi secara garis besar pandangan Imam asy-Syafi’i dan para ulama yang sama-sama mengharamkan perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ karena adanya dua alasan:
1. Sesuai dalam al-Qur’an ayat 5-6 Surat al-Mu’minun dan diperkuat dalam ayat 7 dalam surat yang sama bahwa hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk berjima’ yaitu dengan isteri dan budaknya, tidak diperbolehkan dengan selain itu (termasuk masturbasi/ onani/ istimna’ karena dengan tangan atau alat selain kelamin isteri atau budaknya).
2. Dianggap tidak sesuai secara etika moral karena merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan tidak tergolong orang yang berakhlakul karimah.
Dengan dua alasan tersebut maka sangatlah jelas mengenai hukum masturbasi/ onani/ istimna’ menurut sebagian besar ulama pada umumnya dan khususnya dalam pandangan Imam asy-Syafi’i. Jadi dapat kita ketahui bahwa masturbasi/ onani/ istimna’ dalam pandangan Imam asy-Syafi’i adalah haram hukumnya.
Sedangkan Ibn Hazm memandang perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ bukan merupakan perbuatan yang diharamkan. Karena dalam al-Qur’an tidak ada yang jelas-jelas menyatakan tentang keharaman masturbasi/ onani/ istimna’ ini. Ibn Hazm mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Itsma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman:
………وقد فصل لكم ماحرم عليكم………
Dengan demikian masturbasi/ onani/ istimna’ pada dasarnya bukan merupakan jalan normal dalam pemenuhan nafsu syahwat, dan dengan mempertimbangkan bahwa masturbasi atau onani/ istimna’ bisa mendatangkan kerugian bagi pelakunya bila dibiasakan maka hukum asal masturbasi atau onani lebih condong kepada hukum makruh. Jika telah nyata menunjukkan kecenderungan bahwa masturbasi atau onani merusak pelakunya – atas dasar hadits Nabi yang melarang setiap perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain – maka masturbasi atau onani hukumnya bisa menjadi haram. Sedangkan masturbasi atau onani yang dilakukan guna menghindari perbuatann zina bisa menjadi mubah dan dibolehkan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:
ان تجتنبوا كبئر ما تنهون عنه نكفر عنكم سياتكم و ندخلكم مدخلا كريما
Kebolehan masturbasi atau onani ini sesuai pendapat dari Ibnu ‘Abbas, Hasan, dan beberapa tokoh tabi’in lain. Hasan berkata: “Mereka dahulu mengerjakan onani ketika terjadi peperangan (jauh dari keluarga atau isteri).” Sementara Mujahid, ahli tafsir murid Ibnu ‘Abbas, berkata: “Orang-orang dahulu (sahabat Nabi) justru menyuruh para pemuda-pemudanya untuk melakukan onani agar menjaga kesucian dan kehormatan diri”. Sejenis dengan onani, masturbasi pun sama hukumnya. Hukum mubah ini berlaku baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan.
Jadi ada 2 alasan juga dari Ibn Hazm dalam menetapkan hukum mengenai perbuatan masturbasi atau onani ini:
1. Sesuai pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Sebagaimana dalam al-Qur’an Surat al-An’aam: 119.
2. Tidak adanya ayat al-Qur’an yang jelas-jelas mengharamkan masturbasi ini, maka secara logika masturbasi diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah SWT. خلق لكم مافى الارض جميعا ….. Meski demikian beliau tetap menghukumi makruh karena termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
Setelah melihat berbagai pendapat tersebut, maka hukum masturbasi atau onani mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Sehingga hukumnya sangat kondisional dan situasional. Elastisitas ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syari’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana [jarimah] atau perbuatan yang terkena hukum ta’zir. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, muru’ah, dan kehormatan belaka.
B. Segi Medis dan psikis dalam Kehidupan Religinya
Sementara itu dalam pandangan medis, perbuatan masturbasi/ onani ini lebih cenderung dibolehkan, bahkan banyak hasil penelitian dokter yang menyatakan bahwa perbuatan masturbasi sangat dianjurkan, karena dengan melakukan masturbasi dapat mengurangi/ mencegah penyakit kanker prostat yang konon penyakit ini bisa berakibat pada kematian.
Kanker Prostat adalah suatu tumor ganas yang tumbuh di dalam kelenjar prostat. Kanker prostat sangat sering terjadi. Pemeriksaan mikroskopis terhadap jaringan prostat pasca pembedahan maupun pada otopsi menunjukkan adanya kanker pada 50% pria berusia diatas 70 tahun dan pada semua pria yang berusia diatas 90 tahun. Kebanyakan kanker tersebut tidak menimbulkan gejala karena penyebarannya sangat lambat. Penyakit tersebut terjadi karena disinyalir tidak pernah/ kurang melakukan masturbasi/ onani tersebut. Sehingga perbuatan masturbasi ini berpengaruh baik bagi kesehatan si pelaku, dengan catatan mediator yang digunakan dalam keadaan bersih/ steril. Karena jika dengan alat yang tidak bersih/ steril tentunya akan berakibat infeksi atau penyakit pada alat vitalnya.
Akan tetapi bagaimana kita melihat perbuatan masturbasi ini jika dipandang dari segi medis dalam kehidupan religinya?
Jika kita melihat uraian bab-bab di atas bisa kita ambil suatu pandangan mengenai masturbasi atau onani ini. Dalam pandangan agama secara umum mengharamkan dan menganggap perbuatan masturbasi ini tidak sesuai dengan etika moral manusia, walaupun ada sebagian yang memakruhkan, dan bahkan membolehkannya. Sehingga dalam lingkup agama sendiri belum ada kesamaan pendapat mengenai hukum masturbasi atau onani ini. Dan hal itu akan berpengaruh pada kehidupan religi masyarakatnya. Walaupun secara kenyataannya kita tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana efek orang yang bermasturbasi atau beronani itu sendiri, karena perbuatan tersebut tentunya tidak mungkin dilakukan dengan terang-terangan.
Sedangkan jika kita melihat perbuatan masturbasi atau onani dari segi medis, lebih banyak membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk melakukan masturbasi ini. Hal ini dibuktikan dari data-data yang penyusun dapat dari artikel-artikel yang berkaitan dengan masturbasi dalam pandangan medis/ kedokteran atau kesehatan.
Dengan demikian penyusun akan melihat perbuatan masturbasi ini dari segi kemaslahatannya. Dan sebagaimana telah sedikit diuraiakan dalam bab-bab awal mengenai maslahah dalam pandangan Najamuddin at-Tufi dengan konsep maslahahnya yang bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi:
لاضرر ولاضرار
Maksud kata لاضرر ولاضرار adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga.
Menurut at-Tufi, ,maslahah berdasarkan ‘urf sebagai sebab untuk mengarahkan kepada kebaikan dan manfaat seperti perdagangan merupakan sarana untuk mencari keuntungan, sedangkan menurut syara’ adalah merupakan manfaat yang dikehendaki oleh manusia dan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
Pandangan at-Tufi tentang maslahah (kepentingan umum) nampaknya bertitik tolak dari konsep maqasid as-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara kepentingan umum umat manusia, konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan satu kaidah yang cukup populer yaitu “di mana ada kepentingan di situ terdapat hukum Allah”.
At-Tufi membangun pemikiran tentang maslahah tersebut berdasarkan atas empat prinsip yaitu: pertama, akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat; kedua, maslahah merupakan dalil syara’ mandiri yang kehujjahannya tergantung pada akal semata; ketiga, maslahah hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah dan ukuran-ukurannya ditetapkan oleh syara’, dan; keempat, maslahah merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh karena itu at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah dengan cara takhsis.
Di sini penyusun mencoba mengkaji pengaruh perbuatan masturbasi dari segi medis dalam kehidupan religinya dengan konsep maslahah sebagai salah satu landasan teorinya, disamping data-data dari pendapat dan penelitian para ahli medis/ kedokteran. Secara umum maslahah dimengerti sebagai upaya pengambilan manfaat dan pencegahan mudharat (resiko). Maslahah dikaitkan dengan aktivitas dan kepentingan manusia yang memiliki tujuan untuk manfaat dan pencegahan terhadap resiko dalam kehidupan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Maslahah dapat dikatakan salah satu unsur dalam syari’at yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai obyeknya. Maslahah manusia di dunia dan di akhirat menjadi tujuan utama dan maksud ditetapkannya hukum.
Dengan penerapan metode maslahah (kepentingan umum) nilai hukum Islam mampu berkembang dan memiliki cukup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial di tempat Islam itu berada. Sehingga penyusun menganggap perbuatan masturbasi jika kita melihat data-data yang ada dari penelitian dan pembuktiannya, maka kalau memang dengan masturbasi ternyata bisa mencegah dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat tentunya bukan termasuk suatu keharaman hukumnya. Lagipula perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan di hadapan masyarakat secara terang-terangan. Dengan demikian akan dapat dirasakan kemaslahatan manusia dalam haknya untuk mempertahankan dirinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dijelaskan dan diuraikan tentang masturbasi dalam pandangan Imam asy-Syafi’i dan Ibn Hazm serta pandangan Medis dari segi hukum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari Segi Dasar Hukumnya
Bahwa masturbasi dalam pandangan para ulama, sebagian besar dari mereka mengharamkan perbuatan masturbasi ini. salah satu tokoh ulama madzhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah Imam asy-Syafi’i. Dasar hukum yang dipakai/ menjadi pegangan Imam asy-Syafi’i dalam menetapkan hukum masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah dalam Firman Allah SWT. dalam al-Qur’an Surat al-mu’minun ayat: 5-6. Dimana dalam ayat tersebut hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk di jima’, yaitu dengan isteri dan budaknya. Sehingga masturbasi diharamkan karena tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Dan hal itu diperkuat pada ayat selanjutnya dalam surat yang sama. Selain itu Imam asy-Syafi’i juga melihat dari segi etika moral yang ternyata perbuatan masturbasi ini tidak termasuk perbuatan yang terpuji.
Ibn Hazm salah satu ulama dari madzhab zhahiri mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Itsma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-An’aam: 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya. Sementara dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang menyatakan tentang keharaman dari perbuatan masturbasi. Walaupun dari segi etika moral Ibn Hazm juga menganggap masturbasi sebagai perbuatan yang tidak terpuji.
Dari pendapat kedua tokoh ulama tersebut dapat kita ambil satu pandangan bahwa hukum masturbasi atau onani itu cenderung mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Sehingga hukum yang akan munculpun sangat kondisional dan situasional. Elastisitas hukumnya ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syari’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana [jarimah] atau perbuatan yang terkena hukum ta’zir. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, muru’ah, dan kehormatan belaka. Untuk itu tentunya perbuatan ini akan kembali kepada masing-masing pelakunya.
2. Dari Segi pandangan Medis dalam kehidupan religinya
Banyak data dari kalangan medis mengenai masturbasi atau onani, secara realitas dalam penelitian membuktikan dampak masturbasi yang ternyata dapat mengurangi dan mencegah penyakit kanker prostat yang juga merupakan salah satu kanker penyebab kematian manusia yang terkena penyakit tersebut.
Dalam konsep maslahah Najamuddin at-Tufi, bahwa seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga. Dan menurut at-Tufi kemaslahatan itu bisa lebih didahulukan dari nash.
Dengan demikian penerapan konsep maslahah nilai hukum Islam mampu berkembang dan memiliki cukup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial di tempat Islam itu berada dan juga mampu mencegah mudlarat (risiko) dan dapat mengambil manfaatnya. Sehingga perbuatan masturbasi jika kita melihat dari data-data yang ada dari penelitian dan pembuktiannya, maka kalau memang dengan masturbasi ternyata bisa mencegah mudlarat dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat maka penulis menganggap suatu kebolehan. Lagipula perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan di hadapan masyarakat secara terang-terangan. Dengan demikian akan dapat dirasakan kemaslahatan manusia dalam haknya untuk mempertahankan dirinya dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat tersebut.
Demikian juga secara psikologi yang sedikit banyak ada manfaat yang akan dirasakan dan juga ada kerugian yang akan didapatkan pula dari melakukan perbuatan masturbasi tersebut. Akan tetapi berbagai kecenderungan, berbagai dampak atau efek tersebut akan kembali bagi se pelaku dalam menyikapinya.
C. Saran-saran
Pada akhir penulisan ini, penulis mencoba memberikan saran pemikiran dan kontribusi bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi para peneliti di bidang Ilmu Hukum (baik hukum Islam maupun hukum positif/ hukum nasional), khususnya yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya suatu metode dalam upaya untuk mensosialisasikan pemahaman terhadap perilaku masturbasi dalam komponen masyarakat sebagai obyek dan pelaku hukum yang memiliki ciri kehidupan yang plural.
2. Sebagai manusia yang hidup di bangsa dan dunia modern seharusnya memiliki pola pemikiran yang luas dan inovatif dalam lingkup religiusitasnya dalam masyarakat.
3. Sebaiknya perbuatan masturbasi bukan sebagai pelanggaran terhadap hukum, akan tetapi terhadap etika moral sebagai manusia yang berakhlak.
4. Dalam pandangan umum, selagi tidak dilakukan dengan terang-terangan di hadapan publik, perbuatan masturbasi sah-sah saja di lakukan setiap orang, walaupun perbuatan tersebut merupakan suatu kepincangan dalam hal etika moral bagi si pelaku. Sehingga akan kembali kepada individu masing-masing dalam mensikapi dan memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok Al-Qur’an dan Tafsir
Asy-Syinqithi, Azwa’ al-Bayan fi lyzhah al-Qur’an bi al-Qur’an, Juz V, (Al-Qahirah: Maktabah Ibnu Taymiyah, 1988).
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Juz 5, cet. As-Syaeb.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an, Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahya, (Semarang : CV. Alwaah, 1989).
B. Kelompok Hadis
Ali Ahmad As-Salus, Dr., Ma’a al-Syiah al-Itsna ‘asyriyah fi al-Ushul wa al-Furu’ (mausu’ah syamah) dirasah muqaranah fi al-Hadits wa ulumihi wa kutubihi, (Mesir: Darut Taqwa, Cet. I, 1417 H/ 1997 M).
Al-Qurasyi, Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, 16 Juz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.).
Yahya Ibn Syarifuddin an-Nawawi, Hadis Arba’in An-Nawawi, (Surabaya: Sali Nabhan, t.t).
C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz V, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Husain Hamid Hasan, Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqhi al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971)
Ibn Hazm, Al-Muhalla Juz 12, (t.t.p.: Dar al-Fikr, t.t.).
Ibnu Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’atil Muslimah (Fiqih Muslimah: Ibadat-Muammalat), Cet III, (Jakarta: Pustaka Amani, Rabiul Awal 1420 H/ Juli 1999 M).
M. Hasbi Ash-Shidiqiey, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. 4 (Jakarta : Bulan Bintang, 1985)
Masjfuk Zuhdi, Prof. Drs. H., Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1997).
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Zaid Husein al-Hamid, Fiqih Muslimah Ibadat-Muammalat, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994)
D. Kelompok Buku-buku Lain
Abd al-Latif Syararah, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-Ilmi, (t.k : Al-Maktab at-Tijari, t.t.).
Abdul Moqsit, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Yogyakarta: LKiS, 2002)
Abu Al-Ghifari, Remaja Korban Mode, (Bandung : Mujahid Press, 1424 H/ 2003 M).
Adnan Hasan Baharits, Al-Inhiraa Fatul Jinsiyyatu ‘Indal Athfaali As-Baa Baha Wa’ilaaJiha, (Darul Mujtama’, Cet I, 1414 – 1993)
Ahmad Ali al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Vol II, (Kairo: Mathba’ah al-Yusufiyyah, 1931)
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7 (Jakarta : Bulan Bintang, 1995)
Christopher J. Gearon, Sexual Health A – Z, The Sinclair Intimacy Institute, 2003
Derek Llewellyn-Jones, Setiap Wanita Buku Panduan Lengkap Tentang Kesehatan, Kebidanan, dan Kandungan, Judul asli: Everywoman, alih bahasa: Dian Paramesti Bahar, (Jakarta : Delapratasa, 1997).
Ibrahim Hosen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam (Reinterpretasi terhadap Pelksanaan Aturan)” dalam Jamal D. Rahman (et.al.), Wacana Baru Fiqh Sosial; 70 tahun Prof. Ali Yafie, cet. I (Bandung : Mizan, 1994)
Mahmud Ali Himayah, Dr., Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya tentang Agama-agama, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1422 H/ 2001 M).
Muh. Kasim Mugi Amin, Kiat Selamatkan Cinta Pendidikan Seks Bagi Remaja Muslim, Cet. I, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).
Muhammad Said Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1977)
Rusdy Helmi, Penyimpangan Seksual pada Anak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1422 H/ 2001 M).
Seksiologis, Masturbasi Sebelum Penetrasi, (Copyright http:// www. changjaya-abadi.com, 2002).
Shaleh Tamimi, Musykilatun fi Thoriq Asysyabaabi, (Saudi Arabia: Daarul ‘Aashimah, 1412 H).
Soerjono Soekanto, Dr, SH., MA., Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003).
Taqiyuddin al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar, Juz II , (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Wanita Masturbasi Untuk Orgasme, Surabaya, Sabtu, 12 Agustus 2000 Real Time (Internet)
Yusuf al-Qardawi, Membumikan Syari’at Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), terj. Muhammad Zaki, Yasir Tajid
E. Kelompok Kamus, Ensklopedi, Majalah, dll
Ali Ahmad as-Salus, Prof., Dr., Ensklopedi Sunnah-Syiah: Studi Perbandingan Hadits dan Fiqh, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
Aries Kelana, dan Anton Muhajir (Denpasar) [ Kesehatan, Kanker Prostat Sehat Dengan Ejakulasi, GATRA, Edisi 23 Beredar Jumat 16 April 2004 ].
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media, Kamis, 24 Juli 2003, 11:29 WIB
copyright©www.medicastore.com2004
Ensklopedi Hukum Islam, editor : Abdul Azis Dahlan….[et al.], – cet I., (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, 6 jil.; 26)
Gatra
Kompas
Majalah Remaja Islami “el-Fata”, Jika Seks Cukup sendiri, (Edisi 11/ III/ 2003)
ya2n/female.uk, Masturbasi Itu Sehat, http//www.vision.net.id, 31 Jul 2003 11:21:49
BAB II
PANDANGAN IBN HAZM DAN IMĀM ASY- SYĀFI’I
B. MENGENAI MASTURBASI
A. Imām asy- Syāfi’i dan Pemikirannya
2. Perjalanan Hidup Imām asy- Syāfi’i
Imām asy-Syāfi’i sebagai pendiri mazhab Syafi’i nama lengkapnya Muhammad bin Idris asy-Syāfi’i al-Quraisyi. Dilahirkan di desa Gazah Palestina pada tahun 150 H / 767 M. Ia wafat di Mesir pada tahun 204 H / 819 M. Silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn ‘Usman Ibn Syāfi’i ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn Mutalib ibn Abdul al-Manaf datuk Nabi Muhammad S.A.W.
Syafi’i ibn as-Syua’ib adalah yang menjadi nisbat asy-Syāfi’i Ibnu asy-Syua’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk Islam pada saat perang Badar. Jadi Imām asy-Syāfi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan dari keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari Yaman), bukan keturunan ‘Alawiyyah.
Sejak dilahirkan Imām asy-Syāfi’i sudah menjadi yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil Imām asy-Syāfi’i sudah menampakkan kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan kemampuannya menghafal al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar pertama ia pergi ke daerah Huzail (pedalaman) yang mana merupakan tempat orang-orang yang paling ahli dalam bahasa Arab. Imām asy-Syāfi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang berkaitan dengan syi’ir-syi’ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak heran dia sangat ahli dalam kebahasaan ‘Arab.
Ketika umur Imām asy-Syāfi’i mencapai 2 tahun, ibunya membawa ke Hijaz dan keqabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab anaknya yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, sehingga ibunya membawa asy-Syāfi’i ke Mekkah. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu:
3. Mekkah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang Imām asy-Syāfi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga ayahnya yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat berbagai fasilitas dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada waktu itu memang menyediakan tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga Quraisy dari keturunan Hasyim dan Mutalib yaitu keluarga dekat Nabi s.a.w.
4. Karena kota Mekkah merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imām asy-Syāfi’i dapat berkembang dalam bahasa Arab yang murni dan mengambil cabang-cabang keilmuan yang dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.
2. Pendidikan, Pengembaraan dan Karirnya
Imām asy-Syāfi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa kecilya di Mekkah. Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam asuhan ibunya serta hidup dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi semangat untuk menuntut ilmunya tidak pudar. Si ibu, Fatimah, mengirimkan al-Syafi’i untuk belajar ke Kuttab (semacam taman kanak-kanak). Dengan kemaunnya yang keras dan dorongan dari ibunya, ia mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai hal-hal yang penting.
Dari pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan Imām asy-Syāfi’i dapat mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ‘ulama’, mulai pemikiran ‘ulama’ yang didasarkan pada hadis maupun ra’yu, tetapi ia banyak dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang dijadikan dasar pengembangan mazhabnya pertama kali di Mekkah, yaitu dengan mengaktifkan kembali halaqah di Masjid al-Haram.
Untuk pendalaman hadis Imām asy-Syāfi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kemampuan menghafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik yang dibaca dengan di depan sang guru, hal ini membuat kekaguman tersendiri bagi Imam Malik.
Karena merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, Imām asy-Syāfi’i kemudian pergi ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu fiqh, kepada para murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya tersebut, ia sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain. Pada waktu itu ia menyusun kitab usul fiqh yang pertama dalam Islam yaitu “al-Risalah”.
Sebagai pecinta ilmu, Imām asy-Syāfi’i mempunyai banyak guru, begitu banyaknya guru Imām asy-Syāfi’i sehingga Imam ibn Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali al-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ‘ulama’ yang pernah menjadi guru Imam Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin Kholid, Imam Ibrahim in Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad.
Aktivitas dibidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ‘ulama’ fiqh namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama fiqh iapun dikenal sebagai ‘ulama’ ahli hadis, tafsir, bahasa dan sastra Arab, ilmu falak, ilmu usul dan ilmu tarikh.
Imām asy-Syāfi’i digelari Nasir al-Sunnah artinya pembela Sunnah atau Hadis. Karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana ia sangat memuliakan para ahli hadis. ‘Ulama’ besar Abdul Halim al-Jundi, menulis buku dengan judul, al-Imām al-Syāfi’i, Nasir al-Sunnah wa wadi’ al-Usul. Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Imām asy-Syāfi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi s.a.w. dalam melandasi pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas.
Menurut Imām asy-Syāfi’i, qiyas hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa yaitu dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati nasnya secara pasti dan jelas di dalam al-Qur’an atau Hadis sahih atau tidak dijumpai dalam ijma’ sahabat. Qiyas sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan qiyas, Imām asy-Syāfi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah yang telah ada.
Imām asy-Syāfi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun, atas wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh sang guru Muslim bin Khalid, seorang ‘ulama’ besar yang menjadi mufti di Mekkah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad, pendapat-pendapat Imām asy-Syāfi’i yang difatwakan tersebut dinamakan dengan qaul qadim. Ketika itu pengaruh mazhab Syāfi’i mulai tersebar luas dikalangan masyarakat, kemudian untuk sementara waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Baghdad menuju Makkah untuk memenuhi panggilan hati yang masih haus ilmu pengetahuan.
Pada tahun 198 H. Imām asy-Syāfi’i kembali ke Baghdad untuk merawat dan mengembangkan benih-benih mazhab yang telah ditebarkan, pada saat itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada lapisan masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, dan diantara pilar-pilar pendukung mazhab Syāfi’i yang masyhur adalah Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali) al-Zafarani, Abu Sur, al-Karabisi, 4 orang inilah yang tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang dalam kitab al-Hujjah.
Kemudian Imām asy-Syāfi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi mazhabnya, dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri Mesir, disana Imām asy-Syāfi’i meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa ia selama di Baghdad, kemudian muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul jadid yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtasar Muzanni dan al-Buwaiti. Diantara pendukung dan periwayat qaul jadid yang terkenal adalah: al-Buwaiti, al-Rabi’ al-Jaizi, al-Muradi, al-Harmalah dan ‘Abdullah bin al-Zubair al-Makki.
3. Guru dan Muridnya
Imām asy-Syāfi’i pada masa mudanya, waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di markas-markas ilmu pengetahuan, seperti di kota Mekkah, Madinah, Kufah, Syam dan Mesir. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mempelajari ilmu tafsir, fiqh, hadis kepada guru-guru yang banyak tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-gurunya yang masyhur antara lain:
1. di Mekkah
g. Muslim bin Khalid al-Zanji
h. Ismail bin Qastantin
i. Sufyan bin Uyainah
j. Sa’ad bin Abi Salim al-Qaddah
k. Dawud bin Abd. al-Rahman al-Atur
l. Abd. al-Hamid bin abd. Aziz
2. di Madinah
a. Imam Malik bin Anas
b. Ibrahin bin Sa’ad al-Ansari
c. Abd. al-Azzi bin Muhammad al-Darudi
d. Ibrahim bin Abi Yahya al-Aswamiy
e. Muhammad bin Sa’id
f. Abdullah bin Nafi’
3. di Yaman
e. Matraf bin Mazin
f. Hisyam bin Abu Yusuf
g. ‘Umar bin Abi Salamah
h. Yahya bin Hasan
4. di Iraq
g. Waqi’ bin Jannah
h. Hamad bin Usamah
i. Isma’il bin Ulyah
j. Abd. al-Wahab bin Abd. al-Majid
k. Muhammad bin Hasan
l. Qadi bin Yusuf.
Guru-guru tersebut di atas adalah dari berbagai aliran. Misalnya Sufyan bin Uyainah di Mekkah dan Imam Malik bin Anas adalah golongan ahli hadis, di Irak Ia berguru pada golongan dari ahli ra’yi, aliran Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran mazhab al-Auza’i. Karena bermacam-macam aliran itulah, maka Imām asy-Syāfi’i terkenal sebagai imam yang sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta ia terkenal sebagai ahli qiyas. Abdul Karim Zaidan menyatakan:
Imām asy-Syāfi’i melakukan kajian tentang mazhab-mazhab terkenal pada masanya dengan kajian verifikasi, kritis dan membuat perbandingan. Ia pada masa mudanya mengkaji fiqh ahli Mekkah dari Muslim bin Khalid dan lainnya, kemudian mendalaminya kepada Malik bin Anas dan ahli fiqh Madinah hingga ia diperhitungkan termasuk murid Imam Malik dan pengikut madrasah Madinah dan masyhur dengan pensifatan ini hingga ia datang ke Bagdad pertama kali dan mengkaji fiqh Abu Hanifah dan mazhab dari jalur Muhammad bin al-Hasan. Dan karenanya, ia menyimpulkan fiqh Hijaz dan fiqh Irak. Maka ketika pulang ke Mekkah ia mengkaji dengan mendalam dan merenungkannya. Dari sini kelihatan kepribadian Imām asy-Syāfi’i dengan fiqh yang baru yaitu sintesis dari fiqh ahli Iraq dan ahli Hijaz dan mulai membedah dengan mazhab khusus.
Adapun murid-murid Imām asy-Syāfi’i tersebar di berbagai negeri, di Mekkah ada Abu Bakar al-Humaidi, Ibrahim bin Muhammad al-‘Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi al-Jarud, kemudian di Bagdad, diantara muridnya adalah Hasan al-Sa’bah al-Za’farani, al-Husain bin Ali al-Karabisiy, Abu Tur al-Kulbiy dan Ahmad bin Muhammad. Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwaiti, Ismail, Muzanni, Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd. al-Hakam dan al-Rabi’ bin Sulaiman. Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadis-hadisnya diantaranya:
1) Ahmad bin Khalid al-Khallal yaitu Abu Bakar Ja’far al-Bagdadiy. Hadis-hadisnya banyak meriwayatkan al-Nasa’i dan al-Turmuzi.
2) Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.
3) Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja’far al–Tabari, al-Hafiz, hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud.
4) Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin Hambal dan pendiri mazhab Hambali.
5) Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy al-Bagdadiy. Hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Abu Qasim al-Bagawiy.
6) Isma’il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan fatwa Imām asy-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya.
7) Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam masalah ikhtilaf hadis dari Imām asy-Syāfi’i.
8) Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid utama Imām asy-Syāfi’i di Mesir yang meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad asy-Syāfi’i, hadisnya banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah.
9) Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu Majah.
4. Karya Ilmiahnya
Sebagai seorang ilmuwan yang multi disipliner, Imam al-Syafi’i memiliki karya ilmiah yang sangat banyak. Menurut riwayat Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad al-Marwaziy – seperti yang dikutip al-Nawawi – bahwa karya ilmiah Imām asy-Syāfi’i mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqh, kesusastraan ‘arab dan lainnya. Metode Imām asy-Syāfi’i dalam mengarang buku itu ada yang langsung ditulis oleh ia sendiri ataupun dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Imām asy-Syāfi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Apakah ketika ia berada di Mekkah atau ketika berada di Bagdad. Menurut riwayat yang masyhur ia mulai menulis karyanya ketika di Mekkah sebelum datang ke Iraq untuk yang kedua kalinya. Karya-karyanya terkenal dengan materi yang luas dan analisa yang dalam khususnya al-Risalah dan al-Umm. Kitab-kitab karya itu antara lain:
1. Kitab al-Risalah
Al-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fiqh dan merupakan buku pertama yang ditulis ‘ulama’ dalam bidang usul fiqh. Kitab ini disusun dua kali, Pertama ketika Imām asy-Syāfi’i ada di Baghdad yang kemudian dikenal dengan al-Risalah al-Qodimah, yang kedua ketika ia berada di Mesir dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Namun yang sampai kepada kita sekarang adalah risalah yang kedua.
Imām asy-Syāfi’i tidak memberikan nama kitab tersebut dengan al-Risalah., ia hanya menyebutnya dengan al-Kitab (kitab ini), kitabiy (kitabku) dan kitabuna (kitab kami). Kitab ini dinamai al-Risalah karena kitab ini dikirimkan oleh Imām asy-Syāfi’i dari Baghdad kepada Abd. al-Rahman bin Mahdi yang berada di Mekkah.
Kitab al-Risalah al-Qadimah ditulis oleh Imām asy-Syāfi’i di Mekkah dan baru disempurnakan ketika di Baghdad kemudian dikirimkan oleh Ibnu al-Mahdi. Dan ketika ia berada di Mesir, ia menyusun lagi kitab al-Risalah ini dengan hafalan atas dasar al-Risalah al-Qodimah yang merupakan al-Risalah yang ada sampai sekarang. Oleh karenanya disebut al-Risalah al-Jadidah (kitab risalah yang baru).
2. Kitab al-Hujjah
Kitab al-Hujjah termasuk dalam qoul qodim dalam bidang fiqh dan furu’, karena disusun oleh Imām asy-Syāfi’i ketika di Bagdad. Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat yang dikemukakan oleh ulama Iraq khususnya pendapat Muhammad bin al-Hasan.
Dalam kitab kasyf al-Zunun dikatakan bahwa al-Hujjah karya Imām asy-Syāfi’i merupakan kitab yang besar disusun ketika ia berada di Iraq. Jika dikatakan pendapat yang lama dari mazhabnya maka maksudnya adalah karya ini.
3. Kitab al-Mabsut
Al-Mabsut adalah kitab fiqh karya Imām asy-Syāfi’i yang diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman dan al-Za`faraniy. Namun, Para ‘ulama’ berbeda pendapat tentang apakah al-Mabsut ini merupakan kitab al-Hujjah yang diriwayatkan oleh al-Za`faraniy dari Imām asy-Syāfi’i di Baghdad ataukah merupakan kitab al-Umm yang diriwayatkan al-Rabi’ dari Imām asy-Syāfi’i di Mesir atau merupakan kitab lain yang berbeda dari keduanya. Menurut pendapat Imam al-Sayid bin Muhammad bin al-Sayid Ja’far al-Kattaniy bahwa kitab al-Mabsuth bukan kitab al-Hujjah ataupun al-Umm akan tetapi kitab tersendiri dari Imām asy-Syāfi’i.
4. Kitab al-Musnad
Kitab musnad asy-Syāfi’i merupakan kitab yang berisi riwayat hadis-hadis asy-Syāfi’i, sistem penyusunan dan pembahasan kitab ini adalah menurut sistematika kitab-kitab fiqh yakni secara berurutan, diawali dengan masalah ‘ibadah, kemudian munakahah, kemudian masalah jihad, kemudian masalah qada’ dan jinayah. Di sana terdapat beberapa hadis yang diselipkan di antara masalah tersebut. Terdiri dari 66 bab dengan istilah “kitab”. Kitab ini jika dibandingkan dengan musnad Ahmad bin Hambal, jumlah hadisnya lebih sedikit, tetapi jika dibandingkan dengan musnad al-Hanafi maka hadisnya lebih banyak. Kitab ini termasuk kitab yang diperhatikan ‘ulama’ hadis pada abad kedua Hijriah dan merupakan kitab hadis pertama yang sampai kepada kita yang menggunakan “mi’yar” ilmu hadis.
5. Kitab al-Umm
Kitab al-Umm merupakan kitab yang berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imām asy-Syāfi’i yang terdapat dalam kitab al-Risalah. Kitab al-Umm ini diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Kitab ini terdiri dari 7 jilid dan telah dimasukkan di dalamnya beberapa karangan Imām asy-Syāfi’i yang lain yaitu:
d. Kitab Jami’ al-‘Ilm berisi pembelaan Imām asy-Syāfi’i terhadap sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dan kitab Ibhal al-Istihsan berisi bantahan ia terhadap penggunaan istihsan sebagai dasar hujjah.
e. Kitab al-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan, yang berisi bantahan ia terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat ‘ulama’ Madinah sebagai dasar hukum.
f. Kitab Siyar al-Auza’i, yang berisi pembelaan ia terhadap pembahasan Imam Auza’i.
B. Metode Istidlal dan Pola Pemikiran Imām asy-Syāfi’i dalam Menetapkan Hukum Islam
Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Imām asy-Syāfi’i dalam bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syāfi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan), kalau dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da`if.
Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah: tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).
Dalam pandangan Imām asy-Syāfi’i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan al-Qur’an. Bahkan menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur’an.
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām asy-Syāfi’i tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainya Imām asy-Syāfi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.
Dalam pemahaman Imām asy-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.
2. As-Sunnah
Menurut Imām asy-Syāfi’i yang dimaksud adalah al-Hadis. As-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan as-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
e. Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
f. Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
g. Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.
h. Dilalah-dilalah as-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena as-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan as-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
Dalam implementasinya, Imām asy-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir. Namun jika tidak ditemukan dalam hadis mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad. Meskipun begitu, ia tidak menempatkan hadis ahad sejajar dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir.
Imām asy-Syāfi’i menerima hadis ahad mensyaratkan harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
e. Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
f. Perawinya dabit.
g. Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan.
h. Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang juga meriwayatkan.
Dalam masalah hadis mursal Imām asy-Syāfi’i menetapkan dua syarat:
c. Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa dengan sahabat.
d. Ada petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.
Adapun dalam menanggapi pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imām asy-Syāfi’i membagi kepada dua bagian:
c. Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya, maka diamalkanlah yang nasikh.
d. Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.
Dalam ikhtilaf yang terakhir di atas, Imām asy-Syāfi’i membaginya dalam dua kategori:
c. Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.
d. Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.
Adapun jika terjadi suatu pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara berikut ini:
c. Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh, sehingga harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.
d. Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.
3. Ijma’
Ijma’ menurut Imām asy-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam, bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja. Namun Imām asy-Syāfi’i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang paling kuat.
Imām asy-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.
Imām asy-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’ sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum tentu mengindikasikan persetujuannya.
Melihat kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang telah mempunyai dasar atau sumber hukum.
4. Qiyas
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām asy-Syāfi’i. Dengan demikian Imām asy-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam. Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām asy-Syāfi’i adalah sebagai berikut:
e. Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
f. Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub, nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
g. Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf dikalangan ulama.
h. Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus, sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.
5. Istidlal
Bila Imām asy-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.
C. Pendapat Imām asy-Syāfi’i Mengenai Masturbasi
Mengenai hukum masturbasi/ onani atau yang dikenal syari’at dengan istimna’, ulama sudah banyak yang memperbincangkannya. Salah satunya Imām asy-Syāfi’i. Beliau menyatakan haramnya onani atau istimna’. Dasarnya adalah firman Allah swt. :
والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)
Maka adalah jelas tentang menyebutkan bahwa mereka itu menjaga kehormatannya (farajnya), kecuali kepada isteri atau budak-budak wanita mereka, dengan pengharaman kepada selain isteri dan yang dimilikinya oleh tangan kanan (budak wanita).
Maka dengan begitu tidak halal berbuat dengan zakar (kemaluan lelaki), selain pada isteri atau pada yang dimiliki oleh tangan kanan, dan tidak halal mengeluarkan mani (dengan tangan dan lainnya).
Argumen beliau, “Karena perbuatan itu (onani) tidak termasuk dari dua hal yang disebutkan dalam ayat di atas.” Dua hal yang dimaksudkan beliau adalah berjima’ dengan isteri dan budak.
Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan hal tersebut.
فمن ابتغى وراء ذلك فأولائك هم العادون (7)
Di antara sifat mulia dari orang-orang yang beriman disebutkan dalam surat al-Mukminun ayat lima sampai tujuh. Mereka memelihara kemaluannya. Tak mengumbarnya sembarangan atau disalurkan pada jalur menyimpang. Bahkan mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya hanya kepada isteri pendamping mereka. Atau kalau tidak kepada budak-budak wanita yang mereka punya. Dua tempat inilah pilihan aman yang diperbolehkan. Sedangkan onani? Tak tercantum dalam ayat ini. Karena itu ia termasuk kategori firman Allah swt. dalam surat al-Mukminun ayat tujuh, yaitu mencari di balik hubungan resmi. Orang yang seperti ini termasuk orang yang melampaui batas.
Makanya Imām asy-Syāfi’i mengatakan, “Maka tidak dibolehkan melakukan jima’ kecuali dengan para isteri dan budak-budak yang dimiliki. Juga tidak dibolehkan melakukan istimna’(onani).
D. Ibn Hazm dan Pemikirannya
2. Perjalanan Hidup Ibn Hazm
Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H/ 994 M di Manta Lisyam (Cordoba). Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’ad bin Hazm bin Galib bin Salih bin Sofyan bin Yazid. Ibn Hazm merupakan keturunan Persia. Kakeknya, Yazid berkebangsaan Persia, Maula Yasib bin Abi Sufyan al-Umawi.
Ayahnya, Ahmad bin Sa’id, termasuk golongan orang cerdas yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau dalam perkataannya, ia berkata “Sungguh saya heran terhadap orang yang kacau balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat dalam penulisannya. Karenanya, jika orang tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya kalam lebih luas daripada ini.”
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus. Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran. Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke hadirat Alloh SWT pada tahun 402 H.
2. Pendidikan Dasar Ibn Hazm
Dalam buku Tauq al-Hamamah karyanya sendiri, Ibn Hazm secara panjang lebar mengungkap otobiografinya. Ibn Hazm memaparkan bahwa dirinya mula-mula memperoleh pendidikan dasarnya dari para jawari, wanita-wanita slav yang melayani keluarganya ayahnya. Dari mereka Ibn Hazm belajar membaca, menulis, puisi dan menghapal al-Qur’an. Ibn Hazm berada dalam bimbingan mereka para wanita hingga ia menginjak usia menjelang dewasa.
Ketika memasuki usia dewasa, Ibn Hazm diserahkan oleh ayahnya kepada seorang ulama yang alim. Zahid dan wira’i, yaitu Abu al-Husaini bin Ali al-Farisi. Dalam bimbingannya Ibn Hazm diperkenalkan dengan banyak ulama dalam berbagai disiplin ilmu. Ibn Hazm pernah diajak menghadiri majlis ta’lim Abu-Qasim Abdurrahman al-Azdi. Dari sinilah bermula pembentukan kepribadian Ibn Hazm yang walau terkenal tajam dan pedas lisannya, namun memiliki rasa keikhlasan yang tinggi dan konsisten antara ilmu dan amal. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari jasa ayahnya yang sangat memperhatikan pendidikannya. Bahkan Abu Laila menyatakan bahwa ayahnya punya peran yang besar dalam pembentukan karakter Ibn Hazm. Sebab ia berperan sebagai ayah, ibu sekaligus guru bagi anaknya.
3. Ibn Hazm Sepeninggal Ayahnya
Ketentraman Cordoba yang tidak kunjung tiba memaksa keluarga Ibn Hazm untuk berhijrah ke Almeria sebuah kota yang berada di tepi pantai yang merupakan kota kedua sesudah Cordoba. Kota ini didiami oleh penduduk yangmayoritas adalah pendukung Abu Mansur al-Amiri. Di Almeria Ibn Hazm benar-benar menikmati ketenangan dan ketentraman. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membaca, menulis dan berdiskusi dengan para ulama dan cendekiawan setenmpat. Aktifitas intelektual Ibn Hazm semakin menanjak dan semakin matang. Namun pada tahun 407 H keadaan tersebut terasa hilang ketika ia dan temannya, Muhammad bin Ischaq dituduh membuat gerakan bawah tanah untuk mengibarkan benera Umayyah. Karena itu, pemerintahan alawaiyyiin yang berkuasa menangkap dan memenjarakan keduanya. Atas jasa pejabat yang loyal pada Abu Mansur keduanya akhirnya dibebaskan untuk kemudian diserahkan kepada salah seorang sahabatnya seorang ulama yang bernama Abu al-Qasim Abdullah bin Hudail yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Muqaffal. Keduanya menjadi tamu istimewa ulama itu selama sebulan sesudah di penjara selama sebulan. Sesudah itu keduanya berangkat menuju Valensia untuk mendukung al-Murtada dalam rangka mengibarkan bendera Umayyah kembali.
Dalam pemerintahan al-Murtada Ibn Hazm diangkat sebagai salah seorang menteri. Namun, oleh karena besarnya alawiyyin, maka ketika terjadi petempuran antara keduanya di Granada, al-Murtada tewas, sedangkan yang masih hidup ditawan termasuk Ibn Hazm lalu kembali ke Cordoba yang telah ditinggalkannya selama 6 tahun. Di Cordoba Ibn Hazm kembali menekuni bidang yang sangat diminatinya yaitu ilmu pengetahuan. Diskusi dan perjalanan ilmiah selalu ia lakukan bila ada kesempatan. Perubahan politik di Cordoba rupanya menarik Ibn Hazm untuk terjun didalamnya. Perubahan itu terjadi ketika penduduk Andalusia menurunkan penguasa alawiyyin secara paksa dan menggantikannya dengan mengangkat turunya umayyah yaitu Abdurrahman bin Hisyam bin Abdul Jabbar sebagai khalifah. Dalam pemerintahan ini Ibn Hazm diangkat sebagai seorang menteri. Namun oleh karena usianya yang masih belia, khalifah baru ini selalu curiga kepada orang yang ada di sekitarnya.dengan semena-mena ia memecat mereka. Karena itu, penduduk Cordoba memberontak dan berhasil membunuhnya setelah sempat memerintah selama 2 bulan, sedangkan yang masih hidup ditawan termasuk Ibn Hazm berada didalamnya. Sejarah tidak mecatat kapan Ibn Hazm dibebaskan. Disinyalir ia dibebaskan tak lama sesudah itu.
Sesudah peristiwa itu Ibn Hazm bersikeras untuk menekuni ilmu tanpa menengok kehidupan politik. Perjalanan ilmiah ia lakukan hampir ke seantero Andalusia. Ia sering menetap di suatu kota dalam waktu yang lama untuk menyebarkan pemikirannya. Biasanya sesudah menulis sebuah buku, Ibn Hazm lantas menyebarkannya ke berbagai daerah.bahkan ketika di Murcia, Ibn Hazm memperoleh pengikut yang sangat besar jumlahnya. Sebab penguasa Murcia saat itu adalah kawan dekat ibn hazm yaitu Ibn Rasyiq. Namun sesudah wafatnya Ibn Rasyiq lambat laun pengikut Ibn Hazm semakin berkurang. Hal ini disebabkan kehadiran al-Baji seorang ulama yang menimba ilmu dari dunia timur. Tak henti-hentinya, al-Baji membantah dan membantai pendapat-pendapat Ibn Hazm. Oleh karena itu kalah pamor akhirnya Ibn Hazm meninggalkan Murcia.
Yang paling tragis adalah penderitaan yang menimpa Ibn Hazm ketika menetap di Sevilla dengan mata kepalanya Ibn hazm menyaksikan pembakaran buku-bukunya oleh penguasa Sevilla yaitu al-Mua’tadid yang memerintah pada tahun 439-464 H. Hati Ibn Hazm benar-benar hancur menerima kenyataan ini. Untung Ibn Hazm telah banyak mengalami penderitaan bahkan yang lebih besar daripada ini. Sehingga peristiwa ini terasa agak ringan.
Pembakaran ini bisa dimengerti, sebab Ibn Hazm merupakan pemikir muslim yang merdeka, mandiri dan berani menentang arus masanya. Kehidupan keluarganya yang serba kecukupan dalam harta, kedudukan dan kehormatan membuatnya tidak tergantung kepada orang lain. Kemandiriannya mengantarkannya sebagai orang yang merdeka dalam cara berpikir, berkata dan berperilaku. Ia tidak membenarkan dirinya mengikuti pendapat orang lainyang tidak sesuai dengan keyakinannya, apapun alasannya. Karena itu, wajar bila kemudian Ibn Hazm sering terlibat perdebatan sengit dengan lawan bicaranya, khususnya kalangan fuqaha. Ibn Hazm terkenal sangat keras, padas dan tajam lisan dan penanya. Ketika berdebat Ibn Hazm sering menggunakan kata yang sangat menyinggung perasaan dalam bicaranya. Misalnya kata-kata jahl, hamq dan lain-lain. Dari sini bisa dipahami mengapa mereka tidak menyukai Ibn Hazm yang ujung-ujungnya adalah pembakaran terhadap sebagian besar buku Ibn Hazm.
Apalagi saat itu mayoitas penduduk Anadalusia bermazhab pada salah satu dari empat mazhab yang terbesar adalah Maliki. Siapa saja yang keluar dari salah satunya dipandang telah keluar dari jalan yang benar. Di sisi lain latar belakang Ibn Hazm menjadikannya sebagai orang yang benar-benar merdeka dalam berpikir dan bertindak. Pendapat siapapun yang tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya berasal dari Allah, maka ia tinggalkan, tidak peduli apakah ia seorang sahabat, tabi’in atau ulama. Sehingga tidak sulit menemukan tulisan Ibn Hazm yang membantah dan menghujat mereka. Atas dasar inilah hati para ulama terasa semakin sesak. Akhirnya mereka memohon kepada penguasa Sevilla. Al-Mu’tadid punya kepentingan politik sendiri dalam menyingkirkan Ibn Hazm. Sebab latar belakang Ibn Hazm adalah pendukung utama Bani Umayyah yang sewaktu-waktu siap meruntuhkan dirinya. Karenanya, permohonan para ulama itu bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Tanpa basa-basi al-Mu’tadid memerintahkan agar seluruh kitab Ibn Hazm dibakar. Sesungguhnya tindakan tersebut telah melampaui batas keinginan para ulama. Al-Mu’tadid sebenarnya cukup menghentikan langkah Ibn hazm dengan mengasingkannya ke wilayah lain. Namun yang jelas motif politis lebih mendominasi tindakan yang dilakukan penguasa Sevilla ini. Tindakan yang bertujuan menegakkan syiar agama telah disusupi oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Akhirnya Ibn Hazm terpaksa meninggalkan Sevilla menuju tempat tinggal para leluhurnya sewaktu pertama kali dating ke Andalusia, yaitu desa Manta Lisyam yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Di sini Ibn Hazm semakin berkonsentrasi untuk membaca menulis dan mendidik penerus perjuangannya. Santri-santri berdatangan dari berbagai penjuru Andalusia. Tidak sedikit diantaranya yang menjadi ulama-ulama besar, seperti al-Humaidi.
Ibn Hazm sempat beristeri dan beranak pinak. Ibn Hazm memiliki 3 orang anak yang merupakan tokoh-tokoh ulama dan cendekiawan serta penmerus perjuangan yang telah dirintiskannya. Mereka adalah Abu Rafi’ Fadl, Abu Sulaiman al-Mus’ab dan Abu Salamah Ya’qub. Yang paling menguasai ilmu Ibn Hazm adalah Abu Rafi’. Ia seorang ulama yang diperhitungkan.
Ibn Hazm meninggal dunia pada 28 Sya’ban tahun 456 H/ 5 April 1064 di Manta Lisyam.
D. Sumber-sumber Hukum Ibn Hazm dan Pemikirannya
Menurut Ibn Hazm sumber hukum Islam ada 4 macam yaitu: al-Qur’an, Hadis Sahih, Ijma’ dan dalil. Al-Qur’an bagi Ibn Hazm merupakan pesan dan perintah Allah kepada manusia untuk diakui dan dilaksanakan kandungan isinya diriwayatkan secara benar, tertulis dalam mushaf dan wajib dijadikan pedoman.
Hadis sahih sebagai sumber kedua menurut Ibn Hazm bersifat saling melengkapi dengan al-Qur’an. Kedua sumber ini merupakan satu kesatuan yang wajib ditaati.
Hal ini didasarkan pada firman Allah
يايهاالذين امنوااطيعوالله ورسوله
Dengan demikian al-Qur’an tidak berperan sebagai pemutus terhadap as-Sunnah dalam arti untuk diterimanya suatu hadis harus terlebih dahulu dihadapkan pada al-Qur’an. Sebaliknya as-Sunnah tidak berlaku sebagai pemutus terhadap al-Qur’an dalam arti as-Sunnah adalah satu-satunya jalan untuk mengerti dan memahami al-Qur’an. Keduanya adalah dua bagian dari wahyu yang saling melengkapi dan tidak terpisah antara satu dengan yang lain.
Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’ seluruh umat Islam. Maksudnya adalah ijma’ sahabat. Sebab mereka telah menyaksikan tauqif dari rasulullah padahal ijma’ hanya bisa terjadi melalui tauqif. Juga karena mereka adalah semua orang mukmin dan tidak ada manusia mukmin selain mereka saat itu. Jadi, ijma’ orang-orang yang seperti ini adalah ijma’ seluruh orang-orang mukmin. Adapun ijma’ semua masa sesudah mereka hanyalah ijma’ sebagian orang mukmin bukan ijma’ seluruhnya.
Adapun obyek atau sandaran ijma’ menurut Ibn Hazm adalah berasal dari nass. Tidak boleh terjadi ijma’ tanpa disandarkan pada nass, sebab usaha manusia dalam rangka menemukan illat tidak mungkin sama dikarenakan perbedaan tujuan dan tabiat mereka.
Ibn Hazm tidak menjelaskan arti ijma’ secara definitive tetapi membaginya dalam dua bagian. Pertama; segala sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya sekalipun hanya oleh seorang muslim, seperti dua kalimat syahadat,kewajiban menjalankan sholat lima waktu, keharaman bangkai, darah dan babi, pengakuan terhadap al-Qur’an dan kuantitas zakat. Kedua ; sesuatu yang telah disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku rosul atau suatu keyakinan bahwa rasul telah memberitahukan sikap beliau kepada orang-orang yang telah hadir di hadapan beliau.
Sumber keempat adalah Dalil. Dalil adalah kesimpulan yang diambil dari pemahaman terhadap dalalah ijma’dan nass.
Adapun dalil yang diambil dari nass menurut Ibn Hazm ada 7macam sebagai berikut:
Pertama : konklusi dari 2 premis yang tidak dinasskan pada salah satunya.
Kedua : penerapan syarat yang digantungkan dengan satu bentuk perbuatan tertentu.
Ketiga : peredaksian satu makna dengan berbagai ungkapan
Keempat: pemberlakuan hukum asal berdasar keumuman nass ketika terdapat peristiwa hukum yang tidak dinasskan kehalalan dan keharamannya.
Kelima : putusan-putusan bertingkat dalam arti yang lebih tinggi berada di atas yang berikutnya walaupun tidak ada nass tentang hal itu.
Keenam : kesimpulan yang diambil dalam logika pemutarbalikan setara.
Ketujuh : konsekwensi logis dari makna lafal suatu nass.
Semua ini pada dasarnya menurut Ibn Hazm hanyalah makna-makna nass sendiri dan pemahaman terhadapnya. Ini semua berada di bawah batas-batas nass belum keluar darinya. Sebab dalil-dalil ini adalah perincian dari nass yang masih global atau pengungkapan satu makna dengan berbagai redaksi yang berbeda.
Sedangkan dalil yang diambil dari ijma’ ada 4 macam, yaitu;
Pertama : istishab al-haal.
Kedua : aqallu ma qila
Ketiga : ijma’ para sahabat untuk meninggalkan pendapat yang dipertentangkan
Keempat : ijma’ para sahabat bahwa hukum yang berlaku bagi seluruh kaum muslimin adalah sama.
E. Karya-karya Ibn Hazm
Karya Ibn Hazm meliputi bidang fiqih, usul fiqih, hadis, mustalah hadis, aliran-aliran agama-agama, sejarah sastra, silsilah dan karya-karya apologetik yang berjumlah kurang lebih 400 jilid yang ditulis dengan tangan sendiri. Karya-karya Ibn Hazm tidak dapat diketahui semua, sebab sebagian besar karyanya musnah dibakar oleh penguasa dinasti al-mu’tadid al-Qadi al-Qasim Muhammad bin ismail bin ibad (1068-1091 M).
Adapun karya Ibn Hazm yang masih diketahui antara lain :
1. Bidang Sastra
a. Diwan as-Syi’ri
b. Tauq al-Hamamah fi al-Ifati wa al-Ilaf
c. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi Mudawa an-Nufus
2. Bidang Fiqih
a. Al-isal ila fahmi al- khisal
b. Al- Khisal al-Jami’ah
c. Al-Muhalla
3. Bidang usul Fiqh
d. Al-ihkam fi usul al-ahkam
e. Maratib al-ijma’ au Mutaqa al-ijma’
f. Kasy al-iltibas Ma baina Ashab az-Zahir
4. Bidang Perbandingan Agama
c. Al-Fisal fi al-Milal wa an-Nihal wa al-Ahwa’
d. Izharu Tabdil al-Yahudi wan an-Nasara li at-Taurah wa al-Injil wa bayani Tanaqud Ma bi aidihim min Zalika mimma La Yahtamil at-Ta’wil
5. Bidang Aliran-Aliran Agama
c. An-Nasaih al-Munjiyat min ak-Fadaih al-Muhkhziyah wa al-Qabaih al-Murdiyah min Akwal Ahl al-Bida’I min al-Firaq al-Arba’I al-Mu’tazilah, al-murji’ah, al-khawarij wa al-syi’ah.
d. As-Sadi’ wa ar-Radi’
6. Bidang Hadis
c. Syarh Hadis al-Muwatto’ wa al-Kalam ala Masalih
d. Kitab al-Jami’ fi Sahih al-Hadis
7. Bidang Sejarah
d. Jamharah al-Ansab al-Arab
e. Al-Imamah wa al-Khilafah
f. Al-Fihrasah
8. Bidang Filsafat
a. At-Tarib Li Hadd al-Mantiq
b. Al-Maratib al-Ulum.
F. Pendapat Ibn Hazm Tentang Masturbasi/ Onani/ Istimna’
Berbeda dengan pendapat Imām al-Syāfi’i mengenai masturbasi ini, Ibn Hazm mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Isma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman:
………وقد فصل لكم ماحرم عليكم………
Sebagaimana diriwayatkan juga oleh Atho’, yaitu madzhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani/ masturbasi. Ibnu Hazm berkata:
“ Bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing-masing, menurut ijma’ para ulama, hukumnya boleh (mubah). Maka perbuatan onani/ masturbasi tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya, sebagaiaman firman Allah SWT dalam ayat di atas.
Karena Allah tidak menjelaskan bahwa perbuatan onani/ masturbasi sebagai hal yang haram, maka perbuatan itu merupakan/ termasuk yang dibolehkan. Firman-Nya:
هوالذى خلق لكم مافى الارض جميعا
Akan tetapi, walaupun berdasarkan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan onani/ masturbasi tidak haram, kita tetap membencinya, mengingat perbuatan itu tidak terpuji dan tidak tergolong akhlakul karimah.
Sementara jika kita menelitinya maka tidak ditemukan satu keterangan pun dari firman Allah yang menerangkan keharaman masturbasi itu. Logikanya, bila demikian, maka masturbasi atau onani diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini memang telah diperuntukkan manusia. Khalaqa lakum mā fiy al-ardhi jami’a. Meski begitu, masturbasi dihukumkan Makruh karena tidak termasuk ke dalam perbuatan yang terpuji. Jelasnya, bukan perbuatan yang mencerminkan al-Akhlāq al-Karimah.
BAB III
TINJAUAN MEDIS MENGENAI MASTURBASI/ ONANI
C. Pengertian Masturbasi/ Onani dan Fenomenanya dalam Masyarakat
Masturbasi (Ar.: Istimna’ = usaha untuk mengeluarkan mani). Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lain. Istilah lain untuk masturbasi adalah onani. Masturbasi atau onani sering di sebut rancap. Pengertian onani secara istilah, adalah “kebiasaan membangkitkan nafsu seks dan memuaskannya dengan di lakukan sendiri [dengan bantuan tangannya sendiri atau dengan bantuan busa sabun] tanpa jenis kelamin yang lain.” Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Sebagai kejelasan pembatasan masalah dalam pembahasan ini, maka masturbasi disini sama juga artinya dengan onani ataupun istimna’ sebagai istilah lainnya.
Mengenai pengertian masturbasi ini, dalam pandangan masyarakat awam atau kalangan umum merupakan suatu perbuatan untuk menimbulkan rangsangan terhadap alat kelamin seseorang oleh dirinya sendiri, baik dengan tangan ataupun alat lain, kemudian orang tersebut akan memperoleh kepuasan biologis atas dirinya tanpa melibatkan kelamin orang lain.
Onani atau disebut juga masturbasi, berasal dari bahasa latin, masturbation yang berarti pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (mastur : tangan, batio : menodai) sehingga masturbasi berarti menodai diri sendiri dengan tangan sendiri (dhalimun linafsih). Ada juga yang menyebut bahwa onani adalah manipulasi alat kelamin sehingga mendapatkan kepuasan seksual. Nama lain bagi onani selain masturbasi adalah zelfbeulekking (penodaan dengan tangan), auto-stimuli, autoetism, self gratification, dan ipsasi. Bahkan para psikolog sering juga menyebut dengan nama monoseks, yaitu kepuasan seks oleh diri sendiri. Para kalangan ulama di kalangan umat Islam sering menyebut dengan istimna’. Jika istimna’ ini dilakukan oleh laki-laki disebut jaldu umrah atau ilthaf.
Dalam pandangan masyarakat Barat masturbasi merupakan bagian yang lazim dari perkembangan seksual, dan tidak menimbulkan dampak fisik walaupun sering dilakukan. Satu-satunya dampak yang mungkin adalah perasaan bersalah. Ada anggapan, masturbasi membuat seseorang menjadi lemah, merusak penglihatan, dan jika berlebihan menyebabkan kelainan otak atau gila. Masturbasi tidak menyebabkan hal-hal ini, tetapi pandangan tersebut masih beredar di antara mereka yang tidak mengetahui. Masturbasi dikatakan menyebabkan pembesaran bibir vulva, pembengkakan testis, dan penyakit. Semua pandangan ini tidak beralasan. Masturbasi dikatakan sebagai bukti dari ketidakmatangan, yang jelas-jelas tidak benar, karena orang yang matang secara seksual dapat mencapai kenikmatan seks melalui masturbasi setelah dia menikah atau semasa lajang. Masturbasi dikatakan menyebabkan frustasi seks dan frigiditas, tetapi peneliti lain menemukan, masturbasi menyebabkan ekses seksual, sehingga jelas anggapan tadi bersifat emosional dan tidak nyata. Dikatakan, seseorang tidak dapat mencapai kepuasan emosional secara penuh melalui masturbasi.
Sebagian besar pria yang onani/ masturbasi cenderung lebih sering melakukannya ketimbang wanita, dan mereka tampaknya sering mengalami atau biasanya mendapatkan orgasme ketika bermasturbasi (80 persen hingga 60 persen). Ini adalah prilaku umum kedua yang paling umum(pertama adalah koitus), bahkan bagi orang-orang mempunyai pasangan seksual. Kebanyakan anak-anak sering semenjak mereka masih bayi menemukan kenikmatan pada rangsangan okasional pada alat kelamin mereka, tetapi tidak mengerti bahwa prilaku ini adalah ’’seksual’’ hingga masa kanak-kanak akhir atau memasuki masa remaja.
Istilah masturbasi memunculkan banyak mitos bahwa ia memiliki sifat merusak dan membahayakan. Citra negatif ini mungkin dapat ditelusuri hingga asal kata Latin, masturbate, yang merupakan kombinasi dua kata Latin, manus(tangan) dan sturararei (kotor), yang artinya ’’berbuat kotor dengan tangan,’’. Munculnya rasa malu dan kotor yang dicitrakan oleh arti kata ini masih saja ada sampai zaman modern meskipun para ahli medis sepakat bahwa masturbasi tidak membahayakan fisik ataupun mental. Tidak pula ada bukti bahwa anak-anak yang melakukan rangsangan pada diri sendiri akan membahayakan dirinya.
Yang perlu diingat: saat pasangan suami-istri sedang menjaga hubungan seks yang aman, masturbasi dengan pasangan dapat menyenangkan selain melakukan senggama, sepanjang anda menghindari kontak dengan sperma, atau cairan vagina pasangan anda.
Sementara itu kalangan agamis dalam kehidupan bermasyarakat lebih memandang perbuatan masturbasi ini dari aspek moral si pelaku. Bahwa hal tersebut merupakan cerminan seseorang yang tidak memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, meskipun perbuatan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan orang lain.
D. Pengaruh Masturbasi Dalam Pandangan Medis
Sampai saat ini masih banyak orang yang cemas karena masturbasi. Kecemasan itu tak dapat dilepaskan dari pandangan agama atau nilai moral dan pendapat ilmuwan di masa lalu. Di masyarakat istilah onani lebih dikenal. Sebutan ini, menurut berbagai ulasan yang ditulis Prof. Dr. Dr. Wimpie Pangkahila Sp, And, Ketua Pusat Studi Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berasal dari nama seorang laki-laki, Onan, seperti dikisahkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Tersebutlah di dalam Kitab Kejadian pasal 38, Onan disuruh ayahnya, Yehuda, mengawini isteri almarhum kakaknya agar kakaknya mempunyai keturunan. Onan keberatan, karena anak yang akan lahir dianggap keturunan kakaknya. Maka Onan menumpahkan spermanya di luar tubuh janda itu setiap berhubungan seksual. Dengan cara yang kini disebut sanggama terputus itu, janda kakaknya tidak hamil. Namun akibatnya mengerikan. Tuhan murka dan Onan mati. Onani atau masturbasi dalam pengertian sekarang bukanlah seperti yang dilakukan Onan. Masturbasi berarti mencari kepuasan seksual dengan rangsangan oleh diri sendiri (autoerotism), dan dapat pula berarti menerima dan memberikan rangsangan seksual pada kelamin untuk saling mencapai kepuasan seksual (mutual masturbation). Yang pasti pada masturbasi tidak terjadi hubungan seksual, tapi dapat dicapai orgasme.
Kemudian bagaimana pula menurut pandangan para dokter mengenai tingkah laku/ perbuatan masturbasi/ onani ini ?
Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal, bahwa banyak pendapat para dokter mengenai perbuatan masturbasi yang setelah diadakan penelitian, mereka lebih banyak membuktikan masturbasi ini, selama dilakukan dengan higienis, artinya dengan tangan yang bersih, masturbasi tidak berbahaya dan berdampak baik untuk kesehatan. Yang seringkali membuat celaka adalah bila perbuatan masturbasi ini dengan menggunakan alat.
Dalam pandangan medis, justeru dampak positif yang akan timbul dari perbuatan masturbasi ini, adalah bahwa perilaku masturbasi ini bisa menjadi obat untuk mengurangi risiko terkena penyakit kanker prostat, di mana penyakit ini banyak dialami para laki-laki yang sudah lanjut usia (lansia). Penyakit tersebut terjadi karena disinyalir tidak pernah/ kurang melakukan masturbasi/ onani tersebut. Sehingga perbuatan masturbasi ini berpengaruh baik bagi kesehatan si pelaku, dengan catatan mediator yang digunakan dalam keadaan bersih/ steril.
Kekhawatiran masturbasi dapat berakibat kebutaan atau menyebabkan berkurangnya sperma dan lain-lain tidaklah tepat. Sebaliknya masturbasi ternyata baik bagi kesehatan karena dapat melindungi dari kanker prostat. Semakin sering melakukan masturbasi semakin lebih baik, demikian menurut para ahli. Hal ini didasari penelitian terhadap pria yang senang menyenangkan diri sendiri secara teratur yang berumur 20 dan 50 memiliki penurunan sangat jauh kemungkinan berkembangnya penyakit kanker prostat. Penemuan mereka didukung teori yang menyatakan ejakulasi secara teratur dapat mencegah tumbuhnya carcinogen (segala sesuatu yang menyebabkan kanker) dalam prostat sebagai kelenjar yang bertanggung jawab bagi menumpuknya cairan dalam semen. Peningkatan carcinogen menyebabkan kanker prostat. Graham Giles bersama timnya yang berbasis di Melbourne, Australia pun meneliti kebiasaan seksual lebih dari 2.000 pria dimana setengahnya memiliki kanker dan sisanya sehat. Pengaruh pencegahan dengan cara masturbasi merupakan cara paling penting pada pria berumur 20-an, demikian menurut Giles pada majalah New Scientist. Mereka yang ejakulasi lebih dari lima kali dalam seminggu, tiga kali kemungkinan lebih kecil berkembangnya kanker prostat dalam hidupnya. Hasil ini sedikit bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan memiliki banyak pasangan atau sering berhubungan intim meningkatkan resiko kanker prostat sampai 40 persen. Penelitian ini memfokuskan pada hubungan intim bukan pada masturbasi.
Seperti dikutip Journal of the American Medical Association, edisi pekan lalu, mereka melakukan studi terhadap 29.342 petugas kesehatan. Relawan pria itu berusia 46-81 tahun. Kepada mereka diajukan beberapa pertanyaan. Satu di antaranya, berapa rata-rata ejakulasi per bulan pada saat menginjak usia 20-29 tahun dan 40-49 tahun. Studi yang dipimpin Michael F. Leitzmann, peneliti dari Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat, ini berlangsung selama delapan tahun. Kuesioner dikumpulkan, dianalisis, dan kesehatan mereka diperiksa. Mereka lalu dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jawaban frekuensi ejakulasi: 13-20 kali per bulan dan di atas 21 kali. Ejakulasi adalah keluarnya sperma dari penis. Hasilnya: hanya 1.449 relawan yang belakangan menderita kanker prostat. Dari jumlah yang terkena, kondisi 147 relawan sangat kritis. Kankernya sudah parah. Lalu Leitzmann dan koleganya membuat persentase risiko terkena kanker prostat. Menurut dia, kelompok yang cuma berejakulasi 13-20 kali sebulan hanya mengurangi risiko kena kanker prostat 14%. Ini lebih kecil dibandingkan dengan yang berejakulasi 21 kali ke atas saban bulan. Persentase terbebas dari serangan kankernya mencapai 33%. “Artinya, makin sering berejakulasi, makin kecil kemungkinan terjangkit kanker prostat,” ujarnya. Berkurangnya risiko itu lantaran ejakulasi berperan mengeluarkan bahan-bahan kimia penyebab kanker. Andai kata tak dikeluarkan, bahan-bahan tersebut akan menumpuk di kelenjar prostat dan bisa memicu kanker. Studi ini tentu mengejutkan. Sebelum ini, banyak dugaan, makin kerap berejakulasi, risikonya makin didekati kanker. Sebab, kekerapan ejakulasi menunjukkan banyaknya hormon testosteron. Makin banyak hormon seks bisa memicu pertumbuhan sel-sel kanker. Orang pantas khawatir karena kanker prostat terbilang sangat mengganggu. Bila terkena, air mani tak bisa keluar. Pasien akan terganggu saat kencing. Air yang keluar dari kandung kemih sedikit. Kalau terus dibiarkan, bisa mengakibatkan disfungsi ereksi. Toh, ada juga yang meragukan validitas studi Leitzmann. “Apakah mereka dapat mengingat berapa kali berejakulasi beberapa tahun lalu,” kata Michael Naslund, urolog dari University of Maryland Medical Center, Baltimore, Amerika Serikat. Menurut dia, studi ini belum dapat dijadikan petunjuk baru bagi kaum laki-laki yang ingin terhindar dari penyakit itu. Sementara itu, Wimpie Pangkahila, seksolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, tak mau berkomentar lantaran harus melihat metode penelitiannya. Tapi, katanya, frekuensi hubungan seksual atau masturbasi tak terkait dengan kanker. “Berhubungan seks terlalu sering tak berbahaya sepanjang mampu,” ujarnya. Sedangkan risiko kanker lebih terkait dengan faktor-faktor pemicu lain, seperti lingkungan dan gaya hidup.
E. Pandangan Psikolog Mengenai Perilaku Masturbasi
Perilaku masturbasi yang sampai saat ini kebanyakan masyarakat umum, baik kalangan remaja ataupun mereka yang sudah berkeluarga menganggap sebagai tindakan seksualitas yang aman daripada melakukan seks bebas (zina). Akan tetapi reaksi apa yang akan timbul setelah melakukan masturbasi ini?
Di sini dapat terlihat pengaruh perbuatan masturbasi dari segi psikologi manusia dalam kehidupannya dengan konsep maslahah sebagai salah satu landasan teorinya, disamping data-data dari pendapat dan penelitian para ahli medis/ kedokteran. Secara umum maslahah dimengerti sebagai upaya pengambilan manfaat dan pencegahan mudarat (resiko). Maslahah dikaitkan dengan aktivitas dan kepentingan manusia yang memiliki tujuan untuk manfaat dan pencegahan terhadap resiko dalam kehidupan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Maslahah dapat dikatakan salah satu unsur dalam syari’at yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai obyeknya. Maslahah manusia di dunia dan di akhirat menjadi tujuan utama dan maksud ditetapkannya hukum. Sehingga perlu dilihat kembali mengenai akibat atau efek yang ditimbulkan setelah atau bahkan selama melakukan masturbasi ini. Perlu adanya pertimbangan mengenai kerugian atau keuntungan yang didapat selama atau setelah melakukan perbuatan masturbasi tersebut.
Barangkali rasa bersalah dan malu muncul karena larangan dari beberapa agama tentang masturbasi. Termasuk pula orangtua yang menghukum anaknya karena melakukan masturbasi. Namun demikian, masturbasi bisa saja membahayakan ketika ia menjadi kompulsif. Masturbasi kompulsif, seperti prilaku kompulsif lainnya, adalah tanda adanya masalah emosial dan membutuhkan perlakuan dari spesialis kesehatan mental.
Sesungguhnya, sebagian ahli menegaskan bahwa mastrubasi memperbaiki kesehatan seksual dengan meningkatkan pemahaman individual tentang tubuhnya sendiri dan tentang penerimaan diri. Pengetahuan ini selanjutnya dimunculkan untuk menciptakan hubungan seksual dengan pasangannya, melalui masturbasi mutual karena kemampuan untuk memberitahu pasangan mana yang paling menyenangkan.
Pengaruh secara psikis bagi seseorang yang melakukan masturbasi ini dalam satu sisi akan memunculkan perasaan bersalah bagi si pelaku khususnya di kalangan remaja. Akan tetapi dimungkinkan lain halnya dengan efek yang ditimbulkan bagi seorang suami yang sedang tidak bisa berhubungan dengan isteri karena halangan.
Dengan demikian berbagai kekhawatiran yang muncul akan tertepiskan dengan adanya data-data yang telah disajikan dari hasil-hasil penelitian para medis atau para ahli baik secara medis maupun secara psikologi mengenai perilaku masturbasi ini.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PERBUATAN MASTURBASI DALAM PANDANGAN IBN HAZM DAN IMĀM ASY-SYĀFI’I
SERTA PANDANGAN MEDIS DAN PSIKIS
A. Dasar Hukum dan Latar Belakangnya
Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, bahwa mengenai perbuatan masturbasi dalam pandangan para ulama, ternyata memunculkan berbagai pendapat yang juga menimbulkan perbedaan hukum dalam perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini. Akan tetapi sebagian besar ulama mengharamkan perbuatan tersebut dengan alasan bahwa perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ termasuk dalam perbuatan yang tidak terpuji dan tidak sesuai akhlakul karimah.
Sehingga hampir sebagian besar ulama menganggap bahwa perbuatan masturbasi ini sebagai perbuatan yang dicela oleh Islam. Sebagai salah satu tokoh ulama mazhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah Imām asy-Syāfi’i. Dasar hukum yang dipakai/ menjadi pegangan Imām asy-Syāfi’i dalam menetapkan hukum masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah dalam Firman Allah SWT. :
والذين هم لفروجهم حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)
Firman Allah swt. di ayat selanjutnya semakin menguatkan mengenai pengharaman masturbasi/ onani tersebut.
فمن ابتغى وراء ذلك فأولائك هم العادون (7)
Menurut pandangan Imām asy-Syāfi’i dari ayat di atas, perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini tidak termasuk dua hal yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu dua hal diperbolehkan : berjima’ dengan isteri dan budaknya. Sehingga beliau memandang atas dasar ayat tersebut hanya dua tempat/ hal (berjima’ dengan isteri dan budaknya) saja yang diperbolehkan oleh Islam. Sementara itu berjima’ dengan tangan/ alat lain (masturbasi/ onani/ istimna’) tidak tercantum di dalamnya, maka termasuk perbuatan yang tidak diperbolehkan atau diharamkan dalam Islam. Hal ini juga disebutkan dalam I’anatut Talibin karya Ibnu Sayid Muhammad Syata ad-Dimyati, bahwa perbuatan usaha mengeluarkan air mani seseorang dengan tangannya sendiri atau bermain-main dengan alat vitalnya, atau yang sejenisnya dengan sengaja merupakan perbuatan yang dibenci.
Secara lebih spesifik, di samping pada tiga ayat di atas, Malikiyah mendasarkan keharaman onani atau masturbasi tersebut pada hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang sudah cukup kesohor.
” يامعشر الشباب: من استطاع منكم الباءة فليتزوج ، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ، ومن لم يستطع فعليه بالصوم ، فإنه له وجاء ”
Mereka menegaskan bahwa kalau memang onani atau masturbasi itu boleh maka pasti Rasulullah SAW. mengarahkan kita untuk melakukan onani atau masturbasi tersebut karena ia lebih mudah ketimbang puasa. Menurutnya, tidak diperhitungkannya onani atau masturbasi oleh Rasulullah SAW. sebagai pemegang otoritas tasyri’ jelas menunjukkan atas keharamannya.
Dalam tataran ini, lebih lanjut asy-Syinqiti menegaskan bahwa pendasaran (istizhal) keharaman masturbasi ataun onani kepada zhahir al-Qur’an di atas adalah absah, dan tidaksatupun ayat al-Qur’an ataupun al-Hadis yang menentang Zhahir an-Nash tersebut. Selain itu, Imam an-Nawawi yang juga dari madzhab Syāfi’i menyatakan bahwa disamping berdasarkan pada dalil naqli di atas, ada dalil aqli yang dapat dijadikan sebagai rujukan keharamannya, yaitu bahwa dengan semaraknya tindakan masturbasi atau onani, sebagian orang akan enggan untuk nikah. Dampaknya adalah terhentinya perkembangbiakan umat menusia [Qath’u an-Nasl]. Dengan demikian, masturbasi atau onani ini mesti dikikis dan pelakunya sekalipun tidak di-had¬ [diberi sanksi atau hukuman], harus di ta’zir [hukuman berupa denda].
Dalam memperkuat argumennya, Imām asy-Syāfi’i menambahkan dengan sebuah hadits Nabi SAW., walaupun oleh Ibnu Katsir dinilai gharib. “Ada tujuh golongan yang tidak akan mendapatkan perhatian dari Allah SWT., tidak disucikan, tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang tekun beribadah, dan termasuk orang yang pertama masuk ke dalam neraka kecuali kalau mereka bertobat: [1] orang yang menikahi tangannya (istilah masturbasi atau onani) [an-Nakih Yadahu]; [2] orang yang melakukan liwath [sodomi atau bersetubuh dari dubur]; [3] orang yang di-liwath [penetrasi melalui duburnya]; [4] orang yang minum khamr [minuman keras]; [5] orang yang memukul kedua orang tuanya hingga mereka mengampuni; [6] orang yang menyakiti tetangganya; dan [7] orang yang menyetubuhi isteri tetangganya.
Akan tetapi Taqiyuddin al-Husainiy – ulama fiqh dari kalangan Syāfi’iyyah – memberikan pengecualian atas keharaman masturbasi atau onani tersebut. Menurutnya, jika seorang suami melakukan onani dengan menggunakan tangan istrinya atau budak perempuannya maka hal itu diperbolehkan, karena tangan istri tersebut merupakan salah satu tempat yang boleh dinikmati suami (Mahall Istimta’ihi). Berbeda dengan pendapat tersebut, Qadhi Husain mengatakan, jika tangan seorang perempuan meraba (atau memegang) zakar suami atau sayyidnya maka makruh hukumnya jika sampai keluar sperma, sekalipun sudah mendapatkan izin dari suami atau sayyidnya. Menurut Qadhi Husain, itu telah menyerupai ‘azl (senggama terputus), sementara ‘azl adalah makruh.
Jadi secara garis besar pandangan Imam asy-Syafi’i dan para ulama yang sama-sama mengharamkan perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ karena adanya dua alasan:
1. Sesuai dalam al-Qur’an ayat 5-6 Surat al-Mu’minun dan diperkuat dalam ayat 7 dalam surat yang sama bahwa hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk berjima’ yaitu dengan isteri dan budaknya, tidak diperbolehkan dengan selain itu (termasuk masturbasi/ onani/ istimna’ karena dengan tangan atau alat selain kelamin isteri atau budaknya).
2. Dianggap tidak sesuai secara etika moral karena merupakan perbuatan yang tidak terpuji dan tidak tergolong orang yang berakhlakul karimah.
Dengan dua alasan tersebut maka sangatlah jelas mengenai hukum masturbasi/ onani/ istimna’ menurut sebagian besar ulama pada umumnya dan khususnya dalam pandangan Imām asy-Syāfi’i. Jadi dapat kita ketahui bahwa masturbasi/ onani/ istimna’ dalam pandangan Imām asy-Syāfi’i adalah haram hukumnya.
Sedangkan Ibn Hazm memandang perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ bukan merupakan perbuatan yang diharamkan. Karena dalam al-Qur’an tidak ada yang jelas-jelas menyatakan tentang keharaman masturbasi/ onani/ istimna’ ini. Ibn Hazm mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Isma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman:
………وقد فصل لكم ماحرم عليكم………
Dengan demikian masturbasi/ onani/ istimna’ pada dasarnya bukan merupakan jalan normal dalam pemenuhan nafsu syahwat, dan dengan mempertimbangkan bahwa masturbasi atau onani/ istimna’ bisa mendatangkan kerugian bagi pelakunya bila dibiasakan maka hukum asal masturbasi atau onani lebih condong kepada hukum makruh. Jika telah nyata menunjukkan kecenderungan bahwa masturbasi atau onani merusak pelakunya – atas dasar hadits Nabi yang melarang setiap perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain – maka masturbasi atau onani hukumnya bisa menjadi haram. Sedangkan masturbasi atau onani yang dilakukan guna menghindari perbuatann zina bisa menjadi mubah dan dibolehkan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam al-Qur’an:
ان تجتنبوا كبئر ما تنهون عنه نكفر عنكم سياتكم و ندخلكم مدخلا كريما
Kebolehan masturbasi atau onani ini sesuai pendapat dari Ibnu ‘Abbas, Hasan, dan beberapa tokoh tabi’in lain. Hasan berkata: “Mereka dahulu mengerjakan onani ketika terjadi peperangan (jauh dari keluarga atau isteri).” Sementara Mujahid, ahli tafsir murid Ibnu ‘Abbas, berkata: “Orang-orang dahulu (sahabat Nabi) justru menyuruh para pemuda-pemudanya untuk melakukan onani agar menjaga kesucian dan kehormatan diri”. Sejenis dengan onani, masturbasi pun sama hukumnya. Hukum mubah ini berlaku baik untuk kaum laki-laki maupun perempuan.
Jadi ada 2 alasan juga dari Ibn Hazm dalam menetapkan hukum mengenai perbuatan masturbasi atau onani ini:
3. Sesuai pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Sebagaimana dalam al-Qur’an Surat al-An’aam: 119.
4. Tidak adanya ayat al-Qur’an yang jelas-jelas mengharamkan masturbasi ini, maka secara logika masturbasi diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah SWT. خلق لكم مافى الارض جميعا ….. Meski demikian beliau tetap menghukumi makruh karena termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
1. Setelah melihat berbagai pendapat tersebut, maka hukum masturbasi atau onani mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Sehingga hukumnya sangat kondisional dan situasional. Elastisitas ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syari’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana [jarimah] atau perbuatan yang terkena hukum ta’zir. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, muru’ah, dan kehormatan belaka.
B. Segi Medis dan psikis dalam Kehidupan Religinya
Sementara itu dalam pandangan medis, perbuatan masturbasi/ onani ini lebih cenderung dibolehkan, bahkan banyak hasil penelitian dokter yang menyatakan bahwa perbuatan masturbasi sangat dianjurkan, karena dengan melakukan masturbasi dapat mengurangi/ mencegah penyakit kanker prostat yang konon penyakit ini bisa berakibat pada kematian.
Kanker Prostat adalah suatu tumor ganas yang tumbuh di dalam kelenjar prostat. Kanker prostat sangat sering terjadi. Pemeriksaan mikroskopis terhadap jaringan prostat pasca pembedahan maupun pada otopsi menunjukkan adanya kanker pada 50% pria berusia diatas 70 tahun dan pada semua pria yang berusia diatas 90 tahun. Kebanyakan kanker tersebut tidak menimbulkan gejala karena penyebarannya sangat lambat. Penyakit tersebut terjadi karena disinyalir tidak pernah/ kurang melakukan masturbasi/ onani tersebut. Sehingga perbuatan masturbasi ini berpengaruh baik bagi kesehatan si pelaku, dengan catatan mediator yang digunakan dalam keadaan bersih/ steril. Karena jika dengan alat yang tidak bersih/ steril tentunya akan berakibat infeksi atau penyakit pada alat vitalnya.
Akan tetapi bagaimana kita melihat perbuatan masturbasi ini jika dipandang dari segi medis atau psikis dalam kehidupan religinya?
Jika kita melihat uraian bab-bab di atas bisa kita ambil suatu pandangan mengenai masturbasi atau onani ini. Dalam pandangan agama secara umum mengharamkan dan menganggap perbuatan masturbasi ini tidak sesuai dengan etika moral manusia, walaupun ada sebagian yang memakruhkan, dan bahkan membolehkannya. Sehingga dalam lingkup agama sendiri belum ada kesamaan pendapat mengenai hukum masturbasi atau onani ini. Dan hal itu akan berpengaruh pada kehidupan religi masyarakatnya. Walaupun secara kenyataannya kita tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana efek orang yang bermasturbasi atau beronani itu sendiri, karena perbuatan tersebut tentunya tidak mungkin dilakukan dengan terang-terangan.
Sedangkan jika kita melihat perbuatan masturbasi atau onani dari segi medis, lebih banyak membolehkan dan bahkan menganjurkan untuk melakukan masturbasi ini. Hal ini dibuktikan dari data-data yang penyusun dapat dari artikel-artikel yang berkaitan dengan masturbasi dalam pandangan medis/ kedokteran atau kesehatan.
Dengan demikian perbuatan masturbasi ini dari segi kemaslahatannya, sebagaimana telah sedikit diuraiakan dalam bab-bab awal mengenai maslahah dalam pandangan Najamuddin at-Tufi dengan konsep maslahahnya yang bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi:
لاضرر ولاضرار
Maksud kata لاضرر ولاضرار adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga.
Menurut at-Tufi, ,maslahah berdasarkan ‘urf sebagai sebab untuk mengarahkan kepada kebaikan dan manfaat seperti perdagangan merupakan sarana untuk mencari keuntungan, sedangkan menurut syara’ adalah merupakan manfaat yang dikehendaki oleh manusia dan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
Pandangan at-Tufi tentang maslahah (kepentingan umum) nampaknya bertitik tolak dari konsep maqasid as-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara kepentingan umum umat manusia, konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan satu kaidah yang cukup populer yaitu “di mana ada kepentingan di situ terdapat hukum Allah”.
At-Tufi membangun pemikiran tentang maslahah tersebut berdasarkan atas empat prinsip yaitu: pertama, akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adat; kedua, maslahah merupakan dalil syara’ mandiri yang kehujjahannya tergantung pada akal semata; ketiga, maslahah hanya berlaku dalam lapangan muamalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadah dan ukuran-ukurannya ditetapkan oleh syara’, dan; keempat, maslahah merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh karena itu at-Tufi juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahah didahulukan maslahah dengan cara takhsis.
Di sini dapat terlihat pengaruh perbuatan masturbasi dari segi medis dan psikis dalam kehidupan religinya dengan konsep maslahah sebagai salah satu landasan teorinya, disamping data-data dari pendapat dan penelitian para ahli medis/ kedokteran. Secara umum maslahah dimengerti sebagai upaya pengambilan manfaat dan pencegahan mudharat (resiko). Maslahah dikaitkan dengan aktivitas dan kepentingan manusia yang memiliki tujuan untuk manfaat dan pencegahan terhadap resiko dalam kehidupan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Maslahah dapat dikatakan salah satu unsur dalam syari’at yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai obyeknya. Maslahah manusia di dunia dan di akhirat menjadi tujuan utama dan maksud ditetapkannya hukum.
Dengan penerapan metode maslahah (kepentingan umum) nilai hukum Islam mampu berkembang dan memiliki cukup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial di tempat Islam itu berada. Sehingga penyusun menganggap perbuatan masturbasi jika kita melihat data-data yang ada dari penelitian dan pembuktiannya, maka kalau memang dengan masturbasi ternyata bisa mencegah dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat tentunya bukan termasuk suatu keharaman hukumnya. Lagipula perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan di hadapan masyarakat secara terang-terangan. Dengan demikian akan dapat dirasakan kemaslahatan manusia dalam haknya untuk mempertahankan dirinya.
Dengan demikian tentunya ada berbagai hal yang menjadikan masturbasi ini sebagai solusi suatu problem individu ataupun rumah tangga baik bagi sang suami atau isteri. Yang antara lain seorang suami akan lebih baik melakukan masturbasi ini sebagai jalan keluar pelampiasan nafsunya daripada berzina dengan orang lain di saat isterinya haid. Akan tetapi hal ini juga atas kesepakatan bersama antara suami-isteri.
Sungguh bagus bagi sepasang suami-istri untuk mendiskusikan prilaku mereka mengenai masturbasi dan meredakan rasa tidak aman yang mungkin di miliki salah satu pasangan jika yang lain kadang-kadang menyukai masturbasi mungkin dapat diterima oleh keduanya. Dilakukan sendirian atau dilakukan di hadapan pasangan, tindakan ini dapat menyenangkan dan menambah keintiman sepanjang tidak ada penolakan. Seperti kebanyakan prilaku seksual, tanpa komunikasi yang benar, tindakan masturbasi dapat dipergunakan sebagai tanda sebuah kemarahan, pengasingan atau ketidaknyamanan dengan hubungan yang sedang dibina.
Begitu pula seorang remaja yang mungkin pertahanan nafsunya kurang kuat, dengan jalan berpuasa juga masih tetap kurang kuat, atau dengan berbagai cara, maka masturbasi ini akan menjadi jalan keluar yang aman untuk meredam hawa nafsunya. Pada masa remaja, kecendrungan untuk masturbasi meningkat baik pada remaja pria maupun remaja putri, dan sebagian orang terus melakukan masturbasi pada masa dewasa, dan banyak juga yang melakukannya sepanjang hidup.
Sehingga secara medis atau psikologi pun masturbasi ini justeru bisa menjadikan suatu solusi dalam problema dalam menjaga, meredam atau menyalurkan hasrat seksualnya secara aman.
Dalam hal kebolehan masturbasi ini ada beberapa point mengenai kapan di lakukannya:
1. Akan menjadi wajib jika seseorang dalam keadaan mendesak dan terancam jika tidak melakukan masturbasi akan terancam nyawanya (dari penyakit).
2. Akan menjadi sunah jika seseorang kecenderungannya lebih mendekati zina.
3. Akan menjadi mubah/ boleh jika seseorang dalam keadaan tidak mampu berpuasa dan cenderung berbuat zina jika tidak melakukannya.
4. Akan menjadi makruh jika seseorang dalam keadaan labil dan akan berdampak terhadap psikisnya.
5. Akan menjadi haram jika seseorang hanya sekedar berbuat masturbasi tanpa alasan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dijelaskan dan diuraikan tentang masturbasi dalam pandangan Imām asy-Syāfi’i dan Ibn Hazm serta pandangan Medis dari segi hukum, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dari Segi Dasar Hukumnya
Bahwa masturbasi dalam pandangan para ulama, sebagian besar dari mereka mengharamkan perbuatan masturbasi ini. salah satu tokoh ulama madzhab yang mengharamkan dan mencela perbuatan masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah Imām asy-Syāfi’i. Dasar hukum yang dipakai/ menjadi pegangan Imām asy-Syāfi’i dalam menetapkan hukum masturbasi/ onani/ istimna’ ini adalah dalam Firman Allah SWT. dalam al-Qur’an Surat al-mu’minun ayat: 5-6. Dimana dalam ayat tersebut hanya ada dua hal yang diperbolehkan untuk di jima’, yaitu dengan isteri dan budaknya. Sehingga masturbasi diharamkan karena tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Dan hal itu diperkuat pada ayat selanjutnya dalam surat yang sama. Selain itu Imām asy-Syāfi’i juga melihat dari segi etika moral yang ternyata perbuatan masturbasi ini tidak termasuk perbuatan yang terpuji.
Ibn Hazm salah satu ulama dari mazhab zhahiri mengatakan bahwa onani/ masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa [lā Isma fihi]. Akan tetapi, menurutnya onani/ masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibn Hazm mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma [at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy] sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-An’aam: 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya. Sementara dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang menyatakan tentang keharaman dari perbuatan masturbasi. Walaupun dari segi etika moral Ibn Hazm juga menganggap masturbasi sebagai perbuatan yang tidak terpuji.
Dari pendapat kedua tokoh ulama tersebut dapat kita ambil satu pandangan bahwa hukum masturbasi atau onani itu cenderung mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Sehingga hukum yang akan munculpun sangat kondisional dan situasional. Elastisitas hukumnya ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syari’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana [jarimah] atau perbuatan yang terkena hukum ta’zir. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, muru’ah, dan kehormatan belaka. Untuk itu tentunya perbuatan ini akan kembali kepada masing-masing pelakunya.
2. Dari Segi pandangan Medis dan psikologi dalam kehidupan religinya
Banyak data dari kalangan medis mengenai masturbasi atau onani, secara realitas dalam penelitian membuktikan dampak masturbasi yang ternyata dapat mengurangi dan mencegah penyakit kanker prostat yang juga merupakan salah satu kanker penyebab kematian manusia yang terkena penyakit tersebut.
Dalam konsep maslahah Najamuddin at-Tufi, bahwa seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga. Dan menurut at-Tufi kemaslahatan itu bisa lebih didahulukan dari nash.
Dengan demikian penerapan konsep maslahah nilai hukum Islam mampu berkembang dan memiliki cukup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial di tempat Islam itu berada dan juga mampu mencegah mudarat (risiko) dan dapat mengambil manfaatnya. Sehingga perbuatan masturbasi jika kita melihat dari data-data yang ada dari penelitian dan pembuktiannya, maka kalau memang dengan masturbasi ternyata bisa mencegah mudlarat dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat maka penulis menganggap suatu kebolehan. Lagipula perbuatan tersebut tidak mungkin dilakukan di hadapan masyarakat secara terang-terangan. Dengan demikian akan dapat dirasakan kemaslahatan manusia dalam haknya untuk mempertahankan dirinya dan menghindarkan dari penyakit kanker prostat tersebut.
Demikian juga secara psikologi yang sedikit banyak ada manfaat yang akan dirasakan dan juga ada kerugian yang akan didapatkan pula dari melakukan perbuatan masturbasi tersebut. Akan tetapi berbagai kecenderungan, berbagai dampak atau efek tersebut akan kembali bagi si pelaku dalam menyikapinya.
B. Saran-saran
Pada akhir penulisan ini, penulis mencoba memberikan saran pemikiran dan kontribusi bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi para peneliti di bidang Ilmu Hukum (baik hukum Islam maupun hukum positif/ hukum nasional), khususnya yang berkaitan dengan tema pembahasan ini adalah sebagai berikut:
5. Perlu adanya suatu metode dalam upaya untuk mensosialisasikan pemahaman terhadap perilaku masturbasi dalam komponen masyarakat sebagai obyek dan pelaku hukum yang memiliki ciri kehidupan yang plural.
6. Sebagai manusia yang hidup di bangsa dan dunia modern seharusnya memiliki pola pemikiran yang luas dan inovatif dalam lingkup religiusitasnya dalam masyarakat.
7. Sebaiknya perbuatan masturbasi bukan sebagai pelanggaran terhadap hukum, akan tetapi terhadap etika moral sebagai manusia yang berakhlak.
8. Dalam pandangan umum, selagi tidak dilakukan dengan terang-terangan di hadapan publik, perbuatan masturbasi sah-sah saja di lakukan setiap orang, walaupun perbuatan tersebut merupakan suatu kepincangan dalam hal etika moral bagi si pelaku. Sehingga akan kembali kepada individu masing-masing dalam mensikapi dan memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an/ ‘Ulum al-Qur’an dan Tafsir
Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, cet. As-Syaeb.
Asy-Syinqithi, Azwa’ al-Bayan fi lyzhah al-Qur’an bi al-Qur’an, (Al-Qahirah: Maktabah Ibnu Taymiyah, 1988).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an, Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahya, (Semarang : CV. Alwaah, 1989).
Hadis/ ‘Ulum al-Hadis
Ali Ahmad As-Salus, Dr., Ma’a al-Syiah al-Itsna ‘asyriyah fi al-Ushul wa al-Furu’ (mausu’ah syamah) dirasah muqaranah fi al-Hadits wa ulumihi wa kutubihi, (Mesir: Darut Taqwa, Cet. I, 1417 H/ 1997 M).
Al-Qurasyi, Muslim Ibn Hajjaj, Sahih Muslim, 16 Juz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.t.).
Yahya Ibn Syarifuddin an-Nawawi, Hadis Arba’in An-Nawawi, (Surabaya: Sali Nabhan, t.t).
Fiqh/ Usul Fiqh
Abdul Moqsit, dkk, Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Yogyakarta: LKiS, 2002)
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Ahmad Ali al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Vol II, (Kairo: Mathba’ah al-Yusufiyyah, 1931)
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. 7 (Jakarta : Bulan Bintang, 1995)
Husain Hamid Hasan, Nazariyat al-Maslahah fi al-Fiqhi al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdah al-Arabiyah, 1971)
Ibn Hazm, Al-Muhalla, 13 Juz, (t.t.p.: Dar al-Fikr, t.t.).
Ibnu Sayid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993).
Ibrahim Hosen, “Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam (Reinterpretasi terhadap Pelksanaan Aturan)” dalam Jamal D. Rahman (et.al.), Wacana Baru Fiqh Sosial; 70 tahun Prof. Ali Yafie, cet. I (Bandung : Mizan, 1994)
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’atil Muslimah (Fiqih Muslimah: Ibadat-Muammalat), Cet III, (Jakarta: Pustaka Amani, Rabiul Awal 1420 H/ Juli 1999 M).
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Maktabah asy-Sya’bu.
M. Hasbi Ash-Shidiqiey, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. 4 (Jakarta : Bulan Bintang, 1985)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1997).
Muhammad Said Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi as Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1977)
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Asy-Syāfi’i, Imām, Al-Umm (Kitab Induk), alih bahasa Ismail Yakub, (Jakarta: C.V. Faizan, 1983)
Taqiyuddin al-Husainiy, Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar, Juz II , (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
Yusuf al-Qardawi, Membumikan Syari’at Islam, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), terj. Muhammad Zaki, Yasir Tajid
Zaid Husein al-Hamid, Fiqih Muslimah Ibadat-Muammalat, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994)
Lain-lain
Abd al-Latif Syararah, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-Ilmi, (t.k : Al-Maktab at-Tijari, t.t.).
Abu Al-Ghifari, Remaja Korban Mode, (Bandung : Mujahid Press, 1424 H/ 2003 M).
Adnan Hasan Baharis, Al-Inhiraa Fatul Jinsiyyatu ‘Indal Athfaali As-Baa Baha Wa’ilaaJiha, (Darul Mujtama’, Cet I, 1414 – 1993)
Ali Ahmad as-Salus, Prof., Dr., Ensklopedi Sunnah-Syiah: Studi Perbandingan Hadits dan Fiqh, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
Aries Kelana, dan Anton Muhajir (Denpasar) [ Kesehatan, Kanker Prostat Sehat Dengan Ejakulasi, GATRA, Edisi 23 Beredar Jumat 16 April 2004 ].
Christopher J. Gearon, Sexual Health A – Z, The Sinclair Intimacy Institute, 2003
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media, Kamis, 24 Juli 2003, 11:29 WIB
Copyright©www.medicastore.com2004
Derek Llewellyn-Jones, Setiap Wanita Buku Panduan Lengkap Tentang Kesehatan, Kebidanan, dan Kandungan, Judul asli: Everywoman, alih bahasa: Dian Paramesti Bahar, (Jakarta : Delapratasa, 1997).
Ensklopedi Hukum Islam, editor : Abdul Azis Dahlan….[et al.], – cet I., (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, 6 jil.; 26)
GATRA
Kompas
Mahmud Ali Himayah, Dr., Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya tentang Agama-agama, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1422 H/ 2001 M).
Majalah Remaja Islami “el-Fata”, Jika Seks Cukup sendiri, (Edisi 11/ III/ 2003)
Muh. Kasim Mugi Amin, Kiat Selamatkan Cinta Pendidikan Seks Bagi Remaja Muslim, Cet. I, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).
Rusdy Helmi, Penyimpangan Seksual pada Anak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1422 H/ 2001 M).
Seksiologis, Masturbasi Sebelum Penetrasi, Copyright http:// www. changjaya-abadi.com, 2002, Akses Kamis, 24 Juli 2003, 10.56 WIB.
Shaleh Tamimi, Musykilatun fi Thoriq Asysyabaabi, (Saudi Arabia: Daarul ‘Aashimah, 1412 H).
Soerjono Soekanto, Dr, SH., MA., Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Sudirman Tebba, Sosiologi Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Indonesia, 2003).
Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Wanita Masturbasi Untuk Orgasme (Surabaya, Sabtu, 12 Agustus 2000), Copyright http:// www. Yahoo.com, Akses Kamis, 24 Juli 2003, 12.56 WIB.
ya2n/female.uk, Masturbasi Itu Sehat, http//www.vision.net.id, 31 Jul 2003 11:21:49.
Lampiran I
No
Hlm
FN
Terjemahan
1
2
3
4
5
6
7
8
8
14, 78
15, 43, 70
16, 57, 75
52
58, 76
71
75 14
4, 20
13, 1, 1
3, 16, 1
13
6, 13
6
13
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Tidak boleh menyengsarakan diri sendiri dan juga tidak boleh menyengsarakan orang lain.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.
Wahai para pemuda, siapa saja di antara kamu yang memiliki kemampuan hendaknya ia segera menikah. Karena menikah itu akan lebih menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Barangsiapa yang belum mampu, maka ibadah shaum merupakan salah satu peredam nafsu syahwat baginya.
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
Lampiran II
BIOGRAFI SARJANA MUSLIM
A. AHMAD ROFIQ
Ia dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah, pada tanggal 14 Juli 1959. Jenjang pendidikan Strata 1 diselesaikan di fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, kemudian ia melanjutkan ke jenjang S-2 dan S-3 di IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta. Aktifitas yang dilakukannya sampai saat ini adalah mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, tempat ia menempuh S-1 dahulu.
Ia cukup produktif dalam membuat suatu karya ilmiah, baik itu yang berbentuk buku, makalah, penelitian ilmiah atau artikel-artikel. Karya Ilmiahnya dalam bentuk buku yang sudah diterbitkan antara lain : Fiqh Mawaris (Rajawali Press, Jakarta, 1993), Hukum Islam di Indonesia (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995), 40 Entry Ensiklopedi Islam (Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1995), 25 Entry Ensiklopedi Alquran (Bimantara, Jakarta, 1997), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Gama Media, Yogyakarta, 2001). Sementara karya ilmiahnya yang berbentuk penelitian yaitu “Kecenderungan Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia tahun 1970-1990”.
B. IBN HAZM
Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm (Ibn Hazm) lahir di kota Cordova pada 7 November 994 M. Dalam sejarah muslim Spanyol Ibn Hazm menduduki posisi unik. Dia merupakan sarjana muslim Spanyol yang berbakat yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu serta menjadi pakar di sebagian besarnya. Dalam bidang politik Ibn Hazm berpihak kepada Umayyah. Ia pernah diangkat sebagai staff al-Murtada. Dengan menduduki jabatan menteri dan memimpin pasukan di Grenada. Masa Ibn Hazm di Andalusia adalah masa keemasan ilmu pengetahuan di Andalusia, bahkan di dunia. Di sini terjadi gerakan intelektual yang sangat berpengaruh terhadap dunia barat. Pada masa ini bermunculan cendekiawan dan intelektual dari berbagai disiplin ilmu. Dalam buku Tauq al-Hamamah karyanya sendiri, Ibn Hazm secara panjang lebar mengungkap otobiografinya. Al-Qur’an bagi Ibn Hazm merupakan pesan dan perintah Allah kepada manusia untuk diakui dan dilaksanakan kandungan isinya diriwayatkan secara benar, tertulis dalam mushaf dan wajib dijadikan pedoman. Karya-karya Ibn Hazm meliputi bidang fiqh, usul fiqh, hadis, mustalah hadis, aliran-aliran agama-agama, sejarah sastra, silsilah dan karya-karya apologetik yang berjumlah kurang lebih 400 jilid yang ditulis dengan tangan sendiri.
G. C. IMAM ASY-SYAFI’I
Muhammad bin Idris Syafi’i Al-Quraisy atau lebih dikenal dengan Imam asy-Syafi’i, lahir pada bulan Rajab 150 H / 766 M, di Guzzah Palestina. Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, beliau giat mempelajari hadis dari ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal al-Qur’an. Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempelajari ilmu fiqhdari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian ke Iraq, sekali lagi mempelajari ilmu fiqh dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar di masjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab al-Umm, Amali Kubra, kitab Risalah, Ushul al-Fiqh, dan memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal menyusun kitab Ushul Fiqh, Imam asy-Syafi’i di kenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut.
D. MUHAMMAD AZHAR
Lahir di Medan, 8 Agustus 1961. Studi S 1 di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) Medan, sampai semester 6 dan dilanjutkan pada Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah di Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, selesai pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan studi S-2 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1992-1994. Studi S-3 di tempat yang sama program Oksidentalistik (studi sejarah dan filsafat barat) 1994-1996.
Pernah sebagai Ketua Umum Youth Islamic Study Club (YISC) dan Limited Islamic Study Group (LISG) di Lhokseumawe, Aceh Utara tahun 1985 dan 1988.
Direktur Pusat dan Penelitian Sosial (P3S) di Lhokseumawe (1990-1992). Aktivis HMI Lhokseumawe (1986-1992), juga sebagai ketua Litbang Pemuda Muhammadiyah Daerah Aceh Utara (1990-1992). Selama studi S-2 dan S-3 di Yogya aktif di Lembaga Studi Ilmu-ilmu Sosial Keagamaan (LESISKA) pengembangan ilmiah dan penerbitan buku (1993-1996). Partisipan pada diskusi rutin Pusat Pengkajian Masalah-masalah Timur Tengah (PPMTT) Fisipol UGM serta PPSK Yogya. Anggota Membership of American Culture di Jakarta. Aktif menulis di media massa. Karya tulisnya antara lain : Dialog Islam dengan Realitas Budaya (Surabaya); Filsafat Politik, Islam-Barat (Jakarta); OKI dan Tata Dunia Baru (Jakarta); Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neo Modernisme Islam (Yogyakarta). Saat ini sedang menulis disertasi Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan staf pengajar di Fakultas Agama Islam dan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

0 Comment