Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara
A. Latar Belakang Masalah.
Gagasan tentang hubungan Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami wacana yang fluktuatif dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu bertahan pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan sensasi ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian dari keseluruhan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam. Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan,
Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perkumpulan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai kebanyakan ideologi. Sebenarnya alasannya adalah hubungan Islam dan negara, khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler?
Penelitian ini mengambil judul “Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara),” penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana reintegrasi Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran mengarungi tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan dipisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo- modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi penghancuran-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu gugat.
Kedua tokoh ini menarik untuk ditinjau. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai hubungan Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (latar belakang) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku tokoh politik tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan kaum tradisionalis, yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq, sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M.
Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana luasnya Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan. 
 Dalam memandang hubungan Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, faktor sebab inilah yang kemudian seringkali memunculkan kekhawatiran antara kelompok muslim idealis dan realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah SAW dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.
M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. oleh karena itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia berazaskan ideologi Islam. “Negara Demokrasi Berdasarkan Islam”. Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna. Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.
Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal. Hal yang senada dengan penolakan Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>'ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay'ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.
Atas pemikiran dasar inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap mematuhi etika sosial.
Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti penyelesaian pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena bagi Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun “posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat demokrasiasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia tampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme.”
Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia selama ini.
B. Pokok Masalah.
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. oleh karena itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:
1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan Islam dan negara? 
 Tiga pokok masalah diatas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.
2.Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?
3. Apa yang tersirat tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan.
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia. 
3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini. 
1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila). 
2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neomodernis.
2. Memicu asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.
Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:
3. Sebagai prediksi, sejauh mana yang diungkapkan kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini. 
      M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.
D. Telaah Pustaka.
Penelitian ini mempunyai dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasannya sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya terfokus pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini mencakup dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.
Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya ini mengulas tentang hubungan Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih fokus pada gerakan partai politiknya.
Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at Islami (Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang terlibat seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.
Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan hubungan Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyaring keterwakilan kaum muslimin secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan mempertahankan komitmennya bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga sedikit tersinggung polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.
Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.
Sementara itu, Buku Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.
Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha menelusuri pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan perdamaian. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk mengkaji gagasan kedua tokoh tersebut.
Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi merupakan buku yang lebih membahas tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokrasiasi di Indonesia.
Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai hubungan Islam dan negara, masyarakat sipil dan representasiasi.
Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.
E.menunjang Teoretis.
Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berpikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas dari itu perjuangan atau kepentingan golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .
Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar'iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar'iyyah ialah berwenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah al-Mursalah (kepentingan umum).
Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadah (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari'ah (Al-qur'an dan Sunnah). 3) kemaslahatan umum itu wajib merupakan kepentingan esensial yang sangat diperlukan.
Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan merumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.
Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari'yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan peraturan-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka. Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah ada tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasanaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) menghargai hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.
Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam terbagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}'i (Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka menyusun memasukkanya ke dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan stabilitas.
Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus hubungan Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan (tidak kontradiktif), sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, menyusun istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap hubungan Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini. Pertama, aliran mengarungi tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada dibalik dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.
Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman. Tokoh-tokoh ini mengkaji guna membidik kerangka pemikiran teoritis M. Natsir dan Gus Dur.
Jamaluddin al-Afghani, Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan mengajukan pembentukan Jam'iyah Islam>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme, ikatan ini berbasis pada akidah Islam yang bertujuan 1) pertarungan sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang -wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang mengajarkan Islam, 2) pelanggaran kolonialisme atas dominasi barat.
Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintahan dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu ia juga mengusulkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah. Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi. Oleh karena itu Afghani lebih cocok mencerminkan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.
Ali Abdul Raziq, menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah). Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.
Meskipun ia mengakui Ijma' sebagai H{ujjah Syar'iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak yang menentang yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, setelah Abu Bakar, Umar dan Usman.
Fazlur Rahman, pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman berdasarkan pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan suatu “penengah” sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain. “Tugas umat adalah menciptakan rasa nyaman di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitik yang harus ditegakkan di atas dasar etika yang sah dan layak. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur'an.
لنع خير أمـﺔ أخرجت للنـاس λأمرون بالمعرaru,ف وتـنهون المنك ا orang orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang ال ا orang.
الذين أخرجوامن ديارهم بغـيرحق إلاان يقولواربنـاالله ولودفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجديذكرفيهااسم الله كثيـراولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز (الحج:٤٠)
Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur'an dapat dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi 'ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.
Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan kontribusi positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.
Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena pada kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.
Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir akan tampak maududian tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.
F. Metode Penelitian.
Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.
1. Jenis penelitian.
Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini mempelajari tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, riset pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak awal sampai akhir pemikiran politiknya.
2. Sifat Penelitian.
Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau sastra. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini adalah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni mengkaji akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang menyusun anggapan sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.
Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.
3. Tehnik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua macam yaitu: data primer dan data sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.
4. Pendekatan.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosiohistoris. Yang dimaksud pendekatan normatif adalah suatu pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.
Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya. Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu politik sosial dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.
5. Analisa Data
Setelah data terkumpul akan menganalisa dengan metode analisis kualitatif deduksi dan perbandingan. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus. Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi tidak bisa membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.
G. Sistematika Pembahasan.
Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir pembahasan sistematika.
Bab kedua menelusuri asal-usul dan tipologi hubungan agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.
Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas hubungan Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai representasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi dan dasar negara.
Bab keempat menganalisis pemikiran kedua tokoh tersebut tentang hubungan Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas, apakah dalam penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik generasi Islam saat ini.
Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Bermakna untuk mengungkapkan tempat yang signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.
BAB II
ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna, temuan dan fungsi pancasila telah menjadi gambaran sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, cita-cita ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Terdorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). ). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan hubungan Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari'at Islam dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.
Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di 
penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan 
peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa 
ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam 
politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.  Dalam 
skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu 
mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam 
merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi 
empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap 
kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai 
sekarang.  Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul
 lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan 
Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik 
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya 
persiapan kemerdekaan yang diharapkan,  dan telah disetujui oleh 
pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana 
Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang 
menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam “waktu dekat”.
Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara 
Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum 
Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, 
namun demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di 
Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang 
diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti 
Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu 
kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.  Saat itu 
Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu 
Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen 
Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di 
bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan 
kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai 
kemerdekaan.
Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak 
ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga 
dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual 
diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya 
dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang 
akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’)
 posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka 
yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka 
yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling 
emosional dan konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam 
dijadikan dasar negara.
Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, 
dari 29 Mei – 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini  
Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan
 kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.  Sedangkan pada sidang 
kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan 
dibentuk.  Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan 
keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang 
diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan 
kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral 
terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan 
dalam sidang ini adalah  tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah
 ini berkaitan dengan integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. 
Karena khawatir akan kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus 
semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk 
panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.
Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang 
yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni 
Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, 
untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini 
maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota 
BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam 
yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari 
kelompok nasionalis-sekuler.  Statistik ini menunjukkan betapa tidak 
seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul 
Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim,
 Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. 
Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok nasionalis, 
antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Prof. 
Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo 
dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh 
Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa 
kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis.
Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah 
dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas 
perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI 
yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan 
Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar 
Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad 
Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).
Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan 
Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak 
berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok 
Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok 
nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam 
badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang 
membentuk “Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan 
sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban 
menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,  kesepakatan 
ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat 
itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 
yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan 
Piagam Jakarta tersebut.  Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang 
pertama dalam perjuangan politiknya.
Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak 
dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam 
yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang 
sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam 
mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat
 Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas 
kemerdekaan,  pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat 
debatable. Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, 
tentang makna penting pancasila jika dibanding dengan agama.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu 
bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama 
yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m dirasakan oleh
 kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk 
agama lain.  Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik 
Islam  terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 
1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
 Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. 
Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul 
Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati 
dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam,
 yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.  
Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak 
melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih 
presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan 
wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno 
mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang
 saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki 
Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. 
Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus 
yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang 
memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil 
 melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat 
pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.
Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat 
itu, yaitu Nasionalis dan Islam.  Golongan nasionalis adalah kelompok 
yang berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan negara) harus 
dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi 
agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan 
akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan 
masalah politik yang berurusan dengan duniawi.  Sementara itu golongan 
Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat 
dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak 
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga
 hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.
Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an 
dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis
 Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan 
peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti 
Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh
 Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan 
lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang.
Di sisi lain, konsep “Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam 
pada zaman Rasulullah, sahabat dan komunitas muslim lainnya juga ikut   
mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab 
munculnya terma Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi 
dari konsep Piagam Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari 
persinggungan wacana politik Islam yang telah berlaku di bangsa Arab 
itu. Selain itu  praktik pemerintahan Negara Turki yang memisahkan 
negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.
Jadi, untuk memaparkan secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam 
dan keterkaitan mereka dalam memperjuangkan negara berdasarkan Islam di 
Indonesia, perlu penyusun bahas secara singkat tentang teori-teori yang 
diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga 
teori.  Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus
 dipisahkan, karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif
 dalam mengatur kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab
 itu menurut pandangan ini konstitusi negara harus didasarkan pada 
Islam. Tokoh teori ini antara lain , Abu A’la Maududi  (1903-1979) dari 
Pakistan yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb  (1906-1966) 
dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin  dari Mesir. Baik Jam‘iyah 
al-Isla>m  maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan 
Fundamentalis di Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat 
dari jargon politiknya bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan Negara) 
tidak bisa dipisahkan.  Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash 
al-Qur’an :
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين. (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan 
agama sebatas pada urusan pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri 
urusan politik. Oleh sebab itu konstitusi negara dalam pandangan ini 
tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai sekuler, contoh 
konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori ketiga, sepakat 
dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti konstitusi 
negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus 
menjadi ruh kehidupan masyarakat  bernegara,
Ketiga teori ini mewakili pilihan-pillihan yang dapat menentukan 
karakteristik struktur sosial dan politik negara-negara muslim dunia 
dalam menghadapi tantangan modernitas. Terutama teori pertama ini sangat
 kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia tahun 1940-an dan 
1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante (1956-1959)
 para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar negara. 
 Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik 
nasionalis-muslim Indonesia  saat itu, dipengaruhi oleh Kemal Attaturk 
ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang berpendapat bahwa Nabi tidak 
pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau hanyalah seorang utusan 
yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara 
kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak 
menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI). Melengkapi data sebelumnya, pada 
tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung gagasan Hatta yang 
mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan daripada keinginan 
umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan negara dari 
persoalan agama.
Menurut Soepomo sendiri, jika negara Islam diciptakan di Indonesia maka 
sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama
 dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama 
lain sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan 
keterlibatannya dalam negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai
 dengan cita-cita negara kesatuan yang diharapkan bersama.
Pada tahun 1953  Soekarno juga mengungkapkan kekhawatirannya secara 
terbuka tentang implikasi-implikasi negatif yang muncul, apabila umat 
Islam Indonesia tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni 
pengakuan Islam secara legal formal di negara ini.  Dengan mengingat 
kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945,  Soekarno 
mengatakan bahwa ia cemas, kalau banyak bagian negara Republik Indonesia
 memisahkan diri, atau negara bekas jajahan Hindia Belanda seperti Irian
 Barat juga tidak ikut menggabungkan diri dengan Indonesia yang ber-ruh 
Islami ini.
Melihat keberatan kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler 
mengharuskan kita meninjau kembali sejarah Islam yang menyatukan 
pemahaman antara agama (di>n) dan negara (daulah). Istilah  “negara” 
dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; pertama, organisasi di suatu 
wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh 
rakyat. Kedua, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah 
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintahan 
yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak 
menentukan tujuan nasionalnya.
Dalam Bab ini penyusun merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam 
kajian politik Islam seperti daulah, khalifah, imamah dan kesultanan 
yang seringkali dikonotasikan  dengan istilah negara. Di samping itu 
teori-teori tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik 
Islam di Indonesia.
a. Daulah.
Istilah daulah berasal dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar 
dan berputar (rotate, alernate, take turns or Occur priodically).  
menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan  “dinasti atau wangsa”
 yang berarti sistem kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan 
didukung oleh keluarganya atau clanya.  Jadi dalam konteks sekarang 
istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu Paham ini juga erat 
dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa kekuasaan 
tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang memberlakukan 
Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.
Menurut sejarah istilah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam 
ketika masa kemenangan kekhalifahan dinasti Abbasiyyah pada pertengahan 
abad delapan.  Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu 
terdapat pada daullah Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani 
Abbas (Daulah Abbasiyyah).
b. Khilafah.
Istilah “Khila>fah” berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan
 atau pergantian. Dalam perspektif politik sunni, khilafah didasarkan 
pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma‘) dan pemberian 
legitimasi (Bay‘ah).  Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam 
pemilihan pemimpin Islam bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit 
politik melalu ijma‘ kemudian baru di Bay‘ah , menurut Harun Nasution 
sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem kerajaan, 
karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi 
yang bersifat turun-temurun.
Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah 
 Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, dalam pidato 
inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah 
dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan 
misi-misinya.  Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul 
pertama kali pada masa pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti 
Islam di Arabia.
c. Imamah.
Selain kedua istilah di atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering 
digunakan sebagai teori yang menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, 
imam bisa dimaknai khalifah, raja, sultan atau kepala negara, dengan 
demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi memberikan ruang bagi agama 
suatu jabatan politik yaitu kepala negara.  Sementara menurut Taqiyuddin
 an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua istilah yang sama 
maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang berlaku secara 
umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum 
syari’at dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya teori imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah 
daripada aliran sunni, dalam aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua 
rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).
d. Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab 
al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang penulis dari kelompok scribal, Abd 
Hamid, yang hidup pada awal abad kedelapan, secara umum menggunakan 
istilah sultan untuk pemerintah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki 
beberapa sinonim di antaranya Daulah, Khila>fah, Ima>mah dan 
S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan hal yang lazim kalau wacana 
Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan, karena secara de facto 
ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah yang bersinonom dengan 
konsep negara, sedangkan  secara konseptual atau de jure Islam memang 
tidak mengenal konsep negara yang detail. Namun demikian patut diteliti 
apakah teori-teori tersebut untuk konteks modern saat ini bisa 
dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan 
panjang dalam sejarah didirikannya negara ini, sejak pra-kemerdekaan 
sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya yang membuat tokoh muslim 
berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar negara Indonesia? 
Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan 
menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M.
 Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno 
mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita 
Islam oleh sebab itu pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian 
integral dari perjuangan Islam untuk menerapkan Syari‘at.
Tampaknya klaim ini didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam
 Indonesia sebagai kelompok mayoritas mempunyai peran yang sangat besar 
dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Untuk mendukung opini ini 
bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah 
air ini, seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin  dari 
Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin Perang Diponegoro 1825-1830, 
Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937), Teuku Umar, Tjut Nya’Dien
 dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun 1872-1912).  Di 
samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim 
Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas, kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam 
Jakarta” bisa juga dipahami melalui berbagai organisasi kultural dan 
ekonomis Islam yang telah didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka, 
apalagi organisasi tersebut banyak memberi konstribusi dalam kemerdekaan
 ini, misalnya Sarekat Islam  (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis 
Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi 
Tradisionalis NU (didirikan 1926).  Menurut hemat penyusun organisasi 
ini merupakan alat konsolidasi yang sangat efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini 
dan organisasi Islam memainkan peran penting pada masa kemerdekaan, 
menurut Fred von den Mehden “Indonesia sebagai satu bangsa Islam tidak 
seluruhnya sepakat dengan apa yang harus dilakukan sebagai pemeluk 
Islam”.  Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran 
dan praktik agama yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford 
Geertz bahwa rakyat Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau 
trikotomi, yaitu Priyayi, Santri dan Abangan.
Perbedaan relegius dan politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam
 wacana pancasila, Seperti halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan 
demikian suatu dinamika “Islam versus Pancasila” telah mempengaruhi 
sebagian besar perdebatan dan wacana pemikiran politik Indonesia 
sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.  Sebagaimana yang akan dibahas 
dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki implikasi-implikasi penting
 bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah, tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara 
sangat tampak dalam pemberontakkan Darul Islam melawan Pemerintahan 
Pusat antara tahun 1948-1962.  Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk
 konkret ancaman “ekstrem kanan” (istilah yang secara resmi dipakai 
untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era Orde Baru) semakin jelas. 
Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam mempertinggi kecurigaan 
militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara partai-partai Islam 
dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan, menurut pihak 
militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam dengan 
jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.
Deliar Noer, tidak sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya 
cita-cita partai Islam ini dilakukan secara demokratis. Jadi tentu 
berbeda dengan gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo,
 gerakan ini menggunakan kekerasan dan mementingkan simbol-simbol, 
seperti nama Darul Islam, istilah Imam untuk  Kepala negara dan lain 
sebagainya, Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam 
kasus ini gerakan Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan 
pemikiran substansi tujuannya karena terburu menggunakan kekerasan.  
Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian 
kalangan bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang 
kemudian berdampak negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan 
partai-partai Islam  selama ini.
Dan saat itu, citra negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan 
kedudukan partai Masyumi  dan umat Islam secara umum. Padahal dalam 
kasus DI ini secara perlahan-lahan juga ditunggangi oleh golongan yang 
tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya orang-orang Belanda seperti 
Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu masalah pemberontakan 
PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan cita-cita Islam
 sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960), walupun banyak
 orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh cabang 
Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong
 pemberontakan ini.
Posisi Islam semakin mengkhawatirkan ketika  Soekarno membubarkan partai
 Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan 
regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan
 ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme  Soekarno tidak 
hanya menganjurkan konsep Pancasila, melainkan juga sebuah konsep 
NASAKOM,  yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis
 yang labil pada awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan 
politisnya jelas saling berlawanan.
Demikian pembahasan asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia.
 Semoga prawacana ini akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab 
berikutnya.
B. Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan 
gerakan pembaharuan, di antaranya dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh 
yang dianggap rasional-liberal, dan kemudian di Indonesia berpadu dengan
 faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.  Di sisi lain, masih terdapat 
kuatnya  madzhab yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, 
yang dianggap sebagai basis kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya 
dialektika modernis versus tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan
 pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan
 pemikiran Islam. Menurut Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, 
sedangkan “pemikiran Islam” adalah kebenaran subjektif yang dihasilkan 
dari penangkapan seseorang terhadap pesan obyektif Tuhan.  Sebagai 
kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan 
konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan 
Tuhan. Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus 
diletakkan pada kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia wacana 
relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang 
tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam 
memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai 1990-an sering terjadi perdebatan hangat 
mengenai masalah tersebut, Seperti yang penyusun bahas sebelumnya. 
Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan titik temunya, yaitu dalam
 konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir sehari setelah 
kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang 
konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh  Soekarno 
melalui Dekrit 1959. Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan 
Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan  pembicaraan 
mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara Natsir dan   Soekarno, akhirnya Islam mencari 
jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang bisa
 dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga
 diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan 
Islam dalam posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh 
implikasinya.
Akhirnya, situasi inilah yang mendorong pemikir Islam Indonesia 
generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut 
sebagai kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik 
merupakan sesuatu yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang 
membekas para aktivis politik saat itu, baik dari pihak Islam politik 
maupun negara. Untuk itu generasi kedua ini tidak menginginkan Islam 
dijadikan sebuah ideologi, dengan memfokuskan pada bidang garapan 
“transformasi sosial” yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. Di 
antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang mengemukakan 
desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam,  
Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; 
dan Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam 
konteks Indonesia.
Sebenarnya kalau dilihat dari aspek politik, aktivitas Islam kultural 
dan Islam politik mempunyai persamaan, karena kalangan inilah yang 
meletakkan dasar-dasar kehidupan politik yang demokratis, dengan 
menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan egalitarianisme yang 
disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik dalam pembahasan ini, 
Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan negara menjadi tiga
 kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang berpendapat Islam adalah agama yang 
sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan 
bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di 
antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, 
aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem 
negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan 
bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga, aliran 
sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran 
ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama 
aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein
Akan tetapi dalam tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori 
kedua, yakni aliran Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan 
kembali menjadi dua aliran: modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini 
didasarkan pada analisa pemikiran yang telah bekembang, bahwa pemikiran 
politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari hubungan dialektis 
antara aliran tradisionalis dan modernis,  yang akhirnya melahirkan 
neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan 
pendekatan struktural yang dapat juga disebut sebagai kaum idealis, 
sementara kelompok neo-modernis menggunakan pendekatan kultural yang 
biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.
1. Perspektif Modernisme.
Pemikiran modernisme Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum 
Indonesia merdeka. Pada tahun 1912 didirikan sarekat Islam, yakni sebuah
 organisasi politik Islam modern pertama kali di Indonesia yang 
didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan.  Di bawah pengaruh 
modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang lazim di 
kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.
Menurut Mukti Ali, munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan 
kemunduran umat Islam yang disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran 
al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu kalangan modernisme seringkali 
menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah secara 
murni”.  Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan 
modernisme mengagendakan sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” 
bahwa Islam adalah agama yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan, perspektif ini dihadapkan penyusun pada 
pemikiran M. Natsir. Tokoh ini dikategorikan dalam perspektif modernis 
karena gagasannya yang rasional-fundamental, penulis katakan 
rasional-fundamental karena satu sisi Natsir mengakui bahwa di dalam 
Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi, dalam artian demokrasi 
adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat atau dari rakyat 
oleh rakyat untuk rakyat,  sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras
 meletakkan Islam sebagai dasar negara, dengan tujuan supaya ajaran 
Islam bisa laksanakan secara utuh dan konsekuen dalam kehidupan 
bernegara.
Ide-ide pemikiran modernisme tentang Islam dan negara cenderung 
bercirikan konservatif, liberal dan demokratis sosial.  Di Indonesia 
sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan 
modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,  
sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik 
mempunyai dua corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan 
bentuk negara Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua, 
“substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada 
bentuk.
Untuk memperjelas pada pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun  tegaskan
 bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran yang 
selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem 
Barat asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya 
secara genetik kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu 
Masyumi dan Muhammadiyah.  Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang
 sama dalam memandang konsep negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam
 dan negara mempunyai hubungan integral, tetapi bukan berarti menolak 
sistem Barat secara totalitas. Karena menurut M. Natsir sendiri Islam 
memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna, maka dari 
itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh mengadopsi sistem Barat 
asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pada intinya aliran modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara
 ideologis, karena baginya secara  tekstual, al-Qur’an dan Sunnah telah 
menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.  
Selain itu,  masih ada alasan-alasan lain yang akan dibahas dalam bab 
selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M. Natsir ingin menjadikan
 Indonesia sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun 
bahas dalam bab selanjutnya.
2. Perspektif  Neo-Modernisme.
Pola pemikiran neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, 
menurutnya meskipun di era modern pemikiran modernisme memberikan 
sumbangan positif terhadap kebangkitan Islam, tetapi aliran ini masih 
menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di antaranya adalah kurangnya 
metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah, dan terlalu apriori 
terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.
Lebih lanjut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi 
lama akan menimbulkan jump to conslusion (kesimpulan yang melompat), 
artinya mengambil pokoknya saja tanpa memahami latar belakangnya,  
dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme 
Islam bahwa kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual 
impoverisment (pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya 
seringkali terjebak pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. 
Oleh sebab itu kaum neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik 
berikut ini,    sebagai prinsip pengembangan pemikirannya.  Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح 
Neo-Modernisme adalah aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha 
untuk menemukan titik temu antara kaum Islam tradisionalis dengan kaum 
Islam modernis.  Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam 
dimulai sejak tahun 1970-an, sebagai pemikiran generasi kedua setelah 
modernisme yang mengarah pada Islam politik, kemudian pada tahun 1980-an
 generasi kedua ini dikenal dengan sebutan Islam kultural.
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol dari aliran neo 
modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan pemikiran progresif 
yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan dan 
pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme 
yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis 
justru membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi
 bahwa Islam juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat 
seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme 
Islam mengarfimasi semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara, karena menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh 
mendirikan negara Islam. Keempat, neo-modernisme sangat mengedepankan 
pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan liberal, khususnya dalam 
merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme selalu berijtihad
 dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam tradisional 
dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan humoniora.
Banyak penulis yang mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, 
seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan 
Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini, di antaranya.  Dalam pembahasan
 ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan dengan 
pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang
 sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman 
Wahid sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 
1990-an, tetapi dia  tergolong akomodasionis terhadap sistem sosial yang
 berlaku di Indonesia.
Dalam memandang relasi Islam dan negara, kalangan ini lebih suka 
menggunakan pendekatan kultural, yakni dengan memerankan Islam sebagai 
“faktor komplementer” untuk mengembangkan sosio-ekonomi, politik, dan 
moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis yang paling utama  
mendukung pendekatan kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan 
Abdurrahman Wahid, meskipun mereka tidak sepenuhnya sama dalam 
berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara historis ekspresi 
Islam ideologis tidak pernah berhasil.
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia   
dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa 
terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik 
melainkan konflik horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,  hal yang 
senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah 
ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan 
agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.
Meskipun demikian, bukan berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan 
aspek agama dalam politik, karena dalam pemikirannya selalu 
mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat dalam pemikiran 
Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan pemerintah 
harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam 
kaidah fiqihnya “Tas}araf al Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah” 
(kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti kesejahteraan rakyat)”.
Pokok pikiran kedua aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme 
dalam memandang agama dan negara sudah tentu berbeda, karena secara 
teoritis dalam konteks agama dan negara kedua pemikiran tersebut memang 
terbagi dua, yakni idealistik dan realistik. Dalam kerangka pemikiran 
idealistik dirumuskan sebuah sistem negara yang sepenuhnya berdasarkan 
wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian menggunakan Islam sebagai 
“tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun kategorikan dalam 
“kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih tertarik 
menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada 
substansi bukan sebuah bentuk formal,   dan kemudian penyusun 
kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam 
al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak ada yang menyatakan untuk 
mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi politiknya  
masing-masing berbeda. Kelompok modernis lebih suka menggunakan 
pendekatan Islam politik dalam kehidupan bernegara, karena untuk 
memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan kekuatan politik dan yang 
memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara dalam pandangan 
mereka adalah penjaga syari’ah.  Sementara generasi kedua, 
neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi 
lebih pada Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai 
masyarkat dalam kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah 
urusan pribadi yang tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa dimengerti mengapa persoalan agama dan negara 
di Indonesia selalu menjadi pembicaraan hangat di kalangan intelektual 
muslim kita. Ini tidak lain karena pengaruh geneologi pemikiran yang 
melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor organisasi ataupun studi yang
 dijalaninya.
BAB III
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA
Sketsa Biografi M. Natsir
1. Latar Belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput
 dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan 
cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena 
mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang 
kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir.  M. Natsir berasal dari 
Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh 
pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun 
keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad 
Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia 
politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya 
sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan 
dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan 
pada suatu sistem Matriarchat.  Di sisi lain adat-istiadat, suku juga 
sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum 
tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para
 gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh
 gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. 
Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada 
tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M. 
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.  Salah satu tuntutan gerakan ini adalah
 pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini 
disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri 
waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli  
ketika niat sholat.  Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas
 Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras 
praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang 
warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat 
setempat.
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam 
kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari
 kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat 
terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa 
perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat 
Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. 
Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari 
dealektika dikotomi di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir,
 al-Bayan, al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan 
tradisional ada Tarbiyah Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan 
itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu 
agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya
 ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak 
madrasah agama.”
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan 
tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten 
Solok. Ia merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan Saripado Dan 
Khadijah,  pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi 
sosiologis di mana ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau 
bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan 
doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland Inlandische School) 
Adabiyah  dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus
 dari HIS ia melanjutkan ke MULO  (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij)  
Padang. M. Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia 
masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong 
Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi 
Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS  
(Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik 
di Bandung.
Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir tampak menguasai 
bahasa-bahasa Eropa tersebut, dengan demikian bisa dipastikan kalau ia 
tidak banyak mengalami kesulitan  dalam memahami karya-karya bangsa 
Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra, politik dan orientalisme.
  Selain itu, M. Natsir sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa; 
Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak membantu kecerdasan bangsa
 Indonesia.
Namun demikian, ia juga memiliki kepedulian khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah satu bahasa wilayah, malainkan suatu bahasa dunia yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan yang kaya raya untuk mengungkapkan suatu pengertian, dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari yang bersifat Maddah (konkrit ) sampai yang bersifat Ma'nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.
Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Di samping itu ia juga tertarik dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.
Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal ajaran-ajaran Islam yang bercorak
 pembaharuan sejak usia muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh 
gurunya, Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan pembaharuan Islam 
yang juga  merupakan kawan dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh 
pembaharu pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir mengikuti 
pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji Abdullah Ahmad secara teratur, 
seorang tokoh pembaharu di Padang.
Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia belajar pada tokoh utama 
Persis (Persatuan Islam) di Bandung , Ahmad Hassan, salah seorang 
pendiri organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji Zamzam dan 
Haji Muhammad Yunus yang ikut mendirikan organisasi tersebut, tanpa 
bermaksud memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus 
sebagai pelopor pendiri Persis, namun organisasi ini memang baru 
terlihat karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis pada waktu 
dipimpin oleh Ahmad Hassan.
Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia tertarik berguru pada Ahmad 
Hassan. Pertama, Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal ini 
terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi persoalan masyarakat muslim 
yang berkembang saat itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam
 sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena cara yang digunakan 
sangat berbeda dengan para ulama lainnya.
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi sosial masyarakat 
Minangkabau juga ikut mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena 
pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan antara kaum adat dan 
agamawan di daerahnya. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau 
pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit banyak terpengaruh 
dengan fenomena yang ia lihat sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara 
kaum adat dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut membentuk 
pemikirannya dalam menentang paham sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas ketika ia berdomisili 
di Bandung, di mana ia banyak terlibat dalam organisasi, di antaranya 
Jong Islamieten Bond  (the Association of Muslim Youth) dan Persis (The 
Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1 Januari 1925, organisasi ini
 merupakan perkumpulan generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta 
dan kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada tahun 1929 M. Natsir 
menjadi anggota JIB cabang Bandung.  Dan kemudian ia mengajar Islam di 
Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah guru dan MULO di kota 
ini juga.
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya lebih dominan ketimbang
 JIB. Karena dalam Persis M. Natsir merasa lebih banyak mendapatkan 
teman yang dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang dalam 
pemikirannya, khususnya dalam bidang politik dan agama.  M. Natsir 
mempunyai hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga
 sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang memang diperuntukkan 
anggota muda Persis oleh Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah
 menengah Belanda.
Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela Islam   yang memberinya 
kesempatan untuk menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk tulisan, 
selain itu yang menarik bagi Natsir adalah perhatian besarnya Persis 
pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh dan publikasi.  Yang semuanya
 itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan agamawan di negara 
Republik Indonesia ini.  Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis 
merupakan wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh nasional, karena 
melalui kegiatan yang dipelopori Persis seperti tablig, penerbitan 
majalah, buku, dan pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung 
sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi Pembela Islam.
Selain pengalaman organisasi di atas, secara akademis ia juga terlihat 
lebih serius dalam mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS Bandung 
daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia telah banyak mempelajari  
berbagai aspek sejarah peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan 
menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis dan Latin.
Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif muda (21 tahun) Natsir
 telah menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan
 Latin), dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah menjelajahi
 dunia intelektual. Melihat kecerdasan yang dimiliki Natsir, Pemerintah 
Belanda sempat menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya ke  
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam
 Belanda, tetapi ia menolak tawaran beasiswa tersebut karena 
kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.
Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial Belanda, mulai terlihat
 saat ia mengkritik pandangan guru Belandanya yang menganggap bahwa 
sistem kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah banyak memberi
 keuntungan kepada petani. Menurut M. Natsir yang mendapat keuntungan 
bukanlah petani melainkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa 
rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka dengan sewa rendah. Dan justru 
sistem inilah menurutnya yang membuat petani semakin menderita karena 
tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.
Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial Belanda, ia mulai 
berontak akan penindasan yang dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari 
peristiwa tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih dalam, 
ia sadar bahwa untuk melawan tirani kolonialisme sangat ditentukan oleh 
perjuangan politik rakyat.  Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa 
pemikiran   politik Natsir pasca kemerdekaan juga dipengaruhi atas 
perjuangan politiknya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini 
melawan bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik 
keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan 
nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan 
sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir.  Soekarno, 
Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.  Organisasi ini berbasiskan anggota 
di  Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan 
agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. 
Natsir tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang 
dikampanyekan  Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI 
merendahkan aturan-aturan agama.
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian berdampak keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 November 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk melawan tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari 
sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia 
yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus 
Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, 
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus 
Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode, 
dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang 
kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan 
atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama 
dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, 
Yogyakarta.
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956. Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam-macam organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari pengungkapan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.
2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa  
Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam 
konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah 
pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa 
bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di 
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.
Menurut A. Muchlis, M. Natsir beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada 
dasarnya merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung 
falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau 
Komunisme.  Dengan berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang 
dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, 
Natsir menyebutkan :
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون   (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia 
ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar
 mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.
Namun demikian, untuk mencapai kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan kepada manusia, yakni :
Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan 
kita, dan cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya 
aturan-aturan yang berhubungan dengan sesama manusia, yang kemudian di 
antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk 
itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan 
hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang, yang saat ini 
diistilahkan dengan urusan kenegaraan.
Untuk melacak pemikiran M. Natsir tentang negara, menurut Ahmad 
Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama, faktor sosial 
politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan 
ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, 
faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya
 melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran  
Soekarno yang cenderung sekuler.
Sedangkan dalam konteks eforia politik Islam saat itu, wacana tersebut 
juga sedang hangat diperdebatkan di Timur Tengah karena isu tentang 
sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan antara agama dan 
negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.
Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran  
Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di 
Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan 
Indonesia seperti Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun 
dengan cara memperkenalkan Pancasila  yang sebelumnya ia tentang 
sendiri.
Di samping itu, banyaknya ide pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan
 Timur Tengah yang melekat dalam jiwa Natsir, juga telah ikut 
mempengaruhi pemikirannya  dalam menggagas kenegaraan dalam Islam. 
Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara 
Indonesia yang ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia  belum 
merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang Pleno 
Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia 
hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> 
diniyyah) dan paham agama (Dini>).  Dari pernyataan tegas Natsir 
tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah memberikan dua pilihan 
tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat 
itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat
 ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan 
pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang  penyakit 
syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep 
tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat 
sendiri, bukan oleh Wahyu.
Sebagaimana yang ia katakan bahwa ajaran sekulerisme, selalu memandang 
remeh kehidupan agama, karena “menurunkan nilai-nilai hidup manusia dari
 taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata”.
Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan 
fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam 
sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas alasan bahwa secara  
sosiologis, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat 
muslimlah yang mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi 
nusantara ini, di samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang 
sempurna bagi kehidupan negara dalam menjamin keragaman hidup antar 
berbagai golongan.
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa alasan Natsir bersama-sama 
partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam sebagai dasar negara 
karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis, yakni mayoritas 
masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta normatif yang 
jauh sebelum Pancasila  lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan 
dan mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya 
komitmen yang sangat kuat tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini 
terbukti dalam pernyataannya yang memperjuangkan Islam sebagai pedoman 
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kalau kita meminjam perkataan seorang orientalis, H.A.R. Gibb, kata  
Natsir, maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a 
religious system, it is a complete civilization, Islam itu lebih dari 
sebuah sistem peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap 
dan sempurna.  Artinya Islam tidak hanya membicarakan persoalan 
keakhiratan unsich, melainkan juga masalah keduniawiaan, seperti masalah
 sosial politik, hukum dan pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama 
yang meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam 
muamalah (pergaulan) masyarakat, menurut garis yang telah ditetapkan 
oleh Islam.  Dengan demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama.
 Watak holistik Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain,
 dan ketiga,  kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas masyarakat 
Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam dijadikan 
ideologi bangsa Indonesia.
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad
 Natsir berbicara tentang kelebihan agama, mengemukakan dua premis 
pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan lebih banyak kepada pemeluknya
 untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran; sedangkan dalam filsafat 
hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui adanya wahyu, yaitu 
empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan agama 
meliputi seluruh aspek kehidupan.
Dari pandangan-pandangan tokoh dan pendapat Natsir sendiri, yang 
menyebutkan alasan historis sosiologis di atas; mayoritas penduduk 
Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika agama Islam 
menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat ajaran
 Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan 
dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk 
di Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di 
nusantara ini, ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam 
yang hampir semuanya menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan 
tersebut.
Menarik untuk dicermati kembali isi pidato Natsir,  yang terkesan tidak 
konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah
 sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat 
Islam di Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam 
kesempatan lain ia menyatakan:
“bukan semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan 
rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara 
kita, tetapi berdasarkan pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam 
yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai 
sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, serta 
dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga menghargai antara 
berbagai golongan di dalam negara ini”.
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh lapisan bangsa Indonesia, M. 
Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau pun besar tidak akan 
melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.
Sedangkan dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa 
pernyataan Natsir sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud 
suatu negara akan bersifat Islam bukan berarti secara formal harus 
dinamakan negara Islam ataupun berdasarkan Islam, tetapi negara disusun 
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, baik dalam teori maupun praktiknya.  
Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam 
klausul-klausul yang bersifat umum sepanjang mencerminkan 
kehendak-kehendak Islam.
Untuk menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir  tidak perlu memberi 
definisi panjang karena malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa 
tentang negara ini, apalagi sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang 
berlainan dalam hal ini di antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, 
Marx, Adam Smith, Robert Owen, Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan 
lain sebagainya.
Negara menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas 
dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau 
organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat 
material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum.
Lebih dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila  :
a. Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani maupun rohani.
b. Diakui oleh masyarakat.
c. Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
d. Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
e. Berdasarkan atas paham hidup.
f. Mempunyai keanggotaan.
g. Mempunyai daerah berlakunya.
h. Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
i. Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-normanya.
.
Maka negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a) 
wilayah. b) Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang 
Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis.  
 Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka  bisa 
dikatakan bahwa konsep negara yang dinyatakan termasuk syarat-syarat 
negara modern.
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan 
pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat
 manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, 
baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain 
sebagainya.
Mengenai bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai 
dasar negara republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa 
menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.  Dengan 
demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni 
mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan 
akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan 
Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di 
antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, 
pemberantasan perzinaan dan lain-lain.  Menurutnya negara di sini 
berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya 
undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia 
sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.
Menanggapi statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan
 mendirikan negara sebagaimana dinyatakan oleh   Soekarno, bahwa tidak 
ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara dibantah oleh 
Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh  Soekarno tentang masalah ini 
hanya mempersulit persoalan.
Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan
 keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak 
perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan 
sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah 
negara.
Melihat pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas, 
menimbulkan kesan bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti 
Pancasila, padahal dalam pidatonya di depan Pakistan Institute of World 
Affairs pada 1952, sikapnya yang anti Pancasila  berubah. Ia menyatakan 
bahwa:
Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena  telah 
menyatakan Islam sebagai agama negara, begitu pula Indonesia, menurutnya
 negara ini juga negeri Islam, karena kenyataannya negara ini diakui 
sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi kami tidak dinyatakan 
tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama 
dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic belief) 
telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang 
berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.
Dalam tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila  adalah formulasi lima cita-cita kebaikan sebagai hasil dari 
konsensus para pemimpin kita pada tahap perjuangan sembilan tahun yang 
lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah bertentangan dengan 
al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak sesuai 
dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila  tidak 
memperlihatkan sesuatu yang asing dalam ajaran al-Qur’an, dan meskipun 
tidak identik dengan Islam itu sendiri, Pancasila  telah mencakup 
cita-cita islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila  adalah manifestasi dari maksud 
dan cita-cita tentang kebaikan dimana kita akan melakukan setiap usaha 
untuk meletakannya ke dalam praktik negara kita.
Namun kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, 
pada 1957 di sidang konstituante ia kembali menolak Pancasila  sebagai 
dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan manusia
 dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa 
mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi 
pengaburan interprestai Pancasila  yang dibuat-buat oleh masyarakat 
kita.
Bahkan dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan
 bahwa sidang konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan
 pikiran anggota secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang 
hidup di masyarakat. Oleh sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan 
inilah yang tepat untuk menolak Pancasila .
Menurut Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan 
Natsir terhadap Pancasila  selama 12 tahun sebagai dasar dan ideologi 
negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia 
sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai 
dasar dan ideologi negara.
Dan lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan 
mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis, 
memperlihatkan sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila  dengan 
menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya menolak 
Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang 
harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 
1957? Atau malah tidak kedua-duanya.
Sebagai seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila  sebagai
 dasar negara, yang telah diberlakukan sejak 1945 sampai tejadinya 
perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957. Namun perlu diketahui
 bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante tersebut 
secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum 
menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh 
politik yang lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak 
mengajukan Islam sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila  dalam
 momen itu.
Perubahan sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut 
Deliar Noer dipicu oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante 
merupakan forum tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan 
ideologi negara yang mereka yakini dan cocok untuk negara Indonesia. 
Kedua, dalam majelis, Natsir dan teman-temanya memikul tanggung jawab 
agama dan politik dalam memperjuangkan   aspirasi politik umat Islam, 
yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana 
wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, 
Natsir juga menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.
Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan 
boleh saja meniru negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran
 Islam, sebab dari syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah 
tidak sepenuhnya sistem negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama 
penguasa negara, Natsir juga tidak bersikeras menggunakan 
istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja bernama khalifah, 
Amir al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.
Selain itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam
 pemerintahan Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah
 seorang kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan 
menerapkan peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan 
kenegaraan baik dalam kaidah maupun praktiknya.  Dan untuk syarat 
sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi: agamanya, sifat 
dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan kekuasaan yang
 diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya atau 
semata-mata keintelekannya saja.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut  
Natsir, wajib bermusyawarah dengan orang-orang yang layak diajaknya 
dalam mengatur umat. Adapun untuk urusan-urusan yang di luar ketetapan 
agama, semua boleh diatur menurut keadaan zaman, dengan cara-cara yang 
Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Oleh sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain, dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara 
lain, kita orang Islam  ada hak mencontoh negara itu selama tidak 
berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang diadakan Islam. 
Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu bangsa 
atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan 
yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, 
Jepang, Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.
Dengan demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab 
dari negara-negara yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan 
agama dan negara. dan lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir 
menganggap Islam tidak mempunyai sistem negara yang lengkap sehingga ia 
harus mencontoh Barat.
Lebih lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni 
contoh negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, 
karena Jepang di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan 
fasis, apalagi Rusia adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu 
lanjut Yusril, sengaja ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin 
memeperlihatkan bahwa doktrin politik Islam itu bersifat terbuka untuk 
beradaptasi dengan sistem-sistem pemerintahan yang telah ada di dunia 
ini.
Namun demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan 
demokrasi, perlu dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya 
prinsip musyawarah dalam Islam tidak selalu identik dengan azas 
demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa Islam anti Istiibdad 
(despostisme), anti absolutisme dan kesewenang-wenangan.  Bukan berarti 
bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada keputusan 
majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam yang boleh 
dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam 
(syari’at Islam), bukan dasar negaranya.
Dalam Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang 
memberikan hak kepada rakyat untuk mengkritik dan membetulkan 
pemerintahan yang zalim, kalau perlu menggunakan kekuatan dan kekerasan 
untuk menghilangkannya.
Natsir mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan 
Islam tidaklah menggantungkan semua urusannya kepada instrumen 
demokrasi, menurutnya demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang 
terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari 
abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan 
tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari pelbagai sifat-sifat 
bahaya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu 
paham, suatu begrip sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. 
Intinya “Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam 
itu…yah Islam”.  Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata 
harus didasarkan kepada kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan 
itu tidak dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan 
Tuhan.
Dari uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya 
demokrasi dalam Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia 
memperkenalkan konsep demokrasi yang ia maksudkan,  “Thestic Democracy”,
 yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.  
Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai 
ketuhanan, yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk 
tempat dan zaman tertentu.
Oleh sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat 
ditarik kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat
 dipisahkan, dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi 
negara. kesimpulan tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan 
sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. 
Bagi kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang 
menjadi tujuan, melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah 
dimaksudkan bahwa agama itu cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini 
kepada negara,  bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat 
dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan 
adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan 
dengan perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai 
masyarakat .
Dan pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan 
Natsir boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan
 dengan ajaran Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam
 politik Islam tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak 
seperti agama yang lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar
 yang dapat diterapkan sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di 
atas, Natsir sebagai tokoh muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam 
sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian, Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah
 persatuan atau pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah
 sebagai ukuran” kebenaran terakhir.
Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid
1. Latar Belakang Sosial Politik
Berbeda dengan Natsir, Abdurrahman Wahid lahir dari latar belakang 
kalangan tradisional, sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam 
naungan keluarga ulama. Kakeknya adalah seorang pelopor pesantren 
Tebuireng, Jombang dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus 
Syeikh Hasyim Asy’ari.
Pada saat usia kanak-kanak ia tidak seperti kebanyakan anak-anak 
seusianya, Gus Dur tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut 
bersama kakeknya. Dan saat tinggal serumah dengan kakeknya itulah, ia 
mulai mengenal politik dari orang-orang yang tiap hari hilir mudik di 
rumah kakeknya.
Tahun 1950, Gus Dur dan saudara-saudaranya harus pindah ke Jakarta,  
sebab saat itu bapaknya dilantik menjadi menteri agama Republik 
Indonesia. Sehingga mengharuskannya bermukim di Jakarta. Keluarga Gus 
Dur tinggal di Hotel Des Indes yang sekarang menjadi pusat pertokoan 
Duta Merlin.  Karena kedudukan bapaknya ini pulalah, ia semakin akrab 
dengan dunia politik yang ia dengar dari rekan-rekan ayahnya saat 
bincang-bincang di rumahnya itu. Lagi pula, Gus Dur termasuk anak yang 
sangat peka mengamati dunia sekelilingnya. Maka tak heran menurut 
pengakuan ibunya, “sejak usia lima tahun, dia sudah lancar membaca, dan 
gurunya saat itu adalah bapaknya sendiri”.
Selain membaca buku, Gus Dur mempunyai hobi lain, yaitu: main bola, 
catur, musik, dan nonton film. Di usia yang masih belasan tahun ia sudah
 banyak menghabiskan segala macam majalah, buku, surat kabar. Mulai dari
 filsafat, sejarah, agama, cerita silat, dan fiksi cerita.  Buku-buku 
itu bisa ia dapatkan dari perpustakaan pribadi bapaknya, yang memang 
terdapat berbagai macam buku yang dikoleksinya, baik buku yang 
diterbitkan oleh orang-orang katolik atau non muslim lainnya.
Sementara itu, perkenalannya dengan musik dimulai lewat pertemuannya 
dengan seorang pria Jerman, teman baik bapaknya yang telah berpindah ke 
agama Islam dan dipanggil dengan nama Williem Iskandar Bueller. Dan dari
  sinilah pertama kali Gus Dur tertarik dan mencintai musik klasik, 
khususnya karya Bethoven.
Kegemaran Gus Dur terhadap berbagai hal tersebut, membuat sekolah 
formalnya terganggu, bahkan sampai membuatnya tidak naik kelas di 
sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP). Ini disebabkan sangat 
gandrungnya ia dalam menonton sepak bola dan membaca buku, di samping 
itu juga karena ia masih dalam keadaan sedih karena kehilangan bapaknya 
saat kecelakaan mobil tanggal 18 April 1953.
Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, pada tanggal 4 sya’ban menurut 
penanggalan Islam,  yang kemudian bertepatan dengan tanggal 7 September 
1940 M. Namun demikian perayaan hari kelahirannya selalu diadakan pada 
tanggal 4 Agustus,  hal ini memang aneh, sebagaimana terlihat dalam 
aspek  kepribadiannya yang nyleneh pula, seringkali mengundang 
kontroversial.
Ditilik dari geneologi keluarganya, Gus Dur termasuk dari golongan 
“darah biru” pesantren. Ia merupakan anak dari K.H. Abdul Wahid Hasyim, 
yang ia sendiri merupakan anak dari Hadratu al-Syaikh Hasyim Asy’ari, 
pendiri pesantren Tebuireng, Jombang. Sementara ibunya, bernama Nyai Hj.
 Siti Salekhah yang merupakan anak dari K.H. Bisri Syamsuri, pendiri 
pesantren Denanyar, Jombang. Dan kedua kakeknya itu dikenal sebagai 
Founding Father  NU di samping K.H. Wahab Hasbullah.
Walupun bapaknya seorang menteri dan terkenal di lingkungan Jakarta, Gus
 Dur tidak ingin sekolah di sekolahan elit yang biasanya dimasuki 
anak-anak pejabat pemerintah, ia lebih menyukai sekolah-sekolah biasa, 
menurutnya sekolahan elit membuatnya tidak betah.
Gus Dur memulai  pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SD) KRIS, di  
Jakarta Pusat. Ia hanya mengikuti kelas tiga dan empat di sekolahan ini,
 karena kemudian ia pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari, yang 
terletak di dekat rumah  keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta 
Pusat.
Pada tahun 1953, Gus Dur tamat dari sekolah dasarnya di Jakarta. Lalu 
setahun setelah tamat SD, pada tahun 1954 ia melanjutkan ke Sekolah 
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan berhasil menamatkannya
 pada tahun 1956.  Di kota ini persisnya di desa Kauman, Gus Dur 
bermukim di rumah salah seorang teman ayahnya, Kiai Junaidi, seoarang 
ulama kecil yang terlibat dalam gerakan organisasi Muhammadiyah. Bahkan 
Lebih dari itu, ia juga termasuk anggota Majelis Tarjih (Dewan Penasihat
 Agama Muhammadiyah). Selain itu, Gus Dur juga mengaji tiga kali 
seminggu di pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan 
K.H. Ali Maksum.
Ketika di Jakarta, Gus Dur sudah mampu berbicara bahasa Inggris dengan 
baik dan bisa membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta 
sudah mengerti bahasa Arab tetapi masih pasif. Namun ketika ia belajar 
di kota Yogyakarta, perkembangan bahasanya berkembang cepat.  Bagi Gus 
Dur yang suka membaca buku, Jogja merupakan kota pembawa berkah bagi 
perkembangannya.
Setelah tamat dari SMEP di Yogyakarta pada tahun 1957, Gus Dur mulai 
mengikuti pelajaran pesantren secara penuh, tepatnya di pesantren 
Tegalrejo Magelang, yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. Ia 
belajar di pesantren ini dari tahun 1957-1959 pada Kiai Khudori, salah 
satu pemuka NU.
Kemudian pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke pesantren Tambak beras 
Jombang. Di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah, sampai pada tahun 
1963. Di sini ia sempat mengajar dan menjadi kepala sekolah, namun 
kemudian Gus Dur pindah lagi ke pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal
  di rumah Kiai Ali Ma’shum.  Pada masa-masa itulah (sejak akhir 1950-an
 sampai 1963) Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya 
tentang Islam dan sastra Arab klasik.
Di samping itu, perpindahannya dari Yogyakarta ke Magelang dan kemudian 
ke Jombang, yang dalam proses pertumbuhan dari kanak-kanak menjadi 
remaja, menjadikannya mulai serius memasuki dunia bacaan: tokoh-tokoh 
teori sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Parancis dan Rusia. 
Sebagai seorang remaja ia mulai mencoba memahami tulisan-tulisan Plato 
dan Aristoteles, dua pemikir penting bagi sarjana-sarjana mengenai Islam
 zaman pertengahan.
Pada saat yang sama ia juga tertarik menggeluti karya Das Kapital yang 
ditulis oleh Marx dan What is Tobe Done nya Lenin. Kedua buku itu 
menurutnya gampang diperoleh, karena saat itu partai komunis Indonesia 
membuat kemajuan besar. Di samping itu ia juga tertarik pada ide Lenin 
tentang ketelibatan sosial secara radikal, seperti dalam Infantile 
Communism (kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan) dan dalam Little Res 
Book-Mao (kutipan kata-kata ketua Mao).
Setelah menimba ilmu dari pesantren-pesantren di atas, pada tahun 1964 
Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo 
Mesir, melalui beasiswa Departemen Agama. Saat itu ia sedang berumur 23 
tahun, dan telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab  sebanyak 1000 bait
 (Alfiah)  di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi
 bidang Syari’ah. Namun, ia merasa tidak betah belajar di sini karena 
materi yang diajarkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang ia dapatkan 
di pesantren dulu.
Oleh sebab itu, di Mesir Gus Dur lebih memilih aktif di organisasi 
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia daripada menekuni belajarnya. Dengan 
demikian, sebagian waktunya ia habiskan untuk membaca di perpustakaan 
terkenal di kota itu, American University Library, sebuah perpustakaan 
terlengkap di kota Kairo dan waktu lebihnya ia manfaatkan menonton film.
  Namun demikian bukan berarti Gus Dur kecewa sepenuhnya kepada 
institusi al-Azhar, karena di kota ini ia juga banyak memanfaatkan 
kelompok diskusi dengan para intelektual muda Mesir untuk bertukar 
fikiran, di samping menonton kegemarannya film-film Prancis dan sepak 
bola.
Dari Kairo Gus Dur pindah ke Irak, untuk mengikuti kuliah di Universitas
 Baghdad, Fakultas Sastra, selama empat tahun. Di sini ia banyak belajar
 tentang sastra dan kebudayaan Arab, filsafat Eropa dan teori sosial. 
Menurut pengakuannya ia sangat senang dengan sistem Universitas Baghdad 
ini karena kampus tersebut jauh lebih mirip Eropa daripada al-Azhar 
Kairo, selain itu Gus Dur juga pernah menjadi ketua Perhimpunan 
Mahasiswa Indonesia Timur Tengah dari tahun 1964 sampai 1970.
Di negeri inilah bakat empirismenya tumbuh pesat, lingkungan baru ini 
juga membantunya banyak membaca karya-karya pemikiran seperti pemikiran 
Emile Durkhim. Minatnya tentang Indonesia juga mulai tumbuh di 
Universitas tersebut, sebab referensi buku tentang Indonesia cukup 
banyak tersedia di sana. Dan akhirnya di univesitas Baghdad ini pulalah 
ia diminta untuk meneliti asal-usul historis Islam di Indonesia.
Lalu pada tahun 1971, Gus Dur melanjutkan petualangannya ke negeri  
Eropa dengan harapan bisa belajar di salah satu universitas di sana, 
tetapi harapan ini sukar terwujud, karena background studinya di Kairo 
dan Baghdad tidak diakui di Eropa. Ia juga sempat bermaksud pergi ke 
McGill Univesity di Kanada, untuk belajar program studi Islam yang 
sangat diseganinya. Tapi tidak kesampaian karena ia lebih memilih balik 
ke Indonesia.   Tetapi, kemudian ia memutuskan untuk tetap tinggal di 
Indonesia saja, sebagian karena diilhami oleh berita-berita perkembangan
 baru dunia pesantren yang menggembirakan.
Setelah itu, akhirnya Gus Dur kembali lagi ke Indonesia dan kehidupan 
pesantren. Pada tahun 1972-1974, ia menjadi dosen dan dekan Fakultas 
Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY), yang sekarang menjadi
 Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA), Jombang. Kemudian dari tahun
 1975-1979, ia menjadi sekretaris umum pondok pesantren Tebuireng, 
Jombang.
Selama periode ini, Gus Dur juga banyak terlibat dalam kepemimpinan 
nasional NU. Sampai akhirnya pada tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta, dan 
mengawali kariernya di PB NU sebagai katib awal Syuriah NU, dan menjadi 
dosen IAIN Syarif Hidayatullah, sebelum akhirnya mendirikan Pesantren 
Ciganjur, di Jakarta Selatan.  Selain itu, ia juga banyak terlibat dalam
 berbagai proyek dan aktivitas di Jakarta termasuk mengajar di dalam 
program pelatihan bulanan kependetaan Protestan.
Setelah menetap di Jakarta, secara teratur ia melakukan kontak dengan 
intelektual muslim progresif di Jakarta, seperti Nurcholish Madjid dan 
Djohan Effendi untuk ikut bergabung dalam forum diskusi dan lingkaran 
studi mereka. Meskipun latar belakang pendidikannya berbeda, akan tetapi
 Gus Dur jauh lebih siap untuk menggagas wacana agama yang bercorak 
liberal.
Rentetan petualangan pendidikannya di atas, telah menjadikannya sebagai 
tokoh intelektual yang berfikiran liberal, longgar dan moderat. Bahkan 
menurut Greg Barton, meskipun Gus Dur tidak pernah menempuh pendidikan 
formalnya di Barat, akan tetapi sikap dan pemikirannya jauh lebih siap 
untuk berpartisipasi dalam wacana-wacana besar mengenai pemikiran Barat,
 pendidikan Islam dan masyarakat muslim. Selain belajar secara otodidak,
 studinya di Baghdad juga banyak memberikan dasar-dasar yang baik 
mengenai wacana liberal yang bercorak Barat dan sekular.
Karena sikap liberal, progresif dan inklusif inilah, kemudian ia diberi 
kepercayaan untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 
pada tahun 1982-1985. Ia juga pernah menjadi juri pada Festifal Film 
Indonesia, yang saat itu masih dianggap tabu oleh kaum santri (NU).  
Sikap dan pemikiran Gus Dur semakin liberal dan progresif  ketika 
dipercaya menjabat ketua PBNU pada tahun 1984,  hal ini bisa dilihat 
dari gagasan-gagasannya,  seperti Pribumisasi Islam, orang-orang non 
muslim menjadi presiden Indonesia, rukun tetangga (sosial), dan lain 
sebagainya.
Kemudian dari tahun 1985 hingga 1990 ia berkhidmat dalam Majelis Ulama 
Indonesia (MUI), dan sejak tahun 1994 ia menjadi penasehat International
 Dialogue Foundation on Perspective Studies of Syari’ah and Secular Law,
 di Den Haag.
Namun sebelumnya dalam periode yang sama tahun 1993, Gus Dur dinobatkan 
sebagai seorang yang layak menerima piagam “Ramon Magsasay” dan hadiah 
senilai 50.000 dollar AS, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan 
pada tokoh Asia karena dinilai telah memberi kemajuan yang khas bagi 
bangsanya.  Bersamaan pada periode itu,  Gus Dur juga terlibat dalam 
aktivitas-aktivitas sosial, seperti LSM Fodem (Forum Demokrasi), di sini
 ia menjabat sebagai ketuanya.
Karena kritik politiknya terhadap kediktatoran negara dan 
gagasan-gagasannya yang berkaitan dengan demokrasi, pluralisme agama, 
kebebasan berpendapat, dan pribumisasi Islam, telah mendapat respon dari
 kalangan luas (sejak tahun 1980-an sampai 1990-an), maka tidak aneh 
saat reformasi 1998 terjadi, ia dijuluki sebagai salah satu tokoh 
pembawa gerbong reformasi.
Akhirnya pada tahun 1998 pasca reformasi, Gus Dur yang saat itu masih 
aktif menjabat ketua umum PBNU mendirikan sebuah Partai Kebangkitan 
Bangsa (PKB), pada tanggal 23 Juli 1998, dengan menyatakan bahwa PKB 
bukanlah Partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara 
sekuler.  Dengan dukungan PKB dan Partai-Partai Islam yang dinamakan 
“poros tengah” saat itu, telah berhasil mengantarkannya pada kursi 
kepresidenan pada tahun 1999 di masa reformasi ini.
Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, dengan cara yang sangat demokratis
 telah mengangkat citra kelompok santri dalam percaturan politik 
nasional, yang sebelumnya seringkali dimarginalkan. Namun sayang masa 
pemerintahan Gus Dur harus berhenti di tengah jalan pada tanggal 23 Juli
 2001 secara inkonstitusional karena sikap politiknya yang mengundang 
banyak kritik, dari pengamat dan lawan politik yang mengantarkannya  
dulu.
Cara pemberhentian ini benar-benar menyakiti kalangan santri, yang 
kemudian membuat mereka terpaksa kembali menelan kepahitan politik di 
awal sejarah reformasi ini. Namun yang menjadi cukup menarik setelah ia 
dijatuhkan dari kepresidenan, Gus Dur kembali membuat geger masyarakat 
muslim dengan menerima penobatan sebagai anggota kehormatan Legium 
Kristus pada 28 Januari 2002 di Tataaran Tonando, Minahasa, Sulawesi 
Utara.  Dan mengenai peran Gus Dur di PKB saat ini (tahun 2003-2004), ia
 masih menjabat sebagai ketua Dewan Syura partai tersebut.
2. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.
Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting 
dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan 
review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan 
bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat 
dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan 
antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang 
menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus
 Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya 
kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi
 dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru 
akan memicu disintegrasi yang berbasis sekretarian dan konflik 
horizontal.
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.
  Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah 
Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit 
dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun 
T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks 
sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar 
inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi 
nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam 
sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana 
suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama 
sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang 
berbeda satu sama lain,  padahal pengangkatan seorang kepala negara 
merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, 
menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan 
memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin 
memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat
 yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum
 alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan 
sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi 
komplementer dalam kehidupan negara.
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang 
intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal 
ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di 
kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara 
yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama 
merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak 
boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan 
keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah 
agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks  
protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan 
nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur,
 merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di 
negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme 
sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain 
menjadi warga negara kelas dua.
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur 
dikategorikan dalam aliran neo-modernis.  Ini dikarenakan 
gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah 
pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya
 saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya 
dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu 
ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah
 pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an 
sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam 
kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan 
menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu 
secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa 
Pancasila  dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, 
sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas 
berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan
 bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya 
masing-masing”.
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila  negara
 Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus 
kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila  ini akan saya pertahankan 
dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan 
bersenjata, dimanipulasi umat Islam,  atau malah disalahgunakan oleh 
keduanya.
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena 
pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar 
Pancasila  yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap 
hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila  saat itu 
telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan 
sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila ,
 seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola 
Pancasila .
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu 
menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum
 nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq, 
berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa 
Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan 
perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan
 nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama
 dan pandangan hidupnya.
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional 
agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi 
tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at 
Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam 
kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas 
kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi), 
bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat 
diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen 
masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alati 
Imka>niyyah Wad‘ihi).
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila  sebagai 
ideologi negara  harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang 
terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya 
(al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem 
pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa 
(nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai 
dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa 
al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m 
as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun 
(Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan 
ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh 
pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang 
menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. 
Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa 
‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial 
kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah 
negara karena adanya perasaan kebangsaan.
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai 
penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak 
aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, 
sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas  penduduk di negara ini.
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan 
politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang 
mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif 
berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima 
Pancasila  sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang 
lalu.
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua
 pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam 
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai 
dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam.  Dan 
kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor
 komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara 
penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan 
sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan 
dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama 
tujuan masih tetap, maka cara penyampaian  menjadi masalah sekunder, dan
 yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang 
memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan 
tertentu.  Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya  
dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah,
 pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari 
norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.  Selama kaum muslim
 dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka 
bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang 
dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan 
tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. 
Lebih lanjut, Pancasila  dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa 
yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: 
Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.  Dan 
Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan 
yang berideologikan Pancasila  ini, bisa dikategorikan dalam negara 
damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali 
menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang
 menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah 
itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik 
atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di 
mata hukum fiqih.
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam 
Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.  
Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang 
sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur  
sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah 
bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat  
ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam 
dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat,
 baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap
 memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai 
tuduhan minor lainnya.  Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan 
tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur 
adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana 
para pengikutnya tidak mau ikut.  Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, 
menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya 
yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, 
maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand 
theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu 
ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun
 yang indikatif  terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala 
resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai 
Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh 
segala “kegamangan teologis” apapun.
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur 
semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan 
fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak 
pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan 
dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan 
sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik 
dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, 
keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih 
sering menggunakan ideologi Pancasila  daripada Islam dalam melegitimasi
 partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci 
politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan
 pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.
Bagi Gus Dur Pancasila  adalah ideologi nasional yang esensial untuk 
mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk
 disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila  sebagai 
ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan
 bahwa  ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga 
sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya 
terhadap Pancasila  dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau 
terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 
1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali 
menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke 
khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk
 memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan 
keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. 
Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan 
menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu 
pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan 
Pancasila  untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun
 1970-an dan awal tahun 1980-an.
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang 
relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus 
Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres
 No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. 
Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut 
Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada
 masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan 
Kepres No. 6 tahun 2000.
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS 
XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, 
Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan 
sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide 
pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa 
kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita
 politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni 
adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam 
Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power 
negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu 
melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana 
tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam 
(PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta”  untuk 
dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen 
1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya 
kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan 
politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal
 pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama,  Gus Dur 
selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam 
menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran
 pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin 
menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari 
pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat 
secara egaliter di hadapan negara. Karena  pengistimewaan agama tertentu
 dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai 
demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama 
masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi
 kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama 
sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur 
mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana
 membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang
 mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh 
dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui 
tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak 
bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak 
masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat 
dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai 
mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi 
pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
A. Persamaan.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab III, bahwa gambaran kedua 
tokoh di atas sangat diperlukan untuk menganalisa pemikiran keduanya. Di
 antaranya mengenai latar belakang kehidupan, karier politik, dan  
organisasi yang menjadi dapur pertama pemikiran politiknya. Selain itu 
ulasan tersebut, setidaknya dapat dijadikan pertimbangan sebelum 
menempatkan atau mengklaim kedua tokoh tersebut dalam kategori aliran 
tertentu.
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa M. Natsir sebagai 
Prototype modernisme Islam dan Gus Dur sebagai neo-modernisme Islam, 
telah banyak mewarnai sejarah perpolitikan Indonesia. Terlepas dari itu,
 perlu diakui bahwa perdebatan Islam dan negara sudah lama terjadi, 
sejak dasawarsa 1930-an antara M. Natsir dan  Soekarno, yang kemudian 
dalam situasi itulah Islam menapaki langkah-langkah yang boleh dibilang 
idealistik atau formalistik. Singkatnya, gerakan ini ingin menjadikan 
Islam sebagai ideologi negara.
Situasi inilah yang mendorong aktivis dan pemikir Islam generasi kedua 
pada tahun 1970-an, yang kemudian dinamakan Islam kultural. Dalam 
pandangan kelompok ini, Islam politik merupakan sesuatu yang sulit 
dijual, karena masih kuatnya trauma politik yang membekas antara aktivis
 politik Islam dengan negara. Oleh sebab itu kalangan ini lebih memilih 
garapan transformasi sosial, dengan menawarkan Islam yang sesuai dengan 
konteks Indonesia dan tidak begitu ideologis.
Meskipun keduanya hidup pada masa yang tidak bersamaan, tetapi pemikiran
 politik kedua tokoh tersebut masih tetap mewarnai panggung politik 
Indonesia sampai saat ini. Yang kemudian terpolarisasi pada kelompok 
modernis dan neo-modernis.
Dalam diskursus kaum modernis, ada dua faktor yang telah disepakati 
sebagai penyebab kemunduran dunia Islam.  Pertama, secara internal, 
praktik-praktik keagamaan umat Islam telah banyak yang menyimpang dari 
ajaran Islam yang asli, al-Qur’an dan Hadits, yang kemudian menyebabkan 
umat Islam mengalami kemunduran, oleh sebab itu pembaharuan doktrin 
Islam sangat diperlukan. Kedua, peradaban Barat sekular yang mulai masuk
 dalam percaturan peradaban Islam, dianggap sebagai faktor lain 
(eksternal) yang dominan menyebabkan kemuduran dunia Islam.
Di Indonesia Gerakan modernis ini termanifestasikan dalam beberapa 
organisasi, seperti Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad dan Sarekat Islam, 
sebuah organisasi yang mengedepankan motif gerakan  kembali ke al-Qur’an
 dan Hadis, yang menurutnya sebagai sumber ilmu yang otentik, abadi dan 
akan tetap relevan dengan perubahan zaman dan tempat. (S{a>lih} 
Likulli Zama>nin wa Maka>nin).
Dengan demikian pemikiran-pemikiran politik kaum modernis Islam banyak 
diwarnai oleh idiom-idiom al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya doktrin 
kembali ke al-Qur’an dan Hadis di atas, merupakan rintisan yang tepat 
dengan realitas politik Islam saat itu, hanya saja doktrin tersebut 
kemudian terkontaminasi dengan sikap anti Barat yang rigid dan akhirnya 
melahirkan pemikiran normatif dan cenderung apologetik, misalnya dengan 
menawarkan sistem ekonomi Islam dan negara Islam sebagai alternatif 
menghadapi Barat.
Dalam diskursus politik Islam (al-Fiqh as-Siya>syi), upaya untuk 
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah :
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ 
Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai 
landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum 
aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah 
itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat 
mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, 
maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. 
Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau 
dalil-dalil umum nash.
Teori kemaslahatan inilah yang kemudian dijadikan pisau analisis oleh M.
 Natsir dan Gus Dur dalam memecahkan persoalan hubungan Islam dan 
negara. Dan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran kedua 
tokoh tersebut, memang perlu diawali dari teori ini.
Ada beberapa persamaan dari kedua tokoh tersebut dalam merespon hubungan
 Islam dan negara. Dan yang pasti secara esensial kedua tokoh tersebut 
sepakat bahwa tujuan diterapkannya demokrasi di negeri ini adalah untuk 
mencapai kemaslahatan bersama dan keadilan yang merata bagi umat 
manusia.
Dalam sejarah politik Indonesia, M. Natsir dan Gus Dur dikenal sebagai  
pemikir muslim yang sekaligus praktisi politik terkemuka di negeri ini, 
keduanya sama-sama mempunyai komitmen untuk menjadikan Islam sebagai 
agama pembebas yang membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi 
dan diskriminasi
Sedangkan sisi persamaan yang dominan antara M. Natsir dengan Gus Dur 
dalam membangun relasi Islam dan negara adalah pengakuan mereka tentang 
tidak adanya sistem politik yang rigid dalam Islam sebagaimana yang 
telah ada dewasa ini, dan bagi mereka yang ada dalam Islam hanyalah 
prinsip dasar berbangsa dan bernegara, seperti musyawarah, keadilan, 
persamaan, kebebasan, dan kebersamaan.
Menurut Natsir, dalam kenegaraan, Islam hanyalah mengatur dasar dan 
pokok-pokokmya saja seperti yang dinyatakan di atas, maka dari itu dalam
 membangun sebuah negara M. Natsir banyak menggunakan syarat-syarat 
sebuah negara modern, di antaranya harus mempunyai wilayah, rakyat, 
Pemerintah, Kedaulatan, Undang-Undang Dasar atau sumber hukum atau 
kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Masih dalam konteks yang sama, Gus Dur juga menyatakan secara tegas 
bahwa Islam tidak memberi konsep yang jelas untuk membangun sebuah 
negara, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan 
negara. Secara historis juga telah terbukti bahwa dari keempat khalifah 
 sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang 
berbeda satu sama lain,  ini menunjukkan bahwa Islam memang tidak 
mempunyai mekanisme baku sebuah suksesi, padahal pengangkatan seorang 
kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Oleh sebab itu, sistem demokrasi menurut kedua tokoh tersebut merupakan 
sistem yang paling realistik untuk mewujudkan terbentuknya suatu 
masyarakat yang adil, egaliter dan manusiawi sebagaimana yang 
dicita-citakan Islam. Karena dengan adanya nilai-nilai dasar di atas 
Islam bisa dikatakan sebagai agama pembebas sepenuhnya kompatibel dengan
 aturan demokrasi.
Mengenai tipologi pemikiran kedua tokoh tersebut, memang tidak 
sepenuhnya murni sebagaimana yang telah penyusun tempatkan, sebab 
walaupun Yusril mengkategorikan Natsir sebagai kalangan modernis, akan 
tetapi tidak jarang pendapat-pendapat Natsir yang mengarah pada faham 
fundamentalisme, menentang pemisahan agama dan negara. Begitu juga 
dengan pemikiran Gus Dur, yang menurut Greg Barton seringkali terkesan 
sekuler , namun juga terkadang terlihat konservatif dalam wacana 
keislaman yang lain.
Sebagaimana Abduh, M. Natsir menganggap sumber kekuasaan bagi 
pemerintahan adalah rakyat. Karena itu, demokrasi yang berdasarkan 
doktrin kedaulatan rakyat diterima secara terbuka, akan tetapi bukan 
berarti ia menerima konsep sekulerisme sebagaimana yang inheren dalam 
sistem demokrasi Barat. Oleh sebab itu ia menawarkan sebuah konsep 
thestic democracy, yaitu demokrasi yang sesuai dengan prinsip tauhid.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsep demokrasi ini ditujukan untuk 
 menetapkan hak-hak dan kewajiban timbal balik antara rakyat dengan 
penguasa, dan sistem yang ada harus mampu menegakkan keadilan, 
kebebasan, persamaan sebagaimana yang dituntut oleh Islam secara 
radikal.
Menurutnya, Syari‘ah sebagai suatu sistem hukum terpadu dan lengkap 
hanya bisa dilaksanakan apabila ada suatu otoritas yang melakasanakan 
penerapan (law enforcement), sehingga pelaksanaan Syari‘ah memerlukan 
dukungan kekuasaan politik, yaitu negara. Dengan demikian tujuan pertama
 didirikannya negara demokrasi adalah untuk menjaga  dan melindungi 
Syari‘at itu sendiri.
Sedangkan Gus Dur ingin menegakkan demokrasi yang seutuhnya, artinya 
tidak ada tendensi agama yang melekat pada konsep ini. Dengan demikian 
ada perbedaan yang sangat mendasar mengenai paradigma dalam 
memperjuangkan konsep demokrasi, meskipun keduanya sama-sama menerima 
demokrasi secara terbuka.  Dan sebenarnya sikap ini sudah jelas terlihat
 di atas, bagaimana reaksi dan sikap keduanya dalam memandang Pancasila 
 di negeri ini.
Atas dasar pemahaman, Islam mempunyai prinsip-prinsip dasar dalam 
berbangsa dan bernegara, maka keduanya sepakat untuk menjadikan 
demokrasi sebagai sistem yang paling rasional untuk negara republik ini.
 Terlepas bagaimana cara kedua tokoh itu dalam memperjuangkannya.
B. Perbedaan.
Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam 
memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua 
hal. Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan 
antara agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi
 demokrasi dan ideologi Pancasila  sebagai dasar negara di Indonesia 
ini.
Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan 
tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya 
sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan 
sikap yang  hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis 
mengakui  adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak 
menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, 
tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.
Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan 
bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan 
adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia 
telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak 
La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di 
samping itu Pancasila  adalah hasil penggalian dari masyarakat.
Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa 
dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat 
dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis 
mutualisme. Baginya,  negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti  
negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai 
kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, 
yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun 
masyarakat secara kolektif.
Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi 
pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama
 berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap 
Pancasila  dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa.  
Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis.
Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat 
gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama 
terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk 
memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu, 
seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya 
hanya akan menciptakan diskriminasi agama.
Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang 
sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana 
terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip
 pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus 
Dur, Pancasila  sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks 
demokrasi dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun 
ia merupakan hasil ijtihad manusia.
Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep 
paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir, 
Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi 
yang cocok bagi Indonesia  adalah demokrasi yang tidak meninggalkan 
nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas
 yang berpedoman pada ketuhanan.  Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku 
tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi 
(saringan) terhadap Barat.
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk 
berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan 
politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan 
menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan
 seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.
Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu 
kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan 
dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan 
manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan
 Tuhan (Syari‘ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi 
patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan 
oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada 
hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita 
tegakkan di negeri ini,  karena akan menjadikan mereka yang tidak 
memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan 
haknya dalam memperoleh  keadilan sesama dalam bernegara.
Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam
 Islam, yaitu: 1) Ta‘a>ruf (saling mengenal); 2) Syu>ra 
(musyawarah); 3) Ta‘a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah (menguntungkan 
masyarakat); 5) ‘Adl (adil); dan 6) Tagyir (perubahan).
Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi 
keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam 
birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan 
syari’ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru 
sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara 
terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari’ah di 
negara ini.
Berbicara mengenai Syari‘ah, terdapat berbagai macam pemahaman.  Menurut
 terori klasik, Syari‘ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan 
bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.  Sedangkan dalam 
al-Qur’an kata Syir‘ah atau Syari‘ah dimaknai agama,  baik sebagai jalan
 lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia 
atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad 
S.A.W. ditanya tentang syari’at Islam, beliau menjelaskan tentang 
sholat, zakat, puasa, dan haji.
Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari‘ah pada masa nabi 
Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran 
Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah yang telah diyakini 
kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan 
Syari‘ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi 
masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai 
kebahagian mereka di dunia dan akhirat.
Berdasarkan definisi Syari‘ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih 
menyatakan bahwa Syari‘ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, 
karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap 
ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut.
Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama.  Imam 
Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma‘rifat al-Nafsi 
ma>laha wa ma> ‘alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan 
kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek 
kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.
Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi’iyyah terkemuka dalam bukunya 
al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu 
tentang hukum-hukum syari’ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci
 (‘adilah tafs}iliyyah),  selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih 
adalah ilmu tentang perintah-perintah syari’ah dalam masalah khusus yang
 diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan 
dalil (process of reasoning).
Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan 
fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan 
kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai 
wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan 
merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu 
harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah 
fiqihnya bahwa “seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan 
kepentingan seluruh warga negara”.
Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan 
kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga
 mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung 
idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan 
konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep 
tauhid.
Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian 
menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu 
Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama 
Syari‘ah, al-Qur’an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah
 intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun 
Qawa>‘id al-Fiqhiyyah.
Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup 
mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa 
kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini
 melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur 
dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang 
dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak 
diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.
Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi 
aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di 
Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon 
intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum 
menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan 
diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama
 secara eksklusif.
Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan 
kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, 
dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. 
Secara teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar 
argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari‘ah  yang absolut, 
al-Qur’an dan sunnah.
Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada
 masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon 
tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya 
tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru,
 seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam 
saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat 
sebagai proses kontinuitas.
Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi 
mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>‘id al-Fiqh  
transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung 
dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang 
mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti 
apa yang tertulis dalam Qawa>‘id al-Fiqh.
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح 
Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai 
upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,  yaitu:
درء المفا سد مقدم على جلب المصالح 
الحاجـﺔ تـنزل منزل الضرورة 
الضرورة تبيح المحظورة 
Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok 
modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan 
lewat mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun 
melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab 
tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem 
kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan 
menjurus ke situasi traumatik di masa depan.
Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi 
ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas 
menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas 
deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas 
kesejarahan 7) asas pluralitas.  dan asas konvergensi.
 dan asas konvergensi.
Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan 
bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi
 Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat
 dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular, 
sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular,  
memisahkan agama dan negara,  tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai
 agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.
Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam 
menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila  merupakan
 hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan 
tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa 
Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai 
ideologi negara daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini 
masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.
Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus 
Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa 
pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial 
politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian 
melahirkan  klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. 
Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.
PERSAMAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang 
membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi.
2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi.
3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan 
realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi
 sebagaimana yang diidealkan Islam.
4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.
5. Penggagas dan pendiri partai politik.
PERBEDAAN PEMIKIRAN
M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID
Perbedaan tentang M. Natsir Gus Dur
1. Basis pendidikan
2. Dasar paradigma pemikiran
3. Sifat pemikiran
4. Tipologi aliran   pemikiran
5. Pandangan terhadap sistem nilai Islam
6. Sikap terhadap sekularisasi
7. Negara demokrasi yang dicita-citakan
8. Tujuan membela demokrasi
9. Pluralisme yang diterima
10. Penerapan ideologi Pancasila
11. Partai yang diperjuangkan
12. Fungsi politik
Pendidikan modern
Al-qur’an dan Hadits.
Islam ideologis
Modernisme
Islam sebagai sumber hukum yang lengkap
Negatif (menolak dengan tegas)
Thestic Democracy (Demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan)
Untuk melindungi Syari’ah
Pluralisme eksklusif
Menolak
Partai Islam
Gerakan dakwah Pesantren tradisional
Konsep Fiqih Transformatif
Islam kultural
Neo-modernisme
Islam hanya salah satu unsur dalam bangunan kebangsaan yang ada
Afirmatif
Negara demokrasi yang utuh dan tidak ada unsur fundamentalismenya
Untuk melindungi pluralitas
Pluralisme inklusif
Menerima secara terbuka
Partai sekular
Gerakan moral
C. Implikasi.
Pemikiran-pemikiran M. Natsir dan Gus Dur yang berkaitan dengan wacana 
relasi Islam dan negara di atas, sudah pasti semakin menambah  khazanah 
pemikiran politik Islam di negara kita. Dan tentunya, 
pemikiran-pemikiran tersebut membawa implikasi besar terhadap  kehidupan
 politik masyarakat Indonesia, khususnya bagi generasi muslim 
selanjutnya.
Untuk lebih jelasnya, penyusun akan membagi implikasi pimikiran kedua 
tokoh tersebut menjadi dua aspek, yaitu implikasi yang bersifat 
institusional (Institusional Implication) dan implikasi personal 
(Personal Implication). Pertama, implikasi institusional, aspek ini 
lebih mengarah pada pemikiran suatu lembaga organisasi atau partai 
politik saja, baik itu partai yang mereka pimpin sendiri atau bukan. 
Kedua, implikasi  personal, yang berarti pemikiran mereka tidak hanya 
berimplikasi pada sebuah partai saja, tetapi juga terhadap  praktik dan 
pemahaman masyarakat dalam bernegara. Khususnya bagi generasi pemikir 
politik masa sekarang.
Peran politik Natsir mulai diperhitungkan oleh khalayak umum, sejak 
keterlibatannya dalam pembentukan partai Islam yang pertama kali di 
Indonesia, Masyumi, sebuah partai Islam yang berhasil mengantarkannya ke
 kursi birokrasi negara. Sebenarnya, keaktifan Natsir di partai ini 
sudah jelas menunjukkan bahwa manuver dan pemikirannya memang bersifat 
idealistik.
Kegigihannya dalam memperjuangkan Islam melalui dakwah politiknya, 
banyak mengundang simpati para kalangan modernis Islam Indonesia. 
Manuver dan pemikiran politiknya sampai saat ini masih tetap mendapat 
tempat istimewa di kalangan generasi muslim modernis abad 20-an ini, 
bahkan lebih dari itu, tampaknya generasi yang terinspirasi ini, tidak 
hanya mengaguminya namun juga mengembangkan ide dan perjuangan 
politiknya melalui gerakan dan partai Islam yang sama sekali baru.
Implikasi Pemikiran M. Natsir
Dari sisi institusional, ide-pemikiran M. Natsir ini sangat mempengaruhi
 karakter partai dan organisasi muslim modernis Indonesia, di antaranya 
Masyumi, Parmusi (Partai Muslim Indonesia), PBB dan DDII. Dalam 
pandangan Natsir dakwah merupakan sarana yang cukup efektif dalam 
memperjuangkan ajaran dan kepentingan politik umat Islam Indonesia, 
bahkan ia menganjurkan umat Islam untuk menggunakan politik sebagai 
media dakwah umat.
Pemikiran-pemikiran Natsir disambut baik oleh kalangan modernis muslim 
Indonesia, sebab spirit pesan yang disampaikannya sama-sama bertujuan 
mengembalikan kejayaan Islam, yakni dengan cara menerapkan pembaharuan 
pemikiran-pemikiran Islam klasik dan kemudian dipadukan dengan 
perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada zaman orde lama, pemikiran Natsir banyak mempengaruhi visi dan 
strategi partai politik Masyumi yang dibubarkan Soekarno, selain 
disebabkan keterlibatannya sebagai pendiri yang sekaligus pemimpin 
partai selama 5 kali berturut-turut. Ia juga tertarik lantaran platform 
partai ini sangat cocok dengan ide perjuangannya yang menurutnya sebagai
 representasi kelompok Islam. Dan salah satu cita-cita partai yang 
sesuai dengan ide pemikirannya yaitu  mentransformasikan hukum Islam 
menjadi hukum nasional.
Sebagai tokoh politisi Islam modernis, ia mencoba memadukan ilmu 
pengetahuan modern dengan ajaran-ajaran Islam yang kemudian 
diaplikasikannya sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Keinginannya
 untuk memasukkan nilai-nilai dasar Islam dalam institusi negara inilah 
yang kemudian menggerakkannya untuk tetap konsisten mempertahankan dan 
memperjuangkan misi partai Islam yang bercorak modern di atas (Masyumi).
Tampak jelas, bahwa cita-cita dan pemikiran Natsir mempunyai pengaruh 
yang besar terhadap misi perjuangan partai Islam ini. Meskipun partai 
Masyumi sebelumnya merupakan partai Islam yang terdiri dari berbagai 
aliran Islam (fundamentalis, tradisionalis dan modernis), namun pada 
perkembangan selanjutnya partai ini lebih didominasi oleh 
pemkiran-pemikiran kelompok Islam modernis.
Selanjutnya pada masa orde baru, politik Islam masih saja menemui jalan 
buntu. Selain dibatasi ruang geraknya, ia juga ditempatkan sebagai 
kelompok yang berhaluan ekstrem kanan  serta dinilai berpotensi 
melahirkan kekacauan nasional karena berupaya mendirikan negara Islam di
 tengah masyarakat yang plural, sehingga pada proses selanjutnya politik
 Islam seringkali menerima intimidasi, pengekangan dan pengkebirian hak 
politiknya oleh negara.
Sikap negara yang memusuhi politik Islam ini, tampaknya membuat mantan 
aktivis Masyumi harus memilih jalan lain, yakni dengan membentuk sebuah 
partai politik yang sama sekali baru, tetapi idealisme dan semangat 
Masyumi diharapkan tetap mengalir di dalamnya. Akhirnya dengan jalan 
penuh liku negara mengizinkan pembentukan partai ini, asalkan pemimpin 
dan penggiat partai Masyumi dicoret dari daftar kepemimpin, sehingga 
pada tanggal 20 Februari 1968 lahir “Partai Muslimin Indonesia” 
(Parmusi) di bawah pimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun, dua 
pegiat terkemuka dari Muhammadiyah.
Selain di Masyumi dan Parmusi, pemikiran M. Natsir juga masih banyak 
mempengaruhi peta politik Islam saat ini, khususnya PBB (Partai Bulan 
Bintang). Partai ini bukan hanya lahir karena dorongan eforia politik 
pasca reformasi 1998, akan tetapi juga mempunyai perjalanan sejarah yang
 lebih panjang, yakni dari masa politik orde lama, orde baru dan sampai 
sekarang masa reformasi.
Sejatinya secara historis, embrio lahirnya partai ini telah dirintis 
oleh tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti Dr. H. M. Natsir, K.H. Masykur,
 K.H. Rusli Abdul Wahid dan Prof. Dr. H.M. Rosjidi yang sebelumnya 
bergerak dalam satu wadah  yang dinamai dengan Forum Ukhuwah Islamiyyah 
(FUI). FUI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1989, pendiriannya 
dilatarbelakangi oleh keprihatinan para pemuka muslim tersebut, atas 
gencarnya gerakan tans}iriyyah (kristenisasi) dalam merongrong akidah 
umat Islam Indonesia selama rezim Orde Baru berkuasa.
Pada mulanya Partai Bulan Bintang akan diberi nama “Partai Politik Islam
 Masyumi” oleh tim perumus partai ini. Namun keinginan itu diurungkan 
karena beberapa alasan. Pertama, tokoh-tokoh Masyumi di masa lalu 
dikenal integritas pribadinya yang tak tebantahkan, sehingga generasi 
baru yang akan memimpin partai ini dikhawatirkan akan sangat berat 
menanggung beban  moral apabila tidak mampu menjaganya, dan akibatnya 
akan mencoreng nama baik Masyumi. Kedua, selama ini penyebutan keluarga 
besar Bulan Bintang pun identik dengan keluarga Masyumi.
Dari uraian-uraian tersebut bisa dipahami, bahwa pemikiran M. Natsir 
secara institusional mempunyai implikasi besar terhadap pembentukan 
partai-partai Islam di atas, di antaranya Masyumi, Parmusi, dan PBB. 
Meskipun masih banyak organisasi lain yang juga terpengaruh oleh 
pemikirannya, seperti DDII, FUI, Persis dan lain sebagainya.
Di antara implikasi yang sangat menonjol dari partai-partai Islam itu 
adalah semangat juangnya yang selalu menjadikan prinsip-prinsip 
Universal Islam itu sebagai rujukan dalam memecahkan masalah-masalah 
masyarakat dan negara seperti kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi, 
sistem kenegaraan, dan simbiosisme antara agama dan negara dan 
seterusnya. Selain itu labelisasi Islam sebagai asas partai ini tidak 
pernah mereka tinggalkan.  Sehingga tidak aneh kalau kelompok ini sangat
 kritis dan selektif terhadap pemikiran Barat, sebagaimana yang 
ditunjukkan Natsir sebelumnya.
Sedangkan dari aspek personal, pemikiran Natsir ini juga cukup 
berpengaruh pada generasi intelektual muslim Indonesia zaman sekarang. 
Ini terlihat dalam pemikiran-pemikiran tokoh muslim modernis seperti 
Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Yusril Ihza Mahendra. Meskipun tidak 
sepenuhnya mereka sama dalam memahami relasi Islam dan negara, akan 
tetapi ada masalah-masalah tertentu yang membuat mereka terkesan 
Natsiris dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasannya.
Sebagai tokoh pembaharu Muhammadiyah, Amien Rais sangat apresiatif 
dengan pemikiran-pemikiran Natsir sepanjang sejarah perpolitikan bangsa 
ini, baik itu yang berkaitan dengan masalah kenegaraan maupun keagamaan.
 Apalagi mengingat figur tokoh Islam Indonesia yang sangat dikagumi 
Amien ketika muda adalah M. Natsir, oleh sebab itu tidaklah berlebihan 
kalau Cak Nur mengatakan : “Dia itu sangat Natsiris”.  Ini terlihat dari
 sikap kritisnya terhadap Barat dan kecintaannya terhadap umat Islam.
Lebih khusus, Amien cenderung anti terhadap Orientalisme dan 
sekularisme. Dalam analisanya, umat Islam dunia sengaja dipisahkan dari 
ajaran-ajarannya oleh hegemoni Barat, yakni dengan cara imprerialisme 
baru, melakukan proses peng-alienasian masyarakat Islam dari agamanya 
dan  meracuninya dengan pemikiran-pemikaran Barat (Westoxication), yang 
mengakibatkan umat Islam terjangkit penyakit Westomania, sejenis 
penyakit jiwa yang menganggap Barat adalah segala-galanya.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa antara agama dan negara adalah saling 
bersatu yang berarti satu sama lainnya tak bisa dipisahkan, oleh sebab 
itu ia dengan tegas menolak ide sekularisme, baik itu sekulerisme 
moderat ataupun radikal. Dari uraian-uraian tersebut tampak jelas bahwa 
pengaruh Natsir dalam pemikiran Amien sangatlah besar.
Berbeda dengan Nurcholis Madjid, yang justu menggagas wacana sekularisme
 di tahun 1980-an. Namun demikian, sewaktu muda Cak Nur juga pernah 
menyandang gelar sebagai  “Natsir Muda”. Hal ini disebabkan inovasi 
pemikirannya yang dirasa sesuai oleh kaum Islam modernis yang lebih tua 
saat itu,  bahkan selama masih menjadi mahasiswa Cak Nur secara luas 
dianggap sebagai generasi penerus spritual M. Natsir.
Selain Amien Rais dan Nurcholis, Yusril Ihza Mahendara juga sangat 
dikenal sebagai kader penerus gagasan-gagasan M. Natsir. Ini terlihat 
bagaimana ia memperjuangkan aspirasi partai yang dipimpinnya, yakni PBB 
(Partai Bulan Bintang) yang sampai saat ini masih eksis mempertahankan 
Islam sebagai asas dasar partainya.
Implikasi Pemikiran Gus Dur
Secara institusional, pemikiran Abdurrahman Wahid cukup mewarnai manuver
 politik  NU. Meskipun secara lahiriyah NU merupakan organisasi sosial 
akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa sense natural politiknya selalu 
muncul di tengah-tengah kemelut politik bangsa ini. Hal ini bisa dilihat
 dari sejarah perjuangannya, pada tahun 1978-an NU yang saat itu masih 
berafiliasi dengan PPP, dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai embrio 
gerakan anti Pancasila.
Tuduhan itu diangkat dari tindakan protes dan walk out para tokoh NU 
dari sidang MPR yang membahas tentang rancangan ketetapan P4. Menurut 
Sidney Jones NU adalah Organisasi Sosial terbesar di negara ini yang 
masih memiliki aspirasi-aspirasi politis. Dan pada tahun 1971 ia menolak
 untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang prilaku Politik, 
kemudian pada tahun 1981 NU juga menolak mendukung Soeharto untuk 
menjabat kembali atau memberinya gelar “Bapak Pembangunan”.  Prilaku 
inilah yang membuat NU menjadi sasaran  tuduhan anti Pancasila  oleh 
rezim Soeharto.
Lebih lanjut, ditegaskan dalam pidato presiden Soeharto pada Rapim ABRI
 1980 di Pekanbaru. Soeharto memperingatkan untuk tidak mencoba mengubah
 Pancasila  atau UUD 1945, ia mengingatkan “walk out” (walau tidak 
menyebut NU) sebagaimana yang dilakukan ketika pembahasan masalah P4 
pada tahun 1978 adalah salah satu contoh gerakan anti-Pancasila  yang 
harus diwaspadai.  Ini menunjukkan kecemasan Soeharto terhadap gerakan 
politik Islam.
Dalam perkembangan politik selanjutnya, NU yang saat itu sedang dipimpin
 Gus Dur semakin dinamis dan akomodatif  dalam merespon kebijakan 
pemerintahan, ia menjadi aktor politik “nonpolitis” yang paling penting 
atau yang biasa disebut dengan istilah NU kembali ke khittah 1926, dan 
tentu saja inisiatif ini dimaksudkan untuk menjaga independensi politik 
NU dari intervensi Soeharto.
Pemikiran liberal Gus Dur sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan 
Ormas Islam ini, meskipun ada juga beberapa pemimpin NU terkemuka yang 
tidak sepakat dengan pemikirannya, di antaranya para Kyai dan tokoh 
senior NU, termasuk pamannya, Yusuf  Hasyim, yang seringkali menentang 
inisiatif dan pernyataan-pernyataannya. Untuk itu, implikasi pemikiran 
Gus Dur terhadap NU ini tampaknya harus dilihat dari aspek nasionalisme 
dan Islam.
NU menurut Gus Dur, mempunyai akar fondasi nasionalis yang kuat 
sebagaimana yang telah dikatakan bapaknya (Wahid Hasyim)  bahwa ia 
bersedia mendukung suatu negara nasionalis non-Islami. Selain itu, Gus 
Dur juga sering menekankan aspek-aspek nasionalis NU. Misalnya, dalam 
sebuah pidato penting kepada anggota-anggota NU pada tahun 1992, ia 
mengingatkan bahwa penerimaan NU kepada Pancasila  bisa diterima karena 
beberapa alasan.
Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1945  Soekarno meminta nasihat para 
pemimpin NU, termasuk bapaknya untuk membantu Soekarno merumuskan lima 
asas Pancasila. Lebih dari itu, Gus Dur menyatakan bahwa sebenarnya 
tidak ada kontradiksi antara Islam dan nasionalisme, karena Islam tetap 
bisa berkembang dalam suatu negara nasionalisme yang tidak didasarkan 
pada Islam resmi.
Akibat dari pemikirannya yang bisa dikatakan nasionalis-Islam, Akhirnya 
pada tahun 1983 Nahdlatul Ulama menjadi Ormas Islam besar pertama yang 
menerima Pancasila  dalam Anggaran Dasarnya, yang kemudian dipertegas 
kembali pada Muktamar ke 27-1984 di Situbondo Jawa-Timur bahwa Indonesia
 adalah negara yang didasarkan Pancasila, dan UUD 1945 adalah merupakan 
“Bentuk Final dari Negara” yang akan memerintah kepulauan Indonesia. Dan
 yang perlu diingat bahwa Pernyataan tersebut ditegaskan di 
tengah-tengah iklim politis yang saat itu benar-benar dalam keadaan 
memanas antara Islam dan negara, yakni  pasca peristiwa Tanjungpriok dan
 pengeboman di Jakarta.
Sebenarnya yang mengeluarkan inisiatif kompromi Pancasila  di atas 
adalah Kyai Ahmad Shidiq  (almh) dan Gus Dur sendiri dalam membentuk 
dwitunggal yang bertangung jawab bagi transformasi dan revitalisasi NU 
sebagai basis kekuatan Islam yang pluralis dan neomodernis. Sebelumnya 
Ahmad Shidiq pernah menjelaskan bahwa NU menerima Pancasila  sebagai 
asas tunggal karena merupakan hasil filsafat manusia, sementara Islam 
merupakan wahyu Tuhan.
Selain berimplikasi di NU, pemikiran Gus Dur juga banyak mempengaruhi 
visi dan misi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang ia pelopori sendiri. 
Maka tidaklah mustahil kalau PKB selama ini tetap menempatkannya sebagai
 Dewan Pertimbangan Penting di partai ini. PKB dipelopori oleh K.H. 
Ilyas Ruchiyat, K.H. Munasir Ali, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muchit 
Muzadi, dan K.H. Abdurrahman Wahid.
Melihat komposisi dari para pelopor di atas, sangatlah absurd kalau PKB 
tidak terkait sama sekali dari kepentingan NU, sebab sebagian besar yang
 membidani pembentukan partai ini adalah dari kalangan Kyai NU, ditambah
 lagi Gus Dur yang saat itu sebagai Ketua Umum PB NU, meskipun masih 
juga terdapat pro-kontra dalam pembentukannya. Pembentukan PKB merupakan
 upaya jalan tengah warga NU untuk berjuang di garis struktural politik,
 dengan seraya melakukan gerakan kultural melalui NU yang tetap 
dipertahankan sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam‘iyah Diniyyah)  
seiring dengan perubahan yang terjadi di pentas nasional.
Kekonsistenan pemikiran para tokoh NU, termasuk Gus Dur, masih tetap 
bertahan  dalam memberlakukan Pancasila  sebagai asas tunggal di era 
reformasi ini, meskipun saat itu rezim Orde Baru telah jatuh dan eforia 
politik Islam sedang  mendapatkan kebebasannya. Di lain kesempatan, Gus 
Dur yang saat itu didampingi oleh Matori Abdul Djalil pernah menyatakan,
 bahwa PKB bukanlah partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan 
negara sekuler.
Dari sini bisa dilihat seberapa jauh implikasi pemikiran Gus Dur 
terhadap strategi perjuangan partai ini. Sebagaimana uraian di atas 
bahwa implikasi pemikiran Gus Dur ini tidak lepas dari aspek 
nasionalisme dan Islam, yang keduanya itu tampak dalam AD/ART PKB yang 
menjadikan Pancasila  sebagai asas partai.  Mengenai  dipilihnya 
nasionalisme dan demokrasi yang dijadikan landasan dasar PKB daripada 
dasar agama, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan 
nasional.
PKB senantiasa mengutamakan substansi Hukum Islam melalui Hukum Nasional
 dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan, karena Republik 
Indonesia adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional 
dan bukan sebuah negara agama.  Sedangkan dari sisi Islamnya, bagi Gus 
Dur bukan berarti karena PKB tidak mengusung simbol-simbol Islam 
kemudian dikatakan partai yang tidak Islami.
Dalam kaitan ini Gus Dur mengatakan:
“Tidak penting bagi PKB berasaskan Islam. Yang penting PKB adalah Partai
 Islam. Banyak partai yang berasaskan Islam, tapi mereka main tipu, main
 curang dan tidak berakhlak Islami. Islam hanya dijadikan mereknya saja.
 Jadi, parpol berasaskan Islam tidak bisa dibuat jaminan. Dan PKB tidak 
mementingkan mereknya, tapi isinya.
“Akhlak dari Tauhid PKB adalah Islam. Daripada parpol yang berasas 
Islam tapi tidak Islami, maka lebih baik seperti PKB, asas bukan Islam, 
tetapi kelakuan dan tauhidnya orang Islam.
Penegasan bahwa PKB merupakan Partai Islam dengan corak keislaman 
yang substantif dapat ditemukan pula dalam Prinsip Perjuangan Partai 
yang menyatakan: “pengabdian kepada Allah S.W.T., menjunjung tinggi 
kebenaran, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, menumbuhkan 
persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai Islam Ahl 
as-Sunnah wa al-Jama‘ah”.  Walaupun kekentalan PKB dengan aspek Islam 
sedemikan rupa, akan tetapi dalam kenyataannya tetap tidak membuat 
partai ini tergoda untuk menegaskan dirinya sebagai partai Islam.
Pemikiran-pemikiran Gus Dur tampaknya banyak mewarnai perjuangan PKB, di
 mana sebuah partai yang nota bene berbasiskan muslim santri pedesaan 
ternyata mampu membuat mereka (konstituennya) menerima pendekatan partai
 yang bersifat nasionalis atau Islam-kultural dibanding Islam-formal. 
Pemakaian Pancasila  sebagai asas partai dilandasi oleh cara pandang 
tokoh PKB dalam melihat Islam, mereka meyakini bahwa Islam tidak perlu 
dilembagakan secara formal, tetapi yang penting adalah nilai ajaran 
Islam harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Selain dari aspek institusional di atas, pemikiran Gus Dur juga 
mempunyai implikasi yang bersifat personal terhadap tokoh-tokoh politik 
dan pemikir Indonesia, Alwi Shibab merupakan salah satu politisi 
sekaligus akademisi yang sedikit banyak mempunyai persamaan visi dan 
misi dengan Gus Dur   dalam memandang “relasi agama dan negara”, 
sebagaimana yang sering dikatakan Gus Dur mengenai demokrasi, Alwi juga 
menandaskan agama idealnya dapat mendorong proses demokratisasi bukan 
malah menjadi alat legitimasi politik.
Dan istimewanya lagi ia dinilai mampu menerjemahkan pola pemikiran Gus 
Dur, sehingga banyak kalangan yang menganggap kedua tokoh ini merupakan 
duet yang ideal.  Di samping itu, ia juga dikenal sebagai politisi yang 
mengedepankan etika dan moralitas. Mengenai visi dan misinya dalam PKB, 
ia menyatakan bahwa partai ini merupakan partai terbuka dan inklusif 
yang bercita-cita mewujudkan masyarakat bermoral, bukan membentuk sebuah
 negara yang berdasarkan Syari‘at Isla>m.
Menurutnya, apabila Masyarakat telah menerapkan moralitas tentunya akan 
membentuk negara yang bermoral pula. Bukan bentuk, sistem atau asas yang
 diutamakannya, tetapi yang terpenting adalah usaha untuk menanamkan 
substansi dan essensi Islam dalam menciptakan masyarakat yang beradab.  
Lebih lanjut, Alwi mengatakan bahwa agama dan demokrasi juga sangat 
berkaitan, karena nilai-nilai substansi tersebut telah mendukung proses 
demokrasi, di antaranya yaitu keadilan, pemerataan, dan persamaan. 
Sekali lagi, ia menegaskan bahwa tujuan Islam adalah menciptakan 
masyarakat yang bermoral bukan menciptakan negara agama karena hanya 
akan memecah belah keutuhan bangsa saja, maka ide semacam itu harus 
ditinggalkan.
Saat ini Alwi Shihab menjabat sebagai Ketua Umum PKB, kehadirannya dalam
 dunia politik patut diperhitungkan oleh kawan dan lawan politiknya. Di 
samping itu, sebelum mejabat Ketua Umum PKB Alwi juga sempat menjadi 
Menteri Luar Negeri Indonesia di era kepresidenan Gus Dur. Persamaan 
visi dan misi membuatnya dekat dengan Gus Dur, bahkan karena 
kedekatannya ia diangap sebagai loyalis Gus Dur. Maka tak heran kalau 
dia kelihatan cukup fasih dalam membahasakan kebijakan Gus Dur seperti 
hubungan dagang dengan Israil. Namun demikian bukan berarti pembelaannya
 ini hanya  disebabkan kedekatannya dengan Gus Dur semata, tetapi karena
 secara argumentatif memang ada nilai-nilai positif baginya.
Sebenarnya Karier politik Alwi lebih dilatarbelakangi dari jalur 
akademisi daripada organisasi, sebab sebelum terjun di dunia politik 
praktis, Alwi adalah seorang pengajar Islamic Studies di Harvard Divity 
School dan di Auburn Theological Seminary of New York. Namun demikian, 
sikap dan pemikiran politisnya yang elegan tersebut membuatnya bisa 
diterima oleh kalangan organisatoris tokoh NU dan PKB dan terpilih 
sebagai Ketua Umum PKB.
Mengenai eksistensi agama di Indonesia, penulis buku inclusive Islam 
(1997) ini, tidak jauh berbeda dengan pemikiran Gus Dur. Baginya Islam 
adalah agama rah}matan li al-‘alami>n, jadi tidak perlu menggunakan 
kekerasan dalam mendakwahkan ajaran, seperti yang dilakukan kalangan 
Islam Radikal. Dalam acara silaturrahmi warga NU dan PKB di Jember, Alwi
 Shihab meminta pada seluruh umat Islam Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah 
untuk berhati-hati terhadap berkembangnya Islam radikal, menyusul 
banyaknya pengeboman yang dilakukan Islam radikal itu. Dan katanya, kita
 adalah satu-satunya partai yang memiliki otoritas keagamaan yang dapat 
menkounter radikalisme ini.
Untuk itu, ia juga sepakat kalau Syari‘at Isla>m  tidak perlu 
diundang-undangkan di negara ini, karena hanya akan memicu disintegrasi 
bangsa yang plural ini. Selain itu, meskipun Islamlah yang mayoritas di 
negara ini, namun dalam kenyataannya tidak semua orang Islam Indonesia 
mengerti dan menjalankan ‘Aqidah dan Syari‘ah-nya. Lalu apakah harus 
dipaksa? Padahal Islam dalam mensyiarkan Syari‘ah-nya itu selalu 
bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan manusia itu sendiri.
Selain Alwi Shihab, banyak generasi muda NU yang saat ini masih terus 
mencoba mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur, baik dalam memahami 
agama  maupun negara (politik). Salah satunya adalah Ulil Abshar 
Abdalllah, ia dikenal sebagai intelektual muda yang sangat kontroversial
 di kalangan NU, meskipun ia tidak akrab dengan dunia politik praktis 
tetapi kekritisannya mengenai intervensi negara terhadap agama 
menyegarkan kembali pemahaman wacana Islam di negara kita yang cenderung
 membeku baginya.
Saat ini Ulil menjabat sebagai Direktur JIL (Jaringan Islam Liberal) di 
Jakarta, sebelumnya ia aktif di LAKPESDAM NU. Pemikirannya sempat 
mengundang reaksi keras para tokoh Islam Indonesia yang tergabung dalam 
FUI, yang sampai mengeluarkan fatwa hukuman mati untuknya. Sebenarnya 
ada beberapa pokok pikiran Ulil yang secara essensial sama dengan 
pemikiran Gus Dur, seperti Pribumisasi Islam, Islam kontekstual, dan 
Islam Universal.
Beberapa pemahaman yang menurut Ulil perlu disegarkan kembali, di 
antaranya yaitu:  Pertama, penafsiran Islam yang non literal, 
substansial dan sesuai dengan peradaban manusia yang selalu berubah. 
Kedua, pemisahan unsur-unsur budaya lokal dan nilai fundamental dalam 
ajaran Islam, artinya kita harus membedakan mana ajaran dalam Islam yang
 merupakan pengaruh kultur Arab dan yang bukan. Misalnya, masalah 
jilbab, potong tangan, rajam,  jenggot, Jubbah dan ekspresi budaya arab 
lainnya. Bagi Ulil budaya semacam itu tidak wajib diikuti, karena itu 
hanyalah ekspresi lokal partikular Islam Arab saja, justru yang wajib 
diikuti adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Ketiga, perlu adanya pemisahan yang jelas antara kekuasaan politik dan 
agama. Bagi Ulil agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan 
kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil konsesi masyarakat melalui 
prosedur demokrasi. Meskipun demikian nilai-nilai universal agama  tetap
 diharapkan partisipasinya dalam membentuk nilai-nilai publik.
Dalam wawancara yang dilakukan majalah Gatra, mengenai tuntutan 
pemberlakuan syariat Islam oleh negara. Ulil mengatakan bahwa Islam 
sebagai agama adalah masalah privat.  Oleh sebab itu menurutnya, Islam 
tidak perlu memformalkan Syari‘at Isla>m  karena hanya akan 
melibatkan peran negara (publik) secara penuh terhadap kehidupan 
beragama kita (privat), dan kemungkinan yang lebih parah lagi adalah 
terjadinya penyempitan pemahaman dan penyeragaman umat Islam dalam 
beragama, padahal perbedaan itu sendiri adalah sunnatullah.
Selanjutnya ia mengkritik secara tegas terhadap cara pandang yang 
menyebutkan Islam adalah agama dan negara, baginya agama haruslah 
dipisahkan dari peran negara sebagaimana yang ia uraikan di atas, agar 
kesucian agama tetap terjaga.  Hal ini sesuai dengan apa yang Gus Dur 
cita-citakan selama ini bahwa umat Islam tidak harus menjadikan Islam 
sebagai merk atau label belaka, akan tetapi lebih ditekankan pada 
nilai-nilai substansinya karena kita hidup di negara yang sangat plural 
agama dan budayanya, dan tentunya sangat berbeda dengan tradisi Arab di 
sana.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa secara historis kondisi sosial 
politiknya M. Natsir dan Gus Dur memang berbeda, Akan tetapi secara 
ideologis perjuangan dan cita-cita politik mereka masih terus mewarnai 
panggung politik Indonesia hingga saat ini. Hal ini bisa dilihat dari 
implikasi pemikiran dan cita-cita mereka terhadap pemikiran politik 
Islam  yang sedang berkembang kini. Dan untuk lebih jelasnya, penyusun 
simpulkan sebagai berikut:
1. Mengenai relasi Islam dan negara, meskipun secara teoritis keduanya 
sepakat bahwa Islam tidak mempunyai sistem kenegaraan yang baku, akan 
tetapi secara praksis aksi politik mereka berbeda. Menurut M. Natsir, 
Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan 
(integratif), ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya 
merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi 
atau falsafah hidup. Sementara menurut Gus Dur, antara agama dan negara 
harus dipisahkan secara jelas fungsi wewenangnya (sekular), supaya tidak
 terjadi pendistorsian. Dan seharusnya Islam hanya dijadikan sebagai 
etika sosial saja dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai landasan 
ideologi.
2. Secara normatif paradigma M. Natsir mengenai relasi Islam dan negara 
di atas didasarkan pada salah satu ayat al-Qur’an yang berbunyi:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات : ٥٦)  
Sedangkan paradigma Gus Dur didasarkan pada salah satu kaidah Usul Fiqih yang berbunyi:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ 
Selain dari aspek normatif tersebut, aspek sosio-historis juga sangat 
mempengaruhi cita-cita politik mereka baik dari setting sosial maupun 
aktivitas organisasinya. M. Natsir dibesarkan di lingkungan Islam 
modernis, yang sudah banyak melakukan pembaharuan dan pemurnian ajaran 
Islam. Sedangkan Gus Dur tumbuh besar di lingkungan Islam tradisionalis,
 yang memegang teguh doktrin Islam klasik dengan mengkontekskan pada 
tradisi atau budaya setempat.
3. Corak pemikiran politik M. Natsir dikategorikan sebagai kelompok 
idealis dalam wacana politik Islam. Dan sebagai konsekuensinya, 
pemikiran semacam ini banyak berimplikasi pada tokoh Islam modernis, 
yang mereformasi doktrin-doktrin lama dengan tetap berlandaskan 
al-Qur’an, akan tetapi tetap menolak keras paham sekular.
Sedangkan pemikiran politik Gus Dur dikategorikan sebagai kelompok 
realis, yang cenderung moderat dalam merespon realitas sosial. Meskipun 
berlatar belakang tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai
 di kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam 
merespon sekulerisme, dan secara tegas menolak formalisasi agama.
B. Saran-saran.
Relasi Islam dan negara selalu mengalami ketegangan, dalam kehidupan 
politik Indonesia, apalagi menjelang Pemilu baik di era orde lama 
ataupun orde baru. Akan tetapi ketegangan itu telah mengalami 
metamorfosis di era reformasi ini, karena aspirasi politik Islam sudah 
tidak dipasung lagi dalam berpolitik praktis seperti mendirikan partai 
Islam.
Selanjutnya, skripsi ini hanyalah salah satu cara bagaimana menyikapi 
relasi Islam dan negara di Indonesia. Dan lebih menitik beratkan pada 
perbedaan cita-cita ideologi negara yang kemudian penyusun hadapkan pada
 dua tokoh,  M. Natsir dan Gus Dur. Untuk itu masih banyak aspek lain 
yang bisa diteliti oleh penyusun selanjutnya mengingat baru sebagian 
masalah yang saat ini penyusun kaji dari pemikiran kedua tokoh tersebut.
 Di antaranya mengenai demokrasi, sistem tata negara Islam, eksistensi 
partai Islam di Indonesia dan pandangan mereka terhadap pemberlakuan 
Syari‘at Isla>m.
Dan tentunya,  berkaitan dengan skripsi ini penyusun mengharapkan saran 
dan kritik para pembaca guna memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang 
ada. Selain itu penyusun sendiri sadar bahwa karya ini merupakan buah 
pertama dari proses panjang pendewasaan intelektual penyusun, sehingga 
masih sangat dimungkinkan jauh dari kesempurnaan.
BIBLIOGRAFI
I. Kelompok Al-Qur’an/Tafsir
Departemen Agama RI (pengawas), Al-Qur,an dan Terjemahnya, Madinah: tp, 26 Rajab 1415 H
II. Kelompok Fiqih/Usul Fiqih
Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang 
Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada 
Periode Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Dkk, Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haikal, Muhammad Husein, al-Hukumat al-Islamiyyat, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1983.
Khallaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Qolam, 1977.
—————————, Al-Siyasat as-Syari’at, AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqih Siyasah: ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Sirry, A Mun’im, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti, 1996.
III. Kelompok Buku Lain
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons 
Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, 
Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Abdurrahman, Moslem, Islam Transformatif, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995.
Anggaran Dasar PKB.
Ahmad, Abd. Al-’Athi Muhammad, al-Fikr al-Siyasi Li al-Imam Muhammad 
 Abduh, Mesir, al-Maiat al-Mishriyyat al-’Ammat li al-Kitab, 1978.
Ali, A. Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: 
Rekonstruksi  Pemikiran Islam Di Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, 
Mizan, 1995.
—————————————-, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung, Mizan, 1990.
Amal, Taufiq Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung, Mizan 1989.
Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik: Pasca-Soeharto, Jakarta, Pustaka LP3ES, 2003.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Pemerintahan dan Realitas Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, Bangil, al-Izzah, 1996.
Anshari, Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah 
Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, 
tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, Bandung, Pustaka 
Salman, 1981.
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat,  Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997.
Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed), Tokoh dan Pimpinan Agama: 
Biografi Sosial Intelektual, Jakarta, Badan Litbang DEPAG RI dan PPM, 
1998.
———————, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII: Melacak 
Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 
1994.
———————, Pergolakan Politik Islam di Indonesia dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post Modernisme, Jakarta, Paramadina, 1999.
Bakker, Anton & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,  Yogyakarta, Kanisius, 1999.
Barton, Greg, Biografi Gus Dur, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LKiS, 2003.
—————-, Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme 
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, 
alih bahasa Nanang Tahqiq, Jakarta, Paramadina, 1999, cet. 1.
Barton, Greg, dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama Negara, Yogyakarta, LKiS, 1997.
Boland, B.J., The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Hgue, Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982.
Dkk, Andrrée Fillard, Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta, LKiS,  1994.
Dkk, Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
Dkk, Hasyim Wahid, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 1999.
Dkk, Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Bumi Aksara,  1992.
Dkk, Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental: sebuah Pertarungan Wacana, Yogyakarta, eLSAQ, 2003.
Effendy, Bahtiar, dan Fachry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung, Mizan, 1986.
Effendy, Bahtiar, (RE) Politisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, Bandung, Mizan, 2000.
——————–, Islam dan Negara, Jakarta, Paramadina, 1999.
——————–, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta, Paramadina, 1998.
Effendy, Djohan, The Contribution of The Islamic Parties to The 
Decline of Democracy in the 1950, makalah Confrense on Indonesia 
Democrasy, Monash University, 18 Desember 1992.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20, Bandung, Pustaka, 1998.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LkiS, 1999.
Gatra, No. 15, 16 Desesmber, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Yogyakarta, Andi Offset, 1989,
Hakim, Abd al-Hamid, as-Sulam, Jakarta, Sa’adiyah Putra, tt.
Hakim, M. Arief, Membangun Budaya Kerakyatan: Kepemimpinan Gus Dur dan Gerakan Sosial NU, Yogyakarta, Titian Ilahi Press.
Hamzah, K.H. Imron, dan Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, Gus Dur diadili Kiai-kiai, Surabaya, Jawa Pos, 1989.
Hasil Mukernas I Partai Bulan Bintang, Jakarta, DPP PBB, 1999.
Hatta, Memoir, Jakarta, Tintamas, 1978.
http://www.tokohindonesia.com, Dr. Alwi Shihab Kandidat Wakil Presiden 2004, 11 Desember 2003.
Hoesen, K.H. Ibrahim, Fiqih Siyasi Dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik,  Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV/1993.
Ida, Laode dan & Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan  Kenestapaan, Jakarta, Rajawali Press, 1999.
Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana 
Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 
1999.
Jawa Pos, Surabaya, 29 Mei 1999.
Jaiz, Hartono Ahmad, Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku: Aku Bangga Jadi Anak PKI, Jakarta, Darul Falah, 2003.
Kreatif Islam dan Pancasila , Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara: Perspektif Modernis Dan  Fundamentalis, Magelang, IndonesiaTera, 2001.
Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.
Karim, Muhammad Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999.
Kompas Harian Amanat Rakyat, PKB Rekrut Nur Mahmudi juga Tokoh-tokoh Muhammadiyah, Selasa, 4 Februari 1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1999.
Lewis, Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 994.
Liddle, William, Media Dakwah Scripturalism: One Form of Islamic 
Political Thougt and Action in New Order Indonesia, kertas kerja tidak 
diterbitkan.
Luth, Thoir, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta, Gema Insani Press, 1999.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1996.
—————————, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi terpimpin 1959-1965, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.
—————————, Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, Bandung,  Mizan, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik 
Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at 
I-Islami (Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza,  Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir, Jurnal ISLAMIKA, No 13, 1994.
Malik, Dedy Djamaluddin & Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam 
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, 
Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 
1998.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Refleksi, Jakarta, Hudaya, 1970.
Masdar, Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Maududi, Islamic Law and Constitution, Lahore, Islamic Publication, 1990.
MD, Moh. Mahfud, Konfigurasi Politik dan Hukum pada Era Orde Lama dan Orde Baru, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Mehden, Fred Den, Religion and Modernization in South East Asia Syracuse, Syracuse University Press, 1986.
Minhaji, Ahmad, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta, 2001.
Mitchel, Richard P., The Society of Muslim Brother, Oxford, Oxford Universuty Press, 1969.
Mochtar, Kustiniyati (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, Jakarta, Gramedia, 1989.
Mudzhar, M. Atho’,  Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1998.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, 1985.
Nasution, S, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995.
Natsir, M, Capita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
———–, Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media Dakwah, 2001, cet 1.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapura, Oxford University Press, 1973.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1966.
—————-, Gerakan Modern, Islam Di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1982.
—————-, Islam, Pancasila  dan Asas tunggal, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1983.
—————-, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung, Mizan, 2000.
—————-, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Poesponegoro, Marwati Djoenod, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta, Departemen P&K, 1984.
Qutb, Sayyid, Khas}ais} al-Tasawwur al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu, Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962
Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993.
Rahman, Budhy Munawar, Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1995.
Ramage, Douglas Edward, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi,  
Islam,  dan Ideologi Toleransi,  Jogjakarta, Mata Bangsa, 2002, cet. I.
Republika, 27 Mei 1999, hlm. 3.
Rosidi, Ajib, M. Natsir, Sebuah Biografi, Jakarta, Girimurti Pustaka, 1990.
Schuman, Olaf, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat Modern dan
 Negara Islam”, Jurnal Paramadina, No. 2, Vol I, Jakarta, Paramadina, 
1999
Shihab, Alwi, Mengemban Tuntutan Jaman, Yogyakarta, Wahyu Pustaka, 2000.
Sitompul, Einar M., NU dan Pancasila, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,  Jakarta, UI Press, 1993, edisi V.
Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, Panitia di Bawah bendera Revolusi, 1994.
Soenjoto, Peneliti dan peteliti, Yogyakarta, Ranggon Studi, 1983.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam:  Soekarno Versus Natsir, Bandung, Teraju, 2002.
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta, Logos, 2000.
Tempo, No. 42, 22 Desember 2002.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994.
Uhlin, Anders, Oposisi berserak, Arus Deras Demokratisasi Glombong Ketiga di Indonesia, Bandung, Mizan, 1998.
Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi?, Jejak Langkah NU Era 
Reformasi: Menguji Khittah Meneropong Paradigma Politik, Yogyakarta, 
2002.
Wahid, Abdurrahman, Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta, P3M, 1989.
—————————, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
—————————, Prisma Pemikiran Gus Dur, yogyakarta, LkiS, 1999.
—————————, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, Prisma, No. 4, April 1984.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1959.

.jpeg) 
 
 
 
 
 
0 Comment