28 Mei 2012

AL KINDI & AL RAZI
      A.    Pendahuluan
Melalui kontak yang terjadi di pusat-pusat peradaban Yunani yang terdapat di Aleksanderia (Mesir), Antokia ( Suriah), Jusdisyapur (Irak) dan Baktra (Persia), yang jatuh kedalam kekuasaan Islam pada permulaan abad ketujuh Masehi, filsafat masuk ke dalam pemikiran Islam. Timbullah filosof-filosof Islam seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Maskawaih dan filosof lainnya
Berlainan dengan di Yunani, pemikiran filsafat dalam Islam, telah terkait pada ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dan hadits. Disini pemikiran filsafat tidak lagi bebas-sebebasnya, tetapi telah dibatasi oleh wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. maka filosof-filosof Islam tidak lagi menjadi dasar dari segala dasar, karena wahyu telah menentukan bahwa dasar dari segala dasar itu adalah Allah SWT.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana pemikiran filsafat Al-Kindi yang dikenal sebgai pencetus pertama pemikiran filsafat dalam Islam dan juga membahas bagaimana pemikiran filsafat Al-Razi yang merupakat filosuf Islam kedua setelah Al-Kindi.
B.     Al-Kindi
1.    Sejarah hidup dan karyanya
Al-Kindi adalah seorang filsuf besar pertama Arab dan Islam[2].Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Nama al-Kindi berasal dari nama salah satu suku Arab yang besar sebelum Islam, yaitu suku kindah[3].
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H/801 M. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat, kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid (786-809). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak namun ia masih tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.[4] Kakeknya Asy’ats bin Qais dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan yang berasal dari daerah Arab bagian selatan dan dikenal sebagai raja di wilayah Kindah.[5] Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861).
Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak diketahui. Ada rieayat yang menerangkan bahwa al-Kindi pernah belajar di Basrah sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu.[6] Dia dikenal berotak encer, tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, ia dapat menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorology.[7] Penguasaanya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulala ia dinilai pantas menyandang gelar Failsuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab).[8]
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, menyebabkan dirinya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.[9] Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitul Hikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.[10]  Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirannya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.[11]
Pada masa pemerintahan Al-Muatawakkil, khalifah yang mengakhiri masa kejayaan aliran Muktazilah, al-Kindi mengalami nasib yang tidak menguntungkan, ia dipecat dari berbagai jabatan yang dipercayakan kepadanya.  Jabatannya sebagai guru besar di istana diambil alih oleh putra-putra Musa yang juga tergolong ilmuwan, walaupun tidak sepopuler al-Kindi. Suatu ketika putra-putra Musa merampas perpustakaan al-Kindiyah, milik pribadi al-Kindi, tetapi pada akhirnya pustaka tersebut dikembalikan kepada al-Kindi.[12]
Tentang kapan al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang pasti. Dalam buku Min Al-Kindi ila Ibn Rusyd karangan Musa Al-Musawi seperti yang dikutip oleh Sirajudin Zar mengatakan bahwa Musthafa Abd Al-Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqub Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih.[13]
2.      Karya Tulisnya
Al-Kindi selain seorang yang aktif terlibat dalam kegiatan penterjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koraksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain, juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis menulis. Tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi, kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Namun sebagian dari risalah Al-Kindi yang hilang tersebut ditemukan kembali. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa karya-karya al-Kindi  berjumlah 270 buah, kebanyakan di antaranya risalah-risalah pendek  dan banyak di antaranya yang sudah tidak ditemukan lagi[14]. Risalah-risalah itu, baik oleh ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan kedalam 17 kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Music, 6. Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12. Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorology, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17. Spesies tertentu logam dan kimia.[15] Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis al-Kindi.
1.    Fi al-falsafat al-‘Ula
2.    Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3.    Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4.    Risalah fi Ta’lil al-A’dad
5.    Kitab al-falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyah wa al-Mu’tashash wa ma fauqa al-Thabi’iyyat.
6.    Kammiyat Kutub Aristoteles
7.    Fi al-Nafs
Melalui karya-karyanya, al-Kindi dapat diketahui sebagai seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan.[16]
3.      Perpaduan Filsafat dan Agama
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam. Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.[17]
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn Rusyd.[18]
Kemudian menurut al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan kepada yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Agama di samping menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat mempergunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat, hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu lebih meyakinkan daripada argumen filsafat. Keduanya bertujuan untuk menerangkan apa yang benar dan yang baik.[19]
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Dengan demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya.[20]
Menurut al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremahkan dan merendahkan orang yang menerima-nya.[21]
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya,  dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.[22]
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita menurut al-Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya.[23]
Dalam usaha memadukan antara filsafat dan agama ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
1.      Surat Al-Nasyr [59]: 2

“.......Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

2.    Surat Al-A’raf [7]: 185
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah...”

3.    Surat Al-Ghasyiyah [88]: 17-20
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”
4.    Surat Al-Baqarah [2]: 164 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Dengan demikian al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al-Qur’an, sehingga menghasilkan antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut:
1.      Ilmu agama bagian dari filsafat
2.      Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian
3.      Menuntut ilmu secara logika diperintahkan oleh agama.[24]
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari.[25]
Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang datang kemudian.
4.      Filsafat Ketuhanan al-Kindi
Menurut al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.[26]
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan  selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juziyyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat secara kulliyah atau mahiyah (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid).[27]
AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya.[28]
Al-Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata negative; Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak berbilang, Allah tidak berbagi. Ia adalah Maha Esa (wahdat) dan yang selainnya berbilang.[29] Jadi Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
1.      Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
2.      Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3.      Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan.[30]

5.      Filsafat Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan manusia.[31] Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.[32]
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan al-Kindi, bahkan al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.  Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya.[33] Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.[34]  
Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.[35]
Dalam hal ini pendapat al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea.[36]
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala.[37] Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi.[38]
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.[39]
Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan yang tiga lagi berada di dalamnya.[40]
1.      Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan). Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas.
2.      Akal bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3.      Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya.
4.      Akal yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan.[41]
Menurut al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan [42].
C.  Al-Razi
    1.    Biografi
Nama Lengkap Al- Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. di barat dikenal dengan  sebutan Rhazes. Dia lahir di Rayy, sebuah kota yang dekat Teheran, Iran pada tanggal 1 sya’ban 251 M/865 M.[43]
Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya diserang penyakit akibat eskperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[44]
Perlu pula diingatkan bahwa lingkungan Al-Razi tempat ia berdomisili, telah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, sejak lama sudah dikenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletakknya salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM[45]. Suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Al-Razi dikenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, kearena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Mukhtafi meninggal,ia kembali ke kota lairnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[46]
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibandingkan sebagai seorang  filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal.[47]

2.    Karya Tulisnya
Al-Razi, dalam autobigrafinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab al-Asrār yang diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar ialah al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad ke-17 M. [48]
Bukunya di bidang kedokteran juga ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid disalin ke dalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang ke dalam berbagai bahasa barat dan terakhir kedalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al- Rasā’il Falsafiyyat.[49]

3. Filsafatnya
a. Lima Kekal (Kadim)
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima Kekal, yakni al-Bāry Ta’āla (Allah Ta’āla),al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama), al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamān al-Muthlaq (masa absolut). Menurut Al-Razi dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif yaitu Allah dan roh. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Satu di antaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[50]
1.    Al-Bāry Ta’āla
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun ,materi asalnya kadim, sebab penciptaannya di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada[51]. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[52]
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
2.      Al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
Jiwa universal merupakan al-mabda al-qadīm al- Sāny (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam tersebut terdapat daya hidup dan gerak, sulit diketahui karena ia tanpa bentuk, yang berasal dari juwa universal yang juga bersifat kekal. Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa-tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayūla al-Ūla (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat diterima  fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh,[53] agar jiwa itu dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian-bagian kesenagan-kesenangan materi untuk sementara waktu.[54]
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia  merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat. Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah bersih ia dapat kembali kealam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaannya semula.[55]
3.    Al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama)
Materi adalah kekal (jauhar qadīm). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Menurut Al-Razi, Atom-atom yang tidak berbagi itu mempunyai volume (a’zham). Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi adalah alam menentukan kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang daripada unsur tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsure udara, dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.[56]
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argument. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali.[57]
4.    al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “tempat” (Totos) tidak bisa dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempati.[58] Oleh sebab itu, ruang, menurut Al-Razi, dapat dibedakan menjadi dua macam:ruang particular (al-Makan al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang partikular ini akan  terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan  tidak terbatas. Ruang, bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud karena adanya kehampaan bisa saja terjadi. Sebagai bukti ketidakterbatasan ruang, Al-Razi mengatakan bahwa wujud(tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Al-Razi ruang yang kekal.[59]
5.    al-Zamān al-Muthlaq (masa absolut)
Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshūr (terbatas). Untuk yang pertama ia sebut dengan al- dhar, bersifat kadim dan substansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, waktu mahshur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas itu tidak kekal, yang ia ebut dengan al-Waqiy. Dengan demikian, waktu mutlak atau apsolut, menurut Al-Razi, sudah ada sebelum adanya waktu yang terbatas  ini yang terikat dengan gerakan bola bumi.[60]

b. Akal, Kenabian, dan Wahyu
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.[61]
Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Al-Razi terlalu berani dalam mengembangkan pendapat-pendapatnya, bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim  yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang dianut umat Islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni a. tidak percaya pada wahyu, b. Alqur’an bukan mukjizat, c. tidak percaya pada nabi-nabi, d. adanya hal-hal yang kekal selain dari Allah.[62]
Badawi sebagaimana yang dikutib oleh Sirajuddin Zar,  menerangkan alasan-alasan Al-Razi dalam menolak kenabian sebagai berikut.
a.       Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah dan mengatur kehidupannya dengan sebaik-baiknya.\
b.      Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c.       Para  nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah.[63]
Kemudian  Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakana tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudharatan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Alquran dan Injil. Ia menolak kemukjizatan Alquran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah daripada Alqur’an. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Razi sangat berani, tidak ada seorang pemikir Islam pun seberani dia.[64]
Sirajudin Zar menyatakan, Perlu ditegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan debatnya Abu Hatim Al-Razi, tokoh Syi’ah Ismailyah. Oleh karena itu, beralasan dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan tersebut ganjil, bahkan ia nilai mengandung sentiment. Hal ini lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan lawannya agar benci pula pada orang  lain.[65]
Dalam buku al-Thibb al-Rūhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan  di akhirat  berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Lebih jelasnya ia katakan sebagai berikut: Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna tidak perlu takut terhadap kematian.  Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.[66]
Berdasarkan uraian di atas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama di cap mulhid. Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab  mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia.[67]

D.    Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Dialah yang menjelaskan kedudukan antara agama dan filsafat, sehingga terjadi rekonsiliasi agama dan filsafat. Di antara filsafatnya adalah masalah ketuhanan dan jiwa, dan masih ada lagi filsafatnya yang lainnya.
Disatu sisi harus kita mengakui, bahwa filsafat yang dikemukakan al-Kindi sebagai sesuatu disiplin ilmu yang baru dimasanya, masih dianggap belum lengkap dalam artian yang luas, sehingga mendapat kritikan dari para ahli pikir sesudahnya. Namun yang jelas al-Kindi telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat dalam filsafat Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof sesudahnya.
Sedangkan al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Maskawaih, Ibnu Sina, dan al-Ghazali. Dia termasuk filosof yang sangat berani mengemukakan gagasan-gagasannya dalam bidang filsafat baik mengenai lima yang kekal maupun tentang kenabian dan peranan akal dalam mencari kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanfi, Pengantar Ilmu Filsafat , Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
M.M. Syarif, (Ed) History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Nasution Harun, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985
Nasution Harun, Falsafat dan Misticisme dalam Islam,Jakarta: Universitas Indonesia, 1993
Nasution Harun, Islam Rasuonal, Jakarta: Penerbit Mizan, 1989
Nasution Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998
Salam Abdus, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni Bandung, Salman ITP, 1983
Zar Sirajudin, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, Jakarta: Rajawali press, 2009



[1] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1989), h. 356
[2]Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 69.
[3]Ibid
[4] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof & filsafatnya, (Jakarta: Rajawali press, 2009), h. 38
[5]Ensiklopedi Islam, Op. cit
[6]Sirajudin Zar, Op. cit.
[7] Ensiklopedi Islam, Op. cit, h.69-70
[8] Sirajudin Zar, Op. cit.
[9] Ensiklopedi Islam, Op. cit
[10]Ibid
[11] Ibid, h. 70
[12] Ibid
[13] Sirajudin Zar, Loc. Cit, h. 41
[14] Ensiklopedi Islam, Op. cit. h. 69
[15]Sirajudin Zar, Loc. Cit, h.42
[16] Ibid, h. 43
[17] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[18]Ahmad Hanfi, Pengantar Ilmu Filsafat , (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 74
[21]Abdus Salam, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni (Bandung, Salman ITP, 1983) h. 11.
[22] Sirajudin Zar, Op.cit, h.44
[23]Ibid, h. 45
[24] M.M. Syarif, (Ed) History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h. 425
[25] Sirajudin Zar, Op.cit, h.48
[26] Ibid
[27] Ensiklopedi Islam, Op.cit. h. 70
[28] Ibid
[29] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 52
[30]Ibid, h. 53-54
[31]Lihat : AS. Al-Isra’ [17] : 85
[32] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 59
[33] Ensiklopedi Islam, Loc.cit
[34] Sirajudin Zar, Loc.cit
[35]Ibid  
[36] Ibid, h. 60
[37] Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), h. 9
[38] Ensiklopedi Islam, Loc.cit.
[39] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 61,
[40] Ibid
[41]Ibid, h. 62
[42] Ensiklopedi Islam, Op.cit, h. 71
[43] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 24
[44] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.113
[45] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h. 8
[46] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 115
[47] Ibid, h. 116
[48] Ibid
[49] Ibid
[50] Harun Nasution, Op.cit. h. 8
[51] Sirajuddin Zar, Op.cit, h.117
[52] Ibid, h.118
[53] Ibid
[54]Hasyimsyah Nasution, Op.cit, h. 27
[55] Sirajuddin Zar, Loc.cit
[56]Ibid, h. 119
[57] Ibid
[58] Ibid, h. 120, lihat juga Majid Fakhry, Op.cit, h. 157
[59] Ibid
[60]Ibid
[61] http://kanzulfikri.wordpress.com/2008/09/25/buah-filsafat-al-razi
[62] Harun Nasution, Op.cit, h. 20-21
[63] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 122
[64] Ibid
[65] Ibid, h. 123
[66] Ibid
[67] Ibid, h. 124

0 Comment