18 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, persoalan nikah adalah salah satu persoalan penting yang diatur dalam berbagai ajarannya. Al-Qur’an dan As-Sunah, dua sumber utama ajaran islam, banyak berbicara tentang persoalan ini. Secara lebih sistematis dan komprehensif, tema ini dipaparkan di dalam kitab-kitab fiqih dari berbagai mazhab. Dan dalam pandangan Jawa, hubungan seks juga sangat ditabukan dan hanya boleh dilakukan ketika dalam lembaga perkawinan. Hal ini dianut dan menjadi pandangan umum masyarakat Jawa.
Salah satu persoalan yang terkait dengan persoalan nikah adalah persoalan kafa’ah, yakni kesejajaran, kesetaraan, kesepadanan, atau kesederajatan antara pihak calon suami dan pihak istri dalam faktor-faktor tertentu. Persoalan kafa’ah ini menjadi penting di dalam pembahasan tentang nikah, karena fuqaha telah sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak bagi calon istri dan walinya. Maksudnya, calon istri berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilakukan oleh walinya, apabila dia menilai calon suami yang dipilihkan oleh walinya tidak sekufu’ dengannya. Demikian pula sebaliknya, wali berhak menolak atau menggagalkan pernikahan yang akan atau telah dilangsungkan di hadapan wali hakim oleh calon istri apabila calon suami dinilainya tidak sekufu’ dengan wanita yang berada di bawah perwaliannya itu.
Di kalangan fuqaha, terdapat perbedaan pendapat mengenai konsep kafa’ah ini, terutama tentang faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesekufu’an seseorang. Menurut Mazhab Hanafi, faktor keberagamaan, keturunan, profesi dan kemerdekaan menentukan kesepadanan itu, sementara menurut Mazhab Maliki, hanya faktor keberagamaan yang diperhitungkan dalam menentukan konsep kesepadanan. Dalam pandangan Mazhab Syafi’i faktor keberagamaan, profesi, dan kekayaan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam menentukan kesepadanan seseorang. Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku I. Hukum perkawinan Bab IV Pasal 23 Ayat (1) dan (2), apabila wali nasab enggan atau tidask bewrsedia menjadi wali, maka wali hakim bisa bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan dari Peradilan Agama. Dan pada Bab X pasal 61 dinyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama (ikhtilaf ad-din).
Dalam pandangan masyarakat Jawa sendiri, hubungan seks sangat ditabukan dan hanya bisa dilakukan dalam lembaga perkawinan. Itulah mengapa perkawinan menjadi sangat penting bagi fase kehidupan masyarakat Jawa. Perkawinan ditempatkan sebagai fase penting sama dengan sebuah kelahiran dan kematian. Adagium yang mengatakan bahwa hidup itu adalah lahir, kawin dan mati begitu terkenal dalam masyarakat Jawa.
Dalam memahami pandangan hidup suatu masyarakat, kita bisa mempelajarinya melalui catatan-catatan yang ditinggalkan oleh masyarakat tersebut pada jaman dahulu. Catatan itu bisa bersifat tulisan atau pun dari tradisi yang berkembang pada masyarakat. Jawa abad 19 juga menemukan sebuah cara perlawanan terhadap penjajahan yang betul-betul lahir dari pandangan hidup dan filsafat orang jawa yang kemudian membentuk sosok “Jawa” yang orisinil, yaitu melalui perhelatan perkawinan kerajaan.
Sementara itu, literatur-literatur sastra jawa tidak banyak yang membahas masalah nikah secara umum dan kafa’ah secara khusus. Hal ini sesuai dengan tipologi kepustakaan yang berkembang di Jawa yaitu perpustakaan islam kejawen, di mana di samping menggunakan bahasa Jawa, juga sangat sedikit mengungkapkan aspek syari’at atau bahkan kurang menghargai aspek syari’at, dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum lahir agama islam.
Dari yang sedikit ini, dapat dikemukakan salah satunya adalah Serat Piwulang Warni-warni karya KGPAA Mangkunegara IV. Serat Piwulang tersebut merupakan salah satu genre sastra klasik yang mengandung nilai didaktis pedagogis. Dari segi tahunnya, Serat Piwulang termasuk ke dalam jaman Madya. Piwulang diubah menjadi sebagian pendidikan dan penggunaan waktu senggang kepada para pangeran keluarga sentana (keluarga kerajaan). Dari sisi pengarangnya, Serat Piwulang Warni-Warni dikarang oleh Mangkunegara IV yang mempunyai keahlian dalam berbagai segi. Diantaranya adalah keahliannya dalam segi militer, ekonomi, sastra budaya, dan keagamaan. Keahliannya memerintah wilayah Mangkunegaran, menjadikan kerajaan tersebut mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kekuasaan kerajaan Belanda dan merupakan satu-satunya istana yang tradisi militer bangsawan Jawa masih tetap hidup meskipun di bawah kekuasaan Belanda. Dalam bidang ilmu keagamaan, beliau pernah belajar ilmu agama secara serius pada seorang ulama karena kegelisahan hatinya mengingat kepada kehidupan sesudah mati. Dan berhentinya beliau dari menuntut ilmu agama tersebut lebih dikarenakan tuntutan panggilan tugas kerajaan, di mana pada waktu tesebut beliau dalam posisi yang sangat bimbang antara meneruskan menuntut ilmu ataukah mengikuti panggilan kerajaan.
Dalam salah satu Serat Piwulang Warni-Warni tepatnya pada Serat Warayagnya pupuh dhandhanggula disebutkan :
“Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanadya kang utama, ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya sandang bukti, wewilangane ana, catur upayeku, yogyane kawikana, dhingin bobot, pindho bebet, katri bibit, kaping pat tatariman”.
Terjamah:
Karena itu tidak gampang orang menikah, harus memilih sesorang yang dapat diajak bekerjasama dalam suka maupun duka, dengan mengupayakan apa yang menjadi ciri utama yang terdiri dari keempat ciri yang sebaiknya diperhatikan pertama berkualitas baik, kedua berdarah mulia, ketiga dapat berketurunan, keempat bersifat menerima.
Dan dalam bait selanjutnya beliau mengatakan:
“Papat iku iya uga kanti, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawane, catur pambekanipun, endi kang sira senengi, aja ngawang, menawa kaduwung, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira”.
Terjemah:
Keempat itu juga harus ada, pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kewibawaanya dan keempat prilakunya. Mana-mana yang kamu senangi, jangan sampai salah pilih, karena akan menyesal. Karena memilih seorang wanita itu tanpa dimusyawarahkan, tergantung pada kehendakmu.
Dari kedua bait tersebut dapat diambil dasar memilih pasangan hidup yaitu bobot (berkualitas baik), bebet (berdarah mulia), bibit (dari keturunan yang baik) , tatariman (bersifat menerima), warna (kecantikan), brana (harta), wibawa (kewibawaan), dan pambeka (prilaku). Hal tersebut menandakan bahwa proses pernikahan sudah jauh hari harus diperhitungkan oleh seseorang yang akan menikah, mulai dari proses memilah dan memilih pasangan hidupnya. Sedangkan dalam Islam Nabi SAW sudah pernah bersabda:
تنكح المرأ ة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولد ينها فاظفر بذا ت الدين تربت يدا ك
Addin diletakkan sebagai prasyarat utama dalam Islam sebelum menginjak pada prasyarat yang lain. Sedangkan dalam Serat Warayagnya tidak disebutkan secara eksplisit dan berbarengan dengan sarat yang lain. Dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, tampaknya penulis memiliki kecenderungan untuk mendasarkan kafa’ah pada latar belakang dan status sosial.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok maslah, yaitu :
1. Bagaimanakah konsep Mangkunegara tentang kafa’ah.
2. Bagaimanakah konsep kafa’ah Mangkunegara tersebut ditinjau dari segi fiqh perkawinan islam.
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan.
a. Ingin menjelaskan lebih jauh terhadap hasanah peninggalan kebudayaan jawa dalam hubungannya dengan studi keislaman.
b. Ingin mengetahui relevansi nilai-nilai ajaran perkawinan jawa dan kafa’ah khususnya dengan ajaran islam yang ada.
2. Kegunaan.
Hal penting yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk memeperkaya kajian-kajian keislaman dalam perhubungannya dengan budaya lokal.
D. Telaaah Pustaka
Pembahasan tentang serat-serat jawa hususnya dan budaya jawa pada umumnya telah menarik minat banyak ilmuwan, baik ilmuwan manca maupun dalam negeri. Mulai dari kajian naskah serat-serat peninggalan para pujangga jawa, ataupun kehidupan pujangga tersebut dan juga sejarah tentang kebudayaan jawa lainnya. Tak terkecuali karya-karya Mangkunegara IV dan kehidupannya.
Berdasarkan penelusuran terhadap literatur-literatur yang dapat ditemukan, kajian mengenai konsep kafa’ah dalam perkawinan telah banyak dilakukan. Hampir dalam setiap kitab-kitab fiqih ditemukan satu bab yang secara khusus mebahas permasalahan nikah, demikian pula dalam kitab-kitab fiqh perbandingan. Persoalan kafa’ah ini menjadi bagian dari bab nikah. Ada kalanya ditempatkan pada subbab pasal tersendiri, dan ada kalanya langsung tergabung dengan subbab lain.
Selain dalam kitab-kitab fiqh konvensional, kajian tentang konsep kafa’ah ini terdapat juga dalam literatur-literatur lain, baik dalam buku maupun dalam karya tulis ilmiah lain. Kajian komprehensif telah dilakukan oleh oleh M.Hasyim Assagaf (2000) dalam buku berjudul “Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah”. Kajian ini menggunakan pendekatan historis yang di dalamnya terdapat studi komparatif terhadap pandangan berbagai mazhab fiqh. Assagaf membahas persoalan ini dengan pendekatan historis mengenai tradisi pernikahan dari zaman ke zaman. Kisah hijrahnya keturunan Arab ke Indonesia beserta dinamika yang ada di dalamnya berikut sejarah Hadramaut dibahas sebagai wacana yang relevan dan aktual. Adapun fokus kajian dalam buku ini adalah kafa’ah berdasarkan faktor keturunan, yaitu mengenai kaum syarifah yang diharamkan menikah dengan kaum yang bukan sayyid.
Adapun dalam bentuk karya ilmiah lainnya, penelitian tentang konsep kafa’ah telah dilakukan oleh Makhrus Munajat (1998) dengan judul “Kesepadanan dalam Perkawinan ( Studi Pemikiran Fuqaha Klasik)”. Dalam karya ini, dideskripsikan pandangan para fuqaha periode klasik tentang konsep kafa’ah secara umum. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa di kalangan para fuqaha klasik terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kriteria kafa’ah. Menurutnya, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan pemahaman terhadap dalail-dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Di samping itu situasi dan kondisi lingkungan masyarakat turut mempengaruhi pemikiran mereka dalam beristinbath hukum. Mengenai kafa’ah, Makhrus berkesimpulan bahwa ; dalam islam, ketentuan dan norma-norma kafa’ah tidak ditentukan secara jelas kecuali dalam hal agama dan akhlak, kafa’ah selain dalam hal agama bukan faktor yang wajib dipertimbangkan dalam perkwinan.
Dalam bentuk skripsi, penelitian tentang kafa’ah telah dilakukan oleh Marfu’ah (1998) dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Kafa’ah di Kalangan Masyarakat Keturunan Arab di Kelurahan Pasar Kliwon Surakarta. Kajian lain dilakukan oleh Halwiyah (1998) berjudul “Kafaah dalam Perkawinan (Analisa Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Adat Bugis). Dua penelitian tersebut merupakan penelitian sosiologis dengan melihat praktik kafa’ah di kalangan masyarakat Indonesia. Di dlamnya dideskripsikan dengan jelas praktik kafa’ah yang terjadi di daerah Surakarta dan Bugis.
Sedangkan kajian kafa’ah dengan mengananilis pendapat berbagai mazhab fiqh dilakukan oleh Khusnul Khotimah (1997) dengan judul “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan (Studi Perbandingan antara Ulama Hanafiyah dan Malikiyah)” dan skripsi Mawar S. Ana (1999) berjudul “Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Perkawinan (Studi Komparatif antara Mazhab Ahmadiyah Qodiyan dengan Mazhab Syafi’i)” serta Euis Rabiah Adawiyah (2002) dengan judul “Studi Terhadap Pendapat Mazhab Hanafi tentang Kriteria Kafa’ah dalam Perkawinan”. Kedua skripsi pertama ini merupakan studi komparasi yang membandingkan pendapat beberapa mazhab tentang konsep kafa’ah. Dalam kedua skripsi tersebut dijelaskan beberapa perbedaan dan persamaan di antara pendapat-pendapat fuqaha disertai alasan-alasan yang melatarbelakanginya, kemudian dianalisa sehingga menghasilkan titik temu. Sedangkan skripsi yang ketiga menelaah tentang berbagai pendapat tentang kafa’ah yang ada pada Mazhab Hanafi serta analisis terjadinya perbedaan pandangannya.
Dari penelusuran penulis, karya-karya Mangkunegara IV sudah ada yang pernah mengangkat dan membahasnya, baik dalam bentuk skripsi maupun buku ilmiah lainnya.Yang perlu dicatat di sini adalah skripsi yang ditulis oleh Moh.Zaenuri (1999) dengan judul ”Nilai-Nilai Akhlak Dalam Keluarga Berdasarkan Kajian Serat Piwulang Warni-Warni Karya KGPAA Mangkunegara IV” Fakultas Tarbiyah IAIN Kalijaga.
Dalam skripsi ini dijelaskan tentang nilai-nilai akhlak keluarga menurut serat piwulang dengan titik tekan terhadap ajaran akhlak dan nilai-nilai pedagogis sebagai acuannya. Meskipun mengkaji secara menyeluruh terhadap Serat Piwulang Warni-wari, skripsi ini tidak mengkaji secara dalam tentang hukum-hukum fiqh perkawinan yang ada dan hanya menyoroti nilai-nilai pendidikan keluarga secara umum dan dengan cara pandang moralitas Islam dengan pendekatan pedagogis. Sedangkan karya tulis yang menyoroti khusus terhadap masalah kafa’ah dan perhubungannya dengan hukum perkawinan Islam yang ada pada serat Piwulang Warni-warni, sejauh pengetahuan penulis belum ada yang mengangkatnya.
Dan dari buku-buku yang ada, yang perlu dikedepankan adalah buku karangan Prof.Dr Moh Ardani dengan judul Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV. Dalam buku ini, disinggung sedikit tentang ajaran akhlak dalam rumah tangga dengan mengambil beberapa bait, tidak mencakup isi secara keseluruhannya. Namun demikian, pada akhir buku tersebut dilampirkan ringkasan isi dari Serat Piwulang tanpa penjelasan lebih jauh.Titik tekan penelitiannya pun bukan terhadap Serat Piwulang, tetapi terhadap Serat Wedhatama dengan pendekatan ilmu tasawuf.
Selain buku karya Moh Ardani tersebut, ada buku lain karya Kamajaya berjudul Karangan Pilihan Mangkunegara IV, yang dilatinkan dari buku Serat Anggitan Ndalem KGPAA Mangkunegara IV yang ditulis oleh Dr.TH Piegeud dan dikeluarkan oleh Java Institut Surakarta pada tahun 1928-1934. Dalam buku karya Kamajaya tersebut menuangkan karangan-karangan pilihan Mangkunegara IV dalam bentuk latin jawa dan tidak dijelaskan panjang lebar mengenai isi ajaran yang ada. Penulis hanya memberikan catatan kecil mengenai kata-kata kawi yang sulit seperti candrasangkala dan penjelasan atas judul serat.
E. Kerangka Teoretik
Dalam hukum Islam, syari’ah adalah kodifikasi dari seperangkat norma tingkah laku yang diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits. Keduanya adalah pembentuk inti islam-normatif yang telah membentuk tradisi-tradisi yang membentuk ritual umat islam. Orang dikatakan sudah mencapai kesalehan normatif jika telah melakukan seperangkat tingkah laku yang telah digambarkan Allah melalui utusannya Muhammad, sebagai umat islam. Kesalehan normatif adalah bentuk tingkah laku agama di mana kataatan dan ketundukkan makna “islam” secara istilahi merupakan hal yang sangat penting.
Sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping kedua sumber utama ini, terdapat dua lagi sumber hukum islam yang telah disepakati, yakni Ijma’ dan Qiyas. Keempat sumber hukum ini biasa dikenal dengan istilah al-adllat asy-syar’iyah, adillat al-ahkam, usul al-ahkam, al-masadir at-tasyri’iyah li alahkam.
Sementara itu, fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci , dan kitab-kitab fiqih merupakan salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran dalam hukum islam. Pada dasarnya hukum islam disyariatkan dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokok (daruriyyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan yang bersifat pelengkap (tahsiniyat). Maka jika daruriyyah, hajjjiyah dan tahsiniyah terpenuhi, maka berarti kemaslahatan tersebut telah terpenuhi.
Hukum Islam dalam mengatur persoalan kafa’ah tentu saja tidak terlepas dari upaya untuk mencapai kemaslahatan tersebut. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah (bahagia) yang penuh mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang), maka penentuan kafa’ah tentulah dalam rangka untuk mendukung tujuan tersebut.
Wahbah az-Zuhaily lebih tegas menyatakan bahwa menurut adat, kemaslahatan hubungan suami isteri tidak akan terwujud bila tidak ada kesepadanan diantara keduanya. Karena menurut adat, keberadaan seorang suami besar pengaruhnya terhadap isteri, maka tidak ada kesepadanan ini, suami tersebut menjadi tidak berpengaruh lagi terhadap isterinya. Apabila seorang suami tidak kufu’ dengan istrinya, maka hubungan suami istri tidak akan berlangsung lama, tali kasih sayang antara keduanya akan putus dan jadilah suami bukan pemimpin lagi dalam rumah tangga.
Sedangkan dalam menentukan kriteria kafa’ah, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i menentukan kriteria kafa’ahnya dengan nasab (an-nasab), keberagamaan (ad-diyanah), kemerdekaan (al-hurriyyah), profesi (al-hirfah), dan bebas dari cacat (as-salamah min al-‘uyub). Telah menjadi kesepakatan para Fuqaha, faktor agama merupakan faktor utama dalam menentukan kriteria kafa’ah. Akan tetapi, di antara para fuqaha juga menyebutkan beberapa faktor lain. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Dalam realita yang terjadi di masyarakat, faktor-faktor kafa’ah selain agama menjadi pertimbangan dalam memasuki kehidupan rumah tangga. Persoalan kafa’ah merupakan faktor ijtihadiyah yang penentuannya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat tertentu berkaitan erat dengan keinginan untuk mewujudkan kemaslahatan. Faktor-faktor kafa’ah selain agama telah berlaku di masa perumusan fiqih, akan tetapi rumusan kafa’ah ini hanya sebagai panduan dalam situasi dan kondisi setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan temporal di mana dan kapan produk pemikiran itu dihasilkan. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di kalangan fuqaha adalah wajar, selain dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di mana ulama itu hidup, juga disebabkan oleh perbedaan dalam metode yang mereka gunakan. Asy-Syatibi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan untuk melindungi kemaslahatan manusia. Pendapat ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh:
أن المقصودالعام لشارع من تشريع الا حكام هوتحقيق
مصالح الناس في هذه الحياة يجلب النفع لهم ودفع الضرر عنهم.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka murni (Library Research). Penelitian difokuskan pada literatur-literatur yang relevan, sesuai dengan kajian ini yaitu buku Nurhop Kolep, “Serat-Serat Anggitan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV” yang memuat tentang Serat Piwulang Warni-Warni dalam bahasa Jawa. Sebagai pembanding juga digunakan buku Kamajaya “Karangan Pilihan Mangkunegara IV” yang berbahasa latin.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian terhadap teks dan bersifat deskriptif analitik, yaitu suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun data, dan untuk memeberikan kandungan teks secara keseluruhan agar dapat dipahami secara kualitatif. Kemudian setelah hasil tercapai, penyusun mencoba menganalisis melalui kacamata hukum islam, dalam hal ini dengan ushul fiqh.
3. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan, yaitu:
a. Filologis.
Pendekatan filologis merupakan suatu bentuk pendekatan terhadap karya-karya tulis masa lampau atau naskah-naskah yang bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan pendekatan ini penyusun mengamati dan memahami bahasa yang dipergunakan dalam naskah, yang didasarkan pada teks tertulis. Jadi, dalam penelitian ini, penyusun mengamati dan memahami bahasa yang dipergunakan dalam Serat Piwulang Warni-Warni, untuk mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya, berdasarkan teks tertulis.
b. Historis.
Yaitu suatu usaha merekonstruksi masa lampau melalui proses mengumpulkan, mengklasifikasi, menyeleksi, menguji dan menganalisis secara kritis sumber-sumber, rekaman dan peninggalan masa lampau. Dalam penelitian ini pendekatan sejarah digunakan untuk mengungkap latar belakang sejarah atau suasana yang mewarnai dan mempengaruhi terciptanya naskah Serat Piwulang Warni-Warni tersebut sehingga akan tercapai suatu penggambaran yang jelas tentang kondisi ketika konsep kafa’ah dalam Serat Piwulang Warni-Warni ini dibuat.
4. Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini merupakan data perpustakaan dan bersumber dari literatur-literatur yang relevan. Sumber data primer didapatkan dari buku Serat-Serat Anggitan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV jilid 4 dengan teks Jawa yang merupakan buku kumpulan karya Mangkunegara IV yang dibukukan oleh Nurhop Kolep pada tahun 1953. Sedangkan buku sekunder dalam penelitian ini yaitu buku yang berjudul Karangan Pilihan KGPAA Mangkunegara IV karya Kamajaya yang berbahasa latin sekaligus sebagai pembanding buku primer. Buku sekunder yang lain adalah buku “al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV” karya Dr.Moh. Ardani.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, maka digunakan langkah-langkah, yaitu :
a. Interpretasi, sambil merekonstruksi teks naskah diterjemahkan dan diselami untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksud secara khas.
b. Analisis Normatif, dari kesimpulan yang diperoleh kemudian disejajarkan dengan nilai-nilai kafa’ah yang ada menurut agama islam.
c. Analisis Induktif, sering disebut juga penalaran induktif, yaitu pembahasan dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum.
d. Analisis Deduktif, atau sering disebut dengan penalaran deduktif yaitu pembahasan dari yang berangkat dari data umum ditarik generalisasi yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini dibagi kedalam tiga bagian utama yaitu bagian pendahuluan, bagian utama atau isi dan bagian penutup. Bagian pendahuluan diletakkan pada bagian pertama yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bagian isi dituangkan ke dalam tiga bab yaitu pertama adalah bab kedua yang berisi tinjauan umum tentang konsep kafa’ah yang terdiri dari lima subbab, yaitu: pengertian kafa’ah, dasar hukum kafa’ah, faktor-faktor penentu kafa’ah menurut fuqaha, dan pengaruh kafa’ah terhadap tercapainya tujuan pernikahan. Kedua adalah bab ketiga yang membicarakan tentang biografi Mangkunegara IV dan pendapatnya tentang kafa’ah. Ketiga adalah bab keempat yang memuat tentang analisis nilai-nilai kafa’ah yang ada pada Serat Piwulang Warni-Warni serta relevansinya dengan kehidupan zaman sekarang.
Sedangkan bab penutup ditempatkan pada bab terakhir dari skripsi ini yakni pada bab kelima yang terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan kemudian diakhiri dengan lampiran-lampiran.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG KAFA’AH
A. Pengertian Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah berasal dari kata كافاءyang berarti المساوة (sama) atau المماثلة (seimbang). Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata yang berakar kafa’ah و لم يكن له كفوا احد . Juga dalam hadis المؤمنون تكافؤا دماؤهم dari uaraian di atas dapat dijelaskan bahwa kafa’ah dari arti bahasanya berarti sama atau seimbang. Sedangkan secara terminologi kafa’ah selalu dikaitkan dengan masalah perkawinan. Ibnu Manzur mendefinisikan kafa’ah sebagai suatu keadaan keseimbangan ksesuaian atau keserasian. Ketika dihubungan dengan nikah, kafa’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Abu Zahrah kafa’ah adalah suatu kondisi di mana dalam suatu perkawinan haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara suami dan istri mengenai beberapa aspek tertentu yang dapat mengosongkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan perkawinan.
Dan demikian dari definisi di atas dapat dipahami bahwa istilah kafa’ah sangat terkait erat dengan masalah perkawinan, yakni adanya kesesuaian antara calon suami dan istri dalam beberapa aspek tertentu yang dapat menghindarkan terjadinya krisis dalam rumah tangga sehingga dapat menunjang tercapainya keluarga yang bahagia dan sejahtera.
B. Eksistensi dan Urgensi Kafa’ah dalam Perkawinan
Adanya kafa’ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang lainnya. Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidak cocokan. Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan soal pilihan jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan. Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan perkawinan, namun dikalangan ulama berbeda pendapat baik mengenai keberadaannya maupun kreteria-kreteria yang dijadikan ukurannya.
Pendapat berbagai Mazhab tersebut antara lain :
1. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memandang penting aplikasi kafa’ah dalam perkawinan. Keberadaan kafa’ah menurut mereka merupakan upaya untuk mengantisipasi terjadinya aib dalam keluarga calon mempelai. Jika ada seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’ tanpa seizin walinya, maka wali tersebut berhak memfaskh perkawinan tersebut, jika ia memandang adanya aib yang dapat timbul akibat perkawinan tersebut.
Segi-segi kafa’ah menurut mazhab ini tidak hanya terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita. Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak laki-laki.
2. Mazhab Maliki
Di kalangan mazhab Maliki ini faktor kafa’ah juga dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun ada perbedaan dengan ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah, yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan hukum dalam perkawinan. Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi mazhab ini adalah segi agama dan bebas dari cacat disamping juga mengakui segi-segi yang lainnya. Penerapan segi agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu perkawinan yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak wanita. Jika wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat dilaksanakan, sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap dilangsungkan maka pihak wanita tersebut berhak menuntut faskh.
3. Mazhab Syafi’i
Kafa’ah menurut Mazhab Syafi’i merupakan masalah penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara suami dan istri baik dalam kesmpurnaan maupun keadaan selainbebas dari cacat.
Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon mempelai harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah jika salah satu dari mereka mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya sedangkan ia tidak menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan. Selanjutnya Mazhab Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus dimana seorang wanita menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak kufu’ dengannya, sedangkan wali melihat adanya cacat pada lelaki tersebut, maka wali tidak diperbolehkan menikahkannya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti Qais yang datang kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia telah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah. Lalu Nabi menanggapi, “jika engkau menikah dengan Abu Jahm, aku khawatir engkau akan mendurhakainya. Namun jika engkau kawin dengan Mu’awiyah dia seorang pemuda Qurais yang tidak mempunyai apa-apa”. Akan tetapi aku tunjukkan kepadamu seorang yang lebih baik dari mereka yaitu Usamah.
4. Mazhab Zahiri
Mazhab ini dengan tokoh sentralnya Ibnu Hazm, berpendapat mengenai kafa’ah yaitu bahwa semua orang Islam adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam menikah dengan wanita keturunan Bani Hasyim, seorang muslim yang sangat fasik pun sekufu’ dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak berbuat zina. Pendapat ini didasarkan pada ayat :انما المؤمنون اخوة. . Berdasarkan ayat ini, maka semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm, walaupun secara formal ia tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial ia mengakuinya, yakni dari segi agama dan kualitas keberagamaan.
Keberadaan kafa’ah ini selain diakui oleh ulama di atas, juga diakui oleh fuqaha lain seperti Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan: “dalam suatu perkawinan hendaknya harus ada unsur keseimbangan antara suami dan istri dalam beberapa unsur tertentu yang dapat menghindarkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan rumah tangga.
C. Kriteria- Kriteria Kafa’ah.
Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk menetapkan kufu’ tidaknya seseorang. Dalam menetapkan kriteria ini para ulama banyak berbeda pendapat. Menurut mazhab Maliki, faktor-faktor yang dapat menjadi kriteria kafa’ah hanya dari segi agama. Namun dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa mazhab ini juga mengakui kriteria-kriteria kafa’ah dalam 3 segi, yaitu : agama, kemerdekaaan dan bebas dari cacat. Bahkan dalam kitab al- Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, dikatakan bahwa Ulama Malikiyah juga mempertimbangkan segi keturunan, kekayaan dan pekerjaan sebagai kriteria kafa’ah.
Abu Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad, berpendapat bahwa kriteria kafa’ah hanya terbatas pada faktor agama dan nasab saja. Akan tetapi menurut riwayat lain, mazhab ini juga mengakui kriteria kafa’ah dari segi nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan. Sama halnya dengan Mazhab Syafi’i, mereka mengakui beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam kafa’ah yaitu agama, nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Namun di kalangan para sahabat Syafi’i juga ditemukan pendapat yang menyatakan bahwa mereka juga mengakui kriteria kafa’ah dari segi bebas cacat. Sedangkan dari kalangan Hanabilah ditemukan dua sumber yang berbeda. Sumber pertama mengatakan bahwa Ahmad mempunyai ide yang sama dengan Syafi’i, dengan catatan Ahmad mengeluarkan urusan bebas dari aib secara jasmani. Sumber kedua menyebutkan Ahmad hanya mencantumkan unsur taqwa sebagai kriteria kafa’ah, sama dengan Malik.
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam perkawinan menimbulkan perbedaaan pendapat di kalangan Ulama baik mengenai eksistensi maupun kriterianya. Masing-masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Jika diamati, perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalam kriteria kafa’ah.
Segi-segi kriteria kafa’ah yang dapat kita temui dari penjelasan kriteria kafa’ah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Segi Agama.
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada perselisihan dikalangan ulama. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan, istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama. Adaikan ada seorang wanita solehah dari keluarga yang kuat agamanya menikah dengan pria yang fasik, maka wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau melarang bahkan menuntut faskh, karena keberagaman merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan melebihi unsur kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi kehidaupan lainnya.
Dasar penetapan segi agama ini adalah:
افمن كان مؤمناكمن كان فاسقا
تنكح المرأ ة لأ بع : لما لها و لحسبها و لجما لها و لد ينها فا ظفر بذا ت الد ين تر بت يداك
2. Segi Nasab.
Maksud nasab disini adalah asal usul atau keturunan seseorang yaitu keberadaan seseorang berkenaan dengan latar belakang keluarganya baik menyangkut kesukuan, kebudayaan maupun setatus sosialnya. Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan Ajam, kedua golongan Arab. Adapun golongan arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy dan selain Quraisy.
Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku Quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari keturunan yang sama, tidak yang lainnya.
3. Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan. Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka. Demikian juga seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.
Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya bapaknya yang merdeka, tidak kufu’ dengan orang yang kedua orang tuanya merdeka. Begitu pula seorang lelaki yang neneknya pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab perempuan merdeka jika dikawinkan denga laki-laki budak dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan denga laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
4. Segi Pekerjaan.
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik perusahaan maupun yang lainnya. Jadi apabila ada seorang wanita yang berasal dari kalangan orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat, maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang rendah penghasilannya. Sementara itu Ar-Ramli berpendapat bahwa dalam pemberlakuan segi ini harus diperhatikan adat dan tradisi yang berlaku pada suatu tempat. Sedangkan adat yang menjadi standar penentuan segi ini, adalah adat yang berlaku di mana wanita yang akan dinikahi berdomisili. Konsekuensinya, jika pekerjaan yang disuatu tempat dipandang terhormat tapi di tempat si wanita dianggap rendah, maka pekerjaan tersebut dapat menghalangi terjadinya kufu’.
5. Segi Kekayaan.
Yang dimaksud kekayaan di sini adalah kemampuan seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang terletak pada dirinya sendiri dan amalnya, namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu sebagian fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan sebagai faktor kafa’ah dalam perkawinan. Tapi menurut Abu Yusuf, selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke hari berikutnya tanpa harus membayar mahar, maka ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai kafa’ah. Abu Yusuf beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk menjalani kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar oleh siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak ataupun kakek.
Secara umum dasar penetapan segi kekayaan ini adalah beberapa hadis berikut ini:
الحسب الما ل والكرام التقوى
ان أحساب الناس بينهم فى هذه الد نيا هذا المال
6. Segi Bebas dari Cacat.
Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut faskh. Karena orang cacat dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta atau lepra.
Sebagai kriteria kafa’ah, segi ini hanya diakui oleh ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi’i ada juga yang mengakuinya. Sementara dalam Mazhab Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut tidak menghalani kufu’nya seseorang. Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak menerima. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk menuntut faskh.
D. Pengaruh Kafa’ah terhadap Tercapainya Tujuan Pernikahan.
Di atas telah disebutkan beberapa faktor yang ditetapkan oleh Fuqaha. Faktor-faktor tersebut merupakan syarat yang ideal, sebab faktor-faktor tersebut adalah sebagai jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Namun keadaan manusia itu tidak selalu sesempurna yang diidealkan dan selalu saja ada kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seorang calon suami atau calon istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat M. Quraisy Syihab di dalam bukunya, Wawasan al-Qur’an, bahwa perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan agama antara suami istri seringkali memicu konflik yng mengarah pada kegagalan.
Keagamaan merupakan salah satu pertimbangan yang wajib ditaati dalam pernikahan. Bahkan dalam UU No I tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Dalam sisi yang lain, memang faktor agama juga merupakan satu-satunya yang menjadi kesepakatan dan titik temu dari pendapat tentang kriteria kafa’ah oleh semua Mazhab.
Penentuan kafa’ah dari segi agama juga bisa dikaitkan dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Tujuan pernikahan menurut islamsecara garis besarnya adalah: (1) untuk mendapatkan ketenangan hidup, (2) untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata, (3) untuk mendapatkan keturunan. Di samping itu, pernikahan menurut islam juga bertujuan memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu, keluarga, dan masyarakat yang lebih baik. Dalam Undang-Undang Perkawinan ( UU NO 1 /1974), tujuan perkawinan dalam Pasal 1 sebagai rangkaian dari pengertian perkawinan, yakni :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian, jika dilihat dari tujuan pernikahan tersebut, kafa’ah dalam pernikahan dapat mendukung tercapainya tujuan pernikahan. Latar belakang diterapkannya konsep kafa’ah dalam pernikahan bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis yang dapat melanda kehidupan rumah tangga. Tujuan pernikahan dapat tercapai apabila kerjasama antara suami dan istri berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana damai, aman dan sejahtera. Tercapainya tujuan pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata, tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama. Dan faktor agama serta akhlaklah yang lebih penting dan harus di utamakan.
BAB III
KRITERIA KAFA’AH MENURUT KGPAA MANGKUNEGARA IV
Biografi Singkat KGPAA Mangkunegara IV
Nama kecil Mangkunegara IV adalah Raden Mas Sudira anak ke-7 Hadiwijaya yang dilahirkan dari istri permaisuri (garwa dalem), dan dilahirkan di Surakarta pada hari sabtu malam minggu tanggal 8 Sapar tahun Jimakir 1736 tahun Jawa atau 3 Maret 1811. Masa kecil beliau dilewati bersama dengan kakeknya, yaitu Mangkunegara II hingga berumur 10 tahun. Setelah berumur 10 tahun, beliau di serahkan kepada Pangeran Rio, sepupunya sendiri yang kemudian menjadi Mangkunegara III dan kelak menjadi mertuanya sendiri hingga berumur 15 tahun. Di bawah bimbingan Pangeran Rio inilah beliau belajar banyak tentang kesenian, kerajaan dan segala hal yang berbau pemerintahan. Kemudian pada umur 18 tahun ia menikah dengan putri KPH Suryamataram dan berganti gelar dengan nama RMH Gandakusuma.
KGPAA Mangkunegara IV adalah seorang tokoh pujangga dan pendidik pada abad ke 19 yang telah banyak memberikan sumbangan besar bagi pembangunan kerajaan Mangkunegaran dalam bagian pemerintahan, pendidikan keluarga kerajaan, memberikan tuntunan bagi prajurit dan pejabat sampai pada kemajuan ekonomi dan budaya.
Sebagai seorang sastrawan yang mumpuni, KGPAA Mangkunegara IV secara pribadi banyak memberikan saham dalam pertumbuhan jenis sastra piwulang yang di gubah menjadi pelajaran yang bersifat moralistis. Hasil karyanya yang sangat berhasil dan dianggap oleh sebagian Javanolog sebagai karya monumental yang sulit ditandingi dan selalu dijadikan sebagai rujukan utama untuk memahami konsep keberagamaan dan kejiwaan masyarakat Jawa secara umum dan dianggap sebagai karya yang sublim (adilihung) adalah Serat Wedhatama yang sarat dengan nuansa keislaman walaupun di dalamnya terdapat kata-kata yang di ambil dari bahasa Sanksekerta yang bercorak Hindu Jawa. Serat Piwulang Warni-warni merupakan karyanya juga yang diajarkan kepada putra sentana, prajurit dan pejabat kerajaan yang berlaku juga bagi masyarakat Mangkunegaran. Di dalamnya diberikan tuntunan baik melalui cerita atau nasehat yang berisikan bagaimana seorang berprilaku dan berbuat yang baik.
1. Latar Belakang Pendidikan
Mangkunegara IV lahir dalam lingkungan kraton yang memiliki tradisi keagamaan yang mapan. Kakeknya, Mangkunegara I atau RM Said adalah seorang yang ahli dalam membaca dan menulis Alqur’an dan sangat kuat menjaga ibadat dan segala ketentuan agama. Tradisi keraton mengutamakan pengetahuan dan pembelajaran Al-Qur’an sejak dini untuk golongan priyayi. Pendidikan Al-Qur’an ini dianggap sebagai modal awal bagi pendidikan selanjutnya.
Menurut pengakuannya dalam Serat Wedhatama, pada masa mudanya ia sangat tertarik pada pelajaran agama lalu ia berguru pada seorang ulama pada tata aturan haji. Hal ini dilakukan karena dirinya sangat cemas akan kehidupan pada akherat kelak. Namun belum cukup ia belajar agama, ia dipanggil untuk menerima tugas kerajaan. Pada masa-masa inilah ia dihadapkan pada dua pilihan yang membimbangkan hati, apakah ia harus terus belajar ataukah mengabdikan hidupnya pada Raja. Namun kemudian ia memutuskan untuk mengabdi pada raja, karena sebagai putra raja bila ingin menjadi juru doa kurang pada tempatnya .
Di sisi lain Mangkunegara IV dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan istana yang mendalami kepustakaan Jawa. Kepustakaan dan kebudayaan jawa pada masa Mataram memang telah diislamkan sehingga ia banyak menyadap aspek-aspek ajaran islam yuang memuat etika filsafat tasawuf. Kepustakaan kraton memang maju pesat di zaman kraton Surakarta. Tradisi menulis ini diawali pada masa kerajaan Mataram islam, dan tradisi ini tidak luntur ketika kerajan Mataram terpecah-pecah menjadi tiga kerajaan.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa Mangkunegara IV mempunyai rasa keagamaan yang kuat dan mempunyai pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama ia dapatkan dari seorang guru atau ulama dan dari pergaulannya dengan kepustakaan Jawa yang sarat dengan nilai-nilai ajaran islam.
2. Aktifitas Sebagai Pujangga dan Dalam Lapangan Lainnya.
Kehidupan Mangkunegara IV berada pada masa tumbuh suburnya kepustakaan kejawen. Kegiatan para pujangga pada masa ini adalah mengadakan diskusi dan memperdalam Ilmu pengetahuan lewat karya sastra. Di bawah Dewan Ahli Satra di Surakarta, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, Pakubuwana IX dan satrawan lainnya mengadakan diskusi dan bertukar fikiran dan bahkan kadang-kadang mengadakan uji kedalaman ilmu batin masing-masing dalam rangka memperdalam ilmu agama.
Tumbuh suburnya kegiatan dalam bidang sastra ini disebabkan kalangan elit kerajaan tidak mempunyai peluang atau hasrat yang sungguh-sungguh untuk menjalankan siasat politik terhadap kekuatan militer Belanda yang sangat kuat berhasil menanamkan rasa ketidakmampuan yang kemudian menjadi sikap pasrah bagi sebagian umum rakyat Jawa. Ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan pujangga kraton abad 19 seperti Pakubuwana IX dan Mangkunegara IV yang memeperlihatkan kepada kita suasana yang tenang, penuh tafakur dan penyerahan kepada nasib yang berbeda sekali dengan kisah-kisah yang di jumpai dalam kisah-kisah Sultan Agung dalam Babad Tanah Jawi yang melukiskan kebesaran dan kewibawaan kerajaan dengan elan vital yang begitu tinggi. Namun di sisi lain Mangkunegara IV berhasil menjadikan kerajaan Mangkunegaran yang khas berusaha untuk menghidupkan kembali semangat kesatriaan bersama dengan gagasan Kewiryaan yaitu kebajikan bertindak berani dan bertingkah laku.
Selain sebagai seorang sastrawan yang sangat mahir, Mangkunegara IV juga seorang prajurit yang berbakat dan sangat cepat karirnya menanjak. Umur 15 tahun sudah diangkat menjadi kadet, 3 tahun kemudian ia dilantik menjadi kapten infantri. Sebagai seorang prajurit, ia banyak mendapatkan tanda penghargan dari pemerintah.
Tahun 1840 pada usia 29 tahun, beliau diangkat menjadi mayor dengan merangkap sebagai petugas administrasi Legiun Mangkunegaran karena dianggap mampu menangani masalah pembukuan. Kemudian pada tahun 1853, tiga bulan setelah Mangkunegara III beliau diangkat menjadi kepala pemerintahan menggantikan Mangkunegara III dan mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwadana, dengan pangkat Letnan Kolonel Komandan Legiun Mangkunegaran. Beliau terpilih menggantikan Mangkunegara III karena dipandang paling mampu dibandingkan dengan anak-anak Mangkunegara III.
Dalam pemerintahannya Sri Paduka Mangkunegara IV meraih prestasi yang sangat baik. Beliau menjadikan Kerajaan Mangkunegaran sebagai satu-satunya kerajaan yang palinh berhasil menyesuaikan diri pada masa pemerintahan Belanda. Namun kehidupan militer Jawa tetap hidup sekalipun di bawah kekuasaan Belanda. Legiun Mangkunegaran yang terdiri dari Pasukan Infantri, Kavaleri dan Artileri tetap dipertahankan dengan keuangan Belanda. Sementara urusan pemerintahan sama sekali pihak Belanda tidak ikut campur.
Untuk menciptakan perekonomian yang maju maka dibangunlah pabrik-pabrik dan sarana prasarana ekonomi lainnya serta kantor pos sehingga kerajaan Mangkunegara di bawah pemerintahannya dapat menjadi kerajaan yang makmur. Pabrik gula Colomadu didirikannya pada tahun 1870 dan pabrik gula Malang Jiwan pada tahun 1861 Dan dalam negara yang makmur, seni budaya dapat berkembang baik. Dengan keahliannya daalam bidang sastra yang tidak diragukan lagi, berkembanglah seni tari, wayang orang, gending-gending dan bahkan beliau sendiri juga menciptakan Jas Langenharjan (jas yang digunakan oleh penganten jawa hingga sekarang).
Meskipun Kerajaan Mangkunegaran bertambah maju dan pesat, pada masa pemerintahannya namun Mangkunegara IV menuturkan bahwa keberhasilannya bukanlah karena dia semata, tetapi berkat karunia Tuhan dan para leluhurnya. Hal ini ia ceritakan dalam serat Wirawiyata bait 9-15.
3. Karya-Karya KGPAA Mangkunegara IV
Karya-karya Mangkunegara IV secara lengkap ditulis oleh KI Padmasutra dengan judul Dwija Iswara dicetak pada tahun 1898. karya-karya tersebut menurut isi kandungannya dapat dikelompokkan dalam 5 bagian, yaitu:
a. Serat Babad berisi riwayat atau sejarah seperti Serat Wanagiri, Serat Giripuro, dan Serat Tegalgendo.
b. Serat Piwulang berisi nasehat atau pelajaran, termasuk dalam kategori ini adalah Serat Wedhatama yang sangat terkenal dan Sera Piwulang Warni-warni yang di bahas dalam skripsi ini.
c. Serat Iber berupa surat-surat kiriman seperti Serat KGPAA Mangkunegara IV kepada Tuan KF Holle di Garut.
d. Serat Panembrana, berisi nyanyian untuk penyambutan tamu. Serat-serat ini terhimpun dalam Serat Sedhan Langen Swara.
2. Serat Perepen dan Manuhara, yang berisi pepatah dan teka-teki serta percintaan dengan bahasa yang sopan.
Karya-karya Mangkunegara IV yang berbentuk serat kebanyakan mempergunakan bentuk lagu (syair/puisi) berbahasa jawa dan mempunyai patokan yang telah disepakati ketentuannya dan disebut dengan Macapat. Pada umumnya syair atau lagu Jawa (Macapat) mempunyai aturan dan patokan yang telah disepakati secara umum dengan aturan sebagai berikut, yaitu guru wilangan (banyaknya suku kata dalam satu baris), guru gatra (banyaknya baris dalam satu bait), dan guru lagu (jatuhnya huruf atau vokal suara dalam satu baris). Ketiga aturan tersebut terdapat dalam suatu tambang yang disebut pupuh. Syair atau lagu berbahasa jawa terdiri dari beberapa pupuh yang mempunyai watak dan sifat sendiri-sendiri yang berguna untuk menyampaikan suatu cerita atau jenis pelajaran tertentu. Macam-macam lagu Macapat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kinanti mempunyai sifat senang, kasih sayang dan cinta. Digunakan untuk memberikan ajaran yang mengandung aspek cinta dan kasih sayang.
b. Gambuh, digunakan untuk nasehat yang bersifat keras
c. Durma, digunakan untuk bercerita perang.
d. Dhandhanggula, mempunyai sifat cocok dan meresap dalam hati dan digunakan untuk pelajaran.
e. Asmarandana, mempunyai sifat sedih, prihatin dan jatuh hati dan berguna untuk bercetrita tentang percintaan.
f. Maskumambang, mempunyai sifat sedih untuk menceritakan suatu hal yang menyedihkan dan menyusahkan.
g. Megatruh digunakan untuk menceritakan hal yang sangat menyedihkan dalam masalah asmara.
h. Mijil digunakan untuk menyampaikan suatu hal yang berisi nasehat.
i. Pangkur, bersifat menyerang dan digunakan untuk menyampaikan suatu hal yangbersifat menyerang.
j. Sinom, digunakan untuk menyampaikan nasehat.
Sedangkan aturan-aturan tembang Jawa (macapat) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Mijil terdiri dari 6 gatra : 10i, 6o, 10e, 10i, 6i dan 6u
b. Sinom terdiri dari 9 gatra : 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i dan 12u.
c. Kinanti terdiri dari 6 gatra : 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i.
d. Asmarandana terdiri dari 7 gatra : 8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, dan 8a.
e. Durma terdiri dari 7 gatra :12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, dan 7i.
f. Gambuh terdiri dari 5 gatra : 7u, 10u, 12i, 8u, dan 8o.
g. Megatruh terdiri dari 5 ghatra : 12u, 8i, 8u, 8i, dan 8o
h. Pangkur terdiri dari 7 gatra : 8a, 11i, 8u, 12u, 8a, dan 8i.
i. Maskumambang terdiri dari 4 gatra : 12i, 6a, 8i, dan 8a.
j. Dhandhanggula terdiri dari 10 gatra : 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i dan 7a.
k. Pocung terdiri dari 4 gatra : 12u, 6a, 8i, dan 12a.
Selain peraturan-peraturan tembang di atas, biasanya tembang jawa juga membuat isyarat sendiri tentang jenis pupuh yang dipakai dan biasanya ada penanda kata-kata yang menunjukannya dalam syair tersebut.
Latar Belakang Sejarah Serat Piwulang Warni-Warni.
Pada Abad ke-18 Surakarta mengalami kemunduran politik luar biasa. Daerah menciut dan terpecah pula. Tahun 1755 Kraton Mataram pecah menjadi Surakarta dan Ngayogyakarta Hadiningrat lewat perjanjian Giyanti. Tahun 1757 dengan adanya perjanjian Salatiga maka kraton Surakarta pecah lagi menjadi dua yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Pada masa kemunduran inilah timbul kesadaran untuk konsolidasi ke dalam berupa kegiatan kebudayaan antara lain dari Kasunanan dikuatkan oleh Pakubuwana IX dan di Mangkunegaran dikuatkan oleh Mangkunegara IV. Timbullah pada masa itu kegiatan tulis-menulis termasuk tulis menulis masalah keagamaan islam sekalipun sangat berbau mistik dan kurang sekali menekankan bidang syariat.
Serat Piwulang Warni-Warni termasuk genre sastra jawa klasik yang berisikan wejangan bagi masyarakat Jawa yang hidup pada abad 19. Sebagai genre sastra klasik serat-serat yang dikarang pada masa pujangga lama mengandung unsur-unsur didaktis dan pedagogis. Ciri pokok dari Serat Piwulang adalah dimasukkannya aneka karangan yang memberikan jenis pelajaran yang bersifat moralistis. Jenis sastra yang bersifat wejangan ini diawali oleh Mangkunegara I dan kemudian diikuti oleh kebanyakan pujangga kraton. Serat-serat pada masa pujangga lama secara tegas dan terang-terangan diperuntukkan untuk mendidik dan memberikan tuntunan bagi anak cucu dan keluarga kerajaan serta bagi masyarakat umumnya dalam menjalani hidup.
Serat Piwulang merupakan cerminan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa diciptakannya serat tersebut. Dari sastra ini dapat diketahui suasana yang menunjukkan akibat dari rasa penyesalan, ketidakpastian, dan ketidakberdayaan, dalam menghadapi keadaan yang terlalu sering tidak sesuai dengan patokan-patokan laku (prilaku) yang sudah lama menjadi pegangan.
Seperti sastra-sastra Piwulang lainnya, serat Piwulang Warni-Warni karya Mangkunegara IV sebagai sastra kepujanggaan lama mempunyai asal muasal dan tujuan diciptakannya. Sejarah dan tujuan serat-serat tersebut dapat diihat pada awal bait atau pada akhir dari sederetan bait isi yang ditulis.
Kriteria Kafa’ah Menurut KGPAA MANGKUNEGARA IV.
Dalam Serat Warayagnya Pupuh Dhandhanggula No. 9, beliau menuturkan kriteria tentang jodoh yang baik, yang berbunyi :
Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanadya kang utama, ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya sandang kang bukti, wewilangane ana catur upayeku, yogyane kawikanana, dhingin bobot pindho bebet, katri bibit, kaping pat tatariman.
Terjemah :
Oleh karena itu tidak gampang orang menikah, harus memilih seseorang yang utama dan dapat diajak bekerjasama dengan mengusahakan kelangsungan pada upaya tanggungjawab. Orang yang seperti itu mempunyai 4 ciri yang harus diperhatikan, pertama ; bobot, kedua ; bebet, ketiga ; bibit keempat bersifat menerima.
Dalam bait selanjutnya beliau melanjutkan :
Papat iku iya uga kanti, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawane, catur pambekanipun, endi kang sira senengi aja ngawang, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira.
Terjemah:
Keempat itu juga harus ada, pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kewibawaanya, dan keempat prilakunya, mana-mana yang kamu senangi jangan sampai salah pilih, karena akan menyesal. Karena memilih seorang wanita itu tanpa dimusyawarahkan bersama, tergantung pada kehendakmu.
Dari bait-bait di atas, dapat diketahui bahwa kriteria memilih jodoh yang baik menurut Mangkunegara IV harus memenuhi setidaknya delapan ( 8) kriteria. Kedelapan itu yakni ; pertama bobot, kedua, bebet, ketiga, bibit, keempat, bersifat menerima, kelima, kecantikannya, keenam, hartanya, ketujuh, kewibawaannya, kedelapan, prilakunya. Kriteria tersebut harus diperhatikan ketika seseorang akan menikah dan menjadi rujukan ketika akan memilih pasangan hidupnya.
Dari kedelapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
i. Bobot.
Tidak ada yang merumuskan secara pasti arti kata bobot ini. Moh Ardani mengartikan bobot dengan kualitas yang baik , sedangkan dalam Bausastra Jawa, diartikan dengan berat, timbang dan jika dihubungkan dengan bibit dan bebet, maka mendapatkan arti baru yaitu seimbang tidaknya turunan dan asalnya dalam mencari jodoh. Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma dalam Hukum Perkawinan Adat, dikatakan bahwa bobot adalah digunakan untuk melihat kafa’ah dari segi kekayaan dan segi ilmu pengetahuannya. Penyusun lebih setuju jika bobot ini diartikan sebagai suatu kualitas diri dari seseorang dilihat dari segi kedalaman pengetahuan dirinya, atau kualitas intelektualnya serta kekayaannya. Kekayaan menjadi penting ketika seseorang akan mengarungi kehidupan rumah tangga. Sedangkan ilmu pengetahuan ini sejalan dengan pemikiran Mangkunegara IV yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan kualitas diri seseorang. Adanya kualitas diri khususnya dalam ilmu pengetahuan ini dimaksudkan sebagai upaya menghasilkan bibit unggul (anak yang kelak dilahirkannya) dan juga sebagai upaya ketika kelak mempunyai anak mereka pasangan suami-istri mampu mendidik anak-anak yang mereka lahirkan dengan baik. Dari segi medis, gen DNA yang dimiliki seseorang akan sangat berpengaruh terhadap keturunannya. Maka ketika pasangan suami-istri mempunyai kualitas yang baik, maka dimungkinkan keturunannya pun akan memiliki kualitas yang baik pula. Disamping juga faktor bobot (kualitas ilmu pengetahuan) juga sangat dibutuhkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena bagaimanapun dalam perjalanan sebuah rumah tangga akan banyak ditemui berbagai persoalan yang harus dipecahkan secara bersama-sama di antara kedua pasangan suami-istri. Maka, ketika di antara kedua pasangan suami-istri ini mempunyai kualitas yang baik (dalam ilmu pengetahuan) mereka diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka dengan baik. Disamping juga mereka diharapkan bisa menyelesaikan persoalan-persoalan yang mengganggu keharmonisan rumah tangga mereka dan mengeliminir perselisihan-perselisihan yang terjadi ketika kelak menjadi keluarga tersendiri berpisah dengan orang tuanya.
ii. Bebet.
Dalam Bausastra Jawa, bebet diartikan dengan turunan atau mempunyai benih.. Sedangkan menurut Pemberton dalam bukunya “Jawa” , bebet diartikan sebagai kualitas yang baik. Menurut Hilman Hadikusuma dalam Hukum Perkawinan Adat, dikatakan bahwa bebet adalah digunakan untuk melihat kafa’ah dari segi pekerjaan, jabatan, martabat dan kedudukan. Dengan merujuk pada definisi ini, adanya keharusan unsur bebet ini dimaksudkan sebagai upaya mempersiapkan kedua pasangan calon suami-istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Karena bagaimanapun, unsur bebet ini menjadi jaminan bagi orang tua calon mempelai dalam melepas anaknya ketika kelak berpisah (menjadi keluarga tersendiri). Meskipun dalam sistem keluarga Jawa dikenal exstended family , satu keluarga besar dalam lingkup satu somah, kenyataan adanya unsur bebet khususnya dalam hal pekerjaan dalam pemilihan jodoh ini, juga diilhami dari adanya doktrin yang dikenal dengan istilah “banyak anak banyak rejeki”, yang memungkinkan ketika terjadi penerimaan anggota keluarga baru (menantu) diharapkan bisa menambah penambahan income penghasilan keluarga. Meskipun dalam realitas sosial, kenyataan keluarga baru (menantu) tidak selalu memenuhi unsur ini. Banyak dalam masyarakat pedesaan, ketika seseorang (khususnya laki-laki) yang telah menjadi anggota baru setelah melangsungkan pernikahan kemudian mengabdi (bekerja) pada lahan keluarga mertua baik sebagai petani, pedagang dan sistem penghasilan keluarga lainnya.
Dengan merujuk pada Hilman, bebet yang bisa juga diartikan dengan kedudukan dan martabat, menurut penyusun hal ini dimaksudkan sebagai sarana mobilitas status sosial. Sebagai orang tua, ketika akan menikahkan anaknya mereka akan berpikir bagaimana mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya dengan adanya anggota keluarga baru (menantu). Mereka (orang tua) akan sangat bangga ketika mendapatkan menantu yang secara sosial mempunyai status dan kedudukan yang lebih tinggi. Karena dari segi sosial, status keluarga pun ikut terangkat naik.
iii. Bibit.
Dalam Bausastra Jawa dikatakan bahwa bibit adalah benih atau asal mula. Sedangkan menurut Hilman dalam Hukum Perkawinan Adat dikatakan bahwa bibit adalah dipakai untuk melihat faktor kafa’ah dari segi keturunan, prilaku dan keadaan orangtuanya. Menurut penyusun sendiri, bibit mengandung arti keturunan dan asal-muasal keluarga pasangan. Bibit ini adalah faktor yang sangat diperhatikan dalam sebuah perkawinan di Jawa pada umumnya. Seseorang akan menilai keberadaan pasangan yang akan menikah dari sisi dari mana orang itu berasal. Faktor nasab atau keturunan ini menjadi penting ketika seorang akan menikah karena faktor ini dapat membawa hal yang baru kepada keluarga asal dengan perolehan status yang akan didapatkan nantinya. Seorang dari kalangan biasa bisa saja mendapatkan kenaikan derajat ketika menikah dengan seseorang yang dari keturunan bangsawan. Dan seorang bangsawan juga akan mendapatkan nilai yang lebih tinggi ketika dia menikah dengan seseorang yang juga mempunyai darah bangsawan. Perkawinan dalam kalangan kraton sendiri cenderung berbelit-belit dan selalu menunjukkan garis silsilah yang ketemu pada satu titik tertentu, dengan tujuan untuk memperkuat aliansi atau untuk mengincar sebuah jabatan. Perkawinan menjadi alat yang efektif untuk memperbesar kekuatan sehingga faktor keturunan selalu menjadi suatu hal yang sangat diperhatikan dalam kerajaan. Dalam pandangan masyarakat Jawa secara umum, bibit atau keturunan juga merupakan faktor utama yang selalu diperhatikan dalam memilih pasangan.
iv. Tatariman (Bersifat menerima).
Kriteria bahwa seorang wanita yang baik harus memiliki sifat menerima ini sebenarnya di anut oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari anggapan bahwa seorang istri hanyalah sebagai obyek pemuas nafsu belaka dan keadaannya hanyalah sebagai kanca wingking dan tidak mempunyai hak yang sama dengan suami. Bahkan seorang istri harus rela dimadu ketika suaminya menganggap bahwa pelayanan yang dia berikan tidak memuaskan. Perkawinan poligami memang masih sangat kuat di kalangan kebudayaan priayi.
Seorang wanita dipandang bersifat menerima ketika dia tidak masuk ke ruang pribadi suaminya dan hanya mengurusi wilayah domestik yang di milikinya. Mangkunegara IV dalam seratnya juga menunjukkan bahwa sebuah rumah tangga akan berjalan baik dan langgeng ketika seorang istri tidak hanya setia terhadap suaminya tetapi juga keberadaannya yang selalu menurut terhadap apa yang diingini suaminya terpenuhi.
Dalam Serat Darmawasita Pupuh Kinanti no 3, 4 dan 5, beliau menuturkan :
Lawan malih wulangipun, margane wong kanggep nglaki, dudu guna japamantra, pelet dhuyung sarat dhesti, dumunung neng patrapira, kadi kang winahya iki.
Wong wadon kalawan manut, yekti rinemenan nglaki, miturut marganing welas, mituhu marganing asih, mantep marganing tresna, yen temen den andel-andel nglaki.
Dudu pangkat dudu turun, dudu brana lawan warni, ugere wong palakrama, wruhana dhuh anak mami, mung nurut nyondhongi karsa, rumeksa kalawan wadi.
Artinya:
Dan lagi petunjukku, jalan yang menyebabkan seorang istri dipercaya oleh suaminya, bukan lantaran guna-guna dan mantera, atau pelet duyung atau guna-guna jahat, tetapi terletak pada sikap prilakumu, seperti apa yang akan dituturkan berikut ini.
Orang perempuan apabila menurut, niscaya akan disukai oleh suaminya, ketaatannya menyebabkan ia disayangi, kesetiaannya menyebabkan ia dicintai, jika ia jujur ia akan dipercayai seluruhnya oleh suaminya
Bukan pangkat bukan pula keturunan, bukan pula harta dan bukan pula kecantikan, untuk pegangan orang yang berumah tangga. Ketahuilah wahai anakku, pedomannya hanyalah menurut dan cenderung menyetujui kehendak suami, juga menjaga rahasia suami.
Seorang istri menurut Mangkunegara IV harus bersifat menerima apa adanya yang dia dapatkan dari suaminya dan selalu ingin membuat suaminya senang. Bahkan dalam prakteknya pun ketika seorang istri tidak dijamah sekalipun oleh suaminya, ia harus menerima dan selalu tunduk dengan apa yang ia dapatkan dari suaminya. Hal ini terjadi karena bagi seorang perempuan bangsawan, sebuah perceraian adalah aib, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi bagi seluruh keluarganya. Sebagai akibatnya, seorang perempuan yang telah menjadi istri seseorang selalu berusaha dengan segala kemampuannya untuk tetap dapat mengikat hati suaminya dan harus mampu bersaing dengan istri-istri lain dari suami itu.
v. Warna (Kecantikan).
Kecantikan bagi masyarakat Jawa secara umum dan kalangan bangsawan secara khusus, menjadi sangat penting, hal ini terkait erat dengan model idealitas keperempuanan Jawa. Di mana penampilan luar (fisik) lebih terasa dominan ketimbang penampilan nonfisik. Karena penampilan luar yang bersifat genital pada tubuh perempuanlah yang menjadi fokus perhatian atau ekspresi budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa yaitu budaya katuranngan.
Dalam pandangan Jawa, berlaku suatu agregasi atau bentuk hubungan antara kecantikan permpuan dan kewibawaan yang bersifat politis (kekuasaan struktural). Di mana kecantikan di pandang sebagai lelangyan (hiasan). Sehingga berlaku asumsi jika seorang raja banyak memiliki istri-istri yang cantik, semakin meningkatlah derajat kewibawaaannya. Pola ini secara signifikan memiliki basis referensial pada sistem perkawinan politik yg diterapkan oleh kerajan Mataram, masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645) maupun putranya Sunan Amangkurat I (1645- 1677 ).
vi. Brana ( Harta).
Harta menjadi suatu yang sangat penting bagi masyartakat manapun di dunia ini. Dalam kehidupan rumah tanggga, harta juga menjadi suatu hal yang sangat menentukan keberlangsungan dan keharmonisan sebuah keluarga. Bisa saja rasa cinta yang dimiliki dalam sebuah keluarga tiba-tiba luntur hanya karena persoalan kekurangan harta. Hal ini juga disadari betul oleh Mangkunegara IV dan menjadi sebuah ukuran ketika seseorang akan menentukan pasangan hidupnya. Apalagi ditinjau dari segi sejarah, pada waktu Mangkunegara IV, Jawa secara umum mengalami masa paceklik karena politik tanam paksa (culturestelsel) dari Belanda.
Pembahasan tentang harta sendiri menempati tempat yang penting dalam Sertat Piwulang Warni-Warni. Mulai dari persoalan harta bawaan suami istri, pengelolaaan harta suami istri serta harta gono-gini dan pembagiannnya. Dalam Serat Darmawasita Pupuh Dhandhanggula No. 7, beliau menjelaskan begitu pentingnya harta dalam kehidupan seseorang.
Luwih lara laraning ati, ora kaya wong tininggal arta, kang wis ilang piandele, lipure mung yen turu, lamun tangi sungkawa malih, yaiku ukumira, wong nglirwaken tuduh, ingkang aran budidaya, temah papa asor denira dumadi, tan amor lan sasama.
Terjemah :
Lebih terasa pedih dalam hati, tak ada bandingannya seperti keadaan orang yang tak punya harta, yang kehilangan kepercayaaan, ia terhibur hanya ketika tidur, namun setelah bangun ia akan sedih kembali, itulah hukuman bagi orang yang mengabaikan petunjuk, lalu meniadakan ikhtiar budidaya, akhirnya ia hidup sengsara dan melarat, tak dapat bergaul dan berkumpul secara layak dengan sesama manusia.
Dalam prakteknya, harta atau kekayaan memang menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan, terutama bagi perjalanan kehidupan rumah tangga selanjutnya. Banyak terjadi perceraian terjadi karena faktor harta yang sedikit atau merasa kekurangan. Walaupun harta menjadi faktor yang sangat penting, tetapi harta tidak menjadi jaminan kebahagiaan dan kelangsungan hidup sebuah keluarga.
vii. Wibawa (Kewibawaan).
Kewibawaan ini tidak bisa dilepaskan dengan kriteria-kriteria yang lain yang menempel pada seseorang. Kewibawaan sendiri adalah sebuah konsep yang abstrak dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi di mana seseorang tersebut hidup. Dalam konsep hidup orang Jawa, kewibawaan tidak bisa dilepaskan dengan konsep kecantikan, keturunan dan hartanya, karena dengan memiliki ketiga hal tersebut maka kewibawaan terhadap lingkungan sekitar akan timbul dengan sendirinya.
Dan bagi kalangan kraton yang masih memahami dan berprinsip bahwa segala kekuasaan pada akhirnya akan kembali dan memusat pada raja, maka kewibawaan sang istri menjadi sangat penting. Seorang istri diharapkan mempunyai kecantikan yang sempurna dan dari kalangan yang baik-baik atau kalangan bangsawan. Dalam hal kecantikan, maka bila seorang raja memiliki banyak istri yang cantik, dia akan mendapatkan kewibawaan yang berlebih, aalagi ditambah dengan keturunan atau nasab yang memang sangat penting dalam keberadaannya sebagai seorang raja. Kewibawaan dapat ditumbuhkan dengan melangsungkan perkawinan dengan seorang putri dari kerajaan lainnya dan ini berbanding lurus dengan kekuasaan politis yang akan didapatkan setelahnya.
viii. Pambekan (Perilaku).
Perilaku atau kelakuan seseorang menjadi penting bagi seseorang yang akan menikah untuk menjadi pertimbangan. Prilaku yang dimaksudkan oleh Mangkunegara IV adalah bahwa seorang perempuan harus mmpunyai prilaku yang baik sesuai dengan adat-adat jawa yang ada. dalam konsep ini, seorang perempuan sudah harus menaati peraturan yang ada walaupun mungkin menyiksa baginya. Seorang yang berprilaku baik adalah orang yang tidak lepas dan selalu mengikuti tata dan cara , dan ketika seseorang tersebut melangar tata aturan yang ada, maka ia akan diaggap tidak lagi “njawani”.
Penekanan prilaku yang baik sendiri oleh Mangkunegara IV diletakkan dalam posisi yang sangat tinggi. Aturan-aturan mulai dari aturan sopan santun keluarga, kesopanan dan kesetiaan seorang istri, dan tentang pendidikan anak menjadi hal yang sangat diperhatikan dan banyak menjadi tema tulisannya dalam Serat Piwulang Warni-warni. Hal ini tidak lepas dari kultur jawa yang sangat memandang tinggi etika yang penuh dengan simbolisme.
Di kalangn priayi, seorang perempuan haruslah mematuhi bahwa ketika dia tiba pada umur yang ditentukan, maka ia harus rela untuk dipingit, kemudian dalam mencari jodoh, ia akan dipilihkan oleh orangtuanya, atau menunggu restu dari orang tua. Dan prilaku yang baik sudah diajarkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak dengan memberikan ajaran tentang sungkan, isin dan wedi. Dan pengajaran ini menempati tempat yang tinggi bagi orang Jawa sehingga tertanam sampai dewasa.
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KRITERIA KAFA’AH KGPAA MANGKUNEGARA IV
A. Analisis terhadap Perkembangan Pemikiran tentang Kafa’ah dalam Pernikahan.
Untuk memahami sikap dan pendapat dari Imam Mazhab, perlu meninjau lagi situasi sejarah munculnya konsep kafa’ah. Pembahasan ini akan dimulai dengan perkawinan adat istiadat sejak masa menjelang datangnya islam hingga masa para imam mazhab.
Sehubungan dengan sejarah perkembangan pemikiran tentang konsep kafa’ah ini, terdapat dua teori, yaitu: pertama, teori Iraq yang dipelopori oleh Farhat J. Ziadeh. Yang kedua adalag teori Arab yang dipelopori oleh M.M Bravmann. Dengan berbagai bukti, Ziadeh menunjukkan bahwa konsep kafa’ah dalam islam adalah berasal dari Kufah (Iraq), tempat Abu Hanifah berada. Menurutnya, Kufah pada masa tersebut adalah tempat datangnya tradisi yang telah secara turun temurun. Jika dibandingkan dengan Madinah dan Hijaz, Kufah dan Iraq merupakan tempat yang lebih kosmopolitan dan kompleks secara sosial. Di Iraq, Kufah khususnya, dapat ditemui adanya percampuran etnik, tradisi dan urbanisasi, kelompok Arab dan Mawalli (non Arab) serta warisan stratifikasi sosial sejak zaman Sasaniyah. Kondisi tersebut ternyata menjadi faktor yang mendukung penciptaan dan perkembangan konsep kafa’ah di Kufah. Bukti lain yang menjadi faktor pendukung teori ini adalah bahwa kafa’ah tidak dapat ditemui dalam kitab Al-Muwatta karya Imam Malik yang merupakan Imam Mazhab yang berasal dari Madinah dan Hijaz, yang menurutnya tidak dapat dijadikan sebagai tempat untuk mengembangkan tradisi kafa’ah.
Sedangkan Bravmann menunjukkan bukti-bukti yang dapat dipercaya, bahwa dalam sejarah, sebenarnya kafaah ini merupakan konsep asli yang berasal dari Arab. Buktinya adalah kasus pernikahan Bilal, seorang budak kulit hitam, yang menikah dengan seorang gadis Arab. Ini menunjukkan bahwa di Arab pra Islam ditemukan aturan adat tentang konsep kafa’ah. Hanya sayangnya, Bravmann tidak menjelaskan mengapa Imam Malik tidak memakai konsep kafa’ah yang merupakan social equality dalam rumusan fiqhnya, padahal beliau berada di Arab (Madinah) yang telah memiliki konsep kafa’ah.
Di Arab pra islam, kelompok-kelompok masayarakat yang lebih kuat mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada kalangan masyarakat yang lebih lemah, sehinggga kalangan masyarakat yang tidak terikat dalam suatu suku meminta perlindungn kepada suku yang lebih kuat dengan berbagai konsekwensi. Ini kemudian melahirkan struktur dan stratifikasi sosial dengan gejala munculnya bangsawan, harem dan Mawali. Kelompok yang mendapat perlindungan disebut dengan Mawalli, meskipun bukan budak, kelompok ini tetap dipandang rendah dalam masyarakat Arab. Kafa’ah di kalangan Arab Jahiliyah mensyaratkan kedudukan setara (kufu’) baik dari pihak pria maupun wanita. Menjelang datangnya Islam, ketentuan kafa’ah dari kedua belah pihak ini masih berlaku.
Masyarakat Arab, sebagaimana masyarakat yang lainnya mempunyai gambaran ideal calon pasangan hidupnya. Calon istri ideal dalam masyarakat Arab Jahiliyah adalah perempuan terhormat dari kalangan baik-baik, meskipun tidak selalu harus kaya, baik budi, subur, cantik dan produktif. Perempuan yang mendekati kriteria tersebut bagi laki-laki adalah calon yang paling ideal. Sedangkan calon suami yang ideal adalah laki-laki muda dari kalangan keturunan luhur bangsa Arab. Perkawinan perempuan Arab dengan kalangan non-Arab dipandang tercela. Bagi perempuan, suami yang ideal adalah bersifat penyayang, jujur, terhormat, murah hati dan setia. Suami yang ideal adalah juga harus mempunyai status sosial yang sepadan dalam hal keturunan, kemuliaan dan kemasyhuran.
Kesetaran sosial selanjutnya bukan hanya sebuah gambaran ideal dari pasangan yang diidam-idamkan, namun kemudian menjadi tuntutan keharusan dan pertimbangan utama dalam perkawinan masyarakat Arab pra Islam dan masa-masa awal islam. Dengan demikian, kafa’ah merupakan tradisi asli orang Arab.
Sedangkan pada masa Nabi, telah disebutkan dalam al-Qur’an mengenai kesesuaian pasangan perkawinan bagi kaum mukmin. Dari ayat-ayatnya dapat diketahui bahwa kafa’ah tidak menyangkut sama sekali tentang urusan nasab, akan tetapi menyangkut persoalan keagamaan (termasuk akhlak) semata. Dan tuntutan kafa’ah ini berlaku bagi kedua belah pihak. Untuk mencabut akar-akar adat kebiasaan Arab lama, Nabi mengawinkan Zainab yang berasal dari kalangan Bani Hasyim dengan bekas budak beliau, Zaid bin Harits. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada tuntutan kafa’ah dalam hal nasab seperti zaman pra Islam. Oleh karena itu Nabi telah memberantas kafa’ah warisan Jahiliyah itu.
Dasar dari ketentuan kafa’ah ini adalah ayat al-Qur’an :
انما المؤمنون اخوة فاصلحو بين اخو يكم واتق الله لعلكم ترحمون.
يايها الناس اناخلقناكم من ذكروانثي وحعلناكم شعوباوقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عندالله اتقاكم ان الله عليم خبير.
Dan hadits-hadits berikut ini:
الناس سواسية كأ سنان المشط لافضل لعربي على عجمى انما الفضل بالتقوى
اذا انا كم من ترضون د ينه واما نته فزوجوه الاتفعلوه تكن فتنة في الارض وفساد كبير .
Inilah yang dijadikan dasar oleh beberapa Ulama untuk menolak adanya kafa’ah yang bersifat social equality dalam pernikahan. Dan sebagai gantinya muncullah kafa’ah yang bersifat religious equality. Sikap egalitarian inilah yang kemudian tumbuh di kalangan masyarakat Madinah dan menjadi sebuah Sunnah, sehingga stratifikasi sosial menjadi samar. Dengan demikian dapat dijelaskan mengapa Imam Malik tidak menyebut-nyebut kafa’ah yang bersifat social equality dalam Al-Muwatta, meskipun sebenarnya kafa’ah telah ada dan berakar pada masyarakat pra islam dan awal islam.
Pada awal munculnya konsep kafa’ah ini, terdapat dua tendensi di kalangan Fuqaha. Dalam hal kafa’ah, Fuqaha di Madinah hanya semata-mata melarang wanita solekhah menikah dengan laki-laki fasiq. Sementara di sisi lain terdapat tendensi di kalangan Fuqaha Kufah, tempat timbulnya Mazhab Hanafi yang dinilai oleh Abu Zahrah sebagai Mazhab yang paling luas mengatur tentang kafa’ah dibandingkan dengan Mazhab lain. Penilaian ini didasarkan pada alasan bahwa sekalipun Abu Hanifah memberikan hak dan kebebasan kepada perempuan untuk menentukan pasangan, namun ternyata beliau memberikan keleluasaan kepada wali nikah untuk mempertimbangkan dan menilai adanya kafa’ah di dalam diri calon suami. Selain itu, Abu Hanifah juga memberikan penekanan yang lebih untuk menjadikan kafa’ah sebagai salah satu syarat nikah agar perempuan yang akan menjadi istri tersebut tidak jelek reputasinya.
Analisis ini didasarkan pada teori “ Perubahan hukum disebabkan oleh perubahan waktu” dan teori “Perubahan hukum disebabkan oleh perubahan adat kebiasaan”. Sebagaimana kaidah fiqh:
تغييرالحكم بتغييرالأز مان dan تغييرالحكم بتغييرالعادة .
Banyak yang berpendapat bahwa perbedaan tentang penafsiran kafa’ah ini dapat diterangkan oleh iklim sosial di mana masing-masing teori ini dikembangkan. Akan tetapi teori perbedaan yang didasarkan pada iklim sosial ini dibantah oleh argumen yang mengatakan bahwa dalam realitas sosial, hampir tidak ada perbedaan yang tampak antara kawasan-kawasan Timur (Kufah dan sekitarnya) dengan kawasan Maghrib (Afrika Barat Laut). Sebagaimana di Kufah, permasalahan menyangkut kesetaraan sosial, kesamaan dan ekonomi telah bertahan, tetapi tidak menjadi obyek sanksi hukum fiqh.
Dengan demikian teori yang berdasarkan latar belakang tersebut tidak bisa diterima. Perbedaan pendapat dalam masalah faktor kafa’ah ini berhubungan dengan wali nikah. Dalam hal wali nikah inilah tampaknya para Fuqaha berbeda pendapat. Mazhab Hanafi memperbolehkan seorang wanita yang sudah dewasa untuk melakukan pernikahan tanpa wali. Akan tetapi Mazhab ini juga memberikan persyaratan yang ketat terhadap kesekufu’an dalam pernikahan. Otoritas yang diberikan oleh Mazhab ini terhadap seorang wanita tersebut dibatasi dengan aturan-aturan untuk mendapatkan kesepadanan dalam pernikahan. Wanita diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki yang sekufu, namun apabila laki-laki calon suaminya tersebut tidak sekufu’ dengannya, maka walinya berhak untuk memisahkan pasangan tersebut, atau wanita tersebut harus meminta persetujuan walinya.
Sedangkan Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad menekankan pentingnya wali. Oleh karena itu mereka menyertakan sedikit persyaratan mengenai kesepadanan dalam pernikahan. Di dalam kualitas yang menjadi landasan kesepadanan pernikahan, semuanya setuju akan arti pentingnya kafa’ah dalam hal agama. Seorang gadis dapat untuk menolak untuk menikah dengan seorang laki-laki yang melanggar aturan agama. Faktor kafa’ah lain yang disebut oleh para imam Mazhab adalah kafa’ah dalam hal keturunan, status bebas, kekayaan, tidak cacat dan mempunai pekerjaan. Bagi Imam Malik, agama adalah satu-satunya kriteria, sedangkan Imam Syafi’i memberikan lima faktor yang dijadikan ukuran kesekufu’an, yaitu : agama, nasab, pekerjaan, status bebas dan tidak cacat.
Faktor-faktor kafa’ah selain segi agama yang telah dirumuskan oleh para Fuqaha tersebut memang telah berlaku di masa perumusan fiqh tentang konsep kafa’ah tersebut. Tidak ada dalil al-Qur’an yang dijadikan panduan landasannya. Oleh karena itu, rumusan tentang kafa’ah hanya sebagai panduan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan temporer.
Menurut pendapat penulis, perbedaan itu bersumber pada perbedaan dalam memandang permasalahannya. Seperti Imam Malik dalam merumuskan konsep kafa’ahnya tidak mempedulikan pemahaman yang ada pada masyarakat umumnya, sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada pada masyarakat tersebut.
Namun, tiadanya keseragaman ini tidaklah meniadakan kesan mengenai kesadaran yang dalam tentang situasi sosial di kalangan Fuqaha di berbagai lingkungan keturunan, kekayaan dan profesi sebagai kriteria kesekufu’an perkawinan yang sangat menekankan kesetaraan, bagi seorang pria muslim tidaklah mengherankan. Bahkan bagi orang yang sangat egaliter dan terbuka sekalipun mungkin akan menolak mentah-mentah bila anak perempuannya akan menikah dengan seorang laki-laki yang lingkungan sosialnya sembarangan. Dengan demikian, penting juga faktor-faktor kafa’ah tersebut dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan, akan tetapi faktor utama yang dijadikan patokan adalah dalam segi agama.
B. Analisis terhadap Pandangan KGPAA Mangkunegara IV tentang Kriteria Kafa’ah.
Tentang kafa’ah dalam menentukan jodoh, Mangkunegara IV memberikan gambaran :
Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanadya kang kena, ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya kang sandhang bukti, catur upayeku, yogyane kawikanana, dhingin bobot pindho bebet katri bibit, kaping pat tatariman.
Terjemah :
Oleh karena itu, tidak mudah orang menikah, harus memilih orang yang utama dan dapat diajak kerjasama dengan mengusahakan kelangsungan pada upaya tanggungjawab. Orang yang seperti itu memiliki empat (4) ciri utama yang penting untuk diperhatikann pertama ; bobot, kedua; bebet, ketiga; bobot, keempat; tatariman.
Dan dalam bait selanjutnya dijelaskan :
Papat iku iya ugi kanthi, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri kawibawane, catur pambekanipun, endi ingkang sira senengi aja ngawang, manawa kaduwung, karana milih wanadya, datan kena den mupakataken sasami, wuruk neng karsanira .
Terjemah :
Keempat itu juga dengan pertama kecantikannya, kedua hartanya, ketiga kedudukannya, dan keempat prilakunya. Mana-mana yang kamu senangi jangan sampai salah pilih, karena akan menyesal. Karena memilih seseorang itu tanpa dimusyawarahkan bersama, tergantung pada kehendakmu.
Dilihat dari pernyataan-pernyataan di atas, tampaknya Mangkunegara IV memiliki konsep tersendiri tentang kafa’ah dibandingkan masyarakat Jawa secara umum yang hanya memberikan ketentuan bibit, bebet dan bobot saja. Sedangkan Mangkunegara menambahi kriteria idealnya dengan tatariman (bersifat menerima), warna (kecantikan), brana (harta), wibawa (kewibawaan), dan pambeka (prilaku) sehingga semuanya berjumlah delapan (8) buah kriteria. Kriteria yang lebih banyak dibandingkan dengan pendapat masyarakat Jawa secara umum ini bisa dikatakan karena keadaan jaman yang mendukung ini dan juga karena faktor bahwa dalm tata bahasa jawa, arti kata bibit, bebet dan bobot terkadang sudah mempunyai arti atau momot makna dengan semua yang dikatakan oleh Mangkunegara IV kecuali faktor tatariman yang memang benar-benar konsep murni dari Mangkunegara IV yang ternyatakan dan disebarluaskan dalam seratnya. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya (kecantikan, harta, prilaku, dan kewibawaan) biasanya sudah masuk ke dalam kriteria bibit, bebet dan bobot.
Konsep Mangkunegara IV tentang kriteria kafa’ah ini memiliki kecenderungan untuk mendasarkan konsep kafa’ahnya pada latar belakang status sosial atau kelas sosial. Dan pandangannya tentang kafa’ah juga sangat patriarkhi, di mana dalam bait-baitnya disebutkan bahwa seorang perempuan yang baik adalah seorang perempuan yang bersifat menerima (tatariman), terhadap semua yang dilakukan oleh suami. Beliau juga tidak memberikan ciri-ciri seorang suami yang baik dan hanya memberikan gambaran wanita yang ideal yang dapat dijadikan sebagai istri. Pandangan seperti ini tidaklah berbeda jauh dengan pandangan kalangan priyai secara umum yang sangat mengagungkan budaya patriarkhi di mana kaum pria dibebaskan untuk memilih pasangan hidupnya tanpa ada keseimbangan yang nyata dengan hak-hak yang diberikan kepada kaum perempuan.
Tampaknya pandangan tersebut menyalahi prinsip equality (persamaan) yang telah disebutkan dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, yaitu bahwa islam menolak secara tegas tindak diskriminasi dalam bentuk dan atas nama apapun. Karena perlakuan diskriminatif terhadap manusia berarti pelecehan terhadap hak paling dasar manusia yaitu, diciptakannya manusia oleh Tuhan dalam keadaan yang sama, tidak ada yang lebih unggul diatas yang lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan faktor nasab dan status sosial, maupun faktor yang lainnya selain agama dan akhlak telah dimasukkan ke dalam kriteria kafa’ah walaupun dalam Alqur’an tidak disebutkan.
Masyarakat Islam, dan Jawa khususnya yang didominasi laki-laki menjadikan status sosial lebih penting dari pada pilihan individual. Tetapi sejauh pernyataan al-Qur’an tidak diragukan lagi, bahwa pilihan individuallah yang lebih penting, meskipun status sosial tidak ditetapkan lagi sebagai salah satu faktor dalam kafa’ah dalam al-Qur’an, namun jenis pernikahan seperti inilah yang sering ditemui dalam masyarakat manapun. Orang lebih mendahulukan status sosial darpada pilihan individu dan karena itulah para Ulama mempertimbangkan kriteria-kriteria tersebut sebagai satu kriteria untuk penikahan, walaupun hal ini tidak sejalan dengan al-Qur’an. Menurut al-Qur’an setiap laki-laki beriman dapat menikahi perempuan beriman tanpa membedakan status sosialnya, al-Qur’an membuat pernyataan normatif mengenai hal ini. Namun, di dalam fiqih ditemukan bahwa konsep status sosial perempuan itu merupakan faktor penting dalam pernikahannya dengan seorang laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa norma-norma mutlak tidak dapat diterima secara sosial, masyarkat tidak mampu menyamakan dirinya dengan keadaan idealitas ilahiahnya. Hukum Islam diturunkan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih:
أن المقصودالعام لشارع من تشريع الأ حكام هوتخقيق مصالح الناس في هذه الحياة يجلب النفع لهم ودفع الضرر عنهم.
Pada kasus konsep kafa’ah Mangkunegara IV, agama tampaknya tidak menjadi faktor utama dalam pertimbangan mencari jodoh karena memang di Jawa secara umum telah menganut agama islam dan juga karena islam tidaklah menjadi sebuah tata anutan yang menjadi rujukan utama ketika menghadapi sebuah persoalan. Faktor ini tidak bisa dilepaskan pada definisi agama yang bagi orang Jawa hanyalah sebagai “ ageman agemaning aji” atau tidak lebih sebagai busana atau penampakan luar saja. Meski perlu dipertegas bahwa agama bagi seorang priayi adalah sangat khas, yakni bersifat individual dan psikologis (agama sebagaimana penghayatan pribadinya sendiri), sehingga sering agama hanya sebagai kedok, karena ia menjalankan agama sesuai dengan hidupnya sendiri dan sering pula dicampuri dengan takhayul . Ini dapat ditemukan dalam Serat Wedhatama karangan KGPAA Mangkunegara IV, dan bagi beliau agama orang Jawa adalah agama budi luhur, bukan agama secara syari’ah formal keislaman. Bahkan dalam salah satu baitnya di Wedhatama, beliau mengungkapkan :
Lowung kalamun tinimbang, aurip tanpa priatin, nanging ta ing jaman mangkya, pra muda kang den karemi, manulad nelad Nabi, Nayakengrat Gusti Rasul, anggung jinawe umbag, saben seba mampir masjid, ngajap-ajap mujijat tibaning drajat.
Anggung angubel sarengat, saringane tan den wruhi, dalil dalaning ijemak, Kiase nora mikani, ketungkul mungkul sami, bengkrakan mring mesjid agung, kalamun maca kutbah, lalagone dhandhanggelis, swara arum ngumandang cengkok palaran.
Lamun sira paksa nulad tuladaning Kanjeng Nabi,ngger kadohan panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira Jawi, setitik bae wus cukup, aywa guru aleman, nelad kas ngebleki pekih.
Terjemah:
Sekalipun belum memuaskan dalam menjalani hidup bertapa namun lebih baik jika dibandingkan dengan yang tanpa prihatin. Tetapi yang digemari anak muda sekarang ini ialah meniru penuntun dunia Gusti Rasul (Nabi Muhammad), dengan maksud pamer dan membanggakan diri, jika hendak menghadap raja singgah di masjid, dengan maksud unruk meraih derajat dan pangkat tanpa harus bekerja keras.
Tak henti-hentinya mereka terikat syariat, tanpa memahami intisarinya. Mereka tidak mengetahui dalil al-Qur’an dan Hadits yang menjadi jalan pengambilan hukum Ijmak dan Kias pun tak mereka pahami, mereka lupa kepada kewajiban pokok, karena asyik bertingkah berlebih-lebihan ke masjid agung, jika membaca khutbah seperti irama dhandhanggula, suaranya merdu berkumandang seperti gaya lagu (palaran).
Jika engkau memaksa dirimu untuk mencontoh perbuatan Nabi, wahai anakkku, terlalu jauh jangkauan langkahmu, watak pribadimu tidak bakal tahan uji. Karena engkau orang Jawa (jika hendak meniru perilaku Rasul itu) sedikit saja rasanya sudah cukup. Janganlah karena menginginkan pujian lalu memaklsa diri meniru perbuatan fikih sepenuhnya. Biarpun engkau mengambil contoh tidak banyak (asal yang inti pokoknya) jika engkau lakukan dengan tekun dan cita-cita yang teguh, niscaya akan mendapat rahmat juga.
Dari bait-bait di atas dapat dilihat bahwa bagi orang Jawa tidaklah perlu untuk mencontoh secara penuh Syariat yang diajarkan oleh Nabi. Walaupun dipaksakan (manelad-nelad), toh juga orang Jawa adalah orang Jawa yang mempunyai batasan dalam meniru semua prilaku Nabi, dan hidup dalam kondisi dan situasi yang sangat berbeda dengan masa dan tempat hidup Nabi. Di sana dapat dilihat pandangan Mangkunegara IV tentang agama yang cenderung bersifat sufistik dan kurang mempedulikan terhadap aspek syari’ah formal. Dan perilaku sosial kemasyarakatan lebih diutamakan keberadaannya dibandingkan dengan menjalankan syari’ah formal.
Faktor-faktor status sosial yang menjadi kriteria Mangkunegara IV dalam mencari jodoh tidak bisa dilepaskan dengan budaya Jawa yang berkembang, di mana pasangan hidup menjadi penting ketika kehidupan rumah tangga kemudian berjalan. Seorang istri menjadi penting ketika dia bisa menambah kewibawaan bagi suaminya di hadapan masyarakat umum, dan ini tidak bisa dilepaskan dengan pandangan umum masyarakat bahwa faktor seperti kecantikan, kekayaan, keturunan dan hal-hal lain yang cenderung materialis menjadi penting ketika budaya katuranggan sudah begitu melekat pada masyarakat Jawa secara umum. Selain itu, faktor bahwa islam yang berkembang di Jawa adalah islam Mazhab Syafi’i yang cenderung menjadikan faktor sosial menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan jodoh menjadi relevan ketika Mangkunegara IV pun dalam menentukan kriteria pemilihan jodoh tidak jauh berbeda dengan kriteria Mazhab Syafi’i.
Yang membedakan kriteria Mangkunegara IV mengenai kriteria kafa’ah dengan yang dikemukakan oleh Mazhab Fiqh secara umum adalah bahwa Mangkunegara IV tidak menyebutkan secara eksplisit tentang faktor agama sebagai sebuah kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan pasangan. Hal ini menurut penyusun lebih dikarenakan bahwa dalam islam yang berkembang di Jawa tidak sampai kepada kraton sepenuhnya dan masih adanya anggapan bahwa seorang yang pintar dalam hal agama tidak sepenuhnya dibutuhkan dalam kraton. Ini dapat dibuktikan dengan status penghulu yang sama dengan kawula kraton/abdi dalem biasa. Dan dalam hal yang lebih luas, Islam di Jawa sudah merupakan sebagai identitas budaya yang tak bisa lepas dari peri kehidupan masyarakat jawa secara umum. Manakala orang mengaku dia adalah Jawa, maka dia adalah beragama Islam walapun mungkin secara formal keagamaan dia tidak pernah menjalankannya kecuali waktu disunat dan Syahadat ketika menikah.
Tetapi dalam konteks agama sebagai faktor kriteria kafa’ah, cukuplah seorang itu beragama islam. Dan hal ini diakui oleh semua Ulama Mazhab, walaupun kesalehan seseorang menjadi pertimbangan dalam menentukan jodoh, tetapi kesamaan agama menjadi batas minimal ketika seseorang menentukan jodohnya. Dan Mangkunegara IV dalam memberikan kriterianya tentang kafa’ah, walaupun tidak secara eksplisit mengungkapkannya, tetapi dalam bait-bait sebelum dan sesudahnya, beliau menyinggung banyak tentang betapa pentingnya seseorang mengikuti petunjuk agama. Salah satunya adalah :
Kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami jajaka, lamun tembe pikramane, ajwa tinalyeng wuwus, wasitane mengku pawestri, ywa dumeh yen wong priya, misesa andaku, mring darbeking wanadya, palakrama nalar lan kukum kang dadi, yen tininggal temah nista.
Terjemah:
Bagi putra dan putri yang telah dewasa yang menghajatkan pedoman berumah tangga, demikian pula khususnya bagi yang masih bujangan, apabila kelak tiba saatnya perkawinannya, janganlah asal berbicara tentang nikah, tetapi perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri, jangan hanya karena kamu laki-laki, lalu merasa berkuasa, terhadap harta milik perempuan, berumahtangga itu yang dijadikan adalah pedoman ialah nalar yang sehat dan hukum yang berlaku. Jika keduanya ditinggalkan niscaya mengakibatkan kenistaan.
Dalam bait lain disebutkan:
Wuryaning reh priya kang rumiyin, lamun arsa angupaya garwa, den patitis pamilihe, ajwa kaseseg kayun, bok manawa kaduwung wuri, ya bener yen wong lanag, wenang duwekipun, rabiya ping pat sadina, kena uga wuruk karepe pribadi, nanging away mengkana.
Dadi nora ala becik ngilangaken istiyaring gesang, yen ngarah apa tekade, andarung kadalurung, ngelmu sarak den orak-arik, buwang ajining badan, lumuh reh rahayu, tur upama kalakona, kasangsara kaduwunge anekani, manglah nunutuh driya.
Terjemah:
Bermula tata aturan pria masa dulu, jika ia hendak mencari istri, memilihnya diteliti dengan seksama, janganlah dengan hati yang terburu nafsu, boleh jadi membawa penyesalan kelak, ya, memang betul jika laki-laki mau, ia memiliki kesempatan, untuk menikah empat kali sehari, mungkin untuk menuruti keinginan dirinya, namun jangnlah kamu berbuat demikian.
Jadi tidaklah baik, meniadakan ihtiar dalam kehidupan, jika seseorang telah mantap hati untuk menikah jangan terus menenerus menuruti syari’at, membuang harga diri, mengabaikan keselamatan. Andaikata terlaksana (nikah secara demikian) niscaya ia hidup sengsara, lalu menyesal dan menyalahkan diri sendiri.
Dalam bait nasehat tentang masa menjelang perkawinan tersebut disebutkan bahwa mengikuti hukum yang berlaku adalah suatu kewajiban dan tidak boleh ditinggalkan. Dan hukum di sini adalah hukum syari’at islam. Jadi walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dan berbarengan dengan kriteria lain, tetapi faktor agama adalah juga faktor yang harus diperhitungkan dalam mencari pasangan. Ini dapat dibuktikan dengan teori Abed Al-Jabiri, yaitu bahwa suatu teks memberikan ruang interpretasi yang berupa tiga kemungkinan, (1) menyatakan secara eksplisit suatu makna, (2) memberikan pernyataan yang implisit dan tersembunyi, (3) tidak menyatakan terhadap sesuatu , dan dalam kasus keberadaan teks Mangkunegara IV ini, faktor agama adalah sesuatu yang tersembunyi, tetapi terbaca ketika ada perhubungannya dengan teks lain. Jadi, menurut penyusun, walaupun faktor agama tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi akan terbaca dan ternyatakan dengan sendirinya ketika membaca teks lain yang sarat dengan muatan nasehat betapa pentingnya agama dan mengikuti ajaran agama.
Tidak ada sistem hukum, apalagi hukum islam atau fiqh, yang dapat sekali-sekali mengabaikan konteks sosial yang sedang berlaku ketika menetapkan hukum atas suatu masalah. Apalagi pada ajaran Mangkunegara yang sangat bersifat moralistik, yang memberi gambaran seorang calon istri secara idealistik Demikianlah, seorang pengkaji yang realistik penting memahami hukum sebagai norma pada satu sisi dan hukum sebagai aplikasi sosiologis pada sisi yang lain. Maka akan ditemukan keseimbangan antara keduanya.
C. Analisis tentang Relevansi Konsep KGPAA Mangkunegara IV tentang Kafa’ah dan Prakteknya di Jawa dan Indonesia Dewasa Ini.
Mengingat bahwa mayoritas umat islam di indonesia menganut Mazhab Syafi’i maka mengkaji kemungkinan relevansi konsep kafa’ah Mangkunegara IV dengan realitas dewasa ini adalah suatu keniscayaan. Apalagi jika dilihat bahwa suku terbesar di indonesia adalah suku Jawa dan betapa tingginya kepedulian mereka dalam menjaga budaya yang ada dan ditinggalkan oleh para pendahulu. Dalam menjaga budayanya, masyarakat Jawa sangat teguh dan mempunyai batasan-batasan tersendiri dalam klasifikasi apakah sesuatu itu jawa (njawani) ataukah bukan. Dalam kriterianya tentang kesepadanan dalam mencari jodoh, orang jawa masih sangat berpegang teguh dengan kriteria bibit, bebet dan bobot. Kriteria ini juga dianut secara umum oleh masyarakat Sunda dan secara umum masyarakat lain suku pun mengenal dan ada juga yang sama dalam prakteknya dengan suku Jawa dalam kriterianya.
Berbicara tentang sistem hukum di indonesia, realitas hukum yang dianut masyarakat senantiasa mengacu pada tiga sistem hukum yaitu hukum positif, hukum islam dan hukum adat. Persoalan kafa’ah diakui keberadaaannya di indonesia pada tatanan hukum dewasa ini. Ini terbukti dari ketentuan yang tercantum secara implisit dalam UU No.1/1974 Pasal 2 dan KHI Pasal 61. Pada pasal-pasal tersebut, kriteria kafa’ah hanya ditetapkan dalam hal agama saja. Adapun agama yang dimaksud adalah agama dalam arti kepercayaan atau keyakinan, yakni antara islam dan non islam dan bukan dalam hal religiusitas seseorang, misalnya orang yang taat dan tidak taat. Namun di dalam prakteknya ketentuan pasal-pasal ini seakan-akan tidak berlaku sebab didaerah tertentu misalnya masih ada masyarkat yang memandang kafa’ah selain dalam hal agama saja. Bahkan pandangan yang paling krusial adalah dalam hal nasab. Ini biasanya dianut oleh masyarakat yang menganut sistem perkawinana eksogami.
Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, dewasa ini masyarakat Jawa umumnya dan kraton khusunya sudah mulai terbuka dalam menyikapi kafa’ah dalam perkawinan. Hal ini tidak berarti bahwa masyarakat Jawa sudah tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor di atas, akan tetapi masyarakatsudah tidak kaku lagi dalam memilih jodoh atau menjodohkan anaknya, artinya masyarakat tidak kaku lagi dalam menentukan penilaian faktor-faktor kafa’ah calon pendamping. Di kalangan kraton sendiri, faktor nasab yang biasanya menjadi ukuran pertama dalam menentukan kesepadanan mulai berubah dan tidak kaku lagi. Perkawinan Putri kraton dengan orang dari kalangan biasa sudah banyak terjadi, di antaranya adalah perkawinan putri Mangkunegaran dengan Gusti Raden Ajeng Koes Ondowijah dengan Irawan Kadiman yang berasal dari keturunan biasa pada tahun 1970, dan perkawinan antara Gusti Raden Ajeng Koes Soepiah dengan Reinourt Sylvanus, gubernur Kalimantan Tengah pada tahun.1989. Dan juga pernikahan putri Kraton Yogyakarta R.A. Roro Pembayun dengan orang yang bukan dari kalangan kraton pada tahun 2001. Selain itu, di masyarakat sudah banyak terjadi perkawinan antara orang kaya dan orang biasa, atau orang dari kalangan priayi dengan orang biasa. Yang biasa menjadi ukuran mutlak sekarang ini adalah kecocokan di antara kedua pasangan yang akan menjalani perkawinan tersebut, dan peran dari orang tua sendiri sekarang semakin mengecil.
Di antara pendapat KGPAA Mangkunegara IV yang dapat dikatakan relevan sampai zaman sekarang adalah faktor bibit, bebet dan bobot selain faktor akhlak atau prilaku. Bahkan ukuran bibit, bebet dan bobot menjadi faktor yang sangat diperhatikan dan tidak bisa dipisahkan dengan budaya Jawa dewasa ini. Walaupun arti kata bibit, bebet dan bobot sendiri ditafsirkan secara berbeda, tetapi mengandung arti suatu idealitas personal yang diinginkan oleh setiap orang yang akan menikah dan kata-kata ini selalu multi tafsir tergantung kepada zamannya. Bahkan mungkin faktor-faktor ini menjadi begitu terkenal dan tidak hanya menjadi sistem anutan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi sudah banyak dari suku lain yang mengikuti dan faham dengan kriteria ini karena begitu pesatnya budaya jawa sendiri sehingga dalam batas-batas tertentu menjadi sebuah budaya nasional.
Sedangkan faktor yang sekarang tidak lagi menjadi faktor yang perlu diperhitungkan adalah faktor tatariman (suka menerima), di mana faktor ini sangat tidak lagi sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita. Faktor ini timbul di kala zaman yang masih mengagungkan budaya patriarkhi dan memandang wanita sebagai obyek dan harus bersifat pasif dengan apa yang diberikan oleh suami. Bahkan dalam hal-hal tertentu perlu dikaji lagi tentang budaya yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tersubordinasi ini karena dalam karya sastra Jawa Kuna tidak ditemukan sama sekali yang ajaran yang mensubordinasikan perempuan ini. Sangat berbeda dengan karya sastra Jawa Madya, seperti Serat Piwulang Warni-Warni ini. Menurut penyusun hal ini kemungkinan besar dikarenakan konvensi raja dan pujangga dari kalangan makhluk yang berjenis kelamin perempuan pada zaman ini tidak ada sama sekali, sebaliknya pada zaman Jawa Kuna, raja yang perempuan sering tampil. Kedudukan perempuan masih terhormat, tidak mengalami dominasi laki-laki, tidak pula terjerat sebagai bahan mentah suatu kajian dalam berbagai kitab dan ajaran. Umpamanya saja Putri Shima dari Kalingga abad ke-7, Pramodya Wardani dari Mataram Kuna abad ke-8, Tribuwana Tungga Dewi dan Suhita dari Kerajaan Majapahit abad ke-13-14, sekedar sebagai contoh. Jika hal ini kita tarik sebagai masalah, mengapa kedudukan perempuan Jawa pada masa Jawa Madya mengalami kemunduran, lalu apa sebab dan dari apa keadaan ini bisa terjadi, justru ketika saat agama islam yang selalu menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan.
Dari pembahasan tentang konsep kafa’ah menurut Mangkunegara IV dalam Serat Piwulang Warni-warni ini dapat diambil beberapa kesimpukan, yakni:
Konsep Mangkunegara IV tentang kafa’ah ini tidaklah jauh berbeda dengan yang dianut oleh masyarakat Jawa secara umum, yaitu bahwa dalam menentukan pasangan hidup, seseorang harus memperhatikan bibit, bebet dan bobot pasangan hidupnya. Walaupun hal ini berlaku bagi kedua pasangan dan dalam hal yang lebih luas bagi kedua keluarga, tetapi pada prakteknya kriteria ini lebih banyak digunakan oleh pihak pria. Ini tidak lepas dari budaya yang dianut oleh masyarakat Jawa dan khususnya kraton yang memang sangat patriarkhis dan cenderung menempatkan pihak wanita sebagai obyek dari sebuah perkawinan.
Dalam menentukan kriteria pasangan hidup, Mangkunegara IV memberikan syarat-syarat yang lebih banyak daripada kriteria yang telah berkembang dan diakui oleh masyarakat Jawa secara umum yang hanya memberikan kriteria bibit, bebet dan bobot sebagai hal yang harus diperhatikan. Sedangkan Mangkunegara IV menambahkan kriteria bersifat menerima (tatariman), kecantikan (warna), harta (brana), kewibawaan (wibawa) dan prilaku (pambeka) sebagai kriteria yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Jawa ketika akan memilih pasangan hidupnya. Penambahan kriteria oleh Mangkunegara IV ini menurut penyusun lebih dikarenakan faktor sosial yang ada di masyarakat ketika itu, terutama dalam hal harta (brana) di mana Jawa pada masa itu mengalami paceklik dan sistem tanam paksa yang sangat merugikan kehidupan dan membuat faktor harta yang sulit didapat waktu itu menjadi sangat penting. Bahkan harta menjadi sebuah tema yang penting bagi Mangkunegara IV dalam berbagai Seratnya. Faktor sosial juga dapat dilihat dan berlaku kepada faktor tatariman (bersifat menerima) bagi istri. Secara umum dapat dikatakan bahwa pandangan Mangkunegara IV tentang kafa’ah membuktikan betapa pentingnya perkawinan dalam masyarakat Jawa dan subordinasi terhadap perempuan di sisi yang lain, karena begitu banyaknya syarat yang harus dipunyai oleh seorang wanita serta tidak adanya syarat yang harus dimiliki oleh seorang lelaki tanpa menyebutkan bahwa sarat tersebut juga harus dimiliki oleh pihak wanita.
Dalam memberikan kriterianya tentang kafa’ah, Mangkunegara IV tidak menyebutkan secara eksplisit faktor agama sebagai sebuah hal yang diutamakan dalam mencari pasangan hidup. Sedangkan dalam kitab-kitab fiqih berbagai mazhab menyebutkan faktor agama sebagai faktor utama dan pertama yang harus diperhatikan. Menurut penyusun hal ini lebih dikarenakan Mangkunegara IV memandang bahwa semua orang Jawa adalah islam, sehingga tidak perlu disebutkan secara berbarengan karena dalam berbagai bait seratnya, beliau banyak memberikan pandangan betapa pentingnya mengikuti ajaran agama islam dalam berbagai hal termasuk juga dalam masalah perkawinan. Dan di sisi lain, ini menjadi bukti betapa agama islam telah sangat dianut oleh masyarakat Jawa, tetapi tidak begitu dipentingkan dalam menaati ajaran formal kesyari’ahannya. Atau dengan kata lain, penghargaan terhadap orang yang pintar dan ahli dalam hal agama islam tidak menjadi faktor penting. Lain halnya dengan para Ulama Mazhab yang sangat mensyaratkan kesalehan formal sebagai kriteria kafa’ah dan membuat ukuran tersendiri tentang kesalehan.
SARAN-SARAN
Dari pembahasan tersebut, penyusun mencoba memberikan saran dan kritik yang konstruktif atas kajian serat Piwulang Warni-Warni dalam hal menentukan kafa’ah, di antaranya:
Dalam hal menentukan kriteria kafa’ah ini kiranya masyarakat Jawa tidak hanya harus memandang faktor yang disebutkan oleh Mangkunegara IV saja, tetapi lebih melihat kepada faktor kekinian, di mana faktor-faktor tersebut tidak hanya dapat dipakai oleh seorang lelaki saja tetapi juga dipakai oleh pihak wanita juga.
Karena Serat Piwulang Warni-warni merupakan sebuah nilai normatif jaman dulu, hendaknya nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat diajadikan cermin masyarakat jaman sekarang. Bahwa ketika jaman dahulu, nilai-nilai tersebut bersifat diskriminatif terhadap wanita, ini merupakan hal yang harus diterima. Oleh karena itu pada masa sekarang, masyarakat perlu mempertimbangkan mana nilai normatif yang ideal (humanis) dan harus dianut, dan mana yang terkesan diskriminatif dan harus ditinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Al-Qur’an
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989.
B. Kelompok Hadis.
Al-Bukhari, al-Jami’as-Sahih, 6 Jilid, Beirut: Dar-al-Fikr, 1994.
An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, 8 Jilid, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Ibn Majah, Sunan, 9 Jilid, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1984.
Al-Baqi, Fuad Abd, al-Lu’lu wa al-Marjan, 2 Jilid, terj, Mushlih Shabir, Semarang : Al-Ridla, 1993
Sabiq, as-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, 3 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1983
C. Kelompok Fiqh dan Ushul Fiqh
Abd al-Ati, Hammmudah, The Family Structure in Islam, Indiana: American Trust Publication, 1977.
Ad-Dairobi, Abu Abbas, Ahkam az-Zawaj ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, cet. I Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1986.
Adawiyah, Euis Rabiah, “Studi Terhadap Pendapat Mazhab Hanafi Tentang Kriteria Kafa’ah dalam Perkawinan”, Skripsi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Ana, Mawar S, “Konsep Kafa’ah dalam Hukum Perkawinan (Studi Komparatif antara Mazhab Ahmadiyah Qodian dengan Mazhab Syafi’I)”, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999.
Ali, Asghar Enginer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cet. II, Yogyakarta: LSPAA, 2000
Adhim, M. Fauzil dan M. Nazif Masykur, Di Ambang Pernikahan, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Al-Andalusi, Muhamad bin Ahmad, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, 2 Jilid,Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Gamrawi, As-Siraj al-Wahhaj, Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Al-Jazairi,‘Abd ar-Rahman, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Zad al-Ma’ad, Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi,1970.
Alawi, As-Sayyid, Tarsih al-Mustafidin, Surabaya: Syirkah P. Indah, t.t.
Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Mesir, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967.
Assagaf, M. Hasim, Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.
Bravmann, M.M, The Spiritual Background of Early Islam : Studiest in Ancient Arab Concept Leiden: Brill, 1972.
Halwiyah, “Kafa’ah dalam Perkawinan (Analisis Perbandingan Menurut Hukum Islam dan Adat Bugis)”, Skripsi tidak diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Hazm, Ibn, al-Muhalla’, 9 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Khallaf, Abd al Wahhab, Ilmu Usul al-fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1978
Khotimah, Khusnul, “Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan (Studi Perbandingan antara Ulama Hanafiyah dan Malikiyah)”, Skripsi, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1997.
Latif, Nasarusin, Ilmu Perkawinan : Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, cet. II, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Munajat, Makhrus, “Kesepadanan dalam Perkawinan ( Studi Pemikiran Fuqaha Klasik)”, dalam Jurnal Penelitian Agama No.20 Tahun ke-7 ( September- Desember 1998).
Marfu’ah,“Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Kafa’ah dalam Perkawinan di Kalangan Masyarakat Keturunan Arab di Kelurahan Pasar Kliwon Kecamatan Pasar Kliwon”, Skripsi , Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum perkawinan ( Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk) Menurut Hukum Islam, UU No 1/1974 (UU Perkawinan), UU No 7/1989 (UU Peradilan Agama, dan KHI, cet II, Bandung: Al-Bayan, 1995.
Musa, Muhammad Yusuf, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Kutub al-Arabi, 1376H/1956.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Asy-Syairazi, Al-Muhazzab, Semarang: tnp., t.t.
Tanwirul Afkar, Tim Redaksi, Fiqh Rakyat: Perlawanan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Zahrah, Muhammad Abu, Al-Akhwal asy-Syakhsiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi,1369 H/1950.
—————–, ‘Aqd Az-Zawaj wa Asaruh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1957.
Az-Zuhaili,Wahbah, al-Islam wa Adillatuhu, 8 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Ziadeh, Farhat J, ”Equality (Kafa’ah) in The Muslim Law of Marriage, Problem of Sources” dalam The American Journal of Comparative Law, No 6, tahun.1957.
D. Kelompok Buku Lain.
Al-Jabiri, Mohammad ‘Abed, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS, 2000
Al-Mansur, Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.t..
Any, Anjar, Menyingkap Serat Wedatama, Semarang: Aneka Ilmu, 1985.
Ardani, Moh, Al-Quran dan Sufisme Mangkunegara IV, Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf, 1995
Atmojo, S. Prawiro, Bausastra Jawa -Indonesia, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1992.
Geertz, Hildreed, Keluarga Jawa, Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Gunawan, FX Rudy, Filsafat Sex,Yogyakarta: Bentang Budaya,1991.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
J.H Houben, Vincent, Kraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta (1830-1870), Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002.
Kamajaya, Karangan Pilihan Mangkunegara IV, Yogyakarta:Yayasan Centhini,1992.
Kolep, Nurhop, Kumpulan Serat-serat Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara IV, Jakarta:tnp. 1953.
Kuntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Gramedia,1990.
Ma’luf, Lois, Al-Munjid Fi Al-Lughah wa Al-A’lam, Dar Al-Masyriq, 1986.
Marlowe, Louise, Masyarakat Egaliter Visi Islam, Bandung: Mizan,1999.
Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998.
Naif, Fauzan, Penghulu Dalam Serat Centhini, Yogyakarta: Proyek Perguruan Tinggi IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Pemberton, John, “Jawa” on The Subject of Java, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Rickefs, M.C, A History of Modern Indonesian, Penj. Dharmono, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1980.
Sardjono, Maria A, Wanita Jawa, Dulu dan Sekarang, dalam Majalah Mawas Diri, Juli,1990
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka,1984.
Simuh, Islam Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang Jaya, 1996.
Sukatno, Otto C.R, Seks Para Pangeran, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
Sumarsaid, Negara dan Usaha Bela Negara di Jawa Pada Masa Lampau, Jakarta: Yayasan Obor, 1985.
Sudharsono, R.M. Gatot Murnianto, Unsur Tasawuf dan Mitologi dalam Beberapa Karya Sastra Jawa, Dep. P dan K, 1986.
Syihab,M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an , Bandung: Mizan, 1999.
Umar, Nasarudin Argumen Kestaraan Jender, Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999.
Usman, Mistisisme Dalam Serat Wedhatama, Yogyakarta: Proyek Perguruan Tingi Agama IAIN Sunan Kalijaga, 1998.
Widijanto, Tjahjo, Sastra Kita Zaman Kepujanggaan Hingga Kapitalisme : Dari Sufistik Hingga Kapitalisme, Ulumul Qur’an, No I/VIII/1998.
Zaenuri, Mohamad, “Nilai-nilai pendidikan Akhlak dalam Keluarga Berdasarkan Kajian Serat Piwulang Warni-Warni Karya KGPAA Mangkunegara IV”, Skripsi tidask diterbitkan, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999.
Bab I
Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan yaitu karena kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena kekuatan agamanya. Utamakanlah pilihan karena kekuatan agamanya engkau pasti beruntung.
Bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyari’atkan hukum ialah merealisasi kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini menarik keuntungan untuk mereka dan melenyapkan bahaya mereka.
Bab II
Dan tidaklah ada yang menyerupainya dalam keesaan.
Setiap mukmin adalah setara darahnya.
Sesungguhnya setiap mukmin adalah bersaudara,
Maka apakah orang yang beriman sama dengan orang yang fasik (kafir), maka mereka tidak sama.
Sama dengan FN.10. Bab.1 hlm.5.
Yang diperhitungkan adalah harta dan kemuliaan adalah takwa.
Sesungguhnya kemuliaan manusia diantara mereka di dunia ini adalah kekayaan.
BAB IV
Sama dengan F.N.13.Bab II. Hlm.23.
Wahai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Semua manusia itu sama/sejajar seperti gigi-gigi sisir. Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang Ajam. Kelebihan itu hanya dengan takwa.
Apabila datang kepadamu seseorang yang engkau ridlai agamanya dan kepercayaannya maka nikahkanlah ia. Jika tidak engkau lakukan, maka akan tumbuh fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Perubahan hukum dikarenakan perubahan zaman dan perubahan hukum dikarenakan perubahan adat istiadat.
Sama dengan F.N. No 27.Bab I. Hlm. 15.
D. LAMPIRAN II
BIOGRAFI ULAMA
IMAM BUKHARI
Imam Bukhari mempunyai nama lengkap Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari. Lahir di Bukhara, suatu kota di Uzbekistan pada hari Jum’at 13 Syawal 194 H/810 M. Beliau terkenal dengan sebutan Bukhari (putra daerah Bukhara). Smenjak usia 10 tahun beliau sudah mampu menghafal banyak ayat-ayat al-Qur’an sehingga beliau dikenal dengan Hafiz. Pada usia 16 tahun beliau sudah menghafal ribuan hadis.
Dalam hal menyelidiki (meneliti) hadis Nabi, Imam Bukhari berkelana ke Baghdad, Kuffah, Makkah, Madinah, Syam, Kusaram, naisabur, dan Mesir. Imam Muslim menyebut Imam Bukhari sebagaidokter ilmu hadis. Beliau memperoleh hadis dari beberapa hafiz antara lain: Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman al-Marwazi, Abdullah bin Musa al-Abasi, Abu Hasyim asy-Syaibani dan Muhammad bin Abdullah al-Ansari. Ulama besar yang pernah mengambil hadis dari beliau antara lain: Imam Muslim, Abu Zahrah, At-Tirmizi, Abu Khuzaimah dan An-Nasa’i.
Kitab al-Jami’ as-Sahihditulisnya dengan menghabiskan waktu kurang lebih 16 tahun dan itu merupakan kumpulan hadis yang kedudukannya menjadi sumber kedua setelah al-Qur’an, yang demikian ini disepakati baik oleh Ulama Salaf maupun Ulama Khalaf, Syaik Ibnu Hajar berkomentar bahwa: ”Tanpa Sahih Bukhari, maka Sahih Muslim tidak akan muncul”. Karya-karya beliau yang lain diantaranya adalah: Adab al-Mufrad, at-Tarikh as-Sagir, at-Tarikh al-Awsat, at-Tarikh al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Kitab ad Du’afa’, dan lain-lain.
Beliau dikenal sebagai orang yang salih dan taat beribadah serta ahli dalam ilmu pengetahuan. Beliau wafat pada usia 62 tahun yakni pada tahun 256 H dan dimakamklan di Khartanak dekat Samarkand.
MUHAMMAD ABU ZAHRAH
Beliau adalah seorang guru besar di Cairo University. Ulama ahli hukum Mesir. Pendidikan tingginya diperoleh di Universitas al-Azhar hingga mendapat gelar Doktor. Kemudian beliau dikirim ke Prancis dalam misi Islamiyah yang disebut dengan Bi’atsul Malik Found I. Dari sanalah ia mendapat gelar Doktor dalam bidang hukum islam. Pada tahun 1950 beliau menjadi Guru besar di almamaternya. Karya-karya yang beliau hasilkan di antaranya ialah: Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Usul al-Fiqh, al-Jarimah wa al-Uqubah, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, ‘Aqd az-Zawaj, at-Tirkah wa al-Mawaris, dan lain-lain.
ABDUL WAHAB KHALLAF
Beliau lahir pada Maret 1888 M. di Kufruziyyah. Pada tahun 1900 masuk ke Universitas al-Azhar. Selesai dari Fakultas Hukum pada tahun 1915. kemudian beliau diangkat menjadi dosen pada almamaternya tersebut. Pada tahun 1920 diangkat menjadi Hakim Mahkamah Syari’ah dan selama 4 tahun kemudian beliau ditugaskan menjadi Direktur Departemen Perwakafan, selain itu juga pada 1931 ia menjadi ketua Mahkamah Syari’ah dan menjadi Guru Besar Fakultas Hukum pada tahun 1934. beliau wafat pada tanggal 20 Januari 1956. Hasil karyanya diantaranya ialah: Nasafir at-Tasyri’ fi Ma La Nassa Fihi, al-Ijtihad bi ar-Ra’y, dan Ilmu Usul Fiqh.
WAHBAH AZ-ZUHAILI
Nama lengkapnya adalah Wahbah Mustafa az-Zuhaili. Lahir di kota Dar ‘Atiyyah bagian Damaskus pada 1932. kemudian masuk pada Fakultas al-Azhar dengan mendapat ijazah tertinggi pada 1956. mendapat gelar L.c., dari Universitas ‘Ain Syams dengan predikat Jayyid pada tahun 1957. Pada tahun 1957 beliau menjadi dosen pada Universitas Damaskus dengan spesifikasi Fiqh dan Ilmu Usul Fiqh. Karya-karyanya adalah: al-Wasit fi usul al-Fiqh al-Islami, al-Fiqh al-Islami fi Uslubihi al-Jadid, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj.
IBNU MAJAH
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah bin Yazid bin Majah. Nama Ibnu Majah sendiri adalah penisbahan kepada nama kakeknya. Beliau lahir pada tahun 207 H./887 M., di Qazwin, Iran. Beliau menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Dalam Sunan ini banyak terdapat hadis Da’if, bahkan Munkar. Oleh karenanya, banyak ulama yang memandang bahwa kitab ini tidak termasuk pokok kelima dalam rangkaian Kutub as-Sittah, melainkan al-Muwatta karya Imam Malik.
AL-JAZIRI
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman al-Jaziri. Beliau adalah salah satu Ulama yang mendalami bidang fiqh. Karyanya yang sangat terkenal adalah kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al’Arba’ah, yang menjadi rujukan untuk mengkaji pendapat-pendapat dan kumpulan perbandingan fiqh empat Mazhab.

0 Comment