28 Mei 2012

Epistemologi Matematika
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat dalam hal ini filsafat modern  terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme.
B. Pengertian
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity". Paul Edwards, dalam The Encyclopedia of Philosophy, menjelaskan bahwa epistemologi adalah "the theory of knowledge." Pada tempat yang sama ia menerangkan bahwa epistemologi merupakan "the branch of philosophy which concerned with the nature and scope of knowledge, its presuppositions and basis, and the general reliability of claims to knowledge."
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.
Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
C. Sejarah
Pranarka menyatakan bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme. Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi multiplikatif telah menghasilkan suasana krisi budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
D. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dikaji tentang epistemologi matematika


BAB II
PEMBAHASAN
A. Epistemologi Matematika
Epistemologi sebagai salah satu bagian dari filsafat merupakan pemikiran reflektif terhadap segi dari pengetahuan seperti kemungkinan, asal-mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan reliabilitas sampai kebenaran pengetahuan.
Matematika, pada hakekatnya, selalu berusaha mengungkap kebenaran namun dalam sejarah panjangnya, sejak jaman Renaisan, aspek empiris dari matematika seperti yang dicanangkan oleh John Stuart Mill ternyata kurang mendapat prospek yang cerah. Matematika telah berkembang menjadi kegiatan abstraksi yang lebih tinggi di atas kejelasan pondasinya seperti yang terjadi pada Kalkulus Infinitas dan Bilangan Kompleks yang telah mengambil jarak dari pandangan kaum skeptik. Tetapi pada abad yang lalu, dengan ditemukannya kontradiksi pada Teori Himpunan, kaum skeptik dan empiric mulai menggaungkan lagi pandangan-pandangan tentang pondasi matematika.
Kaum pondasionalis epistemologis berusaha meletakkan dasar pengetahuan matematika dan berusaha menjamin kepastian dan kebenaran matematika. untuk mengatasi kerancuan dan ketidak pastian dari pondasi matematika yang telah diletakkan sebelumnya. Perlu kiranya dicatat bahwa di dalam kajian pondasi epistemologis matematika terdapat pandangan tentang epistemologi standar yang meliputi kajian tentang kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dsb. Menurut kaum pondasionalisme empiris , dasar dari pengetahuan adalah lebih dari kebenaran yang diperoleh dari hukum sebab-akibat dari pada diturunkan dari argumen-argumennya.
Munculnya Teori Pengetahuan dari Immanuel Kant, sebagai landasan epistemologis dari pengetahuan , dipengaruhi paling tidak oleh pengaruh dua aliran epistemologi yang masing-masing berakar pada pondasi empiris dan pondasi rasionalis. Menurut kaum pondasionalis empiris , terdapat unsur dasar pengetahuan dalam mana nilai kebenarannya lebih dihasilkan oleh hukum sebab-akibat dari pada dihasilkan oleh argumen-argumennya; mereka percaya bahwa keberadaan dari kebenaran tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa obyek dari pernyataannyalah yang membawa nilai kebenaran itu. Kaum pondasionalis empiris mempunyai dua asumsi:
(a)      terdapat nilai kebenaran, jika kita mengetahuinya, yang memungkinkan kita dapat menjabarkan semua pengetahuan tentang ada;
(b)     nilai kebenaran itu diterima sebagai benar tanpa prasyarat.
Untuk menemukan konsep dan putusan yang mana yang mendasari pengetahuan kita, kaum pondasionalis rasionalis berusaha mencari sumber dari kegiatan berpikir, yaitu kegiatan dimana kita dapat menemukan ide dasar dan kebenaran . Kegiatan dimaksud merupakan kegiatan intelektual yang memerlukan premis-premis yang dapat berupa kegiatan intuisi atau semacam refleksi diri seperti yang terjadi pada Cogito nya Cartesius. Kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan pondasi yang dicari dari pengehuan tetapi juga memberikan kepastian epistemologis, yaitu suatu keadaan yang pasti dan dengan sendirinya benar. Dasar dari ide dan putusan bersifat pasti karena mereka dihasilkan dari suatu aktivitas yang terang dan jelas sebagai prasyarat diperolehnya putusan yang dapat diturunkan menjadi putusan-putusan yang lainnya.

Kaum rasionalis seperti Plato, Descartes, Leibniz, atau Spinoza, percaya bahwa semua pengetahuan telah ada pada akal budi sebelum aktivitas kognisi dimulai; namun, mereka dianggap belum mampu meletakkan dasar-dasar pengetahuan yang menjamin nilai kebenaran suatu proposisi. Di lain pihak, usaha meletakkan dasar kognisi dan pengetahuan tidak berarti bahwa seorang Immanuel Kant memadukan begitu saja apa yang dikerjakan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis. Kant berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana kegiatan kognisi mungkin terjadi dalam kaitannya dengan hubungan antara subjek dan objek atau bagaimana representasi sintetik dan obyeknya dapat terjadi dan bagaimana hubungan antara keduanya?
Berkaitan dengan masalah tersebut, di dalam Teori Pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan apriori. Menurut Kant, secara spesifik, validitas obyektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk apriori dari sensibilitas kita yang memungkinkan diperolehnya pengalaman inderawi. Namun, perkembangan matematika pada dua abad terakhir telah memberikan tantangan yang cukup signifikan terhadap pandangan Immanuel Kant ini.
Yang temasuk dalam kajian epistemologi matematika adalah sekelompok pertanyaan mengenai apakah matematika itu (pertanyaan yang diperbincangkan oleh para filsuf dan ahli matematik selama lebih daripada 2000 tahun), termasuk jenis pengetahuan apa (pengetahuan empirik ataukah pengetahuan pra-pengalaman), bagaimana ciri-cirinya (deduktif, abstrak, hipotesis, eksak, simbolik, universal, rasional, dan kemungkinan ciri lainnya), serta lingkupan dan pembagian pengetahuan matematika (matematika murni dan matematik terapan serta berbagai cabang matematika yang lain). Demikian pula persoalan tentang kebenaran matematika seperti misalnya sifat alaminya dan macamnya.
Jadi, matematika jika ditinjau dari aspek epistemologi, matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dengan konsep-konsep yang kongkrit, kontektual, dan terukur matematika dapat memberikan jawaban secara akurat. Dalam pembelajaran matematika sesorang mengontruksi matematika melalui proses adaptasi dan organisasi. Perkembangan struktur mental seseorang bergantung pada pengetahuan yang diperoleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Penalaran matematika adalah penalaran induktif dan deduktif . Berpikr induktif diartikan sebagai berpikir dari hal-hal khusus menuju umum, berpikir deduktif diartikan sebagai berpikir dari hal khusus menuju umum.
Problem dasar pendidikan matematika kita di Indonesia adalah siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, matematika itu adalah interpretasi manusia terhadap fenomena alam. Dampaknya, siswa bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Ini akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika.
Sebagai contoh bagaimana menerapkan permasalahan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh :
  1. Seorang pedagang menjual buah mangga dan pisang dengan menggunakan gerobak. Pedagang tersebut membeli mangga dengan harga Rp. 8.000,00/kg dan pisang Rp. 6.000,00/kg. Modal yang tersedia Rp. 1.200.000,00 dan gerobaknya hanya dapat memuat mangga dan pisang sebanyak 180 kg. Jika harga jual mangga Rp. 9.200,00/kg dan pisang Rp. 7.000,00/kg, maka laba maksimum yang diperoleh adalah ….
  2. Seorang ibu membagikan permen kepada 5 orang anaknya menurut aturan deret aritmetika. Semakin muda usia anak semakin banyak permen yang diperoleh. Jika banyak permen yang diterima anak kedua 11 buah dan anak keempat 19 buah, maka jumlah seluruh permen adalah …buah.
Dari dua contoh di atas dapat dilihat bahwa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dapat diselesaikan dengan konsep matematika.

 BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1.        Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan.
2.        Tanpa matematika perkembangan peradaban manusia akan menjadi sama sekali lain dengan keadaaan yan telah dicapai saat ini.

B. Saran
  1. Matematika jangan hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya.
  2. Kiranya filsafat matematika ini  perlu dimasukkan kedalam kurikulum  pembelajaran matematika di sekolah.

0 Comment