18 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Tarian dan nyanyian pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari ibadat Yahudi yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di Yerussalem pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang.
Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai dengan abad kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian, yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik, maka lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda. Musik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi sebagai unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir dalam ibadat.
Dengan berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka bentuk musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik liturgi, lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik profan yang bermutu dipisahkan dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17. Pius X dalam Motu Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja hendaknya diperbaharui.
Tidak ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu Gregorian adalah warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne St. Ambrosius adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara. Begitu pula lagu gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (= lagu bermutu) dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini dianggap sebagai khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah soal sikap orang yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap orang Kristen lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga berbeda-beda menurut zaman dan tempat.
Dalam lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang sering disebut ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada aspek kultus lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang dilakukan oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun secara hirarkis yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan Tuhan, bersyukur serta menyatakan bakti kepada-Nya.
Dalam hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja namun, bila mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen mereka membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus. Segala kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur), dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari.
Dalam Konsili Vatikan II (1963-1965), arti Musik Gereja direlativasi dengan berkata Musik Gereja kiranya makin suci makin erat hubungannya dengan upacara ibadat. Berkat musik, ungkapan doa dijadikan lebih mendalam, rasa sehati umat semakin dipupuk, dan upacara-upacara suci diperkaya dengan rasa khidmat yang lebih besar.
Musik Gereja dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Musik Liturgi atau Musik Ibadat
Liturgi adalah puncak dan sumber hidup Kristiani. Sedang musik liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi (L 112), karena bagian-bagian ibadat tertentu seyogyanya dilakukan dengan bernyanyi. Musik liturgi terutama mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat. Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap yang khusus waktu bernyanyi dan bermusik. Bukan naskah yang membuat musik menjadi sakral, tetapi hati manusia yang diungkapkan dalam musik.
2. Nyanyian Rohani
Nyanyian rohani berhubungan dengan agama Kristen, namun diciptakan untuk keperluan-keperluan keagamaan selain ibadat, misalnya sebagai lagu hiburan rohani atau lagu yang enak dinyanyikan dalam pertemuan atau bisa juga sebagai lagu pelajaran dalam sekolah Minggu.
Meskipun batasannya tidak begitu jelas, antara musik liturgi dan nyanyian rohani memiliki tujuan yang berbeda. Maka sebaiknya dihindari pemakaian istilah Musik Gereja dan dipakai Musik Liturgi dan Nyanyian Rohani. Bentuk musik vokal serta instrumental yang merupakan bagian dalam liturgi Kristiani itulah yang disebut musik liturgi Kristiani atau musik ibadat Kristiani.
Musik suci di dalam segi-seginya yang menyangkut pembaharuan liturgi, telah dipertimbangkan dengan seksama oleh Konsili Ekumenis Vatikan kedua. Konsili telah menjelaskan peranan musik di dalam upacara-upacara Ilahi, telah mengeluarkan prinsip-prinsip dan undang-undang mengenai hal ini di dalam Konstitusi tentang liturgi dan bahkan telah menyediakan satu bab khusus dari konstitusi itu untuk membahas persoalan musik.
Di dalam liturgi, umat beriman menduduki peranan utama. Oleh sebab itu musik liturgi hendaknya mengabdi pada kepentingan umat dan senantiasa mendorong partisipasi umat secara aktif dalam perayaan liturgi. Hal ini tidak berarti bahwa musik liturgi semakin miskin sehubungan dengan sifat massal dari umat, sebaliknya harus semakin bermutu dan berkesan. Oleh karena itu potensi di kalangan umat perlu dilibatkan, dan inisiatif yang sudah ada perlu diperhatikan.
Musik Liturgi Gereja pada setiap tempat yang berbeda mengalami inkulturasi dengan kebudayaan setempat. Sejak Konsili Vatikan II, dengan lantang dalam gereja Katolik bergema anjuran-anjuran agar gereja membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak secara prinsipiil bertolak belakang dengan ajaran agama Katolik. Keyakinan bahwa ada hubungan dekat antara agama dan kebudayaan telah mewajibkan gereja Katolik untuk setia mendengarkan bisikan kebudayaan. Kewajiban lainnya yang lebih luas adalah untuk merefleksikan dan merenungkan proses terbentuknya interaksi budaya manusia. Kewajiban tersebut merupakan tahap pertama dari proses inkulturasi. Proses inkulturasi ini dapat dilihat sebagai perjalanan dari kebudayaan yang satu menuju kebudayaan lainnya. Agama dan juga Kristianitas akhirnya adalah bagian dari kebudayaan manusia. Tujuan inkulturasi liturgi adalah pengungkapan atau perayaan liturgi gereja dalam tata cara dan suasana yang serba selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat. Dengan kata yang lebih sederhana, tujuan inkulturasi ialah agar umat yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang atau hiasan, dan upacara, karena semua bagus menurut penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan sehari-hari.
Dasar dari inkulturasi adalah adanya kepercayaan bahwa kebudayaan pun secara tidak langsung (lewat manusia) diciptakan oleh Tuhan, maka ia baik adanya. Dan kesadaran bahwa kebudayaan tidak sempurna karena ada juga kemungkinan manusia tersesat, (misalnya: Allah dipandang sebagai dewa yang tinggal dalam pohon, dalam rumah adat, yang menuntut sesaji, yang marah kalau suatu ketetapan-Nya tidak dipenuhi). Maka inkulturasi hanya mungkin melalui proses tobat (ada unsur kebudayaan yang harus ditinggalkan agar dapat berjumpa dengan Tuhan).
Dirasakan dengan kecenderungan musik masyarakat masa kini yang makin sekularistis dianggap perlu petunjuk-petunjuk yang telah digariskan dalam inkulturasi musik di dalam liturgi untuk membina musik liturgi yang berbobot. Dengan menyadari bahwa musik liturgi merupakan bagian fungsional dalam liturgi, maka gereja menganggap perlu diadakannya lembaga yang menangani masalah musik liturgi baik yang berskala internasional, nasional, maupun skala yang lebih kecil lagi.
Universa Laus adalah sebuah lembaga internasional untuk musik gereja. Didirikan pada tahun 1966 di Eropa atas inisiatif dari tokoh Gereja Katolik bersama Gereja Kristen lainnya untuk mempelajari dan membahas masalah musik dalam liturgi. Titik pangkal usaha ini terletak pada pembaharuan liturgi dari Konsili Vatikan II. Maka masalah historis, teologis, pastoral, serta teknis tentang musik dalam ibadat merupakan pokok dalam rapat kerja serta kongres yang diadakan oleh Universa Laus hampir setiap tahun. Tahun 1980 hasil kerja dari tahun-tahun yang lalu dirumuskan bersama dalam karya tulis sebagai pegangan untuk langkah berikutnya. Meskipun terdapat perbedaan di antara negara-negara dalam tradisi musik gereja dan kebudayaan musik, namun dirasa hakekat musik gereja itu sama.
Indonesia mempunyai tradisi musik sendiri yang besar artinya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Maka sewajarnya musik liturgi Indonesia ditumbuhkembangkan melalui proses inkulturasi sehingga umat dibantu menemukan identitasnya sebagai umat yang beriman Indonesia dengan latar belakang budayanya yang khas. (bdk KL 119). Agar kebudayaan dapat menjadi sumber inkulturasi musik liturgi maka musik tradisional harus hidup. Bagi musik tradisional yang hampir mati harus dihidupkan kembali sebagai musik adat profan sebagai tradisi yang khas yang merupakan lantai untuk perkembangan selanjutnya (inkulturasi).
Meskipun gereja bersifat universal, namun de facto uskup setempat bersama umatnyalah yang menghadirkan gereja secara nyata. Oleh karena itu bapak uskup bersama komisi liturginya bertanggung jawab atas kehidupan dan perkembangan musik liturgi di dalam wilayah keuskupan yang bersangkutan. Dalam hal ini kerjasama dengan keuskupan lain secara langsung maupun di bawah koordinasi Seksi Musik Komisi Liturgi KWI sangat dianjurkan. Begitu pula kerjasama dengan sanggar atau Pusat Musik Liturgi dalam keuskupan sendiri atau keuskupan lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka di dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Bagaimana pengaruh Konsili Vatikan II (Konstitusi Sacrosanctum Concilium) terhadap perkembangan Musik Liturgi di Indonesia ?
2. Bagaimana proses terjadinya inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ?
3. Bagaimana wujud inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Di dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin penulis capai, disesuaikan dengan latar belakang serta rumusan masalah yang sudah ada. Adapun tujuan tersebut diantaranya adalah:
1. Untuk mengungkap pengaruh Konsili Vatikan II terhadap perkembangan Musik Liturgi di Indonesia.
2. Untuk lebih memahami secara mendalam proses terjadinya inkulturasi musik liturgi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui wujud dari inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia.
4. Secara khusus tujuan penelitian ini bagi umat Islam adalah memperluas wacana dan pengetahuan tentang musik liturgi untuk dijadikan bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik Islami, seperti dibentuknya suatu badan khusus yang menangani pengembangan musik tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam penelitian, perlu penulis ungkapkan bahwa penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja sebagai bagian yang fungsional. Penulis berusaha mengungkapkan keadaan musik liturgi di Indonesia setelah Konsili Vatikan II yang mengalami inkulturasi kebudayaan dengan keanekaragamannya. Secara tidak langsung penulis juga mengungkapkan perbedaan musik liturgi sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II khususnya di Indonesia.
Sebagai kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku berjudul Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu ibadat, setiap bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud tersendiri sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang cocok untuk pembukaan adalah nyanyian berbait.
Kemudian Directorium Tentang Pengembangan Musik Liturgi di Indonesia, buku terbitan Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Yogyakarta, 1989 ini membahas usaha pengembangan musik liturgi yang melibatkan Komisi-komisi Musik Liturgi. Instruksi Tentang Musik di dalam Liturgi terbitan Arnoldus, Ende, 1967 membicarakan keputusan konsili yang menyangkut pembaharuan dalam musik suci serta norma-norma pokok bagi pelaksanaan konstitusi tentang musik liturgi. Instruksi ini disusun oleh Gabriel Manek SVD. Karl-Edmund Prier SJ dalam buku yang diterbitkan PML Yogyakarta tahun 1986, Inkulturasi Nyanyian Liturgi berbicara masalah inkulturasi dan Indonesianisasi musik liturgi. Kemudian dalam Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (Komentar dan Terjemahan) Terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987, Prier mencoba untuk mengomentari dan menterjemahkan. Buku ini berisi pedoman untuk langkah berikutnya, bahwa pada hakekatnya musik gereja adalah sama meskipun terdapat perbedaan dalam tradisi musik gereja dan kebudayaan musik.
Kemudian buku Laporan/Rumusan Hasil Musyawarah Liturgi dan Musik Liturgi Keuskupan Agung Jakarta, buku ini khusus membahas inkulturasi musik liturgi di Keuskupan Agung Jakarta, diterbitkan di Jakarta, oleh Panitia Liturgi KAJ tahun 1983. Yang terakhir buku Inkulturasi Agama Katolik Dalam Kebudayaan Jawa oleh JB. Hari Kustanto SJ. Buku ini membahas mengenai kebudayaan Jawa yang mampu mempertahankan kepribadiannya serta usaha masuknya agama besar yakni Katolik melalui pintu masuk kebudayaan.
Selain dari pustaka-pustaka di atas berikut judul skripsi yang perlu penulis sebutkan berkenaan dengan masalah tersebut, diantaranya: M. Khanan Muchtar dalam skripsinya Konsepsi Katolik dan Protestan Tentang Liturgi. Ia berusaha membandingkan antara konsep liturgi dalam Katolik dan Protestan. Kemudian Inkulturasi Gereja Katolik Terhadap Aspek Mistik Jawa oleh Siti Romlah. Liturgi dalam Gereja Pantekosta oleh Siti Muslihah. Evayani Fadhillah dalam skripsinya Liturgi dalam Konsili Vatikan II. Dan yang terakhir Royani Wibowo dalam skripsi yang berjudul Iringan Karawitan dalam Gereja (Studi Terhadap Inkulturasi dalam Liturgi), skripsi ini membahas mengenai pengertian karawitan, komponen-komponennya serta karawitan di lingkungan gereja.
E. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pasti tidak lepas dari metode. Metode mutlak adanya karena merupakan upaya agar penelitian dapat terlaksana dengan baik sehingga mendapat hasil yang memuaskan. Di dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah:
1. Metode Pengumpulan Data. Di dalam mengumpulkan data ini penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan menggunakan sumber-sumber data yang berupa dokumen, dalam hal ini adalah penelusuran atas pustaka-pustaka yang relevan dengan tema merupakan jalan yang wajib ditempuh guna tercakupnya data-data yang komprehensif. Hal ini disesuaikan dengan sifat penelitian skripsi ini yang bisa digolongkan ke dalam jenis penelitian historis.
2. Pendekatan. Di dalam skripsi ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan historis. Pendekatan historis merupakan usaha untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide agama melalui periode-periode tertentu dari perkembangan sejarah dan juga merupakan usaha untuk memperkirakan peranan kekuatan-kekuatan yang sangat mempengaruhi agama. Dalam hal ini usaha menelusuri sejarah dan perkembangan musik liturgi di Indonesia dengan berbagai pengaruh dari keanekaragaman budaya setempat sehingga tercipta inkulturasi.
3. Metode Analisis Data. Data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif-analitik yaitu metode yang digunakan terhadap sesuatu data yang terkumpul kemudian disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis. Sesuai dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian penulis menggunakan cara berfikir induktif, yaitu pembahasan yang berdasarkan pada pemikiran yang bersifat khusus untuk kemudian disimpulkan dalam kegiatan yang umum.
F. Sistematika Pembahasan
Di dalam skripsi ini penulis merencanakan membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama berupa Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua membahas Seputar Perjalanan Musik Gereja yang meliputi: Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi Gereja Sebelum Masa Pembaharuan, Tugas Musik dan Nyanyian Liturgi Sebelum Konsili Vatikan II, serta Periodisasi Pembaharuan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik.
Bab ketiga adalah mengenai Inkulturasi Musik Liturgi yang meliputi: Pengertian Inkulturasi, Inkulturasi Bagi Gereja Katolik, dan Kebutuhan Atas Kontekstualisasi Musik Liturgi, serta Musik Liturgi Sebagai Bahasa dan Wahana Bagi Injil dan Budaya Bertemu.
Bab keempat mengenai Musik Liturgi di Indonesia terdiri dari: Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi di Indonesia Sebelum Konsili Vatikan II, Musik Liturgi di Indonesia Setelah Konsili Vatikan II dan Wujud Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia.
Bab kelima adalah Penutup berisi Kesimpulan dan Saran-saran.
BAB II
SEPUTAR PERJALANAN MUSIK LITURGI
A. Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi Gereja Sebelum Masa Pembaharuan
Sebagaimana telah penulis gambarkan sebelumnya, musik liturgi mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai sejarah musik liturgi sejak zaman kekristenan purba hingga menjelang masa pembaharuan.
1. Musik Gereja Perdana
Musik merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial sekuler orang Ibrani. Mereka tidak membedakan antara kehidupan yang rohani dan sekuler. Kehidupan musik mereka tumbuh dari jiwa orang-orang yang kehidupan sehari-harinya diatur oleh agama mereka. Menurut koleksi tulisan Yahudi yang ditulis setelah penulisan kitab Injil, Raja Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan mas kawin berupa 1000 peralatan musik. Latar belakang agama Kristen dalam hubungannya dengan sumber utama yaitu agama Yahudi menjadi awal untuk membicarakan sumber-sumber liturgi (tata ibadat) Kristen dan musik gerejawi.
“Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan para murid-murid-Nya ke bukit Zaitun.” Begitulah berita Injil Matius 26:30 dan Markus 14:26 tentang perjamuan terakhir yang diadakan Yesus dan murid-murid-Nya. Perjamuan ini pada dasarnya berbentuk perjamuan Paskah Yahudi sehingga berakhir dengan nyanyian Hallel yakni Mazmur-Mazmur 114 sampai 118. Inilah awal dari musik ibadat Kristen yang dilanjutkan dalam ibadat gereja Perdana.
Dalam mitos Yunani Kuno musik dianggap sebagai ciptaan dewa-dewi atau setengah dewa. Ada anggapan bahwa musik memiliki kekuasaan ajaib yang dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa manusia, serta membuat mu’jizat dalam dunia alamiah. Seperti halnya dalam tradisi Ibrani, dalam tradisi Yunani Kuno musik pun tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan, misalnya alat musik Iyra terkait dengan aliran Apollo, Aulos berkaitan dengan alat musik Dionysus. Dalam musik Ibrani, syair dan lagu dikatakan lebih penting dari musiknya dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari syair dan aksen diantara kata-kata itu. Generasi Kristen mula-mula menggunakan lagu-lagu Yahudi lama untuk penyembahan mereka.
Artinya, musik gereja Perdana berasal dari bentuk nyanyian ibadat sebagaimana dilakukan dalam sinagoge Yahudi. Karena belum ada notasi musik pada zaman itu, nyanyian ini berkembang lewat improvisasi seorang solis. Pada waktu menjelang akhir Perjanjian Lama, memasuki zaman Kristus, bangsa Yahudi membiarkan penyembahan berkembang secara leluasa. Dalam masa Perjanjian Baru, para rasul Yesus meneruskan kebiasaan sebagai orang Yahudi dengan mengikuti ibadat di Bait Suci di Yerussalem/Sinagoge. Kitab Mazmur Perjanjian Lama yang selalu dinyanyikan dalam ibadat Yahudi dan lagu-lagu baru yang memuji Yesus dalam bentuk seperti mazmur menjadi dasar liturgi yang dinyanyikan dalam ibadat Kristen awal. Musik gereja Perdana melanjutkan tradisi nyanyian ibadat Yahudi maupun tradisi musik dari Palestina dan sekitarnya.
2. Masa Musik Gereja Mencari Identitasnya Sampai Periode Perkembangan Pada Abad X
Mulai abad I gereja tersebar sampai kawasan Eropa selatan. Di Roma berkembang warisan gereja Perdana. Sejak abad IV selain solis terdapat pula schola. Sehingga terbuka jalan bagi lagu yang lebih kaya akan seni. Di Milano, Italia Utara berkembang bentuk nyanyian baru yang dipelopori oleh St. Ambrosius (333-397). Dalam perang melawan bangsa Arian (386), ia sering terkurung dalam gereja bersama umatnya. Kemudian ia melatih mereka nyanyian yang mudah dinyanyikan bersama-sama. Yang pertama, himne atau madah yakni nyanyian berbait dengan syair baru bukan dari kitab suci. Yang kedua adalah nyanyian antiphon, refren yang diulang diantara ayat-ayat Mazmur.
Gaya musik himne berasal dari Syria yang dibawa ke Eropa Barat pada abad IV, kemudian dikembangkan oleh St. Ambrosius sesuai kebudayaan dan kebutuhan setempat. Suatu bentuk penyesuaian yang saat ini dikenal dengan istilah inkulturasi. Perkembangan pokok terjadi di Roma. Sejak abad IV perayaan ibadat dirayakan secara resmi dalam gereja basilika, tidak lagi tersembunyi dalam katakombe. Sampai abad VI nyanyian ibadat berkembang subur, Paus Gregorius Agung (590-604) merasa perlu mengaturnya, kemudian lahirlah nyanyian Gregorian. Nyanyian ini terus berkembang, sebagai tradisi dan tulang punggung musik gereja abad pertengahan. Di Eropa Utara nada-nada melisma yang panjang diisi dengan syair baru, tropus dan sekuensi.
Sampai abad X musik berkembang sebagai tradisi lisan berupa musik jemaat, dinyanyikan dalam bahasa Latin dan dimengerti oleh semua umat.
3. Musik Gereja Dalam Masa Abad Pertengahan (1000-1400)
Sekitar tahun 1000 terjadi perubahan dalam musik gereja. Di Eropa dikembangkan notasi musik, untuk keperluan didaktis. Nyanyian Gregorian dipandang sebagai warisan yang mengikat, sehingga menjadi tantangan para komponis untuk menciptakan musik Polifon yang bermutu tinggi. Maka lahirlah musik gereja gaya baru, Organum. Pada abad XXII di Paris, Prancis berkembang sekolah Notre Dame dengan seni ritmik yang tinggi, kemudian dengan motetus dan conductus yang termasuk Ars Antiqua. Pada abad ke-14 digunakan ars Nova sebagai notasi baru.
Saat itu, musik gereja menjadi musik klerikal, jemaat menjadi pasif karena penyanyi dan paduan suara hanya terdapat di seminari dan biara. Hal ini membuat gereja berulangkali mengeluarkan peraturan tentang musik ibadat, namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka sejak abad XIII Imam harus mengucapkan semua teks liturgi, meskipun nyanyian tersebut dibawakan oleh paduan suara.
Musik gereja dipandang sebagai tambahan, hiasan, bukan bagian integral dari ibadat. Sehingga terbuka jurang pemisah antara liturgi resmi dan musik gereja. Pada tahun 1300 muncul istilah Musica Ecclesiastica bagi nyanyian Gregorian, dan Musica Mensurata bagi nyanyian Polifon. Disimpulkan perkembangan musik gereja menjadi seni Polifon adalah hasil perkembangan gereja di Eropa Utara dan akibat konfrontasi kebudayaan musik Eropa Selatan (Gregorian) yang monodis (satu suara, organum).
Gereja melalui proses inkulturasi memajukan kesenian, namun di lain pihak pendewasaan musik gereja mendatangkan konflik dengan pimpinan gereja: gereja semakin yuridis, menegaskan ritus dari pada iman dalam perbuatan ibadat.
4. Musik Gereja Renesans (1400-1600)
Dibandingkan dengan musik Abad Pertengahan, musik Renesans lebih manusiawi. Hal ini tampak dalam bunyi bulat vokal Renesans, suara yang linear berkembang dalam Polifon menjadi harmonis. Para komponis tidak lagi mengarang suara satu persatu namun konsep komposisi keseluruhan. Melodinya disederhanakan dan diperindah dengan potongan-potongan yang ditentukan nafas manusia. Ritmik Gotik yang rumit diganti dengan irama hidup yang mengalir dan sederhana. Musik vokal diharuskan mengungkapkan isi dan perasaan yang termuat dalam syair.
Selama abad XV di Belgia mulai terbentuk pusat-pusat musik, tempat komponis ternama berkarya atas permintaan pangeran maupun Uskup, di istana-istana dan gereja Katedral tertentu terbentuk paduan suara, orkes, dan kegiatan kreatif yang cukup subur. Umumnya para komponis tersebut tidak tinggal menetap, tetapi berkeliling, sehingga di Eropa berkembang gaya musik baru, musik Renesans. Musik ini dikuasai bentuk motet, suatu bentuk musik yang berpangkal dari syair dan merenungkannya dalam ulangan-ulangan potongan secara Polifon. Disamping musik gereja, berkembang seni musik Profan di Italia (Madrigal) dengan mutu yang tinggi.
Menjelang Konsili Trente (1545-1563) terdapat dua aliran musik gereja: yang pertama, ingin membendung dan melindungi tradisi musik gereja (yakni nyanyian Gregorian dan musik Polifon klasik lama), dan yang kedua, ingin belajar perkembangan musik baru seni Madrigal dengan mencari faedah untuk musik gereja.
Dalam Konsili Trente, pengolahan syair dalam komposisi motet dianggap terlalu bebas termasuk kebiasaan solis memakai hiasan, tambahan dalam membawakan lagu, sikap sembrono para organis yang memakai musik hiburan sebagai selingan. Mengenai perbedaan kedua aliran, Konsili hanya menuntut agar syair dalam musik gereja dapat ditangkap dan lagu Profan dihindari dalam ibadat. Nyanyian Gregorian agar dipelihara secara intensif terutama di Seminari-Seminari. Namun pelaksanaan keputusan diserahkan pada Uskup lokal.
Atas dasar ini berkembang pusat-pusat musik gereja lokal, yang diwarnai oleh tradisi lokal dan dicap oleh pakar musik tertentu. G. P. da Palestrina (Penyelamat musik gereja Polifon) berhasil menciptakan gaya musik Polifon yang sangat seimbang dengan mengembangkan teknik Polifon dari sekolah Belanda dan mengembangkannya dengan bunyi indah khas Italia. Selain itu terdapat pakar musik lain seperti: G. Allegri dengan Miserere, W. A. Mozart, dan Orlando de Lasso yang menyumbangkan 60 misa dan 1200 motet untuk musik gereja.
Sekitar tahun 1600 terjadi perubahan yang cukup besar, musik monodi dengan basso continuo dan dengan akor-akor menggantikan musik modal dan polifon. Ini dikembangkan di Italia, Jerman dalam gereja Katolik maupun Protestan. Gaya musik monodi dengan iringan basso continuo hanya bertahan sementara sampai pertengahan abad XVII kemudian diganti dengan bentuk baru seperti Orgelmesse, Versetti (lagu-lagu pendek untuk orgel untuk menggantikan solis dalam membawakan ayat-ayat Magnificat dan Mazmur). Selain itu muncul juga musik gereja yang murni instrumental seperti Sonata gereja, Epistelsonate, elevation dan lain-lain.
Musik gereja Katolik pada hakikatnya bersifat tradisional, untuk ibadat masa Adven dan Prapaskah, gereja melarang bunyi instrumen meriah sehingga digunakan musik khas gerejawi seperti Gregorian dan Polifoni a capella gaya Palestrina.
5. Gaya Barok (1600-1750)
Terutama pada abad XVII, dalam sistem absolutisme, gereja mengalami perkembangan lahiriah dengan arsitektur yang mewah. Begitu pula dengan perayaan liturgi dan musik gereja. Hal ini dilatar belakangi, yang pertama karena gengsi untuk berprestasi atau saingan antar istana, yang kedua karena situasi perang selama 40 tahun dan rasa tidak aman dalam hidup sehari-hari mendorong masyarakat mencari pegangan pada Tuhan. Maka tidak mengherankan perkembangan musik gereja menjadi meriah, bahkan tidak jarang melampaui batas yang wajar.
Pimpinan gereja Katolik berusaha mengendalikan perkembangan musik gereja dengan menegaskan bahwa syair liturgi tidak boleh dikurangi atau dirubah, larangan dipergunakannya alat musik terutama flute dan piano karena dicap sebagai musik teater, larangan jenis alat musik selama prapaskah. Namun semua aturan ini bersifat regional. Amanat Sri Paus tentang musik gereja selalu diarahkan kepada keuskupan Roma. Para pangeran Barok memandang musik gereja dalam istana mereka sebagai urusan swasta, dan karena hukum gereja dan hukum sipil dipisahkan, maka musik gereja diurus oleh instansi duniawi.
6. Zaman Klasik Wina
Karya besar musik gereja pada abad XVIII dan musik klasik Wina sebagian besar merupakan karya dari Joseph Haydn, W. A. Mozart, dan L. Van Beethoven. Disamping melanjutkan tradisi Barok dengan iringan orkes yang megah, dalam musik ini nampak cita-cita klasik Wina untuk menciptakan musik yang bermutu setinggi mungkin, sehingga pegangan teknis, formal, dan estetis dari musik profan klasik diambil alih dalam musik gereja.
Musik gereja zaman klasik mencerminkan suatu optimisme dan pandangan yang luas. Musik gereja Mozart tidak berbeda dengan musik profan seperti opera ciptaan Mozart. Seperti halnya seniman klasik lainnya, Haydn dan Mozart mengabdi pada Allah dengan hati gembira. Haydn berkata: “Karena Allah memberikan kepadaku sesuatu hati yang gembira, maka kiranya Ia akan memaafkan daku, bila aku mengabdi kepada-Nya dengan hati gembira”.
Manusia abad XVIII merasa satu dengan dunia sekitarnya berdasarkan humanisme sebagaimana diajarkan oleh para filosof pada abad XVIII (Kant, Hegel, Schopenhauer, dan sebagainya). Pada zaman ini iman begitu terbuka untuk dunia, sehingga mengangkat semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap terbuka ini ke dalam musik gereja.
7. Abad Romantik
Pada abad romantik sikap musik gereja mendapat kritikan karena dinilai terlalu gembira dan terbuka. Pada awal abad XIX, E. TH. A. Hoffman, seorang sastrawan Jerman menuntun musik liturgi gereja menjadi seni musik suci gereja (musica sacra) yang bertujuan mengangkat hati manusia langsung kepada Allah melalui akar-akar sederhana, murni, dengan bunyi yang indah. Dalam musik gereja Katolik abad XIX terdapat tiga aliran:
a. Aliran yang melanjutkan tradisi zaman klasik Wina. Cita-cita klasik Wina dilanjutkan oleh sejumlah komponis seperti C.M. Von Weber, Franz Schubert, Kaspar Ett, dan terutama A. Bruckner. Para komponis bekerja secara mandiri, maka komposisi yang mereka ciptakan merupakan cetusan iman pribadi atau berdasarkan pesanan. Bukan ibadat yang menentukan komposisi mereka, tetapi komposisi menentukan karakter ibadat melalui gaya komposisi, sehingga musik gereja dapat juga dipentaskan dalam gedung konser sebagaimana missa Solemnes karya Beethoven.
b. Gerakan Cecilianisme. Cecilianisme adalah suatu organisasi di dalam gereja Katolik Jerman, yang didirikan pada tahun 1868 oleh seorang imam, F.X. Witt untuk mempersatukan kor-kor gereja katolik. Witt mengambil alih cita-cita musica sacra dari E.T. Hoffmann. Tujuan ini dimulai dengan penyegaran nyanyian Gregorian dan memperbaharui musik Polifon gaya Palestrina. Namun para pakar Cecilianisme dalam pembaharuan nyanyian Gregorian berpangkal pada Editio Medicaea dari tahun 1614/1615, sedangkan para rahib dari Solemnes, Perancis dengan menyelidiki naskah-naskah dari Abad Pertengahan. Maka terjadilah persaingan yang kurang sehat di antara mereka, perselisihan ini diselesaikan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1901 dengan membenarkan versi Solemnes. K.G. Fellerer menilai restaurasi, pengembalian ke bentuk historis menjadi ideal untuk musik dalam ibadat, dan musik Gregorian dan Polifoni klasik kuno dipandang sebagai musik gereja yang ideal.
c. Aliran Musik Devosional. Dalam masa Romantik timbul suatu devosi baru (subyektif dan sentimental). Namun devosi ini tidak bermuara dalam liturgi sejati melainkan sering tersesat dalam moral dan mistisme. Selain Cecilianisme dengan keterikatannya pada musik Polifon a capella, individualisme telah mengakibatkan musik gereja mengalami suatu stagnasi (kemacetan, tidak mendapat kemajuan) yang baru teratasi pada abad XX, dimulai saat pembaharuan oleh Pius X. Sementara musik trivial (murahan) dan sentimental berkembang biak dengan pesat, sedang musik religius sejati diciptakan di luar gereja.
B. Tugas Musik dan Nyanyian Liturgi Sebelum Konsili Vatikan II
Tugas musik dan nyanyian dalam liturgi sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II, mengalami perbedaan. Hal ini terjadi karena Konsili Vatikan II lebih memberikan posisi yang istimewa bagi musik dan nyanyian liturgi dalam sebuah perayaan liturgi.
Dahulu, sebelum Konsili Vatikan II, tugas musik dan nyanyian dalam liturgi adalah sebagai latar belakang untuk perbuatan liturgi, sebagai iringan, selingan misalnya pada waktu imam sibuk di panti imam, maka koor atau umat mengisi waktu tersebut dengan nyanyian. Setelah Konsili Vatikan II, musik dan nyanyian dalam liturgi merupakan liturgi itu sendiri, yakni bagian mutlak dan integral liturgi mulia. Sehingga dapat dikatakan musik suci tidak lagi sebagai hiasan, dengan dipegangnya peranan atau tugasnya dalam suatu perbuatan dan perayaan liturgis antara lain:
1. Dalam pewartaan kitab suci
2. Dalam ungkapan iman
3. Dalam doa Syukur
4. Dalam doa permohonan
5. Serta untuk memperjelas perbuatan sakramen
C. Periodisasi Pembaharuan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik
Masa pembaharuan musik liturgi gereja terjadi dalam tiga tahap. Pembaharuan ini terjadi pada abad XX setelah pembaharuan pada masa Cecilianisme tidak tercapai.
1. Pembaharuan oleh Pius X
Pada tahun 1903 Paus Pius X mengeluarkan suatu dokumen tentang musik gereja agar suci, bermutu, dan bersifat universal. Menurut Sri Paus ideal ini dilaksanakan secara istimewa dalam nyanyian Gregorian, serta dalam musik gereja yang bergaya Polifon klasik. Namun boleh juga diciptakan musik gereja modern asal bunyinya berbeda dengan musik Profan. Karena musik gereja melaksanakan tugas klerikal, maka para wanita tidak boleh ikut bernyanyi di dalamnya. Alat musik, kecuali organ hanya boleh dipakai dengan izin khusus. Meskipun agak bersifat restriktif (membatasi) namun dokumen ini menjadi suatu pegangan untuk perkembangan selanjutnya.
2. Gerakan Liturgi Sampai Menjelang Konsili Vatikan II
Sejak tahun 1920-an di Jerman terdapat usaha untuk menghidupkan liturgi sebagai liturgi jemaat, yang dapat dimengerti dan diikuti seluruh umat. Maka diperjuangkan bahasa pribumi untuk ibadat. Suatu usaha menghidupkan liturgi dengan jalan inkulturasi ini antara lain dicari jalan untuk mengkaitkan melodi Gregorian dengan syair dalam bahasa Jerman. Selain itu diambil alih sejumlah lagu gereja (Koral, nyanyian berbait) dari Gereja Protestan. Gerakan liturgi ini langsung bermuara dalam Konsili Vatikan II.
3. Pembaharuan Musik Liturgi Gereja oleh Konsili Vatikan II
3.1. Pengertian Mengenai Konsili Vatikan II
Konsili berasal dari kata latin Concilium yang berarti persatuan, pertemuan, sidang. Di lingkungan Gereja Katolik Roma berarti sidang para pejabat gereja terutama para uskup, dengan tujuan membahas berbagai masalah kegerejaan untuk pembangunan masyarakat gereja dan mencari keputusan bersama. Dibedakan antara Konsili ekumenis atau konsili umum yang mewakili gereja keseluruhan dan Konsili khusus yang meliputi suatu wilayah gereja tertentu.
Konsili Vatikan II merupakan Konsili ekumenis yang ke-21 atau yang terakhir dalam sejarah gereja sampai saat ini. Konsili ini diadakan antara tanggal 11 Oktober 1962 sampai dengan tanggal 8 Desember 1965, dalam empat kali periode sidang yaitu: 11 Oktober sampai 8 Desember 1962, 29 September sampai 4 Desember 1963, 14 September sampai 21 November 1964, dan 14 September sampai 8 Desember 1965. Konsili ini dihadiri oleh lebih banyak uskup dibandingkan dengan konsili sebelumnya. Jumlah dokumen yang dihasilkan lebih banyak dan dampak atas pengaruh kehidupan gereja Katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah zaman reformasi pada abad XVI.
3.2. Pandangan Gereja Katolik Tentang Musik liturgi
Konsili Vatikan II yang dimulai pada tanggal 11 Oktober 1962 dan ditutup pada tanggal 7 dan 8 Desember 1965 menghasilkan 16 dokumen resmi. Dokumen resmi tersebut terdiri dari 4 konstitusi, 9 dekrit, dan 3 deklarasi. Salah satu dari keempat konstitusi tersebut merupakan landasan idiil bagi konstitusi liturgi yang didalamnya terdapat satu bab khusus yang membahas tentang musik liturgi.
Konsili Vatikan II telah merubah pandangan gereja Katolik tentang musik liturgi. Musik liturgi gereja pada periode Konsili Vatikan II tidak lagi dipandang sebagai hiasan liturgi, musik dan nyanyian itu sendiri merupakan liturgi, berarti dalam perayaan liturgi tidak dapat dipakai lagi sembarangan nyanyian rohani, namun, harus nyanyian yang dapat memainkan peranan ibadat. Pembawaan nyanyian liturgi bukan lagi tugas Klerikal tetapi tugas seluruh jemaat, meskipun sebagian ditangani oleh kor gereja. Dalam keputusan Konsili no.112, disebutkan mengenai martabat musik liturgi, yang kurang lebih isinya menyebutkan bahwa: Tradisi musik gereja semesta merupakan kekayaan yang tidak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral. Disebutkan pula bahwa kegiatan liturgi mendapat bentuk yang lebih anggun, apabila ofisi Ilahi dinyanyikan dengan dihadiri pelayan-pelayan suci dan diikuti oleh umat secara aktif. Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih bergema, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja juga menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
3.3. Pengaruh Konsili Vatikan II Bagi Kehidupan Musik Liturgi Gereja
Sebagai peristiwa, Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan gereja, Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan Kolegial kewibawaan tertinggi gerejawi. Gereja yang sebelumnya sering membanggakan sifatnya tetap tidak berubah, harus menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Sikap dan strategi gereja ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil dan dalam konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang. Gejala ini berkelanjutan pada masa pasca Konsili. Perubahan yang menonjol terjadi pada liturgi dan musik liturgi sebagai bagian dari liturgi juga mengalami perubahan tersebut.
Bahasa Latin tidak lagi mutlak untuk liturgi, maka terbukalah pintu untuk diciptakannya khazanah musik gereja dalam bahasa pribumi. Inkulturasi dalam musik liturgi semakin mantap dilaksanakan dengan dicantumkannya kaidah-kaidah tentang pengembangan dan pembaharuan musik liturgi. Sehingga dapat dikatakan bahwa Konsili Vatikan II bukan hanya sebagai tonggak sejarah, melainkan juga telah menjadi pedoman arah, dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan serta tindakan pembaharuan, peremajaan, dan pemantapan yang sangat bermanfaat.
3.4. Inkulturasi Sebagai Upaya Pembaharuan Musik Liturgi
Inkulturasi dalam musik liturgi gereja Katolik sebetulnya sudah ada jauh sebelum Konsili Vatikan II. Hal ini dapat dilihat dalam perkembangan musik liturgi gereja. Pada setiap penyebaran agama Katolik ini, musik liturgi berinkulturasi dengan kebudayaan tempat agama ini mulai menancapkan akarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa inkulturasi musik liturgi telah ada sejak gereja lahir, dari awal kekristenan purba yang mengadaptasi dengan ibadat Yahudi, namun memang gereja pernah mengalami kemacetan inkulturasi, gereja menutup dirinya. Sampai kemudian terjadi Konsili Vatikan II, melalui inilah bergema kembali inkulturasi.
Inkulturasi musik liturgi sangat berkaitan erat dengan daerah-daerah misi penyebaran agama Katolik. Inkulturasi musik liturgi dengan kebudayaan setempat sangat membantu proses misi. Gereja juga menyadari bahwa bangsa-bangsa terutama di daerah misi mempunyai tradisi musik sendiri yang memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Maka, secara khusus Konsili Vatikan II telah membuka pintu untuk menerima pula kekayaan musik tradisional bangsa-bangsa sebagaimana diungkapkan dalam konstitusi liturgi no. 119, musik itu hendaknya mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka. Dalam batas-batas yang telah ditetapkan pimpinan gereja setempat yang berwenang dan berhak merinci penyesuaian-penyesuaian ini, termasuk musik gereja dan kesenian, asal sesuai dengan kaidah-kaidah dasar konstitusi liturgi.
Inkulturasi musik liturgi selain bertujuan mengembangkan khazanah musik gereja, juga bertujuan agar gereja tidak ditinggalkan, sehingga dapat dikatakan inkulturasi adalah suatu momen dalam proses gereja untuk mewujudkan dirinya secara nyata.
BAB III
INKULTURASI MUSIK LITURGI
A. Pengertian Inkulturasi
Istilah inkulturasi saat ini sudah sangat lazim dipergunakan. Namun begitu, menurut Jean-Yves Calves istilah inkulturasi ini pertama kali dipergunakan orang pada tahun 1974. Sebuah kata dengan arti baru yang belum banyak dikenal maknanya. Meskipun begitu arti yang terkandung di balik kata inkulturasi itu tidaklah demikian.
Dalam arti yang luas dan umum, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat. Ada pengarang yang lebih suka menggunakan istilah enkulturasi daripada inkulturasi, prefik in dalam bahasa Inggris bisa berarti negatif, seperti misalnya dalam kata incult. Dalam bahasa Indonesia, konotasi negatif itu tidak terasa dan istilah inkulturasi sudah lazim dipergunakan.
Inkulturasi biasanya mengarah pada kontektualisasi atau pempribumian. Kontekstualisasi adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi, tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil. Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan kondisi sosial pun turut berbicara. Kontekstualisasi sudah ada sejak gereja mula-mula bertemu dengan dunia lain. Sebagai usaha oikumenis terdapat dua macam pola dalam kontekstualisasi, yaitu:
1. Sikap bagi gereja penerima, yang dimaksudkan adalah merelevankan pergumulan teologis bagi gereja-gereja di daerah misi. Gereja penerima memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang relevan pada tempatnya, sebelum gilirannya menyesuaikan dengan pola liturgi ekumenis.
2. Sikap gereja pengirim, yang dimaksudkan ada kesadaran bahwa kontekstualisasi bukan seperti mengganti baju luar tanpa mengganti jiwa. Gereja penerima memulai proses kontekstualisasi dengan mempertimbangkan pola liturgi secara ekumenis, lalu dari hasil pertimbangan tersebut dicoba menerapkan pada tempatnya.
B. Inkulturasi Bagi Gereja Katolik
1. Inkulturasi Sebagai Persoalan Abadi dalam Tubuh Gereja
Istilah inkulturasi digunakan untuk pertama kali dalam dokumen gereja pada tahun 1977, yaitu oleh para uskup di Roma mengenai katakese.
Inkulturasi menjadi persoalan abadi dalam gereja yang berkembang
terus karena hidup. Saat Yesus Kristus lahir, Ia telah mengadakan inkulturasi yang paling mendasar. Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara umat Kristen. Ia telah mengambil wujud sebagai manusia, menerima bahasa setempat, tata adat setempat, dan liturgi setempat. Ia mengosongkan diri untuk mengambil rupa manusia dalam kebudayaan dan liturgi setempat. Inkulturasi juga terjadi saat gereja lahir pada hari Pantekosta pertama dalam lingkungan kebudayaan Yahudi Palestina. Penerimaan orang Yahudi Helenis (yang berbahasa Yunani) dan lebih-lebih orang yang bukan dari kalangan Yahudi ke dalam gereja oleh Petrus dan Paulus langsung menimbulkan masalah-masalah yang sebagian berhubungan dengan latar belakang kebudayaan.
Oleh sebagian orang beriman, perbedaan kultural dianggap menyangkut unsur-unsur hakiki keagamaan, bahkan Petrus dan Paulus berselisih paham karena inkulturasi. Masalah-masalah serupa muncul lagi setiap kali gereja melampaui batas suatu lingkungan kebudayaan.
Gereja pernah mengalami perpecahan. Kurang adanya saling pengertian merupakan salah satu faktor pokok perpecahan antara gereja Latin (Roma) dan gereja Yunani (Konstantinopel) pada abad ke-12. Perbedaan kebudayaan antara Roma dan Eropa Utara pada abad ke-16 tidak kecil perannya bahwa reformasi menjadi perpecahan gereja, antara lain karena warna Latin terlalu kuat pada gereja Katolik Romawi. Maka para pejabat gereja ikut bertanggung jawab atas terpecahnya gereja pada abad ke-11 dan ke-16 seperti diakui oleh Paulus ke VI. Oleh karena itu inkulturasi yang gegabah dan chauvinistic (sesuatu yang berlebihan) mengandung banyak resiko.
2. Inkulturasi sebagai celah penyebaran ajaran gereja
Baru saja gereja berumur 200 tahun, sudah terdapat tiga bentuk kekristenan yang berbeda, yaitu gereja Yahudi-Kristen, gereja Helenis, dan gereja Latin di Afrika Utara. Tatkala agama Kristen menyebar di dunia Greko-Romawi, terjadilah inkulturasi besar, meninggalkan bahasa Ibrani, lalu sebagian besar penulisan Injil menggunakan bahasa Yunani. Bukan hanya bahasa, penalaran teologipun digali dari kekayaan agama setempat. Liturgi Katolik banyak diwarnai oleh tradisi Romawi yang dulunya adalah kafir.
Tatkala gereja berkembang ke dunia Barat, terjadi pula inkulturasi yang fundamental. Beberapa upacara agama kafir disucikan menjadi upacara Kristen dengan isi Kristen pula. Misalnya, pesta Natal dikristenkan dari upacara pemujaan terhadap matahari, sebab Kristus adalah matahari keadilan. Bahkan pemakaian pohon Natal, dahulu adalah pemujaan terhadap pohon kehidupan, sebab Kristus adalah pohon kehidupan sejati. Pengaruh sosio budaya setempat ditampung pula dalam tata cara hukum perkawinan. Kesetiaan kepada Kristus dan communio erat di antara gereja-gereja itu, sehingga masih menjamin kesatuannya. Penyebaran agama Kristen di Eropa Utara, apalagi di India dan Tiongkok sangat terhambat oleh lambannya inkulturasi.
3. Inkulturasi dalam Konsili Vatikan II
Inkulturasi sudah dimulai bila seseorang dari lingkungan kebudayaan manapun menerima sapaan Ilahi sesuai dengan kebudayaan setempat yang dihayatinya. Proses inkulturasi ini sepantasnya berlangsung sejalan dengan pendewasaan iman sebagai jawaban atas wahyu Ilahi yang berintikan inkarnasi Yesus Kristus dalam diri manusia Yahudi dari Nazaret.
Pada zaman ini gereja tersebar, berakar, dan mulai berkembang hampir di semua lingkungan kebudayaan dunia ini. Maka, di mana-mana timbul masalah bagaimana mengungkapkan dan menghayati iman yang satu dan sama dengan cara-cara yang sesuai dengan kebudayaan bangsa, zaman, atau tempat tertentu. Hal inilah yang membuat Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia, penyesuaian menjadi pusat perhatian dalam dunia modern ini. Tentunya hal ini bukan sekedar basa-basi saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar dan meresapi sebuah kehidupan orang perorangan dan masyarakat, maka iman itu sedapatnya harus menyatu dengan kebudayaan supaya dapat diekspresikan selaras dengannya.
Sejarah juga memberikan alasan yang meyakinkan yang mendukung adanya penyesuaian liturgi, dan ternyata tidak dapat disangkal bahwa penyesuaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi gereja. Pembudayaan ungkapan iman tidak boleh begitu radikal, sampai-sampai tidak dapat dikenali lagi sebagai ungkapan iman yang sama oleh orang beriman dari lingkungan-lingkungan kebudayaan yang lain. Sebab, keadaan seperti itu mengasingkan umat Kristen satu sama lain.
4. Kebudayaan yang diinkulturasi
Konsili Vatikan II menegaskan, gereja Katolik tidak menolak apa yang baik dan berguna pada agama. Hendaklah umat Katolik familiar dan dekat kepada tradisi religius serta kebudayaan setempat, inilah salah satu usaha ke arah inkulturasi.
Dalam setiap inkulturasi sejati terdapat dua segi: yang pertama, adalah segi inkarnatif atau berakarnya dalam kebudayaan tertentu, yang kedua, adalah segi redemptif atau penebusan kebudayaan yang bersangkutan dari segi-segi negatif. Setiap kebudayaan mempunyai unsur-unsur positif yang mempermudah penerimaan sabda Allah serta ekspresinya. Akan tetapi, dalam setiap kebudayaan juga terdapat unsur-unsur yang menghalangi, sebagai akibat dosa yang meresapi seluruh dunia ini. Maka kebudayaan apa pun perlu dijernihkan, supaya semakin tepat dapat mengungkapkan iman Kristiani.
Iman Kristiani tidak pernah boleh diidentifikasikan dengan satu kebudayaan secara total, meskipun kebudayaan itu adalah Ibrani, Yunani, atau Romawi. Iman itu tetap Katolik dan terbuka pada setiap kebudayaan manusiawi. Tidak sembarang kebudayaan dapat diadaptasi sebagai bahan inkulturasi untuk dijadikan bagian dalam tradisi gereja, hanya kebudayaan yang bermutu dan bernilai tinggi serta yang sesuai dengan ajaran gereja saja yang boleh diambil.
Inkulturasi dan sifat Katolik gereja tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan demikan, iman sebagai jawaban salah satu kekompakan umat manusia menjadi lebih layak, lebih universal, lebih Katolik. Jadi, sesuai dengan misteri wafat serta kebangkitan Kristus, unsur-unsur kebudayaan juga harus melalui proses mati dan bangkit kembali. Dengan demikian unsur-unsur itu menjadi lebih sempurna dan membawa hati orang beriman kepada Kristus. Sebab, sebagai Allah-manusia, Dialah wahyu yang sempurna, dan sebagai manusia, Dialah sekaligus jawaban yang sempurna atas wahyu itu.
5. Harapan gereja Katolik dari inkulturasi
Kebudayaan merupakan cara memandang, mengartikan, dan membentuk realitas dalam lingkungan historis tertentu. Untuk sementara waktu iman dapat meminjam sarana-sarana budaya tertentu untuk mewujudkan diri, tetapi dimulai juga untuk membentuk sarana-sarana baru. Maka iman bercorak reseptif dan kreatif-kritis terhadap kebudayaan apa pun. Namun inkulturasi bukan hanya sekedar asimilasi atau adaptasi kebudayaan saja.
Inkulturasi mencakup seluruh kehidupan orang dan umat beriman. Proses ini terus berlangsung secara bertahap, bisa berhasil bisa juga gagal. Keberhasilan suatu inkulturasi sangat penting bagi perkembangan gereja baik dari segi rohani kualitatif maupun dari segi perkembangan kuantitatif. Inkulturasi bukan hanya penting dari segi gereja partikular tempat proses ini berlangsung. Proses ini penting demi kekatolikan seluruh gereja supaya semakin Katolik, dalam arti menyeluruh, mengekspresikan iman yang sama secara otentik dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, gereja memuji Tuhan secara lebih indah dengan seluruh kemampuan manusiawi yang dikaruniakan Tuhan kepada lingkungan-lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda itu. Sebagaimana Kristus sebagai manusia untuk mengkuduskan dan memajukan apa saja yang baik dalam kebudayaan manusiawi manapun lewat proses-proses inkulturasi.
Inkulturasi yang paling mendesak sekarang ini adalah menanamkan iman Kristiani secara sungguh-sungguh ke dalam kebudayaan mundial (sedunia), yang sangat diwarnai oleh ilmu dan teknologi mutakhir yang tumbuh dengan pesat pada akhir abad ke-20 ini. Walaupun iman akan kemajuan teknologi tanpa batas tidak dapat dipertahankan lagi, ketegangan antara pandangan dunia dan cara berfikir positivistis disatu pihak dan keyakinan keagamaan yang berdasarkan iman akan wahyu di lain pihak belum hilang.
Namun begitu, diharapkan dengan ciri khas dan nilai-nilai suatu lingkungan kebudayaan dapat membantu manusia untuk menemukan dan mengungkapkan diri sebagai makhluk yang kemampuan terluhurnya adalah memuji sang penciptanya. Tetapi perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah pengabdian terhadap tradisi lama dengan bantuan agama, melainkan pengungkapan iman dalam dan melalui kebudayaan yang sekarang ini hidup dalam masyarakat.
C. Kebutuhan Atas Kontekstualisasi Musik Liturgi
Musik adalah bunyi atau suara yang diorganisir, karena musik pada dasarnya terdiri dari suara, maka musik merupakan bagian yang integral dari manusia dan kehidupan manusia itu sendiri. Keeratan hubungan ini terlihat misalnya dalam bentuk manusia berkomunikasi. Sementara kelebihan suatu lagu adalah dalam hal kemudahan untuk mengingatnya, karena menyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan dan memiliki penghayatan batiniah atau emosional.
Iman yang utuh dan sehat selalu mengandaikan adanya dua dimensi terpadu batiniah dan lahiriah. Dari sisi batiniah adalah menerima ajakan Allah untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan dalam paguyuban dengan sesama. Sedangkan sisi lahiriah adalah pengungkapan iman dalam bentuk lahiriah atau yang kelihatan, misalnya ajaran, doa, liturgi, upacara, tingkah laku, dan lain-lain. Semua ungkapan lahiriah itu hanya ada artinya jika benar-benar mengungkapkan iman batiniah. Dua dimensi iman merupakan keterpaduan yang utuh.
Dalam perspektif Katolik, musik liturgi merupakan istilah yang dipakai untuk menunjuk pada musik yang terkait dengan tata ibadat, baik itu lagu, iringan, dan instrumen yang dipakai. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kegiatan beribadat, menyanyi senantiasa menjadi bagian yang integral bagi gereja. Menurut Antonius K. Budi seorang organis di Paroki Santo Thomas, Kelapa Dua, Depok, keindahan suatu lagu dalam perayaan Ekaristi harus didukung oleh kebersamaan umat untuk ikut bernyanyi. Bagi umat Katolik selalu ada kata-kata bernyanyi bagi Tuhan dengan baik merupakan dua kali dari berdoa. Tidak ada yang melarang untuk bernyanyi memuji Tuhan di dalam Misa selama itu sesuai dengan liturgi, dan kalau dilakukan dengan penuh rasa percaya, maka akan mendapat karunia. Dalam ibadat musik merupakan salah satu bentuk komunikasi umat Katolik terhadap penciptanya, tempat iman diekspresikan. Disisi lain tidak boleh dilupakan, karena musik adalah bagian integral dari manusia, maka ia terkait erat dengan budaya. Kita dapat mulai melihat bahwa musik itu kontekstual ia terikat pada konteksnya, terikat pada tempat, waktu, dan budaya. Konteks itu beraneka ragam, yang terjadi saat ini perkembangan pesat dalam dunia elektronika, kebudayaan yang globalistis yang tersebar dengan cepat melalui percetakan, film, dan tradisi, kebudayaan tetap mengalir sementara gereja mempunyai tradisi sendiri.
Inkulturasi musik liturgi adalah salah satu cara mengkontekstualisasikan musik liturgi karena nyanyian dan musik gereja perlu dilibatkan dalam suatu proses interaksi yang menyangkut sejarah, kebudayaan, serta perkembangan zaman. Dalam dunia inkulturasi, gereja dituntut agar bersikap lunak, kalau perlu malah bersikap mengalah lebih dahulu. Gereja perlu mempelajari lingkungan kebudayaan di sekitar gereja itu tumbuh. Dalam proses interaksi yang baik diperlukan keterbukaan untuk mengapresiasi dan menerima sesuatu, kerelaan ini perlu diiringi dengan pertimbangan dan penilaian kritis. Hakikat apa yang disodorkan untuk diterima atau diubah harus dijelaskan sedalam-dalamnya sehingga meyakinkan jemaat.
Gereja harus memiliki pengajaran tentang kebenaran di dalam Tuhan. Jika ada puji-pujian yang kurang dimengerti oleh jemaat, maka jemaat diberi penjelasan tentang syair lagu tersebut. Musik bukan hanya merupakan suatu keindahan tetapi juga merupakan suatu sarana latihan yang kekal. Karena, musik adalah suatu seni yang melampaui waktu. Musik gereja dapat membantu kita untuk mengerti arti sebenarnya dari musik itu sendiri, dan memberikan keindahan sendiri bagi umat Katolik12Penjelasan kepada jemaat juga disadari karena ibadat jemaat adalah tempat pengabdian diri, tempat komunikasi, tempat menghayati, dan semakin belajar komunikasi dengan Tuhan dan dengan sesama secara ekstensial. Demi komunikasi itu ada yang perlu dikorbankan, ada pula yang perlu diterima, ini khusus berlaku untuk liturgi dan nyanyiannya.
Musik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang universal, namun juga disadari sebagai musik yang kontekstual dan lokal. Gereja-gereja di Asia maupun Afrika menyadari akan hal itu, misalnya Abineno pada tahun 1959 telah mengusulkan supaya diadakan revisi atas Mazmur-Mazmur dan pujian gereja, karena ia merupakan terjemahan dari buku nyanyian gereja-gereja Belanda dan tidak memuat satu pun puji-pujian Asia. Jadi sejalan dengan kesadaran akan perlunya iman yang kontestual dan Injil yang kontekstual, maka, diperlukan pula puji-pujian yang kontekstual. Hal ini ditekankan oleh gereja-gereja Asia. Dalam pertemuannya di parohan terakhir tahun 50-an, mereka memutuskan perlunya menyajikan Injil dalam terminologi Asia. Gagasan ini secara konsekuen diterapkan pula pada kebutuhan puji-pujian oleh gereja-gereja Asia dengan dipublikasikannya EACC Hymnbook yang berisi puji-pujian dari gereja-gereja Asia pada tahun 1960-an.13
Masa depan musik gereja adalah musik gereja yang kontekstual, ini juga berlaku untuk liturgi, tempat musik gereja itu berperan. Musik gereja yang kontekstual dalam ibadat yang kontekstual kemudian ditunjang dan dihayati dengan ekspresi seni kontekstual.
Usaha kontekstualisasi musik gerejawi memang bukan hal yang gampang, seperti halnya yang dikatakan I-to Loh, gereja-gereja di Asia sudah merasa nyaman dengan puji-pujian yang diwarisi dari gereja-gereja Barat. I-to Loh mengusulkan agar diadakan usaha mendidik ulang gereja-gereja Asia supaya mengenal kembali budayanya sendiri. Memang kontekstualisasi musik gerejawi bukan sekedar usaha untuk menghidupkan kembali budaya yang hilang di gereja. Namun perlu diperhatikan pula bahwa kontekstualisasi musik gerejawi itu dilakukan dalam upaya mengkontekstualkan gereja itu sendiri dan juga mengkontekstualkan Injil, supaya baik Injil maupun gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi masyarakat tempat gereja dan Injil itu tumbuh.14
D. Musik Liturgi Sebagai Bahasa dan Wahana Bagi Injil dan Budaya Bertemu
Sudah disebutkan di atas bahwa musik itu kontekstual. Ia terikat erat dengan budaya lingkungannya. Bukan hanya erat tetapi juga wahana rasa sedih dan duka cita, benci dan kasih diungkapkan. Dengan berbagai macam bentuk melalui gamelan maupun musik jazz, ungkapan-ungkapan ini dapat ditangkap. Jadi musik yang sering hanya dipandang sebagai hal yang menghibur, sesungguhnya merupakan bahasa dari suatu masyarakat yang dipakai untuk mengungkapkan perasaannya.15
Dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak manusia telah melaluinya dengan berbagai ritus, dari bangun pagi sampai mau tidur malam. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari ritus-ritus. Hal ini nampak sekali dalam kehidupan beragama, karena ritus mendapat perhatian utama dan dikembangkan secara khusus. Bentuk-bentuk ritual merupakan kerangka rumah tempat manusia hidup bersosial dan beragama sedangkan musik merupakan bahasa yang dapat menimbulkan rasa keterikatan seseorang baik dengan sesama maupun dengan rumah (gereja) itu sendiri. Oleh sebab itu ikatan antara musik dengan ibadat sangat kuat sekali.
Ikatan yang kuat itu dapat dilihat bahwa ibadat dan musik tidak pernah absen dalam kehidupan gereja. Musik yang menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat Israel kuno kemudian menjadi bagian kehidupan ritual di Bait Allah. Musik-musik dalam ibadat Israel kuno mengalami perubahan, saat gereja berpindah pusat orientasinya dari dunia Palestina ke dunia Yunani-Romawi. Tahlil (chanting), musik ibadah Israel kuno dalam bentuk yang tetap sering dicampur dengan nyanyian spontanitas. Gaya-gaya nyanyian dan puisi Helenis mulai muncul, tidak lagi memakai pola puji-pujian Yahudi yang ada. Jadi sebagaimana liturgi senantiasa mengalami perubahan karena konteksnya, demikian pula musik liturgipun mengalami pengkontekstualisasian dari masa ke masa. Pengkontekstualisasian baik liturgi maupun musik liturgi bukan merupakan paksaan dari konteks yang ada. Ini disadari karena yang pertama Allah senantiasa mengkontekstualisasikan diri-Nya, dan yang kedua adalah baik liturgi maupun musik liturgi merupakan bahasa dan wahana Allah dan manusia berkomunikasi.
Kontekstualisasi sesungguhnya merupakan terintegrasinya Injil dengan konteks. Ia mengacu pada Allah yang menjadi daging dan Allah yang diam di antara mereka. Liturgi maupun musik liturgi dipandang sebagai bahasa tempat manusia dapat mengekspresikan rasa dan imannya. Maka kontekstualisasi musik gerejawi sebenarnya bukan menjadikan bagaimana musik Barat dapat diterima oleh gereja-gereja non Barat, melainkan bagaimana musik sebagai bahasa lokal itu dapat ditumbuhkembangkan menyatu dalam diri manusia sekaligus menjadi wahana tempat Allah hadir dan menyatu dengan konteks, manusia, dan budaya.
BAB IV
MUSIK LITURGI DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi di Indonesia Sebelum Konsili Vatikan II
Musik liturgi di Indonesia merupakan bagian dari musik liturgi pada umumnya. Oleh karena itu sejarah dan perkembangan musik liturgi di Indonesia tidak dapat terelakkan juga mendapat pengaruh dari kehidupan musik liturgi dunia. Sebenarnya musik liturgi di Indonesia sudah merasa cocok dengan liturgi dan musik liturgi dari Barat. Namun demikian perlu diketahui bahwa pertemuan tradisi gereja yang masuk ke Indonesia ternyata mengalami apa yang disebut sebagai inkulturasi. Hal ini dapat disadari karena Indonesia merupakan salah satu daerah misi tempat gereja Katolik melebarkan sayapnya, dan Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang kukuh mempertahankan pribadi budayanya. Sehingga metode inkulturasi, indegenisasi, pempribumian atau pula kontekstualisasi menjadi celah yang dipilih bagi gereja untuk mewujudkan dirinya secara nyata.
Sebetulnya, jauh sebelum Konsili Vatikan II, di Indonesia sudah mengalami inkulturasi yakni saat pertama kali agama Katolik ini masuk. Inkulturasi juga sudah giat dilaksanakan dalam liturgi, demikian juga dengan musik liturgi. Sebelum Konsili Vatikan II, yang menjadi landasan baru mengenai inkulturasi musik liturgi, izin yang diperoleh dari keuskupan gereja Roma-lah yang menjadi dasar inkulturasi dalam musik liturgi. Sehingga di daerah-daerah Indonesia sudah banyak dijumpai upaya inkulturasi.
1. Keadaan Musik Liturgi Pada Beberapa Daerah di Indonesia
Sebelum Konsili Vatikan II di daerah telah terjadi inkulturasi musik liturgi. Di Manggarai, Flores Barat, proses inkulturasi musik liturgi sudah dimulai sebelum perang dunia. Mgr. W. Van Beckum SVD seorang uskup di Ruteng adalah perintis inkulturasi. Ia giat mengumpulkan lagu-lagu Manggarai dan berusaha agar lagu-lagu tersebut dapat ditulis dengan not, sehingga dapat dipelajari. Ia juga mengajak sejumlah ketua adat untuk menciptakan lagu baru untuk keperluan ibadat di luar misa. Maka pada tahun 1947 di Ende terbit satu buku nyanyian yang berjudul Dere Serani. Sampai sekarang buku tersebut masih diperbaharui.
Di daerah Dawan, Timor, inkulturasi nyanyian liturgi diusahakan oleh Vincent Lecovic SVD. Usahanya adalah mencatat lagu-lagu tradisional. Beberapa lagu ratapan diolah untuk dipergunakan dalam ibadat, ia juga mengarang sendiri beberapa nyanyian baru dalam gaya musik Dawan. Akhirnya pada tahun 1960 terbit satu buku nyanyian dengan judul Tsi Tanaeb Uis Neno dengan beberapa nyanyian dalam gaya musik Dawan, namun banyak pula lagu yang diambil alih dari buku Jubilate yang diterjemahkan ke dalam bahasa Dawan. Buku Tsi Tanaeb Uis Neno ini beberapa kali dicetak kembali dan diperluas isinya. Menurut umat di Timor, lagu-lagu dari Tsi Tanaeb Uis Neno sampai sekarang masih dipakai dan disenangi. Namun umumnya di Flores dan Timor proses inkulturasi cukup lama terhambat oleh karena adanya buku nyanyian Jubilate.
Di Jawa Tengah, inkulturasi gendhing di dalam ibadat sudah di mulai pada tahun 1925. Di sekolah pendidikan guru Muntilan, C. Hardjasoebrata atas dorongan Br. Clementius memberanikan diri untuk mengarang beberapa gendhing gereja dalam bahasa Jawa dengan tangga nada pelog yang dinyanyikan tanpa iringan, antara lain Atur Roncen. Dengan koor dari Muntilan lagu-lagu ini dipentaskan pertama kali di Gereja Kidul Loji Yogyakarta di hadapan para pembesar gereja dan umat. Meskipun ada suara yang keberatan karena dianggap profan, namun para pembesar gereja tidak keberatan. Maka usaha C. Hardjasoebrata diperbolehkan jalan terus asal lagu tersebut tidak dipakai dalam misa. Pada saat pentas kedua berlangsung 31 Januari 1926 di tempat yang sama, suara-suara yang keberatan tadi menyadari bahwa lagu gereja baru tersebut mirip dengan lagu kraton bukan mirip dengan lagu dolanan atau hiburan. Usaha C. Hardjasoebrata ini diteruskan di Solo, eksperimen diperluas juga di lain tempat seperti Ganjuran, Wedi, serta Kalasan.
Setelah perang dunia II, Mgr. Suryopranoto yang menjadi pendorong untuk memajukan gamelan dalam gereja. Pada tahun 1955 didirikan suatu panitia khusus untuk gendhing gereja. Pada tahun 1956 untuk pertama kali diadakan demonstrasi gendhing gereja karangan Atmodarsono dan C. Hardjasoebrata dengan iringan gamelan. Demonstrasi ini disaksikan oleh bapak uskup. Karena hasilnya dirasa amat positif, maka bapak uskup meminta izin ke Roma agar gendhing gereja boleh dipakai dalam misa namun dengan bahasa Latin.
Mulai tahun 1956 paroki Pugeran Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan gerejani. R. Hajowardoyo menerbitkan kumpulan gendhing gereja dengan judul Kyriale dan Natalia. Perkembangan berjalan terus dan mendapat banyak animo oleh Konsili Vatikan II yang secara terang-terangan mendukung ide inkulturasi. Dalam bahasa Jawa juga terdapat buku semacam Jubilate dengan judul Pepudyan Suci yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1937. Namun peranan dan pengaruh dari buku nyanyian ini tidak begitu kuat, dan beberapa kali pula buku ini mengalami perubahan bahasa.
Dalam sejarah dan perkembangan musik liturgi di Indonesia sebelum Konsili Vatikan II, inkulturasi bukan hanya terjadi di Flores, Timor atau Jawa Tengah saja. Pada daerah lainpun mengalami inkulturasi, hanya saja karena daerah tersebut jauh seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan bahkan Irian Jaya, maka tidak terangkat beritanya sebagaimana kurang banyak diketahui bahwa inkulturasi liturgi ataupun musik liturgi sudah terjadi sebelum Konsili Vatikan II.
2. Inkulturasi Nyanyian Liturgi pada Buku Nyanyian Jubilate
Jubilate adalah sebuah buku nyanyian liturgi. Buku ini pertama kali diterbitkan di Ende pada tahun 1930 oleh Pastor Does SVD (Pustardos). Isi dari buku ini terutama bukan lagu untuk misa melainkan lagu untuk ibadat pujian (salve) pada sore hari.
Pada waktu perang dunia II para pastor dan bruder memakai waktu luang mereka di kamp tahanan untuk memperbaiki dan melengkapi isi Jubilate. Pada saat buku Jubilate terbit untuk kedua kalinya, tahun 1947 isinya agak berlainan. Isi dari Jubilate dilengkapi dengan nyanyian misa Latin dan Indonesia, karena Indonesia pada saat itu, sudah memperoleh izin dari Roma untuk memakai lagu misa dalam bahasa pribumi.
Sebagai buku hasil terjemahan, buku Jubilate merupakan suatu prestasi yang tinggi bagi gereja. Buku Jubilate ini juga dikerjakan oleh tim orang yang benar-benar tahu akan musik dan liturgi. Buku ini tersebar di seluruh Indonesia, dalam waktu empat puluh tahun 700.000 eksemplar buku Jubilate dicetak di Ende. Namun buku Jubilate dipertahankan terlampau lama bahkan sesudah Konsili Vatikan II buku nyanyian ini masih dipakai meskipun terasa adanya perubahan teologis dan liturgis.
B. Musik Liturgi di Indonesia Setelah Konsili Vatikan II
1. Pengaruh Konsili Vatikan II Terhadap Perkembangan Musik Liturgi di Indonesia
Kemajuan inkulturasi di Indonesia tiada bisa lepas dari Konsili Vatikan II yang merupakan tonggak sejarah yang menandakan awal suatu era baru. Konsili dengan sekitar 2500 peserta dari seluruh penjuru dunia telah membuka pintu dan jendela gereja selebar-lebarnya. Umat di dalam gereja dapat melihat ke luar dan udara serta angin dari luar berhembus masuk dengan segala dampaknya.
Banyak pikiran dilontarkan, banyak niat dan tekad disepakati, semua dilakukan dengan semangat iman, demi mencari apa yang paling baik bagi pemekaran iman umat dan bagi kepentingan umum umat manusia. Dan Konsili menjadi pedoman arah dengan meletakkan dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan serta tindakan pembaharuan, peremajaan dan pemantapan yang sangat bermanfaat.
Saat Konsili Vatikan II berakhir, inkulturasi dalam bidang musik liturgi terus berlanjut. Pembaharuan liturgi sekaligus pambaharuan musik liturgi kian marak, hal ini dapat dilihat dari beraneka kegiatan usaha untuk menginkulturasikan kian mencolok. Tidak hanya lewat kongres-kongres nasional berbagai artikel ataupun tulisan, seminar, penataran bahkan sampai ada pekan inkulturasi sudah banyak dilewati dan ditemui.
Setiap zaman atau generasi memiliki kekhususannya sendiri dan ini tidak dapat dianggap sebagai ketidaksetiaan atau bidaah. Hal inilah yang membuat Konsili menetapkan kebijaksanaan bahwa hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kepentingan seluruh persekutuan gereja tidak ingin memaksakan suatu keseragaman bentuk yang kaku. Dan liturgi sendiri terdiri atas bagian yang tidak dapat diubah dan atas bagian yang dapat berubah, yang selama peredaran zaman dapat atau malah bervariasi.
1.1. Kondisi Indonesia Sebagai Suatu Keunikan Tersendiri
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dikelilingi lautan yang luas. Kekayaan Indonesia bukan saja karena Indonesia terdiri atas berjajar pulau-pulau dengan kandungan alam di dalamnya. Suatu keunikan tersendiri beraneka ragam suku dan bahasa dengan budaya yang berbeda-beda terdapat di tanah air ini. Namun juga karena kemajemukan ini Indonesia mengalami kendala tersendiri dalam hal inkulturasi terutama kontekstualisasi dalam liturgi dan musik liturgi. Tradisi gereja yang sudah ada bergelut dengan konteks budaya yang kompleks. Bila terjadi suatu titik temu akan menjadikan Indonesia benar-benar unik, karena budaya-budaya yang ada.
1.2. Kaidah Pengembangan Musik Liturgi di Indonesia
Tradisi musik di dalam gereja merupakan khazanah gereja universal yang tak ternilai. Itu adalah kelebihan diantara ungkapan-ungkapan seni lainnya. Indonesia memiliki tradisi musik sendiri dan tradisi musik ini diakui dan diterima dalam gereja. Sebagaimana konsili Vatikan II mengharapkan agar nyanyian-nyanyian keagamaan rakyat harus dipupuk dengan cermat, sehingga dalam ibadat-ibadat saleh dan kudus serta dalam kegiatan liturgi sendiri, suara umat beriman dapat bergema, sesuai kaidah dan ketetapan rubrik.
Dalam ketetapan yang lain, gereja mengakui nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas liturgi Roma. Karena itu musik Gregorian mendapat tempat utama dalam kegiatan-kegiatan liturgi bila tidak ada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting. Namun jenis-jenis musik suci lainnya, terutama musik Polifon sama sekali tidak dilarang dari perayaan ibadat Ilahi, asal saja sesuai dengan semangat liturgi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan aktif, maka hendaknya aklamasi oleh umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon, dan lagu-lagu, demikian pula gerak-gerik peragaan serta sikap badan dikembangkan. Inilah kaidah yang menjadi pegangan bagi pengembangan musik liturgi di Indonesia.
2. Proses Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
2.1. Kendala Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Dengan kondisi Indonesia yang kompleks maka kendala yang terjadi antara lain:
1. Umat paroki sangat berbeda-beda baik suku maupun adat budayanya sehingga pemilihan salah satu adat untuk dijadikan titik pangkal inkulturasi sangat sulit, dan tidak mengena pada semua umat. Apalagi di paroki yang semua umatnya sebagian besar pendatang.
2. Adanya unsur magis, mistis, animistis, takhayul, feodal, dan sebagainya dalam unsur budaya setempat.
3. Unsur budaya sangat bersifat kedaerahan, sehingga hal ini dapat mengurangi kesatuan dan keumuman (universalita) gereja Katolik.
4. Ada beberapa adat yang bersifat pertunjukan, profan, sehingga mengganggu kekhidmatan dan konsentrasi umat atau upacara.
5. Dari situasi sosial: pihak adat merasa keberatan, orang Katolik lama menolak yang serba baru, yang muda menolak yang terlalu adat, sementara pemimpin gereja kurang memperhatikan. Dalam upacara ada pula unsur pemborosan, baik bagi keluarga yang berkepentingan maupun bagi gereja atau paroki.
6. Kurangnya pengetahuan, baik terhadap arti agama atau iman Katolik maupun terhadap adat itu sendiri.
Sementara, di lain pihak di luar kendala sebagai akibat kemajemukan Indonesia, inkulturasi itu sendiri mempunyai masalah pokok sebagai akibat dari kehidupan modern, yakni:
1. Kurang pengertian dan penghargaan terhadap adat istiadat. Kebanyakan umat, terutama kaum muda, kurang mengenal dan acuh tak acuh terhadap kebudayaan dan adat istiadat sendiri.
2. Ada heterogenitas dalam adat istiadat sehingga sulit menentukan memilih unsur-unsur pokok dari adat kebudayaan Indonesia yang dapat dimasukkan dalam liturgi.
3. Sistem pendidikan sekarang kurang merangsang penghargaan terhadap kebudayaan setempat. Sebaliknya semakin banyak orang khususnya kaum muda, melepaskan diri dari kebudayaan sendiri, dan lebih gampang menerima nilai kebudayaan baru dari luar.
Antara pihak gereja dan umat Katolik sendiri terdapat hubungan yang kurang maksimal. Masing-masing keduanya mempunyai masalah sendiri, diantaranya:
1. Umat merasa memerlukan sesuatu yang dapat diperoleh dari liturgi.
2. Kurang pengertian dan partisipasi umat dalam liturgi, karena kurang adanya bimbingan dan penyadaran liturgi terhadap umat.
3. Gereja menghadapi masalah umat yang heterogen, perbedaan usia tua-muda, perbedaan tinggi rendahnya tingkat pendidikan, perbedaan suku dan lain-lain.
4. Pandangan hidup umat terpecah atas dua pola hidup, kurang ada harmoni, integrasi antara kebutuhan, sikap matearialistis dan kebutuhan kerohanian.
5. Banyak umat mengalami krisis identitas sukunya sendiri.
2.2. Metode Inkulturasi Bagi Musik Liturgi di Indonesia
Dengan melihat kondisi dan keadaan semacam ini, tujuan liturgi mulia menjadi kurang maksimal. Agar inkulturasi dapat berhasil, dengan keinginan mencapai liturgi yang sesungguhnya maka gereja merasa perlu adanya metode dalam inkulturasi yakni:
1. Mencari bentuk aslinya.
2. Menerapkan pedoman-pedoman inkulturasi.
3. Mencari arti, pesan, amanat baru yang akan disampaikan tidak lain adalah pangkal dari iman.
4. membuat penilaian, berpangkal dari bentuk asli (metode nomor 1), mencari unsur-unsur yang cocok (metode nomor 2 dan 3) serta mana yang tidak cocok dibuang.
5. Menyusun lagu baru, mengujinya apakah makna kristiani cukup jelas dan lengkap.
6. Memberi penjelasan, pengenalan kepada umat tentang arti lagu baru sehingga umat dapat memahami dan menghayati sebagai unsur integral dalam hidup kebudayaan dan keagamaannya.
3. Badan Yang Menangani Musik Liturgi di Indonesia
Salah satu upaya menanggulangi hambatan adalah harus ada penelitian terhadap unsur budaya setempat atau adat yang akan dimasukkan ke dalam upacara gereja, sehingga pemilihan dapat selektif dan tepat mengena.
Tahta Apostolik memberi wewenang kepada pimpinan gereja setempat supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya. Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah misi seperti Indonesia. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan itu hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.
Dipenuhi dengan semangat Kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya khazanahnya. Jadi diharapkan seniman-seniman musik mengarang lagu-lagu yang mempunyai sifat liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyanyikan oleh paduan-paduan suara yang kecil dan mengembangkan keikutsertaan aktif jemaat beriman. Syair-syair bagi nyanyian liturgi harus selaras dengan ajaran Katolik, bahkan yang utama hendaknya ditimba dari kitab suci dan bersumber liturgi. Itulah panggilan dari gereja bagi pengarang musik.
Selain itu seperti halnya Universa Laus, sebuah lembaga internasional yang menangani musik liturgi, Indonesia mempunyai badan juga yang menangani khusus pengembangan musik liturgi di tanah air.
Badan yang menangani musik liturgi di Indonesia terbagi dalam tiga skala, yang pertama adalah Seksi Musik Liturgi KWI (Konperensi Waligereja Indonesia), yang kedua, Seksi Musik Liturgi keuskupan, dan yang terakhir adalah sanggar-sanggar Musik Liturgi. Secara garis besar tugas pokok ketiganya meliputi tiga bidang yakni: penyediaan sarana, pendidikan serta koordinasi dan komunikasi. Namun berdasarkan skala wilayah yang mereka bawahi terdapat perbedaan:
3.1. Seksi Musik Komisi Liturgi KWI
Seksi Musik Komisi Liturgi KWI adalah bagian dari Komisi Liturgi KWI yang secara khusus menangani bidang musik liturgi di Indonesia. Seksi Musik Komisi Liturgi KWI mempunyai wewenang menilai lagu-lagu yang sedang dan akan beredar serta memberikan nihil obstat atas lagu-lagu liturgi. Dalam bidang koordinasi dan komunikasi Seksi Musik Komisi Liturgi KWI bertugas antara lain:
a. Mencari atau menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan musik liturgi dari atau kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
b. Menyelenggarakan atau menghadiri rapat-rapat.
c. Mengadakan Kongres Musik Liturgi.
d. Membina komunikasi antar atau dengan Seksi Musik Liturgi.
e. Membina komunikasi antar atau dengan Sanggar-sanggar Musik Liturgi.
f. Membina komunikasi antar para ahli musik liturgi.
g. Mendelegasikan tugas kepada Seksi Musik Liturgi Keuskupan, Sanggar dan ahli musik liturgi.
h. Mengusahakan adanya buletin sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan sarana, pendidikan, koordinasi dan informasi serta wewenang di bidang musik liturgi.
i. Membina komunikasi dengan gereja lain.
j. Membina komunikasi dengan instansi pemerintah.
k. Membina komunikasi dengan seksi musik liturgi negara lain.
3.2. Seksi Musik Liturgi Keuskupan
Dalam mengamalkan fungsi dan tugasnya, Komisi Liturgi KWI bekerjasama dengan mitranya di tingkat keuskupan. Setiap keuskupan di Indonesia memiliki Komisi Liturgi Keuskupan, entah sebagai komisi sendiri entah dipadukan dengan komisi lain. Indonesia memiliki 34 Komisi Liturgi di keuskupan-keuskupan wilayah.
Seksi Musik Liturgi Keuskupan adalah bagian dari Komisi Liturgi Keuskupan yang memikirkan pelaksanaan pengembangan musik liturgi di keuskupan yang bersangkutan. Seksi Musik Komisi Liturgi Keuskupan mempunyai wewenang memberikan nihil obstat kepada lagu-lagu atau buku-buku nyanyian ibadat untuk diterbitkan dan digunakan oleh umat sekeuskupan, selain itu juga berwenang mengadakan sensor atas lagu-lagu yang sedang dan akan beredar. Dalam bidang koordinasi dan komunikasi Seksi Musik Liturgi Keuskupan mempunyai tugas:
a. Mengkoordinasi adanya dan lancarnya hubungan antara kelompok, paroki, lembaga, sanggar dan ahli-ahli musik liturgi yang ada di keuskupan yang bersangkutan.
b. Mencari atau menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan musik liturgi baik dari maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan di seluruh keuskupan.
c. Menugaskan seseorang, sanggar atau sekelompok ahli musik liturgi untuk menggarap satu tugas dalam bidang musik liturgi.
d. Membina komunikasi dengan Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Seksi Musik Liturgi, dan sanggar keuskupan lain untuk bertukar pengalaman atau menambah pengetahuan dalam bidang musik liturgi.
e. Mengusahakan adanya buletin sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan sarana, pendidikan, koordinasi dan informasi serta wewenang dalam bidang musik liturgi.
f. Membina komunikasi dengan instansi pemerintah atau lembaga-lembaga lain terkait.
3.3. Sanggar Musik Liturgi
Yang dimaksud dengan Sanggar Musik Liturgi adalah kelompok atau badan atau lembaga di luar Seksi Musik Komisi Liturgi KWI dan Seksi Musik Liturgi Keuskupan, yang lewat inisiatif dan kreatifitasnya ikut serta menggarap dan mengembangkan musik liturgi di Indonesia. Seksi Musik Liturgi mempunyai wewenang mengusulkan dan memberikan saran-saran kepada pihak yang berwenang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan nihil obstat lagu-lagu liturgi. Dalam bidang koordinasi dan komunikasi Sanggar Musik Liturgi bertugas:
a. Mencari dan menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan musik liturgi baik dari maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
b. Menyelenggarakan atau menghadiri rapat-rapat.
c. Membina komunikasi antar atau dengan Seksi Musik Liturgi Keuskupan atau Seksi Musik Liturgi KWI.
d. Membina komunikasi antar atau dengan Sanggar-sanggar Musik Liturgi.
e. Membina komunikasi dengan para ahli musik liturgi.
f. Mendelegasikan tugas dengan paroki-paroki.
g. Mendelegasikan tugas kepada para ahli musik liturgi.
h. Mengusahakan adanya buletin sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan sarana, pendidikan, koordinasi dan informasi serta wewenang di bidang musik liturgi.
i. Membina komunikasi dengan gereja lain.
j. Membina komunikasi dengan instansi pemerintah.
k. Membina komunikasi dengan Seksi Musik Liturgi negara lain.
Salah satu sanggar musik liturgi adalah Pusat Musik Liturgi Yogyakarta didirikan oleh Serikat Jesus pada tahun 1971. Pada tahun 1987 PML dijadikan salah satu bagian dari Pusat Kataketik. Tujuan PML adalah untuk mengabdi pada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya dan musik liturgi pada khususnya, terutama dalam rangka inkulturasi. Tujuan ini diusahakan melalui studi terhadap lagu-lagu daerah dan lagu gerejani yang dikirim atau dikumpulkan, kemudian ditanggapi, diperbaiki seperlunya dan diterbitkan. Kadang-kadang diadakan pula lokakarya bersama para musikus daerah atau lokal. Selain itu PML melakukan rekaman dan memproduksi Kaset. Kursus Musik Gereja yang ditangani oleh PML mendidik dirigen, organis dan pemain gamelan. Selain itu diterbitkan pula majalah bulanan Warta Musik Liturgi.
Dalam bidang penyediaan sarana dan pendidikan antara Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Seksi Musik Liturgi Keuskupan dan Sanggar atau Pusat Musik Liturgi mempunyai tugas yang sama. Dalam bidang penyediaan sarana antara lain:
a. Menginventarisasi lagu dan buku-buku nyanyian liturgi.
b. Menerjemahkan lagu-lagu berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau daerah atau lagu-lagu berbahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah setempat.
c. Menggubah lagu-lagu baru.
d. Mengusahakan tersedianya lagu-lagu dan buku-buku nyanyian.
e. Mengusahakan adanya dan terbacanya buku-buku bacaan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan tentang musik liturgi.
f. Memberikan dorongan atau petunjuk kepada kelompok atau paroki yang ingin memiliki alat musik untuk kebutuhan ibadat.
Salah satu usaha pengembangan musik liturgi di Indonesia adalah dalam bidang pendidikan untuk musik liturgi. Mengenai hal ini Gereja-gereja Katolik di Indonesia menggunakan kaidah no. 115 dari konsili suci yakni bahwa: pendidikan dan praktek musik harus dijunjung tinggi di dalam seminari-seminari, di dalam novisiat dan lembaga-lembaga pendidikan biarawati-biarawati demikian pula dalam lembaga-lembaga dan sekolah-sekolah Katolik lainnya. Untuk menjamin pendidikan ini, harus dibina dengan baik pengajar-pengajar yang ditugaskan untuk mengajar musik suci. Selain itu dianjurkan agar apabila mungkin, didirikan Sekolah Tinggi Musik Suci. Seniman-seniman musik, penyanyi-penyanyi terutama anak-anak harus pula diberikan pendidikan liturgi.
Dalam bidang pendidikan tugas komisi-komisi liturgi itu antara lain:
a. Menyelenggarakan atau memberikan penataran musik liturgi, misalnya penataran dirigen, organis, solis dan pemazmur.
b. Mengadakan lokakarya musik liturgi.
c. Menyelenggarakan atau memberikan kursus musik liturgi.
d. Mengusahakan tersedianya tenaga ahli di bidang musik liturgi.
e. Menanggapi lagu-lagu yang sedang beredar, dan sejauh perlu memberikan saran-saran perbaikan.
C. Wujud Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Penyesuaian secara oikumenis terjadi di dalam gerakan liturgis (Liturgical Movement). Gerakan Liturgis dimulai sejak pertengahan abad ke-19 dan memuncak pada Konsili Vatikan II di gereja Roma Katolik (1963-1965). Penyesuaian dan gerakan liturgis, memberikan pembaharuan pada unsur-unsur di dalam liturgi. Tata ibadat, termasuk tata ruang, para petugas, simbolik, tata gerak, musik, dan sakramen dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualisasi dan semangat gerakan liturgis.
Sejarah penyesuaian liturgi pada abad ke-20 tiba pada pergumulan kontekstualisasi, terutama bagi gereja-gereja di Asia, termasuk di Indonesia. Penyesuaian dibuka terutama dalam hal pelayanan sakramen, sakramentalia, perarakan, bahasa liturgi, musik, dan seni suci. Inkulturasi liturgi dan musik liturgi adalah suatu tuntutan dari Konsili Vatikan II serta keputusan Kongres liturgi dan musik liturgi di Indonesia. Sedangkan Indonesianisasi merupakan suatu langkah khusus sesuai dengan situasi di Indonesia. Kepulauan Indonesia ternyata tidak merupakan suatu kesatuan kebudayaan tetapi menunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup besar antara pulau dan kebudayaan masing-masing. Maka sulit dicari suatu musik gereja Indonesia karena tidak ada kebudayaan Indonesia. Yang ada adalah kebudayaan dan musik Flores, Batak, Dayak, Jawa dan sebagainya.
Dilain pihak, perbedaan-perbedaan di antara daerah dirasa sebagai kebhinekaan yang cukup segar, gaya masing-masing daerah atau suku memuat suatu ungkapan yang khas. Bila nyanyian-nyanyian itu diberi kedudukan dalam ibadat secara fungsional maka tidak hanya akan menimbulkan suatu variasi yang kaya tetapi juga masing-masing lagu dapat mendukung apa yang ingin dicapai pada saat itu dalam ibadat.
1. Inkulturasi Musik Liturgi di Daerah-daerah Indonesia
1.1. Di Flores dan Timor
Pada tahun 1966 sampai 1970 di seminari Tinggi Ledalero Flores merupakan masa jaya pencarian nyanyian ibadat baru. Meskipun lagu yang dihasilkan berlagu dan bernada Barat, namun bentuk dan syair sudah bernafas liturgi baru. Hasilnya diterbitkan dalam seri Turut Serta di Ende 1967 dan seterusnya, dengan pengarang seperti Jan Riberu, Dan Kitti SVD, Martin Runi, Alfons Hayon dan sebagainya. Kemudian untuk sebagian lagu Turut Serta masuk pula dalam buku nyanyian Syukur Kepada Bapa.
Buku ini untuk sebagian besar merupakan hasil kerja dari tim P. Appie Van der Heijden SVD bersama P. Alex Beding SVD. Dengan usaha untuk mengambil alih lagu dari Jubilate dengan mengganti syair serta menambah lebih banyak lagu mazmur maka terkumpullah 403 nyanyian. Namun hanya sedikit sekali lagu yang bernada Flores. Sebagai buku yang sesuai dengan liturgi sesudah Konsili Vatikan II, buku nyanyian ini tidak begitu menarik. Akibatnya umat semakin merasa kehilangan tradisi nyanyian sehingga masuk akal bila ada suara yang ingin kembali pada buku nyanyian Jubilate. Dengan demikian keadaan musik gereja di Nusa Tenggara Timur menjadi sangat heterogen. Keinginan untuk mempertahankan tradisi dimana sudah terjadi perubahan di dalam gereja, liturgi dan dalam kebudayaan menghambat timbulnya rasa dahaga pada nyanyian baru.
Lebih dekat pada kebudayaan Flores adalah usaha yang diadakan di Seminari Menengah Mataloko, Bajawa, Flores. Pada tahun 1970 dirayakan hari ulang tahun ke-40 Seminari Menengah. Alasan ini mendorong komponis muda, Martin Runi mengarang satu deretan lagu misa atas dasar motif-motif lagu adat Ngada yang sekaligus disertai tarian. Dengan cukup teliti motif-motif dipilih dan dengan dikembangkannya cukup lagu, maka akhirnya terwujudlah misa Panca Windu karangan Martin Runi yang untuk pertama kalinya dipentaskan dan ditarikan tahun 1970 di Mataloko. Berdasarkan pengalaman ini, Martin Runi mengarang sejumlah lagu lain dengan motif Belu, Timor antara lain Misa Senja.
Pada tahun 1974, Larantuka, Flores Timur mendapat seorang uskup baru Mgr. Darius Nggawa. Terdorong oleh kebanggaan atas diangkatnya seorang pribumi sebagai uskup setempat, maka Matius Weruin, seorang guru musik yang cukup terkenal di seluruh Flores Timur, mengarang sebuah misa dengan mengolah bagian-bagian lagu daerah setempat yakni lagu Dolo-dolo menjadi Misa Dolo-dolo. Misa ini dengan cepat tersebar di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur, suatu bukti betapa tepat hasil karya ini. Meskipun demikian, mula-mula terdapat juga suara yang merasa teringat lagu daerah aslinya dan kedudukannya sebagai lagu hiburan, namun nyanyian baru tersebut begitu kuat ungkapannya sehingga berhasil merebut hati.
Pada tahun 1977 Seminari Tinggi Ledalero kembali menjadi pusat perkembangan lagu liturgi, berhubung akan dirayakannya HUT ke-40 Seminari Tinggi ini, maka lahirlah Misa Pengembara yang diprakarsai antara lain oleh P. Anton Sigoama, P. Alfons Hayon, serta P. Dan Kitti. Memang pantas untuk dipuji terutama syair nyanyiannya.
Disamping itu tentu saja masih terdapat banyak lagi percobaan di dalam paroki-paroki yang tersebar di kepulauan Flores, Timor, dan Sumba. Namun tetap terasa bahwa belum ada pengganti untuk Jubilate. Buku Madah Bakti belum banyak beredar di Flores dan Timor, tahun 1986 kurang lebih hanya terdapat 15.000 buku Madah Bakti di Flores dan 20.000 buku di Timor. Hanya keuskupan Weetebula, Sumba yang berani mengambil langkah untuk memakai buku Madah Bakti malah dengan edisi khusus yakni dengan tambahan 47 lagu kesayangan umat Sumba dari buku Syukur Kepada Bapa.
Di Flores dan Timor umat tidak terlalu aktif dalam ikut bernyanyi terutama karena tidak ada buku. Secara lokal, kekosongan-kekosongan ini diatasi dengan komposisi-komposisi oleh dirigen atau komponis setempat. Namun ternyata yang bernyanyi terutama koor. Lagu-lagu baru sepertinya lenyap seperti stensilan yang dibuat untuk beberapa kali pakai. Lagu yang khas bergaya Flores dan Timor ada juga, terutama lagu yang merupakan hasil lokakarya komposisi yang diadakan dalam kerjasama dengan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta tahun 1979 di Detusoko Flores dan tahun 1986 di Betun, Timor.
1.2. Di Jawa Tengah
Sebelum Konsili Vatikan II gendhing sudah digunakan dalam perbuatan liturgi. Namun setelah Konsili Vatikan II yang secara terang-terangan mendukung ide inkulturasi, maka dengan marak tumbuhlah banyak sekali gendhing Mazmur antara lain oleh M. Siswanto, Ign. Pujoharsono, RL. Suwardja, Z. Sudiro, dan V. Marsudi. Kemudian dikumpulkan oleh RM. Wahyosudibyo Pr dan diterbitkan diawal tahun 70-an dengan judul Kidung Mazmur Gendhing Jawi, Gendhing Pengiring Bojana Kurban, Kidung Suci Gendhing Jawi Minggu Adi. Satu langkah lebih baru lagi adalah eksperimen di sekitar Kisah Sengsara, Macapat, dan kethoprak, Rm. Fx. Wiyono Pr bersama JB. Sukodi main peranan yang cukup besar. Sebagian eksperimen ini didokumentasikan dalam kaset gendhing gereja yang diterbitkan oleh PML.
Tahun 1968 Seksi Musik Kolsani menerbitkan buku Kidung Anyar Kagem Gusti dengan Mazmur-mazmur namun bukan gendhing. Pada tahun 1975 Rm. Wahyusudibyo menerbitkan 2 jilid buku nyanyian gereja Jawa dengan judul Kidung Puji Ekaristi, namun peredaran buku nyanyian ini hanya di paroki Jetis saja. PML menerbitkan pada tahun 1978 suatu kumpulan lagu gereja non gendhing dengan judul Cahaya Sumunar. Tahun 1983 suatu panitia khusus dari keuskupan Agung Semarang bersama PML menyusun buku Kidung Adi yang merupakan suatu paduan antara gaya gendhing dan lagu gereja dengan tangga nada diatonis, baik dengan lagu dan doa.
1.3. Di Sumatra
Inkulturasi di Sumatra Utara terutama Batak tidaklah mudah. Hal ini berhubungan dengan kedudukan musik Batak. Dalam suku Batak Toba umumnya musik tradisional berhubungan dengan gondang, artinya merupakan iringan tarian (Tortor). Sedangkan lagu daerah Toba sudah sedikit menjauh dari pola ini dan berbau Barat. Dalam suku Simalungun terdapat beberapa langkah menciptakan lagu gereja dengan irama cengkok Simalungun: Misa, lagu kisah sengsara dan sebagaimana dalam bahasa Simalungun antara lain hasil Seminari Tinggi Pematang Siantar. Di Paroki Seribudolok pada tahun 70-an seorang pastor Belanda meminta kepada seorang pemusik tradisional yang beragama Islam untuk menciptakan beberapa lagu gereja yang bercorak dan berbahasa Simalungun. Lagu ini sidetensil, contohnya terdapat dalam kaset PML 36 Puspa Ragam Musik Gereja Indonesia.
Suku Batak kuno dirasa agak asing diantara suku Batak, baru sekarang hal ini mulai diperhatikan oleh gereja maka belum terdapat banyak sekali hasil inkulturasi. Sementara suku Batak Pakpak, Dairi merupakan suku Batak yang paling kecil dan terpencil, maka langkah inkulturasi belum sempat dijalankan.
Sekitar bulan Juni-Juli 1986, dalam lokakarya Komposisi Keuskupan Agung Medan di Pematang Siantar untuk pertama kali diadakan langkah serius untuk mempelajari lagu Batak dan mengolahnya kembali atau mencipta lagu-lagu gereja baru yang bercorak Batak. Lokakarya ini dibimbing oleh tim dari PML menghasilkan 42 lagu baru yang belum diterbitkan.
Situasi khusus terjadi di pulau Nias, ia terpencil namun berkebudayaan dan berbahasa khusus. Sebagaimana di Batak begitu juga di Nias, para pendeta pada abad yang lalu melarang segala unsur adat namun ternyata tidak seratus persen berhasil. Di pegunungan dan ujung selatan masih hidup musik tradisional, terutama yang berhubungan dengan perang dan pertandingan. Namun lagunya terlalu galak untuk diolah begitu saja menjadi lagu ibadat. Sedangkan tari Maena yang sangat populer di pulau Nias, tidak berakar pada musik adat ini melainkan berbau Barat. Maka belum banyak terdapat lagu gereja yang khas Nias.
1.4. Di Kalimantan
Suku-suku Dayak di Kalimantan tidak merupakan satu kesatuan kultural. Hubungan antara Kalbar dan Kalteng serta Kaltim cukup sulit pula. Maka tidak mengherankan bahwa belum terdapat banyak langkah kearah inkulturasi. Atau mungkin ada langkah namun tidak diketahui selain orang setempat. Kesempatan lokal tentu selalu ada seperti hari raya (Natal, Paskah, perkawinan, syukur atas panen, tahbisan) atau kematian. Musik tradisional Kalimantan terutama berupa lagu instrumental sebagai iringan tarian. Maka sanggar yang dibuka oleh P. Lucius Ginting OFM Cap di Pahauman Kalbar berupa sanggar tari dengan tim pengiringnya. Hasil berbagai tari untuk ibadat (persembahan, syukur dan sebagainya) serta kaset dan musiknya. Namun setelah P. Lucius Ginting OFM Cap pindah ke Pontianak, sanggar di Pahauman sedikit mengalami kemunduran. Begitu juga dengan nasib sanggar-sanggar swasta yang pernah didirikan di Sanggau, Putusibau (Kalbar), Buntok (Kalteng) dan sebagainya.
P. Huvang MSF (seorang putra asli Kaltim) keuskupan Banjarmasin, pada bulan juli 1984 mengundang tim PML untuk mengadakan lokakarya komposisi di Buntok Kalimantan Tengah bersama 40 pemusik daerah. Hasilnya adalah 20 lagu gereja baru. Pada tahun 1985 usaha semacam ini dilakukan di Tering Kalimantan Timur untuk para pemusik dari Kaltim. Atas inisiatif PML para uskup sedaerah di Kalimantan memutuskan untuk menerbitkan lagu tersebut sebagai tambahan dalam Madah Bakti edisi khusus Kalimantan. Sebanyak 45 lagu tersebut termuat pula dalam buku dan kaset Buluh Puncak Awangan terbitan PML 1986.
1.5. Di Sulawesi
Daerah di Sulawesi yang sudah menjadi Kristen adalah Toraja dan Manado. Terutama di Sulawesi Utara sudah terdapat inkulturasi berkaitan dengan Musik Kolintang. Di seluruh Indonesia alat musik Kolintang sudah sangat populer. Sejak akhir tahun 60-an terdapat lagu gereja yang diciptakan terutama di sekitar seminari Tinggi Pineleng Sulawesi Utara. Lagu-lagu itu mengambil inspirasi irama dan corak dari tari daerah Maengket dan musik Kolintang. Maka lahirlah sejumlah lagu misa dan Mazmur yang diterbitkan oleh PML tahun 1974 dengan judul Misa Minahasa dan kaset Majulah ke Depan. Dalam Madah Bakti terdapat sejumlah lagu terpilih dari koleksi ini, namun sayang usaha pengolahan musik tradisional Minahasa macet sejak pertengahan tahun 70-an hal ini disebabkan para tokohnya seperti P. Tinggogoy, Felix Mongdong, dan Pontoan pindah ke Jawa.
1.6. Di Maluku dan Irian Jaya
Nasib inkulturasi di kepulauan Maluku sama seperti di Kalimantan, karena komunikasinya sulit maka kurang diketahui. Namun sebenarnya ada langkah-langkah lokal hanya tidak ada dokumentasi.
Setelah Konsili Vatikan II pada tahun 1979 di keuskupan Ambon diterbitkan buku nyanyian gereja dengan judul Mari Bermadah, namun lagu yang bercorak tradisi Kei atau Tanimbar atau Ambon tidak termuat dalam buku tersebut. Buku Mari Bermadah masih tetap dipakai di Ambon karena buku nyanyian Madah Bakti belum banyak beredar di sana.
Pada tahun 1978 Irian Jaya menjadi terkenal, karena di sana muncul satu deretan lagu gereja dengan judul Misa Maiwana. Setelah diteliti lagu ini ternyata lahir di Papua Nugini dan diIndonesiakan di Irian Jaya. Sebagian dari misa ini juga termuat dalam Madah Bakti. Yang beredar di sana ada 20.000 eksemplar lebih.
2. Inkulturasi dalam Buku Nyanyian Liturgi Madah Bakti
Sebagai jerih payah para komisi-komisi Musik Liturgi, tokoh-tokoh gereja, seniman-seniman gereja, atas lokakarya-lokakarya dan musyawarah liturgi serta musik liturgi yang dilakukan berkaitan dengan penegasan Konsili Vatikan II pantaslah disebutkan di sini adalah buku Madah Bakti.
Selain memuat sederetan lagu-lagu daerah yang diambil dari buku-buku nyanyian liturgi yang telah terbit sebelumnya penerbitan buku ini juga untuk memenuhi keinginan umat yang haus akan adanya satu buku pedoman untuk nyanyian liturgi. Hal ini juga didukung oleh ketentuan konstitusi liturgi mengenai musik suci nomor 117 mengenai penerbitan buku-buku nyanyian liturgi terutama untuk nyanyian Gregorian dan nyanyian yang lebih sederhana. Bahwa edisi contoh buku-buku Gregorian harus diselesaikan, bahkan harus disiapkan penerbitan yang lebih kritis dari buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan Santo Pius X. Juga baik apabila disiapkan penerbitan yang memuat lagu-lagu yang lebih sederhana untuk digunakan di gereja-gereja yang lebih kecil.
Setelah diterbitkannya beberapa buku nyanyian liturgi sebelumnya, maka pada saat Kongres Musik Liturgi III pada tahun 1980 di Jakarta terbit buku doa dan nyanyian gereja berjudul Madah Bakti. Madah Bakti merupakan salah satu wujud inkulturasi dan Indonesianisasi, suatu bentuk yang sesuai dengan Konsili Vatikan II. Dalam Madah Bakti tersebut memuat kebhinekaan Indonesia.
Madah Bakti disusun dan disebarkan oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta. Selain nyanyian di dalam buku ini terdapat pula sejumlah doa. Nyanyian-nyanyian di dalamnya mencerminkan perkembangan musik liturgi di Indonesia sesudah Konsili Vatikan II. Sepertiga (kurang lebih 150 lagu) dari khazanah lagu Madah Bakti merupakan lagu terjemahan dari Eropa. Lagu yang diambil alih dari gereja Barat (lagu Natal, Maria, Gregorian). Sepertiga lagi merupakan lagu ciptaan baru oleh beberapa komponis Indonesia, namun bercorak Barat atau bergaya musik internasional. Dan sepertiga yang terakhir mencerminkan suatu gaya khas kedaerahan Indonesia, gaya Flores, Jawa, Kalimantan, Pentatonis dan sebagainya.
Gaya kedaerahan dalam buku Madah Bakti ini merupakan suatu kesempatan untuk merayakan ibadat dengan lagu daerah setempat, sehingga lebih mengena di hati. Kebhinekaan dalam 450 lagu tersebut dimaksudkan agar umat dapat memilih nyanyian sesuka hati. Madah Bakti memberikan kesempatan untuk mengenal lagu dari daerah Indonesia, jiwa orang Katolik di Indonesia. Tubuh Kristus mempersatukan suku, maka boleh juga Madah Bakti ini digunakan di luar daerah yang bersangkutan asal disenangi.
Pada Tahun 1992 diterbitkan Madah Bakti Suplemen dengan 270 lagu baru dari daerah-daerah di Indonesia yang sampai saat itu kurang diwakili. Jumlah Madah Bakti yang diedarkan sampai tahun 1994 mencapai hampir dua juta eksemplar. Beberapa keuskupan menambah lampiran khusus pada Madah Bakti.
Mengenai Madah Bakti 2000
Sejak tahun 1997 Pusat Musik Liturgi berusaha untuk mengadakan penyegaran buku Madah Bakti yang pertama kali terbit tahun 1980. Dalam penyegaran ini tetap mempertahankan 450 nyanyian, namun 52 lagu diganti dengan lagu baru. Selain itu, nomor-nomor, syair dan lagu nyanyian Madah Bakti lama dipertahankan. Hal ini dimaksudkan supaya buku Madah Bakti lama dapat dipakai bersama dengan buku Madah Bakti baru, terutama buku-buku kor dan buku-buku iringan tetap berguna. Selain itu Pusat Musik Liturgi Yogyakarta berpendapat bahwa sebuah nyanyian yang sudah dihapal tidak boleh dirubah lagu dan syairnya karena sudah menjadi daging, sudah menjadi milik umat sehingga dapat dinyanyikan sebagai doa.
Dalam Madah Bakti edisi 2000 ini lagu Gregorian ditiadakan karena ternyata kurang dipakai, cukup sulit untuk dinyanyikan sehingga diganti dengan Mazmur dan Kidung. Meski di satu pihak banyak umat yang belum merasa pas dengan Mazmur, namun di lain pihak isi sejumlah Mazmur sangat aktual dengan hidup zaman sekarang. Untuk peminat lagu Gregorian sudah ada buku khusus yang berjudul Lux et Origo terbitan PML juga.
Nyanyian baru dalam buku Madah Bakti 2000 berasal dari 39 lokakarya Komposisi yang diadakan oleh pusat Musik Liturgi di berbagai daerah bersama lebih dari 1000 pemusik dari berbagai keuskupan. Lagu-lagu diciptakan bersama-sama dengan tujuan untuk memperkaya liturgi dengan warna-warna unsur musik tradisi Indonesia.
Begitulah kiranya, musik gereja di Indonesia ternyata berkembang terus sesuai dengan tugasnya dari Konsili Vatikan II dan keputusan Konperensi Uskup Indonesia yakni untuk berinkulturasi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sebelum Konsili Vatikan II musik liturgi di Indonesia telah mengalami inkulturasi berdasarkan izin dari keuskupan Roma, dan setelah Konsili Vatikan II usaha inkulturasi musik liturgi diusahakan secara lebih baik, inkulturasi menjadi tanggung jawab bersama dan dokumen Konsili Vatikan menjadi sumber dan pedomannya.
2. Keanekaragaman suku, budaya dan bahasa yang berbeda memang bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi inkulturasi musik liturgi, namun dalam prosesnya hal itu juga bisa menjadi suatu kendala, sementara terdapat masalah pokok di sekitar inkulturasi sebagai akibat kehidupan modern misalnya, adanya sikap kurang menghargai budaya sendiri dan cenderung mengadopsi kebudayaan dari Barat.
3. Setelah Konsili Vatikan II kegiatan inkulturasi musik liturgi di Indonesia kian marak, lokakarya musik liturgi yang diadakan menghasilkan kreasi-kreasi baru dalam musik liturgi seperti dalam buku nyanyian Madah Bakti, sehingga tidak hanya dikenal musik Gregorian dan Polifoni Suci yang selama ini biasa digunakan dalam beribadat.
B. Saran-Saran
1. Musik liturgi di Indonesia senantiasa terus berkembang sesuai dengan konteks kebudayaan dan masyarakat yang senantiasa dinamis. Kajian dari seorang sarjana dalam bidang Perbandingan Agama sungguh diperlukan untuk mengungkap kasus lebih lanjut dari permasalahan musik liturgi di Indonesia.
2. Adapun manfaat penelitian ini bagi umat Islam adalah memperluas wacana dan pengetahuan tentang musik liturgi untuk dijadikan bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik Islami, seperti dibentuknya suatu badan khusus yang menangani pengembangan musik tersebut.

0 Comment