23 Mei 2012


MUFASSIR
A.      PENDAHULUAN

Tafsir adalah salah satu cara yang ditempuh oleh para mufassir untuk menerangkan Al-Qur’an, menjelaskan makna-maknanya serta memperjelas apa yang sesungguhnya dikehendaki makna dalam lafadz-lafadz al-Qur’an itu, menggali hukum-hukum yang dikandung di dalamnya serta hikmah yang dikandung oleh Al-Qur'an itu sendiri
Penafsiran terhadap Al-Qur’an itu sudah ada sejak zaman Rasulullah, semenjak Al-Qur’an itu diturunkan, pada masa Rasulullah penfsiran Al-Qur’an itu beliau lakukan sendiri, atas dasar wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril.
Penafsiran pada zaman Rasulullah berlangsung selama hidupnya, kemudian setelah rasul wafat para sahabat menafsirkan sendiri ayat- ayat Al-Qur’an, penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat ini berdasarkan penjelasan yang mereka dengar dari Rasul, dimana semasa Rasul hidup mereka banyak mendengarkan penafsiran-penafsiran dari Rasul dan mereka hayati dengan sungguh-sungguh, hal ini dikarenakan para sahabat ini adalah orang Arab pemilik bahasa Arab danmereka juga menjadi saksi turunnya Al-Qur’an.
Selain itu para sahabat juga memiliki akal yang cerdas, hafalan dan ingatan yang kuat yang merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh orang-orang arab murni pada masa itu, mereka juga mengetahui sebab turunnya ayat tersebut dan hubungan antara ayat per ayat, semua pengetahuan mereka itu sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Penafsiran Al-Qur’an pada masa rasul dan sahabat ini belum dituliskan, kemudian penafsiran Al-Qur’an pada masa tabi’in dilakukan dengan berpedoman kepada ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasul oleh para sahabat, tapi masih dalam bentuk hafalan dan periwayatan saja, pada masa Umar bin Abdul Aziz barulah ada pembukuan tafsir, kemudian pada masa mutaqaddimin dan masa mutaakhirin penulisan tafsir dilakukan oleh para ahli, masa ini penulisan tafsir dipengaruhi oleh kefanatikan madzhab dari ilmu-ilmu keahlian mereka masing-masing.
Karena begitu berkembangnya ilmutafsir ini, sampaizaman modernisasi ini, maka dalam menafsirkan Al-Qur’an itu tidak sembarang orang saja untuk bias menafsirkan Al-Qur’an itu, akan tetapi ada syarat-syarat tertentu yang harus mereka miliki, untuk itu dalam makalah kali ini penulis akan manjelaskan, siapa itu mufassir?, apa syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, beserta adab / tata karma seorang mufassir itu.

B.       PEMBAHASAN

1.        Definisi  Mufassir
      Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”.
      Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[1]
      Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه
Artinya: “Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”[2]

      Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد. 
Artinya: “Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan Kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[3]

      Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية
Artinya:“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

      Oleh Az-Zarqany, definisi di atas dijelaskan sebagai berikut:
      Maksud kata ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang terkonsep. Abdul Hakim menjelaskan secara lebih panjang, “Sesungguhnya ilmu tafsir termasuk konsepsi (tashawwurât) karena tujuannya adalah memahami konsep makna lafal-lafal Al-Quran. Ilmu tafsir juga termasuk pengetahuan, akan tetapi kebanyakannya bahkan semuanya termasuk pengetahuan secara lafal. Sayid berpendapat bahwa tafsir termasuk  legalisasi  (tashdîqât) karena mencakup hukum atas lafal-lafal bahwa lafal-lafal tersebut bermanfaat bagi makna-makna terkait yang disebutkan dalam tafsir.”  
      Dengan perkataan kami, “membahas tentang perihal Al-Quran”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal selain Al-Quran.  
      Dengan perkataan kami, “dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala”, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu-ilmu yang membahas perihal Al-Quran dari segi selain segi penunjukan dalilnya. Misalnya ilmu qira’ah yang membahas keadaan Al-Quran dari segi pengaturan lafal dan cara membacanya. Demikian juga ilmu rasm ‘Utsmany yang membahas keadaan Al-Quran Al-Karim dari segi cara menuliskan lafal-lafalnya.
      Tidak termasuk juga dengan perkataan ini ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi ia makhluk atau bukan makhluk karena ini termasuk pembahasan dari ilmu kalam Demikian juga ilmu yang membahas keadaan Al-Quran dari segi diharamkan untuk membacanya bagi orang yang junub dan yang semisal karena ini termasuk pembahasan dari ilmu fikih. 
Perkataan kami, “berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”, adalah untuk menjelaskan bahwa tidak dianggap cacat dalam ilmu tentang tafsir ketidaktahuan terhadap makna mutasyabihat dan ketidaktahuan terhadap maksud Allah dalam sebuah peristiwa atau perkara.[4]
Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang: 
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
Artinya:“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”[5]

2.  Ilmu Yang Dibutuhkan Mufassir
Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu. Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran. Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.[6]
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu  dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1.            Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
        Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
Artinya: “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.            Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.            Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  
4.            Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.  Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
5.            Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.            Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.            Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
        Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.            Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.            Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.       Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth
11.       Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.       An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.       Fikih.
14.       Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.       Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
      Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
Artinya: “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.”    
Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
             Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yu (akal) yang dilarang.
Adapun bagi seorang mufassir, maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1.      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 
2.      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.    
3.      Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

3.  Adab dan Sifat Mufassir
       Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
     Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk.”[7]      
                 Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala.
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
Artinya:“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)

    Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”
                 Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 
1.      Akidah yang lurus
2.      Terbebas dari hawa nafsu
3.      Niat yang baik
4.      Akhlak yang baik
5.      Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.      Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.      Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8.      Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.      Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.
                 Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.      Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.      Jujur dan teliti dalam penukilan
3.      Berjiwa mulia
4.      Berani dalam menyampaikan kebenaran
5.      Berpenampilan simpatik
6.      Berbicara tenang dan mantap
7.      Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8.      Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran[8]
                 MenurutSyaikhShalah ‘Abdul Fattah al-Khaalidi ada 14 syarat yang harusdimilikiolehseorangmufassir, diantaranya [9]:
1.      Seorangmufassirituharusbenaragamanya (akidahnya)
2.      Mengambiltafsiritudarisunnah
3.      Berfikirsehat
4.      Seorangmufassirtidakbolehterpengaruholehmazhab yang merekaanut
5.      Terkenaladil di kalanganmuslimin
6.      Terhidardaribid’ah
7.      Ikhlasdalamberamal
8.      Seorangmufassirharuszuhud
9.      Memahami Al-Qur’an secarabaikdanbenar
10.  Bersikapsesuaidenganajaran Al-Qur’an
11.  Terhindardaridosadanmaksiat
12.  Menjagapemahamanterhadap Al-Qur’an
13.  Menjauhkandiri dari larangan Al-Qur’an
14.  Cerdas
.
C.    PENUTUP
Demikianlah penjelasan mengenai syarat-syarat mufassir Al-Quran yang sangat ketat. Dari uraian di atas, sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan.
Orang yang terpenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang berkompeten dalam bidang ini; bukan malah berani membuat model tafsir baru alias bid‘ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam. Wallâhu a‘lam.












DAFTAR PUSTAKA

Abu Syuhbah, Muhammad. H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunn

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. 2000. At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Juz I. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1.

Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts.

Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.


Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis.

Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah.

Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby.

Fattah, Shalah ‘Abdul  al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi manaahijilMufassiriin Damsyiq: DaarulQalam, tth

Husaini, Adian. “Virus Abu Zaid di Indonesia” dalam pengantar: Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Quran Dihujat. Jakarta: Al-Qalam.






[1] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. Tt. ‘Ilmu At-Tafsir. Kairo: Dâr Al-Ma’ârif. Hal. 5
[2] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. Hal. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I hal. 13.  
[3] Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6
[4] Az-Zarqany, Muhammad Abdul Azhim. 1995 Manâhilul ‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qurân. Juz II. Beirut: Dâr Al-Kitâb Al-’Araby. Hal. 6
[5] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
.
[7] Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 189.
[8] Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hal. 417-418.
[9]Shalah ‘Abdul Fattah al-Khaalidi, Ta’riifu ad-daarisiina bi manaahijilMufassiriin (Damsyiq: DaarulQalam, tth) h. 61-64

0 Comment